You are on page 1of 3

Jurnal Natur Indonesia 6(2): 81-83 (2004) ISSN 1410-9379

Pengendalian rayap dengan Steinernema carpocapsae Weiser

81

Pengendalian Rayap Coptotermes curvignathus Holmgren menggunakan Nematoda Steinernema carpocapsae Weiser. dalam Skala Laboratorium
Darma Bakti
Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Faperta, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155
Diterima 30-12-2003 Disetujui 10-03-2004

ABSTRACT
Coptotermes curvignathus is one of the important pests of oilpalm were planted on peat soil. The objective of this research is to study the effectiveness of Steinernema carpocapsae to control C. curvignathus in laboratortory. This nematode would be a potential agents of biocontrol on termites on oilpalm plantation in the future. This study was arranged by factorial experiment with five replications. The first factor were the number of nematodes juvenile infective (dauer) which consisted of ; >100-<150 (N1), >151-<200 (N2), >201->250 (N3), >251- <300 (N4), and control. While, second factor were the density of termites; 20 (R1), 40 (R2), 60 (R3), and 80 (R4) which composed of wokers and soldiers with the same numbers. The result of this study showed that termites were dead on two days after exposing to nematodes with mortality between 38.16 (N1) and 60.80 percent (N4), respectively. The population density of termites itself tended to increase to termite mortality. The lowest density could cause mortality 13.75 percent and highest was 35.42 percent. Meanwhile, six days after exposing to nematodes caused mortality nearly 100 percent either lowerst or the higherst density. Keywords: C. curvignathus, biological agents, S. carpocapsae

PENDAHULUAN
Rayap Coptotermes curvignathus merupakan salah satu hama penting pada tanaman kelapa sawit di areal bukaan baru khususnya yang ditanam di atas lahan gambut (Prawirosoekarto et al, 1991; Mariau et al, 1992). Upaya pengendalian yang dilakukan oleh kebanyakan pekebun adalah dengan insektisida. Penggunaan insektisida akan menguntungkan bila dapat membunuh rayap dalam jumlah besar dengan harga yang murah. Disamping itu, pestisida yang digunakan harus aman terhadap pengguna dan lingkungannya. Kebanyakan pestisida untuk rayap banyak dirancang untuk melindungi bangunan terutama bagian yang banyak terbuat dari kayu. Oleh karena itu, termitisida yang banyak beredar saat ini memiliki residu yang dapat bertahan lama dalam tanah sehingga dengan sifat ini serangan rayap dapat dicegah (Nandika 1992). Pencegahan rayap pada bangunan dapat juga dilakukan dengan metoda pengawetan kayu yaitu pemberian bahan kimia tertentu termasuk termitisida sehingga dengan bahan ini rayap tidak akan datang menyerang bahan yang telah diawetkan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan pendekatan pengendalian rayap pada bangunan dan kebanyakan jenis

termitisida yang beredar di pasaran saat ini sangat tidak sesuai bila digunakan untuk tanaman. Cara ini bila dilakukan selain tidak efektif juga mematikan tanaman dan bahkan bisa meracuni manusia bila teknik aplikasinya tidak tepat. Pengendalian hama pada tanaman harus mengacu pada konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No 12, tahun 1992. Penerapan konsep PHT tidak saja didasarkan pada aspek ekonomi tetapi juga aspek ekologi. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah pengendalian hayati dengan menggunakan agen hayati nematoda entomopatogen. Nematoda Steinernema carpocapsae banyak berdiam dan berada di dalam tanah pada kedalaman 0-20 cm. Steinernema carpocapsae yang juga hidupnya berhubungan dengan tanah diharapkan dapat memarasit dan menjadi musuh alami rayap C. curvignathus. Penggunaan nematoda S. feltiae terhadap rayap Reticulitermes tibialis ternyata menunjukkan hasil cukup baik (Epsky & Capinera 1988; Mauldin & Beal 1989). Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan alternatif pengganti insektisida kimia untuk mengendalikan rayap C. curvignathus yang merusak tanaman kelapa sawit di Indonesia.

82

Jurnal Natur Indonesia 6(2): 81-83 (2004)

Bakti.. menyentuh ujung kain kassa. Cara ini digunakan untuk memudahkan nematoda keluar dari ulat dan masuk ke dalam air. Massa dauer dalam air diambil dengan pipet dengan menghitung jumlah nematoda yang diinginkan sesuai dengan perlakuan. Rayap diambil dari pertanaman kelapa sawit Kebun Manduamas, Tapanuli Tengah. Untuk infestasi nematoda digunakan toples ukuran diameter 15 cm, tinggi 20 cm yang telah dilapisi dengan kertas filter. Kertas filter ini terlebih dahulu dibasahi dengan aquadest sampai lembab. Ke dalam toples ini dimasukkan nematoda muda fase infektif sesuai dengan perlakuan. Setelah 10 menit kemudian, dimasukkan pula rayap sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan. Pengamatan mortalitas dilakukan setelah 1, 2, 3, 4 hari setelah infestasi (HSI) sesuai dengan metode Hatsukade (1994). Mortalitas dihitung dengan menggunakan rumus Mortalitas = (jumlah rayap sesuai dengan perlakuan jumlah rayap yang masih hidup) x 100%. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan perlakuan yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan dengan tingkat kepercayaan 95%.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilakukan dari bulan Nopember 1998Pebruari 1999. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (4x4) dengan 5 ulangan. Faktor yang diteliti adalah jumlah nematoda muda fase infektif atau disebut juga dengan dauer yang terdiri atas 1) faktor pertama adalah jumlah dauer S. carpocapsae : N0 = pembanding, N1= > 100 - < 150, N2 = >151 < 200, N3 = > 201 - < 250, dan N4 = > 251 - < 300; 2) faktor kedua adalah kepadatan rayap : R1 = 20, R2 = 40, R3 = 60, dan R4 = 80 ekor yang terdiri dari kasta prajurit dan pekerja dengan perbandingan yang sama. Nematoda S. carpocapsae ini pada awalnya diperoleh dari Research Center of Antibes, National Institute of Agronomic Research, France (INRA) dan diperbanyak di laboratorium Hama Fakultas Pertanian USU dengan menggunakan ulat Thirataba rufivena. Bahan yang digunakan adalah nematoda S. carpocapsae, rayap C. curvignathus yang terdiri dari kasta pekerja dan prajurit, ulat Thirataba rufivena (ulat buah sawit), aquadest, dan kain kassa. Alat yang digunakan adalah petridish ukuran diameter 9 cm dengan tinggi 1,5 cm, hand counter, pipet, kotak plastik ukuran 15 cm x 10 cm x 8 cm. Nematoda diperbanyak terlebih dahulu dengan menggunakan ulat bambu T. rufivena. Ulat ini mudah diperoleh dan banyak diperjualbelikan di pasar sebagai pakan burung. Ulat diletakkan sebanyak 35 ekor ke dalam petridish kemudian ditetesi 1 ml cairan yang berisi nematoda muda fase infektif, dibiarkan 10 sampai 20 menit. Petridish tersebut ditutup dengan penutup petridish yang telah dilapisi dengan kertas filter yang dibasahi dengan aquadest untuk menjaga kestabilan kelembaban dalam petridish tersebut. Petridish ini ditempatkan pada tempat penyimpanan selama 23 hari. Ulat-ulat tersebut diletakkan di atas tutup botol plastik yang telah dialasi dengan kain kassa yang diletakkan dalam petridish tempat biakan nematoda. Ujung kain kassa tersebut menyentuh permukaan air aquadest yang terdapat dalam petridish. S. carpocapsae fase 3 akan keluar dari hostnya untuk mencari host yang baru, sedangkan fase sebelumnya berada di dalam tubuh host yang lama. Untuk mendorong agar nematoda lebih cepat keluar dari hostnya, maka ditambahkan air aquadest sehingga air dalam petridish benar-benar

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menunjukkan bahwa S. carpocapsae memiliki efektifitas cukup baik untuk mengendalikan rayap. Umumnya nematoda termasuk S. carpocapsae banyak ditemukan di dalam tanah, sehingga diharapkan rayap C. curvignathus yang selalu berhubungan dengan tanah akan dapat dimanfaatkan sebagai agen hayati. Pemberian nematoda dengan jumlah terkecil menimbulkan mortalitas 38,16% dan dengan jumlah tertinggi menimbulkan mortalitas 60,80%. Sedangkan percobaan tanpa perlakuan tidak ditemukan ada
Tabel 1. Pengaruh jumlah dauer S. carpocapsae terhadap mortalitas C. curvignathus.
Jumlah dauer S. carpocapsae NO = 0 N1= >100 - < 150 N2 = > 150 - < 200 N3 = > 200 - < 250 N4 = > 250 - < 300 Mortalitas rayap (%) 2 HSI 0,00 c 4 HSI 0,00 d 71,00 c 82,66 b 91,16 a 92,50 a 6 HSI 0,00 c 93,84 b 98,00 a 99,34 a 99,66 a

38,16 b 43,50 b 52,66 60,80 a a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.

Pengendalian rayap dengan Steinernema carpocapsae Weiser rayap yang mati. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa peningkatan tingkat mortalitas dari 2 sampai 4 HSI ternyata cukup tinggi, tetapi setelah 6 HSI peningkatan semakin kecil dan menurun dari sebelumnya. Mortalitas yang terjadi hampir mencapai 100% setelah 6 HSI. Kepadatan populasi rayap pada awalnya berpengaruh terhadap jumlah rayap yang terinfeksi nematoda. Namun, kecenderungan itu berubah setelah 4 dan 6 HSI (Tabel 2). Hal ini disebabkan S. carpocapsae lebih banyak menunggu dan hanya sedikit bergerak sehingga mobilitas rayap sangat menentukan terparasitnya rayap. Jumlah rayap yang
Tabel 2. Pengaruh kepadatan rayap terhadap serangan nematoda S. carpocapsae. Kepadatan Rayap R 1 = 20 ekor R 2 = 40 ekor R 3 = 60 ekor R 4 = 80 ekor Mortalitas Rayap (%) 2 HSI 13,75 d 21,08 c 27,33 b 35,42 a 4 HSI 95,83 d 36,50 c 49,25 b 63,00 a 6 HSI 100,00 a 100,00 a 95,56 b

83

memungkinkan bagi individu yang terinfeksi nematoda dapat tertular pada individu yang sehat sehingga kepadatan populasi rayap tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah nematoda S. carpocapsae yang diinfestasikan. Penggunaan S. carpocapsae sebagai agen hayati rayap memiliki prospek yang cerah di masa depan, karena nematoda ini juga banyak terdapat di daerah tropik dan juga dapat hidup di dalam tanah (Poinar & Thomas 1982). Bila keadaan lingkungan cukup baik, terutama bila suhu tidak terlalu panas dan didukung pula oleh sifat fisik tanah yang sesuai, maka S. carpocapsae dapat hidup dan berkembang dengan baik dan bisa diandalkan sebagai agen pengendali hayati rayap.

KESIMPULAN
Jumlah dauer S. carpocapsae selama 2 HSI menimbulkan pengaruh nyata terhadap mortalitas rayap di laboratorium, sedangkan setelah 6 HSI tidak berbeda nyata secara statistik pada tingkat kepercayaan 95%. Kepadatan invidivu rayap tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap akibat serangan S. carpocapsae dalam ruang terbatas di laboratorium.

97,60 ab

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia No 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman. Epsky, N.D. & Capinera, J.L. 1988. Efficacy of the nematode steinernema feltiae against a subterranean termites, Reticulitermes tibialis (Isoptera: Rhinotermtidae). J. Economic Entomology 81: 1313-!322. Hatsukade, M. 1994. Control of insect pests with entomophatogenic nematodes. FFTC. Technical Bulletin 139. Kaya, H.K. 1996. Contempory issues in biological control with entomophatogenic nematodes. Di dalam Biological Pest Control in Systems of Integrated Pests Management. FTC Book Series No 47. Kondo, E. 1996. Infection mechanism and growth regulation in entomopathogenic nematodes. Di dalam Biological Pest Control in Systems of Integrated Pest Management. FFTC Book Series No 47: 28-39. Mauldin, J.K. & Beal, J.H. 1989. Entomogenous nematodes for control of suterranean termites, Reticulitermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae). J. Economic Entomology 82: 1638-1642. Mariau, D., Renoux, J. & Desmier de chenon, R. 1992. Coptotermes curvignathus olmgren, Rhinotermitidae, main pest of coconut planted on peat in Sumatera. Oleagineux 47: 562-568. Nandika, D. 1992. Rayap di Jakarta, Bandung, dan Batam. Pest control. Bulletin IPPHAMMI: 675-676. Poinar, G.O. & Thomas, G,M. 1982. Diagnostic Manual for the Identification of Insect Pathogens. University of California at Berkeley: Plenum Press. Prawirosoekarto, S., Sipayung, A. & Desmier de Chenon, R. 1991. Serangga Rayap pada Tanaman Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat.

tinggi menyebabkan habitatnya semakin padat sehingga nematoda mudah mendapatkan inangnya. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa semakin lama waktu infestasi nematoda, maka akan semakin banyak rayap yang mati. Kepadatan populasi rayap 20 dan 40 ekor menghasilkan mortalitas hampir mencapai 100%, sedangkan kepadatan yang lebih tinggi masing-masing 60 dan 80 ekor mencapai mortalitas masingmasing 95,56% dan 97,60%. Penyebab kematian rayap bukan saja disebabkan sifat nematoda yang patogenik tetapi juga karena sifat parasitik. Dalam tubuh nematoda terdapat bakteri yang hidup bersimbiosis dengan S. carpocapsae (Kaya 1996). Di samping sifat parasitik S. carpocapsae dengan menumpangkan hidupnya dan mengambil makanan dari tubuh rayap juga sifat patogenik dari bakteri Xenorhabdus nematophilus yang hidup bersimbiosis dan berada di dalam usus nematoda. Bakteri ini melepaskan toksin yang sangat beracun. Bila toksin ini dilepas ke dalam tubuh rayap, maka terjadil kematian pada rayap tersebut. Hidup rayap yang berkelompok dan membentuk koloni

You might also like