You are on page 1of 11

KERJA SAMA OPERASIONAL

Latar Belakang Pembangunan infrastruktur dalam era otonomi daerah telah menjadi tanggungjawab sepenuhnya Pemerintah Daerah. Daerah-daerah yang tidak memiliki sumber keuangan yang cukup untuk membangunnya harus mencari alternatif terbaik untuk memenuhi kebutuhan

masyarakatnya. Tidak semua kegiatan usaha bisa dilakukan sendiri, karena berbagai alasan, baik alasan tehnis produksi, alasan penguasaan pasar, maupun semata-mata alasan keuangan. Maka beberapa orang atau beberapa pihak bersama-sama mendirikan satu perusahaan, mungkin sama-sama berasal dari satu sekolah yang sama, mungkin juga pihakpihak yang berpatungan berasal dari negara-negara yang letaknya jauh satu sama lain. Dalam zaman globalisasi seperti sekarang, sudah biasa melihat perusahaan patungan dengan pemegang saham yang berasal dari banyak negara. Karena itu sudah menjadi makin susah untuk menyebut negara asal mana yang mendominasi satu perusahaan. Tentu saja suatu perusahaan patungan diharapkan dapat

menghimpun sinergi dari berbagai pihak, khususnya pihak yang menguasai pasar dan pihak yang menguasai tehnologi produksi. Uang itu sifatnya universil, bisa dicari dari mana saja dan dari siapa saja. Kalau

patungan didasarkan semata-mata atas dasar kemampuan finansial, maka seringkali tidak kokoh, karena pihak yang tidak mempunyai kemampuan finansial bisa memperolehnya dari lembaga keuangan lain. Teknologi produksi sering juga bisa dibeli dan relatif kurang berharga, dibanding dengan penguasaan pasar, kecuali kalau teknologi itu begitu istimewa dan tidak dapat dibeli. Karena itulah pihak yang menguasai pasar memang

mempunyai bargaining power dalam negosiasi dengan pihak lain, khususnya produsen dari negara lain, yang perlu melakukan penetrasi ke pasar tertentu. Dalam hal joint venture atau patungan, bargaining power ini merupakan faktor penting, kalau tidak boleh dikatakan faktor penentu. Bargaining power akan membuat satu pihak menjadi menonjol dan harus diikuti oleh pihak-pihak lain. Dengan demikian pihak yang dominan ini dapat menentukan apa yang diinginkannya, khususnya porsi pemegang saham mayoritas. Ini merupakan suatu hal yang penting, bukan hanya pada awalnya, melainkan juga di kemudian hari pada waktu mengambil keputusan-keputusan operasional, bahkan nanti lebih penting lagi pada waktu terjadi perselisihan antara para pemegang saham. Penentuan keputusan sanat tergantung pada komposisi saham. Karena itu pihak yang membeli satu perusahaan, selalu menginginkan porsi minimal 51%, agar ia dapat mengambil semua keputusan. Tidak perlu ia menguasai lebih dari 51%, karena dengan porsi sebesar itu saja, pada umumnya cukup untuk mengambil keputusan dalam rapat umum

pemegang saham, kecuali kalau anggaran dasar perusahaan menyatakan lain. Itulah sebabnya kalau ingin menguasai perusahaan dalam suatu joint venture atau patungan, sebenarnya 51% cukup, tetapi kalau karena satu dan lain hal, terpaksa menjadi pemegang saham minoritas, tidak ada gunanya memiliki saham 49%, karena jumlahnya sudah mendekati separuh, tetapi praktis tidak bisa mengambil keputusan apa-apa. Ada kecualinya, yaitu kalau anggaran dasar menyatakan, bahwa semua kputusan baru dapat diambil setelah mendapat persetujuan dari 2/3 atau pemegang saham. Maka praktis keputusan harus diambil dengan suara bulat. Segala hal ihwal tentang joint venture tidak hanya tertuang dalam anggaran dasar perusahaan, tetapi seringkali dibuat lebih khusus dalam perjanjian joint venture, yang dibuat mendahului pendirian perusahaan patungan. Tidak hanya susunan pemegang saham menjadi penting, tetapi susunan direksi dan komisaris. Karena itu dalam suatu perusahaan patungan, posisi Direktur Utama dan Komisaria Utama biasanya diperebutkan dan harus ada kesepakatan siapa atau yang mewakili siapa akan duduk dalam posisi-posisi penting itu. Meskipun susunan sudah disepakati, cara pengambilan keputusan juga harus ditentukan, misalnya kalau ada tiga direktur dan keputusan cukup diambil dengan suara terbanyak, maka dua direktur praktis dapat mengambil semua keputusan, padahal dua direktur kebetulan mewakili satu pemegang saham. Dengan demikian pemegang saham lain yang

hanya diwakili oleh satu direktur tidak pernah bisa mengambil keputusan penting dalam rapat direksi. Meskipun pada dasarnya direksi adalah pengelola perusahaan yang mestinya independen, mau tidak mau tidak bisa dihindarkan faktor siapa yang mengusulkan dan mengangkat direktur tertentu. Juga sama halnya dengan para anggota dewan komisaris, yang lazimnya terkotak-kotak mewakili pemegang saham. Memang perusahaan publik disyaratkan punya komisaris

independen dengan segala kriteria yang baik, tetapi seberapa jauh seseorang bisa menjadi independen, seberapa jauh ia dapat mencegah terjadinya blow up atau transfer pricing, sepanjang keputusan-keputusan itu telah dirancang oleh pemegang saham dan secara formal telah dilakukan dengan baik. Joint Venture memang selalu diwarnai kepentingankepentingan. Mestinya publik yang juga menjadi pemegang saham dalam perusahaan publik, juga harus terwakili kepentingannya, tidak hanya sekali setahun pada waktu menghadiri RUPS. Dalam praktek memang raksasa-raksasa yang menjadi pemegang saham utama adalah pihak-pihak yang menentukan praktis segalanya, semua kebijakan penting yang menyangkut apa saja. Tidak jarang perusahaan induk yang berada di luar negeri, masih minta laporan harian (bukan bulanan) dari pimpinan perusahaan yang mewakilinya disini. Memang tidak jarang semua keputusan disini dibuat oleh orangorang yang tidak berada disini dan belum tentu tahu benar keadaan disini,

tetapi karena mayoritas dari joint venture memang pihak asing, keadaan seperti itu harus diterima oleh minoritas. Dalam hal demikian sebenarnya lebih baik kalau perusahaan itu tidak menjadi joint venture, tetapi benarbenar 100% asing. Tidak jarang keharusan pemegang saham Indonesia yang sekian persen itu hanya sekedar prosedur, karena uangnyapun dipinjami oleh pihak asing. Maka yang demikian itu sebenarnya bukan joint venture dan tidak mungkin ada problem di kemudian hari, karena de facto pihak asing adalah pemegang saham tunggal. Bilamana susunan pemegang saham sudah mayoritas di satu tangan, problem praktis tak ada atau hampir tak ada. Yang susah adalah joint venture dengan susunan 50%-50%, maka keputusan tak dapat diambil, apalagi kalau tidak ada yang mau mengalah. Karena itu jangan pernah membuat joint venture dengan susunan sama seperti itu. Juga kesukaran banyak terjadi kalau pemegang saham terlalu banyak dan tidak ada yang benar-benar mayoritas, misalnya lima orang membuat joint venture dengan komposisi saham masing-masing 20%. Dalam perjalanan di kemudian hari, pasti ada yang mengoperkan porsi sahamnya ke pihak lain, karena ketidak puasan. Joint Venture atau patungan itu bukanlah sesuatu yang sederhana, meskipun pada awalnya semua nampak indah dan dimulai dengan pesta pembukaan yang mewah. Masing-masing harus mengenal pasangannya, bukan hanya dari segi kemampuan pemasaran, produksi atau

keuangannya, tetapi lebih penting lagi dati segi karakter, sama saja

dengan orang yang mau kawin. Ini penting untuk mencegah terjadinya perselisihan yang tidak perlu di kemudian hari. Perjanjian Kerjasama pada prinsipnya dibedakan kedalam 3 pola, yaitu: 1. Joint Venture (Usaha Bersama); Joint Venture adalah merupakan bentuk kerjasama umum, dapat dilakukan pada hampir semua bidang usaha, dimana para pihak masing-masing menyerahkan modal untuk membentuk badan usaha yang mengelola usaha bersama. Contohnya, para pihak bersepakat untuk mendirikan pabrik garment. Untuk mendirikan usaha tersebut masing-masing pihak menyerahkan sejumlah modal yang telah disepakati bersama, lalu mendirikan suatu pabrik. 2. Joint Operational (Kerjasama Operasional); dan Joint Operational adalah bentuk kerjasama khusus, dimana bidang usaha yang dilaksanakan merupakan bidang usaha yang : merupakan hak/ kewenangan salah satu pihak bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan sudah beroperasional, dimana pihak investor memberikan dana untuk melanjutkan/ mengembangkan usaha yang semula merupakan hak/ wewenang pihak lain, dengan membentuk badan usaha baru sebagai pelaksana kegiatan usaha.

Contoh: Kerjasama Operasional (KSO) antara PT. Telkom dengan PT. X untuk pengembangan jaringan pemasangan telepon baru. Untuk pelaksanaannya dibentuk PT. ABC yang sahamnya dimiliki PT. Telkom dan PT. X. 3. Single Operational (Operasional Sepihak) Single Operational merupakan bentuk kerjasama khusus dimana bidang usahanya berupa bangunan komersial. Salah satu pihak dalam kerjasama ini adalah pemilik yang menguasai tanah, sedangkan pihak lain investor, diijinkan untuk membangun suatu bangunan komersial diatas tanah milik yang dikuasai pihak lain, dan diberi hak untuk mengoperasionalkan bangunan komersial tersebut untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian fee tertentu selama jangka waktu operasional dan setelah jangka waktu operasional berakhir investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan komersial diatasnya kepada pihak pemilik/ yang menguasai tanah. Bentuk kerjasama ini lasimnya disebut : BOT (Build, Operate and Transfer), dan variannya adalah : BOOT (Build, Own, Operate and Transfer), BLT (Build, Lease and Transfer) dan BOO (Build, Own and Operate). Kontrak Build Operate Transfer (BOT) adalah suatu kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam membangun infrastruktur publik yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan

infrastruktur tanpa pengeluaran dana dari pemerintah. Penerapan

kontrak ini, pihak swasta membiayai, mendisain, membangun, mengoperasikan dan memelihara fasilitas infrastruktur dalam periode konsesi tertentu dan diakhiri dengan penyerahan fasilitas kepada pemerintah tanpa kompensasi apapun. Pihak swasta mendapatkan revenue dari pengoperasian fasilitas infrastruktur tersebut selama periode konsesi berlangsung.

Dasar Hukum Pasal 62 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG

BANGUNAN GEDUNG mengatur sebagai berikut : (1) Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui tahapan perencanaan teknis dan pelaksanaan beserta pengawasannya. (2) Pembangunan bangunan gedung wajib dilaksanakan secara tertib administratif dan teknis untuk menjamin keandalan bangunan gedung tanpa menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. (3) Pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti kaidah pembangunan yang berlaku, terukur, fungsional, prosedural, dengan mempertimbangkan adanya

keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap perkembangan arsitektur, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Adapun yang dimaksud dengan kaidah pembangunan yang berlaku dalam Pasal 62 ayat (3) PP diatas menunjuk bahwasanya dalam pembangunan bangunan gedung berlaku sistem pembangunan gedung dengan sistem seperti disain dan bangun (design build), bangun guna serah (build, operate, and transfer/BOT), dan bangun milik guna (build, own, operate/BOO). Apa yang dimaksud dengan sistem bangun guna serah (build, operate, and transfer/BOT)? sistem bangun guna serah atau yang lazimnya disebut BOT Agreement adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak, dimana pihak yang satu menyerahkan penggunaan tanah miliknya untuk di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua (investor), dan pihak kedua tersebut berhak mengoperasikan atau mengelola bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee (atau tanpa fee) kepada pemilik tanah, dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah beserta bangunan komersial di atasnya dalam keadaan dapat dan siap dioperasionalkan kepada pemilik tanah setelah jangka waktu operasional tersebut berakhir. Dalam praktik hukum konstruksi dikenal beberapa model BOT Agreement seperti BOOT (Build, Own, Operate and Transfer) dan atau BLT (Build, Lease and Transfer). Berdasarkan pengertiannya sebagaimana dimaksud di atas maka unsur-unsur perjanjian sistem bangun guna serah (build, operate, and transfer/BOT) atau BOT Agreement, adalah : a. Investor (penyandang dana)

b. Tanah c. Bangunan komersial d. Jangka waktu operasional e. Penyerahan (transfer) Berdasarkan unsur yang terkandung dalam perjanjian sistem bangun guna serah (build, operate, and transfer/BOT) atau BOT Agreement maka pada dasarnya ada pemisahan yang tegas antara Pemilik (yang menguasai tanah) dengan Investor (penyandang dana). Obyek dalam perjanjian sistem bangun guna serah (build, operate, and transfer/BOT) atau BOT Agreement kurang lebih : 1. Bidang usaha yang memerlukan suatu bangunan (dengan atau tanpa teknologi tertentu) yang merupakan komponen utama dalam usaha tersebut disebut sebagai bangunan komersial. 2. Bangunan komersial tersebut dapat dioperasikan dalam jangka waktu relatif lama, untuk tujuan : Pembangunan prasarana umum, seperti jalan tol,

pembangkit listrik, sistem telekomunikasi, pelabuhan peti kemas dan sebagainya. Pemangunan properti, seperti pusat perbelanjaan, hotel, apartemen dan sebagainya. Pembangunan prasarana produksi, seperti pembangunan pabrik untuk menghasilkan produk tertentu.

10

Perjanjian

sistem

bangun

guna

serah

(build,

operate,

and

transfer/BOT) atau BOT Agreement terjadi dalam hal, jika : 1. Ada pemilik tanah atau pihak yang menguasai tanah, ingin membangun suatu bangunan komersial di atas tanahnya tetapi tidak mempunyai biaya, dan ada investor yang bersedia

membiayai pembangunan tersebut. 2. Ada investor yang ingin membangun suatu bangunan komersial tetapi tidak mempunyai tanah yang tepat untuk berdirinya bangunan komersial tersebut, dan ada pemilik tanah yang bersedia menyerahkan tanahnya unt tempat berdirinya bangunan komersial tersebut. 3. Investor membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik pihak lain, dan setelah pembangunan selesai investor berhak mengoperasionalkannya untuk jangka waktu tertentu. Selama jangka waktu operasional, pihak pemilik tanah berhak atas fee tertentu. 4. Setelah jangka waktu operasional berakhir, investor wajib

mengembalikan tanah kepada pemiliknya beserta bangunan komersial di atasnya.

11

You might also like