You are on page 1of 11

Dinamika Perburuhan semester I tahun 2007 Pembukaan Sejumlah kesepakatan Indonesia dengan Bank Dunia, Lembaga Moneter Internasional

(IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memaksa negeri ini menjalankan Hukum dan aturan perburuhan yang mengadopsi konsep kelenturan pasar tenaga kerja (labour market flexibility), mengikuti pola liberalisasi perekonomian dunia yang semakin kuat. Negara semakin mempersempit peranannya dalam urusan ketenagakerjaan, dengan menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Ini kemudian menghasilkan kondisi dimana tenaga kerja semakin tidak terlindungi posisi dan jaminan atas pekerjaannya. Hal ini begitu terlihat disektor padat karya yang memang pasar tenaga kerjanya didominasi oleh tenaga kerja tidak terampil, dengan jumlah yang sangat berlimpah. Akibatnya, buruh selalu berada dalam ancaman PHK dan dengan tingkat eksploitasi yang kian meningkat. Permasalahan masih besarnya perbedaan pendapatan antara pemberi kerja dan pekerja, hak-hak buruh yang tidak dipenuhi, PHK sepihak tanpa memperhatikan hakhak normatif buruh, juga masih terus ada dengan kecenderungan terus meningkat. Selain itu permasalahan kualitas dan kompetensi buruh agar mampu bersaingpun sepertinya luput dari perhatian pemerintah. . Dan kondisi yang paling parah sampai saat ini adalah semakin hilangnya kepastian kerja, membuat kondisi buruh di Indonesia semakin suram dan Pemerintah Indonesia sepertinya lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi melalui penarikan investasi asing dibanding dengan menciptakan lapangan kerja sendiri yang mampu memberikan jaminan kepastian kerja bagi warga negaranya. Lalu pertanyaannya adalah, mampukah pertumbuhan ekonomi dan investasi asing meyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia? Frekuensi PHK Bulan Januari Juni 2007 Kebijakan Pemerintah yang menganut sistem pasar kerja fleksibel menyebabkan semakin hilangnya jaminan kepastian kerja dan faktor itu juga ditambah dengan semakin meningkatnya biaya produksi akibat praktik birokrasi yang tidak efektif yang kemudian seringkali berujung pada pemutusan hubungan kerja, membuat angka PHK pada semester pertama tahun 2007 ini tetap tinggi. Adapun angka PHK tertinggi pada 1

semester I, 2007 terjadi pada bulan Mei, justru ketika kaum buruh merayakan Hari Buruh. Grafik 1. PHK Januari-Juni 2007
Grafik PHK Januari - Juni 2007
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Januari Februari Maret April Mei Juni 255 83 1468 1300 2153 Jumlah PHK 3510

Sumber : Kliping berita perburuhan, diolah oleh LIPS Pada sektor TSK terjadi jumlah PHK terbesar, sektor tersebut memang paling banyak menampung tenaga kerja dengan tingkat keahlian dan penguasaan teknologi yang rendah, sehingga pengusaha menganggap tingkat keterampilan dan keahlian buruh tersebut seringkali tidak sesuai dengan kenaikan upah yang dituntut, dan itu menyebabkan daya saing menurun, dan atas alasan untuk meningkatkan daya saing tersebut, buruh kemudian diperas tenaganya melebihi ketentuan, seperti skorsing, dan upah lembur yang tidak dibayar sebagaimana mestinya. Padahal sumber-sumber lain yang jauh lebih berperan dalam mengakibatkan naiknya biaya produksi menjadi lebih tinggi, bukanlah berasal dari buruh, seperti prosedur dan biaya birokrasi yang tidak sedikit, yang kemudian menyumbang secara berarti atas rendahnya daya saing produk manufaktur Indonesia. Lalu ketika buruh melakukan upaya-upaya untuk menuntut haknya seringkali senjata yang digunakan oleh pengusaha untuk meredamnya adalah Pemutusan Hubungan Kerja.

Grafik 2. PHK Berdasarkan Sektor


PHK Berdasarkan Sektor Jan-Juni 2007
KEP 8,33% LEM 40,18% Pariwisata & Hotel 1,32% Ritel 1,23%

TSK 48,95%

Sumber : Kliping berita perburuhan, diolah oleh LIPS Pada bulan Maret sekitar 1000 buruh dari PT. Pacific Garment dan PT. Nodec di Kepulauan Bintan, Riau ter-PHK. Investornya melarikan diri, dan menurut berita yang dimuat di Jakarta Post, alasan perginya investor tersebut karena berkembangnya isu perburuhan dan premi asuransi PHK yang harus dibayarkan oleh pihak perusahaan kepada pemerintah. Keberadaan isu tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah masih enggan menerapkan sistem asuransi PHK secara utuh, dan tidak mau berkontribusi dalam pembayaran preminya, serta hanya membebankannya pada buruh dan pengusaha. Mengenai ini akan dibahas lebih lanjut pada bab Fokus Dinamika Gerakan Buruh, mengenai sistem asuransi PHK. Buruh Outsourcing dan PHK disektor TSK (tekstil, sandang, kulit) Apabila kita melihat praktik outsourcing, seringkali kasus PHK yang terjadi adalah langkah awal bagi perusahaan untuk merekrut tenaga kerja outsource. Praktik ini menjadi legal sejak tahun 2003, dengan diberlakukannya Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Prinsip dari Fleksible Labour Market adalah menyerahkan tenaga kerja ke pasar, sehingga Negara mengurangi keterlibatannya dalam urusan ketenagakerjaan dan penyelesaian konflk hubungan industrial. Dan sektor yang terkena imbas paling parah dari diterapkannya prinsip pasar kerja fleksibel ini adalah sektor TSK (tekstil, sandang, kulit), termasuk semester satu tahun ini presentase PHK di sektor TSK berada diangka tertinggi yaitu 48%, hal ini karena sektor tersebut termasuk paling padat karya, dan buruh-buruhnya termasuk kategori tidak terampil 3

sehingga tidak memliki posisi tawar yang kuat dan mudah bagi pihak perusahaan melakukan PHK untuk kemudian mencari buruh lain, lewat cara-cara outsourcing. Dan salah satu catatan yang penting pada dinamika semester 1 tahun 2007, adalah, saat ini sektor TSK menjadi sasaran paling empuk untuk penerapan FLM, jumlah buruh tidak tetap disektor tersebut bertambah jauh lebih pesat dibanding sektor lainnya. Dan seringkali cara yang digunakan oleh pengusaha untuk merekrut pekerja tidak tetap tersebut adalah dengan cara melakukan PHK terhadap buruh tetap dengan banyak alasan untuk kemudian merekrut kembali tenaga kerja dengan status tidak tetap. Hal ini marak terjadi, karena proses PHK relatif mudah dan kewajiban pesangon pun kerapkali tidak dibayarkan sesuai ketentuan. Karena itu Serikat Buruh sektor TSK saat ini menghadapi kerja-kerja yang sangat berat, untuk terus membangun dan melaksanakan strategi yang lebih efektif, sambil terus berusaha membangun kesadaran dan partisipasi buruh anggotanya.

Aksi dan tuntuan buruh Pemerintah yang semakin antusias dalam menerapkan pola ekonomi liberal melalui sederet kebijakan, menyebabkan proteksi terhadap industri nasional semakin hilang, sehingga menyebabkan jumlah kebangkrutan industri nasional dan pengangguran semakin meningkat. Hal ini disebabkan baik oleh jumlah lapangan kerja formal yang semakin menyempit, juga karena jumlah PHK yang semakin meningkat. Pemerintah juga, tetap mempertahankan politik upah murah dan fleksibilitas pasar kerja, agar investasi asing terus masuk dan menciptakan pertumbuhan ekonomi serta menciptakan lapangan kerja formal. Itulah yang menjadi jawaban politik pemerintah sampai saat ini, dan jika kita melihat kembali realitas, akibat yang timbul dari kebijakan pemerintah tersebut adalah, upah riil kaum buruh yang semakin rendah, lebih memudahkan pengusaha untuk menyewa dan memecat buruhnya dan mencabut jaminan politik atas keberlangsungan produksi dari para investor asing. Namun inilah jawaban politik pemerintah sampai saat ini, sehingga sudah jelas bahwa negara lebih berpihak pada pengusaha daripada buruh. Dan bagi gerakan buruh kondisi ini adalah sebuah tantangan untuk bangkit dan bersatu membangun strategi perlawanan yang efektif.

Dinamika aksi pada bulan Januari sampai Juni 2007 terjadi dengan rima yang fluktuatif. Jumlah aksi semester 1, 2007 ini sebanyak 121 aksi dengan jumlah peserta aksi sekitar 117.000 orang, dan ini adalah jumlah yang sangat besar, mungkin jumlah aksi buruh adalah jumlah aksi paling besar dibandingkan dengan jumlah aksi gerakan sosial lainnya; walau demikian perlu diakui sebagai kritik, bahwa aksi-aksi tersebut secara nasional belum mampu dengan baik mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik, akan tetapi aksi-aksi di tingkat daerah sejauh pengamatan kami, lebih mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik ditingkatnya. Aksi-aksi yang dilakukan oleh Serikat Buruh tersebut, menunjukan bahwa buruh sebagai gerakan tetap mampu melakukan resistensi terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan kaum buruh. Angka pada dinamika aksi semester satu tahun 2007 ini, memperlihatkan jumlah aksi tertinggi terjadi pada bulan Mei, dengan jumlah aksi sebanyak 28 kali dan jumlah buruh yang terlibat aksi sekitar 50 ribu lebih, sementara jumlah aksi terkecil terjadi pada bulan april (12 kali), dan keterlibatan buruh dalam aksi terkecil terjadi pada bulan Februari (7071). (lihat grafik 3 dan 4) Grafik 3
Grafik Jumlah Aksi Januari - Juni 2007
30 25 20 15 10 5 0 Januari Februari Maret April Mei Juni 19 17 12 Jumlah Aksi 24 21 28

Sumber : Kliping berita perburuhan, diolah oleh LIPS

Grafik 4

Grafik Jumlah Buruh Peserta Aksi Januari - Juni 2007


60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 Januari Februari Maret April Mei Juni 9350 7071 23400 12159 13760 Jumlah Buruh 51605

Sumber : Kliping berita perburuhan, diolah oleh LIPS Berbagai aksi buruh pada semester pertama tahun ini, banyak dipicu oleh persoalan upah yang rendah, termasuk tunjangan-tunjangan bagi buruh yang tidak dipenuhi oleh pengusaha, pada grafik 5 bisa kita lihat aksi yang muncul karena persoalan upah dan tunjangan ini menduduki peringkat tertinggi (24,66%) kemudian disusul oleh aksi yang menuntut hak pesangon bagi buruh yang telah ter-PHK yang kerap lambat atau bahkan tidak diterima oleh buruh. Selanjutnya pada peringkat ketiga, aksi dipicu oleh praktik PHK yang seringkali dilakukan sepihak oleh pengusaha tanpa memenuhi ketentuan hukum dan hak-hak buruhnya. Sedangkan UU atau kebijakan yang dibuat pemerintah menempati peringkat ke empat, kebijakan pemerintah yang baru yang banyak memicu aksi penolakan dari buruh terutama adalah mengenai RPP pesangon. Status kerja yang semakin dibuat lentur, perbaikan manajemen perusahaan dan Jaminan sosial tenaga kerja menduduki peringkat selanjutnya.

Grafik 5. Jenis Tuntutan dan Pemicu Aksi

T u n tu ta n A k s i
Ja ms o s te k 3 ,5 2 % Pe r b a ika n L a in n y a 1 8 ,3 1 % Ma n a je me n 4 ,9 3 % Up a h /Tu n ja n g a n S ta tu s K e r ja 2 4 ,6 5 % 7 ,0 4 % To la k UU/K e b ija ka n Pe me r in ta h 1 0 ,5 6 % PHK 1 2 ,6 8 % Pe s a n g o n 1 8 ,3 1 %

Sumber : Kliping berita perburuhan, diolah oleh LIPS Sektor paling banyak melakukan aksi pada semseter pertama tahun ini adalah sektor TSK (tekstil, sandang, kulit), dan persoalan yang paling banyak memicu aksi tersebut adalah persoalan pesangon yang kerap kali ditangguhkan terlalu lama oleh pihak perusahaan dengan berbagai alasan dan persoalannya. Seperti aksi berkelanjutan yang dilakukan ribuan mantan buruh PT. Nada Tekstile Indonesia (NTI) selama tiga tahun yang akhirnya membuahkan hasil tentang kepastian pembayaran pesangon bagi sekitar 1.070 mantan buruhnya sebesar 13 miliar rupiah. Yang akan dibayarkan setengahnya setelah pelelangan pertama aset perusahaan dilakukan dan setengahnya lagi akan dibayarkan pasca pelelangan kedua, seperti yang dikatakan oleh kuasa hukum PT. NTI dan dilansir oleh beberapa media. Aksi berkelanjutan selama tiga tahun yang dilakukan oleh sekitar seribu mantan buruh PT. NTI tentu saja memakan banyak energi, dan sudah begitu banyak pengorbanan yang dilakukan oleh para mantan buruh PT. NTI tersebut untuk memperoleh hak-haknya atas PHK yang telah dilakukan oleh pengusaha. Namun masih banyak kisah penantian para mantan buruh yang terus melakukan aksi secara berkelanjutan selama bertahun-tahun untuk menuntut hak-hak atas PHK yang sampai saat ini belum juga membuah hasil atau kepastian atas pemenuhan hak-hak mereka.

Grafik 6. Jumlah Buruh beraksi berdasarkan sektor 7

Jumlah Buruh Beraksi Berdaasrkan Sektor


Lain - Lain 3,99% Pertanian, Peternakan & Perkebunan 1,71% RTMM 1,79% Perdagangan, Umum & Jasa LEM 2,38% 6,56% TSK 31,50%

KEP 28,28%

Perkayuan dan Hutan 8,47%

Serikat Buruh 15,31%

Sumber : Kliping berita perburuhan, diolah oleh LIPS Adakah kenaikan upah riil saat ini? Apakah ada kenaikan upah riil saat ini, ketika harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, BBM, beras, biaya sekolah, kesehatan terus mengalami kenaikan? Sedangkan kenaikan pendapatan buruh lebih rendah daripada kenaikan harga barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut. Karena ternyata seperti dilansir oleh beberapa media, meskipun inflasi yang tercatat oleh BPS selama setahun terakhir telah cukup rendah, antara 6-7 persen, namun upah riil atau upah nominal yang telah disesuaikan dengan inflasi yang diperoleh masyarakat masih terus mengalami penurunan. Penurunan tersebut bahkan terjadi hampir di semua sektor dan kegiatan ekonomi yang tercatat dalam laporan BPS. Antara Maret 2006Maret 2007, upah riil buruh tani menurun 0,2 persen. Penurunan upah riil juga terjadi pada buruh industri, yaitu minus 1,2 persen, buruh bangunan (minus 2 persen), pembantu rumah tangga (minus 0,5 persen), dan potong rambut wanita (minus 2,5 persen). Penurunan upah riil untuk kelompok rakyat kecil di atas semakin menunjukkan bahwa nilai tambah yang diciptakan ekonomi melalui pertumbuhan GDP sekitar 5,5 persen selama tahun 2006 hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, yang semakin memperbesar kesenjangan (gap) antara Si Kaya dan Si Miskin. Dan dari fakta ini saja, sulit untuk membantah bahwa kondisi buruh Indonesia semakin buruk. Fokus Dinamika Gerakan Buruh

Sistem Asuransi PHK Asuransi PHK mutlak, dan pemerintah harus turut berkontribusi dalam pembayaran preminya. Hubungan buruh dan pengusaha seharusnya mampu terbangun sebagai sebuah hubungan yang harmonis, saling memenuhi hak dan kewajibannya. Namun dalam realitasnya hubungan tersebut seringkali berjalan tidak harmonis, karena salah satu pihak lebih mementingkan haknya dari pada memenuhi kewajibannya. Maka konflikpun terjadi, dan seringkali konflik yang terjadi adalah akibat dari pihak pengusaha yang tidak memenuhi kewajibannya kepada buruh, dan untuk mengatasi konflik tersebut, PHK adalah salah satu senjata paling ampuh bagi pengusaha untuk mematikan tuntutan buruh akan haknya. Hal seperti ini selalu terulang dengan rima yang fluktuatif tiap tahunnya, dan kondisi ini jelas menunjukan bahwa pihak buruh berada dalam posisi yang lemah, dan pengusaha dapat dengan mudah melakukan PHK sepihak tanpa memenuhi hak-hak buruh yang ter-PHK, salah satunya adalah hak akan pesangon. Pada awal semester 2007, berkembang isu bahwa pemerintah akan menangani jaminan PHK dengan cara menggunakan sistem asuransi PHK. Jaminan PHK tersebut meliputi, jaminan pesangon, perhargaan masa kerja, dan hak-hak lain bagi pekerja yang ter-PHK. Dan kalangan Serikat Buruh menanggapi hal tersebut dengan menuntut agar sistem asuransi PHK tersebut dijalankan secara utuh melalui kontribusi pemerintah dalam pembayaran premi asuransi. Itu artinya kalangan Serikat Buruh menuntut agar usulan iuran 2,5-5 persen dari gaji pekerja untuk pembayaran premi asuransi PHK ditiadakan untuk kemudian ditanggung oleh pemerintah. Keberadaan usul tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah masih enggan menerapkan sistem asuransi PHK secara utuh, dan tidak mau berkontribusi dalam pembayaran preminya, dengan cara hanya membebankannya pada buruh dan pengusaha. Di Jepang, pemerintahnya menanggung iuran premi asuransi PHK sebesar 25,4 persen dari 26,9 persen gaji buruh perbulan. Dan jika saja pemerintah Indonesia mau meniru hal tersebut, pemerintah Indonesia menerapkan ini dengan cara meredistribusi Deviden PT. Jamsostek dan penerimaan negara dari penerimaan Pajak Penghasilan, sebagai pemasukkan negara yang berasal dari buruh. Catatan: Strategi perlawanan terhadap FLM 9

Semua gambaran kecil di atas menunjukan bahwa kondisi gerakan buruh di Indonesia sedang menghadapi tantangan yang sangat berat dan perlu segera dijawab oleh semua elemen gerakan buruh. Perubahan sistem kerja yang menjadi lebih fleksibel mendorong terjadinya angkatan kerja yang semakin pendek dan pekerjaan menjadi lebih heterogen. Kondisi ini semakin mengancam loyalitas keanggotaan buruh dalam SB dan bisa memicu fragmentasi di tingkat basis akibat kompetisi antar SB dalam memperebutkan anggota dari pekerja tetap yang jumlahnya semakin sedikit, yang pada akhirnya akan mengancam eksistensi SB dan semakin memarjinalkan posisinya. Serikat Buruh harus segera menemukan bagaimana caranya membangun strategi bersama untuk menghadapi semakin gencarnya praktik-praktik FLM di Indonesia. Dan salah cara yang harus segera ditempuh oleh SB adalah merubah model konstituen tradisonal yang hanya menerima buruh tetap sebagai anggotanya, dan segera menemukan model pengorganisasian buruh tidak tetap yang paling tepat dengan kondisi di tingkat perusahaan masing-masing. Selain SB harus melakukan perubahan secara mendasar dalam kaitannya dengan konstitusi organisasi, SB juga perlu melakukan perubahan secara mendasar dalam menyusun agenda dan strategi jangka panjang agar lebih bisa menghadapi dampak dari diterapkannya FLM untuk kemudian melakukan perlawanan. Dan salah satu perubahan strategi jangka panjang yang perlu didorong pelaksanaannya adalah SB perlu melakukan kerjasama-kerjasama antar SB sehingga lebih solid untuk kemudian mengembangkan kerjasama dengan gerakan-gerakan sosial lainnya, seperti gerakan petani, nelayan, dlsbnya. Ini artinya SB, merubah basis gerakannya dari gerakan kelas tunggal menjadi gerakan multi kelas yang lebih bersifat jaringan daripada organisasi, dengan harapan dari proses kerjasama-kerjasama lintas gerakan yang dilakukan ini akan mampu mendorong peningkatan kapasitas dan semakin terbangunnya solidaritas dan penyatuan dari berbagai elemen gerakan sosial untuk secara bersama-sama menghadapi tekanan modal ditingkat global. Namun apa yang menjadi strategi diatas hanya bisa terwujud apabila SB mampu mengatasi dengan baik berbagai persoalan-persoalan internalnya, terutama fragmentasi di SB, dan kepengurusan SB yang oligarkhis- untuk kemudian membangun demokratisasi dan kerjasama untuk kaum buruh agar bisa memperoleh apa yang menjadi haknya. Terakhir saya ingin menyampaikan, bahwa refleksi atas kerja-kerja gerakan buruh selama ini, dan segala perubahan yang terjadi sangatlah diperlukan, dengan terus 10

mengupayakan proses diskusi, tukar pikiran, dan mengupayakan konsolidasi. Terimakasih.

11

You might also like