You are on page 1of 80

Edisi 7 Tahun 5 April 2006

ISSN 1858 - 3474

771858 347456

JURNAL SOSIOTEKNOLOGI
Sains dan Teknologi Dalam Perspektif Ilmu Sosial dan Kemanusiaan
ARTIKEL
Governance Teknologi di Masyarakat : Sebuah Pendekatan Jejaring-Aktor. Kepentingan Strategis ITB Sebagai Aktor Non-Teritorial Transnasional Bidang Iptek. Optimalisasi Peran dan Fungsi ITB Sebagai Pencetak Teknopreneur bagi Kemajuan Bangsa dan Pembangunan Nasional Berkelanjutan. Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi. Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional.

ULASAN
Dari Diskusi Pendalaman Materi Topik Jurnal Edisi ini : Indonesia Yang Merobek-robek Diri Sendiri

RESENSI BUKU
Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.

KELOMPOK KEAHLIAN ILMU KEMANUSIAAN FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Dewan Pakar : Prof.Wiranto Arismunandar (ITB) Prof.Imam Buchori Zainudin (ITB) Drs.Amas Suryadi, M.Hum. (ITB) Prof.Andi Azis (University of New Brunswick, CANADA) Pelindung : Dr.Biranul Anas Zaman (Dekan FSRD ITB) Penanggungjawab : Asep Wawan Jatnika (Ketua Kelompok Keahlian Ilmu Kemanusiaan FSRD-ITB) Pengelola : Berdasarkan SK Dekan FSRD-ITB No.l49/K01.1/SK-KP/2006, 23 Februari 2006 Pemimpin Redaksi : Dicky Rezady Munaf Sekretaris Redaksi : Acep Iwan Saidi Dewan Redaksi : Prima Roza Tri Sulistyaningtyas Rukman Kontributor : Ratna Djuwita Bandono Cecep Alba Ronny Hendrawan Suprianto Anniar Samanudi Rr. Sri Wachyuni Rathoyo Rasdan Nia Sri Ramania Produksi : Tati Hartati Rusdiana Distribusi : Adjat Sudrajat Tatang Saripudin Tedi Supriatna Alamat : Sekretaris Jurnal Sosioteknologi Kelompok Keahlian Ilmu Kemanusiaan FSRD ITB Lab Tek VII Lantai Dasar Jl.Ganesha 10, Bandung 40132, INDONESIA Tilp./Fax : 62-22-2502189

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Governance Teknologi di Masyarakat : Sebuah Pendekatan Jejaring-Aktor S. Yuliar1, M.A. Anggorowati2

Abstract Technology governance in community relates to the coordination, technology steering and operation which are aimed at the achievement of the predicted or ntended social impact. The mutual shaping between technology and community implies that technology governance has to take into account of technology diffusion and innovation whose process is co-evolutionary in nature. In this paper, a methodological framework which is designed to understand technology governance is based on actor-network theory. A case study about the implementation of technology scanner to process a census of population data is presented to ilustrate the application of the above-mentioned methodological framework. The problems found during the research are also presented at the last part of this paper. Kata Kunci: governance teknologi, mutual shaping teknologi dan masyarakat, proses ko-evolusioner, teori jejaring-aktor. 1. Pendahuluan kontrol publik, perawatan kesehatan yang sangat mahal. Paradoks ini menghadirkan suatu tantangan untuk memahami cara-cara bagaimana mengatur, mengkoordinasikan, dan mengarahkan difusi teknologi di masyarakat-governance teknologi di masyarakat. Pada esensinya, konsep governance berkenaan dengan koordinasi, steering dan operasi dalam konteks yang tersusun atas multiaktor (Bevir, 2001). Konsep governance digunakan ketika dalam perspektif analisis, hierarki struktural antara pemerintah-publik dan negarapasar bukan menjadi perhatian utama, melainkan pada jejaring sebagai mekanisme koordinasi. Governance didefinisikan sebagai systems of rule, sebagai kegiatan bertujuan dari suatu kolektivitas yang melangsungkan mekanisme yang 3

Perubahan sosial dan pembangunan kemasyarakatan tidak mungkin terjadi tanpa teknologi. Pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan, energi, transportasi, dan komunikasi, tidak mungkin terlaksana tanpa melibatkan teknologi, baik sebagai infrastruktur, sistem, devais, utensil ataupun komponen. Akan tetapi teknologi juga menjadi bagian dari persoalanpersoalan pembangunan yang tak kunjung terselesaikan, seperti polusi lingkungan, keselamatan di lokasi kerja, privacy invasion melalui
1. Staf Pengajar di Program Magister Studi Pembangunan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB 2. Staf Biro Pusat Statistik Pusat, Jakarta

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

dirancang untuk menjamin keamanan, kesejahteraan, keharmonisan, kestabilan, dan keberlanjutan. Dalam domain-domain kebijakan yang berbeda-beda, kombinasi antara agen-agen publik dan swasta, gagasan governance dalam jejaring relasi di antara aktor-aktor telah menggantikan gagasan klasik tentang bentuk-bentuk koordinasi hierarkis. Yang penting di sini adalah bahwa terdapat koordinasi dan steering (governance) dalam pasar dan ini merupakan hasil upaya aktor-aktor yang berbeda-beda dan saling-bebas. Teknologi, mulai dari fase riset dan pengembangan, difusi di masyarakat sampai kebijakan teknologi, dipengaruhi oleh cara-cara bagaimana berbagai agen, organisasi yang terkait diatur dan berinteraksi. Akan tetapi teknologi itu sendiri merupakan penggerak perubahan, misalnya melalui internasionalisasi agenda-agenda pembangunan. Dengan demikian, mempelajari governance teknologi di masyarakat memper-syaratkan suatu kerangka analisis dengan teknologi dan masyarakat, entitas teknis dan entitas social, diletakkan dalam sebuah kerangka analisis yang tunggal (mutual shaping antara teknologi dan masyarakat) (Bijker, 1992; Rip, 1995) . Dalam makalah ini dibahas bagaimana permasalahan governance teknologi di masyarakat dapat didekati melalui studi sosial terhadap teknologi, Untuk ini, perkembangan teori-teori sosial teknologi akan ditinjau secara ringkas pada bagian 2 dan perhatian akan dipusatkan pada teori jejaring-aktor. Bagaimana teori atau pendekatan

ANT digunakan dalam kerangka upaya memahami governance teknologi akan dibahas pada bagian 3.

2.

Teori-Teori Teknologi

Sosial

tentang

Studi sosial terhadap teknologi berkembang sejak 1980-an, melibatkan disiplin sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat teknologi. Hipotesis yang melandasi perkembangan keilmuan ini adalah bahwa perubahan sosial dan perubahan teknis terjadi secara serentak dan saling mempengaruhi (mutual shaping), membentuk proses ko-evolusioner (Bijker, 1992; Bijker, 1987; Rip, 1995). Dalam situasi demikian, upaya untuk memahami salah satu mempersyaratkan pemahaman keduanya. Para pelopor di bidang ilmu multidisiplin ini memusatkan perhatiannya pada proses-proses yang membawa pada difusi teknologi yang stabil, dan kestabilan sosial yang menyangga difusi tersebut Perkembangan penelitian multidisiplin ini melahirkan tiga teori atau model tentang ko-evolusi teknologi dan masyarakat (Bijker, 1987): (i) teori jejaring teknologi; (ii) teori konstruksi sosial teknologi; dan (iii) teori jejaringaktor. Dalam teori jejaring teknologi (Hughes, 1987), sistem-sistem teknologi yang berskala besar berkembang mengikuti fase-fase tertentu (invensi, inovasi dan kompetisi, konsolidasi), pada setiap fase ini, inventor, entrepreneur, manajer, engineer, melakukan negosiasi dan menentukan pilihanpilihan. Melalui proses konstruktif 4

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

demikian sistem-sistem teknologi memperoleh karakter lokal / nasional. Dalam pandangan konstruksi sosial teknologi, pengetahuan saintifik dan teknologis merupakan hasil dari proses konstruksi dan negosiasi sosial yang didorong oleh kepentingan-kepentingan para partisipan yang terlibat (Rip, 1995). Terakhir, Teori Jejaring-Aktor (ActorNetwork Theory, disingkat ANT). Dalam teori ini, hadirnya fenomena sosioteknis dijelaskan dengan menggunakan konsep jejaring relasi yang melibatkan elemen yang heterogen (Latour, 1999; Law, 1999; Callon, 2003). . 2.1 Konsep-Konsep Teoretik dalam ANT Untuk memahami bagaimana ANT menerangkan fenomena sosioteknis, terlebih dahulu disampaikan penggunaan makna jejaring dalam frase jejaring-aktor. Pertama, jejaring di sini bukan merupakan kanal-kanal yang fixed dan finalized, dan tidak memiliki simpul-simpul yang pre-established. Ini berbeda dari makna jejaring dalam istilah-istilah teknis seperti jejaring transportasi dan jejaring komputer. Kedua, makna jejaring di sini juga berbeda dari makna jejaring dalam istilah jejaring sosial di dalam teori-teori sosial. Dalam kajian jejaring sosial, perhatian ditujukan pada relasi-relasi sosial dari individuindividu (aktor manusia)frekuensi, distribusi, dan homogenitas dari relasi-relasi ini. Perhatian ANT tertuju pada relasi-relasi heterogen yang mencakup ke entitas-entitas bukan-

manusiaobjek-objek teknologi dan natural (Latour, 1999). Jadi, jejaring-aktor berbeda maknanya dengan jejaring aktoraktor, yang menunjuk pada aktoraktor otonom/mandiri yang berelasi dalam struktur yang fixed. Jejaringaktor merupakan konsep ontologis yang menunjuk pada suatu fenomena becomingbagaimana sesuatu menjadi dan menghasilkan efek-efek. Menurut ANT, agen sosial tidak pernah berlokasi pada tubuh atau tubuh-tubuh semata, tetapi merupakan jejaring relasi-relasi heterogen yang berpola, atau merupakan efek dari jejaring seperti ini. Dari argumen seperti inilah munculnya istilah jejaring-aktor sebuah aktor juga selalu merupakan jejaring. Sebagai ilustrasi, sebuah mesin juga merupakan jejaring heterogen sekumpulan kaidah-kaidah yang dijalankan oleh elemen-elemen teknis, tetapi juga elemen-elemen manusia seperti operator, pengguna, dan pemelihara. Begitu pula dengan teks. Semua ini merupakan jejaring yang berpartisipasi dalam entitas sosial. Hal yang sama berlaku bagi organisasi dan lembaga: ini merupakan kaidah-kaidah berpola yang dimainkan oleh manusiamanusia, mesin-mesin, teks-teks, bangunan-bangunan. Dalam kerangka kerja teoretik ANT, berfungsinya teknologi di masyarakat dijelaskan sebagai produk atau efek dari jejaring relasirelasi heterogen yang mencakup agen-agen dan lembaga-lembaga sosial, mesin-mesin, objek-objek 5

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

teknologi dan organisasi-organisasi. ANT mempelajari bagaimana proses penyusunan dan penataan relasirelasi heterogen, di mana elemenelemen sosial, teknikal, konseptual, tekstual, dipadankan satu pada yang lain, sehingga mengalami konversi atau translasi membentuk suatu jejaring-aktor. Tugas suatu analisis sosiologi di sini adalah melakukan karakterisasi jejaring relasi-relasi ini dalam heterogenitasnya, dan mengeksplor bagaimana efek-efek seperti organisasi, kuasa, fungsi, ataupun kinerja dihasilkan (Latour, 1999; Callon, 2003). Punktualisasi (Punctualisation). Dalam pengamatan sehari-hari, sebuah televisi merupakan obyek tunggal yang koheren dengan beberapa komponen yang terlihat. Namun ketika televisi ini rusak, ia segera berubah menjadi sebuah jejaring komponen-komponen elektronik (tetsers dan suku cadang) dan intervensi-intervensi manusia. Mengapa jejaring yang menopang sebuah aktor tidak mudah dikenali dalam pengamatan sehari-hari? Menurut ANT, terlihatnya kesatuan dan menghilangnya jejaring berkaitan dengan pembingkaian (framing) dan penyederhanaan. Argumentasinya adalah sebagai berikut, semua fenomena sosial/teknis merupakan efek atau produk dari jejaring yang heterogen. Tetapi dalam praktik kita sering kali tidak berada dalam posisi untuk mendeteksi kompleksitas jejaring. Yang terjadi adalah, begitu jejaring beraksi sebagai sebuah kesatuan unit, maka ia menghilang, digantikan oleh aksi itu sendiri atau representatif dari aksi tersebut: punctualization (Latour, 1999).

Translasi (Translation) Dalam ANT, analisis ditujukan untuk menggali dan mendeskripsikan proses pembentukan pola-pola secara lokal, temporal: social orchestration, ordering and resistance. ANT menggali proses (yang sering disebut translasi) yang membangkitkan efek pranata seperti devices, agents, institutions, organisations. Persoalan inti yang menjadi perhatian ANT adalah (Latour, 1987; Law, 1999): bagaimana para aktor memobilisasi, merangkaikan dan memegang bersama elemenelemen heterogen; bagaimana mereka dapat menyembunyikan proses translasi itu sendiri dan mengubah jejaring dari sekumpulan heterogenmasing-masing dengan kecenderungannya sendiri-sendiri ke dalam sesuatu yang tampil sebagai aktor yang terpunktualisasikan. Untuk memperlihatkan posisi ANT dalam teori-teori sosial, dapat digunakan matriks paradigmaparadigma sosiologi yang disusun oleh George Ritzer (Ritzer, 1992). Sosiologi translasi (atau ANT) ini memiliki kedekatan dengan teori tindakan sosial Max Weber dalam hal bahwa entitas-entitas sosial itu didefinisikan melalui aksi-aksi sosial. Namun demikian, sosiologi translasi tidak mengasumsikan keberadaan aktor sosial secara a priori. Alih-alih demikian, ke-aktor-an suatu aktor sosialsebagaimana kestabilan fungsi teknologismerupakan hasil dari jejaring relasi-relasi heterogen.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Tabel 1. Sebuah Alternatif melihat Teori Jejaring-Aktor dengan Memetakannya pada Paradigmaparadigma Sosiologi.
Variabel Individual Individual group Individual group + obyek-obyek material Group Paradigma Prilaku social Definisi social Translasi social Fakta social

2.2 Konsep-Konsep Analitik dalam ANT ANT menerangkan fenomena sosioteknis (seperti difusi inovasi) dengan melibatkan elemen-elemen heterogen (seperti tabung-tabung eksperimen, lembaga-lembaga sosial, mesin scanner, jejaring komputer di dalam sebuah jejaring yang tertata dan terpola, dengan resistansiresistansi yang sebelumnya muncul telah teratasi. Beberapa kaidah empiris yang dapat digunakan untuk menjelaskan pola-pola pembentukan jejaring-aktor adalah sebagai berikut (Bijker 1992; Latour 1987) : Pertama, beberapa jenis material bersifat lebih durable dari pada yang lain sehingga mampu memelihara pola-pola relasional lebih lama. Namun durability itu sendiri merupakan efek relasional. Benda-benda material yang durable dapat digunakan dalam cara-cara yang berbeda, dan efekefeknya berubah ketika ditempatkan dalam jejaring relasirelasi yang baru.

Jika durability berkenaan dengan penataan pada dimensi waktu, mobilitas merupakan penataan pada dimensi ruang. Khususnya, mobilitas berkenaan dengan caracara untuk beraksi dari jauh (acting at a distance). Akan tetapi pusatpusat dan periferi-periferi juga merupakan efek relasional yang dihasilkan melalui pengawasan dan kontrol. Teks, peraga elektronik, statistik, sistem perbankan, dan lain-lain, merupakan immutable mobiles; objek-obyek yang bersirkulasi dan membawa elemen-elemen heterogen dalam suatu jalinan relasi-relasi. ANT berargumen bahwa dalam kondisi relasional yang tepat, efekefek kalkulasional tertentu dapat dihasilkan, sehingga meningkatkan ketegaran jejaring. Akan tetapi kalkulasi bukan suatu deus ex machina. Calculativeness itu sendiri merupakan sekumpulan relasi heterogen. Kalkulasi hanya dapat bekerja melalui representasi material, pembingkaian (framing), pengawasan dan kontrol, yang juga merupakan efek-efek relasional. Yang terakhir, penstrukturan berlangsung dalam lingkup lokal dan temporal. Akan tetapi dalam situasi tertentu strategi translasi menjalar dan bereproduksi dalam jejaring dari jejaring-jejaring (network of networks). Jika ini terjadi, ini akan berlangsung secara implisit, dan memberikan efek makro/global.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

2.2.1 Representasi : Reduksi Amplifikasi Dalam kerangka kerja analitik ANT, representasi objektif lebih dari sekadar proses kognitif referensial yang menunjuk pada suatu objek. Tetapi, representasi objektif berlangsung melalui serangkaian tahap-tahap (Gambar 1). Bergerak dari kiri-ke-kanan, tahap-demi-tahap, menjadi hilang efek lokalitas, partikularitas, materialitas, multiplisitas, dan kontinuitas, sehingga pada akhirnya, tidak ada apapun yang tertinggal kecuali REDUKSI

beberapa lembar kertas atau angkaangka (Latour, 1987). Segitiga yang pertama (menguncup ke kanan) disebut reduksi, yang ujungnya adalah segala sesuatu yang dihitung/ditotalkan. Tetapi pada setiap tahap, meskipun sesuatu hilang, sesuatu yang baru ditambahkan: kompatibilitas, standardisasi, teks, sirkulasi, dan jumlah. Jadi, dalam proses reduksi, pada setiap tahap sesuatu hilang (disentanglement), dan sesuatu yang baru hadir (entanglement); reduksi dibayar dengan amplifikasi, kompatibilitas, dan efek-efek kalkulasi.

Kompatibilitas Klasifikasi Standardisasi Teks Kalkulasi Sirkulasi

Successive stages
Lokalitas Partikularitas Materialitas Multiplisitas Kontinuitas

AMPLIFIKASI

Gambar 1. Representasi Obyektif sebagai Proses Reduksi/Amplifikasi.

2.2.2 Efek Kalkulatif Efek kalkulatif (calculativeness) hadir melalui penataan relasi-relasi yang melibatkan representasi material, pengawasan dan kontrol; ketika agen-agen dan benda-benda yang terlibat dalam kalkulasi

mengalami disentanglement (pemutusan atau pelemahan relasi) dan dibingkai (framed). Melalui pembingkaian dan disentanglement, batas-batas ditarik di antara relasirelasi; batas-batas ini yang menjadi pertimbangan dalam kalkulasi (Callon, 2003). 8

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsep disentanglement telah lama dikenal dalam teori ekonomi, ketika para pakar ekonomi mendefinisikan eksternalitas yang menunjuk pada semua koneksi, relasi, dan efek yang para agen tidak perhitungkan ketika memasuki kalkulasi dan transaksi pasar. Dalam perspektif ANT, setiap entitas terlibat di dalam jejaring relasi-relasi, dalam aliran intermediaries yang bersirkulasi, menghubungkan, membentuk identitas-identitas. Konsep eksternalitas menunjuk pada semua pekerjaan yang harus dilakukan untuk membuat relasi-relasi dapat dikalkulasi di dalam jejaring. Tabel 2. Rangkuman Konsep-Konsep ANT dan Kegunaan Praktisnya. Konsepkonsep
Jejaring-aktor, Punktualisasi Translasi

Kegunaan
Menerangkan fenomena becoming sebagai translasi, punktualisasi, hadirnya jejaring-aktor Mekanisme penataan dan penyusunan polapola relasi-relasi, reduksi, dan hadirnya agen-agen kalkulasi

mengilustrasikan bagaimana proses mutual-shaping ini dapat dianalisis menggunakan konsep-konsep seperti framing, circulating references, immutable mobility. Kasus ini dikembangkan berdasarkan riset empiris yang menelusuri difusi teknologi scanner di dalam pengolahan hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 (SP2000). Dalam implementasi aktual teknologi ini, pengolahan data SP2000 di sejumlah daerah justru menempuh jangka waktu yang lebih panjang (sekitar 2 tahun) dari yang sebelumnya ditempuh dengan teknologi manual (sistem key-in), yaitu 1 tahun. Perkecualian terdapat di wilayah DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), di mana pengolahan data dengan scanner dapat diselesaikan sesuai dengan jangka waktu sekitar enam bulan. Riset empirik dilakukan untuk mempelajari : (i) bagaimana koordinasi, steering dan pengoperasian teknologi scanner ICR dilaksanakan, dengan mengambil fokus di di Daerah Istimewa Yogyakarta dan di Propinsi Jawa Barat, dan (ii) bagaimana aktoraktor sosial (di tingkat pusat, dan daerah dan lokal), dan objek-obyek teknis (manual, SOP, lembar angket, gudang-gudang, rak-rak, lokasi-lokasi) terlibat dalam suatu jejaring-relasirelasi dan berimplikasi pada koordinasi, steering dan pengoperasian scanner ICR. Riset dilakukan dengan menggunakan metode following the actors secara retrospektif. Wawancara semiterstruktur dan observasi semipartisipatori dilaksanakan di area pengolahan data di DIY, dan di tiga lokasi di Propinsi Jabar. Keseluruhan pengamatan dilaksanakan pada tahun 9

Framing (disentanglement / entanglement) Intermediaries/ circulating objects, Efek Kalkulasi

3.

Studi Kasus : Governance Teknologi dalam Otomasi Pengolahan Data Sensus

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, governance teknologi perlu memperhitungkan proses mutual-shaping di antara teknologi dan masyarakat. Pemaparan studi kasus di sini dimaksudkan untuk

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

2003 sampai akhir 2004. Deskripsi terinci tentang pelaksanaan riset ini dapat dilihat di laporan tesis magister (Anggorowati, 2005).

Teknogram dari Scanner ICR Teknologi scanner ini berjenis Intelligent Character Recognition (ICR), yang pernah diimplementasikan di Jepang untuk pengolahan data survei. Teknologi ICR adalah gabungan antara OCR (Optical Character Recognation) dan OMR (Optical Mark Recognation). Scanner ICR mampu mengenali marking

(bulatan), karakter hasil print out mesin cetak (printer, mesin ketik), dan sejumlah karakter hand print (tulisan tangan). Ini menjadikan scanner jenis ICR lebih fleksibel. Scanner ICR diperlengkapi dengan perangkat lunak yang berfungsi untuk memetakan karakter-karakter elektronik (hasil pengubahan citra optik) ke dalam simbol-simbol pada suatu dictionary. Pencahayaan obyek menentukan kualitas citra optik yang dihasil scanner, sehingga pemilihan lampu scanner merupakan menjadi bagian yang penting dari scanner.

Gambar 2. Bentuk Karakter yang Dikenali Scanner ICR Konsepsi Teknologi Scanner Konsepsi dan definisi teknologi scanner untuk pengolahan data SP2000 berlangsung melalui serangkaian negosiasi di antara JICA (Japan International Cooperation Agency), SBJ (Statistic Beareau of Japan) dan BPS (Badan Pusat Statistik), dalam tahap perencanaan penyelenggaraan SP2000. Bagi BPS, scanner dikonsepsikan sebagai sarana otomasi / komputerisasi pengolahan data di lingkungan BPS. Pada kegiatan SP2000 JICA berperan membantu pengadaan scanner bagi BPS dan SBJ membantu dalam hal perencanaan dan pelaksanaan program sensus, termasuk pengolahan data. Bagi pihak Jepang, pelaksanaan SP2000 di Indonesia menjadi eksperimen sosial, oleh karena pada tahun 2001 Pemerintah Jepang akan melaksanakan sensus penduduk dengan menggunakan scanner untuk pengolahan data 10

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

sensus. Sebelumnya, Jepang menggunakan scanner hanya sebatas pengolahan data survei-survei, bukan data sensus. Dari riset empiris yang dilaksanakan, ditemukan bahwa implementasi scanner ICR dalam pengolahan hasil SP2000 di DIY dan di Propinsi Jabar berlangsung dengan pola jejaring relasi-relasi yang berbeda secara signifikan sebagai berikut (Tabel 3) : Pada pelaksanaan SP2000 di BPS Propinsi DI Yogyakarta, jejaring relasi-relasi yang terbentuk menghasilkan efek durable dan ekstensi spasial (mobilitas) yang kuat, karena adanya kompatibilitas dan amplifikasi melalui objek-obyek yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan sensus terdahulu (yakni di tahun 1990). Pada kasus di Propinsi Jabar, ekstensi spasial justru terhambat oleh karena

dilibatkannya petugas-petugas teknis baru (meskipun terlatih). Dalam tahap-tahap pembingkaian, reduksi dan amplifikasi berlangsung di dua arah: ke arah kompatibilitas dengan jejaring scanner di BPS Pusat, dan ke arah kompatibilitas dengan jejaring relasi lokal (jejaring pelaksana sensus 1990). Dengan perkataan lain, berlangsung superposisi dalam amplifikasi di kedua jejaring. Efeknya adalah mobilitas dan ketegaran relasi-relasi, pengawasan dan kontrol yang efektif dalam verifikasi dan validasi lembarlembar angket. Pada pelaksanaan SP2000 di BPS Propinsi Jawa Barat, pembingkaian yang terjadi tidak kompatibel dengan jejaring key-in. Amplifikasi di arah totalisasi scanner tidak efektif oleh karena adanya overflows. Lemahnya amplifikasi ini berdampak dalam komplikasi proses pengolahan data.

Tabel 3. Perbandingan CirculatingObjects/References dalam Framing: Perbandungan di DI YogyakartaPropinsi Jawa Barat


Tahapan Batching DIY Tagging Tiap Kotak Dokumen dan Rak-Rak; Gudang-Gudang Penyimpanan Terkonsentrasi; Daftar Kuesioner Keluar/Masuk Gudang Lembar Nomor Blok Sensus Perlengkapan dokumen dan acuan bentuk tulisan; Staf BPS Tk I sebagai Editor Dokumen sensus terdahulu; SOP terdahulu; Catatan Lapangan; Catatan Mitra Tepercaya; Catatan Pertemuan Informal (di antara pelaku sensus terdahulu) Jabar Gudang-Gudang Tersebar; Dokumen Tersebar Kotak-Kotak

Scanning Editing

Perlengkapan dokumen; tanpa acuan bentuk tulisan; Tidak ada Editor Dokumen terdahulu tidak disirkulasikan; Tidak ada pertemuan informal

Kanal Komunikasi

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

11

Kasus DIY

Framing Reduksi Amplifikas

Kasus JABAR

Framing Reduksi Amplifikas

Gambar 3. Ilustrasi pembingkaian kasus DIY (atas; gambar disederhanakan) dan kasus Jabar (bawah; gambar disederhanakan). Di kasus DIY terjadi ekstensi jejaring melalui circulating references yang meluas; di kasus Jabar amplifikasi berlangsung lemah, dan terjadi verflows yang melemahkan jejaring.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

12

Kepentingan Strategis ITB Sebagai Aktor Non-Teritorial Transnasioanl Bidang Iptek 4. Diskusi dan Kesimpulan

Menyikapi kegagalan difusi scanner ICR dalam pengolahan data SP2000, muncul pandangan bahwa ketaksiapan pengguna menjadi faktor penyebab yang utama (human/social factor), yang dikaitkan dengan tingkat pendidikan pengguna. Di lain pihak, terdapat penilaian bahwa sumber persoalan terletak pada kapabilitas teknis dari mesin scanner ICR itu sendiri (technical factor). Analisis dengan menggunakan ANT yang dipaparkan di atas memperlihatkan sumber persoalan terletak pada: (i) bagaimana pelaku-pelaku, dokumendokumen dan acuan-acuan yang terlibat dalam pelaksanaan sensus terdahulu (yakni Sensus Penduduk tahun 1990) dihubungkan ke mesin scanner ICR, program aplikasi dan lembar angket khusus yang terkait, dan aktor-aktor sosial yang baru, dan (ii) bagaimana intermediary objects disirkulasikan untuk memberikan durability dan spatial extention dari jejaring relasi-relasi heterogen yang dibangun dalam poin (i). Dengan perkataan lain, studi empiris yang dilakukan menyarankan bahwa perbedaan kinerja scanner ICR di DIY dan di Propinsi Jabar berkenaan bukan dengan faktor teknis ataupun faktor sosial, tetapi faktor sosioteknis. Untuk meningkatkan kapasitas governance teknologi scanner untuk tujuan peningkatan kinerja BPS, para pelaku sensus di tingkat lokal, para tokoh masyarakat lokal, dan dokumen-dokumen acuan lokal perlu dilibatkan dalam perencanaan implementasi teknologi scanner. Hal ini dapat membantu ketertelusuran di antara dokumen-dokumen acuan (antara pusat-daerah-lokal; antara catatan manual dan dictionary), dan memberikan tingkat legitimasi yang lebih tinggi di tahap-tahap totalisasi hasil sensus. Riset lebih jauh diperlukan untuk mempelajari pola-pola di mana jejaringjejaring bertemu, mengalami superposisi, dan membentuk jejaring dari jejaringjejaring. Kasus-kasus empiris perlu diperkaya dan dikembangkan untuk meningkatkan generalitas dari model ko-evolusi untuk tujuan memahami governance dalam jejaring-jejaring. Selain ini, akan menarik untuk bisa mengembangkan sarana untuk mengukur kekuatan jejaring/translasi, sehingga membantu dalam penggunaan praktis dari model jejaring-aktor.

Pustaka Acuan 1. M. Anggorowati (2005) Studi tentang Implementasi Mesin Scanner pada Sensus Penduduk 2000 melalui Analisis Pembingkaian Relasi Sosioteknis. Laporan Tesis Magister, Program Magister Studi Pembangunan, ITB. M. Bevir and R. A. W. Rhodes (2001) A Decentered Theory of Governance. Working Papers published by the Institute of Governmental Studies, Univ of California, Berkeley. Bijker,W.E., and John Law. (1992) Shaping Technology/Building Society: Studies in Sociotechnical Change. The MIT Press, Cambridge. Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006 13

2.

3.

Kepentingan Strategis ITB Sebagai Aktor Non-Teritorial Transnasioanl Bidang Iptek Boudourides, M.A. (1995) Chaos and Critical Theory. International Conference "Einstein meets Magritte", Brussels. 5. Callon, M. (2003) Actor-Network Theory - the Market Test. http:// www.comp.lancs.ac.uk/sociology/papers/Callon-Market-Test.pdf 6. Hughes, T. (1987) The Evolution of Large Technological Systems, in Bijker, Hughes, and Pinch (eds.) (1987) The Social Construction of Technological Systems: New Directions in the Sociology and History of Technology. MIT Press., Cambridge, MA. 7. Kroes, P. (1998) Technological Explanations: The Relation between Structure and Function of Technological Objects. Society for Philosophy & Technology, Volume 3, Number 3. 8. Latour, B. (1999) Pandora's Hope : Essays on The Reality of Science Studies. Harvard University Press; London, England. 9. Latour, B. (1987) Science in Action. Harvard University Press, Cambridge. 10. Law, J. (1999) Actor Network Theory and After. Blackwell Publishers, London. 11. Rapp, F. (1998) The Material and Cultural Aspects of Technology. Society for Philosophy & Technology, Volume 4, Number 3. 12. Rip, A. (1995) Managing Technology in Society. Pinter Publishers, London. 4.

13. Ritzer, G. (1992) Sociology: A Multiparadigm Science. (terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Drs. Alimandan), Rajawali Press. 14. Yuliar, S, et al. (2002) Decicion-Making in Industrial Control Practice: The Melting of Modernist Divide between Subjects and Objects. Conference on New Technologies and Social Welfare, Nottingham, UK.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

14

Kepentingan Strategis ITB Sebagai Aktor Non-Teritorial Transnasioanl Bidang Iptek

Kepentingan Strategis ITB Sebagai Aktor Nonteritorial Transnasional Bidang Iptek 1)


Dicky Rezady Munaf 2)

Abstract The globalization ambivalence era requires a nation to be more anticipative than just reactive to a change taking place in the world so that the nation is able to sustain its existence in the world. Another character that complements this anticipative character i.e. non-territorial transnational actor (ANT) is also needed by a nation to prolong the nations existence. Institut Teknologi Bandung (ITB), as one of Indonesias ANTs, can play its role in introducing both Indonesias traditional or indigenous and intellectual knowledge to the international community. This role may soon be realized if ITBs community is willing to change its by sector policy into a policy with which ITB (as an ANT) can make the best use of one of its main assets: grey Literature in its interaction with the international community. Grey Literature is defined as an entity representing the whole ITBs intellectual experience. To accomplish this role, a set of ITBs strategic programs is descibed. One of the programs is to make the best use of all Indonesias embassies to be ITBs grey Literature agent and relate it with the 8 (eight) leading edge technologies that are predicted to be dominant worldwide in the future.

I.

Pendahuluan

Karakter interaksi antar-bangsa saat ini didominasi ambivalensi globalisasi antara unify dan tribalisme yang penyebarannya didukung oleh

kecepatan dan ketepatan model informasi. Dalam kondisi dunia seperti ini, suatu bangsa dituntut untuk selalu antisipatif, bukan reaktif, serta secara signifikan diperlukan eksistensinya. 15

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Kepentingan Strategis ITB Sebagai Aktor Non-Teritorial Transnasioanl Bidang Iptek organisasi, kelompok maupun perorangan. Pelaku interaksi tersebut saat ini mempengaruhi agenda hubungan internasional, di antaranya yang penting adalah menguatnya empat jenis pelaku peran, yaitu aktor teritorial nonnegara, aktor nonteritorial Transnasional, organisasi antar-pemerintah, dan Lembaga Sosial Masyarakat [1]. Semua pelaku tersebut ikut dalam mewarnai pentas internasional, sehingga sistem internasional menjadi kompleks. Hal ini mengakibatkan kondisi tidak mungkinnya suatu negara / organisasi / kelompok / perorangan dapat ikut berkiprah dalam semua aspek dan dimensi interaksi dalam sistem internasional. Mencermati kompleksitas sistem internasional tersebut, masalah pengakuan eksistensi dan martabat bangsa akan menjadi titik sentral kemampuan suatu bangsa dalam penetrasi pengaruh kepentingan bangsa tersebut dalam pergaulan internasional. Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai institusi pendidikan milik bangsa Indonesia harus menangkap fenomena tersebut dan menjadi pioner pembaharuan berkelanjutan dalam hal pengakuan eksistensi dan martabat serta pembangunan citra bangsa Indonesia di dunia. Peran seperti inilah yang dimaksud sebagai kepentingan strategis ITB. Peran ini menjadikan ITB sebagai aktor nonteritorial transnasional yang membawa pengetahuan tradi-sional dan intelektual bangsa Indonesia ke pentas pergaulan dunia serta sekaligus secara iteratif memperkuat 16

1) Pengembangan dari Makalah penulis dengan judul ITB sebagai Aktor Nonteritorial Transnasional Pendidikan dan Iptek Indonesia, Juli 2003 2) KK-Ilmu Kemanusiaan FSRD-ITB

Eksistensi dan Martabat suatu bangsa tidak hanya diukur berdasarkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, tetapi juga oleh posisi strategis bangsa tersebut di dunia internasional. Dengan perkataan lain, eksistensi dan martabat bangsa ditentukan kualitas kepentingan strategis kepeloporannya dalam masyarakat sehingga mampu meningkatkan kualitas sosioekonomi di dalam negeri maupun pengaruhnya di dunia internasional. Perlunya penetapan kepentingan strategis tidak terlepas dari sistem interaksi internasional saat ini. Sistem ini merupakan jejaring antarnegara seluruh dunia. Dalam jenjang ini Masing-masing negara mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hubungan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, siapa yang lebih mempengaruhi siapa ditentukan oleh struktur posisi relatif dari kekuasaan, pengaruh, norma perangai, serta partisipasi proaktif, yang membentuk interaksi struktural dan fungsional antar negara-negara tersebut. Ciri interaksi struktural dan fungsional tersebut bersifat dinamis, bergantung roda dinamika kemampuan relatif dan motivasi para pelaku interaksi yang tidak hanya dalam bentuk interaksi antar pemerintahan, tetapi juga antar

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Kepentingan Strategis ITB Sebagai Aktor Non-Teritorial Transnasioanl Bidang Iptek pengetahuan tradisional dan intelektual bangsa Indonesia. Dengan adanya interaksi langsung dengan dunia internasional, pada gilirannya akan meningkatkan kualitas peradaban bangsa Indonesia serta pengaruhnya pada peradaban dunia. Dalam makalah ini, penulis memfokuskan pembahasan pada peran manajemen ITB sebagai pelopor internasionalisasi pendidikan dan ilmu pengetahuan Indonesia untuk dunia, sedangkan aspek keilmuan akan mengikuti jika kepentingan strategis ITB tercapai. dunia internasional berbasis Sains, Teknologi dan Seni. Upaya yang terkait dengan pembangunan citra tidak terlepas dari kekuatan karakter institusi yang melaksanakannya. Teori strukturasi sosial menyebutkan bahwa proses pembangunan citra merupakan bagian dari model perubahan endogenous yang dapat terjadi secara evolutif atau revolutif bergantung pada metafora yang ingin dicapai [2]. Karakter institusi ITB untuk melaksanakan pembangunan citra ini berpedoman pada kepentingan strategis ITB sebagai aktor nonteritorial transnasional yang berperan dalam meningkatkan pengakuan eksistensi dan martabat bangsa Indonesia. Untuk mencapai hal itu, institusi ITB harus mempunyai karakter yang bisa melihat perubahan sebagai potensi, memberi gagasan, inspirasi, arah serta program yang tegas. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu menjadikan karakter ITB sebagai institusi pelopor untuk menstimulasikan dinamika di dalam negeri dan di luar negeri setiap saat yang kesemuanya berakhir kepuasan stakeholder dan kepuasan pelaksana serta bermanfaat bagi bangsa Indonesia sebagai pemilik ITB. Karakter ITB seperti ini membuat ITB terlihat berbeda oleh stakeholder dan pelaksana yang haus akan prediksi perubahan. Dengan demikian, ITB akan memiliki stakeholer dan pelaksana yang setia serta menjadi pelopor citra bangsa Indonesia melalui sebagian kegiatannya di dunia internasional. 17

II.

Peran Strategis ITB

Peran ITB sebagai aktor non teritorial transnasional diusulkan mengingat sifatnya sebagai institusi dianggap memenuhi tiga kriteria, yaitu memiliki aktivitas terorganisasi yang dapat berlangsung bersamaan dalam beberapa negara sekaligus; mempunyai sasaran yang bersifat univesal, dan mempunyai kegiatan yang secara substantif bersifat non politik. Artinya ITB di masa depan dapat mempunyai sebagian kegiatan di luar negeri, melampaui batas geografis, sebagai salah satu basis daya tariknya. Keberhasilan perancangan dan pelaksanaan program ITB untuk pemenuhan fungsi tiga kriteria tersebut harus seiring dengan kepentingan strategis ITB serta didukung oleh kepeloporan ITB dalam menstimulasikan dinamika dan kontraksi sosioteknologi masyarakat di dalam maupun di luar negeri yang diukur dari peningkatan berkelanjutan kualitas citra bangsa Indonesia di

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Kepentingan Strategis ITB Sebagai Aktor Non-Teritorial Transnasioanl Bidang Iptek dalam rangka peningkatan kualitas peradaban manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya sesuai kepentingan strategis ITB. Untuk membangun keyakinan dari otoritas sektor-sektor lain tersebut, basis implementasi karakter ITB adalah intelektualitas. Berbasis pada intelektualitas diharapkan dapat membawa produk sektor-sektor tersebut pada masyarakat dalam negeri dan dunia internasional yang dikemas dalam bentuk produk kompetensi inti ITB. Kemasan produk ITB dibentuk dengan mempertimbangkan empat tuntutan dinamika sosioekonomi yang meliputi pangsa pasar, struktur keterkaitan pelaku produksi, iklim usaha, dan percepatan evolusi dampak Iptek untuk kemanusiaan. Guna memfokuskan pembentukan kemasan tersebut, ITB harus mampu mengindentifikasi dan mensinergikan modal dasar ITB seiring dengan 4 tuntutan dinamika sosioekonomi. Modal dasar ITB adalah produk dasar ITB yang tidak akan pernah berhenti selama ITB berada dalam kompetensi intinya. Dalam hal ini modal dasar tersebut adalah Grey Literature. Grey Literature adalah aset fisik nonmanusia yang merepresentasikan intelektualitas keilmuan yang harus disinergikan dengan intelektualitas untuk mengintegrasi dan mengkomersialisasikannya sehingga mampu meningkatkan kualitas empat tuntutan dinamika sosioekonomi. Proses peningkatan dinamika sosioekonomi ini juga perlu 18

III. Modal Dasar ITB sebagai Aktor Non-teritorial Transnasional Dalam menjalankan perannya sebagai pelopor citra untuk mendukung pengakuan eksistensi dan martabat bangsa melalui fungsinya sebagai Aktor Nonteritorial Transnasional, ITB harus tetap berpijak pada kompetensi intinya sebagai institusi pendidikan. Meskipun ITB berkompetensi inti dalam hal pendidikan, para stakeholder dan pelaksana tidak boleh berpandangan monosektoral (sektor Pendidikan saja ). Pandangan monosektoral seperti yang selama ini terjadi (yang terrepresentasikan dalam sediaan dana pemerintah yang mayoritas dari sektor pendidikan), ITB akan selalu mengeluh tentang kekurangan pendanaan yang memang terbatas disediakan pemerintah secara keseluruhan serta tersempitkan pemaknaannya tentang pendidikan tinggi tanpa melihat sektor pembangunan lain dalam porsi yang sama. Pandangan ini harus diubah melalui kreativitas untuk meyakinkan pentingnya keterlibatan dan eksistensi ITB pada sektor-sektor lain serta harus berkeyakinan bahwa kompetensi ITB hanya dapat berkembang jika ITB mampu memberi layanan pada masyarakat sesuai dengan karakter ITB. Dengan demikian, terbuka sumber pembiayaan yang bersifat multisektor, bahkan dapat juga dari dana daerah maupun dana internasional yang memerlukan pelayanan ITB, untuk mendukung kegiatan institusi lain

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Kepentingan Strategis ITB Sebagai Aktor Non-Teritorial Transnasioanl Bidang Iptek difokuskan targetnya sesuai kompetensi inti ITB dan diusulkan faktor percepatan evolusi dampak iptek untuk kemanusiaan, sehingga dapat menjadi fokus target untuk proses pengemasan Grey Literature. Dalam memformulasikan pengemasan Grey Literature ITB yang diarahkan untuk mempercepat evolusi dampak Iptek untuk kemanusiaan hendaknya dicermati data empiris yang pernah diidentifikasi. Untuk hal tersebut seperti bisa dilihat pada tabel 1, tampak bahwa laju kebutuhan peradaban manusia mengarah pada pemenuhan kebutuhan manusia untuk menggunakan organ manusia itu sendiri dengan seefektif dan seefisien mungkin. Berdasar pada data empiris tersebut, secara nyata bisa ditunjukkan bahwa seluruh produk teknologi tersebut tidak timbul dari satu disiplin saja. Dengan demikian, ITB harus mengembangkan seni dan intelektualitas untuk mengintegrasi unsur-unsur pembentuk potensi produk berdasarkan grey literature sebagai modal dasar ITB yang diiringi dengan intelektualitas komersialisasi potensi produk. Bahkan dalam hal tertentu dapat dilakukan upaya komersialisasi konsep terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh upaya integrasi. Keseluruhan proses ini ditujukan untuk lebih mempercepat laju evolusi dampak iptek bagi kemanusiaan yang merupakan fokus target ITB untuk menstimulasikan dinamika sosioekonomi yang pada gilirannya membentuk sufficiency economy yang dapat dimanfaatkan oleh individu, keluarga, dan komunitas [4]. Intelektualitas untuk mengintegrasi unsur produk dikembangkan berdasarkan modal dasar ITB beserta sumber daya manusia (dosen, mahasiswa, pegawai, dan alumni) dan infrastruktur ITB tanpa melupakan kompetensi intinya serta misi sosial sebagai institusi pendidikan. Selain itu, untuk dapat melaksanakan hal ini secara optimal, ITB harus pula paham dengan societal lokal yang meliputi kearifan serta sumber daya lokal, baik di dalam negeri maupun luar negeri tempat produk ITB akan berperan. Hal ini diperlukan agar difusi peran ITB tidaklah bersifat struktural, tetapi bersifat kultural yang daya tahannya lebih langgeng [1].

Tabel 1 Laju Produk Teknologi dan Dampaknya Pada Manusia (diterjemahkan dari [3], hal 7)
Perkiraan Tahun Temuan (tahun sebelum 1998)
100.000 40,000 3500 800 360 190

Inovasi
Peralatan terbaru Persenjataan Perahu Jam, Kompas dan alat ukur lainnya Kalkulator Mekanik Penggunaan Batubara & Minyak untuk Energi

Alasan Kebutuhan
Meningkatkan kemampuan manusia Mempermudah Kerja Mempermudah Kerja Tempa Besi

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

19

Kepentingan Strategis ITB Sebagai Aktor Non-Teritorial Transnasioanl Bidang Iptek


160 140 100 95 80 70 55 50 45 40 35 30 20 10 Listrik Reproduksi Gambar dan Sarana Telekomunikasi / X-Ray Pesawat Terbang Mobil Produk Massal Produk Kimia Nuklir Komputer Produksi Massal Kebutuhan Rumah Tangga Penggunaan Kontrasepsi Laser - Pendaratan di Bulan - Transplantasi Organ CT Scan - Rekayasa Genetik - Internet Kecepatan Komunikasi Kecepatan bertransportasi Memperbaiki kualitas seni Memperbaiki kualitas bahan dasar kebutuhan manusia Peningkatan Basis Pengetahuan dan Aplikasi.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

14

Optimalisasi Peran dan Fungsi ITB sebagai Pencetak Teknopreneur bagi Kemajuan Bangsa dan Pembangunan Nasional Berkelanjutan Difusi berbasis kultural tersebut hendaknya juga merevitalisasi paradigma segmentasi jenjang pendidikan yang ada selama ini, yaitu segmentasi berdasarkan umur yang mengakibatkan mayoritas kegiatan pendidikan tinggi jarang menyentuh penyiapan sumber daya manusia sejak usia dini. Revitalisasi yang harus dipelopori ITB dalam manajemen pendidikan adalah membebaskan segmentasi tersebut. Artinya, ada sebagian kegiatan dan produk ITB yang harus dikemas agar sumber daya manusia usia dini pun memerlukan peran ITB sebagai Aktor Non- teritorial Transnasional untuk membentuk karakter manusia.

IV. Program ITB Sebagai Aktor Nonteritorial Transnasional Luasnya spektrum difusi potensi produk ITB, baik dari segi multi sektor pembangunan; lingkup geografis (dalam dan luar negeri) maupun segmen umur; merupakan peluang yang harus dimanfaatkan ITB. Kepeloporan ITB untuk melepaskan diri dari ketergantungan monosektoral menjadikan institusi ITB sebagai institusi multisektoral. Adapun kepeloporan dalam hal lingkup geografis dan segmen umur dituangkan dengan fokus ITB yang memanfaatkan dua jenis institusi yang dimiliki Pemerintah Indonesia, yaitu Pemerintah Daerah dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di seluruh dunia (bukan hanya atase pendidikannya saja). Interaksi ITB dengan kedua jenis institusi tersebut adalah meletakkan keduanya sebagai agen komersialisasi produk ITB yang telah dikemas sebagai bentuk pengetahuan tradisional dan intelektual bangsa Indonesia. Proses komersialisasi adalah komersialisasi proaktif, suatu budaya yang masih lemah bagi bangsa Indonesia selain masih kurangnya ketersediaan isi (content) komersialisasi yang tersedia. Disinilah peran grey literature sebagai modal dasar content diiringi dengan intelektualitas untuk mengintegrasikan unsur-unsur pembaharuan yang ada pada tiap grey literature untuk menjadi produk sesuai karakter dan kepentingan strategis ITB yang multisektoral. Upaya ini menjadikan ITB juga sebagai pelopor bagi pembentukan paradigma bahwa informasi adalah komoditas dan komoditas tersebut adalah citra tentang pengetahuan tradisional dan aset intelektual bagi Indonesia yang dapat seluruhnya atau sebagian dimanfaatkan masyarakat, baik di dalam dan di luar negeri. Untuk melaksanakan hal tersebut diusulkan tiga pokok implementasi yang perlu dilakukan ITB untuk menjadi Aktor Nonteritorial Transnasional yang akan meningkatkan pengakuan kualitas eksistensi dan martabat bangsa Indonesia melalui sebagian kegiatannya di luar negeri dengan mendayagunakan KBRI. Pada konteks dalam negeri, hal ini menjadikan ITB sebagai institusi multisektoral Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006 21

Optimalisasi Peran dan Fungsi ITB sebagai Pencetak Teknopreneur bagi Kemajuan Bangsa dan Pembangunan Nasional Berkelanjutan pada tingkat daerah maupun nasional. Adapun ketiga pokok implementasi tersebut meliputi 1. Stakeholder dan pelaksana ITB harus menjadi pelopor untuk melepaskan diri dari pandangan bahwa meskipun ITB adalah institusi pendidikan, tetapi tidak hanya bergantung pada sektor pendidikan saja. Artinya pendanaan pemerintah untuk ITB harus bersumber dari sektor-sektor lain karena ITB memang dibutuhkan sebagai sumber kebijakan serta promosi produk sektorsektor tersebut. Paradigma ini untuk melepaskan keluhan yang berkelanjutan tentang terbatasnya komitmen pemerintah pada pendidikan yang memang secara keseluruhan terbatas. Dengan demikian, struktur birokrasi ITB, khususnya yang terkait dengan pendanaan, hendaknya merepresentasikan sektorsektor prioritas ITB yang ditetapkan berdasarkan prediksi peran serta ITB dalam merancang kemajuan sektor-sektor tersebut. Grey literature sebagai modal dasar dari aspek nonmanusia ITB haruslah difokuskan untuk mempercepat dampak evolusi iptek untuk kemanusiaan. Pada tahap awal, produk ITB hendaknya diarahkan untuk mengikuti arus utama delapan teknologi yang akan mengubah dunia, yaitu Komputer Biointeractive Materials, Biofuel Production Plants, Bionic, Cognitronics, Genotyping, Combinatorial Scince, Molecular Manufacturing, dan Quantum Nucleonic. Arus utama delapan teknologi ini perlu dimanfaatkan untuk menjadi arah pengembangan pengetahuan tradisional bangsa Indonesia. Dengan demikian, struktur birokrasi ITB, khususnya yang terkait dengan akademik, hendaknya merepresentasikan standar kualitas, integrasi keilmuan, prediksi lapangan kerja atau entrepreneurship yang dapat timbul, serta agenda aliran modal dunia guna mengidentifikasi jadwal penguatan akademik yang berkelanjutan melalui Kurikulum ITB. 3. Untuk memposisikan sebagai Aktor Nonteritorial Transnasional. ITB hendaknya melepaskan diri dari segmentasi usia dalam jenjang pendidikan, ITB harus menjadikan modal dasarnya sebagai komoditas institusi pendidikan yang diusulkan dalam tiga jalur, yaitu sains, profesional, dan kemanusiaan. Komoditas ini juga mencakup peningkatan kualitas sumber daya manusia usia dini dengan metode penyebaran dalam negeri yang memanfaatkan kemitraan dengan pemerintah daerah, sedangkan untuk di luar negeri Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006 22

2.

Optimalisasi Peran dan Fungsi ITB sebagai Pencetak Teknopreneur bagi Kemajuan Bangsa dan Pembangunan Nasional Berkelanjutan memanfaatkan KBRI untuk melaksanakan tiga kegiatan yang ditujukan untuk membuka peluang investasi Indonesia, serta peluang untuk masuknya investasi ke Indonesia. Adapun ketiga kegiatan tersebut dapat dimulai melalui tiga kegiatan berikut - Pelatihan tentang kapasitas dan kapabilitas Sumber Daya Manusia dan Teknologi Indonesia, termasuk bidang olah raga untuk mendukung potensi societal lokal (dalam negeri dan luar negeri). - Popularisasi Pengetahuan Tradisional untuk lebih memperkenalkan Indonesia pada dunia Internasional dan memperkuat interaksi antarbudaya di dalam negeri. - ITB Desk pada tiap KBRI untuk menyiapkan investasi yang akan dilakukan pemerintah di luar negeri maupun investasi yang akan masuk ke Indonesia. Hanya dengan kegiatan nyata yang terstruktur dalam koridor kepentingan strategisnya, ITB bertindak sebagai pelopor untuk meningkatkan sosioekonomi masyarakat. Untuk itu, struktur birokrasi ITB yang terkait dengan sumber daya akan dapat terfokuskan untuk mengoptimalkan seluruh sumber daya ITB dengan fokus tentang manajemen investasi berbasis grey literature ITB yang bersifat ke luar atau ke dalam bagi bangsa Indonesia.

V. Penutup Makalah ini pada intinya, meliputi pentingnya ITB membuat kegiatan di luar negeri dan berparadigma sebagai institusi multisektor. Pemikiran semata-mata ditujukan untuk menjadikan ITB yang akan dipandang masyarakat dunia sebagai institusi dengan stakeholder dan pelaksananya bersama-sama menjadikan ITB sebagai penentu eksistensi dan martabat bangsa Indonesia, tempat dimana dilakukannya peredaman konflik universalisme barat dengan relativisme timur dan tempat dimana keadilan dan kesempatan memiliki makna. Dengan demikian, ITB menjadi tempat bermaknanya investasi bangsa Indonesia yang diberikan padanya.

PUSTAKA

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

23

Optimalisasi Peran dan Fungsi ITB sebagai Pencetak Teknopreneur bagi Kemajuan Bangsa dan Pembangunan Nasional Berkelanjutan 1. Dicky R Munaf, Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional Dalam Mengantisipasi Akselerasi Dinamika Paradigma Global, Taskap Peserta Lemhannas KRA - XXXII, 1999. NESDB Thailand, The Ninth National Economic and Social Development Plan (2002-2006), Office of Prime Minister, Thailand. Abdul Kalam dan Rajan, INDIA 2020 : A Vision for the New Millenium, Viking - Penguin Books India, 1998. Anthony Giddens, The Constitution of Society : The Outline of the Theory of Structuration, Polity Press Cambridge, United Kingdom, 1995.

2. 3. 4.

Optimalisasi Peran dan Fungsi ITB sebagai Pencetak Teknopreneur bagi Kemajuan Bangsa dan Pembangunan Nasional Berkelanjutan Anggiat BP Sinaga1) Sub Soskap-KK-Ilmu Kemanusiaan Jangan Tanya Apa yang Bisa Negara Lakukan, Tetapi Tanyalah Diri Sendiri Apa yang Bisa Saya Lakukan Untuk Negara J.F. Kennedy.
Abstract
This article suggest that technopreneurship subject should no longer be offered to ITB student as an optional subject but a compulsory one. The reason is that this subject may enable ITBs graduates to be technopreneurs when they graduate. In his opinion, a technopreneur is regarded as a critical success factor in increasing both Growth National Product (GNP). Therefore, their role in resolving Indonesias current multi dimensional crises and enhancing Indonesias development will be very significant. The writer also claims that this subject is relevant for ITBs student-who will become engineers and specialists in arts when they graduate-since technopreneurship subject teaches the students how to do business in the field of engineering and art and train the students to acquire technopreneurs qualities such as being critical, innovative, reasonable, positive thinking, risk taking person.

Technopreneurship subject, technopreneur, technopreneurs qualities, criticalsuccess factor.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

24

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi Siapa Diri Saya Seorang Pembawa Ember? Ataukah Seorang Pembuat Saluran Pipa?

Pada zaman dahulu ada dua orang sepupu yang sangat ambisius. Yang pertama bernama Pablo, yang kedua Bruno. Mereka tinggal berdampingan di sebah desa di Italia. Kedua orang ini merupakan anak-anak muda yang sangat berkualitas. Mereka memiliki cita-cita yang tinggi.
Ahli Ekonomi Indonesia, dalam buku Sumbangsih pemikiran Alumni sipil ITB, ITB,2001 Mereka sering
1

berkhayal bagaimana kalau suatu hari

nanti menjadi orang terkaya di desanya Keduanya merupakan orang ang sangat cemerlang dan amat tekun bekerja. Yang mereka perlukan pertama kalinya adalah kesempatan. Pada suatu hari, kesempatan itupun datang. Kepala desa itu memutuskan untuk mempekerjakan kedua orang ini Pablo dan Brunomembawa air dari sungai ke sebuah penampungan air di tengah desa tersebut. Untuk jasanya, kepala desa menggaji masing-masing berdasarkan jumlah ember air yang mereka bawa.

Bruno merasa senang mendapat pekerjaan dari kepala desa, tapi tidak dengan Pablo. Pablo, punggungnya nyeri dan kedua telapak tanganya lecetlecet. Akibatnya, ia merasa takut saat harus pergi bekerja. Dan kalau ia tidak bekerja, bagaimana dengan sumber penghasilanya? Oleh karena itu, Pablo

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

29

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi

berpikir keras mencari akal, bagaimana caranya membawa air dari sungai ke desanya. Pablo menawarkan ide, untuk membuat saluran pipamengalirkan air dari sungai ke tempat penampungan di desa. Kemudian, idenya ini disampaikan kepada Bruno. Akan tetapi, Bruno dan orang-orang desa lainya mengejek Pablo.

Pada awalnya, Pablo ragu dengan idenya tersebut. Dalam kesendiriannya tanpa memiliki apa-apa, sementara Bruno bersenang-senang dengan segala kepunyaannya dari penghasilannya, Pablo selalu mengingatkan dirinya bahwa cita-cita masa depan itu sesungguhnya dibangun berdasarkan perjuangan yang dilakukan hari ini. Dengan dorongan semangat yang tidak kenal menyerah, Pablo tetap membangun saluran pipa tersebut hingga selesai. Akhir cerita, situasi berbalik, Pablo menjadi kaya raya, ia membawa kemajuan bagi dirinya dan desanya. Sementara itu Bruno jatuh miskin karena tidak sanggup lagi membawa air dalam ember seperti dulu dan kalah bersaing dengan Pablo. Pada era globalisasi seperti sekarang ini, cerita di atas menggambarkan bahwa Pablo adalah sosok seorang teknopreneur sejati. Ia mampu mengatasi hambatan dan menjadikan hambatan tersebut sebuah peluang baru. Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya, ia mampu menciptakan sebuah gagasan baru, sebuah solusi untuk mengatasi keterbatasan fisik yang ia miliki, sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi dirinya, dan kemajuan bagi desa (bangsa)-nyamasyarakat desa tidak perlu khawatir akan kekurangan air minum lagi karena ketidaktersediaan tenaga pengangkut air. Cerita ini juga memberikan makna kepada kita bahwa keunggulan komparatifketersediaan tenaga kerja dan sumber daya alam yang melimpahtidak menjadi jaminan untuk kemajuan ada batasnya. Akan tetapi, untuk mencapai kemajuan tersebut diperlukan orangorang (sumber daya manusia [SDM]) yang memiliki keunggulan kompetitif bersifat tidak terbatas, yakni orang-orang yang menguasai ipteks. Sebagai contoh, Singapura tidak memiliki sumber daya alam dan penduduknya pun sedikit. Akan tetapi, Singapura merupakan salah satu negara kaya di dunia, negara ini memiliki keunggulan kompetitif.

Teknopreneur dan Globalisasi Menurut Peter Drucker (1993), Globalisasi merupaka era masyarakat pengetahuan (knowledge society) dengan sumber daya utama masyarakat bukan lagi bertumpu pada alam, namun pada pengetahuan. That its primary Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006 30

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi resource will be knowledgel. Masyarakat berubah dari masyarakat tunggal yang berenergi politik, menjadi masyarakat pluralistik yang berenergi ekonomi (masyarakat ekonomi). Semua institusi/lembaga pemerintah maupun swasta dari negara-negara di dunia membuat kompetisi global sebagai sasaran strategi mereka. All institution have to make global competitiveness as theirstrategic goal. Oleh karena itu, lebih lanjut Drucker menyatakan, bahwa dunia saat ini merupakan dunia post-capitalist society yang saling mempengaruhi untuk suatu tujuan tertentu. Senada dengan pemikiran Ducker, Dorojatun Kuntjora Jakti1 mengemukakan bahwa Hari ini, paradigma paling berkuasa di era globalisasi adalah paradigma pasar, dan era walfare state oleh centralized government sudah lewat. Munculnya liberalisasi perdagangan internasionalseperti AFTA di tingkat ASEAN, APEC di tingkat Asia Pasifik, dan WTO di tingkat duniatidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Liberalisasi perdagangan global dapat diibaratlan dua sisi mata uang. Liberalisasi ini dapat menjadi momok yang menakutkan pada satu sisi dan sekaligus merupakan peluang di sisi yang lain. Bagi negara yang kurang mampu bersaingkurang memiliki keunggulan kompetitif yang umumnya negara-negara berkembang seperti Indonesia, liberalisasi dapat menghancurkan pembangunan dan pertumbuhan perekonomian (economic development growth) nasional. Lain halnya dengan negra-negara yang memiliki SDM yang andal (umunya negara-negara maju seperti Amerika serikat, Jepang, dan negaranegara Eropa Barat). Dengan liberalisasi, pasar akan terbuka lebar bagi produk industri dan jasa nasionalnya. Tampaknya, semua bangsa di dunia akan berpacu untuk maju, menguasai pengetahuan. Suka atau tidak suka, pengetahuan akan menjadi alat (tools) bangsa-bangsa (negara) di dunia untuk membuka peluang dan memperebutkan pasar. Masyarakat (bangsa) yang tidak memiliki pengetahuan akan terlindas dan menjadi bulan-bulanan mereka (negara-negara) yang menguasai pengetahuan. Di sinilah peran teknopreneur sangat dibutuhkan, yakni perang dari orangorang yang melalui pengetahuannya mampu dan andal menciptakan nilai dalam memperebutkan pasar. Hai ini sejalan dengan pernyataan Stan Shih (hi-tech entepreneur di Asia, pendiri perusahaan perangkat keras komputer ACER) kalau saya mengikuti ala Amerika Serikat dan Jepang, maka selamanya saya akan menjadi warga kelas dua. Oleh karena itu, Stan Shih melalui ungkapan filosofisnya mee-too is not my style, ia mampu menciptakan nilai melalui model bisnis fast food, pendekatan human nature is basically yang menjadi pilar corporate culture di Acer, struktur organisasi clint-server, hingga strategi global brand, local touch, sebagai kunci sukses globalisasi Acer dan menjadikan Acer merek global yang sejajar dengan Compaq, Dell, Sony, hingga IBM. Oleh karena itu, Stan Shih adalah manusia langka di Asia. Ia langka, karena tidak banyak hitech entepreneur di Asiakecuali Jepang. Akan halnya Indonesia merupakan negara besar dengan jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta jiwa dan mempunyai wilayah yang sangat luas. Ditilik dari jumlah penduduk, Indonesia merupakan negara potensial bagi produk nasional Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006 31

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi dan internasional. Dari ketersediaan potensi alam, Indonesia merupakan negara yang kaya dan memiliki keragaman sumber daya alam. Artinya, dari jumlah penduduk dan potensi alam, Indonesia adalah negara besar yang memiliki keunggulan komperatif yang kuat. Akan tetapi, persoalanya adalah mampukah bangsa ini memanfaatkan keunggulan kompe-ratifnya untuk mencapai keunggulan kompetitif (competitive advantageI)? Disinilah letak permasalahanya, yakni mampukah para teknopreneur Indonesia menciptakan nilai bagi produk nasional untuk membuka peluang dan memperebutkan pasar nasional maupun pasar internasional? Big question mark.

Teknopreneur, Berkelanjutan

Kemajuan

Bangsa,

dan

Pembangunan

Nasional

Istilah teknopreneur (technology dan entrepreneur, Lab Sosioteknologi, 2005) identik dengan wiraswasta yang bergerak pada bidang produk-produk teknologi dan seni. Kata wiraswasta (entepreneur) dalam websters News World College Dictionary: a person who organizesand manages a business undertaking, assuming the risk for the sake of the profitberasal dari wira yang berarti sifat jantan: berani, gagah, luhur, teladan; swa berarti sendiri; sta berarti berdiri; swasta berarti berdiri di atas kaki sendiri. Bertolak dari pengertian di atas teknopreneur adalah seseorang yang memiliki sikap mental positif yang mengaplikasikan keahliannya ke dalam suatu usaha (bisnis) yang berhasil guna dan berdaya guna. Sikap mental positif itu sendiri mengandung makna kritispositif; kreatifinovatif; dan logis realistis (ABPS, Lab. Sosioteknologi ITB, 2005). Oleh karena itu, berdasarkan pengertian tersebut, teknopreneur disebut juga sebagai agen pembaharu dan pembangunan (agent of change & development).

Seiring dengan penjelasan di atas, pada era liberalisasi perdagangan internasional sekarang ini, kemajuan suatu bangsa, salah satunya sangat ditentukan oleh para teknopreneurnya. Artinya, teknopreneur merupakan katalisstimulusdari kemajuan dan pembangunan bangsa itu sendiri. Teknopreneur disebut sebagai katalis, karena ia memiliki pemikiran positif, inovatif, dan logis. Pemikiran inilah yang membuat para teknopreneur berani mengambil risiko, tidak takut gagal, mampu menerobos hambatan, dan menjadikan hambatan
Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006 32

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi

tersebut menjadi suatu peluang. Mereka inilah yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia tercinta ini, untuk saat ini dan ke depanyang membawa perubahan ke arah kemajuan; mengatasi krisis multidimensi yang hingga kini belum terselesaikan; dan yang berdampak positif pada pembangunan nasional berkelanjutan. Untuk lebih jelas, peran teknopreneur bagi kemajuan bangsa dan pembangunan berkelanjutan dapat ditunjukan oleh diagram di bawah ini. Diagram Peran dan Fungsi Teknopreneur sebagai Penggerak Pembangunan Nasional
Feedback Peran Teknopreneur Pencipta Lapangan Pekerjaan Penggerak Perekonomian Terbuka Kesempata Kerja Daya Beli Pekerja Meningkat

Pelaku bisnis

Pembangunan Berkelanjutan Pendapatan Negara Meningat

Peningkatan GNP

Daya Beli Masyarakat Meningkat

Berdasarkan diagram di atas, suatu simpulan dapat dikemukakan, yakni (1) pada konteks mikro, teknopreneur merupakan pelaku bisnis yang membuka lapangan pekerjaan sehingga terbuka kesempatan kerja; dan (2) pada konteks makro, teknopreneur merupakan pelaku pembangunan berkelanjutan yang menggerakan perekonomian nasional menuju peningkatan daya beli masyarakatkesejahteraan dan kemajuan masyarakat; dan yang berdampak positif pada peningkatan pendapatan negara kemajuan negara. Menurut hasil kajian Lab. Sosioteknologi (ABPS, 2005), diagram di atas dapat diformulasikan sebagai berikut. Peningkatan Pendapatan Negara = f {Peningkatan PNB (Pendapatan Nasional Bruto)}; dengan : PNB = Pendapatan Nasional Bruto = (Produk Domistik Bruta (PDB))Pendapatan Faktor Produksi Netto dan Luar Negri). Selanjutnya, Peningkatan PNB = f (Pergerakan Perekonomian Nasional). Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006 33

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi Lebih lanjut menurut hasil kajian Lab. Sosioteknologi ITB, Pergerakan perekonomian nasional sangat dipengaruhi oleh kebijakan perekonomian nasional. Akan tetapi, bagi seorang teknopreneur sejati, kebijakan perekonomian nasional dan bahkan kebijakan perdagangan internasional selalu ia tanggapi dengan positif. Oleh karena itu, peran teknopreneur merupakan faktor sukses kritis (FSK) dalam pergerakan perekonomian nasional. Oleh karena itu, Pendapatan Nasional Bruto diformulasikan sebagai berikut.

PNB = f {(KEni)(Tpr)}
PNB = Pendapatan Nasional Bruto KE = Kebijakan Perekonomian Nasional dan Internasional T = Teknopreneur yang memiliki Inovasi yang tercermin dalam produktivitas kegiatan bisnis Dari formulasi di atas, suatu pernyataan dapat disimpulkan, bahwa teknopreneur yang memiliki inovasi merupakan faktor kunci keberhasilan dalam peningkatan pendapatan nasional bruto (PNB) yang berdampak positif pada peningkatan pendapatan negara. Artinya, semakin banyak bangsa Indonesia tercinta ini memiliki teknopreneur yang mampu berinovasi, semakin tinggi pula pendapatan negara (negara semakin kaya), semakin besar kemampuan negara untuk memfasi-litasi pembangunan yang membawa masyarakat pada kehidupan yang sejahtera dan kemajuan berkelanjutan-sustainable development. Inovasi bersifat konseptual dan perseptual. Oleh karena itu, inovator harus mempergunakan seluruh potensi yang dimilikiotak kiri dan kananuntuk mengatasi kesulitan, menerobos hambatan, dan menciptakan nilai dalam membuka peluang bisnis baru. Disinilah peran pendidikan nasional, terutama peran pendidikan tinggi (termasuk ITB), yakni suatu peran dan fungsi lembaga sumber dalam mempersiapkan mahasiswapeserta didikmenjadi (lulusan) teknopreneur andal ke depan harus mampu menciptakanlulusan andal mengapli-kasikan keahliannya dalam dunia bisnis yang membawa kemajuan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia tercinta ini. Akan tetapi, permasalahannya adalah sampai saat ini pendidikan tinggi nasional belum mampu mencetak lulusan yang memiliki jiwa entrepreneur. Terbukti, walaupun bangsa ini memiliki cukup banyak perguruan tinggi yang tersebar di seluruh nusantara, namun belum memberikan sumbangan yang berarti bagi masyarakat (Soedijarto, 2003). Makin banyak sarjana pertanian tidak berarti pertanian kita maju, makin banyak sarjana arsitek, sipil, industri, tidak berarti pembangunan maju, makin banyak sarjana ekonomi tidak membuktikan perekonomian membaik, makin banyak sarjana hukum bukan berarti kesadaran hukum membaik dan penegak hukum berjalan dengan baik (Sulardi, Kompas, 2/7/2003). Hal ini tampak pula pada Indikator Pembangunan Manusia (IPM) yang salah satu ukurannya adalah tingkat pendidikanyang dikembangkan United Nation Development Programme (UNDP), yang menempatkan Indonesia pada posisi Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006 34

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi sekitar 40% terbawah, sementara Malaysia pada posisi 40% teratas, dan Singapura pada posisi 15% teratas di antara 174 negara yang di nilai (Nachrowi, Kompas, 24/6/2003).

ITB dan Potensi Lulusan : Tantangan Masa Kini dan Harapan Masa Depan Seiring dengan Visi ITB, yakni ITB menjadi lembaga pandidikan tinggi dan pusat pengembangan sains, teknologi, dan seni yang unggul, andal, dan bermartabat di sunis, yang bersama dengan lembaga terkemuka bangsa menhantarkan masyarakat Indonesia menjadi bangsa yang bersatu, berdaulat, dan sejahtera (Senat ITB, No. 023/SK/KO1-SA/2002). ITB ke depan harus mampu menciptakan teknologi sebagai hasil akhir dari suatu proses inovasi, yang terdiri dari serentetan subproses lain yang lebih terfokus, yaitu riset dan pengembangan (R&D), invensi, rekayasa dan desain, manufaktur, serta pemasaran; dengan inovasi sebagai butir sentralnya. Hal ini harus tercermin pada lulusan. Artinya, proses belajar mengajar di ITB harus bermuara pada penciptaan lulusan yang mampu berinovasi dalam menerobos hambatan ketatnya persaingan di pasar lokal, nasional, dan terlebih di pasar internasional. Oleh karena itu, ITB sebagai perguruan tinggi terdepan milik bangsa di bidang teknologi, para lulusanya harus mampu sebagai generator penggerakkatalis kemajuan di tengah kehidupan masyarakat bangsa. Artinya, lulusan harus mampu sebagai agen pembaharu dan pembangunan untuk kemajuan bangsa dengan tindakan-tindakan inovatif untuk menciptakan daya saing masyarakat terutama dunia bisnis nasional pada pasar global. Akan tetapi, lulusan ITB belum mencerminkan itu. Hal ini diungkapkan oleh Vitex Grandis, Presiden Eksekutif Mahasiswa (BEM) tahun 1992 (Kompas, 3 maret 2006) Alumni Institut Teknologi Bandung hendaknya tidak menjadi buruh industri dan agen pemasaran produk teknologi orang lain, tetapi membuat produk sendiri. Selama ini, banyak yang setelah lulus berharap bekerja pada perusahaan internasional. Artinya para lulusan ITB belum mampu sebagai teknopreneur, pembawa kemajuan bagi bangsa Indonesia tercinta ini. Lulusan ITB belum mampu menyandang predikat lulusan yang tidak biasa di antara lulusan biasa. Malahan, menurut Ahmad muchlis (Berkala ITB, juni 2002), lulusan ITB lemah : aplikasi teori sangat kurang, tidak memiliki driving force yang besar, tidak memiliki kemampuan bertindak sebagai inisiator, fighting spirit juga lemah, antusiasme lemah, dan goal setting lemah. Artinya, para lulusan ITB saat ini belum mampu bersaing di pasar global, belum mampu sebagai agen pembangunan (agent of development), dan belum mampu sebagai pencari solusi bagi kemajuan bangsa. Oleh karena itu, ITB ke depan harus mampu melakukan terobosan, tindakan-tindakan perubahan agar tercipta lulusan sebagai teknopreneur andal dengan membuat produk sendirimemiliki daya saingyang berdampak positif pada pembukaan lapangan pekerjaan (mengurangi pengangguran). Di tengah perubahan besar dunia, persaingan ke depan akan semakin ketat dengan permasalahan baru yang semakin kompleks pula. Apa yang terjadi hari ini merupakan cerminan di masa datang. Akan tetapi, di dalam situasi seperti itu, Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006 35

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi diramalkan atau tidak, yang lebih penting bagi para eksekutif adalah membahas perubahan-perubahan yang tidak dapat dielakan. Perubahan-perubahan dengan para eksekutifnya dapatdan harusmengambil tindakan, yakni mengkaji apa yang bisa dan harus dilakukan oleh para eksekutif untuk menciptakan masa depan (Drucker, 1995).

Evaluasi Diri Berdasarkan hasil penelitian Optimalisasi Signifikansi Materi Pembelajar KU 4095 Kewirausahaan (ABPS, Departemen Sosioteknologi, 2005), 82,5% responden (pelaku bisnis diberbagai bidang dengan jumlah responden sebanyak 50) menyatakan bahwa modal utama untuk menjadi seorang pebisnis adalah sikap mental positif (SMP), yakni suatu sikap mental dalam menghadapi berbagai hambatan bisnis. Artinya, seorang pebisnis harus menyikapi secara positif terhadap hambatan-hambatan yang ditemui ketika ia menjalankan bisnisnya, atau pekerjaannya; dan harus mampu (inovatif) mencari solusi untuk menerobos hambatan tersebut untuk keberhasilan. Konsep SMP ini lahir dari prinsip dan pola pikir-perilaku yang dihayati, mencakup (1) Keinginan-mau melakukan, berani mengambil risiko (berani gagal); (2) Pengetahuan-memahami apa yang harus dilakukan (inovasi); dan (3) Keterampilan-bagaimana melakukan (meng-antisipasi faktor resiko). Oleh karena itu, agar lulusan ITB ke depan mampu menjadi seorang teknopreneur, SMP ini harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses belajar mengajar. Akan tetapi, muncul question mark apakah ITB sudah melakukan tindakantindakan perubahan untuk menciptakan lulusannya menjadi seorang teknopreneur andal? Suatu pertanyaan yang harus kita renungkan sejenak sebelum menjawabnya. Selanjutnya, ......... bersambung pada terbitan berikutnya

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

36

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

37

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi

INOVASI DAN SENI PADA VALUE ENGINEERING UNTUK PENGELOLAAN KONSTRUKSI oleh : Kazan Gunawan

Abstract The success of a project is often evaluated on the basis of the cost amount the project has spent and the punctuality of completing the project. In effect, such aspect as how the project executor is able to interpret the asset users interest to do his/her business activities successfully in the project is frequently unobserved. This project executors interpretation ability can be seen from the project design he/she creates to meet his/her customers satisfaction, for example comfotable atmosphere and function fulfilment of the project. Therefore, to enable an architecture meets the customer up-to-date needs, the enhancement of the Value engineering and innovation to find the lowest cost, easy to implement, and fast method is needed. Monte Carlo Simulation has been used for explaining the method.

I.

Pengantar

Melaksanakan pembangunan gedung dengan kecukupan biaya dan ketepatan waktu semata, tidaklah cukup. Dalam pandangan profesional sebagai pelaksana proek gedung, kebanyakan dari mereka hanya berorientasi pada kedua hal di atas. Mereka berpendapat bahwa proyek akan mengalami kegagalan apabila pekerjaan penyelesaiannya dilaksanakan tidak tepat waktu atau munculnya pembengkakan biaya. Akan tetapi, hendaknya perlu

diperhatikan bahwa kedua hal itu hanya merupakan titik awal dari suksesnya proyek yang sedang dilaksanakan.
Dosen Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Indonusa Esa Unggal

Permasalahan lebih penting yang perlu dicermati adalah bagaimana proyek yang dilaksanakan mampu menciptakan kondisi yang mendorong perkembangan bisnis pemilik aset menjadi lebih maju dan berkembang

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

38

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi tanpa melupakan standar yang berlaku di negara. proses Implikasinya, pemilik aset hanya menjadi konsumen pasif dan mereka telah melakukan suatu kekeliruan terutama apabila dihadap-kan pada pengelolaan aset yang mempunyai value engineering tinggi khususnya dalam penerapan metode pelaksanaan konstruksi. Dengan demikian, pemilik aset akan kehilangan dua peluang yang sangat berharga, yaitu secara eksternal, mereka kehilangan kesempatan mempublikasikan pada masyarakat tentang usaha yang dikelola, sedangkan secara internal, mereka tidak akan mendapatkan inspirasi dari usaha itu sendiri. II. Pentingnya Desain dan Inovasi Bernilai Tinggi

Oleh karena itu, pemilik aset hendaknya berperan aktif dalam perencanaan dan konstruksi proyek, serta tidak menyerahkan begitu saja semua permasalahan kepada pihak konsultan. Melalui pendekatan ini, projek gedung yang akan dibangun secara dinamis mampu merefleksikan misi dan citra perusahaan, serta membuat suasana menjadi lebih inovatif, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih energik. Untuk itu, sebagai pemilik aset diharapkan selalu berada bersama dalam tim untuk mengikuti proses pelaksanaan dan mengartikulasikan visi ke depan dalam konsep ruang kerja yang diinginkan. Di samping itu, ia dapat memberikan motivasi juga harus dapat merealisasikan visi yang diinginkan. Dengan kata lain, pemilik aset hendaknya turut terlibat dalam pembangunan dan bukan sekedar sebagai pemilik saja. Kita dapat memahami bahwa tidak banyak orang yang berani melakukan pendekatan ini, karena hanya beberapa yang memiliki pemahaman di bidang konstruksi dan desain. Selain itu, tidak banyak pelaku bisnis di bidang ini, karena trauma dengan melihat pengusaha jenis ini, sekali mengalami kegagalan mereka sulit untuk melupakannya. Di sisi lain, banyak perusahaan enggan melakukan langkah yang berani agar membuahkan inovasi baru untuk membuat kinerja dalam melaksanakan pekerjaan menjadi lebih nyaman. Kondisi ini mengakibatkan hanya segelintir dari pemilik aset yang berperan dalam projek pembangunan gedung.

Seorang arsitek menuturkan tentang pengalamannya setelah membangun sebuah gedung di kawasan perumahan suatu kota. Gedung ini tampak berdiri dengan arsitektur yang megah dan indah, namun karena lokasinya tidak strategis, keindahan arsitektur itu sama sekali tidak menunjukkan value engineering. Hal ini disebabkan akses untuk menuju ke lokasi tersebut harus melewati sebuah gedung perbankan yang lebih memiliki popularitas di masyarakat. Akibatnya perusahaan yang berarsitektur megah ini terkesan tidak menunjukkan adanya value engineering. Suka atau tak suka, gedung yang kita gunakan akan merefleksikan identitas bisnis sehingga perlu adanya sikap konsistensi terhadap hal ini. Dalam korporasi bisnis, penampilan gedung harus diserasikan dengan jenis serta kegiatan usahanya. Dalam hal ini, 39

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi kita tidak perlu berpegang pada konsep konvensional yaitu bahwa desain gedung yang megah, menarik, dan elegan akan membangun citra perusahaan. Padahal kondisi yang demikian itu justru mengeluarkan biaya lebih besar daripada konsep desain gedung biasa. Desain yang megah tidak hanya bergantung pada material semata Oleh sebab itu, desain dan perencanaan awal harus dibuat dan dicermati kesesuaiannya dengan visi perusahaan. Visi yang dimiliki perusahaan berfungsi sebagai filter untuk menyeleksi desainer dalam membuat rancang bangun gedung. Visi tersebut muncul di luar inti value engineering. Sebagai contoh, apabila bisnis kita di bidang advertising, desain gedung harus mampu mengakomodasikan berbagai kegiatan yang mendukung pekerjaan itu, misalnya menciptakan lingkungan kerja yang dinamis dan dapat merefleksikan peruntukan ruangan perusahaan dengan sempurna. Desain gedung dengan rancangan banyak penyekatan tidak akan mengekspresikan transparansi terhadap inti peruntukannya. Konsep desain yang diajukan oleh para desainer dalam rangka membangun gedung ini hendaknya merupakan kombinasi dari visi perusahaan. Setiap projek baru, akan memberikan peluang untuk mengkaji ulang teknologi yang dapat menciptakan lingkungan kerja lebih nyaman [1]. Apabila hal ini diabaikan maka kita tidak akan dapat mengetahui nilai investasi secara keseluruhan. Walaupun arsitek dan kontraktor berperan dominan, namun sebagai pemilik aset, kita harus menguasai kepemimpinan (leadership) dalam menghadapi keengganan para pelaksana konstruksi terhadap perubahan dan perkembangan arsitektur. Dengan demikian, sebagai pemilik gedung, kita senantiasa perlu mendorong inovasi menjadi transparan dan realistis. Kita tidak perlu cemas apabila memiliki sebuah konsepsi besar, misalnya gedung dengan ruangan lobby yang terbuka menjulang tinggi dan membutuhkan penyinaran lampu sangat besar yang harus dipesan langsung dari pabrik, dengan maksud agar dapat membuahkan kenyamanan lingkungan kerja lebih sempurna. III. Seni dalam Value Engineering Secara umum Value Engineering adalah kegiatan yang menyangkut usaha untuk mengoptimalkan kualitas ataupun kuantitas material yang digunakan dalam kegiatan projek konstruksi. Dengan kata lain, value engineering adalah suatu upaya agar projek pembangunan gedung dapat diselesaikan dengan metode yang paling murah, mudah pelaksanaannya, dan cepat waktunya. Untuk mencapai value engineering yang baik dan memuaskan, hendaknya jangan terpengaruh hanya pada elemen atau perlengkapan yang besar dan mewah, namun yang dapat merefleksikan filosofi dan desain secara fisik sebagai peralatan yang penting sesuai dengan misi kegiatan usahanya. Untuk merealisasikan value engineering, kita akan menghadapi tantangan berat karena biasanya proyek pembangunan itu telah dirancang dan diperhitungkan 40

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi perkiraan biaya pembangunannya secara matang. Akan tetapi, untuk merealisasikan value engineering, pemilik aset memerlukan minimal enam langkah yang dapat dilakukan[2], yaitu (1) melibatkan semua pihak terkait; (2) memonitor penggunaan uang; (3) perencanaan yang baik; (4) menghindari spekulasi; (5) mengintegrasi detail sistem; (6) Timbulnya harga baru. Melibatkan Semua Pihak. Dalam pembangunan sebuah proyek, pemilik aset harus menjalin kerja sama dengan pihak terkait lainnya sehingga dapat menekan biaya dan memenuhi sasaran estetika. Agar diperoleh efisiensi, baik biaya maupun material, harus dibentuk tim yang terdiri atas para ahli yang berkaitan dengan proyek pembangunan gedung. Memonitor Penggunaan Uang. Memonitor penggunaan uang merupakan sebuah permasalahan yang elementer dan sangat penting, misalnya pengurangan kuantitas penggunaan material, sudah pasti akan mengurangi biaya, dan perubahan ini sepintas tidak tampak dengan jelas pada awalnya namun menjadi besar pada rincian akhirnya. Sebagai pemilik aset, kita berkewajiban mendesak kontraktor dan menanyakan RAB (Rencana Anggaran Bangunan) yang memuat perkiraan biaya yang besar dan menyarankan untuk mencari material dan metode alternatif yang lebih mudah dan murah tanpa menghilangkan kualitas bangunan. Sebagai contoh, penggunaan baut pada sambungan akan lebih murah dibanding pengelasan. Contoh lainnya adalah mendesak engineer yang mendesain ruangan langit-langit sedemikian rupa sehingga tidak terlalu besar untuk pemasangan pipapipa dan saluran kabel listrik. Satu hal yang dapat dicatat bahwa dalam ilmu arsitektur, falsafah dan perincian pelaksanaan pembangunan gedung sangat erat hubungannya dengan integritas dan kesatuan desain sehingga pemilik aset harus memastikan dan menjamin realisasinya. Perencanaan yang Baik. Studi value engineering tidak boleh dilaksanakan terburu-buru namun harus mengikuti urutan jadwal terlebih dalam menangani proyek yang besar dan kompleks. Peninjauan jadual akan dilakukan secara sistematis dan disertai redesain hal-hal yang mungkin diperlukan sebelum proyek dilaksanakan sehingga biaya yang dikeluarkan tetap sesuai dengan alokasi anggaran yang telah ditentukan. Hindarkan Spekulasi. Pemilik aset hendaknya selalu mengingatkan kepada kontraktor dan konsultan bahwa harga yang diajukan dalam proses pembangunan dijabarkan secara rinci dan jelas di dalam pengajuan perencanaannya. Membuat perkiraan merupakan ilmu noneksakta dan sangat riskan yang dapat berpengaruh terhadap pengurangan peralatan khusus pada bangunan gedung karena estimasi yang terlalu dini. Apabila dihadapkan pada pilihan yang sulit, kita dapat meminta arsitek untuk membuat daftar peralatan gedung yang sesuai dengan ketersediaan atau kecukupan dana. Kita harus memberikan prioritas realisasi penyelesaian 41

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi menurut daftar, dan yang lebih penting lagi adalah rincian jadual waktu pengerjaan, umpamanya diawali dengan penyelesaian atap, kemudian dilanjutkan dengan pengerjaan lantai kamar mandi yang dijadualkan setelah selesai pekerjaan atap. Kita harus menjalin kerja sama dengan kontraktor untuk membuat alternatif pilihan harga material dan membuat keputusan yang tidak mengikat terhadap sub kontrak. Mengintegrasikan Sistem Terinci. Kita harus banyak bertanya kepada arsitek tentang pengintegrasian sistem yang digunakan, misalnya desain sistem penerangan (Lighting Design), mengapa sistem penerangan gedung tidak dibuat fleksibel dengan menyesuaikan dan memanfaatkan sinar matahari yang masuk ke lantai hingga jendela langit-langit. Terciptanya integrasi sistem secara rinci yang berterkaitan dengan penerangan yang dinamis akan memungkinkan tiap departemen secara otomatis menyesuaikan kebutuhan penerangan yang memanfaatkan sinar matahari. Hal itu tentunya dapat menekan biaya lebih rendah dengan tanpa mengurangi lingkungan kerja yang nyaman bagi karyawan. Contoh lainnya, adalah mengalirkan sirkulasi udara dari lantai bawah. Kita memahami betapa kotornya sirkulasi udara di gedung perkantoran terutama di perkotaan. Untuk mengatasi fenomena ini kita dapat memanfaatkan teknologi baru, yaitu dengan mengalirkan udara dari bawah lantai ke atas dan bukan menekan udara dari langit-langit ke bawah. Dengan sistem ini, bukan saja menghasilkan udara yang bersih dan sejuk, namun juga mengurangi penggunaan energi. Pada sistem pendingin konvensional, kita dapat melihat dua ventilasi pada langitlangit, satu ventilasi berfungsi menghembuskan udara segar yang masuk ke ruangan dan ventilasi lainnya menghisap udara pengap keluar. Sistem semacam ini tidak efisien, karena untuk mendinginkan ruangan, udara segar dan sejuk harus menembus udara panas yang pengap pada langit-langit dan udara segar dihembuskan dengan tekanan cukup tinggi sehingga sirkulasi udara dalam ruangan tidak sama rata. Selain itu, sebagian udara sejuk akan bersirkulasi pada langit-langit yang mengakibatkan sistem pendingin ini tidak efisien dan kurang memberikan kenyamanan. Sistem pendingin yang lebih baik adalah dengan menghembuskan udara sejuk melalui ruang bawah lantai dan sistem ini semakin banyak digunakan oleh kalangan bisnis untuk memberikan fleksibilitas keperluan pemasangan sistem saluran listrik di masa mendatang. Dalam sistem ini, udara sejuk dengan sendirinya berada di tempat yang lebih rendah di dalam ruangan dan apabila membentur benda-benda panas seperti orang atau komputer, udara panas akan naik dan keluar melalui ventilasi pada langit-langit. Oleh karena sistem ini tidak memaksa secara fisika maka udara yang masuk dapat didinginkan pada suhu moderat 25oC dan dialirkan masuk dengan tekanan rendah melalui ventilasi lantai yang dapat disesuaikan dan dipasang di setiap tempat kerja. Untuk mendapatkan udara yang lebih sejuk dan segar maka dipasanglah sensor karbondioksida yang menyalurkan 42

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi udara balik secara otomatis sehingga meningkatkan kuantitas udara segar. Metode ini tidak banyak mengkonsumsi energi karena menggunakan sistem pendingin yang relatif kecil. Timbulnya harga baru. Setiap perubahan atas perencanaan awal memiliki konsekuensi terhadap timbulnya harga baru. Perhitungan untuk material baru yang dikeluarkan dapat kita ketahui sangat mudah, yaitu
Desain baru + perkiraan pertambahan nilai = harga premium.

langsung dalam tim yang dibentuk dengan anggota yang terdiri dari arsitek, engineer, kontraktor, perwakilan pemilik aset, dan pengembang yang kreatif serta memiliki kecakapan tentang konstruksi secara komprehensif. Semua pihak yang terlibat hendaknya melakukan pengkajian ulang pada perencanaannya dan terjun ke lapangan untuk mencari elemen yang tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam memilih anggota tim, hendaknya tidak hanya terpaku pada orang-orang ekskutif semata, namun kita juga perlu mewawancarai orang yang langsung membuat laporan kepada arsitek. Metode ini memang nampak sulit untuk dilaksanakan karena adanya tekanan-tekanan sehingga dapat memperlambat berjalannya proyek. di sisi lain kita dapat terhindar dari penunjukkan orang yang tidak tepat di bidang pekerjaannya. Akhirnya, perlu dicatat bahwa pengerjaan proyek semacam ini mampu menjamin bahwa value engineering dapat diterjemahkan dalam sebuah struktur yang terencana dan inovatif dan pada gilirannya mampu menciptakan tempat kerja yang produktif bagi keberhasilan perusahaan dalam menjalankan usaha bisnisnya.

Adanya perhitungan ini disebabkan oleh kurang pemahaman secara pasti bagi kontraktor terhadap konsep desain baru tersebut. Para kontraktor menempuh jalan aman dalam penawarannya sehingga dapat menutup timbulnya biaya-biaya tak terduga. Dalam kondisi semacam ini, apabila kita menggunakan perhitungan sesuai dengan metode harga premium di atas akan mengakibatkan krisis keuangan sehingga akan lebih baik apabila pihak pemilik aset memutuskan untuk mencoba melakukan pembelian secara langsung. Dengan begitu kita dapat memperoleh desain yang tepat sekaligus mendapatkan kepastian harga, dan terhindar dari mahalnya harga yang berpatokan pada estimasi semata. Dari keseluruhan uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa inovasi ibarat sebuah tim dalam pertandingan olah raga. Hal yang lebih mengemuka dan perlu menjadi perhatian adalah bahwa pemilik aset hendaknya selalu melekat dan terlibat

IV. Penerapan Value Engineering dalam Metode Pelaksanaan Dilandasi pada esensi tata nilai yang tersirat dari filosofi seni dalam Value Engineering maka dalam penerapannya tata nilai tersebut dituangkan khususnya pada 43

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi penetapan metoda pelaksanaan dengan 3 unsur sebagai berikut : - Unsur ke-1 adalah pembiayaan, targetnya adalah biaya teroptimal - Unsur ke-2 adalah ketersediaan bahan, sarana dan pelaksana, targetnya adalah cara dan jadwal pengerjaan yang mudah terlaksana - Unsur ke-3 adalah kecepatan kerja, targetnya adalah waktu pelaksanaan yang cepat dan tepat sesuai rancangan bisnis infrastruktur yang dibuat. Dalam penerapan ini hubungan antara pemilih dan pelaksana perlu dikembangkan, khususnya untuk mengeliminasi risiko yang terkait dengan dana, kesempatan dan adanya 1 pihak tertentu yang harus menanggung kerugian. Pengembangan ini menciptakan mekanisme baru dalam pengelolaan proyek yang dimulai dengan sponsor proyek [3], dimana sponsor ini mulai membuka peluang investasi dan menawarkannya pada suatu pemilik modal yang berjanji akan membeli produk hasil proyek bila telah selesai baik parsial maupun total. Janji ini dapat dijual oleh sponsor untuk mengajak perusahaan pelaksana pembangunan untuk bersedia mencari dahulu dana pinjaman untuk pembangunan proyek tanpa melupakan aspek manajemen risiko baik dalam hal asuransi dan perbankan. Secara diagramatis hubungan ini dapat dicermati seperti gambar 1.

Sponsor Ide

Pelaksana Proyek Fisik

Penjamin Asuransi Perbankan

Penyandang Dana

Gambar 1. Skema Sponsor Ide [3]

Dalam skema tersebut, karena melibatkan banyak pihak maka perlu juga diterapkan prinsip-prinsip manajemen risiko melalui manajemen projek yang sistematis dengan standar baku untuk menghasilkan mekanisme kerja yang terdiri atas 3 unsur, yaitu

- Adanya proses yang baku dan terjadwal, mulai proses inisiasi ide, perancangan makro-meso-mikro, bechmarking, implementasi dan pengakhiran. - Adanya subpengelolaan unsur perencanaan strategis, khususnya aspek pembatasan lingkup, mutu, SDM, informasi, dan procurement. 44

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi - Adanya landasan ilmiah dari setiap tindakan teknis seperti olahan statistik, critical pada analisis dan lainnya. Ketiga unsur tersebut yang akan merefleksikan seni dalam Value Engineering menjadi Karakter Produk Proyek. Sebelum membangun sistem analisis Value Engineering perlu juga dipahami teknik terkini dari manajemen proyek, yaitu Critical Chain yang ditujukan untuk mengenal kapasitas maksimum dari sumber daya yang diperlukan. Pengetahuan ini penting dipahami untuk menentukan laju pelaksanaan pekerjaan, namun penajaman kapasitas maksimum ini dapat dikendalikan dengan prinsip-prinsip Theory of Constraint yang justru memanfaatkan suatu kondisi kapasitas maksimum dengan memecah menjadi kegiatan pararel atau seri agar batas atas kapasitas maksimum dapat digeser lebih atas agar kendali yang ada dapat tereliminasi dari kemungkinan kegagalan proyek. Penerapan ini ditujukan untuk optimalisasi 2 unsur utama dalam Value Engineering, yaitu dana dan waktu dengan menggunakan simulasi metode Monte Carlo [4], karena metode ini lebih pragmatis dalam menyikapi bahwa ketersediaan dana dan waktu adalah sesuatu paremeter dengan derajat kepastian yang rendah [5]. Adapun langkah-langkah penerapan dijelaskan dalam diagram sebagai berikut :

Pengolahan Data (Contoh : Crystall Ball)


Proses Distribution Fitting secara Otomatis
Tidak

Data Biaya

Pengolahan Data Dengan Program Statistik

Uji KalmogorovSmirnov

Proses Distribution Ya Proses Fitting secara Manual Running

Hasil Simulasi Biaya

Pengolahan Data (Contoh : Crystall Ball)


Proses Distribution Fitting secara Otomatis
Tidak

Data Waktu

Pengolahan Data Dengan Program Statistik

Uji KalmogorovSmirnov

Proses Distribution Ya Proses Fitting secara Manual Running

Hasil Simulasi Waktu

Simulasi (Contoh PERTMASTER)

Tabulasi Hasil Simulasi

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

45

Inovasi dan Seni pada Value Engineering untuk Pengelolaan Konstruksi

Gambar 2. Proses Simulasi [6]

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

46

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional V. Kesimpulan Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa dalam melakukan kegiatan bisnis pengelolaan pembangunan proyek gedung terdapat beberapa isu penting, yaitu Faktor ketepatan waktu dan biaya yang murah bukanlah hanya merupakan aspek yang menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan pembangunan proyek melainkan terdapat faktor lain, yaitu kondisi yang mendorong keberhasilan usaha bagi pengguna aset. Desain yang megah dan biaya yang besar, tidak selalu menjadi jaminan kesuksesan pelaksanaan proyek. Diperlukan inovasi dan arsitektur yang memiliki Value Engineering yang dapat merefleksikan tuntutan kepuasan pelanggan. Pemilik aset hendaknya selalu mendampingi dan terlibat langsung dalam setiap proses pelaksanaan pembangunan proyek.

Daftar Pustaka 1. Brown J.A, 15 Keys for Successful Construction, Estimating and Bidding Transaction of AACE Internasional, AACE International, 1998. 2. Yuan, LL and Pheng, LS, Just-in-Time Productivity for Construction, National Prints, Singapore, 1992.
3. Soeparto, H.G, Pengelolaan Proyek Konstruksi Kini dan Masa Mendatang, Trend Teknik Sipil, JONBI, 2002.

4. Back WE and Boles, WW, Defining Triangular Probability Distribution From Historical Cost Date, Journal of Construction Engineering and Management, 2000, pp 29-37.

5. Clarke, DE, Monte Carlo Analysis = Ten Years of Experience, Technical Article-Roll of RiskSeries 43, 2001.
6. Latief Y dan Nurzaman, L Simulasi Waktu & Biaya Menara BTS di Propinsi Banten Dengan Program PERTMASTER, Jurnal HAKI,Vol. 6 No.1, Mei 2005.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

38

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional

Konsepsi Dan Tolok Ukur Ketahanan Regional1)


Prima Roza, Sutan Adjamsyah, Nining Respati, Siti Kusumawati Azhari, Rr. Sri Wachyuni, 2) Ronny Hendrawan, Dicky R Munaf

Abstract
The development of interaction among people is nowadays very much influenced by two contradictory factors. They are the unifying interest and tribalism. The later is not in a context of traditional anthropology. The fact can be seen from the trend of regionalism recently, particularly in the region of North America, Asia Pacific, and Europe. In the effort of balancing the competitive ability among the three regions, and in making them synergized, it is necessary to pay close attention to the formation of competitive supremacy from time to time. Besides that, since regionalisation involves a group of countries, each of which has each own national interest, it is necessary that the synergy effort has to be led to a balance on the similar element/feature, and not the effort of interest accumulation of each country member of a region. Within this context, this study is conducted with reference to the above mentioned principles, and it is focused mainly on the ASEAN region in which Indonesia is the most influencing country member. The study focuses on the current regionalisation development of the Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006 39

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional three main regions. Also, the study predicts the targets they intend to achieve by identifying the dominant parameters for the targets and correlates the parameters with the targets. In addition, the extrapolation towards the globally shared values into the concept of Indonesias National Resillience is done. The extrapolation is done to enrich the concept of Indonesias National Resillience, and the result of which can further be used to strengthen the regional resillience concept. This enriched regional resillience concept is then translated into quantitative parameter which are adopted as the indicators of the regional resillience concept.

Pendahuluan
Berakhirnya perang dingin telah menciptakan lingkungan internasional baru yang ditandai oleh perubahan yang cepat dan ketidakpastian. Perubahan yang terpenting adalah terbentuknya modal nonkonvensional yang mempunyai dampak sangat besar bagi budaya manusia secara
1) 2)

keseluruhan, khususnya cara manusia dan bangsa-bangsa memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus meningkat. Dibanding dengan faktor-faktor produksi yang standar telah muncul faktor baru secara menonjol, yaitu pengetahuan, informasi, dan inovasi. Manifestasinya dapat dilihat pada terus meningkatnya kegiatan yang berhubungan dengan pengumpulan, penyusunan, penyimpanan, dan kaji ulang dari berbagai informasi dan berkembangnya suatu masyarakat informasi yang terdiri atas para manusia yang hidup dan berkarya di bidang pendayagunaan informasi yaitu yang mengandalkan pengetahuan dan daya nalarnya.

Penyempurnaan lanjut dari makalah Jurnal Ketahanan Nasional, 2000 Tim Pengajar PPKN, KK-Ilmu Kemanusiaan FSRD ITB.

Selain itu, hal-hal yang mempengaruhi adalah sistem internasional yang merupakan jaring antar negara-bangsa, masing-masing negara mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hubungan politik, ekonomi, dan hubungan fungsional lainnya. Siapa yang lebih mempengaruhi siapa, ditentukan oleh struktur posisi relatif dari kekuasaan (power) dan pengaruh (influence), norma-norma perangai (behavior), serta partisipasi proaktif yang membentuk interaksi fungsional negara-negara itu. Ciri-ciri struktural dan fungsional dari interaksi itu berubah dari waktu ke waktu dengan berubahnya kemampuan relatif dan motivasi dari para pelaku interaksi, dalam hal ini anggota sistem internasional tersebut. Selain interaksi antar pemerintah dan antar negara dengan lembaga internasional, sistem internasional juga mencakup hubungan melewati wilayah nasional yang dilakukan melalui antar organisasi swasta, antar kelompok dan perorangan yang dilakukan untuk tujuan-tujuan ekonomi, ilmiah, agama, pendidikan, kemanusiaan, hak asasi, kebudayaan, dan lain-lain. Daya mampu dan kekuatan negara-negara tidak pernah konstan. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan yang tidak merata di antara masyarakatmasyarakat serta terobosan modal 40

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional faktor produksi baru dan organisasional yang memberi keuntungan-keuntungan lebih besar bagi suatu masyarakat dibanding masyarakat lainnya. Berbagai interaksi dan perkembangan ini mempengaruhi keadaan dan perkembangan dalam negeri setiap negara. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa negara merdeka (independent) itu saling bergantung (interdependent) secara internasional dengan kata lain, berintegrasi. Semakin besar saling ketergantungan, atau integrasi itu, semakin berkurang negara individual menentukan sendiri politik dalam negeri maupun luar negerinya. Hubungan dan interaksi semakin tunduk kepada berbagai pengaturan. Dalam sistem internasional dengan tingkat integrasi tinggi, interaksi antar anggotanya lebih stabil dan lebih dapat diramal. Sebaliknya, semakin sedikit interaksi dan hubungan, dengan kata lain, dalam sistem internasional yang longgar, semakin besar pula kebebasan dan kemandirian negara individual untuk menentukan sendiri keinginan dan perkembangannya. Akan tetapi, dalam sistem yang longgar itu, keadaan menjadi cair (fluid), sulit diperkirakan, dan menjadi kurang stabil. Mencermati kecenderungan interaksi kehidupan manusia di seluruh dunia dalam satu dasawarsa terakhir ini, dapat diamati adanya fenomena Ambivalensi Globalisasi dalam interaksi kehidupan tersebut, yaitu ditandai adanya upaya penyatuan tujuan hidup (unifying effect), sedangkan di lain pihak timbul kesadaran akan kebutuhan

pengakuan hak pribadi atau hak kelompok. Khusus untuk aspek yang kedua ini ada kecenderungan terkikisnya pandangan pentingnya kolektivitas oleh tribalisme yang dicirikan dengan penonjolan kepentingan masing-masing kelompok atau unit sosial. Paradigma kehidupan manusia tersebut di atas akan mengakibatkan makin pentingnya interaksi antarunit sosial atau bangsa yang mungkin memiliki kepentingan berbeda, sehingga jalinan interaksi ini menjadi dominan dalam pencapaian ketenteraman kehidupan manusia. Jalinan ini akan rentan terhadap gangguan perbedaan kepentingannya terhadap unit sosial lain. Fenomena ini didefinisikan sebagai aspek Kaotik (chaotics) kehidupan manusia, artinya potensi dalam kehidupan manusia yang mampu merusak namun dapat memberi manfaat bagi kehidupan manusia tersebut jika sifat pretoriannya dapat dimanfaatkan (nonkaotik). Aspek ini terkait dengan societal yang diakibatkan oleh peningkatan peradaban manusia yang diejawantahkan dalam bentuk Tingkat Partisipasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, paradigma interaksi kehidupan manusia secara lengkap dapat dicirikan oleh 3 parameter utama yang meliputi statis (sumber daya), dinamis (aspek yang melandasi interaksi kehidupan), dan kaotik (aspek yang mampu bersifat pretorian dalam kehidupan manusia). Ketiga parameter ini merupakan pemicu bagi makin eratnya interaksi kehidupan manusia yang mungkin keeratan tersebut dapat ditingkatkan dengan partisipasi kaotik bagi terbentuknya 41

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional landasan baru terhadap tatanan interaksi kehidupan manusia tersebut. Mengawali pembahasan ketahanan suatu negara maupun ketahanan regional tempat negara tersebut berada, perlu dimulai dari pengertian bahwa setiap bangsa yang telah bernegara memiliki tujuan nasional sebagai pengejawantahan cita-cita nasionalnya yang mungkin dilandasi oleh falsafah dan ideologi bangsa tersebut. Tujuan nasional tersebut direpresentasikan dalam bentuk pembangunan nasional yang pasti memerlukan interaksi dengan negara lain selain mensinergikan interaksi potensi internal dalam bangsa tersebut. Namun, proses pencapaian tujuan nasional tersebut selalu menghadapi Tantangan, Ancaman, Hambatan, dan Gangguan (TAHG) dari sisi internal maupun eksternal, sehingga untuk menanggulangi, bahkan memanfaatkan TAHG tersebut setiap bangsa harus memiliki keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan kekuatannya sendiri. Hal ini disebut Ketahanan Nasional, sedangkan ketahanan bersama negara lain dalam konteks wilayah tertentu, disebut Ketahanan Regional. Bertolak dari uraian di atas, model Konsepsi Ketahanan Regional dengan kerangka pikir untuk mampu menciptakan keuletan dan ketangguhan dengan melibatkan parameter interaksi kehidupan manusia yang proaktif akan diuraikan, demikian pula instrumen yang diperlukan untuk menilai konsep tersebut yang dituangkan dalam tolok ukur akan dijelaskan dalam makalah ini. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyumbangkan pemikiran tentang hal yang strategis dari konsepsi ketahanan regional

yang berorientasi memperkuat solidaritas politik dan kerja sama disegala bidang demi tercapainya tujuan bersama dalam menghadapi akselerasi peradaban manusia.

REGIONALISME GLOBAL ASIA TENGGARA

DAN

Fenomena interaksi kehidupan manusia tampak menonjol yaitu maraknya pengelompokan regional. Kelompok-kelompok yang mengambil peran dalam basis ini, baik politik maupun ekonomi, sudah berjalan sejak lama, namun selama itu tertutupi oleh persaingan kekuatan bipolar. Hilangnya ketegangan dunia memunculkan kelompok ini ke depan panggung internasional. Selain itu, kecende-rungan regionalisasi juga terpacu dengan sulitnya perundingan perdagangan multilateral. Kekhawatiran kegagalan forum multilateral ini dan hilangnya persaingan politik global mendorong meningkatnya pengelom-pokan regional tersebut. Peningkatan regionalisme tersebut turut dipengaruhi oleh tanggapan terhadap perkem-bangan kelompok-kelompok satu sama lain. Dengan demikian, perubahan pola dari bipolarisme ke multipolarisme turut memasukkan kelompok-kelompok regional ini bersama-sama negara secara individual ke dalam berbagai sentra kekuatan meski dengan kualitas yang berbeda. Pada dasarnya, pengelompokan regional dapat dilihat sebagai proses atau upaya yang pada akhirnya menuju pada penyatuan (integrasi) ekonomi dan mungkin politik. Teori klasik menyebutkan terdapat tujuh 42

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional tahapan menuju integrasi ekonomi (dan politik), yaitu. Pertama adalah Free Trade Area (FTA), semua hambatan perdagangan baik tarif maupun nontarif dihapus pada kawasan perdagangan, namun masing-masing anggota kelompok masih mempertahankan aturan tarifnya dengan negara ketiga di luar kawasan. Kedua adalah Custom Union (CU), selain memberikan kemudahan seperti dalam FTA, mempunyai kebijakan tarif bersama terhadap negara ketiga. Ketiga adalah Common Market (CM) selain mengatur perdagangan barang juga mengatur faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal yang bebas bergerak dalam kawasan tersebut. Keempat adalah Economic Union (EU) merupakan perluasan CM dengan aspek koordinasi (dan harmonisasi) kebijakan ekonomi, pengaturan pasar, kebijakan moneter, hingga kebijakan redistribusi pendapatan, sehingga dikatakan EU memiliki kebijakan perdagangan bersama. Kelima adalah Monetary Union (MU) yang menentukan nilai tukar mata uang negara anggota dan konvertabilitasnya, atau kesepakatan akan satu mata uang yang berlaku di seluruh negara anggota. Pada tahap MU ini sudah terdapat tingkat integrasi yang tinggi di bidang makro ekonomi dan kebijakan anggaran. Keenam adalah Economic and Monetary Union (EMU) menggabungkan isi EU dan MU yang bergerak bersamaan.

Ketujuh adalah Full Economic Integration (FEU) merupakan penyatuan total semua sendi perekonomian negara anggota. Keadaan dalam FEU sudah seperti pengaturan dalam sebuah negara. Dalam kerangka tersebut, UE dan ASEAN merupakan contoh kelompok regional yang meningkatkan intensitas integrasi dan kerjasamanya seiiring dengan turut serta hilangnya ketegangan dunia, meski dengan tahapan yang berbeda. Jika ASEAN masih baru dengan FTA, Uni Eropa telah jauh lebih maju memasuki tahap EMU di akhir abad 20. Peningkatan atau penguatan regionalisme dalam gambar baru dunia terlihat dalam Traktat Maastricht dan ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang merupakan wujud langsung dari kebutuhan tersebut. North America Free Trade Area (NAFTA) dan APEC, di pihak lain, dapat dipandang sebagai alternatif baru terhadap kekhawatiran gagalnya sistem multilateralisme. Di samping merupakan tanggapan terhadap perkembangan ekskluifisme integrasi Eropa serta alat AS untuk menekan Uni Eropa dalam perundingan GATT, yang terpenting fenomena tersebut mempercepat evolusi setelah Perang Dingin berlalu. Dalam masa peralihan setelah Perang Dingin diperlukan kejelian masing-masing negara untuk memanfaatkan berbagai perkembangan dan pergeseran politik maupun ekonomi yang muncul seiring dengan proses pembentukan tatanan internasional baru. Dari proses integrasi Eropa, dapat dilihat tiga ciri pokok pendekatan yang dilakukan, yakni legalitas, institusionalitas, dan supranasionalitas. Legalitas 43

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional mengacu pada amat kuatnya kandungan hukum dalam proses integrasi. Semua kesepakatan dituangkan ke dalam traktat yang mengikat. Selain itu, kesepakatan ditulis secara rinci tanpa memberi peluang interpretasi ganda. Dengan latar belakang demikian, UE tumbuh menjadi sosok yang ada saat ini, sebuah kekuatan ekonomi nyata namun yang masih mencoba tampil kompak dalam bidang politik. Di bidang ekonomi, UE adalah subyek hukum internasional sebagaimana layaknya negara, menjadi anggota PBB, menentukan kebijakan tunggal, atau melakukan perundingan. Di bidang politik, UE tak ubahnya sekumpulan negara yang mencoba bekerja sama untuk menjalankan kebijakan yang sama. Sebuah pekerjaan rumah UE lain yang berat selain masalah pendalaman kualitas integritas, menuju EMU (deeping) adalah masalah pelebaran cakupan integrasi dengan memperluas keanggotaannya (widening). Keberhasilan integrasi ekonomi UE telah membuat negara-negara sekitar tertarik untuk bergabung. ASEAN, di pihak lain, menunjukkan proses dan sifat yang berbeda walau dengan hasil yang secara relatif sama. Yang harus diingat pertama kali adalah proses yang selama ini berjalan di ASEAN bukan merupakan upaya integrasi, tetapi kerja sama. Asean didirikan pada 1967 di bawah bayang-bayang Perang Vietnam dan meningkatnya kebangkitan gerakan komunisme di kawasan itu, motivasi menonjol dalam pembentukan ASEAN adalah faktor politik dan keamanan. Deklarasi Bangkok yang mendasari pembentukan ASEAN menyebutkan

kerja sama ekonomi dan sosial adalah masalah-masalah politik yang menjadi agenda utama ASEAN dalam dua dekade pertama. Setelah kesamaan persepsi berhasil dibangun dan dasar-dasar filosofis berhasil ditegakkan, kemudian ASEAN mengisi kerangka tersebut dengan kerja sama ekonomi yang lebih substansial. Hal tersebut mengemuka/dibincangkan pada KTT IV di Singapura pada tahun 1992 yang menyepakati untuk membentuk AFTA dan terealisasi pada tahun 2003 yang lalu. Dalam konteks ini dapat dilihat prioritas pertama kerja sama ASEAN adalah membiasakan berdialog satu sama lain, saling mengerti dan menghormati, dan berkawan. Lambatnya kerja sama ASEAN pada tahun-tahun pertama banyak disebabkan oleh terserapnya sebagian besar perhatian pada usaha untuk membangun rasa percaya bahwa saling membutuhkan dan dapat bekerja sama untuk membangun kawasan dan menyepakati segala sesuatu harus dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai konsensus. Deklarasi Bangkok dapat dilihat sebagai komitmen politik negara-negara anggota untuk bersatu dan bekerja sama tanpa mengurangi kedaulatan nasional masing-masing negara dalam mengupayakan stabilitas politik kawasan yang dapat menunjang pembangunan nasional. Declaration of ASEAN Concord Treaty of Amity and Cooperation (1976) adalah tonggak-tonggak penting dalam tahap ini. Meskipun demikian, tidak berarti ASEAN mengabaikan kerja sama ekonomi seperti disebutkan oleh Deklarasi Bangkok. Kerja sama 44

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional ekonomi ASEAN dapat dibagi ke dalam empat tahap : 1967-1976, 1976-1987, 1987-1992, dan 1992sekarang. Keberhasilan dan ketahanan ekonomi ASEAN bersama negaranegara Asia Timur lain, meskipun masih lebih banyak disebabkan oleh upaya individual dari pada hasil kerja sama dalam kerangka ASEAN, telah meningkatkan kepercayaan diri ASEAN untuk meningkatkan perannya dalam turut menyusun gambar baru hubungan internasional setelah Perang Dingin. Selain itu, ASEAN adalah minimalis, ini terlihat dari relatif sedikitnya pertemuan formal. Hingga 40 tahun usianya, ASEAN baru mengadakan tujuh kali KTT formal dan dua kali KTT informal serta pertemuan tahunan tingkat menteri. Penampilan yang lebih banyak bersifat informal dan kuatnya hubungan pribadi (personalized) itu menunjukkan kualitas institusionalisasi yang secara mencolok berbeda dengan Uni Eropa. Ciri lain adalah ketahanan regional. Konsep Indonesia ini diterima sebagai konsep dasar ASEAN mensyaratkan adanya ketahanan kolektif dari ketahanan nasional masing-masing negara anggota untuk memperoleh ketahanan regional. Konsep ini banyak dilandasi oleh pemikiran bahwa negara dunia ketiga seharusnya bekerja sama mengerahkan kekuatan untuk mengurangi ketergantungan politikekonomi mereka dari negara G-8. Semangat ini terlihat nyata ketika negara-negara berkembang

mengampanyekan Tata Ekonomi Dunia Baru melalui kerja sama Selatan-Selatan, untuk menghapuskan ketergantungan terhadap negara-negara maju dengan memobilisasi sumber daya dan kemampuan sendiri. Namun terlalu besar dan beragamnya kepesertaan kelompok membuat penyaluran aspirasi tersebut banyak disandarkan pada ketahanan kolektif kawasan. Tersirat bahwa ASEAN percaya bahwa dengan ketahanan nasional yang kuat akan menciptakan ketahanan regional yang kokoh dan pada gilirannya menampilkan ASEAN yang solid. Berdasarkan konsep ini, kerja sama tidak harus berujung pada integrasi, namun lebih mengarah pada alat untuk membangun kekuatan dan kedaulatan nasional. Jadi, nasionalisme tetap merupakan faktor pendorong yang kuat. Meski diakui bahwa keberhasilan ekonomi anggota ASEAN sampai saat ini masih banyak disebabkan oleh keberhasilan individual dari pada hasil kerja sama kawasan, namun kondisi kerja sama ASEAN yang demikian merupakan dasar yang kokoh dalam meningkatkan penampilan ASEAN seperti terbukti selama ini. ASEAN bahkan Asia menentang pengaitan perdagangan atau bantuan pembangunan dengan isu-isu seperti demokrasi, hak-hak azasi manusia, atau lingkungan hidup dan menganggap sikap tersebut sebagai pemaksaan penerapan nilai-nilai Barat di dunia Timur. Penolakan ini semakin keras sejalan dengan menguatnya kepercayaan diri Asia yang berasal dari keberhasilan pembangunan ekonomi mereka. 45

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional Keberhasilan tersebut memunculkan identitias kawasan yang dilandaskan pada nilai budaya Timur sebagai alternatif yang setaraf dengan atau bahkan lebih dari nilai-nilai Barat, yang oleh Asia justru dipandang sedang runtuh. Perdebatan tentang nilai ini terlihat menonjol hingga paruh pertama 1990-an. Secara ideologis, universalisme Barat memperoleh tentangan dari relativisme Asia. Berbeda dengan konsep individualisme, budaya Asia lebih menekankan pada hak ulayat, kesatuan dan persatuan, keharmonisan sosial, musyawarah dan mufakat, atau penghormatan terhadap pemimpin. Dengan prinsip kemasyarakatan tersebut, perorangan tidak saja memiliki hak, namun juga kewajiban dan tanggung jawab yang sering harus diutamakan jika keselarasan sosial terganggu. Asia berkeyakinan bahwa hak-hak azasi manusia harus dipahami dalam konteks budaya, sejarah dan ekonomi suatu negara. Selama kemiskinan masih membelit, hak sosial dan ekonomi memperoleh prioritas utama di atas hak-hak politik.

disparitas yang sangat besar dan beragam antara negara-negara tersebut, praktis meliputi semua unsur pembentuk kemampuan nasional, seperti homogenitas etnik, ukuran besar negara, tersedianya sumber daya alam, agama, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, militer, tingkat kesejahteraan, tingkat pendidikan, tingkat kemajuan. Disparitas besar beragam itulah yang menimbulkan ketergantungan internasional (dalam rangka interdependensi internasional). Tidak ada atau sangat kurangnya berbagai sumber daya itu menimbulkan kelemahan-kelemahan pada banyak negara berkembang, apalagi negaranegara termiskin. Untuk dapat melanjutkan hidup, mereka membutuhkan sumber-sumber dari luar seperti bantuan ekonomi; bantuan kemanusiaan; bantuan dalam bencana-bencana alam seperti musim kering, banjir, gempa, bantuan militer untuk membentuk dan memelihara kemampuan militer yang paling sederhana sekalipun (yang tak jarang digunakan untuk kepentingan para penguasa); dan pasar bagi ekspor komoditas primer jika ada. Di samping negara-negara adidaya, besar, sedang, kecil, dan lemah itu, terjadi pula pertumbuhan yang proliferatif dari berbagai sektor (unit) nonnegara yang juga dapat sangat mempengaruhi agenda internasional. Di antaranya yang terpenting adalah : a. Aktor Teritorial Non-negara (ATN) seperti PLO yang duduk dalam PBB dengan status peninjau dan berbagai gerakan pembebasan nasional lainnya, 46

LINGKUNGAN STRATEGIS DALAM INTERAKSI KEHIDUPAN MANUSIA Proses globalisasi itu juga didorong oleh lahirnya satu wadah global, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada penghujung PD II, yang beranggotakan semua negara-bangsa itu, baik negara-negara tua (berusia lebih kurang 200 tahun), maupun negara-negara yang baru merdeka setelah PD I dan terutama setelah PD II, serta negara-negara yang mungkin masih akan lahir lagi. Terdapat

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional seperti berbagai faksi di Somalia, Afganistan, Basque di Spanyol; Kurdi di Irak - Turki - Iran Armenia. Berbagai ATN ini mempengaruhi lingkungan politik internasional dan regional. b. Aktor Non-teritorial Transnasional (ANT) seperti perusahaan-perusahaan multinasional (MNC). Jika MNC terutama bergerak di bidang ekonomi nasional dan internasional (tetapi ada kalanya juga politik nasional negara-negara lemah), ciri-ciri ANT sebagai berikut : 1) Mempunyai aktivitas terorganisasi yang berlangsung bersamaan dalam beberapa negara sekaligus. 2) Mempunyai sasaran-sasaran yang tidak berhubungan dengan kepentingan-kepentingan negara individual. 3) Mempunyai unsur-unsur komponen yang secara esensial bersifat non politik. c. Organisasi-organisasi antar pemerintah (intergovernmental organization, atau IGO), seperti PBB dengan segala agen spesialis. IGO sering mempunyai pengaruh besar dalam dimensi internasional dan mempengaruhi pula agenda domestik negaranegara anggota-nya, tetapi kadang-kadang kebija-kannya dapat pula bertentangan dengan kebijakan satu atau lebih anggotanya. Dengan semakin padatnya jaringan hubunganhubungan internasional karena pertumbuhan transaksi-transaksi sosial, komersial dan komunikasi, keperluan untuk kerja sama dan

koordinasi antar meningkat pula.

pemerintah

d. Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (lebih dengan sebutan NGO). Melalui lembaga-lembaga NGO ini rakyat seluruh dunia dapat saling bertemu dan bertukar pikiran dalam berbagai bidang sosial budaya, kemanusiaan, dan lingkungan hidup. NGO merupakan bentuk yang paling efektif dalam meletakkan landasan-landasan dan penyelenggaraan hubungan people to people. Semua lembaga tersebut di atas ikut dalam pentas internasional. Dapat dibayangkan betapa kompleksnya sistem internasional yang global itu. Tidak mungkin semua negara di dunia dapat ikut berkiprah dalam semua aspek dan dimensi sistem internasional tersebut. Meskipun semua unsur itu berperan, namun negara-bangsa tetap merupakan pemain yang terpenting. Oleh karena itu, a. Hanya negaralah yang mampu menggalang kesetiaan dari rakyat yang menghuni suatu teritori tertentu. b. Hanya negaralah yang mampu mengerahkan segala sumber daya untuk mengatasi ancaman terbesar (perang). c. Hanya negara pulalah yang memiliki konsep yang meliputi keseluruhan masalah yang menyangkut kesejahteraan dan keamanan semua rakyat. d. Hanya negara yang memiliki kedaulatan. Dengan hadirnya strata tersebut, setidaknya kini dapat diidentifikasi 47

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional lima tingkat pengambilan keputusan dalam hubungan internasional, yakni aturan global dan multi lateral seperti WTO dan konvensi internasional lain; dialog antarkelompok regional seperti APEC, atau ASEM atau ASEANNAFTA/ ASEAN-Mercosur, kelompok sub-regional seperti BIMP-EAGA, Sijori; dan hubungan bilateral antarnegara. Dari kelima tingkatan itu, tingkatan yang didasarkan pada hubungan antar kelompok menunjukkan peran yang semakin penting dalam hubungan internasional. Sementara itu, mengingat semakin banyaknya pelaku politik internasional dengan heterogenitas dan keragaman kepentingan terasa semakin sulit untuk mencapai kemufakatan ditingkat global/ multilateral. Sebagai contoh adalah lamanya perundingan dalam kerangka GATT. Keadaaan ini belum ditambah dengan keharusan ratifikasi yang juga memakan waktu lama, sedangkan arti penting peran interaksi bilateral pun, di sisi lain, turut menurun, seperti ditunjukkan oleh banyaknya keputusan yang ditentukan oleh interaksi tingkat di atasnya, seperti persoalan lingkungan hidup, perdagangan, atau investasi. Dengan demikian, hubungan antar kelompok regional itu mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi proses institusionalisasi hubungan internasional. Desakan-desakan untuk menyelaraskan berbagai kepentingan dan kebutuhan untuk mengkom-promikan pemecahan dalam dan antara kelompok-kelompok regional itu akan menciptakan satu tingkat interaksi tersendiri di luar

struktur dialog yang telah ada. Dilandasi oleh paradigma baru kualitas interaksi manusia dalam berbangsa dan bernegara baik dalam konteks global maupun regional dapat dilihat bahwa terdapat suatu parameter kehidupan yang akan mendominasi kualitas hidup manusia yang dapat diakomodasi oleh aspek statis dan dinamis yang selama ini ada, yaitu kemampuan antisipasi partisipatif yang didukung oleh jaringan berlapis. Adapun alasan tidak terakomodasinya parameter tersebut pada aspek statis dan dinamis adalah dilandasi oleh kedua aspek tersebut yang tidak mampu memberi koridor yang dapat digunakan untuk antisipasi proaktif guna meningkatkan peradaban manusia. Di lain pihak, parameter kaotik adalah suatu parameter yang mengandalkan kecerdasan manusia dalam upayanya memiliki daya saing untuk berperan dalam dunia global. Kecerdasan manusia merupakan faktor pendorong bagi suatu bangsa yang dapat berpikiran ganda, yaitu sebagai modal persaingan sekaligus dapat juga menjadi sarana perusak tata kehidupan jika tidak diimbangi moral yang mantap. Unsur utama dari parameter kaotik adalah : Tumbuhnya kreativitas Perlindungan kekayaan tradisional Kemampuan saing menciptakan daya

Ketiga unsur parameter kaotik tersebut timbul dari sikap suatu bangsa sebagai implementasi dari keinginannya untuk dapat diakui di dunia ini dengan memberikan sentuhan konstruktif bagi tingkat 48

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional peradaban manusia yang strateginya perlu dilakukan dengan berjenjang bergantung pada tingkat aplikasi dari unsur parameter kaotik ini. Proses proses identifikasi ketiga unsur utama

di atas dapat dilihat pada gambar berikut :

Unsur Ego (Individu ataupun Regional) dalam interaksi antar Bangsa akan mendominasi Keproaktifan Suatu Bangsa Guna Menjaga dan Menjamin Eksistensinya

Unsur Ego

Merusak

(KAOTIK)

Bersinergi Positif (KONTRA KAOTIK) Unsur Ego Dapat Disinergikan melalui Stasiologi Moral & Nalar Berbasis Modal Inkonvensional :
Tumbuhnya Kreatifitas Perlindungan kekayaan Tradisional (serumpun) Menciptakan daya saing

Gambar 1. Common denominator KONSEPSI KETAHANAN Identifikasi Unsur Parameter Kaotik kepentingan nasional masing-masing anggota NASIONAL harus dapat diserasikan kemudian disinergikan menjadi suatu Berlandaskan kecenderungan ketangguhan dan keuletan kawasan. para-digma interaksi kehidupan Ketahanan Regional bukanlah jumlah berbangsa semakin disadari bahwa total dari Ketahanan Nasional masingkepentingan dan kebutuhan suatu masing anggota. negara tidak lagi mungkin dipenuhi mandiri dan terlepas dari masyarakat Bertitik tolak dari konsep dasar di dunia sehingga ketahanan suatu atas, Ketahanan Regional hanya bangsa mutlak diperlukan. Dalam dapat dicapai dengan membangun konteks ASEAN, Indonesia merintis manusia sebagai pelaku interaksi. upaya untuk membina suatu Makalah ini akan menjelaskan Ketahanan Regional ASEAN konsepsi dasar dan tolok ukur mengingat kawasan ini selalu menjadi Ketahanan Regional ASEAN obyek kekuatan luar dan tidak pernah berlandaskan Visi ASEAN 2020 : menjadi motivator untuk Partnership in Dynamic Development lingkungannya sendiri apalagi untuk yang telah diacu oleh seluruh anggota lingkungan luar. ASEAN dalam menetapkan strategi pembangunan nasionalnya. Artinya Konsep Ketahanan Regional Visi ini adalah penyelaras awal dari ASEAN ini perlu dikembangkan lebih segenap proses pembangunan para lanjut dengan konsep dasar bahwa Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006 49

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional anggota ASEAN. Mengacu pada titik sentral pengertian bahwa pembangunan manusia adalah unsur utama dari proses sinergi ketahanan regional dan digabung dengan adanya gejala pentingnya parameter kaotik dalam menentukan kualitas interaksi antar bangsa, maka konsepsi Ketahanan Regional yang akan dikembangkan akan mengoptimalkan pandangan perlunya meninjau aspek statis dan aspek dinamis dengan suatu koridor aspek kaotik sehingga diperoleh mekanisme sinergi kepentingan nasional anggota ASEAN tanpa melibatkan unsur-unsur yang memang tidak dapat disinergikan sesuai kepentingan masing-masing anggota, karena dengan melibatkan hal itu justru mungkin akan timbul konflik. Terkait dengan penjelasan di atas, Konsepsi Ketahanan Regional ASEAN adalah konsepsi pengembangan kekuatan Regional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam aspek kehidupan berpotensi yang utuh, menyeluruh dan terpadu berlandaskan pada kepen-tingan yang sama, searah, dan bersifat proaktif untuk memperoleh daya saing. Jadi kata kunci dalam ketahanan regional adalah Serasi, Proaktif, dan Institusional. Satu hal yang penting juga bahwa Ketahanan Regional ini perlu

dievaluasi secara periodik sehingga dapat dinilai kecenderungan perubahannya dengan transformasi dari waktu ke waktu yang dinyatakan dengan pemetaan. Namun demikian mengingat sampai saat ini belum ada indikasi nilai Ketahanan Regional, untuk menentukan Benchmark Nilai Ketahanan Regional dilakukan transformasi nilai Tannas ke Tanreg dengan formulasi sebagai berikut
Nilai Statis + Nilai Dinamis x Nilai Tannas + Nilai non Kaotik 100

Kemudian regresi nonlinier dengan derajat kepercayaan antara 99 100% diaplikasikan pada Nilai Tanreg transformasi seperti ditunjukkan pada gambar 2. Kemampuan antisipasi dari satu kawasan pada suatu rentang waktu jika nilai adalah negatif maka dapat dirancang kegiatan yang mampu menjadi pendorong agar nilai pada waktu berikut adalah positif. Demikian pula jika nilai positif, laju antisipasi adalah yang diinginkan dengan nilai proporsional. Kembali pada pengertian dasar Ketahanan Regional ASEAN yang merupakan sinergi dari unsur-unsur yang serasi di antara negara-negara anggota yang tidak mempertimbangkan unsur yang merupakan kekhasan dari tiap negara anggota maka Ketahanan Regional ASEAN khususnya diusulkan mempunyai unsur keterkaitan sebagai berikut :

TANREG EKSTRAPOLASI TANNAS

t2 - t1 = t3 (periodic) i = arc tg KR2 KR1 t2-t1 i > 0 baik i < 0 perlu kaji ulang Kondisi regional Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006 50
TANREG BENCHMARK
KR2
B B

KR3
B B

1
B B

1
B B

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional

Gambar 2. Pemetaan Ketahanan Regional

Ketahanan Regional

STATIS
o Geografi o Demografi o SKA

DINAMIS
o Ideologi o Politik o Ekonomi o Sosial Budaya o Hankam KAOTIK o Kreatifitas o Kekayaan Tradisional o Daya Saing Tujuan Serasi Proaktif Institusional

Catatan
: Sangat Dinamis : Dominan : Tidak Terkait

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

51

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional Gambar 3. Pohon Keterkaitan Unsur Ketahanan Regional

Nilai Transformasi Tannas ke Tanreg 51,5xz + 48,5 nilai 51,5 dan 48,5 100 diperoleh dari analisis tolok ukur ketahanan regional yang diusulkan seperti tabel 1.

TOLOK UKUR KETAHANAN REGIONAL

Rumusan tolok ukur Ketahanan Regional yang diusulkan adalah yang didasarkan pada unsur-unsur yang tersebut pada pohon keterkaitan unsur yang telah disebut pada pasal sebelumnya. Pohon keterkaitan tersebut mempunyai keterkaitan unsur yang timbal balik, saling bergantung dan merupakan satu kesatuan yang utuh dan serasi. Dengan demikian, Ketahanan Regional adalah pengertian holistik dengan kelemahan satu gatra akan mengakibatkan kelemahan unsur lainnya dan mempengaruhi totalitas konfigurasi dan kondisi Ketahanan Regional secara total dan Ketahanan Nasional anggota secara parsial.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

52

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional Tabel 1. Pembobotan Ketahanan Nasional
NO 1 ASPEK STATIS KOMPONEN
- Geografi - Demografi - SKA - Ideologi - Politik - Ekonomi - Sosbud - Hankam - Kreatifitas - Kekayaan Tradisional - Daya Saing

BOBOT TANNAS-LEMHANNAS 5 15 5
17 10 15 23 10 0 0 0 100

USULAN TANREG 0 0 1/3 x 5 = 2


0 2,5/3 x 10 = 8,5 2,5/3 x 15 = 12,5 2/3 x 23 = 20 2/3 x 10 = 8,5 17,5 15,5 15,5 100

DINAMIS

KAOTIK

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

51

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional

Model tolok ukur Ketahanan Regional yang dipakai adalah model tolok ukur Ketahanan Nasional Lemhannas dengan tujuan agar Ketahanan Regional yang diusulkan dapat dikorelasikan terhadap nilai Ketahanan Nasional Indonesia sekaligus sebagai bahan penilaian yang terhadap kondisi nasional Indonesia yang bernuansa internasional. Perlu dijelaskan bahwa pengkajian juga telah dilakukan dengan melihat Konsep Tolok Ukur Ketahanan Nasional lainnya, namun konsep Ketahanan Nasional Lemhannas merupakan Konsep Kuantitatif Relatif yang secara universal telah mengakomodasi unsur-unsur kehidupan secara utuh dan terintegrasi didalam aspek ATHG. Bertitik tolak dari landasan pemikiran di atas, disusunlah pembobotan aspek pada tabel 1 dengan mengacu pada kekuatan pengaruh dominasi. Klarifikasi tolok ukur yang dipakai adalah klarifikasi Lemhannas dengan alasan agar kajian ketahanan regional dapat diekstrapolarisasikan terhadap ketahanan nasional. Adapun proses transformasi nilai Ketahanan Regional pada Ketahanan Nasional dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut
- Nilai Tanreg =X - Nilai Tanreg tanpa Kaotik = Y=X-48,5

- Transformasi Nilai Tanreg ke nilai Tannas Lemhannas z =

100 51,5

xY

sedangkan Klasifikasi Kondisi Ketahanan Regional adalah memakai Klasifikasi Nasional Lemhannas :

1-30 31-70 71-100

Kurang Tangguh Cukup Tangguh Tangguh

Dengan demikian secara lengkap diperoleh konsep ketahanan nasional beserta klasifikasi penilaian kondisinya.
KESIMPULAN

Berlandas pada uraian dan pembahasan kajian yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan yang dikaitkan dengan tujuan penulisan makalah ini mengenai Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional, yaitu : 1. Interaksi kehidupan manusia saat ini maupun di masa datang dicirikan oleh adanya Global Paradoks yang memuat unsur unifying effect dan tribalisme
Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

38

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional

yang merupakan potensi konflik antar bangsa yang perlu diantisipasi dan dicegah melalui pendekatan humaniti yang mengan-dalkan penghargaan maksimal terhadap kemampuan intelektual manusia dan naluri manusia dalam menciptakan daya saing. 2. Kolektivitas Daya Saing individu dalam suatu bangsa perlu diselaraskan guna menghasilkan parameter Kaotik yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Meskipun penyelarasan parameter kaotik bergantung pada nilai historis bangsa tetapi sesungguhnya naluri manusia adalah sama yaitu menuju peningkatan kualitas kehidupan manusia. 3. Upaya negara Barat dalam menerapkan sistem nilai baru dalam kehidupan manusia mendapatkan tentangan dari Asia yang memiliki karakteristik dan histori kultur yang berbeda yang disebut tatanan nilai relativitas Asia. Berlandaskan kenyataan tersebut dan orientasi regionalisme global, maka pola interaksi yang dikembangkan harus dapat mengakomodiasi kontradiksi tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui penyatuan visi kemampuan pikir manusia yang merupakan harkat mendalam manusia dan peningkatan daya saing untuk memperoleh kesetaraan dengan budaya lain. 4. Menguatnya regionalisme di dunia ini yang ditandai dengan adanya regionalisasi Amerika Utara, AsiaPasifik dan Uni Eropa memberikan peluang bagi anggota ASEAN untuk meningkatkan perannya di masa depan. Kekuatan Nasionalisme bangsa Asia Tenggara, akibat perjalanan historisnya, merupakan sarana awal bagi penyelarasan potensi yang dimiliki anggota ASEAN tanpa melupakan kepentingannya masing-masing. Kekuatan ini diarahkan bagi pencapaian maksimal Parameter Kaotik melalui eksplorasi kemampuan pikir spesifik untuk menciptakan daya saing yang diimbangi rasa solidaritas. 5. Berlandaskan kesepakatan dasar ASEAN yang meliputi pengertian bahwa ASEAN bukanlah merupakan badan supranasional dan tidak diarahkan menjadi pakta militer, maka Konsepsi Ketahanan Regional ASEAN dikembangkan dengan prinsip mengidentifikasi dan menyelaraskan aspek yang dapat disinergikan. Kajian makalah ini mengusulkan bahwa dalam Ketahanan Regional ASEAN perlu diadakan prioritas telaah dengan pembobotan aspek statis dan dinamis : aspek Kaotik = 51,5 : 48,5. Argumentasinya adalah bahwa Konsepsi ini dikembangkan dari konsep Ketahanan Nasional Lemhannas dengan mengeliminasi parameter-parameter yang berpo-tensi konflik jika diselaraskan. Adapun pemberian bobot yang besar terhadap aspek kaotik adalah ditujukan agar ASEAN lebih proaktif dalam pencapaian daya saing. 6. Tolok Ukur beserta Klasifikasi Ketahanan Regional yang diusulkan adalah modifikasi dari Tolok Ukur Ketahanan Nasional yang dibuat Lemhannas dengan eliminasi parameter sumber konflik. Namun demikian korelasi linier tetap dapat dilakukan agar hasil kajian Ketahanan Regional dengan menggunakan konsep yang diusulkan tetap dapat mengukur kondisi Ketahanan Nasional Indonesia. Juga diusulkan bahwa pengukuran Ketahanan
Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

39

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional

Regional harus dapat dilakukan secara periodik agar kecenderungannya dapat digunakan untuk analisis antisipasi proaktif dan kemandirian ASEAN di masa datang melalui kajian Parameter Kaotik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Porter, M, The Competitive Advantage of Nations, The Free Press, New York, 1990. 2. Suryohadikusumo, S, Perencanaan Ketahanan Nasional dalam Era Reformasi, Jurnal Ketahanan Nasional, No. IV (!), April 99, hal 1 19. 3. Jacob, T, Ketahanan Nasional dan Milenium Ketiga, Jurnal Ketahanan Nasional, No, IV(1), April 99, hal 211-30. 4. Wie, T.K, Raising Indonesias Competitive Ness, Prosiding Lokakarya Dewan Riset Nasional, Serpong, 11 14 Desember 1996. 5. Pengestu, M, Mencari Paradigma Baru Pembangunan Indonesia CSIS, Jakarta 1997. 6. Paribatra, M.K.R, Preparing ASEAN for the Twenty First Century, The Indonesian Quarterly, CSIS, Volume XXVI No. 3 hal 2-8 7. Hardjosoedarmo, Soewarso RADM, 1991, Asean dan Tantangan Keamanannya di Tahun Sembilan Puluhan, Telstra, Maret April. 8. The Technology Atlas Tema, 1987, Technological Capabilities Assesment in Developing Countries, Special Issue of Technological Forecasting Social Change, Vol. 32, No. 1 August, 118 hal. 9. Munaf, D. R., 1999, Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional Dalam Mengantisipasi Akselerasi Dinamika Paradigma Global, Taskap KRA XXXII, November 1999.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

40

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional

Konsepsi Dan Tolok Ukur Ketahanan Regional1)


Prima Roza, Sutan Adjamsyah, Nining Respati, Siti Kusumawati Azhari, Rr. Sri Wachyuni, 2) Ronny Hendrawan, Dicky R Munaf

Abstract
The development of interaction among people is nowadays very much influenced by two contradictory factors. They are the unifying interest and tribalism. The later is not in a context of traditional anthropology. The fact can be seen from the trend of regionalism recently, particularly in the region of North America, Asia Pacific, and Europe. In the effort of balancing the competitive ability among the three regions, and in making them synergized, it is necessary to pay close attention to the formation of competitive supremacy from time to time. Besides that, since regionalisation involves a group of countries, each of which has each own national interest, it is necessary that the synergy effort has to be led to a balance on the similar element/feature, and not the effort of interest Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

41

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional accumulation of each country member of a region. Within this context, this study is conducted with reference to the above mentioned principles, and it is focused mainly on the ASEAN region in which Indonesia is the most influencing country member. The study focuses on the current regionalisation development of the three main regions. Also, the study predicts the targets they intend to achieve by identifying the dominant parameters for the targets and correlates the parameters with the targets. In addition, the extrapolation towards the globally shared values into the concept of Indonesias National Resillience is done. The extrapolation is done to enrich the concept of Indonesias National Resillience, and the result of which can further be used to strengthen the regional resillience concept. This enriched regional resillience concept is then translated into quantitative parameter which are adopted as the indicators of the regional resillience concept.

Pendahuluan
Berakhirnya perang dingin telah menciptakan lingkungan internasional baru yang ditandai oleh perubahan yang cepat dan ketidakpastian. Perubahan yang terpenting adalah terbentuknya modal nonkonvensional yang mempunyai dampak sangat besar bagi budaya manusia secara
1) 2)

yaitu yang mengandalkan pengetahuan dan daya nalarnya. Selain itu, hal-hal yang mempengaruhi adalah sistem internasional yang merupakan jaring antar negara-bangsa, masing-masing negara mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hubungan politik, ekonomi, dan hubungan fungsional lainnya. Siapa yang lebih mempengaruhi siapa, ditentukan oleh struktur posisi relatif dari kekuasaan (power) dan pengaruh (influence), norma-norma perangai (behavior), serta partisipasi proaktif yang membentuk interaksi fungsional negara-negara itu. Ciri-ciri struktural dan fungsional dari interaksi itu berubah dari waktu ke waktu dengan berubahnya kemampuan relatif dan motivasi dari para pelaku interaksi, dalam hal ini anggota sistem internasional tersebut. Selain interaksi antar pemerintah dan antar negara dengan lembaga internasional, sistem internasional juga mencakup hubungan melewati wilayah nasional yang dilakukan melalui antar organisasi swasta, antar kelompok dan perorangan yang dilakukan untuk tujuan-tujuan ekonomi, ilmiah, agama, pendidikan, 42

keseluruhan, khususnya cara manusia dan bangsa-bangsa memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus meningkat. Dibanding dengan faktor-faktor produksi yang standar telah muncul faktor baru secara menonjol, yaitu pengetahuan, informasi, dan inovasi. Manifestasinya dapat dilihat pada terus meningkatnya kegiatan yang berhubungan dengan pengumpulan, penyusunan, penyimpanan, dan kaji ulang dari berbagai informasi dan berkembangnya suatu masyarakat informasi yang terdiri atas para manusia yang hidup dan berkarya di bidang pendayagunaan informasi

Penyempurnaan lanjut dari makalah Jurnal Ketahanan Nasional, 2000 Tim Pengajar PPKN, KK-Ilmu Kemanusiaan FSRD ITB.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional kemanusiaan, hak asasi, kebudayaan, dan lain-lain. Daya mampu dan kekuatan negara-negara tidak pernah konstan. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan yang tidak merata di antara masyarakatmasyarakat serta terobosan modal faktor produksi baru dan organisasional yang memberi keuntungan-keuntungan lebih besar bagi suatu masyarakat dibanding masyarakat lainnya.

Berbagai interaksi dan perkembangan ini mempengaruhi keadaan dan perkembangan dalam negeri setiap negara. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa negara merdeka (independent) itu saling bergantung (interdependent) secara internasional dengan kata lain, berintegrasi. Semakin besar saling ketergantungan, atau integrasi itu, semakin berkurang negara individual menentukan sendiri politik dalam negeri maupun luar negerinya. Hubungan dan interaksi semakin tunduk kepada berbagai pengaturan. Dalam sistem internasional dengan tingkat integrasi tinggi, interaksi antar anggotanya lebih stabil dan lebih dapat diramal. Sebaliknya, semakin sedikit interaksi dan hubungan, dengan kata lain, dalam sistem internasional yang longgar, semakin besar pula kebebasan dan kemandirian negara individual untuk menentukan sendiri keinginan dan perkembangannya. Akan tetapi, dalam sistem yang longgar itu, keadaan menjadi cair (fluid), sulit diperkirakan, dan menjadi kurang stabil. Mencermati kecenderungan interaksi kehidupan manusia di seluruh dunia dalam satu dasawarsa

terakhir ini, dapat diamati adanya fenomena Ambivalensi Globalisasi dalam interaksi kehidupan tersebut, yaitu ditandai adanya upaya penyatuan tujuan hidup (unifying effect), sedangkan di lain pihak timbul kesadaran akan kebutuhan pengakuan hak pribadi atau hak kelompok. Khusus untuk aspek yang kedua ini ada kecenderungan terkikisnya pandangan pentingnya kolektivitas oleh tribalisme yang dicirikan dengan penonjolan kepentingan masing-masing kelompok atau unit sosial. Paradigma kehidupan manusia tersebut di atas akan mengakibatkan makin pentingnya interaksi antarunit sosial atau bangsa yang mungkin memiliki kepentingan berbeda, sehingga jalinan interaksi ini menjadi dominan dalam pencapaian ketenteraman kehidupan manusia. Jalinan ini akan rentan terhadap gangguan perbedaan kepentingannya terhadap unit sosial lain. Fenomena ini didefinisikan sebagai aspek Kaotik (chaotics) kehidupan manusia, artinya potensi dalam kehidupan manusia yang mampu merusak namun dapat memberi manfaat bagi kehidupan manusia tersebut jika sifat pretoriannya dapat dimanfaatkan (nonkaotik). Aspek ini terkait dengan societal yang diakibatkan oleh peningkatan peradaban manusia yang diejawantahkan dalam bentuk Tingkat Partisipasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, paradigma interaksi kehidupan manusia secara lengkap dapat dicirikan oleh 3 parameter utama yang meliputi statis (sumber daya), dinamis (aspek yang melandasi interaksi kehidupan), dan kaotik 43

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional (aspek yang mampu bersifat pretorian dalam kehidupan manusia). Ketiga parameter ini merupakan pemicu bagi makin eratnya interaksi kehidupan manusia yang mungkin keeratan tersebut dapat ditingkatkan dengan partisipasi kaotik bagi terbentuknya landasan baru terhadap tatanan interaksi kehidupan manusia tersebut. Mengawali pembahasan ketahanan suatu negara maupun ketahanan regional tempat negara tersebut berada, perlu dimulai dari pengertian bahwa setiap bangsa yang telah bernegara memiliki tujuan nasional sebagai pengejawantahan cita-cita nasionalnya yang mungkin dilandasi oleh falsafah dan ideologi bangsa tersebut. Tujuan nasional tersebut direpresentasikan dalam bentuk pembangunan nasional yang pasti memerlukan interaksi dengan negara lain selain mensinergikan interaksi potensi internal dalam bangsa tersebut. Namun, proses pencapaian tujuan nasional tersebut selalu menghadapi Tantangan, Ancaman, Hambatan, dan Gangguan (TAHG) dari sisi internal maupun eksternal, sehingga untuk menanggulangi, bahkan memanfaatkan TAHG tersebut setiap bangsa harus memiliki keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan kekuatannya sendiri. Hal ini disebut Ketahanan Nasional, sedangkan ketahanan bersama negara lain dalam konteks wilayah tertentu, disebut Ketahanan Regional. Bertolak dari uraian di atas, model Konsepsi Ketahanan Regional dengan kerangka pikir untuk mampu menciptakan keuletan dan ketangguhan dengan melibatkan parameter interaksi kehidupan manusia yang proaktif akan diuraikan, demikian pula instrumen yang

diperlukan untuk menilai konsep tersebut yang dituangkan dalam tolok ukur akan dijelaskan dalam makalah ini. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyumbangkan pemikiran tentang hal yang strategis dari konsepsi ketahanan regional yang berorientasi memperkuat solidaritas politik dan kerja sama disegala bidang demi tercapainya tujuan bersama dalam menghadapi akselerasi peradaban manusia.

REGIONALISME GLOBAL ASIA TENGGARA

DAN

Fenomena interaksi kehidupan manusia tampak menonjol yaitu maraknya pengelompokan regional. Kelompok-kelompok yang mengambil peran dalam basis ini, baik politik maupun ekonomi, sudah berjalan sejak lama, namun selama itu tertutupi oleh persaingan kekuatan bipolar. Hilangnya ketegangan dunia memunculkan kelompok ini ke depan panggung internasional. Selain itu, kecende-rungan regionalisasi juga terpacu dengan sulitnya perundingan perdagangan multilateral. Kekhawatiran kegagalan forum multilateral ini dan hilangnya persaingan politik global mendorong meningkatnya pengelom-pokan regional tersebut. Peningkatan regionalisme tersebut turut dipengaruhi oleh tanggapan terhadap perkem-bangan kelompok-kelompok satu sama lain. Dengan demikian, perubahan pola dari bipolarisme ke multipolarisme turut memasukkan kelompok-kelompok regional ini bersama-sama negara secara individual ke dalam berbagai sentra kekuatan meski dengan kualitas yang berbeda. 44

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional

Pada dasarnya, pengelompokan regional dapat dilihat sebagai proses atau upaya yang pada akhirnya menuju pada penyatuan (integrasi) ekonomi dan mungkin politik. Teori klasik menyebutkan terdapat tujuh tahapan menuju integrasi ekonomi (dan politik), yaitu. Pertama adalah Free Trade Area (FTA), semua hambatan perdagangan baik tarif maupun nontarif dihapus pada kawasan perdagangan, namun masing-masing anggota kelompok masih mempertahankan aturan tarifnya dengan negara ketiga di luar kawasan.
Kedua adalah Custom Union (CU), selain memberikan kemudahan seperti dalam FTA, mempunyai kebijakan tarif bersama terhadap negara ketiga. Ketiga adalah Common Market (CM) selain mengatur perdagangan barang juga mengatur faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal yang bebas bergerak dalam kawasan tersebut. Keempat adalah Economic Union (EU) merupakan perluasan CM dengan aspek koordinasi (dan harmonisasi) kebijakan ekonomi, pengaturan pasar, kebijakan moneter, hingga kebijakan redistribusi pendapatan, sehingga dikatakan EU memiliki kebijakan perdagangan bersama. Kelima adalah Monetary Union (MU) yang menentukan nilai tukar mata uang negara anggota dan konvertabilitasnya, atau kesepakatan akan satu mata uang yang berlaku di seluruh negara anggota. Pada tahap

MU ini sudah terdapat tingkat integrasi yang tinggi di bidang makro ekonomi dan kebijakan anggaran.
Keenam adalah Economic and Monetary Union (EMU) menggabungkan isi EU dan MU yang bergerak bersamaan. Ketujuh adalah Full Economic Integration (FEU) merupakan penyatuan total semua sendi perekonomian negara anggota. Keadaan dalam FEU sudah seperti pengaturan dalam sebuah negara.

Dalam kerangka tersebut, UE dan ASEAN merupakan contoh kelompok regional yang meningkatkan intensitas integrasi dan kerjasamanya seiiring dengan turut serta hilangnya ketegangan dunia, meski dengan tahapan yang berbeda. Jika ASEAN masih baru dengan FTA, Uni Eropa telah jauh lebih maju memasuki tahap EMU di akhir abad 20. Peningkatan atau penguatan regionalisme dalam gambar baru dunia terlihat dalam Traktat Maastricht dan ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang merupakan wujud langsung dari kebutuhan tersebut. North America Free Trade Area (NAFTA) dan APEC, di pihak lain, dapat dipandang sebagai alternatif baru terhadap kekhawatiran gagalnya sistem multilateralisme. Di samping merupakan tanggapan terhadap perkembangan ekskluifisme integrasi Eropa serta alat AS untuk menekan Uni Eropa dalam perundingan GATT, yang terpenting fenomena tersebut mempercepat evolusi setelah Perang Dingin berlalu. Dalam masa peralihan setelah Perang Dingin diperlukan kejelian masing-masing negara untuk 45

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional memanfaatkan berbagai perkembangan dan pergeseran politik maupun ekonomi yang muncul seiring dengan proses pembentukan tatanan internasional baru. Dari proses integrasi Eropa, dapat dilihat tiga ciri pokok pendekatan yang dilakukan, yakni legalitas, institusionalitas, dan supranasionalitas. Legalitas mengacu pada amat kuatnya kandungan hukum dalam proses integrasi. Semua kesepakatan dituangkan ke dalam traktat yang mengikat. Selain itu, kesepakatan ditulis secara rinci tanpa memberi peluang interpretasi ganda. Dengan latar belakang demikian, UE tumbuh menjadi sosok yang ada saat ini, sebuah kekuatan ekonomi nyata namun yang masih mencoba tampil kompak dalam bidang politik. Di bidang ekonomi, UE adalah subyek hukum internasional sebagaimana layaknya negara, menjadi anggota PBB, menentukan kebijakan tunggal, atau melakukan perundingan. Di bidang politik, UE tak ubahnya sekumpulan negara yang mencoba bekerja sama untuk menjalankan kebijakan yang sama. Sebuah pekerjaan rumah UE lain yang berat selain masalah pendalaman kualitas integritas, menuju EMU (deeping) adalah masalah pelebaran cakupan integrasi dengan memperluas keanggotaannya (widening). Keberhasilan integrasi ekonomi UE telah membuat negara-negara sekitar tertarik untuk bergabung.

tetapi kerja sama. Asean didirikan pada 1967 di bawah bayang-bayang Perang Vietnam dan meningkatnya kebangkitan gerakan komunisme di kawasan itu, motivasi menonjol dalam pembentukan ASEAN adalah faktor politik dan keamanan. Deklarasi Bangkok yang mendasari pembentukan ASEAN menyebutkan kerja sama ekonomi dan sosial adalah masalah-masalah politik yang menjadi agenda utama ASEAN dalam dua dekade pertama. Setelah kesamaan persepsi berhasil dibangun dan dasar-dasar filosofis berhasil ditegakkan, kemudian ASEAN mengisi kerangka tersebut dengan kerja sama ekonomi yang lebih substansial. Hal tersebut mengemuka/dibincangkan pada KTT IV di Singapura pada tahun 1992 yang menyepakati untuk membentuk AFTA dan terealisasi pada tahun 2003 yang lalu. Dalam konteks ini dapat dilihat prioritas pertama kerja sama ASEAN adalah membiasakan berdialog satu sama lain, saling mengerti dan menghormati, dan berkawan. Lambatnya kerja sama ASEAN pada tahun-tahun pertama banyak disebabkan oleh terserapnya sebagian besar perhatian pada usaha untuk membangun rasa percaya bahwa saling membutuhkan dan dapat bekerja sama untuk membangun kawasan dan menyepakati segala sesuatu harus dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai konsensus. Deklarasi Bangkok dapat dilihat sebagai komitmen politik negara-negara anggota untuk bersatu dan bekerja sama tanpa mengurangi kedaulatan nasional masing-masing negara dalam mengupayakan stabilitas politik 46

ASEAN, di pihak lain, menunjukkan proses dan sifat yang berbeda walau dengan hasil yang secara relatif sama. Yang harus diingat pertama kali adalah proses yang selama ini berjalan di ASEAN bukan merupakan upaya integrasi,

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional kawasan yang dapat menunjang pembangunan nasional. Declaration of ASEAN Concord Treaty of Amity and Cooperation (1976) adalah tonggak-tonggak penting dalam tahap ini. Meskipun demikian, tidak berarti ASEAN mengabaikan kerja sama ekonomi seperti disebutkan oleh Deklarasi Bangkok. Kerja sama ekonomi ASEAN dapat dibagi ke dalam empat tahap : 1967-1976, 1976-1987, 1987-1992, dan 1992sekarang.

Keberhasilan dan ketahanan ekonomi ASEAN bersama negaranegara Asia Timur lain, meskipun masih lebih banyak disebabkan oleh upaya individual dari pada hasil kerja sama dalam kerangka ASEAN, telah meningkatkan kepercayaan diri ASEAN untuk meningkatkan perannya dalam turut menyusun gambar baru hubungan internasional setelah Perang Dingin. Selain itu, ASEAN adalah minimalis, ini terlihat dari relatif sedikitnya pertemuan formal. Hingga 40 tahun usianya, ASEAN baru mengadakan tujuh kali KTT formal dan dua kali KTT informal serta pertemuan tahunan tingkat menteri. Penampilan yang lebih banyak bersifat informal dan kuatnya hubungan pribadi (personalized) itu menunjukkan kualitas institusionalisasi yang secara mencolok berbeda dengan Uni Eropa. Ciri lain adalah ketahanan regional. Konsep Indonesia ini diterima sebagai konsep dasar ASEAN mensyaratkan adanya ketahanan kolektif dari ketahanan nasional masing-masing negara anggota untuk memperoleh

ketahanan regional. Konsep ini banyak dilandasi oleh pemikiran bahwa negara dunia ketiga seharusnya bekerja sama mengerahkan kekuatan untuk mengurangi ketergantungan politikekonomi mereka dari negara G-8. Semangat ini terlihat nyata ketika negara-negara berkembang mengampanyekan Tata Ekonomi Dunia Baru melalui kerja sama Selatan-Selatan, untuk menghapuskan ketergantungan terhadap negara-negara maju dengan memobilisasi sumber daya dan kemampuan sendiri. Namun terlalu besar dan beragamnya kepesertaan kelompok membuat penyaluran aspirasi tersebut banyak disandarkan pada ketahanan kolektif kawasan. Tersirat bahwa ASEAN percaya bahwa dengan ketahanan nasional yang kuat akan menciptakan ketahanan regional yang kokoh dan pada gilirannya menampilkan ASEAN yang solid. Berdasarkan konsep ini, kerja sama tidak harus berujung pada integrasi, namun lebih mengarah pada alat untuk membangun kekuatan dan kedaulatan nasional. Jadi, nasionalisme tetap merupakan faktor pendorong yang kuat. Meski diakui bahwa keberhasilan ekonomi anggota ASEAN sampai saat ini masih banyak disebabkan oleh keberhasilan individual dari pada hasil kerja sama kawasan, namun kondisi kerja sama ASEAN yang demikian merupakan dasar yang kokoh dalam meningkatkan penampilan ASEAN seperti terbukti selama ini. ASEAN bahkan Asia menentang pengaitan perdagangan atau bantuan pembangunan dengan isu-isu seperti 47

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional demokrasi, hak-hak azasi manusia, atau lingkungan hidup dan menganggap sikap tersebut sebagai pemaksaan penerapan nilai-nilai Barat di dunia Timur. Penolakan ini semakin keras sejalan dengan menguatnya kepercayaan diri Asia yang berasal dari keberhasilan pembangunan ekonomi mereka. Keberhasilan tersebut memunculkan identitias kawasan yang dilandaskan pada nilai budaya Timur sebagai alternatif yang setaraf dengan atau bahkan lebih dari nilai-nilai Barat, yang oleh Asia justru dipandang sedang runtuh. Perdebatan tentang nilai ini terlihat menonjol hingga paruh pertama 1990-an. Secara ideologis, universalisme Barat memperoleh tentangan dari relativisme Asia.

global, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada penghujung PD II, yang beranggotakan semua negara-bangsa itu, baik negara-negara tua (berusia lebih kurang 200 tahun), maupun negara-negara yang baru merdeka setelah PD I dan terutama setelah PD II, serta negara-negara yang mungkin masih akan lahir lagi. Terdapat disparitas yang sangat besar dan beragam antara negara-negara tersebut, praktis meliputi semua unsur pembentuk kemampuan nasional, seperti homogenitas etnik, ukuran besar negara, tersedianya sumber daya alam, agama, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, militer, tingkat kesejahteraan, tingkat pendidikan, tingkat kemajuan. Disparitas besar beragam itulah yang menimbulkan ketergantungan internasional (dalam rangka interdependensi internasional). Tidak ada atau sangat kurangnya berbagai sumber daya itu menimbulkan kelemahan-kelemahan pada banyak negara berkembang, apalagi negaranegara termiskin. Untuk dapat melanjutkan hidup, mereka membutuhkan sumber-sumber dari luar seperti bantuan ekonomi; bantuan kemanusiaan; bantuan dalam bencana-bencana alam seperti musim kering, banjir, gempa, bantuan militer untuk membentuk dan memelihara kemampuan militer yang paling sederhana sekalipun (yang tak jarang digunakan untuk kepentingan para penguasa); dan pasar bagi ekspor komoditas primer jika ada. Di samping negara-negara adidaya, besar, sedang, kecil, dan lemah itu, terjadi pula pertumbuhan yang proliferatif dari berbagai sektor (unit) nonnegara yang juga dapat 48

Berbeda dengan konsep individualisme, budaya Asia lebih menekankan pada hak ulayat, kesatuan dan persatuan, keharmonisan sosial, musyawarah dan mufakat, atau penghormatan terhadap pemimpin. Dengan prinsip kemasyarakatan tersebut, perorangan tidak saja memiliki hak, namun juga kewajiban dan tanggung jawab yang sering harus diutamakan jika keselarasan sosial terganggu. Asia berkeyakinan bahwa hak-hak azasi manusia harus dipahami dalam konteks budaya, sejarah dan ekonomi suatu negara. Selama kemiskinan masih membelit, hak sosial dan ekonomi memperoleh prioritas utama di atas hak-hak politik.

LINGKUNGAN STRATEGIS DALAM INTERAKSI KEHIDUPAN MANUSIA

Proses globalisasi itu juga didorong oleh lahirnya satu wadah

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional sangat mempengaruhi agenda internasional. Di antaranya yang terpenting adalah : a. Aktor Teritorial Non-negara (ATN) seperti PLO yang duduk dalam PBB dengan status peninjau dan berbagai gerakan pembebasan nasional lainnya, seperti berbagai faksi di Somalia, Afganistan, Basque di Spanyol; Kurdi di Irak - Turki - Iran Armenia. Berbagai ATN ini mempengaruhi lingkungan politik internasional dan regional. b. Aktor Non-teritorial Transnasional (ANT) seperti perusahaan-perusahaan multinasional (MNC). Jika MNC terutama bergerak di bidang ekonomi nasional dan internasional (tetapi ada kalanya juga politik nasional negara-negara lemah), ciri-ciri ANT sebagai berikut :

dapat pula bertentangan dengan kebijakan satu atau lebih anggotanya. Dengan semakin padatnya jaringan hubunganhubungan internasional karena pertumbuhan transaksi-transaksi sosial, komersial dan komunikasi, keperluan untuk kerja sama dan koordinasi antar pemerintah meningkat pula.
f. Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (lebih dengan sebutan NGO). Melalui lembaga-lembaga NGO ini rakyat seluruh dunia dapat saling bertemu dan bertukar pikiran dalam berbagai bidang sosial budaya, kemanusiaan, dan lingkungan hidup. NGO merupakan bentuk yang paling efektif dalam meletakkan landasan-landasan dan penyelenggaraan hubungan people to people.

1) Mempunyai aktivitas terorganisasi yang berlangsung bersamaan dalam beberapa negara sekaligus. 2) Mempunyai sasaran-sasaran yang tidak berhubungan dengan kepentingan-kepentingan negara individual. 3) Mempunyai unsur-unsur komponen yang secara esensial bersifat non politik.
e. Organisasi-organisasi antar pemerintah (intergovernmental organization, atau IGO), seperti PBB dengan segala agen spesialis. IGO sering mempunyai pengaruh besar dalam dimensi internasional dan mempengaruhi pula agenda domestik negaranegara anggota-nya, tetapi kadang-kadang kebija-kannya

Semua lembaga tersebut di atas ikut dalam pentas internasional. Dapat dibayangkan betapa kompleksnya sistem internasional yang global itu. Tidak mungkin semua negara di dunia dapat ikut berkiprah dalam semua aspek dan dimensi sistem internasional tersebut. Meskipun semua unsur itu berperan, namun negara-bangsa tetap merupakan pemain yang terpenting. Oleh karena itu, a. Hanya negaralah yang mampu menggalang kesetiaan dari rakyat yang menghuni suatu teritori tertentu. b. Hanya negaralah yang mampu mengerahkan segala sumber daya untuk mengatasi ancaman terbesar (perang). c. Hanya negara pulalah yang memiliki konsep yang meliputi 49

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional keseluruhan masalah yang menyangkut kesejahteraan dan keamanan semua rakyat. d. Hanya negara yang memiliki kedaulatan.

Dengan hadirnya strata tersebut, setidaknya kini dapat diidentifikasi lima tingkat pengambilan keputusan dalam hubungan internasional, yakni aturan global dan multi lateral seperti WTO dan konvensi internasional lain; dialog antarkelompok regional seperti APEC, atau ASEM atau ASEANNAFTA/ ASEAN-Mercosur, kelompok sub-regional seperti BIMP-EAGA, Sijori; dan hubungan bilateral antarnegara. Dari kelima tingkatan itu, tingkatan yang didasarkan pada hubungan antar kelompok menunjukkan peran yang semakin penting dalam hubungan internasional. Sementara itu, mengingat semakin banyaknya pelaku politik internasional dengan heterogenitas dan keragaman kepentingan terasa semakin sulit untuk mencapai kemufakatan ditingkat global/ multilateral. Sebagai contoh adalah lamanya perundingan dalam kerangka GATT. Keadaaan ini belum ditambah dengan keharusan ratifikasi yang juga memakan waktu lama, sedangkan arti penting peran interaksi bilateral pun, di sisi lain, turut menurun, seperti ditunjukkan oleh banyaknya keputusan yang ditentukan oleh interaksi tingkat di atasnya, seperti persoalan lingkungan hidup, perdagangan, atau investasi. Dengan demikian, hubungan antar kelompok regional itu mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi proses

institusionalisasi hubungan internasional. Desakan-desakan untuk menyelaraskan berbagai kepentingan dan kebutuhan untuk mengkom-promikan pemecahan dalam dan antara kelompok-kelompok regional itu akan menciptakan satu tingkat interaksi tersendiri di luar struktur dialog yang telah ada. Dilandasi oleh paradigma baru kualitas interaksi manusia dalam berbangsa dan bernegara baik dalam konteks global maupun regional dapat dilihat bahwa terdapat suatu parameter kehidupan yang akan mendominasi kualitas hidup manusia yang dapat diakomodasi oleh aspek statis dan dinamis yang selama ini ada, yaitu kemampuan antisipasi partisipatif yang didukung oleh jaringan berlapis. Adapun alasan tidak terakomodasinya parameter tersebut pada aspek statis dan dinamis adalah dilandasi oleh kedua aspek tersebut yang tidak mampu memberi koridor yang dapat digunakan untuk antisipasi proaktif guna meningkatkan peradaban manusia. Di lain pihak, parameter kaotik adalah suatu parameter yang mengandalkan kecerdasan manusia dalam upayanya memiliki daya saing untuk berperan dalam dunia global. Kecerdasan manusia merupakan faktor pendorong bagi suatu bangsa yang dapat berpikiran ganda, yaitu sebagai modal persaingan sekaligus dapat juga menjadi sarana perusak tata kehidupan jika tidak diimbangi moral yang mantap. Unsur utama dari parameter kaotik adalah : Tumbuhnya kreativitas Perlindungan kekayaan tradisional

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

50

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional Kemampuan menciptakan daya saing

Ketiga unsur parameter kaotik tersebut timbul dari sikap suatu bangsa sebagai implementasi dari keinginannya untuk dapat diakui di dunia ini dengan memberikan sentuhan konstruktif bagi tingkat

peradaban manusia yang strateginya perlu dilakukan dengan berjenjang bergantung pada tingkat aplikasi dari unsur parameter kaotik ini. Proses proses identifikasi ketiga unsur utama di atas dapat dilihat pada gambar berikut :

Unsur Ego (Individu ataupun Regional) dalam interaksi antar Bangsa akan mendominasi Keproaktifan Suatu Bangsa Guna Menjaga dan Menjamin Eksistensinya

Unsur Ego

Merusak

(KAOTIK)

Bersinergi Positif (KONTRA KAOTIK) Unsur Ego Dapat Disinergikan melalui Stasiologi Moral & Nalar Berbasis Modal Inkonvensional :
Tumbuhnya Kreatifitas Perlindungan kekayaan Tradisional (serumpun) Menciptakan daya saing

Gambar 1. lingkungannya Kaotik KONSEPSI KETAHANAN Identifikasi Unsur Parameter sendiri apalagi untuk lingkungan luar. NASIONAL

Berlandaskan kecenderungan para-digma interaksi kehidupan berbangsa semakin disadari bahwa kepentingan dan kebutuhan suatu negara tidak lagi mungkin dipenuhi mandiri dan terlepas dari masyarakat dunia sehingga ketahanan suatu bangsa mutlak diperlukan. Dalam konteks ASEAN, Indonesia merintis upaya untuk membina suatu Ketahanan Regional ASEAN mengingat kawasan ini selalu menjadi obyek kekuatan luar dan tidak pernah menjadi motivator untuk

Konsep Ketahanan Regional ASEAN ini perlu dikembangkan lebih lanjut dengan konsep dasar bahwa Common denominator kepentingan nasional masing-masing anggota harus dapat diserasikan kemudian disinergikan menjadi suatu ketangguhan dan keuletan kawasan. Ketahanan Regional bukanlah jumlah total dari Ketahanan Nasional masingmasing anggota. Bertitik tolak dari konsep dasar di atas, Ketahanan Regional hanya dapat dicapai dengan membangun 51

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional manusia sebagai pelaku interaksi. Makalah ini akan menjelaskan konsepsi dasar dan tolok ukur Ketahanan Regional ASEAN berlandaskan Visi ASEAN 2020 : Partnership in Dynamic Development yang telah diacu oleh seluruh anggota ASEAN dalam menetapkan strategi pembangunan nasionalnya. Artinya Visi ini adalah penyelaras awal dari segenap proses pembangunan para anggota ASEAN. Mengacu pada titik sentral pengertian bahwa pembangunan manusia adalah unsur utama dari proses sinergi ketahanan regional dan digabung dengan adanya gejala pentingnya parameter kaotik dalam menentukan kualitas interaksi antar bangsa, maka konsepsi Ketahanan Regional yang akan dikembangkan akan mengoptimalkan pandangan perlunya meninjau aspek statis dan aspek dinamis dengan suatu koridor aspek kaotik sehingga diperoleh mekanisme sinergi kepentingan nasional anggota ASEAN tanpa melibatkan unsur-unsur yang memang tidak dapat disinergikan sesuai kepentingan masing-masing anggota, karena dengan melibatkan hal itu justru mungkin akan timbul konflik.

ketahanan regional adalah Serasi, Proaktif, dan Institusional. Satu hal yang penting juga bahwa Ketahanan Regional ini perlu dievaluasi secara periodik sehingga dapat dinilai kecenderungan perubahannya dengan transformasi dari waktu ke waktu yang dinyatakan dengan pemetaan. Namun demikian mengingat sampai saat ini belum ada indikasi nilai Ketahanan Regional, untuk menentukan Benchmark Nilai Ketahanan Regional dilakukan transformasi nilai Tannas ke Tanreg dengan formulasi sebagai berikut
Nilai Statis + Nilai Dinamis x Nilai Tannas + Nilai non Kaotik 100

Kemudian regresi nonlinier dengan derajat kepercayaan antara 99 100% diaplikasikan pada Nilai Tanreg transformasi seperti ditunjukkan pada gambar 2. Kemampuan antisipasi dari satu kawasan pada suatu rentang waktu jika nilai adalah negatif maka dapat dirancang kegiatan yang mampu menjadi pendorong agar nilai pada waktu berikut adalah positif. Demikian pula jika nilai positif, laju antisipasi adalah yang diinginkan dengan nilai proporsional. Kembali pada pengertian dasar Ketahanan Regional ASEAN yang merupakan sinergi dari unsur-unsur yang serasi di antara negara-negara anggota yang tidak mempertimbangkan unsur yang merupakan kekhasan dari tiap negara anggota maka Ketahanan Regional ASEAN khususnya diusulkan mempunyai unsur keterkaitan sebagai berikut :

Terkait dengan penjelasan di atas, Konsepsi Ketahanan Regional ASEAN adalah konsepsi pengembangan kekuatan Regional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam aspek kehidupan berpotensi yang utuh, menyeluruh dan terpadu berlandaskan pada kepen-tingan yang sama, searah, dan bersifat proaktif untuk memperoleh daya saing. Jadi kata kunci dalam

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

52

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional

TANREG EKSTRAPOLASI TANNAS

TANREG BENCHMARK

t2 - t1 = t3 (periodic) i = arc tg KR2 KR1 t2-t1 i > 0 baik i < 0 perlu kaji ulang Kondisi regional

KR2 KR3 KR1

X X X X

t1

t2

t3

Waktu BM

Waktu
02 03 04 05 06

5 Tahun Lalu

Gambar 2. Pemetaan Ketahanan Regional

Ketahanan Regional

STATIS
o Geografi o Demografi o SKA

DINAMIS
o Ideologi o Politik o Ekonomi o Sosial Budaya o Hankam KAOTIK o Kreatifitas o Kekayaan Tradisional o Daya Saing

Catatan
: Sangat Dinamis : Dominan : Tidak Terkait

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

53

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional


Tujuan Serasi Proaktif Institusional

Gambar 3. Pohon Keterkaitan Unsur Ketahanan Regional

Nilai Transformasi Tannas ke Tanreg 51,5xz + 48,5 nilai 51,5 dan 48,5 100 diperoleh dari analisis tolok ukur ketahanan regional yang diusulkan seperti tabel 1.

TOLOK UKUR KETAHANAN REGIONAL

Rumusan tolok ukur Ketahanan Regional yang diusulkan adalah yang didasarkan pada unsur-unsur yang tersebut pada pohon keterkaitan unsur yang telah disebut pada pasal sebelumnya. Pohon keterkaitan tersebut mempunyai keterkaitan unsur yang timbal balik, saling bergantung dan merupakan satu kesatuan yang utuh dan serasi. Dengan demikian, Ketahanan Regional adalah pengertian holistik dengan kelemahan satu gatra akan mengakibatkan kelemahan unsur lainnya dan mempengaruhi totalitas konfigurasi dan kondisi Ketahanan Regional secara total dan Ketahanan Nasional anggota secara parsial.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

54

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional Tabel 1. Pembobotan Ketahanan Nasional
NO 1 ASPEK STATIS KOMPONEN
- Geografi - Demografi - SKA - Ideologi - Politik - Ekonomi - Sosbud - Hankam - Kreatifitas - Kekayaan Tradisional - Daya Saing

BOBOT TANNAS-LEMHANNAS 5 15 5
17 10 15 23 10 0 0 0 100

USULAN TANREG 0 0 1/3 x 5 = 2


0 2,5/3 x 10 = 8,5 2,5/3 x 15 = 12,5 2/3 x 23 = 20 2/3 x 10 = 8,5 17,5 15,5 15,5 100

DINAMIS

KAOTIK

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

51

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional

Model tolok ukur Ketahanan Regional yang dipakai adalah model tolok ukur Ketahanan Nasional Lemhannas dengan tujuan agar Ketahanan Regional yang diusulkan dapat dikorelasikan terhadap nilai Ketahanan Nasional Indonesia sekaligus sebagai bahan penilaian yang terhadap kondisi nasional Indonesia yang bernuansa internasional. Perlu dijelaskan bahwa pengkajian juga telah dilakukan dengan melihat Konsep Tolok Ukur Ketahanan Nasional lainnya, namun konsep Ketahanan Nasional Lemhannas merupakan Konsep Kuantitatif Relatif yang secara universal telah mengakomodasi unsur-unsur kehidupan secara utuh dan terintegrasi didalam aspek ATHG. Bertitik tolak dari landasan pemikiran di atas, disusunlah pembobotan aspek pada tabel 1 dengan mengacu pada kekuatan pengaruh dominasi. Klarifikasi tolok ukur yang dipakai adalah klarifikasi Lemhannas dengan alasan agar kajian ketahanan regional dapat diekstrapolarisasikan terhadap ketahanan nasional. Adapun proses transformasi nilai Ketahanan Regional pada Ketahanan Nasional dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut
- Nilai Tanreg =X - Nilai Tanreg tanpa Kaotik = Y=X-48,5

sedangkan Klasifikasi Kondisi Ketahanan Regional adalah memakai Klasifikasi Nasional Lemhannas :

1-30 31-70 71-100

Kurang Tangguh Cukup Tangguh Tangguh

Dengan demikian secara lengkap diperoleh konsep ketahanan nasional beserta klasifikasi penilaian kondisinya.
KESIMPULAN

Berlandas pada uraian dan pembahasan kajian yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan yang dikaitkan dengan tujuan penulisan makalah ini mengenai Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional, yaitu : 1. Interaksi kehidupan manusia saat ini maupun di masa datang dicirikan oleh adanya Global Paradoks yang memuat unsur unifying effect dan tribalisme yang merupakan potensi konflik antar bangsa yang perlu diantisipasi dan dicegah melalui pendekatan humaniti yang mengan-dalkan penghargaan maksimal terhadap kemampuan intelektual manusia dan naluri manusia dalam menciptakan daya saing. 2. Kolektivitas Daya Saing individu dalam suatu bangsa perlu diselaraskan guna menghasilkan parameter Kaotik yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Meskipun penyelarasan parameter 52

- Transformasi Nilai Tanreg ke nilai 100 Tannas Lemhannas z = xY 51,5

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional

kaotik bergantung pada nilai historis bangsa tetapi sesungguhnya naluri manusia adalah sama yaitu menuju peningkatan kualitas kehidupan manusia. 3. Upaya negara Barat dalam menerapkan sistem nilai baru dalam kehidupan manusia mendapatkan tentangan dari Asia yang memiliki karakteristik dan histori kultur yang berbeda yang disebut tatanan nilai relativitas Asia. Berlandaskan kenyataan tersebut dan orientasi regionalisme global, maka pola interaksi yang dikembangkan harus dapat mengakomodiasi kontradiksi tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui penyatuan visi kemampuan pikir manusia yang merupakan harkat mendalam manusia dan peningkatan daya saing untuk memperoleh kesetaraan dengan budaya lain. 4. Menguatnya regionalisme di dunia ini yang ditandai dengan adanya regionalisasi Amerika Utara, Asia Pasifik dan Uni Eropa memberikan peluang bagi anggota ASEAN untuk meningkatkan perannya di masa depan. Kekuatan Nasionalisme bangsa Asia Tenggara, akibat perjalanan historisnya, merupakan sarana awal bagi penyelarasan potensi yang dimiliki anggota ASEAN tanpa melupakan kepentingannya masing-masing. Kekuatan ini diarahkan bagi pencapaian maksimal Parameter Kaotik melalui eksplorasi kemampuan pikir spesifik untuk menciptakan daya saing yang diimbangi rasa solidaritas.

5. Berlandaskan kesepakatan dasar ASEAN yang meliputi pengertian bahwa ASEAN bukanlah merupakan badan supranasional dan tidak diarahkan menjadi pakta militer, maka Konsepsi Ketahanan Regional ASEAN dikembangkan dengan prinsip mengidentifikasi dan menyelaraskan aspek yang dapat disinergikan. Kajian makalah ini mengusulkan bahwa dalam Ketahanan Regional ASEAN perlu diadakan prioritas telaah dengan pembobotan aspek statis dan dinamis : aspek Kaotik = 51,5 : 48,5. Argumentasinya adalah bahwa Konsepsi ini dikembangkan dari konsep Ketahanan Nasional Lemhannas dengan mengeliminasi parameter-parameter yang berpotensi konflik jika diselaraskan. Adapun pemberian bobot yang besar terhadap aspek kaotik adalah ditujukan agar ASEAN lebih proaktif dalam pencapaian daya saing. 6. Tolok Ukur beserta Klasifikasi Ketahanan Regional yang diusulkan adalah modifikasi dari Tolok Ukur Ketahanan Nasional yang dibuat Lemhannas dengan eliminasi parameter sumber konflik. Namun demikian korelasi linier tetap dapat dilakukan agar hasil kajian Ketahanan Regional dengan menggunakan konsep yang diusulkan tetap dapat mengukur kondisi Ketahanan Nasional Indonesia. Juga diusulkan bahwa pengukuran Ketahanan Regional harus dapat dilakukan secara periodik agar kecenderungannya dapat digunakan untuk analisis antisipasi proaktif dan kemandirian ASEAN di

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

53

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional

masa datang melalui Parameter Kaotik.

kajian

Taskap KRA XXXII, November 1999.

DAFTAR PUSTAKA

1. Porter, M, The Competitive Advantage of Nations, The Free Press, New York, 1990. 2. Suryohadikusumo, S, Perencanaan Ketahanan Nasional dalam Era Reformasi, Jurnal Ketahanan Nasional, No. IV (!), April 99, hal 1 19. 3. Jacob, T, Ketahanan Nasional dan Ketiga, Jurnal Milenium Ketahanan Nasional, No, IV(1), April 99, hal 211-30. 4. Wie, T.K, Raising Indonesias Competitive Ness, Prosiding Lokakarya Dewan Riset Nasional, Serpong, 11 14 Desember 1996. 5. Pengestu, M, Mencari Paradigma Baru Pembangunan Indonesia CSIS, Jakarta 1997. 6. Paribatra, M.K.R, Preparing ASEAN for the Twenty First Century, The Indonesian Quarterly, CSIS, Volume XXVI No. 3 hal 2-8 7. Hardjosoedarmo, Soewarso dan RADM, 1991, Asean Tantangan Keamanannya di Tahun Sembilan Puluhan, Telstra, Maret April. 8. The Technology Atlas Tema, 1987, Technological Capabilities in Developing Assesment Countries, Special Issue of Technological Forecasting Social Change, Vol. 32, No. 1 August, 118 hal. 9. Munaf, D. R., 1999, Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional Dalam Mengantisipasi Akselerasi Dinamika Paradigma Global,
Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

54

Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Regional

Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006

55

You might also like