You are on page 1of 24

NILAI NILAI FILOSOFIS DALAM SERAT

WEDHA-MA-SAPTA

Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas matakuliah Filsafat Jawa

Dosen Pengampu : Dr. Purwadi, M. Hum.

Disusun oleh:

DHIDHIK SETIABUDI
07205244042

KELAS G

PENDIDIKAN BAHASA DAERAH

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

YOGYAKARTA
2009
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Mengamati sastra lama dalam rangka menggali kebudayaan Indonesia


merupakan usaha yang erat hubungannya dengan pembangunan bangsa Indonesia
seutuhnya. Pembangunan negara yang sifatnya multikompleks memberi tempat
kepada bidang mental spiritual. Berbicara mengenai sastra adalah identik
berbicara tentang kehidupan. Sebagai suatu seni, sastra sering terungkap dan kita
temui melalui bahasa, musik, benda-benda budaya seperti candi-candi dan naskah-
naskah kuno maupun adapt-istiadat.

Kita boleh bangga bahwasanya bangsa kita, bangsa Indonesia memiliki


dokumen-dokumen sastra lama sebagai salah satu warisan nenek moyang. Namun
demikian kita tidak boleh puas dengan cukup berbangga hati saja terhadap
peninggalan yang ada. Di samping menjaga kelestariannya, kita juga harus dapat
berbuat sesuatu terhadap peninggalan-peninggalan tersebut dengan melakukan
tindakan untuk menggali nilai nilai yang terkandung dalam serat tersebut untuk
memberi makna bagi kehidupan selanjutnya. Hal ini tampaknya sesuai dengan
kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakan bangsa Indonesia sekarang.
Pembangunan yang dilaksanakan bangsa Indonesia sekarang adalah pembangunan
manusia yang seutuhnya yaitu yang meliputi seluruh aspek baik aspek jasmaniah
maupun rohaniahnya, segi material maupun mental-spiritualnya. Namun demikian
sering kali orang terpesona pada segi materialnya saja dengan mengorbankan segi
mental-spiritualnya sehingga hubungan antara pribadi menjadi tidak seimbanh,
akibatnya manusia hanya dinilai dari segi fisik, jasmani, atau materialnya saja.
oleh karena itu sangat tepat sekali bagi kita untuk menggali kembali nilai nilai
filosofis dalam Serat Wedha-Ma-Sapta

2
Serat Wedha-Ma-Sapta karya R.Ng. Hardjasukatma merupakan salah satu
warisan budaya Jawa berupa karya sastra dalam bentuk tembang. Wedha-Ma-
Sapta mengandung tujuh ajaran yang merupakan sifat-sifat yang secara kodrati
terdapat dalam diri manusia. Ketujuh sifat tersebut apabila tidak dapat
dikoordinasikan secara baik maka akan menyeret diri manusia ke arah perbuatan
asosial, namun sebaliknya apabila sifat-sifat itu dikendalikan dengan baik justru
akan dapat membentuk manusia utama, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Perlu menjadi catatan, karena ketujuh sifat di atas merupakan sifat yang kodrati
dan manusiawi; oleh karena itu, apabila manusia dalam hidupnya mengalami hal-
hal tersebut di atas sebagai penyimpangan maka Wedha-Ma-Sapta ternyata
memberi toleransi sejauh peruatan tersebut masih dalam batas-batas yang wajar.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Serat Wedha-Ma-Sapta ?

2. Nilai nilai apa yang terkandung dalam Serat


Wedha-Ma-Sapta ?

3. Apa manfaat dari Serat Wedha-Ma-Sapta bagi


kehidupan di era sekarang ini ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui deskripsi Serat Wedha-Ma-Sapta.

2. Mengetahui nilai nilai yang terkandung dalam


Serat Wedha-Ma-Sapta.

3. Mengetahui manfaat dari Serat Wedha-Ma-


Sapta bagi kehidupan di era sekarang ini.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini meliputi manfaat secara teoritis dan manfaat
praktis. Manfaat teoritis yakni untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai nilai

3
filosofis yang terkandung dalam Serat Wedha-Ma-Sapta, sehingga hasil penelitian
ini dapat dijadikan sebagai sumbangan untuk menambah referensi tentang hasil
peninggalan sejarah di Indonesia yang berupa serat yang mengandung nilai nilai
yang patut untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat dalam menjalani hidup di
jaman modern seperti sekarang ini.. Sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat
mejadi relevansi bagi penelitian selanjutnya.

4
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi Nilai

Menurut Schwartz dalam http://rumahbelajarpsikologi.com menjelaskan


bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku
atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi
atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5)
tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.

Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nilai


adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang
diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.

Nilai sebagai sesuatu yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang
hanya ‘diinginkan’, di mana ‘lebih diinginkan’ mempengaruhi seleksi berbagai
modus tingkah laku yang mungkin dilakukan individu atau mempengaruhi

5
pemilihan tujuan akhir tingkah laku (Kluckhohn via
http://rumahbelajarpsikologi.com). ‘Lebih diinginkan’ ini memiliki pengaruh lebih
besar dalam mengarahkan tingkah laku, dan dengan demikian maka nilai menjadi
tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.

Sebagaimana terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu


untuk berubah. Karena nilai diperoleh dengan cara terpisah, yaitu dihasilkan oleh
pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur
psikologis individu (Danandjaja, 1985), maka nilai menjadi tahan lama dan stabil
(Rokeach, 1973). Jadi nilai memiliki kecenderungan untuk menetap, walaupun
masih mungkin berubah oleh hal-hal tertentu. Salah satunya adalah bila terjadi
perubahan sistem nilai budaya di mana individu tersebut menetap (Danandjaja,
1985).

B. Definisi Filosofis

Filosofis berasal dari kata filsafat yang berarti pandangan hidup


seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai
kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap
seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara
mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala
hubungan.

C. Definisi Nilai nilai Filosofis

Nilai nilai filosofis adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah


laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip
atau standar dalam hidup yang terdapat dalam pandangan hidup seseorang atau
sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang

6
dicita-citakan.

BAB III

PEMBAHASAN

7
A. Deskripsi Serat Wedha-Ma-Sapta

Serat Wedha-Ma-Sapta karya R.Ng. Hardjasukatma merupakan salah satu


warisan budaya Jawa berupa karya sastra dalam bentuk tembang. Wedha-Ma-
Sapta mengandung tujuh ajaran yang merupakan sifat-sifat yang secara kodrati
terdapat dalam diri manusia. Ketujuh sifat tersebut apabila tidak dapat
dikoordinasikan secara baik maka akan menyeret diri manusia ke arah perbuatan
asosial, namun sebaliknya apabila sifat-sifat itu dikendalikan dengan baik justru
akan dapat membentuk manusia utama, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Perlu menjadi catatan, karena ketujuh sifat di atas merupakan sifat yang kodrati
dan manusiawi; oleh karena itu, apabila manusia dalam hidupnya mengalami hal-
hal tersebut di atas sebagai penyimpangan maka Wedha-Ma-Sapta ternyata
memberi toleransi sejauh peruatan tersebut masih dalam batas-batas yang wajar.

B. Nilai nilai filosofis yang terkandung dalam Serat Wedha-Ma-Sapta

Setiap manusia mempunyai pandangan hidup, sebab setiap manusia


mempunyai akal untuk berfantasi. Fantasi itulah yang menyebabkan manusia
berangan-angan, bercita-cita dan berkeinginan untuk merealisasikannya. Setiap
insividu tidak sama pandangan hidupnya, bahkan masing-masing kelompok,
golongan yang ada di dalam masyarakat juga tidak sama pandangannya.
Pandangan hidup itulah yang digunakan sebagai sarana mencapai tujuan dan ada
pula yang memperlakukan sebagai penyebab kesejahteraan, ketenteraman dan
sebagainya (Habib Mustafa via Hartini : 2005).

Pernyataan di atas juga diungkapkan dalam pupuh I bait 1 tembang


Dhandhanggula yang berbunyi :

“………………………………………..,
dimen dadi memanise,

8
laksitaning tumuwuh,
ywa ngalakoni tindak tan yukti,
darpon mamriha arja,
tinemu rahayu,
rahayu mangka gegaran,
paugeran jejer lan jujuring kapti,
ywa kerem mring kareman.

Artinya :

“………………………………………,

supaya hidup dan keturunannya menjadi baik,

jangan melakukan perbuatan yang jahat,

agar menjadi selamat dan bahagia,

sebab kebaikan itu sebagai pegangan dan pedoman hidup.

Kepribadian dasar orang timur adalah pandangan hidupo yang bernafaskan


kerokhanian, mistik, keramahtamahan dan kehidupan kolektif (Prabowo Utomo,
1984: 104). Tolok ukur arti pandangan duni bagi orang Jawa adalah pragmatisnya
untuk mencapai suatu psikis tertentu yaitu ketenangan, ketenteraman dan
keseimbangan batin (Frans Magnis Suseno, 1984: 82). Orang Jawa dalam
hidupnya di dunia dini mayoritas lebih mementingkan segi batiniah dari pada segi
lahiriahnya. Hal itu terungkap dalam pupuh II, tembang Pangkur bait 5 dan 6
sebagai berikut :

“wigatine wong nen donya,

9
ambudia katentremaning kapti,
sanadyana pangkat luhur,
montang-manting solahnya,
bebasane rusak jiwa raganipun,
sayekti nora kepenak
pacangane tembe mburi.

Donya kanggo pendadaran,


……………………………,
gebyaring donya punika,
seyekti anyenyulapi.
Artinya :

Kepentingan orng hidup di dunia,

berusahalah mencari ketenteraman hati,

meskipun berpangkat tinggi,

tingkahnya pontang-panting,

ibarat rusak jiwa raganya,

sungguh tidak baik,

harapan masa depan.

Dunia ini sebagai tempat pendadaran,

……………………………………….,

karena kemewahan dunia,

10
ini sungguh-sungguh menyilaukan.

Untuk menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur hendaknya kita


mengetahui etika. Karena etika merupakan filsafat tingkah laku atau filsafat
moral. Oleh karena itu, manusia harus berkelakuan baik, saleh, bertakwa kepada
Tuhan dan menjaukan hal-hal yang jelek (Sri Mulyono, 1983: 26). Hal itu sesuai
dengan isi yang terkandung dalam pupuh V tembang Dhandhanggula bait 1 dan 3.

“ nggegulanga laku kang prayogi,


wonga urip aneng ngalam-donya,
kang bener becik patrape,
ingkang jejeg lan jujur,
jujur iku jejering urip,
………………………….,
Ganjarane Pangeran ngluwihi,
mring manungsa kang tindak utama,
utama lelabuhane,
angedohi pepacuh,
anyedhaki dhawuh kang becik,
……………………………….,
Artinya :

Berikhtiarlah/berbuatlah yang baik,

orang hidup di dunia,

harus benar, baik perbuatannya,

harus teguh dan jujur,

karena jujur itu pegangan hidup,

11
………………………………….

Pahala Tuhan itu sangat besar,

bagi manusia yang selalu berbuat baik,

sangat berjasa kepada sesamanya,

menjauhi larangan Tuhan,

dan selalu menjalankan perintah-Nya,

……………………………………….

Masalah moral lebih menitikberatkan pada soal perbuatan manusia itu


sendiri (Pujianto, tt: 176). Memang moral merupakan kunci utama dari
pembangunan karakter dan pembangunan bangsa (character and nation building).
Thomas Jepersen pernah pula mengemukakan pendapatnya tentang moral:
material abundance without character in the way to distruction “kekayaan material
tanpa akhlak merupakan jalan kehancuran yang paling pasti”. Hidup dan
bangunnya suatu bangsa tergantung pada akhlaknya. Juka tidak lagi berpegang
teguh kepada norma-norma itu maka bangsa itu akan mengalami kemusnahannya.

Ada beberapa sifat yang dibenci orang Jawa, yakni sifat dahwen open
‘kebiasaan mencampuri urusan orang lain’,drengki ‘budi yang rendah’, srei ‘iri’,
jail ‘suka mencela’ dan methakil ‘kasar’. Disebutkan bahwa “sira aja dhemen
memaoni, nacad, nyeda, ngrerasani ala, lah iya dudu benere” (Pupuh V
Dhandhanggula, pada/bait 5). Artinya : engkau jangan senang mencela,
menggunjing kejelekan orang lain, karena perbuatan itu tidak baik.

Orang Jawa juga mengenal falsafah “sapa gawe nganggo, sapa nandur
ngundhuh” artinya bahwa segala kejadian yang menimpa manusia, suka duka
sebenarnya adalah hasil perbuatannya sendiri. Contoh falsafah dapat diketahui
dalam pupuh I Dhandhanggula bait 13 sebagai berikut :

12
“Yen wong priya kena lara estri, lamun mijekken mring rabinira, sayekti
ala dadine, turun-turune besuk, darbe cacad kang nguwatiri, kaya ta duwe
lara, sipilis ranipun, sarandune badan bubrah, taru barah, kowak nyang
mata sok bijil, kadhang picak babar pisan”.

Artinya :

Apabila lelaki tertimpa oleh penyakit akibat main perempuan, jika


bersenggama dengan isterinya, kelak keturunannya tidak baik, mempunyai
cacad yang mengkhawatirkan, misalnya mengidap penyakit sipilis, sekujur
badan menjadi rusak dan luka, bahkan menyebabkan mata menjadi buta.

Dari kutipan di atas jelaslah bahwa orang yang sering/senang main


perempuan akan berakibat buruk sebagai hasilnya, keturunannya akan menderita
cacad atau sakit rajasinga, badan menjadi rusak, bahkan mata dapat menjadi buta.
Oleh karena itu, sedapat mungkin kita berusaha menghindari perbuatan tersebut.
Dengan begitu berarti kita telah ikut melestarikan kwalitas kepribadian generasi
penerus. Sebaliknya kalau kita berbuat royal madon berartai kita akan
menjerumuskan masa depan generasi muda.

Kepribadian dikatakan utuh apabila kualitas-kualitas jasmani, jiwa akal,


rohani saling terpadu. Artinya yang satu menjadi dasar perkembangan bagi yang
lain. Jasmani memberi wujud dan kerangka bagi ketajaman akal, kebebasan jiwa
dan kedamaian ruh. Akali dan jiwani memberi pemahaman bagi jasmani, serta
memberikan jalur rasional bagi ruh. Rohani menghidupkan jasmani serta
mengarahkan akal dan jiwa kepada Tuhan (Purwa Hadiwardaya, tt: 196). Untuk
mencapai keterpaduan antara kualitas jasmani dan kualitas rohani, terutama
generasi muda tidak boleh tidak kecuali harus mampu berbuat baik dan berkarya
sesuai dengan tuntutan agama yang dianutnya; serta berusaha semaksimal
mungkin untuk menghindari larangan-larangan Tuhan yang antara lain adalah ma-
sapta.

13
a) Peranan Unsur-unsur Moral Wedha-Ma-Sapta dalam Membentuk
Karakter Manusia Utama dari Segi Kebudayaan.

Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia


seutuhnya maka ajaran moral dalam Wedha-Ma-Sapta pantas dilaksanakan dalam
kehidupan setiap insan Indonesia guna membentuk karakter menusia
pembangunan. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa gambaran perilaku yang
berkaitan dengan ajaran ma-sapta, dimulai ma = madon hingga ma = mangani.
Diharapkan agar kita mengetahui akibat-akibat dari pada perbuatan ma-sapta,
yang selanjutnya kita dapat menghindarinya sehingga dapat mencapai tujuan
sebagai manusia utama.

Bait 26 Dhandhanggula “candrane royal madon” disebutkan :

“Luwih lara larane kang ati,


nora kaya wong kang mentas royal,
tiba apes lelakone,
barang donyane mamprung,
bebasane nganti tek enting,
tur oleh budhel lara,
irunge garuwung,
lelakome nistha papa,
papariman asor genira dumadi,
tan lumrah wong sasama”;

Artinya :

Rasa sakit hati yang berlebihan,

tidak seperti orang yang sehabis melacur,

jatuh celaka hidupnya,

14
harta bendanya habis,

ibaratnya tak ada yang tertinggal,

lagipula mendapat penyakit,

hidungnya geruwung,

hidupnya jatuh nistha,

hidup sebagai orang hina,

dikucilkan masyarakat.

Dari gambaran di atas dapatlah diambil suatu hikmah bahwa orang yang
tidak dapat mengendalikan hawa nafsu birahinya, walaupun telah beristri akhirnya
terjerumus di dalam lembah hitam/pelacuran, maka akan terasa bila semuanya itu
sudah berantakan. Jelaslah bahwa bagi orang yang dapat menjauhi perilaku royal
madon ini akan dapat memenuhi satu di antara sekian persyaratan membentuk
manusia utama.

Dalam ajaran moral yang dapat dipetik dari ma = main yakni pada bait 8
pupuh Pangkur mengatakan hal-hal yang baik daripada perbuatan berjudi,

“………………………………………..
wong dhemen kertu punika,
sugih paseduluran,
sanak miwah pawong mitra kadang karuh,
padha tunggal kasenengan,
keket rapet tunggal budi.

Artinya :

15
…………………………………..

orang yang suka berjudi (main kartu) itu,

kaya akan persaudaraan,

orang-orang yang sama kesenangannya,

akrab bagaikan satu pemikiran.

Adapun gambaran yang diungkapkan dalam Serat Wedha-Ma-Sapta


mengenai akibat orang yang suka berjudi kartu termuat dalam bait 9 pupuh
Sinom, yang berbunyi sebagai berikut :

“Wong main yekti tan ana,


kang mulya dadi wong sugih,
lumuh mung wong sugih setiyar,
satemene montang-manting,
utange andhirindhil,
kluwus cahyane apayus,
tansah ngrasakake susah,
tan tentrem sajroning ati,
anak bojo padha nandhang karusakan.

Artinya :

Orang yang suka berjudi,

sesungguhnya tidak ada yang bahagia dan kaya,

biasanya hanya kaya dalam hal usaha,

sebenarnya merasakan kebingungan,

16
hutangnya dimana-mana,

lagi pula pucat mukanya,

selalu merasakan kesedihan,

tidak tenteram di dalam hatinya,

anak istri ikut menanggung kesusahan.

Uraian di atas menggambarkan bahwa meskipun berjudi kartu itu ada


manfaatnya (nilai positif) tetapi jelas kejelekannya (nilai negatifnya) lebih banyak.
Oleh karena itu, apabila kita dapat menghindarinya berarti satu unsure lagi telah
terpenuhi sebagai syarat mencapai manusia utama.

Pembentukan karakter manusia yang baik dapat dilakukan dengan jalan


menjauhi madad ‘minum candu’. Kebiasaan menghisap candu jelas menimbulkan
akibat yang tidak kita inginkan, seperti dijelaskan dalam Serat Wedha-Ma-Sapta
bait 1 pupuh Dhandhanggula sebagai berikut :

“Bebasane wong nyeret puniki,


kaya nglalu nglampus suduk jiwa,
bunuh dhiri upamane,
lumrah awake kuru,
donya bandha barangi gusis,
temah tiba sangsara,
memelas dinulu,
terkadhang nglakoni nistha,
anjejaluk papariman ngemis-ngemis,
perlu dingo seretan.

17
Artinya :

Orang suka menghisap candu itu ibaratnya,

seperti orang sengaja bunuh diri,

biasanya badannya kurus,

harta bendanya habis sama sekali,

akibatnya jatuh sengsara,

terlihat mengibakan hati,

bahkan ingin berbuat nista,

melakukan perbuatan minta-minta,

hanya untuk dapat menghisap candu.

Pada tataran berikutnya, dalam Serat Wedha-Ma-Sapta mengutarakan


tentang ma – minum dan ma – maling ‘mencuri’. Di sini menguraikan dengan
jelas kejelekan-kejelekan dan akibat-akibat perbuatan minum dan maling. Dari
uraian itu tidak ada unsur yang perlu diteladani sama sekali, kecuali harus
menghindari guna mencapai tujuan pembentukan karakter manusia utama.

Tataran ma selanjutnya adalah ma – maoni ‘suka mencela’. Di dalam ma –


maoni ini pada dasarnya juga tidak ada unsur positifnya, sebab perbuatan
demikian biasanya mengundang percek-cokan, perselisihan antara orang-orang
yang difitnah/mencela sehingga mengakibatkan retaknya hubungan persaudaraan.
Di bawah ini disajikan kutipan bait 5 pupuh Dhandhanggula dan bait 15 pupuh
Kinanthi yang menggambarkan begitu beratnya dosa orang-orang yang suka
memfitnah/menggunjing.

Bait 5 Dhandhanggula :

18
“Sira aja dhemen memaoni,
nacad nyeda ngrerasani ala,
lah iya dudu benere,
tumindak kang kadyeku,
luwung sira mlaku kang becik,
………………………………..”.
Bait 15 Kinanthi :

“Dosane wong dhemen nyatur,


padha karo dosa pati,
……………………………….”.
Artinya :

Engkau jangan suka menggunjing,

mencela dan menjelekan orang lain,

karena hal itu tidak benar,

daripada berbuat yang demikian,

lebih baik engkau berbuat yang baik,

………………………………. .

Dosa bagi orang yang suka menggunjing, sama besarnya

dengan membunuh orang,

……………………………..

Tataran terakhir adalah ma-mangani. Pada bagian ini pengarang Wedha-


Ma-Sapta nampaknya hendak menunjukkan kepada pembaca bahwa model yang
tepat bagi manusia dalam hubungannya dengan “makan” ini ialah menempatkan
manusia sebagai subjek yang sadar bahwa makan merupakan sarana untuk hidup.

19
Sebagaimana diungkapkan pada bait 3 pupuh Sinom :

“Ana paribasanira,
mangana kanggo urip,
ywa urip perlu memangan,
tegese mangkono kaki,
mangan kanggo nguripi,
jasadira sakarsamu,
tuwuk dikaya ngapa,
aja ngluwihi panci,
anggere wis bisa urip kang mejana,”

Hal itu berarti secara konotatif mengandung konsep bahwa ukuran


keberhasilan, kepuasan hidup janganlah diukur secara kuantitatif, fenomenal,
eksistensial saja (…tuwuk dikaya ngapa, aja ngluwihi panci …). Sedang pada bait
4 dan 5 pupuh yang sama menunjukkan sikap-sikap seseorang yang
mementingkan biologis saja dalam hal mengejar kemakmuran jasmani sebagai
keberhasilan hidupnya.

“Yen urip perlu memangan,


kasasar driyanta kaki,
jeneng angumbar luamah,
nora nganggo den watawis,
sakarsa-karsaneki,
budine gedhekke wadhuk,
tan nganggo duga-duga,
anggere melek angemil,
tam weweka lerene mangan yen nendra.

20
Nora nganggo ringa-ringa,
tan mikir laku utami,
anggedhekake memangan,
dhemene amblodhir tai,
mikir ambaning silit,
lan melaring juburipun,
mbededeng wetengira,
wudele nganti malirik,
isih ngramal mengko sore mangan apa”.

Contoh-contoh bait berikutnya yang menunjukkan perdebatan masalah


kualitas dan kuantitas kehidupan melalui teladan-teladan berupa kisah Pandawa
lilma dengan Korawa. Hal itu jelas menunjukkan unggulnya unsur kualitas
disbanding dengan unsur kuantitas. Kalau bait 4 di atas disebutkan bahwa
seseorang yang menuruti nafsu makan sebagai tujuan hidup dilukiskan sebagai
mengumbar nafsu alumah yang secara konotatif diwakili sebagai tokoh-tokoh
Korawa.

Pengarang Wedha-Ma-Sapta dalam menguraikan keunggulan Pandawa


mengenai ketabahannya dalam menjalankan tarak brata justru akan membentuk
sifat sabar, telaten, dan introspeksi serta membentuk watak sosial berdasar sifat
cinta kasih kepada sesama makhluk. Sikap sabar, teliti dan introspeksi ini
merupakan dasar yang penting bagi proses pembentukan sifat dan moral ilmuwan
di dalam menciptakan, menemukan dan menghasilkan sesuatu output berupa ilmu
pengetahuan baru. Hal itu dapat terlaksana, jika di samping sifat sabar, teliti juga
disertai unsur kreativitas ilmuwan yang bersangkutan.

Sebagai catatan kritis, dalam situasi sekarang ini (alam yang berdimensi
pembangunan seutuhnya baik material maupun spiritual, jasmani maupun rohani),
maka kebutuhan makan juga menduduki sarana penting di samping kebutuhan

21
papan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Namun yang dimaksud di sini bukan
pada unsur makanannya, tetapi yang penting adalah gizi makanan tersebut sebagai
salah satu faktor yang mendukung lahirnya generasi yang berkualitas unggul.

22
BAB IV

PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian di depan dapat ditarik kesimpulan bahwa jika


ditinjau dari perspektif kekinian (kontemporalitas), maka peringatan-peringatan
pengarang tentang makanan dalam Serat Wedha-Ma-Sapta ini tidak lain adalah
fungsi makanan untuk memenuhi kebutuhan biologis seseorang yang tidak
terkontrol dapat berpengaruh negative kepada kesadaran seseorang tersebut.
Implikasinya dapat menyebabkan orang bersifat loba, tamak bahkan serakah. Hal
itu merupakan bibit timbulnya keresahan sosial.

Secara umum Serat Wedha-Ma-Sapta mengandung nilai nilai filosofis


sebagai berikut :

1. Etika yang dianut di dalam Serat Wedha-Ma-Sapta secara ontologism


bersifat deterministis artinya kebebasan manusia secara eksistensial
dibatasi norma-norma moral yang bersumber pada warisan budaya
tradisional.
2. Pada dasarnya untuk dapat menjadi manusia utama, orang harus menjalani
ajaran yang positif dan meninggalkan semua larangan yang termuat di
dalam Wedha-Ma-Sapta.
3. Ajaran yang berupa larangan-larangan yang terkandung dalam Serat
Wedha-Ma-Sapta ternyata ada relevansinya dengan larangan-larangan
yang terdapat di dalam ajaran agama.
4. Apabila manusia dapat menjalani ajaran yang bersifat positif dan
menghindarkan diri dari semua bentuk larangan yang ada di dalam Serat
Wedha-Ma-Sapta, berarti tujuan pembentukan karakter manusia utama
diharapkan dapat tercapai.

23
DAFTAR PUSTAKA

Danandjadja, James. 1986. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafiti


Pers

Mulyani, Hesti. 2008. Diktat Mata Kuliah Komprehensi Tulis


Lanjut.Tidak diterbitkan. Universitas Negeri Yogyakarta.

Purwadi. 2008. Etika Jawa. Diktat mata kuliah yang tidak diterbitkan.

Purwadi. 2007. Filsafat Jawa. Yogyakarta : Cipta Pustaka

Sri Mulyono. 1983. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta :


Gunung Agung.

http://rumahbelajarpsikologi.com

24

You might also like