You are on page 1of 73

AHLUSSUNAH KHALAF (AL-ASYARY DAN AL-MATURIDI)

Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf. Ahlusunnah (sunni) ada dua pengertian: 1. Secara umum, Sunni adalah lawan kelompok syiah 2. Secara khusus, Sunni adalah mazhab yang berada dalam barisan asyariyah dan merupakan lawan mutazilah. Dua aliran yang menentang ajaran-ajaran mutazilah. Harun Nasution dengan meminjam keterangan Tasi Kurbazadah, menjelaskan bahwa aliran ahlu sunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Hasan Al-asyari sekitar tahun 300H.

A. AL-ASYARI 1. Latar Belakang Kemunculan Al-Asyari Nama lengkap Al-asyari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-asyari. Ia lahir di Bashrah pada tahun 260H/875M. Ketika berusia 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad dan wafat di sana pada tahun 324H/935M. Ayah al-asyari adalah seorang yang berfaham ahlusunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-asyari masih kecil. Sebelum wafat ia berwasiat kepada sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As- saji agar mendidik Al-asyari. Berkat didikan ayah tirinya, Al-asyari kemudian menjadi tokoh mutazilah. Menurut Ibnu asakir, Al-asyari meninggalkan faham mutazilah karena ia telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali yaitu pada malam ke10, 20 dan 30 bulan Ramadhan. Dalam mimpinya Rasulullah mengingatkan agar meninggalkan faham mutazilah dan beralih kepada faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

2. Doktrin-doktrin Teologi Al-asyari Corak pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M). Pemikiran-pemikiran Al-asyari: a. Tuhan dan sifat-sifatnya Al-asyari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Kelompok mutazilah berpendapat bahwa sifatsifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya. Al-asyari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. b. Kebebasan dalam berkehendak (free will) Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni jabariah dan fatalistic dan penganut faham pradterminisme semata-mata dan mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-asyari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia). c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk Walaupun Al-asyari dan orang-orang mutazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asyari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal. d. Qadimnya Al-Qur'an

Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-asyari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. e. Melihat Allah Al-asyari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ruyatullah (melihat Allah) di akherat. Al-asyari yakin bahwa Allah dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya. f. Keadilan Pada dasarnya Al-asyari dan mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Al-asyari tidak sependapat dengan mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlaq. g. Kedudukan orang berdosa Menurut Al-asyari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.

B. AL-MATURIDI 1. Latar Belakan Kemunculan Al-Maturidi Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana

di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Tawil Al-Qur'an Makhas Asy-SyaraI, Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-aqaid dan syarh Fiqh Al-akbar. 2. Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi a. Akal dan wahyu Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asyari. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut AlMaturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya. Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu: 1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu; 2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu; 3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu. Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asyari. b. Perbuatan manusia Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. c. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri. d. Sifat Tuhan Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. e. Melihat Tuhan Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia. f. Kalam Tuhan Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara

dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). g. Perbuatan manusia Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. h. Pengutusan Rasul Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya. i. Pelaku dosa besar Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat.

KESIMPULAN

Nama lengkap Al-Asyari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail in Ishaqi bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bi Abi Musa Al-Asyari, beliau ditinggalkan oleh ayahnya ketika masih kecil. Ayah beliau yaitu seorang yang berfaham ahlusunnah dan ahli hadits. Sebelum ayah beliau wafat, ayak beliau berwasiat kepada Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asyari. Berkat didikannya, Al-Asyari kemudian menjadi tokoh Mutazilah, tapi kemudian ia keluar dari Mutazilah dan berfaham ahlusunnah Pemikiran-pemikiran Al-Asyari diantaranya Tuhan dan sifat-sifatnya, kebebasan dalam berkehendak, akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk, qodimnya AlQur'an, melihat Allah, keadilan dan kedudukan orang berdosa.

Al-Maturidi dilahirkan disebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M. kariri pendidikan beliau lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih Doktrin-doktrin teologi al-Maturidi diantaranya akal dan wahyu, perbuatan manusia, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan, melihat Tuhan kalam Tuhan, perbuatan manusia, pengutusan Rasul dan dosa besar.

PEMANTAPAN AQIDAH ASYARIYAH DAN MATURIDIYAH A. Sejarah Lahirnya Asyariyah dan Maturidiyah a. Sejarah Lahirnya Asyariyah Aliran Al-Asyariyah dibentuk oleh Abu Al-Hasan Ali Ibn Ismail Al-Asyari yang lahir di Basrah pada tahun 873 Masehi dan wafat pada tahun 935 Masehi. Beliau masih keturunan Abu Musa Al-Asyari, seorang duta perantara dalam perseteruan pasukan Ali dan Muawiyah. Sejak kecil ia berguru pada Syekh Al-Jubbai seorang tokoh Mutazilah yang sangat terkenal. Ia adalah murid yang cerdas dan ia menjadi kebanggaan gurunya dan seringkali ia mewakili gurunya untuk acara bedah ilmu dan diskusi. Dengan ilmu kemutazilahannya, ia gencar menyebar luaskan paham mutazilah dengan karya-karya tulisnya. Karena tidak sepaham dengan gurunya dan ketidakpuasannya terhadap aliran Mutazilah, walaupun ia sudah menganut paham Mutazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah. Ketidak-puasan Al-Asyari terhadap aliran Mutazilah diantaranya adalah: 1. Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asyari yang mendorongnya untuk keluar dari paham Mutazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafii yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mutazilah, misalnya Syafii berpendapat bahwa Al-Quran itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Alloh dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mutazilah, bahwa Al-Quran itu bukan qadim akan tetapi hadits (baru) dan diciptakan Alloh; dan Alloh bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata. 2. Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Jubai, menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan, misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.

Puncak perselisihan antara Imam Al Asyari dan Mutazilah dalam masalah keadilan Alloh adalah ketika Mutazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Imam Al Asyari, bahwa jika keadilan mencakup ikhtiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Alloh dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Alloh (Tauhid fil Afal) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Alloh itu sendiri. Karena ikhtiar menurut Mutazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Dzat-Nya. Dalam pandangan Imam Al Asyari, Alloh itu adil, sedangkan pandangan Mutazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk menghukumi Alloh, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya wajib bagi Allah. Imam Al Asyari meninggalkan paham Mutazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Khalifah Al Mutawakkil membatalkan putusan Khalifah Al Mamun tentang penerimaan aliran Mutazilah sebagai madzhab Negara, kedudukan kaum Mutazilah mulai menurun, apalagi setelah Khalifah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Imam Ahmad bin Hanbal, lawan Mutazilah terbesar waktu itu. Dalam suasana demikianlah Imam Al-Asyari keluar dari golongan Mutazilah dan menyusun teologi yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada Al Quran dan Al Hadits. Selain karena faktor di atas, Syekh Abu Hasan Al Asyari meninggalkan Mutazilah karena beliau bermimpi bertemu Rasulullah saw. Dalam mimpi tersebut Rasulullah berpesan kepada Syekh Abu Hasan Al Asyari untuk menolong pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari Rasul saw.. Setelah melewati perjalanan panjang dalam mengartikan mimpi tersebut, akhirnya Syekh Abu Hasan Al Asyari berkata: Selain kebenaran pasti hanya kesesatan. Lalu beliau mulai membela hadits-hadits yang berkaitan dengan ruyah (melihat Alloh di akhirat), syafaat, dan lain-lain. Ternyata

Syekh Abu Hasan Al Asyari mampu memaparkan kaian-kajian dan dalil-dalil yang belum pernah dipelajarinya dari seorang guru, tidak dapat dibantah oleh lawan, dan belum pernah dibacanya dalam suatu kitab. Demikian sebagaimana dinukil dari kitab Tabyin Kidzb al Muftari, Wafayat al Ayan, dan Thabaqat al Syafiyah al Kubro. Diantara murid-murid Al Asyari adalah al Imam al Mujahid, Al Imam Abu Zayd al Marwazi, Al Imam Ibn Khafif al Dhabbi, Al Hafidz Abu Bakar Al Ismaili, Al Imam Abu Hasan Al Bahili, Al Imam Bundar al Syirazi, Al Imam Ali bin Mahdi At Thabari, Al Imam Abu Usain bin Samun, Al Imam Abu Sahal al Shuluki, Al Imam Abu Bakar al Qaffal, dan lain-lain. Madzhab Al Asyari tersebar, selain atas jasa murid-murid Syekh Abu Hasan Al Asyari, juga atas peran para penguasa, diantaranya: Perdana Menteri Nizham al Mulk (perdana menteri Kabilah Bani Saljuq yang datang menggantikan Kabilah Fatimiyah yang bermadzhab Syiah Ismailiyah), Al Mahdi bin Tumart (perintis Kabilah Al Muwahidi), Sultan Nuruddin Mahmud (menyandang gelar al Malik al Adil: Raja yang Adil; penguasa daratan Syam, semenanjung Arabia, dan Mesir selama dua puluh tahun), Sultan Shalahuddin al Ayyubi (pahlawan Perang Salib, menyandang gelar al Malik al Nashir: Raja Penolong), dan lain-lain. Sedangkan tokoh-tokoh Madzhab Al Asyari adalah Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani, Abu Bakar bin Furak, Abu Ishaq al Asfarayini, Abu Manshur al Baghdadi, Abu Qasim al Qusyairi, Abu Al Mudzaffar al Asfaraniyi, Al Imam Hujatul Islam Al Ghazali, Abu al Fath al Syahrastani, Fakhruddin al Razi, Saifuddin al Amidi, Izzuddin bin Abdis Salam (Al Izz), Taqyuddin al Subki, Adhududdin al Iji, Muhammad al Sanusi, Ibrahim al Laqqani, Ahmad al Dardir, Muhammad ad Dasuqi, Ahmad al Marzuqi, Ibrahim al Bajuri, Thahir al Jazari, Walisongo, Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Muhammad Nawawi Al Azmatkhan Al Bantani (Ulama Banten yang menyandang gelar Syekh Ulama Hijaz Makkah-Madinah), Syekh Ihsan bin Dahlan al Kediri, Syekh Yasin Al Hasanain Al Fadani (Padang), Al Palembangi, Hadhratus Syekh KH Muhammad Hasyim Asyari Al Azmatkhan, dan lain-lain.

b. Sejarah Lahirnya Maturidiyah Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran Al-Asyariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran dari aliran Mutazilah. Pendiri dari aliran ini adalah Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi yang lahir di Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal pada tahun 944 Masehi. Ia adalah pengikut Al Imam Abu Hanifah dan paham-pahamnya mempunyai banyak persamaan dengan pahampaham yang diajarkan oleh Abu Hanifah. Aliran teologi ini dikenal dengan nama AlMaturidiyah, yang sesuai dengan nama pendirinya yaitu Al-Maturidi. B. Memahami Arti 73 Firqoh Perdebatan firqoh (sekte) bagaikan sungai yang tak pernah kering, akan terus mengalir. Setiap firqoh mengklaim bahwa hanya pemahaman dirinyalah yang benar dan sesuai dengan al Quran dan al Hadits. Yang jelas, mereka semua ingin masuk surga. Keadaan semacam ini telah dibaca oleh nabi melalui sabda langit, bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan. Sabda Nabi adalah wahyu Ilahi yang pasti terjadi. Dari Muawiyah bin Abi Sufyan, Baginda Nabi Muhammad saw. bersabda: Sesungguhnya orang sebelum kalian dari pengikut Ahli Kitab terpecah belah menjadi 72 golongan. Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. 72 golongan akan masuk neraka, dan satu golongan yang masuk surga, yaitu golongan al jamaah. HR Abu Dawud (3981), ad Darimi (2/241), Ahmad (16329), dan al Hakim (407) yang menilainya shohih. Al Hafidz Ibn Hajar menilai hadits ini sebagai hadits hasan. Dalam hadits digambarkan bahwa 72 golongan umat Nabi Muhammad saw. akan celaka. Apakah ini berarti sebagian besar (mayoritas) umat Nabi akan masuk neraka? Atau kah minoritas saja?

Pendapat pertama mengatakan bahwa mayoritas umat Nabi Muhammad saw. akan sesat dan celaka, sesuai tekstual hadits. Kemudian apakah pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits: Umatku adalah umat yang dikasihi, diampuni, dan yang diterima taubatnya? Ulama yang konsisten dalam pendapat ini memberi jawaban: Umat yang celaka adalah umat dawah, bukan umat ijabah. Umat dawah adalah umat yang telah diseru oleh Rasul saw. untuk beriman kepada Alloh dan mengakui KeesaanNya. Umat dawah inilah yang akan terberai menjadi beberapa firqoh. Adapun umat ijabah adalah firqoh an Najiyah, yaitu orang-orang yang meyakini ajaran-ajaran yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.. Pendapat kedua mengatakan bahwa golongan yang akan celaka hanyalah golongan minoritas. Mereka berargumen bahwa penyebutan 72 golongan tidaklah untuk menjelaskan bahwa golongan yang celaka adalah golongan mayoritas, melainkan untuk menjelaskan begitu banyaknya jalan menuju kesesatan, dan hanya satu jalan menuju kebenaran. Pendapat ini seolah-olah mengatakan bahwa tidak ada korelasi integral antara banyaknya jalan kesesatan dengan keselamatan mayoritas umat Nabi Muhammad saw.. Pendapat ini didukung oleh firman Alloh swt.: Dan bahwa (yang Aku perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan (lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. QS al Anam: 153. Juga hadits Nabi Muhammad saw.: Umatku adalah umat yang dikasihi, mereka tidak disiksa di akhirat. Mereka hanyalah akan mendapat siksa di dunia, yakni dengan timbulnya banyak fitnah, gempa, peperangan, dan bencana seolah ingin mengatakan bahwa mayoritas umat Nabi Muhammad saw. bukanlah umat yang celaka, karena mereka telah merasakan pahitnya fitnah, peperangan, dan sebagainya. Hadits yang lain mengatakan: Sesungguhnya umatku tidak akan

bersepakat pada kesesatan. HR Ibn Majah, Hadits Shohih. Agaknya pendapat kedua inilah yang mendekati kebenaran. Wallohu alam. C. Sawad al Adzam, Firqoh an Najiyah, dan Madzhab Asyariyah dan Maturidiyah Hadits perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan di atas setidaknya memberi tiga pelajaran, yaitu (1) umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan; (2) hanya satu golongan yang masuk surga; dan (3) golongan tersebut adalah al jamaah. Menurut mayoritas ulama sejak zaman salaf yang sholih, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah kelompok yang mengikuti ajaran Islam yamg murni dan asli seperti yang diajarkan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabatnya. Ahlus Sunnah wal Jamaah merupakan kelangsungan alamiah dari perjalanan Islam yang masih asli dan murni, yang pada gilirannya layak menjadi golongan yang selamat (firqoh an najiyah). Perlu diketahui, tidak semua aliran dalam Islam mengklaim dirinya atau diakui sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kelompok Syiah, Khawarij, Mutazilah, Zaidiyah, Ibadhiyah, dll. tidak mau dikatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam perjalanan sejarah, hanya dua aliran yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu aliran yang mengikuti madzhab Al Asyari dan Al Maturidi, dan aliran yang mengikuti paradigma pemikiran Ibn Taimiyah al Harrani. Jika terjadi konflik pemikiran dan ideologis antara dua kutub tersebut (Asyariyah dan Maturidiyah; dan paradigma Ibn Taimiyah), selalu dimenangkan oleh aliran Asyariyah dan Maturidiyah. Dari sini muncul pertanyaan, adakah dalil Al Quran dan As Sunnah yang mengisyaratkan bahwa madzhab Asyariyah dan Maturidiyah layak mewakili Ahlus Sunnah wal Jamaah? Insya Alloh akan kami jelaskan berikut ini.

Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Madzhab Al Asyaari dan Al Maturidi Al Hafidz Az Zabidi dalam kitabnya Ithaf as Sadat al Muttaqin mengatakan: Jika Ahlus Sunnah wal Jamaah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut madzhab al Asyari dan al Maturidi. Pernyataan Al Hafidz Az Zabidi tersebut yang senada dengan pendapat mayoritas ulama Islam tersebut menafikan suatu relita tentang adanya kelompok lain yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Selanjutnya akan dijelaskan dalil-dalil secara ijmali (global; dalil secara rinci tidak dapat dimuat dalam tulisan kecil ini) dari nash Al Quran dan As Sunnah yang membuktikan bahwa Asyariyah dan Maturidiyah lah yang layak menyandang gelar al firqoh an najiyah. a. Mengikuti al Jamaah Dari Muawiyah bin Abi Sufyan, Baginda Nabi Muhammad saw. bersabda: Sesungguhnya orang sebelum kalian dari pengikut Ahli Kitab terpecah belah menjadi 72 golongan. Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. 72 golongan akan masuk neraka, dan satu golongan yang masuk surga, yaitu golongan jamaah. Dari Umar bin Khattab ra., Rasulullah saw. bersabda: Ikutilah kelompok yang banyak dan jauhi perpecahan karena setan bersama orang yang sendirian. Setan akan lebih jauh dari orang yang berduaan. Barangsiapa yang menginginkan tempat yang lapang di surga maka ikutilah al jamaah. HR Tirmidzi, an Nasai, Ahmad. At Tirmidzi menilainya Hadits Hasan Shohih. Al Hakim menilainya Hadits Shohih. Dua hadits tersebut di atas memberi penjelasan bahwa golongan yang selamat adalah al jamaah. Sekarang timbul pertanyaan, siapakah al jamaah? Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah tersebut, namun perbedaan ini tidak bersifat kontradiktif (tadhad), akan tetapi keragaman (tanawwu). Berikut akan dijelaskan beberapa pandangan ulama tentang maksud dari al jamaah.

1. Disebut aliran al jamaah. Al Imam Abu Al Muzhaffar Al Asfarayini berkata dalam kitabnya At Tabshir fid Din: Diantara ciri khas Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah diterangkan dalam riwayat lain, bahwa Nabi saw. pernah ditanya tentang kelompok yang selamat (firqoh an najiyah), lalu beliau menjawab: Kelompok yang selamat adalah al jamaah. Ini adalah identitas yang khusus pada kami (madzhab Al Asyari dan Al Maturidi), karena semua orang alim dan yang awam dari berbagai golongan menamakan mereka dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Nama al jamaah tersebut tidak mencakup golongan Khawarij karena mereka tidak berpandangan perlunya menjaga kebersamaan. Tidak mencakup golongan Rafidhah (Syiah) karena mereka juga tidak berpandangan perlunya menjaga kebersamaan. Dan tidak pula mencakup Mutazilah karena mereka tidak mengakui ijma sebagai dalil. Sifat kolektivitas yang disebutkan Rasululloh saw. ini tidak layak bagi mereka. 2. Mengikuti ijma Ulama. Kata al jamaah tersebut juga mengacu terhadap golongan yang menjadikan ijma sebagai hujjah dan dalil dalam beragama. Dalilnya adalah firman Alloh dalam Al Quran S. an Nisa: 115: Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mumin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Juga hadits Nabi saw.: Sesungguhnya Alloh tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan. Pertolongan Alloh selalu bersama jamaah. Dan barangsiapa yang mengucilkan diri dari jamaah, maka ia mengucilkan dirinya ke neraka. Sikap mengikuti ijma ulama merupakan realita dalam madzhab Al Asyari dan Al Maturidi, karena dalam menetapkan hukum-hukum agama para ulama madzhab Al Asyari dan Al Maturidi menggunakan dalil Al Quran, Al Hadits, ijma, dan qiyas

yang sempurna. Oleh sebab itu madzhab Al Asyari dan Al Maturidi layak menyandang Ahlus Sunnah wal Jamaah. 3. Memelihara kebersamaan dan kolektivitas. Kata al jamaah diatas juga mengacu pada kebersamaan dan kolektivitas, sehingga kata al jamaah menjadi identitas golongan yang selalu menjaga sikap kebersamaan, kerukunan, dan kolektivitas. Hal ini terwujud dalam realita bahwa pengikut golongan Al Asyari dan Al Maturidi menjauhi adanya perpecahan dengan meninggalkan sikap saling mengkafirkan, membidahkan, mensyirikkan, dan memfasikkan meskipun di antara mereka terjadi perbedaan pendapat. Dalam Al Quran dijelaskan: Sesungguhnya orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Alloh. Kemudian Alloh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. QS Al Anam: 159 Ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang yang membuat perpecahan dalam agama dan menciptakan golongan-golongan adalah mereka yang telah meninggalkan jalan yang benar. Dalam realita, Ahlus Sunnah wal Jamaah selalu menjaga kebersamaan dan kolektivitas. Perbedaan pendapat dalam masalah furu diantara mereka tidak sampai menimbulkan perpecahan (tafarruq) dan menyebabkan mereka terkotak-kotak dalam beberapa golongan. Hal ini berbeda dengan golongan sempalan yang lain dimana perbedaan pendapat diantara mereka tidak jarang menimbulkan perpecahan dan sikap saling mengkafirkan, membidahkan, mensyirikkan, dan memfasikkan. Al Imam Abdul Qahir al Baghdadi dalam kitabnya al Farqu Bayna al Firaq menuturkan: Pasal Kelima, tentang penjagaan Alloh terhadap Ahlus Sunnah dari saling mengkafirkan antara sesama mereka. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan antara sesama mereka. Di antara mereka tidak ada perselisihan pendapat yang membawa

pada pemutusan hubungan dan pengkafiran. Oleh karena itu mereka memang golongan al jamaah (selalu menjaga kebersamaan dan keharmonisan) yang melaksanakan kebenaran. Alloh selalu menjaga kebenaran dan pengikutnya, sehingga mereka tidak terjerumus dalam ketidakharmonisan dan pertentangan. Dan tidak ada satu golongan di antara golongan-golongan sempalan kecuali diantara mereka terjadi sikap saling mengkafirkan dan memutus hubungan, seperti aliran Khawarij, Syiah, dan Qadariyah. Sehingga pernah suatu ketika tujuh orang dari mereka berkumpul dalam suatu majlis lalu mereka berbeda pendapat dan mereka berpisah dengan saling mengkafirkan antara satu dangan yang lain. Mereka tidak ubahnya orang Yahudi dan Nasrani pada saat mengkafirkan. 4. Golongan mayoritas (Sawad al Adzam). Kata al jamaah mengacu pada arti sawad al adzam, dalam artian Ahlus Sunnah wal Jamaah diikuti oleh mayoritas Muslimin. Syaikh Abdulloh al Harari dalam kitabnya Idzhar al Aqidah al Sunniyyah bi Syarh al Aqidah Thahawiyah berkata: Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mayoritas umat Muhammad saw. Mereka adalah pengikut sahabat dan golongan yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip aqidah sedangkan al jamaah adalah mayoritas terbesar (sawad al adzam) Muslimin. Pengambilan istilah sawad al adzam adalah dari hadits Shohih Nabi saw.: Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (sawad al adzam). HR Ibn Majah, Abd bin Hamid, at Tabrani, al Lalikai, Abu Nuaim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih. Hadits lain mengatakan: Tiga perkara yang dapat membersihkan hati seorang mumin dari sifat dendam dan kejelekan, yaitu tulus amal, berbuat baik kepada penguasa, dan selalu mengikuti kebanyakan Muslimin (al jamaah), karena doa

mereka akan selalu mengikutinya. HR at Tirmidzi, Ahmad, al Hakim. Hadits Shohih. Kedua hadits tersebut di atas mengindikasikan bahwa golongan yang selamat adalah golongan mayoritas (sawad al adzam). Pengertian ini sesuai dengan Asyariyah dam Maturidiyah, karena dalam realita yang ada ajarannya diikuti oleh mayoritas Muslimin di dunia, dari dulu hingga kini. Al Hafizh Murtadla Az Zabidi dalam al Ithaf mengatakan: Pasal Kedua: Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jamaah maka yang dimaksud adalah al Asyariyyah dan al Maturidiyyah. Mereka adalah ratusan juta umat Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para pengikut madzhab Syafii, para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala al Hanabilah). Sedangkan Rasulullah saw.telah memberitahukan bahwa mayoritas umatnya tidak akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka. Sehingga natijah (buah pikiran) dari pengertian ini adalah keharusan mengikuti Asyariyah dan Maturidiyah, karena mengikutinya berarti berada dalam mainstream mayoritas Muslimin, dan keluar dari madzhab ini berarti keluar dari mainstream mayoritas Muslimin. Pendapat lain mengatakan bahwa pengertian sawad al adzam adalah mayoritas ulama yang memiliki ilmu yang mendalam dan pendapatnya diikuti (mutabar). Tentu saja pendapat ini juga sesuai dengan Asyariyah dan Maturidiyah karena madzhab Asyariyah dan Maturidiyah diikuti oleh mayoritas ulama ahli fiqh, ahli hadits, ahli tafsir, ahli tasawuf, dan lain-lain, seperti Sultan al Fatih II bin Sultan Murad I, al Baqillani, Ibn Furak, al Baihaqi, al Asfarayini, al Syirazi, al Juawaini, al Qusyairi, al Baghdadi, al Ghazali, al Razi, al Amidi, al Izz bin Abdis Salam, Badrudin bin Jamaah, al Subki, al Bukhori, Ibn Majah, Shalahuddin al Ayyubi, al Syahratstani, dan lain-lain.

Hadits-hadits ini agaknya tidak tepat sekali jika dialamatkan pada aliran sempalansempalan, karena kelompok mereka minoritas dan diikuti oleh sebagian kecil Muslimin. b. Mengikuti Nabi Muhammad saw. dan Sahabat-Sahabat yang Mulia Dari Abdulloh bin Amr ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya umat Bani Israil terpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat. Para sahabat bertanya: Siapakah satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku. HR at Tirmidzi, Hadits Hasan Gharib. Al Hafidz Az Zabidi berkata: Hendaknya diketahui bahwa masing-masing dari al Imam Abu Hasan al Asyari dan al Imam Abu Manshur al Maturidi semoga Alloh meridlai keduanya dan membalas kebaikan mereka kepada Islam tidak membuat pendapat baru dan tidak menciptakan madzhab baru dalam Islam. Mereka hanya menetapkan pendapat-pendapat ulama salaf dan membela ajaran sahabat Rasulullah saw. Mereka (Imam Abu Hasan al Asyari dan al Imam Abu Manshur al Maturidi) telah berdebat dengan kalangan ahli bidah dan kesesatan sampai mereka (ahli bidah) melarikan diri. Dalam realita yang ada, pengikut madzhab Asyariyah dan Maturidiyah (Ahlus Sunnah wal Jamaah) merupakan golongan yang selalu konsisten mengikuti ajaran Nabi saw. dan ajaran sahabatnya. Hal tersebut berbeda denga aliran-aliran sempalan seperti Syiah, Mutazilah, Khawarij, Jahmiyah, Najjariyah, Musyabbihah, Ghulat, dan Hululiyah. c. Pengayom dan Rujukan Umat dalam Urusan Agama Hadlratus Syaikh KH M. Hasyim Asyari Al Azmatkhan menegaskan dalam Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah: Al Syihab Al Khafaji berkata dalam kitab Nasim al Riyadl : Golongan yang selamat adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah . Dalam hasyiyah (catatan pinggir) al Syanawi atas

kitab Mukhtashor Ibn Abi Jamroh terdapat keterangan: Mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) adalah Abu Hasan al Asyari dan pengikutnya yang merupakan Ahlus Sunnah dan pemimpin para ulama; karena Alloh swt. menjadikan mereka sebagi hujjah atas makhluk-Nya, dan hanya mereka yang menjadi rujukan kaum Muslimin dalam urusan agama. Mereka yang dimaksud dengan sabda Nabi saw.: Sesungguhnya Alloh tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan. Penjelasan KH Hasyim Asyari tersebut sejalan dengan hadits Nabi saw.: Ilmu agama ini akan dibawa/disampaikan oleh orang-orang yang adil dalam setiap generasi. Mereka akan membersihkan ilmu agama dari distorsi (tahrif = pemalsuan) kelompok ekstrim, kebohongan mereka yang bermaksud jahat, dan penafsiran (tawil) yang bodoh. HR Ibn Adi, al Baihaqi, Abu Nuain, Ibn Asakir. Hadits Shohih. Menurut Abu al Walid Ibn Rusyd al Qurthubi dalam kitab al Fatawa-nya, yang dimaksud dengan orang-orang yang adil dalam hadits tersebut adalah para ulama yang mengikuti madzhab Al Asyari, seperti al Imam al Baqillani, Abu Bakar bin Furak, Abu al Maali, Imam Haramain, al Ghazali ,dan lain-lain. Jika kita mengkaji peradaban Islam, para pakar terkemuka ilmu-ilmu agama Islam dalam setiap generasi yang menjadi rujukan mayoritas kaum Muslimin hingga kini adalah ulama pengikut madzhab Asyariyah dan Maturidiyah. Di sini akan kami sajikan sedikit nama-nama ulama tersebut. i. Bidang Tafsir Al Quran

Al Imam Abu Laits as Samarqandi, Al Imam Abu Hasan an Naisaburi, Al Imam al Hafidz Muhyissunnah al Baghawi, Al Hafidz Ibn Jauzi, Al Imam Abu Abdillah Muhammad al Qurthubi, Al Imam Nashiruddin Abu Saad al Baidlawi, Al Imam Abul Barakat Abdulloh al Nasafi, Al Imam al Hafidz Abul Fida Ismail ibn Katsir ad Dimasyqi, Al Hafidz Jalaluddin as Suyuthi, Al Imam al Khatib as Syarbini, Al Imam Ahmad al Shawi al Maliki, Syaikh Wahbah az Zuhaili al Syafii, dan masih banyak lagi.

ii.

Bidang Ilmu Hadits

Al Hafidz Abu Sulaiman al Khattabi al Busti, Al Hafidz Abul Walid Sulaiman al Baji al Maliki, Al Hafidz Ibn Abdil Barr al Qurthubi, Al Hafidz Ibn Arabi, Al Hafidz Qodli Iyadl, Al Hafidz Al Nawawi, Al Hafidz Ibn Hajar al Asqolani, Al Hafidz Badrudin Mahmud al Aini, Al Imam Muhammad al Sanusi, Al Hafidz Abu Yahya Zakariya al Anshari, Al Hafidz Muhammad Abdurrauf al Munawi, Al Hafidz Al Muhaddits Al Habib Muhammad bin Alwi al Maliki Al Hasani (Makkah Al Mukarromah), Al Hafidz Al Muhaddits Al Habib Salim Al-Bin Jindan Al-Bin Syekh Abu Bakar (Tangerang), Al Hafidz Al Habib Umar Al-Bin Hafidz Al-Bin Syekh Abu Bakar (Tarim, Hadramaut), dll. iii. Bidang Ilmu Fiqh

Para ahli fiqh Madzab Syafii, Maliki, Hanafi, dan Hambali. iv. Bidang Ilmu Ushul Fiqh

Imam al Haramain, Syaikh Abu Ishaq al Syirazi, al Ghazali, Saifuddin al Amidi, Al Imam Fakhruddin al Razi, Al Imam Nashiruddin al Baidlawi, Ibn al Hajib, Al Imam Tajuddin Abdul Wahhab al Subki, Al Imam Jamaluddin Abu Muhammad al Isnawi, Al Imam as Syathibi, Al Imam az Zarkasyi, dan masih banyak lagi. v. Bidang Sirah Nabi dan Maghazi

Al Imam al Hafidz Abu Nuaim al Ashbihani, Al Imam al Baihaqi, Al Imam al Hafidz Qodli Iyadl, Al Imam Syiahbuddin al Qasthalani, Al Imam Ibn al Jauzi, Al Imam Taqyuddin Ibn Abbas Ahmad al Maqrizi, Al Imam al Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al Makki, Al Imam Abdurrahman ad Dibai, Al Barzanji, Al Imam Al Habib Ali bin Muhammad al Habsyi, Al Hafidz Al Habib Umar Al-Bin Hafidz Al-Bin Syekh Abu Bakar, dll.. Dan masih banyak Imam-Imam terkemuka madzhab Asyari dan Maturidi dari bidang tasawuf, sejarah Islam, biografi ulama, ilmu gramatika dan bahasa, dan lain-lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

d. Golongan yang Mendapat Hidayah Firman Alloh: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari ridha) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Alloh benarbenar beserta orang-orang yang berbuat baik. QS al Ankabut: 69. Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang berjihad dan mencari keridloan Alloh, maka Alloh akan memberi hidayah dan petunjuk. Juga Alloh akan memberinya maunah di dunai dan pahala di akhirat. Dalam kitab al Milal wan Nihal berkaitan dengan hal tersebut, jihad dalam agama ada dua macam. Pertama, jihad dalam perdebatan ilmiah menghadapi orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dengan tujuan menegakkan kebenaran dan mengalahkan kebatilan. Perdebatan ini selalu dimenangkan oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah menyangkut ilmu fiqh, teologi, ushul fiqh, dan lain-lain, baik perdebatan secara dialogis dalam forum terbuka, maupun perdebatan di atas kertas melalui karya tulis ilmiah. Pada abad pertengahan, para ulama madzhab Asyari dan Maturidi mendirikan forumforum perdebatan (majlis munazharah) secara terbuka. Hal ini tidak pernah berani dilakukan oleh golongan lain. Dalam perdebatan ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah selalu memiliki nyali dan meraih kemenangan. Sedangkan ahli bidah kebanyakan mereka tidak memiliki nyali dan merasa enggan melayani debat terbuka dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana diungkapkan oleh as Syatibi dalam kitabnya al Itisham. Dan apabila mereka berani, mereka selalu dikalahkan seperti yang dialami oleh orang-orang Khawarij dalam perdebatan menghadapi Ibn Abbas. Kedua, jihad dengan peperangan menghadapi musuh-musuh agama yang ada di berbagai perbatasan negara-negara Islam. Dalam hal ini, peran Ahlus Sunnah wal Jamaah sangat dominan. Sebelum abad pertengahan, daerah-daerah perbatasan di Romawi, Jazirah, Syam, Azerbaijan, Armenia, dan Kaukasus dijaga oleh kaum Muslimin Ahli Hadits dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Perbatasan Afrika, Andalusia, samudera

Atlantik, dan Yaman juga dijaga oleh Muslimin Ahli Hadits. Sedangkan perbatasan seberang sungai Amudaria, yang menghadang Bangsa Turki dan Cina dijaga oleh dua golongan, yaitu pengikut madzhab Syafii dan madzhab Hanafi. Adapun penyebaran Islam di daerah pedalaman Afrika dilakukan oleh kaum Sufi yang bermadzhab Asyari.Sedangkan pengikut aliran-aliran sempalan tidak memiliki peran dalam berjihad untuk menghadang serangan musuh yang berbeda agama. Setelah abad pertengahan, aktivitas jihad dalam rangka penyebaran Islam di wilayah Eropa Timur dilakukan oleh Muslimin yang bermadzhab Asyari dan Maturidi dibawah komando Kabilah Utsmani di Turki. Penyebaran Islam di daerah-daerah timur, seperti daratan India hingga Asia Tenggara yang meliputi Indonesia dilakukan oleh dai-dai yang mengikuti madzhab Syafii dan Asyari. Kebanyakan dari mereka adalah itrah (keturunan) suci dari Rasulullah saw. dari berbagai kabilah, seperti Kabilah Al Azmatkhan/Al Khan (Para Walisongo; Kerajaan Cirebon: Sultan Sunan Gunung Jati; Kerajaan Ternate), Jamalullail dan Al Gadri/Al Qadri/Al Kadri (Kerajaan Pontianak), Al Habsyi, Al Jufri (Sayyid Idrus bin Salim Al Jufri: Pendiri Yayasan Pendidikan Al Khoirot di Indonesia bagian timur), Alaydrus/Al Idrus/Uthairus, Assegaf, Alatas (Sayyid Abdulloh bin Mukhsin Alatas), Baabud, Al Shahab/Al Shihab/Shihabuddin, Al Aidid, Baagil, Bin Agil, Bin Syekh Abu Bakar, Bafagih, Bilfagih, Al Hamid, dan lain-lain. Keterangan: Baa Alwi adalah Kabilah itrah suci Rasulullah dari jalur Alwi bin Ubaidillah bin Al-Muhjir Ilallh Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqb bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Jafar Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam As-Sibth Al-Husein bin Al-Imam Amirul Muminin Ali bin Abi Tholib, suami Az-Zahro Fathimah Al-Batul binti Rasulullah Muhammad SAW. Sedangkan Kabilah Assegaf, Alaydrus, Al Azmatkhan, Al Aidid, Jamalullail, Al Gadri, dll. adalah kabilah-kabilah dari keturunan Sayyidina Alwi bin Ubaidillah tersebut. Oleh karena itu disebut Baa Alwi (Bani Alwi).

Dengan demikian, berdasarkan ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengikut madzhab Asyari dan Maturidi adalah golongan yang mendapat hidayah, karena dalam realita sejarah mereka memiliki andil yang besar dalam berjihad di jalan Alloh dalam rangka penyebaran agama Islam. D. Keutamaan Madzhab Al Asyari dan Al Maturidi Terdapat dalil-dalil dalam Al Quran dan Al Hadits yang menerangkan keutamaan madzhab Asyari dan Maturidi. Hai orang-orang yang beriman! Barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Alloh akan mendatangkan suatu kaum yang Alloh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orangorang mumin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Alloh, yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Alloh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Alloh Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. QS Al Maidah: 54. Nabi Muhammad memberikan penjelasan makna kaum yang Alloh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya adalah kaum Abu Musa al Asyari, berdasarkan hadits Shohih: Ketika ayat Alloh akan mendatangkan suatu kaum yang Alloh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya , maka Rasulullah saw. bersabda sambil menunjuk kepada Abu Musa al Asyari: Mereka adalah kaumnya laki-laki itu. HR al Hakim dalam al Mustadrak dan menilainya Shohih sesuai persyaratan Imam Muslim, dan disetujui oleh Al Hafidz Adz Dzahabi. Pernyataan bahwa kaum Abu Musa al Asyari adalah kaum yang dicintai Alloh dan juga kaum yang mencintai Alloh dapat mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pengikut madzhab Asyari adalah kaum yang dicintai dan mencintai Alloh. Hal ini didasarkan pada realita bahwa setiap terjadi penisbatan kata kaum kepada seorang Nabi di dalam Al Quran, maka yang dimaksud adalah pengikut Nabi tersebut. Dan sudah barang tentu, Abu Hasan al Asyari dan pengikut madzhabnya termasuk kaum

Abu Musa Al Asyari, sehingga secara tersirat masuk dalam konteks ayat di atas. Sebagaimana dijelaskan oleh al Imam al Qurthubi dalm tafsirnya: Al Qusyairi berkata: Pengikut madzhab Abu Hasan Al Asyari termasuk dalam kaum Abu Musa Al Asyari karena setiap terjadi penisbatan kata kaum terhadap seorang Nabi di dalam Al Quran, maka yang dimaksud adalah pengikutnya. Kitab al Jami li Ahkam al Quran (VI/220). Selain itu juga dijelaskan secara tersirat dalam hadits Shohih Nabi saw.: Kelak umatku akan benar-benar menaklukkan kota Konstantinopel. Maka sebaikbaik pemimpin adalah pemimpin penaklukan itu, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan penaklukan tersebut. HR Ahmad, at Tabrani, Abu Nuaim, al Hakim dalam al Mustadrak dan beliau menilainya Shohih. Al Hafidz Al Haitsami berkata: Para perawi hadits ini dapat dipercaya. Hadits ini menjadi dasar bagi rekomendasi Nabi saw. dan pujian beliau terhadap Madzhab Asyariyah dan Maturidiyah, karena secara faktual, Konstantinopel (Turki sekarang) baru dapat ditaklukkan oleh Sultan Muhammad al Fatih bin Sultan Murad Khan al Utsmani (835-886 H/ 1432-1481 M). Dalam hadits ini Rasulullah saw. memuji sultan Muhammad al Fatih karena beliau adalah seorang sultan yang shalih, aqidahnya sesuai dengan aqidah Rasulullah. Seandainya aqidahnya menyalahi aqidah Rasulullah, Rasulullah tidak akan memujinya. Seperti maklum diketahui dan dicatat oleh sejarah bahwa Sultan Muhammad al Fatih adalah Asyari Maturidi, meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat. Dengan demikian hadits ini adalah busyra (berita gembira) bagi seluruh Ahlussunnah, al Asyariyyah dan al Maturidiyyah bahwa aqidah mereka sesuai dengan aqidah Rasulullah, maka berbahagialah orang yang senantiasa mengikuti jalan mereka. Beliau bersama pasukannya termasuk pengikut setia Ahlus Sunnah wal Jamaah madzhab Al Asyari, mencintai kaum sufi, bertawassul, mengikuti tarekat sufi dengan mursyidnya Maulana Syaikh Aqa Syamsuddin, merayakan mawlid nabi, dan tradisi

sufi lainnya, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Walid al Said dalam kitabnya Tabyin Dhalalat al Albani Syaikh al Wahhabiyah al Mutamahdits. Aqidah al Asyariyyah dan al Maturidiyyah adalah aqidah kaum muslimin dari kalangan Salaf dan Khalaf, aqidah para khalifah dan Sultan, seperti sultan Shalahuddin al Ayyubi ra. Sultan Shalahuddin al Ayyubi adalah seorang alim, penganut aqidah Asyariyyah dan madzhab Syafii, hafal al Quran dan kitab atTanbih dalam fiqh Syafii serta sering menghadiri majlis-majlis ulama hadits. Beliau memerintahkan agar dikumandangkan aqidah Sunni Asyariyyah dari atas menara masjid sebelum shalat Subuh di Mesir, al Hijaz (Makkah dan Madinah), dan di seluruh Negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon). Al Imam Muhammad ibn Hibatillah al Barmaki menyusun untuk Sultan Shalahuddin al Ayyubi sebuah risalah dalam bentuk nazham berisi aqidah Ahlussunnah dan ternyata sultan sangat tertarik dan akhirnya memerintahkan agar aqidah ini diajarkan kepada umat Islam, kecil dan besar, tua dan muda, sehingga akhirnya risalah tersebut dikenal dengan nama al Aqidah ash- Shalahiyyah. Risalah ini di antaranya memuat penegasan bahwa Allah Maha Suci dari benda (jism), sifat-sifat benda dan Maha Suci dari arah dan tempat. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau memberi hidayah kepada kami, anugerahkanlah kami rahmat dari sisi-Mu, Sesungguhnya Engkau Maha Penganugerah

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH A. Pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah Secara etimologi, kata Ahlussunnah Wal Jamaah terdiri dari tiga unsur. Pertama, kata ahl, yang berarti keluarga, pengikut, atau golongan. Kedua, kata al sunnah. Secara bahasa, kata al sunnah berarti al thariqoh (jalan/perilaku), entah jalan yang benar maupun jalan yang keliru. Secara terminologis, al sunnah berarti jalan yang diridhoi agama yang ditempuh oleh Baginda Nabi Muhammad saw. atau orang-orang yang dapat menjadi teladan dalam beragama, seperti para sahabat ra., berdasarkan sabda Nabi saw. Ikutilah sunnahku dan khulafaurrasyidin sesudahku. Pengertian ini sebagaimana dinukil dari kitab Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah karya Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari. Ketiga, kata al jamaah. Secara etimologis, al jamaah berarti orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektivitas dalam mencapai suatu tujuan, sabagai kebalikan dari kata al firqoh, yaitu golongan yang bercerai berai dan memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan secara terminologis, al jamaah ialah mayoritas Muslimin (sawad al adzam), dengan artian bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah aliran yang diikuti oleh mayoritas Muslimin. Syekh Abdulloh al Harari barkata: Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mayoritas umat Muhammad saw.. Mereka adalah para sahabat dan golongan yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip aqidah Sedangkan al jamaah adalah mayoritas terbesar (sawad al adzam). Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah saw.: maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al jamaah; yakni berpegang teguh pada aqidah al jamaah. Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan Hadits Hasan Shahih. Pengertian ini senada dengan hadits Nabi saw.: Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi

perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (sawad al adzam). HR Ibn Majah, Abd bin Hamid, at Tabrani, al Lalikai, Abu Nuaim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir ini adalah Hadits Shohih. B. Pokok-Pokok Itiqad Ahlussunnah Wal Jamaah Berikut ini adalah ikhtisar aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagaimana dihimpun oleh KH Sirajuddin Abbas dalam kitabnya Itiqod Ahlus Sunnah wal Jamaah. 1. Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati.

Kemudian iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota. 2. 3. Tuhan itu ada, namanya Allah, dan ada 99 nama bagi Allah. Tuhan mempunyai sifat banyak sekali, yang boleh disimpulkan perkataan:

Tuhan mempunyai sifat-sifat Jalal (kebesaran), Jamal (keindahan), dan Kamal (kesempurnaan) 4. Sifat yang wajib diketahui oleh sekalian mukmin yang baligh berakal adalah 20

sifat; 20 sifat yang wajib dan mustahil (tidak mungkin) ada bagi-Nya. Dan satu lagi sifat yang harus ada bagi-Nya, yaitu : a. b. Wujud artinya ada, mustahil Dia tidak ada. Qidam artinya tidak ada permulaan dalam wujud-Nya, mustahil ada-Nya

permulaan. c. d. Baqa artinya tidak berkesudahan ada-Nya, mustahil ada-Nya berkesudahan. Mukhalafatuhu taala lilhawaditsi artinya Dia berlainan dengan segala

makhluk, mustahil Dia serupa dengan makhluk-Nya. e. Qiyamuhu binafsihi artinya Dia berdiri sendiri, bukan berdiri di atas zat lain,

mustahil Dia berdiri di atas zat lain. f. g. h. i. Wahdaniyah artinya Dia Esa, mustahil Dia banyak. Qudrat artinya kuasa, mustahil Dia tidak kuasa. Iradat artinya menentukan sendiri dengan kehendak-Nya, mustahil Dia dipaksa. Ilmu artinya Dia tahu, mustahil Dia tidak tahu (bodoh).

j. k. l. m. n.

Hayat artinya hidup, mustahil Dia mati. Sama artinya mendengar, mustahil Dia tidak mendengar (tuli). Bashar artinya melihat, mustahil Dia buta. Kalam artinya berkata, mustahil Dia bisu. Kaunuhu Qadiran artinya Dia dalam keadaan berkuasa mustahil Dia dalam

keadaan tidak berkuasa. o. Kaunuhu Muridan artinya Dia dalam keadaan mempunyai iradat, mustahil Dia

dalam keadaan yang tidak mempunyai iradat. p. Kaunuhu Aliman artinya Dia dalam keadaan tahu, mustahil Dia dalam keadaan

tidak tahu. q. mati. r. Kaunuhu Samian artinya Dia dalam keadaan mendengar, mustahil Dia dalam Kaunuhu Hayyan artinya Dia dalam keadaan hidup mustahil Dia dalam keadaan

keadaan tidak mendengar. s. Kaunuhu Bashiran artinya Dia dalam keadaan melihat, mustahil Dia dalam

keadaan tidak melihat. t. Kaunuhu Mutakalliman artinya Dia dalam keadaan berkata, mustahil Dia

dalam keadaan tidak berkata. u. Kemudian ditambah dengan sifat jaiz bagi Alloh, yaitu Alloh boleh melakukan

sesuatu dan boleh tidak melakukannya. Demikian 20 sifat yang wajib (mesti ada) bagi Allah SWT, 20 sifat yang mustahil (tidak mungkin ada bagi Allah SWT), dan satu sifat jaiz bagi Alloh. 5. Wajib dipercayai bahwa Malaikat ada, mereka banyak. Tetapi yang wajib

dipercayai secara terperinci hanyalah 10 malaikat saja. 6. Wajib dipercayai adanya kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-

rasul-Nya untuk disampaikan kepada ummatnya. Kitab-kitab itu banyak, tetapi yang wajib diketahui secara terperinci adalah 4 (empat), yaitu: a. Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as.

b. c. d. 7.

Kitab Zabur yang diturunkan kpada Nabi Daud as. Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as. Kitab Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah mempercayai sekalian rasul-rasul yang diutus

Allah SWT kepada manusia, mereka banyak, ada yang diterangkan Allah SWT kepada manusia dan ada yang tidak diterangkan. Tetapi yang wajib diketahui secara terperinci adalah 25 rasul yang dinyatakan dalam Al-Quran. 8. Setiap orang Islam wajib mempercayai adanya hari akhirat. Permulaan hari

akhirat itu bagi setiap manusia adalah sesudah mati, yaitu: a. b. Setiap orang akan mati apabila jangka usianya sudah habis. Setelah mati lalu dikuburkan. Di dalam kuburnya akan ditanya: Siapa

Tuhannya, siapa Nabi, Apa kitab suci, dan lain-lain. Pertanyaan tersebut dDiajukan oleh malaikat Mungkar dan Nakir. c. d. Orang yang jahat dan ahli masiat akan disiksa di dalam kubur. Kemudian pada suatu waktu akan terjadi kiamat besar, dunia akan hancur luluh

dan semua manusia bahkan semua makhluk di atas dunia akan mati dan hancur pula. e. Kemudian pada suatu waktu pula akan dibunyikan terompet sehingga seluruh

makhluk yang mati akan bangkit kembali, berkumpul di padang mahsyar. f. g. Akan diadakan hisab, yaitu perhitungan dosa dan pahala. Di Padang Mahsyar akan ada syafaat (pertolongan) dari Nabi Muhammad

SAW dengan seizin Allah SWT. h. i. Akan ada timbangan untuk menimbang dosa dan pahala. Akan ada titian (jembatan) Shirathal Mustaqim yang akan dibentangkan di

atas neraka yang harus dilalui oleh sekalian manusia. j. Akan ada telaga Kautsar kepunyaan Nabi Muhammad SAW di dalam surga, di

mana orang-orang yang beriman akan dapat minum. k. Yang lulus ujian dalam meniti Shirathal Mustaqim akan langsung masuk surga

Jannatun Naim sementara yang tidak lulus akan tergelincir masuk ke dalam neraka.

l. m.

Orang yang baik akan langsung masuk surga dan kekal selama-lamanya. Orang yang mumin yang berdosa dan mati sebelum bertaubat, akan masuk ke

dalam neraka buat sementara dan setelah menjalani hukuman akan dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam surga buat selama-lamanya. n. o. Orang kafir langsung masuk neraka dan kekal selama-lamanya. Orang mumin yang baik-baik akan diberi nimat apa saja yang dia sukai, dan

akan diberikan nimat lagi yang paling lezat yakni akan melihat Allah SWT. Demikian secara ringkas tentang hari akhirat. 9. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah mempercayai adanya Qada dan Qadar yaitu

takdir ilahi, sebagai berikut: a. Sekalian yang terjadi di dunia ini sudah ada qadla Allah SWT yakni hukum

Allah SWT dalam azali, bahwa hal itu akan terjadi. b. Sekalian yang terjadi di alam ini buruk atau baiknya semuanya dijadikan Allah

SWT. Pendeknya nasib baik dan buruk semuanya dari Allah SWT dan kita umat manusia hanya menjalani takdir saja. c. Yang ada bagi manusia hanya kasab, ikhtiar dan usaha. Manusia wajib

berikhtiar dan berusaha. d. Pahala yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia adalah karena karunia-

Nya dan hukuman yang diberikan kepada manusia adalah karena keadilan-Nya. Demikian kepercayaan orang mumin menurut faham Ahlussunnah wal Jamaah yang bertalian dengan rukun iman yang (6) enam, yaitu : percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari qiyamat dan qadla qadar-Nya. 10. Allah SWT bersama nama-Nya dan sifat-Nya semuanya qadim, karena nama dan sifat itu berdiri di atas zat yang qadim, maka dengan demikian semua nama dan sifat Allah SWT adalah qadim, tidak ada pemulaannya. 11. Al Quran adalah kalam Alloh yang qadim. Sedangkan apa yang tertulis dalam mushaf yang menggunakan huruf dan suara merupakan gambaran dari Al Quran yang

qadim tersebut. Oleh karena itulah Al Quran disebut dengan qadim dan tidak boleh disebut makhluk. 12. Rizki sekalian manusia sudah ditaqdirkan dalam azal, tidak bertambah dan tidak berkurang, tetapi manusia diperintahkan untuk mencari rizki, diperintahkan untuk berusaha dan tidak boleh berpangku tangan menunggu saja. 13. Ajal setiap manusia sudah ada jangkanya oleh Allah SWT tidak dimajukan waktunya, juga tidak dapat ditunda walaupun sekejap mata. Tetapi manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk berobat kalau sakit, tidak boleh menunggu ajal saja. 14. Anak-anak orang kafir yang mati kecil (bayi) masuk surga. 15. Doa orang mumin memberi manfaat bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain yang didoakan. 16. Pahala sedekah, wakaf dan pahala bacaan (tahlil, shalawat dan bacaan AlQuran) boleh dihadiahkan kepada orang yang telah mati dan sampai kepada mereka kalau dimintakan kepada Alloh untuk menyampaikannya. 17. Ziarah kubur, khususnya kubur ibu bapak, ulama-ulama, wali-wali, dan orangorang syahid, lebih-lebih maqam Rasulullah SAW, dan maqam sahabat-sahabat beliau adalah sunat hukumnya, diberi pahala kalau dikerjakan. 18. Berdoa kepada Allah SWT langsung atau berdoa dengan memakai wasilah (bertawassul) adalah sunat hukumnya, diberi pahala kalau mengerjakannya. 19. Masjid di seluruh dunia sama derajatnya, kecuali tiga buah masjid, lebih tinggi derajatnya dari yang lain, yaitu masjid-masjid di Makkah, Madinah dan Baitul Muqaddas. Berjalan (musafir) untuk beribadah ke masjid yang tiga tersebut adalah ibadah hukumnya, jika dikerjakan mendapat pahala. 20. Seluruh manusia adalah anak cucu nabi Adam. Adam berasal dari tanah. Iblis dan jin dijadikan dari api, malaikat-malaikat dijadikan dari cahaya. 21. Bumi dan langit ada. Siapa yang mengatakan langit tidak ada dia keluar dari lingkungan kaum Ahlussunnah wal Jamaah.

22. Nama Tuhan tidak boleh dibuat-buat oleh manusia, tetapi harus seperti yang telah ditetapkan Allah SWT dalam Al-Quran dan Hadits Nabi SAW yang shahih. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Bukhari, nama Allah SWT itu 99 banyaknya. Siapa yang menghafalkannya di luar kepala akan dimasukkan ke dalam surga (lihat shahih Bukhari juz IV bagian 195 dan shahih Tirmidzi juz XIII, halaman 37-42). Kita umat Islam boleh berdoa dan boleh menyeru dengan salah satu atau semua nama-Nya yang 99 ini, umpamanya Ya Lathif, Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Wadud dan sebagainya. 23. Kalau terdapat ayat-ayat suci Al-Quran yang seolah-olah menyatakan bahwa Allah SWT bertubuh seperti manusia, atau bertangan seperti manusia, atau bermuka serupa manusia, maka ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah mentakwilkan atau menafsirkan ayat di atas secara majazi, yakni bukan menurut asal dari perkataan itu, sesudah itu diserahkan kepada Allah SWT apakah yang sebenarnya yang dimaksud oleh ayat tersebut. Misalnya ayat yang mengatakan bahwa Tuhan bermuka, maksudnya Dialah Dzat yang Qadim, yang tidak serupa dengan makhluk-Nya, kalau terdapat ayat mengatakan Tuhan bertangan maksudnya adalah bahwa Tuhan berkuasa karena tangan itu adalah alat kekuasaan. Kalau dijumpai ayat yang mengatakan Tuhan duduk di atas Arsy maksudnya bahwa Tuhan menguasai Arsy. Ada lagi ayat dan hadits yang mengatakan Tuhan turun maka yang turun adalah rahmat-Nya, bukan batang tubuhnya sebab Allah SWT tidak berbatang tubuh. Jika dijumpai ayat mengatakan bahwa Tuhan atau Allah SWT itu cahaya, maka maksudnya adalah Allah SWT itu memberi cahaya, demikian seterusnya dengan ayat-ayat yang lain. Hal ini dianggap sangat perlu agar kita tidak terperangkap ke dalam kekeliruan dalam memahami ayat-ayat suci Al-Quran. Juga agar termasuk orang-orang yang menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya atau golongan kaum Musyabbihah atau Mujassimah yang menerapkan adanya keserupaan Allah SWT dengan makhluk.

Dalam surat as Syura ayat 11 disebutkan sejelas-jelasnya bahwa Allah SWT tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tetapi dalam mengartikan atau mentawilkan ayat ini janganlah memakai sembarang tawil. Hendaknya diperhatikan kitab-kitab tafsir Ahlussunnah wal Jamaah yang dipercayai, seperti kitab tafsir At- Thabari, tafsir Qurthubi, tafsir Jalalain, tafsir Khazin, dan lain-lain sebagainya. 24. Bangkit sesudah mati hanya satu kali. Manusia mulanya tidak ada, kemudian lahir ke dunia kemudian mati. Lalu hidup kembali (bangkit) dari kematian setelah peniupan terompet dan berkumpul di padang Mahsyar sesuai dengan ayat Al-Quran pada surat Al Baqarah ayat 28. 25. Upah (pahala) yang Allah SWT berikan kepada oang-orang yang saleh bukanlah karena Allah SWT terpaksa untuk memberikannya dan bukan pula kewajiban Allah SWT untuk membalas jasa orang itu. Begitu juga hukuman bagi orang yang durhaka tidaklah Allah SWT terpaksa menghukumnya atau bukanlah kewajiban Allah SWT untuk menghukumnya, tidak. Allah SWT memberikan pahala kepada manusia dengan karunia-Nya dan menghukum dengan keadilan-Nya. 26. Allah SWT dapat dilihat oleh penduduk surga dengan mata kepala, bukan dengan mata hati saja. Tetapi tidak boleh berpersepsi bahwa Allah SWT berada dalam surga. Hanya kita yang bertempat dalam surga yang melihat-Nya. 27. Pada waktu di dunia tidak ada manusia dapat yang melihat Allah SWT kecuali Nabi Muhammad SAW, pada malam Miraj. 28. Mengutus rasul-rasul adalah karunia Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menunjuki jalan yang lurus, bukanlah kewajiban Allah SWT untuk mengutus rasulrasul-Nya. 29. Wajib diketahui dan diyakini oleh seluruh ummat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW lahir di kota Makkah. Sesudah berusia 40 tahun diangkat menjadi rasul, lalu diturunkan kepada beliau ayat-ayat Al-Quran berturut-berturut selama 23 tahun. Sesudah 13 tahun menjadi rasul beliau pindah ke Madinah, menetap disitu sampai wafat. Beliau wafat sesudah melakukan tugas 23 tahun dalam usia 63 tahun. Makam

Nabi Muhammad SAW berada di Madinah, dalam lingkungan Masjid Madinah sekarang. 30. Nabi Muhammad SAW adalah manusia serupa kita, bukan malaikat. Beliau makan, minum, tidur, sakit, nikah, mempunyai keluarga serupa manusia biasa. Akan tetapi kemanusiaan beliau luar biasa, rohaniyah dan jasmaniyah beliau luar biasa kuatnya, karena kepada beliau diturunkan wahyu ilahi, yang kalau diturunkan di atas bukit maka bukit tersebut akan hancur lebur. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW walaupun beliau serupa manusia biasa tetapi beliau adalah sayyidul khalaiq, makhluk Allah SWT yang termulia di antara makhluk yang lain. 31. Silsilah nenek moyang Nabi Muhammad SAW adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Marrah bin Kaab bin Luai bin Galib bin Fihir bin Malik bin Nadlar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudlar bin Maad bin Adnan. Dari pihak ibu adalah ; Muhammad bin Aminah binti Wahab bin Abdul Manaf bin Zahrah bin Kilab (nenek Nabi yang keenam dari pihak bapak). 32. Isteri-isteri Nabi Muhammad SAW dari mulai kawin sampai beliau wafat adalah: Ummul Muminin Khadijah binti Khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah binti Abi Umayyah, Ummu Habibah binti Abi Sufyan, Saudah binti Zamah, Zainab binti Jahasy, Zainab binti Khuzaimah, Maimunah binti Harits, Juwairiyah binti Harits, dan Safiyah binti Hay. ra. 33. Putra-putri Nabi Muhammad SAW adalah : Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum, Siti Fatimah, Qasim, Abdullah, dan Ibrahim. ra. 34. Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia, tidak pandang suku, tidak pandang negeri dan tidak pandang agama. 35. Nabi Muhammad SAW Miraj ke langit melalui Baitul Muqaddas (Palestina) tanggal 27 Rajab dan kembali malam itu juga ke dunia membawa perintah shalat lima kali sehari semalam. Nabi saw. miraj dengan badan dan ruh beliau.

36. Nabi Muhammad SAW terdahulu diangkat menjadi nabi dibanding nabi-nabi yang lain, yaitu ketika Nabi Adam masih terbaring dalam surga sebelum diberi jiwa. Karena itu, beliau (Nabi Muhammad SAW) adalah nabi yang paling dahulu diangkat dan yang paling akhir lahir ke dunia. 37. Nabi Muhammad SAW menerima syafaat (bantuan) nanti di akhirat kepada seluruh manusia. Syafaat (bantuan) itu bermacam-macam, diantaranya menyegerakan proses penghisaban di padang Mahsyar. 38. Sesudah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, maka pengganti beliau yang sah adalah Sayyidina Abu Bakar ra. sebagai khalifah pertama, Sayyidin Umar bin Khattab ra. sebagai khalifah kedua, Sayyidina Utsman bin Affan ra. sebagai khalifah ketiga, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. sebagai khalifah keempat. 39. Wajib diyakini bahwa yang paling mulia di antara makhluk Tuhan ialah Nabi Muhammad SAW, sesudah itu Rasul-rasul yang lain, lalu para Nabi, para Malaikat, barulah Muslimin yang lain. 40. Wajib diyakini bahwa sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling mulia adalah Sayyidina Abu Bakar, sesudah itu Sayyidina Umar bin Khattab, sesudah itu Sayyidina Utsman bin Affan lalu Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sesudah itu sahabatsahabat yang sepuluh yang telah dikabarkan oleh Nabi Muhammad SAW akan masuk surga, yaitu 4 orang khalifah ditambah dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqas, Said bin Zaid, Abu Ubaidah, Amir bin Jarrah, sesudah itu sahabat-sahabat yang ikut Perang Badar, sesudah itu sahabat-sahabat yang ikut Perang Uhud, sesudah sahabat-sahabat yang ikut Baiatur Ridlwan, lalu sekalian sahabat Nabi ra. 41. Dalam soal pertikaian dan peperangan yang terjadi antara para sahabat Nabi, seperti Perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayyidina Ali, Perang Shifiin antara Sayyidina Ali dengan Muawiyah, kaum Ahlussunnah wal Jamaah menanggapi secara positif tidak banyak dibicarakan, tetapi dianggap bahwa mereka berijtihad menurut pendapat mereka masing-masing. Kalau ijtihad itu benar pada sisi Allah

SWT mereka dapat pahala dua, tetapi kalau ijtihad mereka salah maka mereka mendapat pahala satu atas ijtihadnya itu. 42. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah yakin, bahwa sekalian keluarga Nabi Muhammad SAW, khususnya Siti Aisyah Ummul Muminin yang dituduh berbuat kesalahan adalah bersih dari noda. Fitnah yang dilancakan kepada keluarga Nabi adalah fitnah yang dibuat-buat (QS an Nur ayat 11). 43. Kerasulan seorang rasul adalah karunia Allah SWT. Pangkat tersebut tidak bisa didapatkan dengan diusahakan, umpamanya dengan bersekolah atau bertapa dan lainlain. 44. Rasul-rasul yang dibekali dengan mujizat, yaitu perbuatan yang ganjil yang diluar kemampuan manusia biasa, misalnya Nabi Ibrahim AS tidak tebakar dengan api, Nabi Isa AS dapat menghidupkan orang yang telah mati, Nabi Musa AS bisa nenjadikan tongkatnya menjadi ular, Nabi Muhammad SAW dengan kitab suci AlQuran yang tidak dapat ditiru oleh orang-orang yang pandai, air keluar dari anak jari beliau, bulan dapat dibelah dua, matahari berhenti berjalan, dan lain sebagainya. 45. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah meyakini adanya keramat. Keramat artinya pekerjaan yang ganjil yang di luar kebiasaan yang mampu dikerjakan oleh para wali Allah, ulama-ulama, orang-orang sholih, umpamanya makanan datang sendiri kepada Siti Mariam, ahli gua tidur selama 309 tahun tanpa rusak dagingnya. 46. Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir, tidak ada lagi Nabi sesudah beliau. Begitu juga pangkat kenabian dan kerasulan, begitu juga nabi-nabi pembantu tidak ada lagi sesudah Nabi Muhammad SAW. Siapa saja yang mendawakan dirinya sebagai nabi atau rasul baik nabi bersendiri maupun untuk menjelaskan syariat Nabi Muhammad SAW, maka orang itu pembohong yang wajib dilawan. 47. Wajib dipercayai adanya Arsy, yaitu suatu benda makhluk Allah SWT yang dijadikan dari nur, terletak di tempat yang tinggi dan mulia, yang tidak diketahui hakekatnya dan kebesarannya. Hanya Allah SWT yang mengetahui, kita hanya wajib mengimaninya.

48. Wajib diketahui adanya Kursi Allah SWT yaitu suatu benda makhluk Allah SWT yang bedekatan dan bertalian dengan Arsy. Hakekat keberadaannya diserahkan kepada Allah SWT. Yang wajib kaum Ahlussunnah wal Jamaah adalah mempercayainya. 49. Wajib dipercayai adanya Qalam, yaitu suatu benda yang dijadikan Allah SWT untuk menuliskan segala sesuatu yang akan terjadi di Lauh Mahfudh. Sekalian yang terjadi di dunia ini sudah dituliskan dengan Qalam di Lauh Mahfudh terlebih dahulu. 50. Surga dan neraka bersama penduduknya akan kekal selama-lamanya, tidak akan habis. Keduanya dikekalkan Allah SWT agar yang berbuat baik merasakan selamalamanya nimat pekerjaan dan yang berbuat dosa merasai selama-lamanya siksa atas pebuatannya. 51. Dosa itu, menurut faham Ahlussunnah wal Jamaah, terbagi dua, ada dosa besar dan ada dosa kecil. Dosa besar itu ialah syirik (mempersekutukan Alloh) ini paling berat atau paling besar, membunuh manusia dengan tidak hak, makan riba/rente uang, lari dari medan perang (perang sabil), menjadi tukang sihir mendurhakai ibu bapak, berbuat zina, berbuat liwath, berdusta terhadap Nabi dan lain-lain sebagainya. Kalau dosa besar tidak dikerjakan, maka dosa-dosa kecil akan diampuni saja oleh Alloh. Dosa besar hanya dapat diampuni kalau si pembuatnya taubat kepada Alloh. 52. Orang mukmin bisa menjadi kafir kembali (riddah) dengan melakukan hal-hal di bawah ini : a. i. ii. iii. iv. Dalam itiqad : Syak atau ragu atas adanya Tuhan. Syak atau ragu akan ke-Rasulan Nabi Muhammad Saw. Syak atau ragu bahwa Al-Quran itu wahyu Tuhan Syak atau ragu bahwa akan ada hari kiamat, hari akhirat, surga, neraka dan

lain-lain sebagainya. v. jasad. Syak atau ragu bahwa Nabi Muhammad Saw Isra Miraj dengan ruh dan

vi.

Meng-itiqadkan bahwa Alloh tidak mempunyai sifat seperti ilmu, hayat,

qidam baqa, dan lain-lain. vii. viii. Meng-itiqadkan bahwa Alloh bertubuh serupa manusia. Menghalalkan pekerjaan yang telah sepakat ulama Islam

mengharamkannya, seperti meyakini bahwa zina boleh baginya, berhenti puasa boleh baginya, membunuh orang boleh baginya, makan minum haram boleh baginya dan lain-lain sebagainya. ix. Mengharamkan pekerjaan yang sudah sepakat ulama Islam

membolehknnya, seperti kawin haram baginya, jual beli haram baginya, makan minum haram baginya dan lain-lain sebagainya. x. Meniadakan suatu amalan ibadah yang telah sepakat ulama Islam

mewajibkannnya, seperti sembahyang, puasa, zakat dan lain-lain sebagainya. xi. Mengingkari kesahabatan para sahabat-sahabat Nabi yang utama seperti

Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khathab dan lain-lain sebagainya. xii. Mengingkari sepotong atau seluruhnya ayat suci Al-Quran atau

menambah sepotong atau seluruh ayat suci al-Quran dengan tujuan menjadikannya menjadi Al-Quran. xiii. Mengingkari salah seorang Rasul yang telah sepakat ulama-ulama Islam

mengatakannya Rasul. xiv. xv. xvi. b. i. ii. iii. iv. v. Mendustakan Rasul-rasul Alloh. Meng-itiqadkan ada Nabi sesudah Nabi Muhammad Saw. Mendakwahkan jadi Nabi atau Rasul setelah Nabi Muhammad Saw. Dalam amalan: Sujud kepada berhala, pada matahari, pada bulan dan lain-lain. Sujud kepada manusia dengan suka rela. Menghina Nabi-nabi atau Rasul-rasul dengan lisan maupun perbuatan. Menghina kitab-kitab suci dengan lisan atau perbuatan. Mengejek-ejek agama atau Alloh dengan lisan atau tulisan. dll.

c. i. ii. iii. iv.

Dalam perkataan Mengucapkan Hai kafir, kepada orang Islam. Mengejek-ejek atau menghina nama Alloh. Mengejek-ejek hari akhirat, surga dan neraka. Mengejek-ejek salah satu syariat, misalnya shalat, puasa, zakat, haji,

thawaf keliling Kabah, wukuf di Arafah dan lain-lain sebagainya. v. vi. vii. viii. Mengejek-ejek malaikat-malaikat Mengejek-ejek Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Mengejek-ejek keluarga Nabi. Mengejek-ejek Nabi Muhammad saw, dll.

C. Khulashoh (Penjelasan Ringkas) Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah 1. Mengapa Wajib Mengetahui Sifat Dua Puluh? Dalam madzhab Ahlus Sunah wal Jamaah terdapat konsep dua puluh sifat yang wajib bagi Alloh. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap Muslim. Akhirakhir ini muncul sekelompok orang yang mempersoalkan sifat dua puluh tersebut dengan alasan bahwa tidak ada teks dalam Al Quran dan Al Hadits yang mewajibkan mengetahui sifat dua puluh. Bahkan dalam al Hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Alloh (al asma al husna) jumahnya justru 99. Dari sini muncul gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Alloh yang harus diketahui hanya dua puluh sifat saja, bukan 99 sebagaimana al asma al husna? Ulama Ahlus Sunah wal Jamaah dalam menetapkan kedua puluh sifat tersebut berdasarkan kajian dan peneltian yang mendalam. Ada beberapa alasan ilmiah dan logis yang dikemukakan ulama. Pertama, setiap orang yang beriman harus meyakini bahwa Alloh wajib memiliki segala sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini bahwa Alloh mustahil memilki sifat kekurangan yan tidak layak bagi keagungannya. Ia harus meyakini pula bahwa Alloh boleh melakukan sesuatu atau meninggalkannya.

Demikian adalaha keyakinan yang paling mendasar yang harus tertanam di dalam hati setiap Muslim. Kedua, para Ulama Ahlus Sunah wal Jamaah sebenarnya tidak membatasi sifat-sifat kesempurnaan Alloh dalam dua puluh sifat, bahkan setiap sifat keagungan dan kesempurnaan adalah wajib dimilki Alloh, sehingga sifat-sifat Alloh sebenarnya tidak tebatas pada 99 saja. Al Hafidz Al Bayhaqi berkata: Sabda Nabi saw.: Sesungguhnya Alloh memilki 99 Nama, tidak menafikan nama-nama selainnya. Nabi hanya bermaksud wallohu alam bahwa barangsiapa yang memenuhi pesan-pesan 99 nama tersebut akan dijamin masuk surga. Kitab al Itiqod ala Madzhabis Salaf Ahlis Sunnah wal Jamaah. Pernyataan Al Hafidz Al Bayhaqi di atas berdasarkan hadits Shohih: Ya Alloh, sesungguhnya aku hamba-Mu Aku memohon dengan (perantara) setiap Nama yang Engkau miliki, baik Engkau namakan Dzat-Mu dengan-Nya, atau Engkau turunkan Nama itu dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara makhluk-Mu, dan atau hanya Engkau saja yang mengetahui-Nya secara ghaib, jadikanlah al Quran sebagai taman hatiku, cahaya mataku, pelipur laraku, dan penghapus dukaku. HR Ahmad, Al Hakim dalam al Mustadrak, At Thabrani dalam al Mujam al Kabir. Al Hafidz Ibn Hibban menilainya Shohih dalam Shohihnya. Hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa diantara nama-nama Alloh yang telah dijelaskan dalam Al Quran ada yang diketahui oleh sebagian hamba-Nya dan ada yang diketahui oleh Alloh swt. saja. Sehingga berdasarkan hadits tersebut nama-nama Alloh tidak terbatas hanya 99, apalagi dua puluh. Ketiga, para Ulama membagi sifat-sifat khabariyyah, yaitu sifat-sifat Alloh yang terdapat dalam al asma al husna, menjadi dua. Pertama, shifat al Dzat, yaitu sifatsifat yang ada pada Dzat Alloh swt. yang antara lain adalah sifat dua puluh. Kedua,

shifat al afal, yaitu sifat-sifat yang sebenarnya adalah perbuatan Alloh swt, seperti al Razzaq, al Muthi, al Mani, al Muhyi, al Mumit, al Khaliq, dan lain-lain. Perbedaan antara keduanya, shifat al Dzat merupakan sifat-sifat yang menjadi syarath al Uluhiyyah, yaitu syarat mutlak ke-Tuhanan Alloh, sehingga ketika shifat al Dzat ini wajib bagi Alloh, maka kebalikan dari sifat tersebut adalah mustahil bagi Alloh. Dari sini Ulama menetapkan bahwa shifat al Dzat ini bersifat azal (tidak ada permulaan) dan baqa (tidak berakhiran) bagi Alloh. Hal tersebut berbeda dengan shifat al afal. Ketika Alloh memilki salah satu di antara shifat al afal, maka kebalikan dari sifat tersebut tidak mustahil bagi Alloh, seperti al Muhyi (Maha Menghidupkan) dan al Mumit (Maha Mematikan); al Dhar (Maha Memberi Bahaya) dan an Nafi (Maha Memberi Manfaat); al Muthi (Maha Pemberi) dan al Mani (Maha Pencegah); dan lain-lain. Di samping itu, ulama mengatakan bahwa shifat al afal itu baqa (tidak berakhiran) bagi Alloh, namun tidak azal (ada permulaan). Sebagaimana dikutip dari kitab al Itiqod ala Madzhabis Salaf Ahlis Sunnah wal Jamaah karya Al Hafidz al Bayhaqi, kitab Ushul al Din karya Syekh Abu Manshur Abdul Qahir Al Baghdadi (penulis kitab al Farq bayna al Firaq). Keempat, dari sekian banyak shifat al Dzat yang ada, sifat dua puluh dianggap cukup dalam mengantarkan pada keyakinan bahwa Alloh memilki segala sifat kesempurnaan dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan. Di samping substansi sebagian besar shifat al Dzat yang ada sudah ter-cover dalam sifat dua puluh tersebut yang ditetapkan berdasarkan dalil Al Quran, Al Hadits, dan dalil aqli. Sebagaimana dinukil dari Kitab Tabsith al Aqaid al Islamiyah karya Syekh Hasan Ayub. Kelima, sifat dua puluh tersebut dianggap cukup dalam membentengi aqidah seseorang dari pemahaman yang keliru tentang Alloh swt. Sebagaimana diketahui, aliran-aliran sempalan menyifati Alloh dengan sifat makhluk yang dapat menodai Kemahasempurnaan dan Kesucian Alloh. Maka dengan memahami sifat dua puluh tersebut iman seseorang akan terbentengi dari keyakinan-

keyakinan yang keliru tentang Alloh. Seperti, ketika Mujassimah mengatakan bahwa Alloh bertempat di Arsy, maka hal ini akan ditolak dengan salah satu sifat salbiyyah yang wajib bagi Alloh, yaitu sifat qiyamuhu bi nafsihi (Alloh wajib mandiri), dan seterusnya. 2. Allah Bukan Benda Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi atas dua bagian, yaitu benda (ain) dan sifat benda (aradl). Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (al Jawhar al Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jisim). Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam; i. Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya,

kegelapan, ruh, angin dan sebagainya. ii. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia,

tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya. Adapun sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Allah taala berfirman: Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupaiNya. (QS As Syura: 11) Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah swt. tidak menyerupai makhlukNya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah, karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya sebab dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut. (al Imam Saduddin at Taftazani, Syarh al Aqidah al Nasafiyah).

Mungkin akan timbul pertanyaan, apakah akal dapat menerima terhadap keberadaan sesuatu tanpa arah dan tempat? Cukuplah hadits Rasulullah saw. berikut ini menjawabnya. Rasulullah saw. bersabda: Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain- Nya. HR Al Bukhari [2953], Al Bayhaqi, dan Ibn Al Jarud. Amirul Muminin Sayyidina Ali kw. berkata sebagaimana dinukil dalam kitab al Farq bayna al Firaq : Alloh swt. itu ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Alloh sekarang seperti keberadaan-Nya sebelum adanya tempat. Makna hadits dan atsar (maqalah Sahabat) ini adalah bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk). Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan: Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir. Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah, berada pada satu tempat dan arah, berbicara dengan huruf, suara dan bahasa dan sebagainya. Maka orang yang mengatakan bahwa bahasa Arab atau bahasa-bahasa selain bahasa Arab adalah bahasa Allah atau mengatakan bahwa kalam Allah yang azali (tidak mempunyai permulaan) dengan huruf, suara atau semacamnya, dia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dan barang siapa yang menyifati Allah dengan salah satu dari sifat-sifat manusia seperti yang tersebut di atas atau semacamnya ia telah terjerumus dalam kekufuran. Begitu juga orang yang meyakini Hulul dan Wahdah al Wujud telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

3. Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah Allah swt.berfirman: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. As Syuro: 11. Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dan tegas dalam al Quran yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya dari aspek apapun sehingga Alloh tidak butuh pada tempat yang menjadi tempat-Nya dan tidak pula arah yang menentukan-Nya. Ayat tersebut di atas juga menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah bahwa Allah memiliki sifat mukholafat lil hawadits, yaitu Allah tidak menyerupai makhlukmakhluk-Nya. Sifat ini termasuk sifat salbiyah, yaitu sifat yang menafikan sifat-sifat yang tidak layak bagi Allah. Sehingga mustahil bagi Alloh menyerupai makhluk yang memiliki roh, seperti manusia, jin, malaikat, dan segala sesuatu selain Alloh. Allah juga mustahil menyerupai benda padat, baik benda yang ada di atas maupun yang di bawah (tidak memiliki arah; red.). Al Imam Abu al Hasan al Asyari ra. berkata: Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat. Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma wa ash-Shifat. i. Pernyataan Imam Thahawi Dalam Idzhar al Aqidah as Sunniyah bi Syarh al Aqidah Thahawiyah disebutkan: Maha suci Alloh dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Alloh tidak memiliki ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah, dll.) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, hidung, dll.). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut. Perkataan al Imam Abu Jafar ath-Thahawi di atas merupakan Ijma (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanya bukanlah maksud dari miraj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad saw. naik ke atas untuk bertemu dengan-

Nya, melainkan maksud miraj adalah memuliakan Rasulullah saw. dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Quran surat al Isra: 1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada Nabi Muhammad saw. sehingga jarak antara keduanya dua hasta atau lebih dekat, melainkan yang mendekat kepada Nabi Muhammad saw. di saat miraj adalah Jibril as., sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam al Bukhari dan lainnya dari asSayyidah Aisyah ra., maka wajib dijauhi kitab Miraj Ibnu Abbas dan Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas karena keduanya adalah kebohongan belaka yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas. Perkataan al Imam at-Thahawi tersebut juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al Wujud yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya atau pengikut paham Hulul yang berkeyakinan bahwa Allah menempati makhluk-Nya. Dan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma (konsensus) kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh al Imam as- Suyuthi dalam karyanya al Hawi lil Fatawi dan lainnya, juga para panutan kita ahli tasawwuf sejati seperti al Imam al Junaid al Baghdadi, al Imam Ahmad ar-Rifai, Syekh Abdul Qadir al Jilani, dan semua Imam tasawwuf sejati, mereka selalu memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang berdusta sebagai pengikut tarekat tasawwuf dan meyakini aqidah Wahdah al Wujud dan Hulul. ii. Penegasan Imam Abu Hanifah Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata: Allah taala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat. Dia ada sebelum menciptakan makhluk. Dia ada dan belum ada tempat, makhluk, dan sesuatu. Dan Dia pencipta segala sesuatu. Al Imam Abu Hanifah ra. dalam kitabnya al Washiyyah berkata yang maknanya: Bahwa penduduk surga melihat Allah taala adalah perkara yang haqq (pasti terjadi) tanpa (Allah) disifati dengan sifat-sifat benda, tanpa menyerupai makhlukNya dan tanpa (Allah) berada di suatu arah. Ini adalah penegasan al Imam Abu

Hanifah ra. bahwa beliau menafikan arah dari Allah swt. dan ini menjelaskan kepada kita bahwa ulama salaf mensucikan Allah dari tempat dan arah. Al Imam Fakhruddin ibn Asakir dalam Risalah Aqidah-nya mengatakan : Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan Kapan ada-Nya?, Di mana Dia ?, atau Bagaimana Dia ?. Dia ada tanpa tempat. Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Al Imam Al Bayhaqi dalam kitabnya al Asma wa ash Shifat mengatakan: Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah saw.: Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan adaNya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu. HR Muslim [4888] dan lainnya. Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat. 4. Tidak Boleh Dikatakan Allah Ada di Atas Arsy atau Ada Dimana-mana Atsar Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw.: Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia(Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, sehingga tidak boleh dikatakan Allah ada di atas Arsy. Al Imam Ali kw.: Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya (Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq).

Al Imam Malik ra. berkata: Ar-Rahman ala al Arsy istawa sebagaimana Allah mensifati Dzat (hakekat)-Nya dan tidak boleh dikatakan bagaimana, dan kayfa (sifatsifat makhluk) adalah mustahil bagi-Nya (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma wa ash-Shifat). Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah Maha Suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam di atas Arsy, berada di suatu tempat dan arah, dan sebagainya. Sedangkan riwayat yang mengatakan wa al Kayf Majhul adalah tidak benar dan Imam Malik tidak pernah mengatakannya. Al Imam Abu Hasan al Asyari mengatakan: Tidak boleh dikatakan bahwa Allah Taala di satu tempat atau di semua tempat. Perkataan al Imam al Asyari ini dinukil oleh al Imam Ibnu Furak dalam karyanya al Mujarrad. Syekh Abdul Wahhab asy-Syarani dalam kitabnya al Yawaqiit wal Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash: Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana. Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap Kabah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena Kabah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah seperti al Imam al Mutawalli dalam kitabnya al Ghun-yah, al Imam al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum ad-Din, al Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi. 5. Allah Maha Suci dari Hadd (Batasan) Menurut ulama tauhid yang dimaksud al mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd (batasan) menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-

Dzarrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran demikian juga Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masingmasing mempunyai ukuran. Al Imam Sayyidina Ali kw. berkata yang maknanya: Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya) . (Diriwayatkan oleh Abu Nuaym dalam Hilyah al Auliya I/72). Maksud perkataan Sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan merupakan kekufuran. Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifatsifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah Wal Jamaah mengatakan: Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil. Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda. Juga tidak boleh dikatakan tentang Allah bahwa tidak ada yang mengetahui tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda Katsif bahwa ia mempunyai tempat, hal ini jelas sekali; dan mengenai benda lathif bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda. Al Imam Ali Zainal Abidin as Sajjad bin al Husain bin Ali bin Abi Thalib (cicit Rasulullah saw.) berkata : Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat, Beliau juga berkata: Engkaulah Allah yang Maha suci dari hadd (benda, bentuk, dan ukuran) Beliau juga berkata : Maha suci Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh, yakni bahwa Allah tidak menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah Maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan Allah ada tanpa arah. (Diriwayatkan

oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahlul Bayt; keturunan Rasulullah). Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang berkeyakinan Wahdatul Wujud dan Hulul. 6. Dzat Allah Tidak Bisa Dibayangkan Al Imam asy-Syafii ra. berkata: Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir. Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada Tuhan (yang mengaturnya) maka dia adalah muaththil -atheis- (orang yang meniadakan Allah). Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah); muslim. Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan lainnya. Al Imam Ahmad ibn Hanbal ra. dan al Imam Tsauban ibn Ibrahim Dzu an Nun al Mishri, salah seorang murid terkemuka al Imam Malik ra. berkata: Apapun yang terlintas dalam benakmu (tentang Allah) maka Allah tidak menyerupai itu (sesuatu yang terlintas dalam benak) Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi dan al Khathib al Baghdadi. 7. Bantahan Ahlussunnah terhadap Keyakinan Tasybih dan Tajsim Al Imam Abu Hanifah ra. berkata : Barangsiapa yang mengatakan saya tidak tahu apakah Allah berada di langit ataukah berada di bumi maka dia telah kafir. Diriwayatkan oleh al Maturidi dan lainnya. Al Imam Syekh al Izz ibn Abd as-Salam asy-Syafii dalam kitabnya Hall ar-Rumuz menjelaskan maksud Imam Abu Hanifah, beliau mengatakan : Karena perkataan ini memberikan persangkaan bahwa Allah bertempat, dan barang siapa yang

menyangka bahwa Allah bertempat maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Al Imam al Hafizh Ibn al Jawzi (W. 597 H) mengatakan dalam kitabnya Dafu Syubah at-Tasybih: Sesungguhnya orang yang mensifati Allah dengan tempat dan arah maka ia adalah Musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan MakhlukNya) dan Mujassim (orang yang meyakini bahwa Allah adalah jisim: benda) yang tidak mengetahui sifat Allah. Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani (W. 852 H) dalam Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari mengatakan : Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari tempat. Dalam kitab al Fatawa al Hindiyyah tertulis sebagai berikut: Adalah kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah taala . Juga dalam kitab Kifayah al Akhyar karya al Imam Taqiyyuddin al Hushni dikatakan sebagai berikut: hanya saja an-Nawawi menyatakan dalam bab Shifat ash-Shalat dari kitab Syarh al Muhadzdzab bahwa Mujassimah adalah kafir. Saya (al Hushni) berkata: Inilah kebenaran yang tidak dibenarkan selainnya, karena tajsim (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah jisim/benda) jelas menyalahi al Quran. Semoga Allah memerangi golongan Mujassimah dan Muaththilah (golongan yang menafikan sifat-sifat Allah), alangkah beraninya mereka menentang Allah yang berfirman tentang Dzat-Nya: Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Ayat ini jelas membantah kedua golongan tersebut. Syekh Ibn Hajar al Haytsami dalam al Minhaj al Qawim mengatakan: Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafii, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah ra. mengenai pengkafiran mereka terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran).

Al Imam Ahmad ibn Hanbal ra. mengatakan: Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir. Dinukil oleh Badr adDin az- Zarkasyi, seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafii dalam kitab Tasynif al Masami dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal. Al Imam Abu al Hasan al Asyari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya. D. Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat Dialah yang menurunkan al Kitab (al Quran) kepadamu. Di antarnya ada ayat-ayat yang Muhkamat, itulah pokok-pokok isi al Quran, dan yang lain (ayat-ayat) Mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang Mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari tawilnya, padahal tidak ada yang mengetahui tawilnya melainkan Alloh. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat mutsyabihat, semuanya dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. QS Ali Imran: 7. Ayat di atas menerangkan bahwa di antara isi al Quran terdapat ayat-ayat yang Muhkamat dan Mutasyabihat. Ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang terang dan jelas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan ayat Mutasyabihat adalah ayat yang tidak jelas maksudnya. Mutasyabihat artinya nash-nash al Quran dan hadits Nabi Muhammad saw. yang dalam bahasa arab mempunyai lebih dari satu arti dan tidak boleh diambil secara zhahirnya, karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), akan tetapi wajib dikembalikan maknanya sebagaimana perintah Allah dalam al Quran pada ayat-ayat yang Muhkamat, yakni ayat-ayat yang

mempunyai satu makna dalam bahasa Arab, yaitu makna bahwa Allah tidak menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya. Ayat Mutasyabihat dibagi menjadi dua. Pertama, ayat Mutasyabihat yang hanya Alloh yang mengetahui maksudnya, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal yang ghaib. Kedua, ayat Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalam ilmunya (ar rasikhun fil ilm), sesudah menyelidikinya secara mendalam. Seperti maksud dari al istiwa dalam ayat: Ar Rahmanu ala al arsyi istawa. QS Thaha: 5. Para ulama ar rasikhun fil ilm menafsirkan istawa di atas dengan menguasai (al Qahr), bukan bersemayam; sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Abdulloh al Harari dalam al Syarh al Qawim fi Hall Alfadz al Shirath al Mustaqim. Al Imam Ahmad ar-Rifai dalam al Burhan al Muayyad berkata: Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Quran dan hadits Nabi Muhammad saw. yang Mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran. Ayat Istiwa Di antara ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak boleh diambil secara zhahirnya adalah firman Allah swt. surat Thaha: 5: Ar Rahmanu ala arsyi istawa. Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bahwa Allah duduk (jalasa) atau bersemayam atau berada di atas Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah duduk tidak seperti duduk kita atau bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, karena duduk dan bersemayam termasuk sifat khusus benda sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafizh al Bayhaqi, al Imam al Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki dan al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya. Kemudian kata istawa sendiri dalam bahasa Arab memiliki 15 makna. Karena itu kata istawa tersebut harus ditafsirkan dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat Muhkamat. Berdasarkan ini, maka tidak boleh menerjemahkan kata istawa ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa lainnya karena kata istawa mempunyai 15 makna dan tidak mempunyai padan kata (sinonim) yang mewakili 15 makna

tersebut. Yang diperbolehkan adalah menerjemahkan maknanya, makna kata istawa dalam ayat tersebut adalah qahara (menundukkan atau menguasai). Al Imam Ali ra. mengatakan: Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya. Maka ayat tersebut di atas (surat Thaha: 5) boleh ditafsirkan dengan qahara (menundukkan dan menguasai) yakni Allah menguasai Arsy sebagaimana Dia menguasai semua makhluk-Nya. Karena al Qahr adalah merupakan sifat pujian bagi Allah. Dan Allah menamakan dzat-Nya al Qahir dan al Qahhar dan kaum muslimin menamakan anak-anak mereka Abdul Qahir dan Abdul Qahhar. Tidak seorangpun dari umat Islam yang menamakan anaknya Abdul Jalis (al jalis adalah nama bagi yang duduk). Karena duduk adalah sifat yang sama-sama dimiliki oleh manusia, jin, hewan dan malaikat. Penafsiran di atas tidak berarti bahwa Allah sebelum itu tidak menguasai arsy kemudian menguasainya, karena al Qahr adalah sifat Allah yang azali (tidak mempunyai permulaan) sedangkan arsy adalah merupakan makhluk yang baru (yang mempunyai permulaan). Dalam ayat ini, Allah menyebut arsy secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Kalangan yang mentakwil istawa dengan qahara adalah para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Di antaranya adalah al Imam Abdullah ibn Yahya ibn al Mubarak dalam kitabnya Gharib al Quran wa Tafsiruhu, al Imam Abu Manshur al Maturidi al Hanafi dalam kitabnya Tawilat Ahlussunnah Wal Jamaah, az-Zajjaj, seorang pakar bahasa Arab dalam kitabnya Isytiqaq Asma Allah, al Ghazali asy-Syafii dalam al Ihya, al Hafizh Ibn al Jawzi al Hanbali dalam kitabnya Dafu Syubah at-Tasybih, al Imam Abu Amr ibn al Hajib al Maliki dalam al Amaali an-Nahwiyyah, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Termasi al Indonesi asy-Syafii dalam Mawhibah dzi al Fadll, Syekh Muhammad Nawawi Azmatkhan al Jawi al Indonesi asy-SyafiI dalam kitabnya at-Tafsir al Munir, dan masih banyak lagi yang lainnya.

i. Riwayat yang Sahih dari Imam Malik tentang Ayat Istiwa Al Imam Malik ditanya mengenai ayat tersebut di atas, kemudian beliau menjawab: Dan tidak boleh dikatakan bagaimana dan al kayf /bagaimana (sifat-sifat benda) mustahil bagi Allah. Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat. Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah Maha Suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam dan sebagainya. Sedangkan riwayat yang mengatakan wal Kayf Majhul adalah tidak benar. ii. Penegasan Imam Syafii tentang Orang yang Berkeyakinan Allah duduk di atas Arsy Ibn al Muallim al Qurasyi menyebutkan dalam karyanya Najm al Muhtadi menukil perkataan al Imam al Qadli Najm ad-Din dalam kitabnya Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih bahwa ia menukil dari al Qadli Husayn bahwa al Imam asy-SyafiI menyatakan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah duduk di atas arsy dan tidak boleh shalat (makmum) di belakangnya. iii. Ulama Ahlussunnah yang Mentawil Istiwa Diantara ayat Mutasyabihat dalam Al Quran ada ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Alloh. Jika ayat-ayat tersebut diartikan literal, maka akan menimbulkan pengertian bahwa Alloh memiliki sifat-sifat kekurangan dan menyerupai makhlukNya. Oleh karena itu, Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki dua pandangan. Pertama, metode tafwidh/tawil ijmali yang diikuti mayoritas ulama salaf, yaitu tidak melakukan penafsiran apapun terhadap teks-teks tersebut, namun mencukupkan diri dengan penetapan sifat-sifat yang telah Alloh tetapkan bagi Dzat-Nya, serta menyucikan Alloh dari kekurangan dan penyerupaan terhadap hal-hal yang baru. Hal ini dilakukan dengan metode tawil ijmali terhadap teks-teks tersebut dan menyerahkan pengetahuan maksud yang sebenarnya kepada Alloh swt.. Dengan tafwidh ini, ulama mengartikan teks: Tuhan yang Maha Pemurah beristawa di atas Arsy. QS Thaha: 5; Dan ja-a Tuhanmu. QS al Fajr: 22; dan hadits

Shohih Bukhori: Yanzilu Tuhan kami tabaroka wa taala ke langit dunia ketika waktu tinggal sepertiga malam yang terakhir.; dengan tidak mengartikan istawa(istiwa) dalam ayat tersebut dengan bersemayam dan bertempat di atas Arsy. Dan tidak pula mengartikan datang (ja-a) dan turun (yanzilu)-nya Tuhan dalam ayat dan hadits tersebut dengan datang dan turun layaknya makhluk yang berpindah dan bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Ulama salaf berpandangan bahwa makna istiwa , datang, dan turun dalam teks tersebut memiliki makna tersendiri yang hanya diketahi oleh Alloh swt. dan tidak mengandung penyerupaan sifat-sifat Alloh dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Abdulloh al Harari dalam kitabnya al Maqalat al Sunniyah fi Kasyf Dhalalat Ibn Taymiyah. Kaum mujassimah berkata bahwa ayat dan hadits seperti itu tidak memerlukan tawil. Artinya ayat dan hadits seperti itu harus diterima secara harfiah dan tidak dipalingkan dari makna harfiahnya. Kaum Mujassimah mempermanis komentarnya dengan katakata: Namun turunnya Allah tidak seperti turunnya manusia. Mereka beranggapan bahwa Allah benar-benar turun, secara harfiah, dan itulah penyerupaan. Adapun katakata dibelakangnya hanyalah pemanis untuk mengecoh umat. Kedua, metode tawil yang diikuti oleh mayoritas Ulama Khalaf dan sebagian Ulama Salaf. Metode tawil adalah mengalihkan pengertian teks-teks yang Mutasyabihat tersebut dari makna literalnya dan meletakkan maksud-maksudnya dalam satu bingkai pengertian yang sejalan dan seiring dengan teks-teks lain yang Muhkamat yang memastikan kesucian Alloh dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Dalam mengartikan istiwa dalam ayat di atas dengan kekuasaan Alloh, menafsirkan tangan dalam S. Ali Imran: 73 dengan kekuatan dan kedermawanan, dan lain-lain. Dalam mengomentari ayat tersebut, kaum Mujassimah mempermanisnya dengan kata-kata: Namun tangan Allah tidak seperti tangan manusia. Jadi mereka beranggapan bahwa Allah benar-benar mempunyai tangan, maka mereka telah

menjisimkan Allah. Perlu ditegaskan, adapun kata-kata dibelakangnya hanyalah pemanis untuk mengecoh umat. Antara pendapat salaf dan khalaf memilki persamaan yang bersifat prinsip, yaitu menyucikan Alloh dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Kedua pendapat ini tidak berpegang pada arti literal ayat al Quran dan Hadits tersebut. Ayat dalam surat as Syuro: 11: Tiada sesuatupun yang serupa dengan Dia menegaskan kesucian Alloh yang bersifat mutlak dari menyerupai apapun, sehingga ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang Mutasyabihat dan mengesankan Alloh menyerupai makhluk-Nya harus dikembalikan maksudnya terhadap ayat sebelas surat As Syuro ini, karena ayat ini kedudukannya Muhkamat. Demikian sebagaimana dinukil dari kitab Al Maqalat al Sunniyah fi Kasyf Dhalalat Ibn Taymiyah, karya Syekh Abdulloh al Harari. Legalitas Tafwidh dan Tawil Al Imam Muhammad bin Ali as Syaukani berkata dalam kitabnya Irsyad al Fuhul ala Tahqiq al Haqq min Ilm al Ushul: Bagian kedua, tetang teks yang dapat ditawil, yaitu ada dua bagian. Pertama, teks yang berkaitan dengan furu (cabang/ranting) yang sebagian besar memang ditawil, dan hal ini tidak diperselisihkan oleh kalangan ulama. Kedua, teks-teks yang berkaitan dengan ushul (pokok-pokok agama) seperti aqidah, dasar-dasar agama, dan sifat-sifat Alloh swt. Para pakar berbeda pendapat mengenai bagian kedua ini menjadi tiga bagian. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut tidak boleh ditawil, tetapi diberlakukan sesuai denga literalnya, dan tidak boleh melakukan tawil apapun terhadapnya. Mereka adalah aliran Musyabbihah (faham yang menyerupakan Alloh dengan makhluk-Nya). Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut boleh ditawil, tetapi kami menghindar untuk melakukannya serta menyucikan keyakinan kami dari menyerupakan (Alloh dangan makhluk-Nya) dan menafikan (sifat-sifat yang ada dalam teks tersebut), karena firman Alloh: tidak ada yang mengetahui tawilnya melainkan Alloh. Ibn Burhan berkata, ini adalah

pendapat ulama salaf.Ketiga, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut harus ditawil. Ibn Burhan berkata, madzhab yang pertama dari ketiga madzhab ini adalah pendapat yang batil. Sedangkan dua madzhab yang terakhir dinukil dari sahabat Nabi saw. Bahkan madzhab yang ketiga ini diriwayatkan dari Sayyidina Ali, Ibn Masud, Ibn Abbas, dan Ummu Salamah. Perkataan Al Imam As Syaukani ini juga senada dengan pernyataan Al Imam Al Hafidz Badrudin al Zarkasyi dalam kitabnya al Burhan fi Ulum al Quran. Sebagai contoh, Sahabat Ibn Abbas ra. melakukan tawil atas ayat-ayat Mutasyabihat, antara lain: kursi (QS 2: 225) ditawil dengan ilmu-Nya Alloh, datangnya Tuhan (QS 89: 22) ditawil dengan perintah dan kepastian Alloh, dll. Tabiin Mujahid (murid Ibn Abbas) dan al Suddi mentawil lafadz janb (QS 39: 56) dengan perintah Alloh. Al Imam Sufyan Ats Tsauri mentawil istiwa(QS 2:29) dengan berkehendak menciptaka langit. Al Imam Malik bin Anas mentawil turunnya Tuhan dalam hadits Shohih pada waktu tengah malam dengan turunnya perintah-Nya. Al Imam Ahmad bin Hanbal mentawil datangnya Tuhan (QS 89: 22) dengan datangnya pahala dari Tuhan, sedangkan Al Imam Al Hasan Al Bashri mentawilnya dengan datangnya perintah dan kepastian Tuhan. Al Imam Al Bukhori mentawil hadits Shohih tentang tertawanya Alloh dengan rahmat Alloh, dll. iv. Inkonsistensi Orang yang Memahami Ayat Istiwa secara Zhahirnya Tentu saja teks-teks Mutasyabihat seperti di atas tidak boleh dibiarkan mengikuti makna literalnya tanpa melakukan tawil, baik secara ijmali maupun tafshili. Membiarkan teks-teks tersebut tanpa melakukan tawil belum pernah dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf, karena apabila ayat-ayat tersebut dibiarkan mengikuti makna literalnya, maka akan melahirkan perselisihan dengan ayat-ayat yang lain. Misalnya ayat: Tuhan Yang Maha Pemurah ber-istawa di atas Arsy. QS Thaha: 5, dengan ayat: Kepada-Nyalahnaik perkataan-perkataan yang baik. Kedua ayat tersebut adalah ayat Mutasyabihat yang tidak boleh dibiarkan mengikuti makna literalnya, misalnya dengan mengatakan bahwa Alloh bertempat di atas atau di

Arsy. Pengertian demikian akan bertentangan dengan ayat: Dan kepunyaan Allohlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Luas (Rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. QS al Baqarah: 115. Ayat ini jika dimaknai literal maka akan melahirkan pemahaman bahwa Alloh berada di seluruh arah di muka bumi. Juga dengan ayat: Dan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku pergi menuju kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. QS as Shafat: 99. Ayat ini jika dimaknai literal akan menimbulkan makna bahwa Alloh bertempat di Palestina, karena Nabi Ibrahim dalam ayat tersebut mengatakan akan pergi ke Palestina. Jika memang dimaknai secara literal, mana yang benar? Apakah Alloh ada di atas Arsy, di penjuru bumi, atau di Palestina? Hal ini akan menimbulkan perselisihan yang nyata. Padahal dalam Al Quran mustahil terjadi perselisihan, sebagaimana firman Alloh dalam Al Quran surat an Nisa: 82. Akan tetapi makna surat Al Baqarah ayat 115 di atas adalah bahwa seorang musafir yang sedang melakukan shalat di atas hewan tunggangan, ke arah manapun hewan tunggangan itu menghadap selama arah tersebut adalah arah tujuannya maka di sanalah kiblat Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid (W. 102 H), seorang tabiin murid Ibn Abbas. Takwil Mujahid ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam Kitab al Asma Wa ash-Shifat. v. Ayat 35 Surat an-Nur Dan begitulah seluruh ayat-ayat Mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat Muhkamat dan tidak boleh diambil secara zhahirnya. Seperti firman Allah swt. dalam S. an-Nur: 35:Allohu nuurus samaawati wal ardl. tidak boleh ditafsirkan bahwa Allah adalah cahaya atau Allah adalah sinar. Karena kata cahaya dan sinar adalah khusus bagi makhluk. Allah-lah yang telah menciptakan keduanya, maka Ia tidak menyerupai keduanya. Tetapi makna ayat ini, bahwa Allah menerangi langit dan

bumi dengan cahaya matahari, bulan dan bintang-bintang. Atau maknanya, bahwa Allah adalah pemberi petunjuk penduduk langit, yakni para malaikat dan pemberi petunjuk orang-orang mukmin dari golongan manusia dan jin, yang berada di bumi yaitu petunjuk kepada keimanan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah ibn Abbas ra. salah seorang sahabat Nabi saw. Takwil ini diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma Wa as-Shifat. Dengan demikian kita wajib mewaspadai kitab Mawlid al Arus yang disebutkan di dalamnya bahwa Allah menggenggam segenggam cahaya wajah-Nya kemudian berkata kepadanya: jadilah engkau Muhammad, maka ia menjadi Muhammad. Ini adalah kekufuran ,wal iyadzu billah, karena menjadikan Allah sebagai cahaya dan nabi Muhammad saw. bagian dari-Nya. Kitab ini merupakan kebohongan yang dinisbatkan kepada al Hafizh Ibn al Jawzi, tidak seorangpun menisbatkannya kepada al Hafizh Ibn al Jawzi kecuali seorang orientalis yang bernama Brockelmann. vi. Alloh Lupa Ayat Nasuullaha fanasiahum (Mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) QS At-Taubah: 67, dan Innaa nasiinaakum (Sungguh Kami telah lupa pada kalian) QS. As-Sajdah: 14, akan lebih ekstrim lagi jika dimaknai secara literal dan tanpa tawi. Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Al Quran, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman dalam ayat yang lain: Dan tiadalah Tuhanmu itu lupa. QS. Maryam: 64. vii. Alloh Sakit Diriwayatkan dalam hadits Qudsi bahwa Allah swt. berfirman: Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk-Ku, maka berkatalah keturunan Adam: Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau Rabbul Alamin?, maka Allah menjawab: Bukankah kau tahu hamba-Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya? Shahih Muslim [2569].

Apakah kita bisa menyifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita? Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsi diatas dalam kitabnya Syarh an Nawawiy ala Shahih Muslim bahwa yg dimaksud sakit pada Allah adalah hambaNya dan kemuliaan serta kedekatan-Nya pada hamba-Nya itu. Sedangkan makna ucapan: Akan kau temui Aku disisinya adalah akan kau temui pahala-Ku dan kedermawanan-Ku dengan menjenguknya E. Bagaimanakah Cara Mengenal Allah (Marifatullah)? Al Imam ar-Rifai berkata: Batas akhir pengetahuan seorang hamba tentang Allah adalah meyakini bahwa Allah taala ada tanpa bagaimana (sifat-sifat makhluk) dan ada tanpa tempat. Disebutkan oleh al Imam ar-Rifai dalam kitabnya Hal Ahl al Haqiqah maa Allah. Karena seandainya Allah bertempat niscaya banyak sekali yang menyerupainya. Maka barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya tidaklah diterima ibadahnya sebagaimana perkataan al Imam al Ghazali: Tidaklah sah ibadah seseorang kecuali setelah ia mengetahui Allah yang ia sembah. Al Imam Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, mengutip perkataan al Imam Ali ibn Abi Thalib kw. bahwa dia berkata tentang Allah: Sesungguhnya yang menciptakan tempat tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana dan sesungguhnya yang menciptakan al kayf (sifat-sifat benda) tidak dikatakan bagi-Nya bagaimana. Al Imam Abu Manshur Al Baghdadi dalam kitabnya al Farq Bayna al Firaq berkata: Sesungguhnya Ahlussunnah telah sepakat bahwa Allah tidak diliputi tempat dan tidak dilalui oleh waktu. Al Imam Syekh Abdullah al Haddad al Alawi dalam bagian akhir kitabnya anNasha-ih ad Diniyyah menuturkan: Aqidah ringkas yang bermanfaat -Insya Allah swt.- menurut jalan golongan yang selamat. Mereka adalah golongan Ahlussunnah Wal Jamaah, golongan mayoritas umat Islam. Kemudian beliau ra. berkata: Sesungguhnya Ia (Allah) taala

Maha suci dari zaman, tempat dan maha suci dari menyerupai akwan (sifat berkumpul, berpisah, bergerak dan diam) dan tidak diliputi oleh satu arah penjuru maupun semua arah penjuru. Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid: Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu. Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll atTamimi dalam kitabnya Itiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Ini adalah kaidah yang merupakan Ijma (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah Maha Pencipta segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya. Sebagaimana kita tidak bisa membayangkan suatu masa sedangkan masa adalah makhluk- yang di dalamnya tidak ada cahaya dan kegelapan. Akan tetapi kita beriman dan membenarkan bahwa cahaya dan kegelapan, keduanya memiliki permulaan. Keduanya tidak ada kemudian menjadi ada. Allah-lah yang menciptakan keduanya. Allah berfirman dalam al Quran: dan yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya . QS al Anam: 1. Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih utama kita beriman dan percaya bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak bisa kita bayangkan. Al Imam Khalifatur Rasul Abu Bakr ash-Shiddiq ra. Berkata yang maknanya: Pengakuan bahwa pemahaman seseorang tidak mampu untuk sampai mengetahui hakekat Allah adalah keimanan, sedangkan mencari tahu tentang hakekat Allah, yakni membayangkan-Nya adalah kekufuran dan syirik. Maksudnya adalah kita beriman bahwa Allah ada tidak seperti makhluk-Nya, tanpa memikirkan tentang Dzat (Hakekat)-Nya. Adapun berpikir tentang makhluk Allah adalah hal yang dianjurkan karena segala sesuatu merupakan tanda akan ada-Nya. Perkataan Sayyidina Abu Bakr

ra. tersebut diriwayatkan oleh seorang ahli Fiqih dan hadits al Imam Badr ad-Din azZarkasyi as-Syafii dan lainnya. F. Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul dan Wahdatul Wujud Ahlussunnah Wal Jamaah mengatakan: Sesungguhnya Allah tidaklah bertempat pada sesuatu, tidak terpecah dari-Nya sesuatu dan tidak menyatu dengan-Nya sesuatu, Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya. Syekh Abd al Ghani an-Nabulsi ra. dalam kitabnya al Faidl ar-Rabbani berkata: Barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah terpisah dari-Nya sesuatu, Allah menempati sesuatu, maka dia telah kafir. Al Imam al Junayd al Baghdadi penghulu kaum sufi pada masanya berkata: Seandainya aku adalah seorang penguasa niscaya aku penggal setiap orang yang mengatakan tidak ada yang maujud (ada) kecuali Allah. Dinukil oleh Syekh Abd al Wahhab asy-Syarani dalam kitabnya al Yawaqit Wal Jawahir. Al Imam Ar-Rifai ra. berkata: Ada dua perkataan (yang diucapkan dengan lisan meskipun tidak diyakini dalam hati) yang bisa merusak agama: perkataan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya (Wahdat al Wujud) dan berlebih-lebihan dalam mengagungkan para Nabi dan para wali, yakni melampaui batas yang disyariatkan Allah dalam mengagungkan mereka. Beliau juga mengatakan: Jauhilah perkataan Wahdat al Wujud yang banyak diucapkan oleh orang-orang yang mengaku sufi dan jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya melakukan dosa itu lebih ringan dari pada terjatuh dalam kekufuran.Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni orang yang mati dalam keadaan syirik atau kufur sedangkan orang yang mati dalam keadaan muslim tetapi ia melakukan dosa-dosa di bawah kekufuran maka ia tergantung kepada kehendak Allah, jika Allah menghendaki Ia akan menyiksa orang yang Ia kehendaki dan jika Allah berkehendak, Ia akan mengampuni orang yang Ia kehendaki.

Dua perkataan al Imam Ahmad ar-Rifai tersebut dinukil oleh al Imam ar-Rafii asySyafii dalam kitabnya Sawad al Aynayn fi Manaqib Abi al Alamain. Salah seorang khalifah Syekh Ahmad ar-Rifai (dalam Thariqah ar-Rifaiyyah) pada abad XIII H, Syekh al Alim Abu al Huda ash- Shayyadi ra. dalam kitabnya atThariqah ar- Rifaiyyah berkata: Sesungguhnya mengatakan Wahdah al Wujud (Allah menyatu dengan makhluk-Nya) dan Hulul (Allah menempati makhluk-Nya) menyebabkan kekufuran dan sikap berlebih-lebihan dalam agama menyebabkan fitnah dan akan menggelincirkan seseorang ke neraka, karenanya wajib dijauhi. Syekh al Alim Abu al Huda ash-Shayyadi ra. juga mengatakan dalam kitabnya al Kawkab ad-Durriy: Barangsiapa mengatakan saya adalah Allah dan tidak ada yang mawjud (ada) kecuali Allah atau dia adalah keseluruhan alam ini, jika ia dalam keadaan berakal (sadar) maka dia dihukumi murtad (kafir). Al Imam Syekh Muhyiddin ibn Arabi mengatakan: Tidak akan meyakini Wahdah al Wujud kecuali para mulhid (atheis) dan barangsiapa yang meyakini Hulul maka agamanya rusak (Malul). Sedangkan perkataan-perkataan yang terdapat dalam kitab Syekh Muhyiddin ibn Arabi yang mengandung aqidah Hulul dan Wahdah al Wujud itu adalah sisipan dan dusta yang dinisbatkan kepadanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdul Wahhab asy- Syarani dalam kitabnya Lathaif al Minan Wa al Akhlaq menukil dari para ulama. Demikian juga dijelaskan oleh ulama-ulama lain. G. Maksiat Lidah dan Macam-macam Kekufuran Sebagian ulama berkata: Hendaklah engkau memperbanyak diam wahai orang yang berakal, agar engkau selamat di dunia dan hari kiamat kelak. Maksudnya hendaklah engkau selalu menjaga lidah dari segala perkataan yang diharamkan oleh agama terutama perkataan yang menyebabkan seseorang jatuh pada kekufuran, sebab hal itu merupakan maksiat lidah yang paling besar.

Para ulama dari kalangan empat madzhab membagi kufur menjadi tiga macam: i. Kufur Itiqadi, seperti orang yang meyakini bahwa Allah berada di arah atas atau arah-arah lainnya, bersemayam atau duduk di atas arsy, atau meyakini Allah seperti cahaya atau semacamnya. Alloh berfirman dalam Al Quran: Sesungguhnya orangorang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu (QS al Hujurat: 15) ii. Kufur Fili, seperti sujud kepada berhala, melempar mushhaf atau lembaranlembaran yang bertuliskan ayat al Quran atau nama-nama yang diagungkan ke tempat sampah atau menginjaknya dengan sengaja dan lain-lain. Alloh berfirman dalam Al Quran: Janganlah kalian bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan (QS Fushshilat: 37) iii. Kufur Qauli, seperti mencaci Allah, mencaci maki nabi, malaikat atau Islam, meremehkan janji dan ancaman Allah, menentang-Nya, mengharamkan perkaraperkara yang jelasjelas halal, menghalalkan perkara-perkara yang jelas-jelas haram dan lain-lain. Alloh berfirman: Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka katakan) tentulah mereka akan menjawab sesungguhnya kami hanyalah bersendagurau dan bermain-main saja. Katakanlah apakah terhadap Allah, ayatayat-Nya dan rasul-Nya kamu berolokolok?, tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman (QS at-Tubah 65-66). Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka telah mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kufur dan menjadi kafir sesudah mereka sebelumnya muslim (QS at-Taubah: 74) Qoidah i. Setiap keyakinan, perbuatan atau perkataan yang mengandung pelecehan

terhadap Allah, Rasul-Nya, malaikat-Nya, syiar agama- Nya, hukum-hukum-Nya,

janji-janji dan ancaman-Nya adalah kekufuran maka hendaklah seseorang menjauhi semua ini dengan segala upaya serta dalam keadaan apapun. ii. Barang siapa yang jatuh pada salah satu macam kekufuran tersebut maka ia

dihukumi kafir. Dan wajib baginya meninggalkan kekufuran tersebut dan segera masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimah Syahadat. Jika ia membaca istighfar sebelum mengucapkan syahadat maka istighfar tersebut tidak bermanfaat baginya. Ini adalah ijma para ulama. iii. Para ulama Islam menyepakati (Ijma) bahwa orang yang jatuh dalam kufur

yang sharih (tidak mempunyai kemungkinan arti lain selain kufur), tidak sedang sabq al-lisan dan tidak dalam keadaan dipaksa dengan ancaman bunuh, maka ia dihukumi kafir, meski dia tidak mengetahui bahwa kata yang dia ucapkan menyebabkan kekufuran. Meski dia dalam keadaan marah atau bercanda. Meskipun dia tidak berniat untuk keluar dari agama Islam.

ARTIKEL AL HABIB MUNZIR BIN FUAD AL MUSAWA* TENTANG AYAT MUTASYABBIHAT Tuesday, 26 June 2007 Ayat Tasybih Mengenai ayat mutasyabih yg sebenarnya para Imam dan Muhadditsin (Ahli Hadits) selalu berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian kelompok muslimin sesat masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung Tauhid yang sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada di langit, mempunyai tangan, wajah dll. yang hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid Ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat-ayat dan hadits tersebut. Sebagaimana makna Istiwa, yg sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat istiwa dengan makna BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT , entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena bertentangan dengan ayat-ayat dan Nash Hadits lain. Bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada? Dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam Hadits Qudsiy disebutkan Allah swt turun ke langit yg terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir. Maka bila di suatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yg terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka. Jelaslah bahwa hujjah yg mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dengan Hadits

Qudsiy di atas, yg berarti Allah itu tetap di langit yg terendah dan tak pernah kembali ke Arsy. Sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah di langit yg terendah. Berkata Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang yg bertanya makna ayat : Arrahmaanu alal Arsyistawa, Imam Malik menjawab: Majhul, Maqul, Imaan bihi wajib, wa sual anhu bidah (tidak diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bidah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!. Demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : kulihat engkau ini orang jahat, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yg menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Al Munawwarah di masanya yg beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang-orang yg tidak baik yang mempermasalahkan masalah ini. Lalu bagaimana dengan firman-Nya: Mereka yg berbaiat padamu sungguh mereka telah berbaiat pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka (QS Al Fath 10)? Di saat Baiat itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbaiat pada sahabat. Juga sebagaimana Hadits Qudsiy yg mana Allah berfirman: Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada Ku dengan hal hal yg fardhu, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yg sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk mendengar, dan matanya yg ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yg ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yg ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya. (shahih Bukhari hadits no.6137),

Maka hadits Qudsiy di atas tentunya jelas-jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera lainnya, bagi mereka yg taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya. Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya. 1. Pendapat Tafwidh maa Tanzih Madzhab tafwidh maa tanzih yaitu mengambil dzahir lafadz dan menyerahkan maknanya kepada Allah swt, dengan itiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan). Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata Numinu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna). Madzhab inilah yg juga di pegang oleh Imam Abu Hanifah, dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dg mahluk, bukan seperti para imam yg memegang madzhab tafwidh. 2. Pendapat Tawil Madzhab takwil yaitu menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dg Keesaan dan Keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri). Pendapat ini juga terdapat dalam Al Quran dan Sunnah, juga banyak dipakai oleh para Sahabat, Tabiin dan Imam-imam Ahlussunnah wal Jamaah. Seperti ayat : Nasuullaha fanasiahum (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67), dan ayat : Innaa nasiinaakum (sungguh Kami telah lupa pada kalian) (QS Assajdah 14).

Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Al Quran, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dg sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : dan tiadalah Tuhanmu itu lupa (QS Maryam 64) Dan juga diriwayatkan dalam hadits Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Ada : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul Alamin? Maka Allah menjawab: Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya? Tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya? (Shahih Muslim hadits no.2569) apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita? Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy di atas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yg dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, wa mana wajadtaniy indahu yaniy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu dan makna ucapan : akan kau temui Aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125) Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam Ahlussunnah wal Jamaah yg berpegang pada pendapat Tawil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asyariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Dafussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy). Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya: Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yg mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam. (QS Asshaffat 180-182). *Beliau adalah Ulama dari kalangan Ahlul Bait Bani Alawiy (Baa Alwi) BaaHusain, Kabilah Al Musawa, Khadam Majelis Rasulullah SAW, Jakarta. www.majelisrasulullah.org

Barang siapa disibukkan dengan hal-hal yang fardlu dari hal-hal yang sunnah (sehingga tidak sempat melakukannya) maka dia (dianggap) madzur (diterima alasannya dan dimaklumi), dan barangsiapa yang disibukkan dengan hal-hal yang sunnah dari yang fardlu (sehingga dia tidak melaksanakannya) maka dia adalah orang yang tertipu (setan menampakkan amal ini di matanya sebagai amal yang baik padahal amal-amal yang fardlu itu lebih banyak mendekatkan diri seseorang kepada Allah dari pada amal-amal yang sunnah). Dituturkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Fathul Baari bi Syarh al Bukhari. Termasuk di antara hal-hal yang difardlukan oleh agama adalah menyebarkan aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah dan memperingatkan masyarakat dari orang-orang yang menyalahinya.

MANAJEMEN PEMASARAN Perencanaan Pemasaran - Nilai-Nilai dan Visi Pengantar Nilai dan Visi Nilai membentuk dasar dari gaya manajemen bisnis '. Nilai memberikan pembenaran perilaku dan, oleh karena itu, mempunyai pengaruh signifikan terhadap keputusan pemasaran. Perhatikan contoh-contoh berikut bisnis terkenal - BT Group - mendefinisikan nilainilainya: kegiatan BT adalah didukung oleh seperangkat nilai-nilai yang semua orang BT diminta untuk menghormati: - Kami menempatkan pelanggan pertama - Kami profesional - Kami menghormati satu sama lain - Kami bekerja sebagai satu tim - Kami berkomitmen untuk perbaikan terus-menerus. Ini didukung oleh visi kita tentang dunia komunikasi-kaya - sebuah dunia di mana setiap orang dapat manfaat dari kekuatan keterampilan komunikasi dan teknologi. Sebuah masyarakat di mana individu, organisasi dan masyarakat memiliki akses tak terbatas pada satu sama lain dan dunia pengetahuan, melalui keragaman teknologi komunikasi termasuk suara, data, mobile, internet - terlepas dari kebangsaan, budaya, kelas atau pendidikan. Tugas kita adalah untuk memfasilitasi komunikasi yang efektif, terlepas dari geografi, jarak waktu, atau kompleksitas. Sumber: BT Group plc situs web Mengapa nilai-nilai penting dalam pemasaran? Banyak perusahaan Jepang telah menggunakan sistem nilai untuk memberikan motivasi untuk membuat mereka pemimpin pasar global. Mereka telah menciptakan sebuah obsesi tentang kemenangan yang dikomunikasikan pada semua tingkatan

usaha yang telah memungkinkan mereka untuk mengambil pangsa pasar dari pesaing yang tampaknya tak tergoyahkan. Misalnya, pada awal tahun 1970-an Komatsu kurang dari sepertiga ukuran pemimpin pasar - Caterpillar - dan mengandalkan hanya pada satu baris buldoser kecil untuk sebagian besar pendapatannya. Pada akhir 1980-an telah berlalu Caterpillar sebagai pemimpin dunia dalam peralatan bumi yang bergerak. Itu juga mengadopsi strategi diversifikasi agresif yang menyebabkan ke pasar seperti robot industri dan semikonduktor. Jika "nilai" membentuk perilaku bisnis, apa yang dimaksud dengan "visi" dan bagaimana cara berhubungan dengan perencanaan pemasaran? Untuk berhasil dalam jangka panjang, perusahaan perlu visi tentang bagaimana mereka akan berubah dan ditingkatkan di masa mendatang. Visi dari bisnis memberikannya energi. Ini membantu memotivasi karyawan. Ini membantu menetapkan arah strategi perusahaan dan pemasaran. Apa saja komponen dari sebuah visi bisnis yang efektif? Davidson mengidentifikasi enam persyaratan untuk sukses: - Menyediakan arah masa depan - Mengungkapkan manfaat konsumen - Apakah realistis - Apakah memotivasi - Harus sepenuhnya dikomunikasikan - Konsisten diikuti dan diukur

You might also like