You are on page 1of 12

TUGAS AKHIR ILMU UKUR WILAYAH

DISUSUN OLEH : 1. Riska Dwi Wahyuningtyas 2. Pijar Eko Saktiaji 3. Amalia Sagita 4. M. Sigit Gunawan 5. Happy Prayogo Sarro 6. Nur Rahma Refilia 7. Yetti Ariani 8. Pahlevi Manahara 9. Nurul Choerunnisa (F14090029) (F14090057) (F14090082) (F14090083) (F14090085) (F14090086) (F14090099) (F14090138) (F14090143)

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

I.

PENDAHULUAN Topografi berasal dari bahasa yunani, topos yang berarti tempat dan graphi

yang berarti menggambar. Peta topografi memetakan tempat-tempat dipermukaan bumi yang berketinggian sama dari permukaan laut menjadi bentuk garis-garis kontur, dengan satu garis kontur mewakili satu ketinggian. Peta topografi mengacu pada semua ciri-ciri permukaan bumi yang dapat diidentifikasi, apakah alamiah atau buatan, yang dapat ditentukan pada posisi tertentu. Oleh sebab itu, dua unsur utama topografi adalah ukuran relief (berdasarkan variasi elevasi axis) dan ukuran planimetrik (ukuran permukaan bidang datar). Peta topografi menyediakan data yang diperlukan tentang sudut kemiringan, elevasi, daerah aliran sungai, vegetasi secara umum dan pola urbanisasi. Peta topografi juga menggambarkan sebanyak mungkin ciri-ciri permukaan suatu kawasan tertentu dalam batas-batas skala. Peta topografi merupakan peta yang menggambarkan ketidakrataan

permukaan bumi. Peta topografi ditandai dengan adanya garis-garis kontur pada peta, yaitu garis imajiner yang menghubungkan titik-titik di permukaan bumi yang mempunyai elevasi yang sama. Garis kontur tidak terputus, tidak terpotong, tidak bercabang, dan tegak lurus arah lereng. Peta topografi dapat juga diartikan sebagai peta yang menggambarkan kenampakan alam (asli) dan kenampakan buatan manusia, diperlihatkan pada posisi yang benar. Selain itu peta topografi dapat diartikan peta yang menyajikan informasi spasial dari unsur-unsur pada muka bumi dan dibawah bumi meliputi, batas administrasi, vegetasi dan unsur-unsur buatan manusia.

Pengukuran dilakukan dengan membuat kerangka titik-titik control (utama) terlebih dahulu, selanjutnya dari titik-titik control tersebut dibidik titik-titik detilnya. Titik-titik tersebut merupakan titik-titik yang menunjukkan perubahan bentuk lahan dan atau titik yang dianggap penting. Peta yang diharapkan dihasilkan merupakan peta dasar yang memberikan informasi tentang jalan, sungai, dan lain-lain.

II.

TUJUAN

Praktikan mampu menerapkan semua yang didapatkan selama praktikum terutama metode controlling point untuk pemetaan topografi (kontur) suatu wilayah.

III.

ALAT DAN BAHAN

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum kali ini diantaranya: Theodolite Target rod Kompas Peta ukur Unting-unting Patok Payung Tripod

IV.

METODE PRAKTIKUM

1.

Membuat kerangka titik-titik control sebagai titik-titik utama berupa suatu segi banyak di dalam areal yang akan dipetakan.

2.

Melakukan set-up alat, mengenolkan horisontalnya kea rah utara lalu membidik titik BM.

3. 4.

Membaca sudut horisontal dan sudut vertikal. Bila pengukuran pada satu titik control telah selesai, alat dipindahkan ke titik kontrol yang lain.

5. 6.

Melakukan pengukuran titik detil. Melakukan perhitungan koordinat x, y, dan z (elevasi) untuk setiap titik ukur.

Pembagian tugas 1. Riska Dwi Wahyuningtyas 2. Pijar Eko Saktiaji 3. Amalia Sagita 4. M. Sigit Gunawan 5. Happy Prayogo Sarro 6. Nur Rahma Refilia 7. Yetti Ariani 8. Pahlevi Manahara 9. Nurul Choerunnisa : Pemegang target rod : Pemegang target rod : Pencatat data : Set up alat : Pemegang target rod : Pencatat data : Pembaca theodolite : Pemegang target rod : Pembaca theodolite

V.

HASIL

Peta Kontur 2D

Peta Kontur 3D

VI.

PEMBAHASAN

Praktikum kali ini dilaksanakan di area sekitar kandang Fakultas Peternakan. Setiap kelompok kemudian melakukan set up alat di tiga titik yang berbeda secara menyebar. Kemudian setiap kelompok menentukan titik utara, membidik BM, dan menentukan controlling point dan membidik titik-titik detil sebanyak mungkin.

Berdasarkan hasil praktikum akhir ilmu ukur wilayah kali ini, didapatkan peta kontur yang topografinya sesuai dengan topografi wilayah aslinya. Wilayah asli memiliki elevasi yang menurun di tengah, kemudian naik di bagian pinggirnya seperti yang ditunjukkan pada peta kontur 2 dimensi yang dipinggirnya semakin merapat dan di bagian tengahnya semakin renggang, kemudian pada peta kontur 3 dimensi dapat dilihat langsung dari ketinggian yang tampak pada peta tersebut. Di bagian yang menurun terdapat kolam sehingga pada peta kontur 2 dimensi dan 3 dimensi tampak bagian yang menjorok ke dalam, walaupun kolam yang sebenarnya lebih luas.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa praktikum ini cukup berhasil. Setelah mendapatkan data pengukuran wilayah dan menggambarkan data tersebut dalam bentuk peta kontur, kemudian dianalisis apakah wilayah tersebut cocok dijadikan sebuah bendungan atau tidak.

Bendungan (dam) adalah konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi waduk, danau, atau tempat rekreasi. Seringkali bendungan juga digunakan untuk mengalirkan air ke sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air. Bendungan merupakan tempat penampungan air dalam skala besar, sekaligus sebagai penahan air. Bendungan dapat berupa timbunan urugan homogen. Dalam pembuatan

bendungan harus memperhatikan persyaratan keamanan yang ditentukan, runtuhnya suatu bendungan tipe urugan tanah, biasa terjadi diakibatkan timbulnya gaya-gaya yang terdapat di dalam timbunan yaitu jalannya aliran atau rembesan air, sebagian kejadian ini diakibatkan pada saat waktu pengisian air tampungan bendungan dan waktu pengoperasian pertama dari bangunan bendungan. Untuk memenuhi kriteria keamanan desain bendungan, maka proses desain, konstruksi, dan modifikasi dari timbunan harus memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut : 1. Badan bendungan, fondasi, dan abutmen bendungan harus stabil terhadap berbagai konfigurasi beban statis maupun dinamis 2. Gaya seepage yang terjadi di bawah pondasi, abutmen, dan timbunan harus dikontrol untuk memastikan keamanan saat operasi bendungan. Tujuan dari pengontrolan ini adalah untuk mencegah uplift force yang berlebih, piping, dan erosi terhadap inti bendungan. 3. Freeboard yang tersedia harus mampu mencegah overtopping air melewati bendungan termasuk settlement dari pondasi dan timbunan. 4. Spillway dan kapasitas outlet harus mampu mencegah overtopping air yang mungkin terjadi melewati timbunan bendungan.

Gambar 2. Safety factor untuk bendungan Earth Dams Bendungan urugan tanah dibangun dari timbunan tanah yang memenuhi persyaratan bendungan yang diambil dari borrow area sekitar lokasi bendungan. Tanah untuk urugan bendungan ini dipadatkan per lapisan hingga memenuhi kepadatan yang diizinkan (biasanya 92% 97%).

Gambar 2. Tipe Earth-Dams 2.4.1.2 Rock-Fill Dams Rock-fill dams merupakan bendungan yang tersusun dari bongkahan-bongkahan batu yang saling mengunci dengan inti yang kedap air. Inti dari bendungan ini dapat berupa tanah kedap air yang memiliki koefisien rembesan (k) yang kecil. Ada 3 bagian utama dari rock-fill dams ini, yaitu : urugan batu utama, inti kedap air, dan bagian pendukung lainnya seperti instrumentasi bendungan. Inti kedap air berfungsi untuk menahan laju rembesan yang terjadi pada tubuh bendungan. Material isian untuk inti ini biasa terdiri dari jenis tanah clay/silty clay/clayey silt yang memiliki koefisien rembesan (k) yang relative kecil. Terdapat beberapa ketentuan material yang harus dipenuhi dalam pembangunan sebuah bendungan, diantaranya yaitu kepadatan inti (core) dari bendungan harus 90% (dry 90%). Kriteria teknis lainnya yang harus dipenuhi untuk sebuah bendungan tipe urugan adalah Safety Factor (SF). Penurunan / settlement pun dibatasi sebesar 1-2% dari tinggi bendungan.

Gambar 2. Tipe Rock-Fill Dams Sebuah bendungan urugan (earth-fill dan rock-fill) mempunyai beberapa kemungkinan kegagalan diantaranya adalah overtopping, slope failure, sliding, erosi internal, dan erosi permukaan. 2.4.2 Kemiringan Timbunan

Desain kemiringan timbunan bendungan tergantung dari karakter material timbunan yang tersedia, kondisi tanah dasar, dan ketinggian rencana dari timbunan bendungan. Untuk stabilitas terhadap gaya seepage, biasanya ditambahkan selimut kedap air di bagian hulu (upstream) atau penambahan drainase horizontal di bagian hilir (downstream). Kemiringan lereng di bagian hulu (upstream) dapat bervariasi dari 2:1 sampai 4:1, tapi pada umumnya untuk menjamin stabilitas, digunakan kemiringan 2,5:1 atau 3:1. Kemiringan yang relative rata di bagian hulu, biasanya dimaksudkan untuk pengganti cara perlindungan lereng dengan menggunakan impervious material. Sedangkan untuk kemiringan timbunan di bagian hilir (downstream), pada umumnya menggunakan kemiringan 2:1 jika terdapat impervious zone di downstream, dan 2,5:1 jika keseluruhan timbunan adalah impervious.

Gambar 2. Kemiringan Timbunan

Wilayah yang dijadikan tempat praktikum tersebut cocok dijadikan bendungan karena memiliki dua elevasi yang sama.

VII.

KESIMPULAN

Pada praktikum tugas akhir kali ini, praktikum dapat dikatakan berhasil karena praktikan mampu menerapkan materi yang didapatkan selama praktikum Ilmu Ukur Wilayah terutama metode controlling point untuk pemetaan topografi (kontur) suatu wilayah. Kemudian dari data-data yang diperoleh setelah pengukuran, dapat digambarkan peta kontur dari wilayah tersebut. Kemudian setelah dianalisis, wilayah tersebut cocok untuk dijadikan bendungan karena memiliki elevasi yang sama.

VIII. DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2010. Pemetaan Topografi. [terhubung berkala]

http://www.geoscansurvey.com/PT_Geoscanner_Indonesia1/Layanan_Kami_Pemetaan_Topografi.html [4 Juni 2011] Winniyarti. 2009. Pemetaan Topografi. [terhubung berkala] [4 Juni

http://cwienn.wordpress.com/2009/06/17/pemetaan-topografi/ 2011] Aryansah. 2009. Bendungan. [terhubung

berkala]

http://aryansah.wordpress.com/2009/10/22/bendungan-sebuah-sub-babtugas-akhir/ [2 Juni 2011] [Anonim]. 2008. Bendungan. [terhubung berkala]

elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/.../bab7-bendungan.pdf - Similar [2 Juni 20011]

You might also like