You are on page 1of 25

UNIVERSITAS MERCU BUANA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI JURUSAN BROADCASTING PROGRAM KELAS KARYAWAN

MODUL KULIAH MK. STUDI MEDIA


Modul 13 & 14 ANALISIS FRAMING
1. Konsep Framing Pada dasarnya, analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sudibyo, 1999a:23). Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi relitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavoir) yang membimbing individu dalam membaca realitas. Akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secata luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk mewnggambarklan proses penseleksian dan penyorotan aspek-aspek kihusus sebuah realita oleh media. Dalam ranah studi komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis fenomena atau aktivitas komunikasi. Konsep tentang framing atau frame sendiri dengan murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi dipinjam dari ilmu kognitif (psikologis). Dalm praktiknya, analisis framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultuiral; untuk menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapresiasi dan dianalisis

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

berdasarkan konteks sosiologi, politis, atau kultural yang melingkupinya (Sudibyo, 1999b:176). Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah caracara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat. Untuk mengiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan oleh menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Nugroho, Eriyanto, Surdiasis, 1999:21). Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitemate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakan (Imawan, 2000:66). Gamson dan modigliani (Nugroho, Eriyanto, Surdiasis, 1999:21-22) menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Menurut Erving Goffman (Siahan et al., 2001:76-77), secara sosiolohis konsep frame analisys memelihara kelangsungan kebiasaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterprestasi secara aktif pengalaman-pengalaman hidup kita untuk dapat memahaminya. Skemata interprestasi itu disebut frames, yang memungkinkan individu dapat melokalisasi, merasakan, mengindentifikasi, dan memberi label terhadap peristiwa-peristiwa serta informasi. Dengan konsep yang sama Gitlin (1980) mendefinisikan frame sebagai seleksi, penegasan, dan eksklusi yang ketat. Ia menghubungkan konsep tersebut dengan proses memprodukasi wacana berita dengan menyatakan, Frames memungkinkan para jurnalis memproses sejumlah besar informasi secara cepat dan rutin, sekaligus mengemas informasi demi penyiaran dan efisien kepada khalayak. Konsepsi framing dari para

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

konstruksionis dalam literatur sosiologi ini memperkuat asumsi mengenai proses kognitif individual penstrukturan representasi kognitif dan teori proses pengendalian informasi dalam psikologi. Berdasarkan konsep psikologi, framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik, sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu lebih besar. Konsekuensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu dalam penarikan kesimpulan. Dalam persspektif disiplin ilmu lai, konsepsi framing terkesan tumpang tindih. Fungsi frames kerap dikatakan sebagai struktur internal dalam pikiran dan perangkat yang dibangun dalam wacana politik. Entman (Eriyanto, 2000a:94; Triputra, 2000:412) melihat framing dalam dua dimensi besar : seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dalam penekanan isi beritanya. Perspektif wartawanlah yang akan menentukan fakta yang dipilihnya, ditonjolkannya, dan dibuangnya. Di balik semua ini, pengambilan keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan nilai dan ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi sebuah berita. Penonjolan, seperti disinggung di muka, merupakan proses membuat informasi menjadi lebih bermakna. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok sudah barang tentu punya peluang besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas. Karena itu dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain; serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana penempatan yang mencolok (menempatkan di headline, halaman depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Pada dasarnya, pola penonjolan tersebut tidaklah dimaknai sebagai bias, tetapi secara ideologis sebagai strategi wacana: upaya menyuguhkan pada publik tentang pandangan tertentu agar pandangannya lebih diterima. Kat penonjolan (salience) didefinisikan sebagai membuat sebuah inforamasi lebih diperhatikan, bermakna, dan berkesan. Suatu peningkatan dalam penonjolan mempertinggi probabilitas penerima akan lebih memahami informasi, melihat makna lebih tajam, lalu memprosesnya dan menyimpannya dalam ingatan. Bagian informasi dari teks dapat dibuat lebih menonjol dengan cara penempatannya atau pengulangan atau mengasosiasikan dengan simbol-simbol budaya yang sudah dikenal. Bagaimanapun, tingkat penonjolan teks dapat sangat tinggi bila teks itu sejalan dengan skemata sistem keyakinan penerima. Skemata serta konsep-konsep tersebut erat berhubungan dengan kategori, scripts, atau stereotype, yang merupakan kumpulan ide di dalam mental yang memberi pedoman seseorang untuk memproses informasi. Karena penonjolan merupakan sebuah produk interaksi antara teks dan penerima, maka kehadiran frame dalam teks tidak menjamin pengaruhnya terhadap pemikiran khalayak (Entman, 1993, dalam Siahaan, 2001:7879). Framing, kata Entman (Siahaan, 2001:80), memiliki implikasi penting bagi komunikasi politik. Frames, menurutnya, menuntut perhatian terhadap beberapa aspek dari realitas dengan mengabaikan elemen-elemen lainnya yang memungkinkan khalayak memiliki reaksi berbeda. Politisi mencari dukungan dengan memaksakan kompetisi satu sama lain. Mereka bersama jurnalis membangun frame berita. Dalam konteks ini, lanjut Entman, framing memainkan peran utama dalam mendesakkan kekuatan politik, dan frame dalam teks berita sungguh merupakan kekuasaan yang tercetak menunjukkan identitas para aktor atau interest yang ia berkompetisi untuk mendominasi teks. Namun Entman menyayangkan, banayak teks berita dalam merefleksikan permainan kekuasaan dan batas wacana atas sebuah isu, memperlihatkan homogenitas framing pada satu tingkat analisis, dan belum mempersaingkannya dengan framing lainnya.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Konsep framing, dalam pendangan Entman, secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkap the power of a communication text. Framing analisys dapat menjelaskan dengan cara yang tepat pengaruh atas kesadaran manusia yang didesak oleh transfer (atau komunikasi) informasi dari sebuah lokasi, seperti pidato, ucapan/ungkapan, news report, atau novel. Framing, kata Entman, secara esensial meliputi penseleksian dan penonjolan. Membuat frame adalah menseleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas, dan membuatnya lebih menonjol di dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interprestasi kausal, evaluasi moral, dan atau merekomendasikan penanganannya (Siahaan, 2001:8081). G.J. Aditjondro (Sudibyo, 1999b:165) mendefinisikan framing sebagai metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan membrikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya. Menurut Aditjondro (dalam Siahaan et al., 2001:9-10), proses framing merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian media cetak. Reporter di lapangan menentukan siap yang diwawancarainya. Redaktur, dengan atau tanpa berkonsultasi dengan redaktur pelaksana, menentukan apakah laporan si reporter akan dimuat ataukah tidak, dan menentukan judul apa yang akan diberikan. Petugas tatamuka, dengan atau tanpa berkonsultasi dengan para redaktur tersebut, menentukan apakah teks berita itu perlu diberi eksentuasi foto, karikatur, atau bahkan ilustrasi lain atau tidak, serta foto, karikatur, atau bahkan ilustrasi mana yang dipilih. Bahkan, kata Aditjondro, proses framing tidak hanya melibatkan pera pekerja pers, tapi juga pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi-sisi informasi yang ingin ditonjolkannya (sambil menyembunyikan sisi-sisi lain), sambil mengaksentuasikan kesahihan pandangannya dengan mengacu pada pengetahuan, ketidaktahuan, dan perasaan para pembaca. Proses framing menjadikan media massa sebagai arena di mana

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

informasi tentang masalah tertentu diperubutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung pembaca. Memang, salah satu yang menjadi prinsip analisis framing adalah bahwa wartawan bisa menerapkan standar kebenaran, matriks objektivitas, serta batasanbatasan tertentu dalam mengolah dan menyuguhkan berita. Dalam merekonstruksi suatu realitas, wartawan juga cenderung menyertakan pengalaman serta pengetahuannya yang sudah mengkristal menjadi skemata interprestasi (schemata of interpretation). Dengan skemata ini pula wartawan cenderung membatasi atau menyelekasi sumber berita, serta memberi porsi yang berbeda terhadap tafsir atau perspektif yang muncul dalam wacana media. Seperti disebutkan di muka, pada adasarnya, pekerjaan media massa adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya, di antaranya realitas politik. Pada umumnya, terdapat tiga tindakan yang biasa dilakukan pekerja media massa (setiap orang bekerja pada sebuah organisasi media), khususnya oleh para komunikator massa (sejumlah orang dari pekerja media yang bertanggung jawab atas editorial sebuah sebuah media), tatkala melakukan konstruksi realitas politik yang berujung pada pembentukan makna atau citra mengenai sebuah kekuatan politik (Hamad, 2001:5758). Pertama, dalam hal pilihan kata (simbol) politik. Sekalipun media massa hanya bersifat melaporkan, namun telah menjadi sifat dari pembicaraan politik untuk selalu memperhitungkan simbol politik. Dalam komunikasi politik, para komunikator bertukar citra-citra atau makna-makna melalui lambang. Mereka saling menginterpretasikan pesan-pesan (simbol-simbol) politik yang diterimanya. Dalam konteks ini, sekalipun melakukan pengutipan langsung (direct quotation) atau menjadikan seorang komunikator politik sebagai sumbner berita dengan pilihan simbol yang digunakan sumber tersebut. Tetapi, manakala media massa membuat ulasan, sebutlah editorial, pilihan kata itu ditentikan sendiri oleh sang komunikator massa. Kedua, dalam melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik. Minimal oleh disebab adanya tuntutan teknis : keterbatasan-keterbatasan kolom dalam

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

halaman (pada media elektronika), jarang ada media yang membuat berita sebuah peristiwa secara utuh, mulai dari menit pertama kejadian hingga ke menit paling akhir. Atas nama kaidah jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar, rumit, dicoba disederhanakan melalui pembingkaian (framing) fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak terbit atau layak tayang. Untuk kepentingan pemberitaan ini, komunikator massa seringkali hanya menyoroti hal-hal yang penting (mempunyai nilai berita) dari sebuah peristiwa politik. Dari segi ini saja, mulai terlihat ke arah mana pembentukan (formasi) sebauh berita. Ditambah pula dengan berbagai kepentingan, maka konstruksi realitas politik sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan (menarik keuntungan atau pihak mana yang diuntungkan) dengan berita tersebut. Ketiga, menyediakan ruang atau waktu untuk sebuah peristiwa politik. Justru hanya jika media massa memberi tempat pada buah peristiwa politik, maka peristiwa akan memperoleh perhatian dari masyarakat. Semakin besar tempat yang diberikan semakin besar pula perhatian yang diberikan oleh khalayak. Pada konteks ini media massa memiliki fungsi agenda setter sebagaimana yang dikenal dengan Teori Agenda Setting. Tesis utama teori ini adalah besarnya perhatian masyarakat terhadap sebuah isu amat bergantung seberapa besar media, apalagi sejumlah media, menaruh sebuah kasus sebagai headline, diasumsikan kasus itu pati memperoleh perhatian yang besar dari khalayak. Ini tentu berbeda jika, misalnya, kasus tersebut dimuat di halaman dalam, bahkan dipojok bawah pula. Faktanya, konsumen media jarang memperbincangkan kasus yang tidak dimuat oleh media, yang boleh jadi kasus itu justru sangat penting untuk masyarakat. Memang, setiap peristiwa yang dianggap dapat menarik minat pembaca, selalu dijadikan headline atau diletakkan pada halaman muka surat kabar. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa umumnya pembaca ketika akan membaca atau membeli sebuah surat kabar, yang pertama yang dilihatnya adalah headline berita pada hari itu atau berita-berita yang ada di halaman mukanya. Hal ini dudukung oleh pendapat Rivers dan Mathews (1994:43) yang menyatakan bahwa sekitar 98% dari semua pembaca surat kabar membaca berita yang terdapat di halaman muka.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Contoh aktual bisa kita lihat pada aksi terorisme 11 September di Amerika Serikatyang lebih dikenal dengan tragedi Gedung Kembar WTC (World Trade Center), di kawasan Manhattan, New York. Hampir seluruh surat kabar di dunia, termasuk di Indonesia, menempatkan peristiwa tersebut beserta dampak ikutannya sebagai headline surat kabarnya. Tak tanggung-tanggung, Kompas, misalnya, sebagai salah satu surat kabar nasional terkemuka, menempatkan tragedi WTC itu sebagai headline untuk edisi sepekan berturut-turut. Sebut saja misalnya judul-judul seperti Teror Melanda Amerika Serikat (12/9/2001); Ribuan Orang Dikhawatirkan Tewas; AS Menyatakan Perang terhadap Teroris (13/9/2001). G7 Siapkan Paket ratusan Milyar Dollar; untuk Cegah Resesi Global (14/9/2001). Tak Cuma koran nasional yang terbit di Ibukota. Berbagai surat kabar nasional yang diterbitkan di daerah pun menempatkan tragedi WTC sebagai headline, mengalahkan isu-isu lokalatau isu nasional yang terjadi selama rentang waktu sekurangnya dua pekan pasca terjadinya tragedi WTC. Pikiran Rakyat, misalnya, surat kabar yang terbit di Bandung ini bahkan mengangkat peristiwa seputar tragedi WTC dan isu terorisme internasional ini sebagai headline untuk selama dua pekan, atau empat belas edisi berturut-turut, dengan judul-judul yang cukup sensasional: WTC Dihajar, Pentogan Dibom! (12/9/2001); Jumlah Korban Spektakuler; Amerika Serikat Siapkan Regu Pembalasan Teror (13/9/01); FBI Identifikasi 50 Tersangka; Sebagian Pembajak mendapat Latihan Pilot di AS (14/9/01). Serangan AS dan sekutunya ke Afghanistan, 7 Oktober 2001, seolah merupakan klimaks dari buntut tragedi WTC. Karena itu, cukup beralasan apabila surat-surat kabar di berbagai penjuru dunia, termasuk surat-surat kabar nasional, menjadikan aksi serangan besar-besaran ini sebagai headline. Kompas, misalnya, menulis AS dan Inggris serang Afgan (8/10/2001); PBB Harus Ambil Langkah Bersama (9/10/2001); Rudal Menghantam Kantor LSM PBB (10/10/2001). Pikiran Rakyat juga menulis judul utamanya AS Menyerbu Tanpa Bukti! (8/10/2001), AS Gelar Serangan Kedua (9/10/2001), dan Kezaliman AS Berlanjut (10/10/2001). Sekarang ini, dengan semakin tingginya mobilitas serta aktivitas khalayak, pembaca media terkena apa yang disebut headline syndrome. Pembaca seperti ini

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

adalah jenis pembaca yang lebih suka menelusuri judul-judul berita ketimbang membaca berita secara keseluruhan. Akibatnya jelas, pembaca menafsirkan berita hanya dengan membaca judul beritanya saja. Malah, menurut Assegaff (1983:50), pembaca surat kabar di Amerika sering disebutkan sebagai headline reader (pembaca judul atau pembaca kepala berita). Hal ini barangkali tidak akan menimbulkan masalah jika judul berita tersebut mencerminkan isi berita. Persoalan bisa muncul manakala judul berita disajikan secara sensasional. Atau dengan kata lain, apa yang tersurat dalam judul berita ternyata berbeda sama sekali dengan isi berita. Ketidaksesuaian antara judul dan isi beritanya, khususnya lead (alinea pembuka termasuk alinea kedua dan ketiga pada suatu berita) bisa dikatakan sebagai penipuan terhadap pembaca. Jika ini terjadi, maka sebagai implikasinya akan terbentuk opini yang salah dari khalayak pembaca terhadap realitas yang diberitakan media. Sebagai misal, Pikiran Rakyat terbitan 9 Oktober 2001 menyuguhkan sebuah headline: AS Gelar Serangan Kedua dengan kicker Osama bin Laden; Amerika Tidak akan Pernah Merasa Aman. Lead pada berita tersebut disusun sebagai berikut: Gelombang kedua serangan udara terhadap Afghanistan dimulai Senin (8/10) 23.15 WIB malam (20.30 waktu setempat) dengan target sekitar ibukota Kabul, kata seorang pejabat di Pentagon. Dilaporkan, serbuan udara babak kedua atas sasaran Taliban melibatkan ujung tombak kekuatan tempur Inggris. Osama bin Laden buronan nomor satu Amerika Serikat (AS), dalam rekaman video yang disiarkan televisi Al-Jazeera Senin (8/10) menegaskan, AS tidak pernah merasa aman sepanjang Palestina belum mendapat jaminan keamanan. Pemimpin tertinggi spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei menyebut AS telah berbohong tentang tujuan penyerangannya ke Afghanistan. Mereka aingin unjuk dan menambah kekuatan seraya mendominasi dunia, itulah maksud sesungguhnya, tegas Ali Khamenei di Teheran. Di Kairo, lebih dari

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

10.000 mahasiswa Mesir berunjuk rasa menentang serangan AS ke Afghanistan serta menyeru kaum Muslimin untuk berjihad di jalan Allah. Pada lead di atas kita menemukan kalimat dari pernyataan Osama bin Laden menegaskan bahwa AS tidak akan merasa aman sepanjang Palestina belum mendapat jaminan keamanan. Semantara, pada judul atau anak judul (kicker) hanya tertulis Osama bin Laden: Amerika Tidak akan Pernah Merasa Aman tanpa diikuti anak kalimat penjelas. Dengan menghilangkan anak kalimat penjelas dalam judul berita, hal tersebut dapat menyebabkan penafsiran yang berbeda dari pembaca jika hanya membaca judul beritanya saja tanpa membaca lead atau keseluruhan isi berita tersebut. Pemilihan judul berita memang merupakan hak prerogatif dari surat kabar yang bersangkutan. Juga terkadang merupakan gaya (style) atau ciri khas dari mmasing-masing surat kabar. Namun, sesuai dengan prinsip jurnalistik, judul berita jangan sampai menghilangkan atau mengaburkan fakta yang sebenarnya. Dengan kata lain, jurnalis atau editor sebaiknya tidak membuat judul yang provokatif tetapi mengelabui pembaca atau cenderung mereduksi fakta demi menarik perhatian pembaca. Menurut A.M. Rosenthal (dalam Pardede, 2001:17), seorang kolomnis pada New York Times, objektivitas adalah bagian penting dari karakter surat kabar. Karakter surat kabarlah yang membuat para pembaca mempercayainya, dan oleh karena itu membuatnya berarti serta berharga. Sekalipun objektivitas total mungkin mustahil, karena setiap berita reporter dan redaktur adalah mengupayakan objektivitas yang semanusiawi mungkin. Pasca serangan kaum teroris yang meluluhlantakan Gedung Kembar WTC di Amerika Serikat, boleh jadi media pun ikut-ikutan meneriakkan perang. Maka apa yang dikhawatirkan kepada orang akhirnya terjadi juga: AS dan Inggris Serang Afgan (Kompas, 8/10/2001). Menurut Amir Yasaraf Paliang, kekerasan simbolik memang menemukan tempatnya yang paling dominan di dalam media, sebab media memungkinkan terjadinya berbagai bentuk kekerasan tak tampak (seperti distori, pelencengan, pemalsuan, plesetan). Media massa dianggap tidak menyajikana gambaran realitas yang sebenarnya, melainkan realitas semu (Palaiang,

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

2001:148). Jean Baud (hiperreality) untuk menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian konsep distorsi) makna di dalam media (Piliang, 2001:149-150). Mulanya, konsep hypperreality memang dikembangkan Jean Baudrillarddalam bukunya In the Shadow of teh Silent Majorities (1983) untuk menjelaskan perekayasaan dan distorsi informasi di dalam media, Hipperealitas mengiring orqanag mempercayai sebuah citra sebagai kebenaran, meski kenyataannya hanyalah dramatisasi realitas dan pemalsuan kebenaran, yang melampaui realitas (Paliang, 1999c:4). Namun persoalan hiperrealitas sebetulnya bukanlah monopoli media informasi global maupun lokal, keduanya boleh jadi terjebak pada perilaku yang sama. Tak peduli siapa pun yang melakukannya, hiperrealitas media tetap merupakan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip etika jurnalistik. Sebab, pers dihadirkan bukan untuk kepentingan kaum jurnalis semata. Pun bukan untuk kekuasaan kekuatan modal (internal dan eksternal) yang menghidupi perusahaan pers, juga bukan kekuasaan (negara dan kekuatan politik) yang melingkupinya sebagai alai menguasai alam pikiran masyarakat. Kebebasan pers hakikatnya merupakan salah satu dimensi hak asasi manusia, yaitu hak untuk membentuk pendapatnya secara bebas. Perang, apa pun yang menyulutnya, sering disebut-sebut sebagai konflik yang dilembagakan. Dan, kekuatan media tentu saja mempengaruhi situasi konflik. Sebab, kekuatan media antara lain muncul melalui proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan sudut pandang (angle), penambahan atau pengurangan foto dan gambar dan lain-lain. Dengan demikian, sebetulnya media punya potensi untuk jadi peredam ataupun pendorong konflik. Media bisa memperjelas sekaligus mempertajam konflik atau sebaliknya: mengaburkan dan mengeliminirnya. Media bisa merekonstruksi realitas, namun juga bisa menghadirkan hiperrealitas. Dalam memberitakan konflik, media seharusnya tidak melakukan dramatisasi terhadap fakta. Karena hal itu langsung atau pun tidak langsung akan memicu konflik lanjutan dan menjadi provokasi bagi pihak-pihak yang bertikai. Setidaknya hal ini sudah terbukti pada kasus yang hampir sama di belahan dunia lain. Di

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Yugoslavia, misalnya, media memainkan peran penting dalam mengubah warga yang semula damai menjadi saling bermusuhan. Bahkan seperti dikatakan Gabriela Mischkowski (dalam Kartika dan Mahendra, ed., 1999:64), kampanye media yang bersifat menghasut itu adalah prakondisi tidak hanya bagi perang itu sendiri, namun juga bagi kekejaman yang mula-mula diperanginya. Orang-orang yang semula berteman, bertetangga, berhubungan sebagai rekan kerja dan teman sekolah, berbalik saling melawan, saling membunuh, dan saling menjarah harta benda). Terdapat banyak teori yang dapat menjelaskan kuatnya pengaruh media terhadap publik. Teori agenda setting memperkuat kembali posisi dan penetrasi media terhadap khalayak. Setelah teori "jarum hipodermik" digugat oleh Lazarsfeld atas pengaruh langsung media dalam mempengaruhi opini, sikap dan perilaku khalayak, gagasan kuatnya pengaruh media tampil kembali lewat agenda setting. Walaupun pengaruh media yak sehebat yang digambarkan "jarum hipodermik, namun banyak bukti menunjukkan bahwa 40 media menentukan apa yang "dipikirkan orang". Isu yang diagendakan media, menjadi isu yang dianggap penting oleh publik. Berkaitan dengan kasus ambruknya WTC oleh apa yang dise George W. Bush sebagai terorisme internasional dan yang of kebanyakan orang Amerika diidentikkan dengan "Islam", peran media sangat penting. Elit Gedung Putih memanfaatkan media sebagai alat, meminjam ungkapan Chomsky (dalam Malik, 2001) untuk "mengontrol pikiran publik" (control the public mind). Media mengontrol apa yang dipikirkan, dirasakan, dan disikapi publik. Untuk melakukan ini, media "bersekongkol" dengan kelompok atau elit kepentingan Gedung Putih untuk membangun musuh bersama menggempur Osama bin Laden, membombardir Afghanistan. Berdasarkan konsepnya, Gamson (Sudibyo, 1999a:24-27) mendefinisikan framing dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan kultural yang menghasilkan framing dalam level kultural dan pendekatan psikologis yang menghasilkan framing dalam level individual. Dalam level kultural, frame pertama-tama dapat dimaknai sebagai batasan-batasan wacana serta elemen-elemen konstitutif yang tersebar dalam konstruksi wacana. Sedangkan asumsi dasar dari framing level individu

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

adalah bahwa individu selalu bertindak atau mengambil keputusan secara sadar, rasional, dan intensional. Individu selalu menyertakan pengalaman hidup, wawasan sosial dan kecenderungan psikologisnya dalam menginterpretasi pesan yang ia terima. 2. Teknik Framing Secara teknis, tidak mungkin bagi seorang jurnalis untuk mem-framing seluruh bagian berita. Artinya, hanya bagian dari kejadian-kejadian (happening) penting dalam sebuah berita Baja yang menjadi objek framing jurnalis. Namun, bagianbagian kejadian penting ini sendiri merupakan salah satu aspek yang sangat ingin diketahui khalayak. Aspek lainnya adalah peristiwa atau ide yang diberitakan. Menurut Entman (Qodari, 2000:20), framing dalam berita dilakukan dengan empat cara, yakni: pertama, pada identifikasi masalah (problem identification), yaitu peristiwa dilihat sebagai apa dan dengan nilai positif atau negatif apa; kedua, pada identifikasi penyebab masalah (causal interpretation), yaitu siapa yang dianggap penyebab masalah; ketiga, pada evaluasi moral (moral evaluation), yaitu penilaian atas penyebab masalah; dan keempat, saran penanggulangan masalah (treatment recommendation), yaitu menawarkan suatu cara penanganan masalah dan kadang kala memprediksikan hasilnya. Lebih jelasnya, keempat cara tersebut dapat dilihat pada skema 1.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

SKEMA 1 SKEMA FRAMING ROBERT ENTMAN Teknik Framing

Problem Identification Peristiwa dilihat sebagai apa

Treatment Recommendation Saran Penanggulangan Masalah

Causal Interpretation Siapa Penyebab Masalah

Moral Evaluation Penilaian atas penyebab masalah

Sumber : Muhammad Qodari, Papua Merdeka dan Pemaksaan Skenario Media, Pantau 08/Maret-april 2000, hlm 19-25 Abrar (2000:73) menyebutkan, pada umumnya terdapat empat teknik memframing berita yang dipakai wartawan, yaitu: (1) Cognitive dissonance (ketidaksesuaian sikap dan perilaku); (2) empati (membentuk "pribadi khayal'); (3) Packing (daya tarik yang melahirkan ketidakberdayaan); dan (4) Asosiasi (menggabungkan kondisi, kebijakan, dan objek yang sedang aktual dengan fokus berita). Jika, misalnya, seorang wartawan ingin mem-framing berita tentang kekerasan terhadap perempuan dengan berempati pada korban, tidak berarti ia mesti melupakan kaidah jurnalistik yang paling elementer, seperti nilai berita, layak berita, dan bias berita. Artinya, mereka harus tetap mematuhi dan menjunjung tinggi semua kaidah itu secara saksama. Setelah tahapan itu dilalui, barulah is melakukan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

framing terhadap berita. Sekurangnya, ada tiga bagian berita yang bisa menjadi objek framing seorang wartawan, yakni: judul berita, fokus berita, dan up berita (Abrar, 2000:73). Judul berita di-framing dengan menggunakan teknik empati, menciptakan "pribadi khayal" dalam diri khalayak, sementara khalayak diangankan menempatkan diri mereka seperti korban kekerasan atau keluarga dari korban kekerasan, sehingga mereka bisa merasakan kepedihan yang luar biasa. Kemudian, fokus berita di-framing dengan menggunakan teknik asosiasi, yaitu menggabungkan kebijakan aktual dengan fokus berita. Kebijakan dimaksud adalah penghormatan terhadap perempuan. Dengan menggabungkan kebijakan tersebut dalam fokus berita, khalayak akan memperoleh kesadaran bahwa masih ada kekerasan terhadap perempuan, sekalipun usaha untuk menguranginya sudah dilakukan oleh berbagai kalangan. Kesadaran ini diharapkan bisa memicu khalayak untuk ikut berperan serta dalam mengurangi kekerasan terhadap perempuan. Untuk itu, wartawan perlu mengetahui secara persis kondisi riil pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Selanjutnya, penutup berita di-framing dengan menggunakan teknik packing, yaitu menjadikan khalayak tidak berdaya untuk menolak ajakan yang dikandung berita. Apa pun inti ajakan, khalayak menerima sepenuhnya. Sebab mereka tidak berdaya sama sekali untuk membantah kebenaran yang direkonstruksikan berita. Analisis framing bisa dilakukan dengan bermacam-macam fokus dan tujuan. Tentu Baja karena hal ini berkaitan dengan pelbagai definisi dan ruang lingkup framing sendiri yang cukup kompleks. Gamson, seperti telah disinggung, memilah pendekatan framing menjadi dua, yaitu pendekatan kultural dan pendekatan individual. Analisis framing dalam level kultural dilakukan melalui beberapa cara (Sudibyo, 1999a:42). Merujuk pada aspek seleksi dan penekanan sebagai esensi framing, analisis framing level kultural meliputi identifikasi dan kategorisasi terhadap proses pengulangan, penempatan (placement), asosiasi, dan penajaman (reinforcement) kata, kalimat, dan proposisi tertentu dalam suatu wacana. Dalam hal ini dapat dioperasionalisasikan dimensi wacana seperti dimensi semantik, skematis,

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

grafik, dan lain-lain. Selain itu, analisis framing juga dapat dilakukan dengan membedah sisi retoris suatu wacana, yaitu dengan mengidentifikasi dan menganalisis kata kunci, metafor, frase, popular wisdom, silogisme, dan perangkatperangkat simbolik lain yang ada di dalamnya. Lain halnya dengan analisis framing dalam level kultural, frame dalam level individu menimbulkan konsekuensi bahwa untuk tujuan tertentu, studi framing tidak bisa dilakukan hanya sebatas analisis isi terhadap teks media. Dalam kaftan ini, Gamson dan Modigliani memperkenalkan konsep frame-resonance, yaitu tingkat keselarasan antara frame yang muncul dalam wacana tekstual dengan respon rpretatif khalayak. Untuk mengukur frame-resonance, serta untuk mengetahui tingkat keseragaman atau keberagaman schemata awak media, analisis framing perlu dilakukan sampai pada tingkat individu. Menurut Sudibyo (1999a:42), analisis framing terhadap schemata individu ini bisa dilakukan dengan polling atau wawancara komprehensif. 3. Model Framing Terdapat dua rumusan atau model tentang perangkat framing yang kini kerap digunakan sebagai metode framing untuk melihat upaya media mengemas berita (Qodari, 1999/2000:67; Sudibyo 1999a:39; Nugroho, Eriyanto, Surdiasis, 1999:2847). Pertama, model Pan dan Kosicki yang merupakan modifikasi dari dimensi operasional analisis wacana van Dijk. Kedua, model Gamson dan Modigliani. Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki (1993) melalui tulisan a "Framing Analysis: An Approach to News Discourse" meng-operasionalisasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing: sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame akan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita kutipan sumber, latar informasi, pemakata atau kalimat tertentu ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks. Dalam pendekatan ini perangkat framing dibagi menjadi empat besar. Pertama, struktur sintaksis; kedua, struktur skrip; ketiga struktur tematik; dan keempat, struktur retoris. Struktur sintaksis bisa diamati dari bagan berita. Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwapernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwake dalam bentuk Susunan kisah berita. Dengan demikian, struktur sintaksis ini bisa diamati dari bagan berita (headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan sandaran, sumber yang dikutip dan sebagainya). Struktur skrip melihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa. Kemudian, struktur tematik berhubungan dengan cara wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara. keseluruhan. Struktur ini akan melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan ke dalam bentuk yang lebih kecil. Sedangkan struktur retoris berhubungan dengan cara wartawan menekankan arti tertentu. Dengan kata lain, struktur retoris melihat pemakaian pilihan kata, idiom, grafik, gambar, yang juga dipakai guna memberi penekanan pada arti tertentu.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

TABEL 4.1 KERANGKA FRAMING PAN DAN KOSICKI STRUKTUR SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta TEMATIK Cara wartawan menulis fakta 5. 6. 7. 8. RETORIS Cara wartawan menekankan fakta 3. 4. Detail Maksud kalimat, hubungan Nominalisasi antar kalimat Koherensi Bentuk kalimat Kata ganti Kata, idiom, gambar/ foto, grafik Paragraf, proposis 2. Kelengakapan berita PERANGKAT FRAMING 1. Skema berita UNIT YANG DIAMATI Headline, lead, latar informasi, kutipan, sumber, pernyataan, penutup 5W+1H

9. Leksikon 10. Grafis 11. Metafor 12. Pengandaian

Rumusan atau model Gamson dan Modigliam didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi mediaberita dan artikel, terdiri atas package interpretatif yang mengandung konstruksi makna tertentu. Di dalam package ini terdapat dua struktur, yaitu core frame dan condensing symbols. Struktur pertama merupakan pusat organisasi elemen-elemen ide yang membantu komunikator untuk menunjukkan substansi isu yang tengah dibicarakan. Sedangkan struktur yang kedua mengandung dua struktur, yaitu framing devices dan reasoning

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

devices. Model lain dikembangkan William A.Gamson dan Andre Modigliani (Siahaan 2001:81-87). Gamsonilmuwan yang paling konsisten dalam mengembangkan konsep framingmendefinisikan sebagai organisasi gagasan sentral atau alur cerita yang mengarahkan makna peristiwa-peristiwa yang dihubungkan dengan suatu isu. Frame merupakan inti sebuah unit besar wacana publik yang disebut package. Framing analysis yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami wacana media sebagai satu gugusan perspektif interpretasi (interpretative package) saat mengkonstruksi dan memberi makna suatu isu. SKEMA 2 FRAMING ANALYSIS MODEL GAMSON DAN MODIGLIANI

MEDIA PACKAGE

CORE FRAME

CONDENSING SYMBOLS FRAMING DEVICES 1. 2. 3. 4. 5. Metaphors Exemplars Catchphrases Depictions Visual images REASONING DEVICES 1. Roots 2. Appeal to Principle

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Sumber : Diadopsi dari Wiliam A. Gamson dan Andre Modigliani Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power a Constructionist Approach, Journal of Sociology, Vol 95, No. 1 , July 1989, hlm. 3, dalam Siahaan et al., 2001, hlm. 87 Core frames (gagasan sentral) pada dasarnya berisi elemen-elemen inti untuk memberikan pengertian yang relevan terhadap peristiwa, dan mengarahkan makna isuyang dibangun condensing symbol (simbol yang "dimampatkan"). Condensing symbol adalah hasil pencermatan terhadap interaksi perangkat simbolik (framing devices dan reasoning devices) sebagai dasar digunakannya perspektif. Simbol dalam wacana terlihat transparan bila dalam dirinya menyusup perangkat bermakna yang mampu berperan sebagai panduan menggantikan sesuatu yang lain. Bagi masyarakat Amerika Serikat (AS), misalnya, mengendarai sebuah Cadillac merupakan pernyataan umum bahwa sang pengemudi telah sukses, atau ia berpikir dirinya telah sukses atau setidak-tidaknya ia ingin agar orang lain beranggapan ia telah sukses. Maka, jadilah merk mobil menjadi simbol status social. Dalam tiap merk terkandung nilai-nilai tertentu. Sebuah penelitian menunjukkan, Mercedes-Benz terkait dengan respek pribadi; social recognition dan kenyamanan hidup. Volvo sesuai dengan keamanan keluarga, kenyamanan hidup dan respek pribadi; sedangkan BMW identik dengan respek pribadi, kesenangan hidup, dan keindahan (Susanto, 2001:14). Dulu, di Indonesia, ada sebuah perusahaan yang punya ketentuan: direktur utama mendapat jatah Mercedes-Benz, direkturnya mendapatkan BMW, Corona untuk general manager dan Corolla untuk para manajer. Mobil telah dimanfaatkan sebagai penunjuk hierarki organisasi dan mereknya dimanfaatkan untuk mempertegas power distance. Dalam kegiatan executive search di The Jakarta Consulting Group, kelas dan merk mobil tak pernah tertinggal dalam percaturan negosiasi antara kandidat dan perusahaan yang membutuhkan. Mobil telah dijadikan sebagai lambang prestasi dan prestise bagi para eksekutif. Para eksekutif siap bekerja keras dan pindah pekerjaan untuk itu. Namun rupanya perjalanan zaman telah berkata lain. Dua dasawarsa lalu di AS, BMW disediakan untuk kalangan baby boomers, yang berusia muda, kaya, dan ambisius. Dengan semboyan the ultimate driving machine, BMW menonjolkan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

performanya. Para baby boomers beranjak tua membutuhkan sentuhan yang lain. BMW pun mengeluarkan serf-serf yang lebih mewah dan anggun. Di Indonesia, BMW serf 7 sudah sejajar dengan Mercedes E 320 Elegance. Sebaliknya, Mercedes serf C ada yang lebih murah dari BMW, untuk merangkul wilayah BMW. Bagi eksekutif, merek saja belum cukup sebagai ukuran, tetapi lebih spesifik lagi, berdasarkan tipe BMW seri 7 tentu lebih tinggi 'derajat'-nya daripada Mercedes C-Class (Susanto, 2001:14-15). Nimmo (1993:80-82) membedakan referential symbol dan lensing symbol. Referential symbol, menurutnya, menunjuk pada kategori-kategori khusus atau umum dari objek-objek, baik fisik, sosial, maupun abstrak, dan memiliki makna denotatif. Sedangkan condensing symbol memiliki makna konotatif. Makna yang dihubungkan dengan simbol ini terdiri orientasi-orientasi terhadap simbol itu sendiri, dan bukan terhadap apa pun yang khusus, yang dijukkannya. Struktur framing devices yang mencakup metaphors, exemplars, catchphrases, depictions, dan visual images menekankan aspek bagaimana "melihat" suatu isu. Struktur reasoning devices menekankan aspek pembenaran terhadap cara "melihat" isu, yakni roots (analisis kausal) dan appeals to principle (klaim moral). Secara literal, metaphors dipahami sebagai cara memindah makna dengan merelasikan dua fakta melalui analogi, atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana. Henry Guntur Tarigan menilai metafora sebagai sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek ; dan yang satu lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita menggantikan yang belakangan itu menjadi terdahulu tadi (Tarigan, 1990:15). John Fiske (Imawan, 2000: 66) menilai metafora sebagai common sense, pengalaman hidup keseharian yang di-taken-for-granted masyarakat. Common sense terlihat alamiah (kenyataannya diproduksi secara arbitrer) dan perlahan-lahan menjadi kekuatan ideologis kelas dominan dalam memperluas dan mempertahankan ide untuk seluruh kelas. Metafora berperan ganda; pertama, sebagai perangkat diskursif, dan ekspresi

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

piranti mental; kedua, berasosiasi dengan asumsi atau penilaian, serta memaksa teks membuat sense tertentu. Exemplars mengemas fakta tertentu secara mendalam agar satu memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan rujukan/pelajaran. Posisinya menjadi pelengkap bingkai inti dalam kesatuan berita untuk membenarkan perspektif. Cathphrases, istilah, bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta yang merujuk pemikiran atau semangat tertentu. Dalam teks berita, cathphrases mewujud dalam bentuk jargon, slogan, atau semboyan. Depictions, penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu. Asumsinya, pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik. Depictions dapat berbentuk stigmatisasi, eufemisme, serta akronimisasi. Visual images, pemakaian foto, diagram, grafis, Label, kartun, dan sejenisnya untuk mengekspresikan kesan, misalnya perhatian atau penolakan, dibesarkan-dikecilkan, ditebalkan atau dimiringkan, serta pemakaian warna. Visual image bersifat sangat natural, sangat mewakili realitas yang membuat erat muatan ideologi pesan dengan khalayak. Roots (analisis kausal), pembenaran isu dengan menghubungkan suatu objek atau lebih yang dianggap menjadi sebab timbulnya atau terjadinya hal yang lain. Tujuannya, membenarkan penyimpulan fakta berdasar hubungan sebab-akibat yang digambarkan atau dibeberkan. Gunther Kress dan Theo van Leeuwen menyatakan, penataan visual images halaman surat kabar bukan sekadar alasan estetika perwajahan, tetapi lebih merupakan proses mempengaruhi lewat efek dan fungsi pesan agar menancap di benak khalayak, termasuk aspek ideologi, pengaruh, dan subjektivitas yang bersatu padu. Secara ideologis, van Dijk menandaskan, fungsi visual images adalah untuk memanipulasi fakta agar bermakna legitimate. Sebab, kata Stuart Allan, visual lebih berdaya memindah realitas dalam wacana dibanding teks (polysemy) (Siahaan, 2001:86). Appeal to principle, pemikiran, prinsip, klaim moral sebagai argumentasi pembenar membangun berita, berupa pepatah, cerita rakyat, mitos, doktrin, ajaran, dan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

sejenisnya. Appeal to principle yang apriori, dogmatic, simplistik, dan monokausal (nonlogis) bertujuan membuat khalayak tak berdaya menyanggah argumentasi. Fokusnya, memanipulasi emosi agar mengarah ke sifat, waktu, tempat, cara tertentu, serta membuatnya tertutup/keras dari bentuk penalaran lain. Dedy N. Hidayat membuat model atau kerangka analisis framing lain yang diadopsi dari kerangka analisis yang dipergunakan Gamson dan Modigliani. Frame pembangunan yang dijadikan model tersebut merupakan perspektif, atau sudut pandang, yang dipergunakan oleh media untuk mengemas berbagai isu serta peristiwa. Frame "pembangunan" tersebut terbentuk oleh seperangkat instrumen pembingkai (framing devices) serta instrumen penalar (reasoning devices) yang kurang lebih bisa digambarkan dalam skema 3. SKEMA 3 MEDIA PACKAGE PEMBANGUNAN

MEDIA PACKAGE PEMBANGUNAN

FRAMING DEVICES

REASONING DEVICES

* METAPHORS: Contohnya lepas landas * CHPHRASES (slogan) efisiensi, produktivitas, pertumbuhan, stabilitas, dan sebagainya. * EXEMPLR: politik sebagai panglima dalam Orde Lama yang menyebabkan keterbelakangan (pada awal Orde Baru); keberhasilan pembangunan ekonomi empat macan yang mengenyampingkan demokrasi dan hak-hak asasi individu 80-90-

* * *

an). DEPICTIONS: Anti pembangunan, perusuh, oknum tidak bertanggung jawab, anti-Pancasila, pengganggu stabilitas dan sebagainya. VISUAL IMAGES: industri dan teknologi modern, gaya hidup menengah, dan sebagainya. EUPHEMISM : penyesuaian struktural untuk liberalisasi ekonomi ROOTS (yaitu causal analysis): instabilitas politik sebagai penghambat pembangunan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

ekonomi APPEALS TO PRINCIPLE stabilitas politik sebagai prasyarat keberhasilan pembangunan ekonomi; pemerintahan yang kuat yang mampu memelihara stabilitas politik diperlukan untuk menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Dalam contoh yang lebih aktual, khususnya yang berkenaan dengan tragedi

gedung kembar WTC (World Trade Center)" di kawasan New York, Amerika Serikat, 11 September 2001 lalu, fakta-fakta seputar peristiwa itu pun bisa dirangkai sebagai paket (media package) yang pada intinya terbentuk oleh apa yang disebut frames, atau. suatu central organizing ideas melalui konsistensi media dalam melakukan berbagai pilihan, penonjolan, dan penghindaran simbol-simbol bahasa atau konsep tertentu (Gitlin, 1980, dalam Hidayat 2001). Seperti disinggung di muka, suatu frames terdiri atas framing yang berfungsi mengarahkan individu guna mendefinisikan apa yang "sebenarnya" menjadi isu di balik rangkaian fakta, serta reasoning devices yang berperan memandu penentuan sikap dan tindakan (Lamson dan Lasch, 1983, dalam Hidayat 2001). Pada kasus peristiwa 11 September, kita bisa mengetahui framing devices (yang mengarahkan bagaimana cara melihat isu) suatu media lewat ke-ajeg-an penggunaan berbagai metafor, visualisasi, dan exemplar (antara lain peristiwa Pearl Harbor, yang dijadikan contoh sejarah untuk menempatkan aksi teroris 11 September). Sementara itu, reasoning devices (yang memberikan alasan pembenar apa yang seharusnya dilakukan terhadap isu tersebut) suatu media dapat dideteksi melalui roots (analisis kausal), serta appeal to principle (imbauan atau klaim moral) yang diketengahkan media. Ini sejalan dengan empat fungsi frames sebagaimana dikatakan Entman (Siahaan, 2001:81). Keempat fungsi frames itu: pertama, mendefinisikan masalah menetapkan apa yang dilakukan agen kausal, dengan biaya dan keuntungan apa, biasanya diukur dengan nilai-nilai budaya bersama. Kedua, mendiagnosis penyebab-

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

mengidentifikasi kekuatan yang menciptakan masalah. Ketiga, melakukan penilaian moralmengevaluasi agen-agen kausal dan dampak-dampaknya. Keempat, menyarankan perbaikannyamenawarkan dan memberikan pembenaran terhadap penanganan masalah, serta memprediksi kemungkinan akibatnya. Pada dasarnya, sebuah kalimat bisa menampilkan lebih dari satu fungsi framing tersebut, meski kalimat yang banyak dalam suatu teks dapat pula tidak menampilkan satu pun dari keempat fungsi tersebut. Begitu pula sebuah frame dalam beberapa teks khusus tak selalu harus memasukkan seluruh fungsi itu. Sumber: Modul diatas dikutip dari buku: Ales Sobur: Analisis Teks Media. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2001.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

You might also like