You are on page 1of 8

MANDAILING TANAH KU

NAMA NIM

: MUHAMMAD ILYAS BAHRI RANGKUTI : D1D012029

UNIVERSITAS NEGERI JAMBI FAKULTAS PERTANIAN KEHUTANAN 2012

MANDAILING TANAH KU
Asal Muasal Nama
Mandailing atau Mandahiling diperkirakan berasal dari kata Mandala dan Holing, yang berarti sebuah wilayah Kerajaan Kalinga. Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka sejak abad ke-12, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli. Dalam Bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai mande hilang yang bermaksud "ibu yang hilang". Oleh karenanya ada pula anggapan yang mengatakan bahwa masyarakat Mandailing berasal dari Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.

Adat Istiadat
Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara ProtoSumatera, yang berasal dari huruf Pallawa, bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya. Meskipun Suku Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha (pustaka). Namun amat sulit menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke-19. Umumnya pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu yang baik dan buruk, serta ramalan mimpi. KEPEMIMPINAN Defenisi mengenai pemimpin banyak sekali, yaitu sebanyak pribadi yang meminati masalah pemimpin tersebut. Menurut Gary Yulk (1998) menyatakan bahwa perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang dicapai bersama. Henry Prat Fairchild dikutip oleh Kartini Kartono (2002) menyatakan bahwa pemimpin dalam pengertian luas ialah seorang yang memimpinkan dengan jalan memprakasai tingkah laku social dengan mengatur, menyatakan, mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain atau melalui prestise, kekuatan atau pisis. Dalam pengertian yang terbatas, pemimpin ialah seorang yang membimbing memimpin dengan bantuan kualitaskualitas persuasifnya, dan akseptasinya/penerimaan secara sukarela oleh para pengikutnya. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah seorang yang memiliki kecakapan khusus, dengan atau tanpa pengankatan resmi dapat mempengaruhi orang lain yang dipimpinnya, untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pecapainya tujuan.

Pemimpin yang diharapkan oleh masyarakat Mandailing Natal terdapat pada 10 kutipan oleh Kartini Kartono (2002) menurut Ordway Tead : 1. Energi Jasmaniah dan Mental (Phisycal dan nervous energy) Hampir setiap pribadi pemimpin memiliki tenaga jasmani dan rohani yang luar biasa, yaitu mempunyai daya tahan, keuletan atau tenaga yang istimewa yang tampak seperti tidak akan habis. Hal ini ditambah dengan kekuatan-kekuatan mental berupa semangat juang, motivasi kerja, disiplin, kesabaran, ketahanan batin dan kemauanyang luar biasa untuk mengatasi semua permasalahan yang dihadapi. 2. Kesadaran akan tujuan teguh arah (A sense of purpose and direction) Ia memiliki keyakinan yang teguh akan kebenaran dan kegunaan dari semua perilaku yang dikerjakan, tahu persis karena yang akan ditujunya, serta pasti memberikan kemanfaatan bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain yang dipimpinnya. Tujuan tersebut harus disadari benar, menarik dan sangat berguna bagi pemenuhan kebutuhan hidup bersama. 3. Antusiasme (semangat, kegarian, kegembiraan yang besar) Pekerjaan yang dilakukan dan tujuan yang akan dicapai itu harus sehat, berarti, bernilai, memberikan harapan-harapan yang menyenangkan, memberikan sukses, dan menimbulkan semangat serta esprit de corps. Semua ini membangkitkan antusiasme, optimism, dan semangat besar pada pribadi pemimpin maupun para anggota kelompok. 4. Keramahan dan kecintaan (Friendliness and affecrtion) Affection itu berarti kesayangan, kasih saying, cinta, simpati yang tulus, disertai kesedihan berkorban bagi pribadi-pribadi yang disayangi. Sebab pemimpin ingin membuat mereka senang, bahagia dan sejahtera. Maka kasih saying dan dedikasi pemimpin bias menjadi tenaga penggerrak yang positif untuk melakukan perbuatanperbuatan yang menyenagkan bagi semua pihak. 5. Integritas ( keutuhan, kejujuran, ketulusan hati) Pemimpin itu harus bersifat terbuka, merasa utuh bersatu, sejiwa dan seperasaan dengan anak buahnya. Bahkan merasa senasib dan sepenanggungan dalam satu perjuangan yang sama. Karena itu dia bersedia memberikan pelayanan dan pengorbanan kepada para pengikutnya. Sedangkan kelompok yang dituntut menjadi semakin percaya dan semakin menghormati pemimpinnya. Dengan segala ketulusan hati dan kejujuran, pemimpin memberikan ketauladanan agar dia dipatuhi dan diikuti oleh anggota kelompoknya. 6. Penguasaan teknis (Technical mastery) Setiap pemimpin harus memiliki satu atau beberapa kemahiran teknis tertentu agar ia mempunyai kewibawaan dan kekuasaan untuk memimpin kelompoknya. Dia memiliki kemahiran-kemahiran social untuk memimpin dan memberikan tuntutan yang tepat serta bijaksana. Terutama teknik untuk mengkoordinasi tenaga manusia agar tercapainya maksimalisasi efektivitas kerja dan produktivitasnya. 7. Ketegasan dalam mengambil keputusan ( Decisivenss) Pemimpin yang berhasil itu pasti dapat mengambil keputusan secara cepat, tegas dan cepat, sebagian hasil dari kearifan dan pengalamannya. Selanjutnya dia mampu

menyakinka para anggotanya akan kebenaran keputusannya. Ia berusaha agar para prngikutnya bersedia mendukun kebijakan yang telah diambilny. Dia harus menampilkan ketetapan hati dan tanggung jawab, agar ia selalu dipatuhi oleh bawahannya. 8. Kecerdasan (Intelligency) Kecerdasan yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin itu merupan kemampuan untuk melihat dan memahami dengan baik, mengerti sebab dan akibat kejadian, menemukan hal-hal yang krusial, cepat menemukan cara menyelesaikan dalam waktu singkat. Maka orang yang cerdas akan mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi dalam waktu yang jauh lebih pendek dan dengan cara yang lebih efektif daripada orang yang kurang cerdas. 9. Keterampilan mengajar (Teaching skill) Pemimpin yang baik itu adalah seorang guru yang mampu menuntun, mendidik, mengarahkan, mendorong (memotivir), dan menggerakkan anak buahnya untuk sesuatu. Disamping menuntun dan mendidik anak buahnya, dia diharapkan juga menjadi pelaksanan eksuktif untuk mengadakan latihan-latihan, mengawasi pekerjaan rutin setiap hari dan menilai gagal atau suksesnya satu proses atau treatment. 10. Kepercayaan (Faith) Keberhasilan pemimpin pada umumnya selalu didukung oleh kepercayaan anak buahny. Yaitu kepercayaan bahwa para anggota dipimpin dengan baik dipengaruhi secara positif, dan diarahkan pada sasaran-sasaran yang benar. Ada kepercayaan bahwa pemimpin bersama-sama dengan anggota kelompoknya secara bersama-sama rela berjuan untuk mencapai tujuan yang bernilai. Setiap daerah dan masyarakat menginginkan pemimpin yang memiliki kriteria di atas. Pasti masyarakat menemukan kesejahtraannya. Begitu juga dengan Mandailing. Pada zaman dahulu pemimpin memiliki kriteria tersebut, tatapi semakin meningkatnya perkembangan dan kebutuhan manusia banyak pemimpin mengambil jalan pintas tanpa melihat konsekuensi yang akan di tuai oleh pemimpinn tesebut.

CARA PEMILIHAN PEMIMPIN Na Mora Na Toras Sebelum masa Pendudukan Jepun/Jepang di Indonesia, atau pada masa prakemerdekaan, dalam masyarakat Mandailing yang mendiami satu kawasan tertentu, terdapat tokoh-tokoh pemimpin tradisional yang lazim disebut Na Mora Na Toras. Mereka merupakan pemimpin dalam bidang pemerintahan dan adat. Secara harfiah perkataan Na Mora Na Toras berarti Yang Dimuliakan (dan) Yang Dituakan. Pengertian demikian menunjukkan bahwa mereka yang berkedudukan sebagai Na Mora Na Toras (semuanya lelaki), merupakan tokoh-tokoh yang dimuliakan dan dituakan dalam masyarakat Mandailing.

Orang-orang atau tokoh pemimpin yang disebut sebagai Na Mora adalah kaum bangsawan dari golongan marga tanah. Mereka terdiri daripada raja-raja dan kerabat dekatnya yang satu keturunan atau satu marga. Di Mandailing Julu yang digolongkan sebagai Na Mora ialah raja-raja bermarga Lubis dan kerabat terdekat mereka. Sedangkan di kawasan Mandailing Godang yang digolongkan sebagai Na Mora ialah raja-raja bermarga Nasution dan kerabat dekat mereka. Tokoh-tokoh pemimpin yang disebut sebagai Na Toras bukan merupakan golongan bangsawan, sebab mereka tidak berasal dari marga tanah. Namun para Na Toras mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat Mandailing sebab mereka mengemban sebagai pemegang atau penguasa adat dalam sesuatu kerajaan. Artinya, untuk memutuskan apakah sesuatu upacara adat dapat dilakukan atau tidak, misalnya dalam perkahwinan, harus mendapat persetujuan Goruk-Goruk Apinis dan kemudian disetujui oleh Na Mora Na Toras dan baru disahkan oleh Raja Panusunan Bulung. Pada hakikatnya sebutan Na Mora Na Toras mendukung dua macam pengertian sekaligus. Pengertiannya yang pertama ialah tokoh-tokoh pemimpin tradisional itu sendiri sebagai pribadi. Pengertiannya yang kedua ialah lembaga kepimpinan yang mereka dukungi bersama. Tokoh-tokoh pemimpin tradisional dan lembaga kepemimpinan sama-sama disebut sebagai Na Mora Na Toras terdapat pada setiap kerajaan kecil yang dinamakan banua atau huta. Sebagai kerajaan, masing-masing banua atau huta mempunyai wilayah sendiri yang jelas batas-batasnya dan ditempati sejumlah penduduk serta mempunyai pemerintahan sendiri. Tindak-tanduk mereka ditata oleh aturan yang tersirat atau tersurat, sebab dalam menjalankan tugas mereka, tokoh-tokoh pemimpin tersebut hanya dapat bertindak sesuai dengan aturan adat. Dalam menjalankan tugas mereka, mereka menggunakan perlengkapan dan lambang-lambang. Misalnya sidang peradilan adat dilakukan di Sopo Godang (balai sidang) dan dihadirkan lambang keadilan berupa patung kayu, Sangkalon Sipangan Anak Sipangan Boru, dan dilengkapkan dengan burangir (sirih adat). Tapi apabila penguasa militer Jepang menghapuskan kerajaan-kerajaan kecil di Mandailing di tahun 1942 dan disusuli masa kemerdekaan beberapa tahun kemudian, para raja dan pemimpin tradisional sekaligus lembaga kepemimpinan Na Mora Na Toras hilang kekuasaan mereka dalam menjalankan pemerintahan dalam masyarakat Mandailing. Namun dalam pengaturan dan pengawasan adat, mereka masih berfungsi sampai sekarang meskipun kekuasaan mereka tidak sebesar dulu.

CARA PENYELESAIAN MASALAH Setiap sesuatu pasti memiliki masalah tersendiri. Tidak hanya manusia pribadinya tetapi social juga memiliki masalah. Cara menyelasaikan masalah itu ada dengan cara kekeluargaan ada juga yang diselesaikan dengan musyawarah. Masyarakat Mandailing sangat mengenal Musyawarah baik itu masalah sederhana, maupun masalah social. Seseorang petinggi suku yang sering disebut Hatobangon atau orang yang dituakan dimintai pendapat atas sesuatu masalah besar. Masyarakat sangat menghormati apa saja keputusan dari Hatobangon, masyarakat harus ikut serta memperbaiki masalah tersebut. Berbeda dengan tempat lain, di Mandailing Natal terdapat beberapa tempat-tempat yang dijadikan tempat musyawarah atau tempat berkumpulnya warga-warga. Selain dirumah warga, Lopo biasa dijadikan tempat musyawarah. Lopo atau warung kopi sangat banyak dimana-mana, setiap desa pasti memilikinya. Lopo digunakan bagi pria dewasa untuk membicarankan tentang pemasaran hasil pertanian, lopo digunakan juga untuk menjalin keakraban sesama penduduk dan wadah penerimaan informasi baru tentang kampung tersebut.

NILAI LUHUR Kebudayaan Mandailing yang sifatnya ditandai oleh bahasa, tulisan dan adat istiadat dapat dilihat dalam pergaulan hidup sehari-hari dalam upacara-upacara tertentu. Ada beberapa hal tentang kebudayaan Mandailing antara lain : a. Bahasa Mandailing sampai sekarang masih dipakai di dadrah Mandailing dan di daerah-daerah lain di perantauan dalam pelaksanaan komunikasi di antara sesame suku Mandailing. Bahasa Mandailing mempunyai logat yang lemah lembut dan dibawakan dengan suara halus. b. Tulisan Mandailing yang disebut Huruf tulak-tulak, boleh dikatakan sudah mulai hilang dan tidak dikembangkan oleh generasi penerus. Hal ini dapat disebabkan karena pendidikan anak di sekolah mengharuskan mempelajari tulisan tersebut. c. Adat istiadat mandailing baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacaupaca adat tertentu masih tetap dipakai oleh orang Mandailing. Adat istiadat Mandailing berdasarkan Dalihan Na Tolu. d. Sifat orang Mandailing adalah suka merantau, religious, kritis, mudah menyesuaikan diri, berani menegakkan kebenaran dan mempunyai rasa malu yang besar.

Marga-Marga Mandailing
Orang-orang Mandailing mengelompokkan diri mereka dalam beberapa marga, sebagai keturunan daripada seorang tokoh nenek moyang. Masing-masing kelompok marga mempunyai seorang tokoh nenek moyangnya sendiri yang "berlainan asal". Pendek kata, masyarakat Mandailing merupakan kesatuan beberapa marga yang berlainan asalnya. Silsilah keturunan itu dinamakan tarombo dan sampai sekarang masih banyak disimpan oleh orang-orang Mandailing sebagai warisan turun-temurun yang dipelihara baik-baik. Melalui tarombo, orang-orang Mandailing yang semarga mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai ini hari. Melalui jumlah keturunan dapat diperhitungan sudah berapa lama suatu kelompok marga mendiami wilayah Mandailing. Marga dapat dirumuskan sebagai "kelompok orang yang dari keturunan seorang nenek moyang yang sama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapa atua bersifat patrilineal. Semua anggota marga memakai nama marga yang dipakai/dibubuhkan sesudah nama sendiri, dan nama marga itu menandakan bahwa orang yang menggunakannya mempunyai nenek moyang yang sama. Mungkin tidak dapat diperinci rentetan nama para nenek moyang yang menghubungkan orang-orang semarga dengan nenek moyang mereka, sekian generasi yang lalu, namun ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama terjalin hubungan darah, dan salah satu pertandanya adalah larangan kahwin bagi wanita dan pria yang mempunyai nama marga yang sama". Nama marga-marga yang terdapat di Mandailing pada umumnya tidak muncul serentak. Kebiasaannya nama marga muncul dan mulai dipakai pada keturunan ketiga setelah nenek moyang bersama. Ini mungkin kerana pada generasi ketiga keturunan seorang nenek moyang mulai banyak jumlahnya sehingga mereka mulai memerlukan suatu nama identitas, iaitu nama marga. Ada yang memperkirakan bahwa di Mandailing terdapat 13 marga. Marga-marga itu ialah:

1. Hasibuan

6. Nasution

10. Matondang 11. Batu Bara 12. Tanjung 13. Lintang

2. Dalimunte 7. Rangkuti 3. Mardia 4. Pulungan 5. Lubis 8. Parinduri 9. Daulae

Lumrahnya setiap marga mempunyai nenek moyang yang sama. Tetapi ada juga sejumlah marga yang berlainan nama tetapi mempunyai nenek moyang yang sama. Misalnya, marga Rangkuti dan Parinduri; Pulungan, Lubis dan Harahap; Daulae Matondang serta Batu Bara. Melalui tarombo atau silsilah keturunan dapat diketahui nenek moyang bersama sesuatu marga. Dan dari jumlah generasi yang tertera dalam tarombo dapat pula diperhitungkan berapa usia suatu marga atau sudah berapa lama suatu marga tinggal di Mandailing. Dari banyak marga tersebut, terdapat dua marga besar yang berkuasa, yang masingmasing menduduki sebuah wilayah luas yang bulat. Marga itu adalah Nasution di Mandailing Godang dan Lubis di Mandailing Julu.

Bahasa dan Tulisan Mandailing

Huruf Tulak-tulak

Suku bangsa Mandailing memiliki bahasa sendiri yaitu Bahasa Mandailing (rumpun bahasa Austronesia). Dalam prakteknya bahasa ini dibagi atas lima ragam yang dibedakan atas kosakata yang berbeda.

You might also like