You are on page 1of 168

Hukum Bekerja di Money Changer

Publikasi: 17/03/2005 13:56 WIB Assalamualaikum wr. wb. Ustadz, saya seorang mahasiswi semester akhir yang sedang mencari pekerjaan untuk sambilan. Saya mendapat tawaran bekerja di money changer. Hanya saja saya belum tahu bagaimana sistem dan model bekerja di sana serta bagaimana hukumnya. Saya berharap bisa bekerja dan tetap berada di jalur yang benar, jadi bukan semata-mata karena uang. Mohon diberi penjelasan. Jazakallah khoir. Wassalamualaikum wr. wb. Endang sulistiyowati Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Hukum dasar dalam bisnis tukar menukar mata uang adalah halal. Sehingga bekerja pada tempat penukaran mata uang hukumnya pun halal juga. Bila memenuhi aturan syariah dan tidak melakukan praktek-praktek ribawi. Dalam masalah penukaran mata uang ini, yang diharamkan adalah tukar menukar antara satu mata uang yang sama. Sedangkan yang terjadi di dalam sebuah money changer adalah penukaran atas dua mata uang yang berbeda. Sehingga dalam hal ini tidaklah termasuk transaksi yang diharamkan. Syeikh Faishal Maulawi, pimpinan Al-Jamaah Al-Islamiyah dan seorang hakim syariah di Libanon mengatakan bahwa bisnis tukar menukar mata uang adalah halal, ketika yang dipertukarkan adalah dua jenis mata uang yang berbeda. Seperti menukar dolar Amerika dengan Frank Perancis, atau antara poundsterling Inggris dengan Riyal Saudi, atau antara Dinar Kuwait dengan Lira Libanon dan lainnya. Maka transaksi yang demikian disebut dengan sharf atau penukaran mata uang asing. Dan bentuk bisnis ini hukumnya dihalalkan oleh seluruh ulama. Apalagi mengingat kepentingannya untuk transaksi di tengah masyarakat dunia. Namun bila yang dipertukarkan hanya antara satu mata uang saja, maka hukumnya dilarang. Jadi tidak boleh menukar mata uang mark Jerman dengan mark Jerman juga kecuali dengan nilai yang sama juga. Haram hukumnya bila dengan adanya perbedaan nilai, baik lebih atau kurang. Bila yang terjadi seperti itu, maka hukumnya adalah riba yang diharamkan.

Dalam kondisi ini, yang dibenarkan hanyalah peminjaman yang bila dikembalikan pada saat jatuh temponya, tidak boleh ada kelebihan atau kekurangan. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Apakah Peperangan Dibenarkan dalam Islam?


Publikasi: 17/03/2005 13:19 WIB Ustaz, saya mau tanya apakah Islam mengajarkan peperangan? Karena saya lihat sekarang ini Islam identik dengan kekerasan khususnya yang terjadi pada para kaum mujahid di Indonesia sekarang ini. Hambali Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Kalau mau jujur dikatakan bahwa peperangan itu dibenarkan di dalam setiap agama, asalkan dalam rangka membela kebenaran, mempertahankan diri dan kehormatan. Bukan pada tempatnya bila dikatakan bahwa peperangan itu bertentangan dengan agama. Dan bukan sikap yang benar bisa seseorang diam saja ketika dizalimi, disakiti, dirampas hakhaknya atau pun dijatuhkan kehormatannya. Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dizalimi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (QS Al-Hajj: 39-40).

Dan pada sisi lain, umat Islam punya kewajiban untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Kalau kemungkaran merajalela dan memiliki kekuatan yang mampu memaksakan kehendaknya, adalah menjadi kewajiban umat Islam untuk menghadapinya dengan kekuatan yang setimpal. Bila tidak, maka angkara murka akan menjadi penguasa. Dan kondisi ini tidak bisa dibenarkan dalam pandangan Islam. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran: 104) Namun prinsipnya, umat Islam diharamkan menghunuskan pedang terlebih dahulu kepada non muslim, selama tidak diperangi. Sebab Islam adalah agama perdamaian dan kasih sayang. Pantang buat umat Islam melakukan kekerasan, pembunuhan, penghilangan nyawa manusia serta penjajahan. Apalagi bila lawannya pun meminta perdamaian. Allah SWT mewajibkan umat Islam untuk melakukan perdamaian dengan musuh-musuhnya, bila mereka condong untuk berdamai. Sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Anfal: 61) Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Jodoh Seseorang itu Sebenarnya Ada Berapa?


Publikasi: 17/03/2005 10:24 WIB Assalamualaikum wr. wb. Ustadz, yang saya ingin tanyakan, bagaimana hukumnya jodoh dalam Islam, yang sudah ditakdirkan sejak dalam kandungan? Sebenarnya jodoh itu hanya satu atau bisa lebih dari satu? Contohnya seperti banyak di kalangan selebriti yang nikah lalu cerai lagi, tapi pada akhirnya mereka menikah dan langgeng hingga mati.Yang manakah jodoh sebenarnya suami/istri yang pertama dinikahi lalu dicerai atau yang terakhir dinikahi hingga mati? Kalau salah satunya bukan jodohnya, lalu mengapa mereka menikah juga? Apakah ini juga merupakan takdir dari Allah s.w.t. Atas jawabannya terima kasih.

Wassalamualaikum. wr. wb. Nia Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Pengertian tentang masalah jodoh memang seringkali membuat rancu cara berpikir kita. Seolah-olah bila disebut kata 'jodoh', maknanya adalah pasangan seumur hidup hingga mati dan jumlahnya hanya satu. Padahal yang namanya jodoh atau pasangan hidup itu mungkin saja tidak harus seumur hidup dan jumlahnya bisa saja bukan hanya satu. Jadi kalau ada seorang laki-laki menikahi wanita, dikatakan bahwa mereka menjadi jodoh atau pasangan. Namun ketika mereka bercerai, dikatakan bahwa perjodohan mereka sudah berakhir. Dan bila laki-laki itu menikah lagi dengan wanita lainnya, maka pasangan baru itu adalah jodoh. Dan begitulah seterusnya. Semua kejadian itu sudah ada dalam lauhil mahfuz, tempat di mana dituliskan semua kejadian yang akan terjadi. Namun kita sebagai manusia tidak pernah tahu seperti apakah bentuk serta ketentuannya. Juga kita tahu apakah Allah akan benar-benar menjalankannya ataukah akan merubahnya. Semua itu adalah urusan ghaib dan hanya menjadi rahasia Allah semata. Sama sekali kita tidak boleh mengatakan bahwa kalau semua sudah ditakdirkan. lalu buat apa berusaha. Sama sekali tidak. Cara berpikir demikian adalah cara berpikir yang keliru, rancu dan sesat. Sebab Allah memerintahkan kita untuk bekerja, berikhitar dan berusaha, termasuk dalam memilih dan mencari jodoh yang terbaik. Karena ada perintah, berarti salah besar bila kita hanya diam saja. Dan Katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS At-Taubah: 105) Bila masalah ini kita perlebar cakupannya, berlaku juga dalam masalah ajal seseorang. Yakni ajal seseorang memang telah ditetapkan oleh Allah SWT, namun tidak ada seorang pun yang tahu kapan akan terjadi. Sementara Allah SWT sendiri memerintahkan seseorang untuk menjaga kesehatan dan keselamatan dalam hidupnya. Bahkan pembunuhan atau penghilangan nyawa manusia. Salah besar bila seseorang menantang maut semaunya sendiri tanpa memperhatikan keselamatan nyawanya, karena beralasan bahwa urusan ajal adalah urusan Allah SWT.

Allah melarang seseorang menceburkan diri ke dalam jurang kehancuran, sebagaimana firman-Nya: Dan belanjakanlah di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berbuat baik. (QS Al-Baqarah: 195) Demikian, semoga bisa dipahami dengan baik. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Mengkreditkan Barang dengan Keuntungan 200%


Publikasi: 17/03/2005 09:57 WIB Assalamualaikum wr. wb. Ustadz ibu saya seorang penjual baju, beliau membeli baju dari pasar grosir lalu dijual kembali kelingkungan ibu-ibu disekitar rumah, beliau mengkreditkannya dengan mematok harga dua kali lipat dari harga beli di pasar, tetapi kalau tunai beliau mengambil untung lima puluh persen dari harga belinya, apakah itu halal? Karena beliau tidak memberitahukan harga belinya di pasar grosir kepada pembeli, tapi para ibu-ibu (pembeli) setuju dan tidak merasa keberatan dengan harga tersebut. sebelumnya terimakasih. Wassalamualaikum wr. wb. Syarif Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Apa yang dilakukan oleh ibu anda hukumnya halal dalam pandangan syariat Islam. Bentuk jual beli seperti itu disebut dengan bai' bits-tsaman ajil atau bai' bit-taqshid. Yaitu menjual barang dengan pembayaran ditunda dan dengan konsekuensi harganya menjadi lebih mahal dari pada dibayar dengan tunai.

Dalam hal ini tidak ada batasan maksimal keuntungan yang boleh didapat oleh ibu Anda. Asalkan kedua belah pihak suka sama suka ('an taradhin) maka keuntungan itu halal. Bahkan meski pun di atas 100% dari harga dasarnya. Yang diharamkan adalah bila barang yang dijual itu cukup langka padahal menjadi hajat hidup orang barang. Lalu mentang-mentang ada kesempatan, pedagang menaikkan margin keuntungan setinggitingginya hingga masyarakat menderita karena tidak mampu membeli. Dalam kondisi yang demikian, pemerintahan Islam berhak ikut campur tangan dalam masalah tas'ir atau ceiling price ini. Misalnya pada barang-barang kebutuhan pokok (sembako) dan sejenisnya. Namun di luar kasus seperti itu, setiap pedagang berhak menentukan harga barang dagangannya serta margin keuntungannya sendiri. Semua itu dibenarkan asalkan sejak awal ditetapkan harganya secara pasti, tidak boleh berubah-ubah lantaran masa cicilannya diperpanjang. Misalnya, satu stel baju dijual dengan harga 200 ribu rupiah dengan masa cicilan selama 3 bulan. Maka sejak disepakatinya harga itu, tidak boleh berubah lagi meski pun misalnya bisa dibayarkan dalam waktu hanya 2 bulan, juga tidak boleh diubah bila cicilannya belum lunas lebih dari 3 bulan. Bila berubah harganya, maka disitulah letak ribanya yang telah diharamkan oleh Allah SWT. Juga tidak ada keharusan bagi seorang penjual untuk menyebutkan modalnya kepada calon pembeli. Hal itu sudah menjadi kesepakatan dalam dunia perdagangan dan agama Islam membenarkannya juga. Bahwa ada pedagang tertentu yang mau terbuka kepada pelanggannya, hal itu boleh-boleh saja. Tetapi syariat Islam -sekali lagi- tidak pernah mengharuskan seorang pedagang membuka 'rahasia perusahaan' dengan memberitahukan modal barang jualannya. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Keluarga Saya Punya Indera Keenam


Publikasi: 16/03/2005 08:45 WIB Assalamu'alaikum wr. wb. Ustadz, keluarga saya merasa memiliki indra ke-6. Belakangan ini beliau sering menangani kasus hilang anak, kata beliau itu cuma kebetulan saja benar bahwa anak tersebut ditemukannya di tempat di mana beliau sebutkan. Lama kelamaan beberapa ibu yang anaknya hilang datang ke rumah keluarga saya tersebut untuk menanyakan hal yang serupa, di mana mereka dapat menemukan anaknya.

Masih berhubungan dengan hal tersebut, beliau (keluarga saya tersebut) menonton metode pengobatan alternatif lewat media televisi (namanya kalau tidak salah Reiki), dan beliau tertarik untuk mengasah indra ke-6-nya untuk mempelajari ilmu pengobatan Reiki tersebut dengan niat semata-mata untuk menolong orang lain. Menurut Ustaz bagaimana Islam mengatur hal tersebut? Jawaban Ustaz sangat membantu bagi beliau karena beliau tidak ingin niat baik untuk menolong orang lain terlaksana akan tetapi Islam tidak membenarkannya. Jazakumullah khair. Wassalam.. Tya Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Dalam pandangan syariat Islam, bila ada seorang memiliki kemampuan seperti yang anda sebutkan, ada dua kemungkinan. Pertama, kekuatan itu murni datang dari Allah SWT sebagai karamah kepada hamba-Nya. Kedua, kekuatan itu adalah sihir dengan segala macamnya dan diberikan kepada hamba-Nya dalam rangka ingkar kepada-Nya. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa karamah itu tidak bisa dipelajari, tidak bisa diasah dan datang begitu saja. Seorang yang diberikan karamah oleh Allah SWT tidak punya tombol yang bisa dipencet sewaktu-waktu kapan dia mau. Karamah itu tidak dimiliki tapi diberi begitu saja sebagai wujud kecintaan Allah SWT kepada hamba-Nya. Maka karamah itu tidak akan diberikan kepada hamba-Nya yang tidak menjalankan syariat-Nya, apalagi yang jahil/bodoh dalam ilmu agama. Sebab bagaimana mungkin seorang bisa menjalankan agama Islam dengan baik bila dia sendiri awam dengan ilmuilmu keislaman? Sedangkan sihir adalah pembarian syetan dan jin. Mereka bisa memberikan kemampuan luar biasa kepada siapa saja yang diinginkan sehingga menjadi seorang yang sakti mandraguna. Terkadang sampai bisa melihat hal-hal ghaib, bisa terbang, bisa menghilang, bisa berjalan di atas air dan lain-lainnya. Tentu saja tidak ada makan siang yang gratis, semua pemberian syetan ini harus dibayar mahal, yaitu dengan menggadaikan iman kepada Allah dan serangkaian dosa besar lainnya. Namun bukan syetan kalau tidak pandai dalam membuat penawaran. Bagi mereka, memberikan bonus ekstra di muka kepada calon pelanggan agar pelanggan itu bisa menikmati dulu semua fasilitas adalah hal yang lumrah. Setelah calon pelanggan merasa jatuh hati dan tidak bisa terlepas dari semua fasilitas itu, barulah tagihannya datang plus bunganya. Saat itu nyaris tidak ada pelanggan yang menolak transaksi ini. Maka mulailah para korban tipu daya syetan berajtuhan, sebab mereka pada akhirnya harus membayar mahal semua fasilitas gratis yang sudah mereka nikmati. Tapi iman mereka harus

digugurkan, dosa besar harus diperbanyak dan kemaksiatan harus rajin-rajin dilaksanakan. Semua itu akan sangat efektif bila korban-korbannya adalah orang yang awam dengan syariat Islam. Dengan beragam dalih, syetan akan mengatakan bahwa semua ilmu itu toh digunakan untuk menolong orang lain, atau untuk kepentingan Islam atau untuk ini dan itu. Ketika mereka diminta melakukan banyak syarat, mereka tidak tahu bahwa semua syarat itu pada hakikatnya bertentangan dengan syariat Islam. Misalnya puasa, puasa itu kan memang ajaran agama, tapi kalau puasa itu dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, tentu menjadi haram karena merupakan bid`ah. Dan dosa bid'ah itu diancam dengan neraka. Sementara orang awam akan mengatakan bahwa latihan itu baik kok, karena ada puasanya juga seperti dalam Islam. Pada titik-titik mematikan seperti itulah syetan telah melahap korban-korbannya yaitu mereka yang awam agama. Semoga Allah melindungi kita dari tipu daya licik syetan dengan membekali kita ilmuNya yang tidak pernah habis. Amien. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Kehalalan Uang Komisi Pembelian Barang


Publikasi: 16/03/2005 08:44 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. P' Ustadz yang terhormat. Saya bekerja sebagai koordinator team di suatu perusahaan dengan tugas utama saya adalah untuk mengkoordinir hal-hal untuk pembelian barangbarang keperluan operasi perusahaan, di antaranya mulai dari pembelian komputer, meja kursi lemari, alat-alat tulis sampai keperluan jasa perusahaan, misalnya jasa untuk perawatan gedung, service kendaraan dan lain-lain, Saya ingin menanyakan bilamana saya ditugaskan perusahaan untuk membeli 10 unit komputer dengan spesifikasi yang telah ditentukan perusahaan dengan udget per unit komputernya 5 juta, sedangkan saya bisa mendapatkan komputer tersebut dengan komputer yang lebih tinggi spesifikasinya dengan harga per unitnya 4.5 juta saja, jadi ada selisih kuntungan 500 ribu per komputer,

Halalkah bilamana saya mengambil (selisih dari budget) 500 ribu itu untuk dibagikan kepada team saya yang membeli komputer-komputer tersebut, karena di kuintansinya tetap ditulis 5 juta per unitnya? Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Tazya Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Halal tidaknya sebenarnya sangat ditentukan oleh kesepakatan antara anda dan pihak perusahaan tempat anda bekerja. Bila pihak perusahaan memang membenarkan hal itu, maka kelebihan itu hukumnya halal buat anda. Tapi bila ada ketentuan bahwa kelebihan itu harus dikembalikan kepada pihak perusahaan, maka harta itu haram hukumnya. Dalam hal ini, kita menggunakan dalil: Al-Muslimuna 'inda syurutihim Bahwa seorang muslim itu terikat pada perjanjian atau kesepakatan yang telah disetujuinya dengan pihak lain. Mungkin yang jadi masalah adalah bila tidak ada kesepakatan antara anda dan pihak perusahaan tentang kasus kelebihan seperti yang anda ceritakan. Maka dalam hal ini yang perlu anda lakukan adalah melakukan klarifikasi kepada pihak perusahaan, atau meminta kehalalan uang itu dengan dikaitkan dengan jasa ekstra anda dan team dalam pembeliannya. Bila pihak perusahaan memberi lampu hijau, alhamdulillah. Tapi bila tidak, insya Allah Dia akan memberikan rezeki yang halal dan jauh lebih banyak kepada anda dengan cara yang berbeda. Dengan demikian, anda tidak dirugikan dan demikian juga dengan perusahaan. Cobalah anda bayangkan, bila karyawan senegara kita adalah orang yang jujur dan wara' seperti anda, akan ada banyak penghematan yang bisa dilakukan. Apalagi bila pegawai negeri seluruhnya punya kejujuran seperti anda, insya Allah negeri kita tidak lagi berada pada urutan tinggi dalam daftar negara terkorup di dunia. Intinya, kita ingin memastikan bahwa hanya harta yang halal saja yang masuk ke dalam perut kita, perut anak-anak kita dan perut istri kita. Sebab bila seorang dibuat kenyang dengan harta yang haram, maka doanya tidak akan pernah dikabulkan oleh Allah SWT. Bagaimana doa yang dipanjatkan akan dikabulkan Allah, sementara pakaiannya haram, makanannya haram, minumannya haram dan dikenyangkan dengan yang haram?

Bila ada seorang dihadapkan kepada rejeki yang haram, lalu dia menahan diri padahal bisa mengambilnya tanpa harus takut terjerat hukum buatan manusia, maka Allah akan memberikan gantinya dengan rejeki yang halal dan lebih erkah pada waktu yang lain. ... Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak diduga-duga. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS Ath-Thalaq: 3) Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Mudah Menuduh sebagai Ahli Bid'ah dan Sesat


Publikasi: 16/03/2005 08:44 WIB Saya ingin tanya kenapa wahabi/salafy begitu mudah mengkafirkan umat Islam yang lain seperti yang lihat di www.salafy.com sehingga memecah belah umat Islam yang sudah taat berjamaah lima waktu di masjid dan kenapa wahabi/salafy tidak lebih dahulu minta pendapat MUI Pusat di Jakarta untuk menilai umat Islam yang lain. Saya khawatir ini adu domba Yahudi, karena Yahudi telah menguasai raja-raja Arab, terbukti diizinkannya Amerika mengirim tentaranya tinggal wilayah arab bahkan menyerang Irak. Jul Albar Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Inilah wajah dunia Islam kita hari ini, penuh dengan dinamika dan potensi yang terpendam. Setiap elemen umat ini pada hakikatnya punya potensi dan eunggulan di bidangnya masing-masing. Sebenarnya hal ini sangat menguntungkan, sebab kita bisa saling berbagi dan saling mengisi kekurangan kita masing-masing. Apa yang kurang pada diri ita, ternyata dimiliki oleh saudara kita sendiri. Dan apa yang kurang pada saudara kita, ternyata kita punya.

Alangkah indahnya bila perbedaan ini disikapi dengan semangat saling menambal kekurangan masing-masing, bukan saling mencaci, mengejek atau mencerca sesama kita. Saudara-saudara kita yang terkasih dari kalangan salafiyyin misalnya, mereka sangat mendalam ketika berbicara tentang menjaga sunnah dan memerangi id'ah. Juga sangat memperhatikan keshahihah suatu hadits agar umat ini tidak lemah dalam berpegang kepada landasan hukum dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Semua itu adalah karunia yang Allah SWT berikan dan tentunya patut disyukuri bila mereka ingin berbagi karunia itu kepada sesama saudara muslimnya. Kami yakin apa yang menjadi motivasi saudara-saudara kita yang ikhlas dari gan salafiyyin itu benar-benar berangkat dari rasa kasih sayang mereka serta tanggung-jawab mereka terhadap umat ini, bukan karena adanya adu domba seperti yang anda takutkan itu. Apa yang mereka dakwahkan itu pada hakikatnya benar, karena berlandaskan epada kitabullah dan sunnah rasulullah SAW. Dari segi dalil, kami yakin mereka adalah orang yang sudah belajar dengan baik tentang sumber-sumber hukum Islam, karena itu kita berhuznuzhzhon bahwa semua dalil Quran dan sunnah yang mereka sampaikan itu benar. Kalau pun ada hal yang perlu sedikit lebih disempurnakan adalah tentang uslub (tata cara) dalam melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Setiap orang memang punya gaya pembawaan yang berbeda dengan saudaranya. Ada yang tegas dan bicara ceplasceplos apa adanya, tapi ada juga yang berbahasa lembut dan santun. Selain itu, objek dakwah yang tersedia pun beragam jenisnya. Ada yang cukup disindir saja sudah merasa bersalah, tapi ada juga yang perlu ditegaskan dengan kalimat yang tidak bercabang dan sebagainya. Tapi intinya, kita harus menggunakan uslub yang sesuai dengan kondisi objek dakwah itu sendiri. Terkadang kita tidak harus menembakkan meriam untuk sekedar membunuh seekor lalat yang hinggap di ujung hidung kita, bukan? Untuk membelah sebilah mbu, tidak perlu harus menggergaji dari ujung ke ujung yang menghabiskan tenaga, cukup letakkan bambu di tanah, lalu belah bambu itu di salah satu ujungnya. Satu dari belahan itu kita injak dan belahan lainnya kita angkat ke atas, maka bambu itu akan terbelah dua dengan sedikit tenaga. Dalam berdakwah kita memang butuh sedikit kepiawaian, trik dan beragam taktik. Lihatlah ketika ada seorang a`rabi masuk masjid dan kencing di dalamnya, Rasulullah SAW tidak marah dan malah melarang para shahabat yang ingin menghajarnya. Rupanya nabi yang kita cintai itu lebih memahami sosok seorang a'rabi yang tidak tepat bila diajarkan dengan cara kekerasan, meskipun pelanggarannya sudah kelewat batas. Anda bisa bayangkan, ada orang masuk mesjid dan kencing di dalamnya, padahal Rasulullah SAW ada di situ dengan para shahabatnya. Bukankah perbuatan itu sangat keterlaluan? Namun nabi kita yang mulia hatinya itu membiarkannya menunaikan hajatnya hingga selesai, barulah setelah itu beliau meminta seember air untuk disiram dan berkata dengan lemah lembut kepada a'rabi tentang pentingnya kita menjaga kesucian masjid.

Saat itu Rasulullah SAW tidak merasa perlu untuk membuat fatwa sesat kepada a'rabi itu, juga tidak merasa perlu untuk menuduhnya sebagai ahli bid'ah atau calon penghuni neraka. Walaupun yang dilakukannya sangat menghina rumah Allah SWT. Namun beliau lebih memilih untuk mencuri hati si a'rabi itu ketimbang membuat konfrontasi dengannya yang belum tentu dengan konfrontasi itu akan membuatnya semakin sadar. Dan alhamdulilah, a'rabi itu bisa dengan mudah memahami sebuah pelajaran berharga dan tidak pernah lagi mengulangi kesalahannya. Bahkan Rasulullah SAW 13 tahun tinggal bersama kafir Qurisy yang kerjanya sehari-hari tungang-tungging sujud kepada 360 berhala di sekitar ka'bah. Selama itu pula tidak ada secuil pun hidung berhala itu yang hilang, tak ada satu pun patung yang dirusak, tak ada satu pun sesembahan itu yang hilang Semua dibiarkan ada dan utuh disembah di depan hidung Rasulullah SAW. Padahal semua itu syirik dan dosa besar bukan? Namun nabi kita yang berakhlaq Quran itu lebih memilih untuk mencuri hati mereka ketimbang merusak berhala. Hingga pada waktunya nanti, mereka sendirilah yang akan menghancurkan ke-360 berhala di sekeliling ka'bah. Sungguh sebuah kecerdasan yang tiada tandingannya dalam hal siasat berdakwah. Bahasa yang santun, akhlaq yang mulia, pendekatan yang lebih bersahabat serta menghindari diri dari sikap konfrontatif dalam berdakwah dalam banyak kesempatan sangat efektif untuk keberhasilan dakwah. Itulah barangkali hikmat dari firman Allah SWT: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran: 159) Berdakwah dengan hikmah serta dengan memberikan pelajaran yang sebaik-baiknya merupakan bentuk kewajiban kita dalam meniti jalan dakwah. Sebagaimana perintah Allah SWT berikut ini: Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125) Semoga kita bisa mendengarkan firman Allah ini dan mengikutinya, Amien. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS Az-Zumar: 18)

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Khalifah Utsman Membakar Al-Quran?


Publikasi: 16/03/2005 08:42 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Saya ingin menanyakan tentang sejarah bahwa Utsman bin Affan pernah membakar AlQuran. Hal ini selalu dijadikan argumen oleh kaum Nasrani untuk mendeskriditkan AlQuran. Mohon diberikan penjelasan mengenai sejarah yang sebenarnya. Syukron. Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Basit Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Pengumpulan ini dinamakan pengumpulan kedua. Pengumpulan Qur'an pada Masa Khalifah Usman Kisah tentang pembakaran mushaf ini bermula ketika penyebaran Islam bertambah dan para penghafal Al-Quran (Qurra') tersebar di berbagai wilayah, umat Islam di setiap wilayah itu mempelajari qira'at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) Qur'an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan qiraat. Saat mereka berkumpul di suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini. Terkadang sebagian mereka merasa puas, karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga terjadi pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan menimbulkan pertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan.

Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca Quran. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing memepertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahkan bacaannya bahkan terkandang sampai saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah ra segara menghadap Khalifah Usman ra dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Khalifah Usman ra juga memberitahukan Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada orangorang yang mengajarkan Qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh, sedang di antara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf. Khalifah Usman ra kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Khalifah Usman ra memanggil Zaid bin Tsabit ra, Abdullah bin Az-Zubair ra, Said bin 'Ash ra dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam ra, lalu beliau memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf serta memerintahkan pula bila ada perbedaan diantara mereka, yang dijadikan acuan adalah logat quraisy karena Qur'an turun dengan logat mereka. Mereka melakukan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Khalifah Usman ra mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafsah. Kemudian Usman mengirimkan ke setiap wilayah Islam mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua mushaf lainnya dibakar. Apa yang dilakukan Khalifah Usman ra itu telah disepakati oleh para sahabat. Mushafmushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Qur'an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qiraat. Dan Usman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula pada setiap wilayah yaitu masing-masing satu mushaf. Dan ditahannya satu mushaf untuk di Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama 'mushaf Imam'. Ibn Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Khalifah Usman ra, "Beliau menyatukan umat Islam dengan satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf 'berlainan' dengan mushaf yang disepakati itu membakar mushaf tersebut. Umat Islam pun mendukungnya dengan taat dan mereka melihat bahwa dengan bagitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana. Meka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf lainnya. Sesuai dengn permintaan pemimpinnya yang adil itu; sebagai bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya. Dengan demikian segala qiraat yang lain sudah dimusnahkan

dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada. Sekarang sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf itu dan kaum muslimin juga telah menolak qiraat dengan huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian dari padanya.tetapi hal itu bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri. Dan sekarang tidak ada lagi qiraat bagi kaum muslimin selain qiraat dengan satu huruf yang telah dipilih olah imam mereka yang bijaksana dan tulus hati itu. Tidak ada lagi qiraat dengan enam huruf lainya. Apa bila sebagian orang lemah pengetahuan berkata : Bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu ? maka jawabnya ialah : Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajibpula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya, bertianya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan Qur'an dikalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu. Jika memang demikian halnya maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas menyampaikan semua qiraat yangv tujuh tersebut, yang menjadi kewajiban bagi mereka untuk menyampaikannya. Kewajiban mereka ialah apa yang sudah mereka kerjakan itu. Karena apa yang telah mereka lakukan tersebut ternyatasangat berguna bagi islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama dari pada melakukan sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap islam dan pemeluknya dari pada menyelamatkannya. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Wasiat Almarhum Bertentangan dengan Hukum Waris


Publikasi: 16/03/2005 08:41 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, orang tua kami sebelum meninggal dunia mewasiatkan bahwa harta waris dibagi 1 setiap anaknya baik untuk anak laki dan wanita pertimbangan beliau anak wanitanya masih banyak yang gadis (belum berkeluarga) sehingga mereka dapat membiayai kehidupan mereka secara mandiri tetapi anak laki-laki menolak untuk pembagian seperti tersebut dan tetap meminta pembagian secara Islam. Pertanyaannya sbb 1) Manakah yang harus didahulukan wasiat atau hukum waris Islam? 2) Apakah anak wanita yang menerima bagian sama dengan anak laki termasuk berdosa, karena mengambil hak anak laki. 3) Anak wanita minta agar rumah tinggal tidak dijual untuk waktu tertentu karena mereka butuh rumah untuk ditinggali, sementara anak laki mendesak harus segera dijual dan dibagikan. Terima kasih. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Abu Hafizh Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Hukum waris memang salah satu hukum Islam yang nyaris ditinggalkan oleh kebanyakan umat Islam saat ini. Entah mengapa sebabnya, nyatanya kebanyakan umat Islam kurang memahami tentang masalah hukum waris secara syariah. Padahal dahi mereka setiap hari menyentuh tanah menyembah Tuhannya dalam shalat, tapi giliran membagi waris, seolah-olah mereka ingin berkata bahwa yang adil itu adalah diri mereka sendiri, sedangkan Allah kurang adil. Maka mereka merasa perlu mengatur sendiri pembagian waris seraya membuang jauh-jauh apa yang telah Allah SWT tetapkan. Atau mungkin juga semua itu berhulu kepada jauhnya pemahaman syariah umat ini, sehingga bila sudah shalat, puasa, zakat dan pergi haji, merasa sudah paripurna keislamannya. Padahal Islam tidak terbatas pada rukun yang lima saja, melainkan mencakup semua aspek kehidupan manusia. Semoga Allah SWT memperluas ilmu keislaman kita dan memberikan cahaya di hati ini dengan hidayah dan petunjuknya, Amien Ya Rabbal Alamin. Menjawab pertanyaan pertama, Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan aturan pembagian warisan kepada para ahli waris dengan sabdanya : La washiyyata Li Warits

Maknanya bahwa para ahli waris itu tidak mendapatkan harta dengan cara wasiat, cukup dengan pembagian waris yang sesuai dengan syariat Islam. Kalau ada seorang wafat dan meninggalkan wasiat untuk memberikan hartanya kepada salah satu ahli warisnya, maka wasiat itu batal dengan sendirinya. Wasiat itu hanya berlaku untuk mereka yang bukan ahli waris, misalnya tetangga, sahabat, teman atau siapapun yang tidak termasuk dalam daftar ahli waris. Dan maksimal hanya boleh samapi 1/3 dari total harta yang ditinggalkan. Sehingga untuk jawaban kedua, tentunya tidak perlu lagi dipermasalahkan bila semua pihak mengingatkan kepada keluarga tersebut untuk berpegang teguh kepada agama Allah, yaitu dengan TIDAK MELAKSANAKAN wasiat almarhum yang menyimpang dari ajaran Islam itu. Sebaliknya, semua harus menyepakati bahwa satu-satunya cara yang benar dalam masalah ini adalah mengembalikan semua aturan pembagian kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Dalam hal itu, kesimpulan akhir dari cara pembagian secara hukum waris Islam adalah setelah ibu anak-anak atau istri almarhum mendapatkan bagiannya yaitu 1/8 dari total harta yang diwariskan, maka sisanya yang 7/8 itu dibagikan secara merata kepada anakanak. Namun ketentuan yang pasti adalah bahwa tiap anak laki-laki harus mendapatkan bagian 2 kali leibh besar dari bagian yang diterima anak perempuan. Sebagaimana firman Allah SWT : "Allah mensyari'atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan..."(QS. An-Nisa : 11) Menyamakan jatah anak laki-laki dan anak perempuan adalah perbuatan mungkar yang melahirkan murka dari Allah SWT. Sebab secara langsung menentang ketentuan-Nya di dalam kitab suci. Sebuah keluarga muslim yang baik tentunya tidak akan main-main dengan ketentuan seperti ini bila mereka masih percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pertanyaan ketiga, pada hakikatnya semua harta itu harus dipecah-pecah dan dibagikan terlebih dahulu, sebab Islam menganjurkan agar harta warisan itu segera dibagikan sesaat setelah almarhum pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Hal itu karena jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti meninggalkan salah seorang ahli waris sebelum dia mendapatkan haknya. Tapi setelah masing-masing mendapatkan haknya, silahkan saja bila ingin dibuat kesepakatan di antara para ahli waris itu untuk tidak segera menjual barang atau rumah yang telah mereka miliki. Kesepakatan ini dibuat berdasarkan berbagai pertimbangan seperti yang anda utarakan. Namun setelah dibagi-bagi harta itu sesuai dengan syariat Islam. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.

Ahmad Sarwat, Lc

Amal Jariyah Orang yang Telah Meninggal


Publikasi: 15/03/2005 13:55 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Ustadz yang saya hormati, berikut ini pertanyaan saya. Seseorang PNS meninggal dunia karena sakit. Ahli warisnya kemudian menerima uang pensiun tiap bulannya. Bila ahli waris kemudian memakai uang pensiun almarhum tersebut untuk infak atau sedekah dengan mengatasnamakan almarhum, apakah pahala dari infak/sedekah tersebut menjadi amal jariyah dari almarhum? Terima kasih atas perhatiannya. Jazakallahu khairan katsira. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb Abu Adil Al Jawi Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Masalah mengirimkan pahala amal kepada seorang yang sudah wafat, memang telah menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama sejak masa lalu. Bila kita kelompokkan, paling tidak kita mendapat 3 pendapat yang saling berbeda dalam masalah ini. Yaitu sebagian mengatakan bahwa pahala itu tidak bisa dikirimkan kepada orang yang sudah wafat, apapun cara dan alasannya. Sebagian yang lain mengatakan bahwa hanya jenis amal-amal tertentu saja yang bisa dikirmkan pahalanya kepada orang wafat, yaitu pahala amal yang berupa harta benda. Dan sebagian lain mengatakan bahwa segala jenis ibadah bisa saja dikirimkan kepada orang yang sudah wafat. 1. Pendapat Pertama Orang mati tidak bisa menerima pahala ibadah orang yang masih hidup. Dalil atau hujjah yang digunakan adalah berdasarkan dalil:

"Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya" (QS. An-Najm:38-39) "Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan" (QS. Yaasiin:54) "Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya". (QS. Al-Baqarah 286) Ayat-ayat diatas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits: "Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo?akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya" (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa'i dan Ahmad). Bila Anda menemukan orang yang berpendapat bahwa orang yang sudah wafat tidak bisa menerima pahala ibadah dari orang yang masih hidup, maka dasar pendapatnya antara lain adalah dalil-dalil di atas. Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan pendapat ini, karena memang ada juga dalil lainnya yang menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan sampainya pahala ibadah yang dikirmkan/dihadiahkan kepada orang yang sudah mati. 2. Pendapat Kedua Pendapat ini membedakan antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji, bila diniatkan untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal akan sampai kepada mayyit. Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur'an tidak sampai. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi'i dan pendapat Madzhab Malik. Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW: "Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum" (HR An-Nasa'i).

Namun bila ibadah itu menggunakan harta benda seperti ibadah haji yang memerlukan pengeluaran dana yang tidak sedikit, maka pahalanya bisa dihadiahkan kepada orang lain termasuk kepada orang yang sudah mati. Karena bila seseorang memiliki harta benda, maka dia berhak untuk memberikan kepada siapa pun yang dia inginkan. Begitu juga bila harta itu disedekahkan tapi niatnya untuk orang lain, hal itu bisa saja terjadi dan diterima pahalanya untuk orang lain. Termasuk kepada orang yang sudah mati. Ada hadits-hadits yang menjelaskan bahwa sedekah dan haji yang dilakukan oleh seorang hamba bisa diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal. Misalnya dua hadits berikut ini : Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:" Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:" saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya" (HR Bukhari). Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya: "Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar" (HR Bukhari) 3. Pendapat Ketiga Do'a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit berdasarkan dalil berikut ini: "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo'a : "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami" (QS Al Hasyr: 10) Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup. a. Dalam hadits banyak disebutkan do'a tentang shalat jenazah, do'a setelah mayyit dikubur dan do'a ziarah kubur. Tentang do'a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda: "Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW ? setelah selesai shalat jenazah-bersabda:" Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah

dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka" (HR Muslim). Tentang do'a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda: Dari Ustman bin 'Affan ra berkata: "Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:" mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya" (HR Abu Dawud) Sedangkan tentang do'a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh 'Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW: "Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW menjawab, "Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu?min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya ?insya Allah- kami pasti menyusul)" (HR Muslim). b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya: "Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata: "saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya" (HR Bukhari). c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum Dari 'Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya" (HR Bukhari dan Muslim) d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya: "Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar" (HR Bukhari) e. Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda: Artinya: "Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya" (HR Ahmad)

f. Dalil Qiyas Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur?an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur?an yang berupa perbuatan dan niat. Menurut pendapat ketiga ini, maka bila seseorang membaca Al-Fatihah dengan benar, akan mendatangkan pahala dari Allah. Sebagai pemilik pahala, dia berhak untuk memberikan pahala itu kepada siapa pun yang dikehendakinya termasuk kepada orang yang sudah mati sekalipun. Dan nampaknya, dengan dalil-dalil inilah kebanyakan masyarakat di negeri kita tetap mempraktekkan baca Al-Fatihah untuk disampaikan pahalanya buat orang tua atau kerabat dan saudra mereka yang telah wafat. Tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan hujjah mereka yang paling kuat. Namun sebagai muslim yang baik, sikap kita atas perbedaan itu tidak dengan menjelekkan atau melecehkan pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat yang telah kita pegang selama ini. Karena bila hal itu yang diupayakan, hanya akan menghasilkan perpecahan dan kerusakan persaudaraan Islam. Sudah waktunya bagi kita untuk bisa berbagi dengan sesama muslim dan berlapang dada atas perbedaan / khilafiyah dalam masalah agama. Apalagi bila perbedaan itu didasarkan pada dalil-dalil yang memang mengarah kepada perbedaan pendapat. Dan fenomena ini sering terjadi dalam banyak furu' (cabang) dalam agama ini. Tentu sangat tidak layak untuk menafikan pendapat orang lain hanya karena ta'asshub atas pendapat kelompok dan golongan saja. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Adakah Shalat Zhuhur pada Hari Jum'at


Publikasi: 15/03/2005 13:32 WIB Assalamualaikum wr. wb. Bapak Ustadz yang terhormat,

Saya ingin bertanya perihal kewajiban shalat Jum'at bagi orang berhalangan mengerjakannya karena alasan syar'i, 1. Apakah dia tetap wajib melaksanakannya di rumah sendiri dengan 2 rakaat tanpa khutbah? 2. Apakah dia hanya melaksanakan shalat zuhur sebagai pengganti shalat Jum'at? 3. Bagaimanakah kewajiban terhadap wanita yang berada di rumah, apakah ia melaksanakan shalat Jum'at 2 rakaat saja atau shalat zuhur? Demikianlah ustadz, atas jawabannya saya ucapkan terimakasih. \Wassalamualaikum wr. wb. Reza Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Kewajiban untuk melakukan shalat jumat itu berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli . Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS Al-Jumuah: 9) Dari Hafsah RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, "Melaksanakan sholat Jum'at adalah suatu kewajiban bagi setiap oarang yang sudah baligh." (HR Nasai, Kitab alJumuah/1370) Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairoh RA, keduanya mendengar Rasulullah SAW ersabda, "Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan pelaksanaan shalat Jum'at atau Allah akan mengunci hati-hati mereka kemudia pastilah mereka termasuk orang-orang yang lalai." (HR Muslim, kitab al-Jumuah/865) Dari Abu al-Ja'd adh-Dhamri RA, Rasulullah SAW telah bersabda, "Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum'at tiga kali karena menyepelekannya, maka Allah akan mengunci hati orang tersebut." (Ibu al-Atsir, Jami'ul Ushul 5/666) Dari Thiriq bin Syihab RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Shalat Jum'at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim secara berjama'ah kecuali bagi empat golongan: Hamba sahaya, wanita, anak kecil dan orang sakit." (HR Abu Daud, kitab ash-Shalat/1067)

Namun ada beberapa orang yang tidak wajib atas mereka untuk melakukan shalat Jum'at. Sehingga untuk mereka, cukup dengan melakukan shalat zhuhur seperti biasa, yaitu empat rakaat. Bukan dua rakaat seperti yang anda tanyakan. Di antara yang tidak diwajibkan untuk melakukan shalat Jumat adalah para wanita, anakanak, orang sakit dan orang yang sedang dalam perjalanan. Ditambah satu lagi yaitu budak. Demkian dijelaskan dalam kitab Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd Al-Hafid pada jilid 1 hal 380. Dalilnya adalah hadits nabi: Dari Thariq bin Syihab ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Shalat Jumat itu dalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR Abu Daud - Imam AnNawawi berkata bahwa isnadnya shahih sesuai dengan syarat dari Bukhari. Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang menshahihkan hadits itu bukan hanya satu orang) Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Musafir dan Muqim Shalat Berjamaah, Siapa yang Jadi Imam?


Publikasi: 15/03/2005 13:25 WIB Assalamualaikum ustaz, Jika ada 2 orang, si A dan si B. Si A hanya ingin sholat dzuhur. Si B ingin sholat dzuhur dan ashar dengan menjama' taqdim. Pertanyaan saya, siapa yang menjadi iman jika keduanya ingin sholat dzuhur-nya berjamaah? Terima kasih jawabannya. Wassalam Eko Saputro Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Dalam kondisi yang anda ceritakan di atas, atau pun dalam kondisi umumnya dimana ada beberapa orang yang shalat berjamaah namun yang sebagian musafir dan sebagiannya

lagi lagi muqim (tidak sedang dalam perjalanan), maka shalat berjamaah tetap dianjurkan. Meskipun jumlah rakaat masing-masing berbeda. Teknisnya, yang menjadi imam adalah yang musafir. Karena dia akan mengqashar (memperpendek) jumlah rakaat shalat dari empat menjadi dua rakaat. Sedangkan yang muqim (tidak sedang dalam perjalanan) menjadi makmum. Kalau yang musafir itu jumlahnya bukan hanya satu, maka mereka menjadi makmum juga. Yang penting imamnya adalah yang musafir. Mengapa demikian? Jawabnya adalah karena para makmum yang muqim itu tidak punya keringanan untuk memperpendek (mengqashar) jumlah rakaat shalat. Mereka tetap harus shalat dengan empat rakaat. Kalau yang muqim yang jadi imam sedangkan yang musafir yang menjadi makmum, maka akan terbalik. Karena makmumnya sudah selesai shalat lebih dulu karena hanya dua rakaat, sedangkan imam masih harus meneruskan dua rakaat lagi. Jadi yang musafir harus menjadi imam. Sebagai imam, dia cukup shalat dengan hanya dua rakaat (qashar), lalu dia mengucap salam setelah dua rakaat. Sedangkan para makmum di belakangnya yang tidak dalam keadaan musafir, harus berdiri lagi meneruskan dua rakaat yang masih tersisa untuk mereka. Namun makmum yang juga musafir, tidak perlu berdiri meneruskan sisa rakaat, sebab dia sudah ikut mengakhiri shalat bersama imam. Kalau jamaah makmum yang meneruskan dua rakaat lagi sudah selesai, imam dan beberapa makmum yang musafir tinggal melakukan shalat sekali lagi untuk menjama' taqdim shalat yang berikutnya. Maka salah seorang dari makmum itu melantunkan iqamat dan shalat jamaah dimulai lagi. Kali ini baik imam atau pun makmum semuanya adalah orang yang sedang melakukan shalat jamak dan qashar. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Hukum Perang Sesama Muslim


Publikasi: 14/03/2005 11:28 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Pak Ustadz yang terhormat,

Seperti kita ketahui akhir-akhir ini bangsa kita sedang bergolak untuk siap berperang melawan negara tetangga. Yang ini saya tanyakan, seandainya pecah perang bagaimana hukumnya? apalagi kita sesama muslim. Kemudian bagi yang gugur apa yang bersangkutan dianggap meninggal karena Allah? Terimakasih atas jawabannya. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Yanto Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Memang bisa dimengerti kegalauan hati sebagian rakyat Indonesia sekarang ini. Kita baru saja kehilangan Sipadan dan Ligitan, TKI kita banyak mengalami masalah di negeri Jiran itu hingga kasus gaji yang tidak dibayar serta beragam penangkapan dan pemulangan secara sepihak, sekarang blok Ambalat pun nyaris akan lepas juga. Apalagi berita yang sampai kepada kita adalah masuknya kapal milik negeri jiran itu ke wilayah yang mereka klaim sebagai wilayah mereka. Namun dari segi akhlaq seorang muslim dengan sesama muslim lainnya tentu berbeda dengan bila dengan orang kafir yang berstatus memusuhi. Setiap muslim dengan muslim lainnya bersaudara, karena itu sebagai saudara, tentu bukan pada tempatnya bila segala persoalan diselesaikan dengan konfrontasi bersenjata. Allah SWT memang menyatakan bahwa mungkin saja ada dua pihak yang bersengketa meski sama-sama muslim. Tindakan yang harus diambil bila hal itu terjadi adalah upaya untuk mendamaikan dan menetapkan perjanjian. Barulah bila perjanjian yang telah dibuat itu kemudian dilanggar oleh salah satu pihak, maka pihak yang melanggar itu harus diperangi. Perhatikan firman Allah SWT berikut ini : "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil."(QS. Al-Hujurat : 9) Apalagi posisi Malaysia sebagai tetangga negara kita, maka negara itu punya hak yang harus kita penuhi sebagai tetangga. Minimal kita wajib bersikap lebih baik kepada siapapun yang menjadi tetangga kita sendiri. Bahkan meskipun tetangga itu non muslim.

Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW menjadikan hubungan baik dengan tetangga sebagai syarat dari keimanan seseorang. Dari Abi Syraih Al-Adawi bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tetangganya". (HR. Bukhari). Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah menyakiti tetangganya". (HR Bukhari) Perang bukanlah jalan yang boleh diambil pertama kali untuk menyelesaikan masalah, sebab perang itu akan sangat besar mengambil energi negara yang sudah sangat miskin ini. Apalagi peperangan ini hanya akan terjadi di tengah laut, yang notabene kita malah tidak punya armada yang cukup untuk memenangkan peperangan ini, paling tidak bila dihitung di atas kertas. Maka jalan perundingan adalah jalan yang paling baik dan paling realistis buat kita semua. Namun tentu saja harus dengan jaminan bahwa argumentasi kuat dan tak tergoyahkan. Kalau pun terjadi apa-apa, perlu disiapkan kompensasi yang menguntungkan buat negeri ini. Sebuah kompensasi yang barangkali justru sangat berguna buat kita semua untuk menyelesaikan problema kita. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Janji untuk Menikahi Akhwat


Publikasi: 14/03/2005 09:49 WIB Assalamu 'Alaikum, Wr. Wb. Syukron sebelumnya, ustadz. Ana mau nanya bagaimana hukumnya kalau kita berjanji untuk menikahi seorang akhwat tetapi janji itu belum juga terlaksana, sementara sang akhwat sudah mendesak karena takut dengan fitnah-fitnah, sedang hal ini ana belum membicarakannya dengan keluarga, utamanya orang tua. Apa yang sebaiknya ana lakukan dalam hal ini, sebab ana juga sangat mengharapkan dia (akhwat) tersebut hanya karena kendala waktu sehingga ana belum melaksanakannya. Jazakallahu Khairan, Atas jawabannya. ana mohon saran dan jalan keluarnya. Arief Affandhy Jawaban:

Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Berjanji itu harus ditepati dan melanggar janji berarti berdosa. Bukan sekedar berdosa kepada orang yang kita janjikan tetapi juga kepada Allah. Dasar dari wajibnya kita menunaikan janji yang telah kita berikan. Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu . Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS An-Nahl: 91) Namun janji itu hanya wajib ditunaikan manakala berbentuk sesuatu yang halal dan makruf. Sebaliknya bila janji itu adalah sesuatu yang mungkar, haram, maksiat atau halhal yang bertentangan dengan ketentuan syariat Islam, maka janji itu adalah janji yang batil. Hukumnya menjadi haram untuk dilaksanakan. Misalnya seseorang berjanji untuk berzina, minum khamar, mencuri, membunuh atau melakukan kemaksiatan lainnya, maka janji itu adalah janji yang mungkar. Haram hukumnya bagi seorang muslim untuk melaksanakan janjinya itu. Meski pun ketika berjanji, dia mengucapkan nama Allah SWT atau sampai bersumpah. Sebab janji untuk melakukan kemungkaran itu hukumnya batal dengan sendirinya. Janjian untuk Menikah Janji yang diucapkan oleh laki-laki yang bukan mahram dan bukan dalam status mengkhitbah itu tidak mengikat buat seorang wanita untuk menikah dengan orang lain atau menerima khitbah dari orang lain. Karena itu baru sekedar janji dan bukan khitbah. Jadi di tengah jalan, wanita itu syah-syah saja bila menikah dengan orang lain dengan atau tanpa alasan apapun. Kecuali bila anda telah melamarnya secara syar'i. Karena khitbah memiliki kekuatan hukum yang mengikat calon pengantin wanita. Sebenarnya dalam Islam tidak dikenal janji seperti itu karena memang tidak memiliki kekuatan hukum. Jadi tidak ubahnya seperti pacaran dan janji-janji sepasang kekasih yang kedudukannya tidak jelas. Janji untuk menikahi yang dikenal dalam Islam adalah khitbah itu sendiri. Ini adalah sejenis ikatan meski belum sampai kepada pernikahan. Begitu menerima dan menyetujui suatu khitbah dari seorang laki-laki, maka wanita itu tidak boleh menerima lamaran orang lain. Meski belum halal, tetapi paling tidak sudah berbentuk semi ikatan. Orang lain tidak boleh mengajukan lamaran pada wanita yang sedang dalam lamaran. Menurut hemat kami, bila memang masih jauh untuk siap menikah, sebaiknya anda tidak usah terlalu memberi perhatian dalam masalah hubungan dengan wanita terlebih dahulu.

Dan tidak perlu membentuk hubungan khusus dengan siapa pun. Nanti pada saatnya anda siap berumah-tangga, maka silahkan ajukan lamaran kepada wanita yang menurut anda paling anda sukai. Jadi lebih real dan lebih pasti. Dan ketahuilah bahwa para wanita umumnya lebih suka pada sesuatu yang pasti ketimbang digantung-gantung tidak karuan. Atau diberi janji-janji yang tidak jelas apa memang mungkin terlaksana atau hanya gombalisme belaka. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Shalat di Masjid yang Ada Kubur dan di Gereja


Publikasi: 14/03/2005 09:24 WIB 1. Bagaimana hukum shalat yang di dalamnya terdapat kubur dan juga sebagai tempat meminta (berkah/yang lainnya)? 2. Bagaimana hukum shalat di dalam gereja? Jazakallah Khairan, Andri F. Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du 1. Shalat Menghadap Kuburan Kita diharamkan shalat menghadap ke kuburan secara sengaja. Namun sebuah masjid punya pelataran yang ada kuburannya dan kebetulan letak kuburannya itu ada di arah kiblatnya, sebaiknya antara masjid dan kuburan itu dibuatkan pembatas, baik berupa dinding atau apapun yang bisa membuat kepastian tidak ada seorang yang shalat menghadap kuburan. Memang kita sayangkan fenomena ini, bahkan hal ini bukan hanya terjadi di negeri kita saja. Di Mesir pun kita dapati kuburan ulama terkenal semacam Imam As-Syafi`i

dibangun di dalam bagian mesjid. Entah yang mana lebih dahulu dibangun, apakah masjidnya ataukah kuburannya. Kuburan beliau itu memang dijadikan objek ziarah oleh banyak orang dari berbagai penjuru. Sedangkan tindakan sebagian saudara kita yang mendatangi kuburan untuk meminta keberkahan dan sejenisnya dari kuburan orang-orang shalih, sesungguhnya tidak bisa dibenarkan. Sebab hanya Allah SWT saja yang berhak untuk dijadikan tempat meminta segalanya. Perbuatan meminta kepada kuburan adalah bagian dari tindakan syirik yang hanya akan memanen murka Allah SWT. Bukankah Allah SWT telah menetapkan untuk hanya meminta kepada-Nya saja? Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS Al-Baqarah: 186) Di dalam ayat lain kita diperintahkan untuk meminta hanya kepada-Nya saja agar permintaan itu bisa diterima dan dikabulkan Allah SWT: Dan Tuhanmu berfirman, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (Al-Mu'min: 60) Sebagai muslim kita diwajibkan untuk melakukan amar makruf dan nahi munkar bila mendapati tindakan sebagian saudara kita yang menyimpang. Namun hal itu tidaklah membuat shalat di dalam masjid yang menghadap ke kuburan yang dimintai berkah menjadi tidak syah. Selama masjid itu memang didirikan untuk shalat dan beribadah kepada Allah. Dan biasanya, antara kuburan dengan tempat shalat memang dipisahkan. Jadi lakukan shalat di tempat yang memang digunakan untuk shalat, bukan di kuburannya. Paling tidak, hindari bagian yang langsung berhadapan dengan kuburan. 2. Hukum Shalat di Dalam Gereja Para fuqoha berbeda pendapat tentang hukum memasuki gereja untuk melaksanakan sholat di dalamnya. Sebahagian dari mereka ada yang menyatakan bahwa seorang muslim diperbolehkan melaksanakan sholat di dalamnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Asy-Sya'by, Ibnu Sirin dan Atho yang merupakan fuqoha generasi Tabi'in. Bahkan ada sejumlah sahabat yang melaksanakan shalat di dalam gereja. Di antaranya Abu Musa Al-Asy'ari. Imam Al-Bukhari menyatakan bahwa Ibnu Abbas ra berpendapat bahwa melaksanakan shalat di gereja dan rumah ibadah lainnya diperbolehkan, kecuali jika di dalamnya terdapat patung atau berhala. Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Umar pernah mendapatkan surat dari penduduk Najran perihal hukum shalat di gereja, karena mereka tidak mendapatkan tempat yang lebih bersih dan lebih baik darinya. Maka Umar berkata, "Bersihkanlah ia dengan air dan daun gaharu dan shalatlah di dalamnya."

Namun pendapat ini ditentang oleh sejumlah fuqoha dari kalangan al-Hafiyah dan asSyafi'yah. Mereka menyatakan bahwa melaksanakan sholat di dalam gereja hukumnya makruh. Baik gereja tersebut dipenuhi oleh patung ataupun tidak. Sedangkan hukum memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka adalah haram. Landasannya adalah fatwa khalifah Umar ra yang berkata, "Janganlah kalian memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan haria agama mereka, karena kemarahan Allah akan turun kepada mereka." (Al-Adab Asy-Syar'iyyah 3/442) Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Mengikuti Pendapat Mazhab yang Paling Ringan


Publikasi: 14/03/2005 08:58 WIB Assalamualaikum Warahmatullah. Maaf, saya ingin bertanya seputar madzhab. Bolehkah kita mengambil yang ringanringan saja dalam madzhab? Misalnya dalam bab sholat, kita gunakan madzhab Syafii, bab haji kita gunakan madzhab Hambali. Atau, setiap ada masalah agama, dan kita diberitahukan tentang perbedaan pendapat dalam masalah tersebut, apakah kita diperbolehkan mengambil pendapat yang teringan buat kita? Jazakumullah, Wassalamualikum. Latifah Munawarah Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Para ulama menetapkan bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi setiap muslim untuk mengikuti hanya satu imam atau satu mazhab saja. Karena tidak pernah ada nash yang memerintahkan untuk itu. Mereka mengatakan bahwa seorang muslim tidak diwajibkan untuk berpegang kepada satu imam saja dalam semua masalah dan kejadian

dalam kaitannya dengan hukum syariah. Tetapi tetap dibolehkan bila dia ingin bertaqlid kepada hanya salah satu di antara mujtahid/mazhab itu. Bila dia berpegang teguh pada sebuah mazhab fiqih tertentu, maka tidak ada kewajiban baginya untuk terus menerus beriltizam kepada pendapat yang ada dalam mazhab itu. Dia dibolehkan untuk berpindah kepada sebagian dari pendapat mahzab lainnya. Dasar dari masalah ini adalah bahwa para ulama ushul tidak pernah mendapati perintah Allah SWT dan Rasul-Nya yang mewajibkan manusia untuk berpegang tegus hanya kepada satu mazhab saja. Yang ada hanyalah perintah untuk bertanya kepada siapa pun yang memang memiliki keahlian dalam masalah syariat. Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS An-Nahl: 43) Selain itu, para shahabat Rasulullah SAW pun tidak pernah diwajibkan untuk bertanya kepada satu orang saja di antara ulama mereka. Mereka bertanya kepada siapa saja yang diantara para shahabat itu yang dianggap lebih mengerti dan lebih mengetahui. Tanpa harus ditetapkan pada satu sosok atau satu kelompok. Selain itu, mewajibkan seseorang untuk boleh ikut kepada pendapat satu orang saja justru membuat agama ini menjadi sempit dan menambah beban. Padahal tersedianya sekian banyak mazhab pada hakikatnya adalah nikmat, fadhilah dan rahmat bagi umat Islam. Meski demikian, kita juga tidak mengingkari adanya pendapat sebagian dari ulama ushul yang mewajibkan seseorang untuk berpegang kepada satu mahzab saja. Dalilnya adalah bahwa seseorang wajib mengikuti apa yang menurutnya lebih rajih atau lebih mendekati kebenaran. Dan bila seseorang sudah yakin bahwa mazhab yang dianutnya itu yang paling rajih, maka tidak boleh baginya mencari pendapat di luar mazhabnya. Untuk argumentasi mereka ini, kita bisa menjawab bahwa tidak ada kewajiban bagi kita untuk harus selalu mengambil pendapat yang rajih. Terkadang untuk suatu kondisi darurat tertentu, kita masih dibolehkan untuk mengambil pendapat yang tidak rajih. Dan mengenai kebolehan mengambil yang marjuh (mafdhul) dan meninggalkan yang rajih (afdhal), ada beberapa ketetapan para ulama ushul yang dapat kami himpuan, antara lain Al-Qadhi Atho' bin Hamzah. Beliau berkata, "Seorang qadhi boleh berpindah keluar mazhabnya oleh sebab dharurat. As-shahkafi menyatakan dalam nash Ad-Dur alMukhtar, "Seorang qadhi dibolehkan mengerjakan amal yang kurang masyhur dalam mazhabnya bila Sultan menetapkan hal itu. Di dalam Al-Mi'raj 'an Fakhril Ummah disebutkan tentang kebolehan amal dan ataw dengan perkataan yang dha'if dalam keadaan dharurat. Ad-Dasuqi al-Maliki berkata, "Dibolehkan beramal dengan yang dhaif bagi seseorang untuk masalah dirinya atau bagi juga dalam fatwa bila dipastikan adanya kedharurat oleh mufti itu."

Hukum memilih pendapat dari sekian mazhab para ulama dalam masalah ini talfiq atau mengambil dari sekian banyak mazhab berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya. a. Boleh Memilih Pendapat Mana Saja yang Dikehendakinya Pendapat ini dikemukakan oleh kebanyakan Ahhabus Asy-Syafi'i dan dikuatkan oleh Asy-Syirazi, Khatib Al-Baghdadi, Ibnu Shibagh, Al-Aamidi dan Al-Baqillani. Dasarnya adalah ijma' para shahabat atas kebolehan hal itu dan mereka pun juga mempraktekkannya. Para shahabat sepakat bahwa setiap muslim boleh mengambil pendapat yang mafdhul (kurang kuat) dengan meninggalkan yang lebih kuat. Sehingga bagaimana mungkin bila shahabat mempraktekkan, tetapi kita malah dilarang? b. Mengambil Pendapat yang Paling Berat Sebaliknya, kalangan Al-Hanabilah dan Ahli Zhahir justru mewajibkan kita untuk mencari pendapat yang paling berat. c. Mengambil Pendapat Yang Paling Ringan d. Mengikuti Pendapat yang Menggunakan Riwayat daripada Ijtihad Ini adalah pendapat Ar-Rafi'i. e. Mengikuti Pendapat yang Paling Umum dari Mazhab f. Bila Menyangkut Hak Allah, Maka Boleh Mengambil yang Paling Ringan Dan sebaliknya, bila menyangkut hak manusia maka harus mengambil pendapat yang lebih berat. Ini dikemukakan oleh Abu Manshur al-Maturidi. g. Berijtihad Sendiri Bila Ada Perbedaan Pandangan di Antara Mazhab Ini adalah pendapat As-Sam'ani, juga sejalan dengan pandangan Asy-Sya'bi dalam AlMuwafaqaat dan juga dekat dengan pandangan Al-Ka'by. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Nikah Sirri dan Waris untuk Anak Hasil Pernikahan Tersebut

Publikasi: 10/03/2005 10:38 WIB Assalamu'alaikum wr. wb. Ustaz, pernah dulu saya berpacaran dengan seseorang sampai akhirnya kami "kebablasan" dan yang lebih bikin saya shock adalah ternyata lelaki tersebut sudah punya istri. Namun lelaki tersebut memiliki itikad baik dengan bermaksud menikahi saya, tapi karena istrinya tidak setuju akhirnya dia "lepas tanggung jawab" begitu saja, tanpa mempertahankan saya. Dan karena saya sudah kadung sedih, sakit hati dan tidak mau tambah pusing dengan masalah ini saya memutuskan untuk menjauhi dia dengan tinggal di luar kota. Sampai pada bulan ini saya datang kembali ke Jakarta. Dan saya coba untuk 'bersilahturahmi' kembali dengan dia karena sudah hampir setahun tidak berhubungan sama sekali. Ketika kamu bertemu, ada yang bikin saya kaget, yaitu keinginan dia untuk walimahan dengan saya. Tapi secara sirri -- karena dia tidak mau memberitahu istrinya. Selain istrinya tidak memberi izin dia menikahi saya di KUA dengan alasan apapun. Pertanyaan saya: 1. Halalkah pernikahan sirri itu? Dan bagaimana hukumnya apabila pernikahan tersebut hanya merupakan bentuk pertanggung jawaban kamu atas perzinahan yang kami lakukan dulu? 2. Bagaimana hak waris anak hasil pernikahan tersebut? Dengan melihat kondisi bahwa pernikahan tersebut adalah benar-benar pernikahan yang disembunyikan kecuali di hadapan Allah. 3. Apakah kelebihan dan kelemahan pernikahan sirri itu? Demikian pertanyaan saya. Mohon jawaban dan saran dari ustaz, karena sungguh saya tidak ingin pernikahan ini akhirnya tidak menjadi ibadah untuk kami berdua. Wassalamu'alaikum wr. wb. Naura Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Sebaiknya anda sekarang ini bertobat dari dosa zina yang telah anda lakukan. Perbuatan itu adalah kemungkaran yang harus secara khusus anda bertobat kepada Allah SWT dengan sebenar-benar tobat. Untuk itu anda harus merasa menyesal, bersumpah tidak

akan pernah mengulangi lagi dalam kondisi apapun serta selalu memohon ampunan dari Allah SWT. Dosa zina lumayan pedih hukumannya, yaitu dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun ke luar daerah tempat tinggalnya, bila pelakunya belum pernah menikah sebelumnya. Sebaliknya, bila pelakunya sudah pernah menikah sebelumnya, bila berzina maka hukumannya adalah dirajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati. Namun karena anda tidak tinggal di negeri yang memberlakukan hukum Islam, maka hukuman ini tidak boleh dilaksanakan begitu saja. Sebab hukum rajam dan sejenisnya mensyaratkan adanya sistem hukum yang formal dan berlaku secara umum serta diakui oleh pemerintahan yang syah. Tanpa semua itu, hukuman seperti ini tidak memenuhi syarat untuk dilaksanakan. Tentang Nikah Sirri Istilah nikah sirri sebenarnya bukan istilah yang baku, sehingga setiap orang punya penafsiran yang berbeda. Kita perlu klarifikasi terlebih dahulu, nikah sirri macam apakah yang dimaksud. Kalau nikah sirri itu bentuknya adalah menikah diam-diam tanpa wali yang syah dan 2 orang saksi, tentu saja hukumnya haram. Tapi kalau bentuknya adalah merahasiakan pernikahan itu dari sepengetahuan istri pertama, hukum dasarnya halal. Sebab bila kita secara konsekuen melihat dengan kaca mata syariah, seorang laki-laki yang ingin menikah lagi tidak wajib meminta izin kepada istrinya terdahulu. Lepas dari masalah kerukunan atau bagaimana caranya yang bersangkutan me-manage permasalahan kecemburuan istri dan sejenisnya. Maka dalam hal ini, jawaban secara hitam putih hukumnya memang boleh-boleh saja anda dinikahi oleh laki-laki itu meski dia harus merahasiakan pernikahan anda berdua dari istri pertamanya. Namun apakah anda harus setuju atau tidak, semua kembali kepada anda. Kami menyarankan bahwa pernikahan itu harus resmi tercatat di KUA, meski pun tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Ini penting terkait dengan jawaban kedua. Hak Waris Anak Dalam kasus anak yang lahir dari hasil zina atau di luar pernikahan yang syah, maka nasab anak itu akan hilang lantaran ayah yang menjadi bibit anak itu tidak menikahi ibu anak tersebut secara syah. Untuk itu, agar nasab anak tersebut bisa tersambung kembali, jalannya adalah dengan cara menikahkan pasangan zina menjadi suami istri yang syah. Dengan demikian, nasab anak tersebut akan tersambung kembali kepada ayahnya. Dengan tersambungnya nasab ini, maka ayah itu punya kewajiban untuk memberi nafkah kepadanya. Juga anak itu akan mendapatkan warisan dari ayahnya Termasuk untuk menjadi wali bagi pernikahannya bila anak itu perempuan.

Bila anda tidak dinikahinya, maka anak itu tidak akan punya nasab kepada ayahnya, juga tidak akan mendapat warisan darinya dan juga tidak punya wali bagi pernikahannya bila anak itu wanita. Maka pada sisi ini, bila anda dinikahinya, anda serta anak anda diuntungkan dalam beberapa hal.

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Kewajiban Bergabung dengan Jamaah Muslimin


Publikasi: 10/03/2005 09:29 WIB Allah memerintahkan untuk berjama'ah dan jangan berpecah belah (berfirqoh-firqoh) sebagaimana juga diperintahkan oleh Rasulullah, "'alaikum bil Jama'ah waiyyakum bil furqoh ", Berarti ada "Al-Jama'ah" yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk iltizam di dalamnya. mohon ustadz jelaskan ciri-ciri "al-jama'ah" yang tertera dalam ayat atau hadits tersebut secara lebih rinci lagi! Abuazi Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Tentang pengertian jama'atul muslimin ini banyak sekali telah dibahas oleh para ulama. Meski redaksinya berbeda-beda namun tetap ada satu benang merah yang bisa ditarik dari kesemua pengertian itu. Jamaatul Muslimin adalah jamaah ahlul halli wal 'aqd, dimana mereka itu berhimpun di bawah naungan seorang khalifah dan ummat ber-ittiba' kepadanya. Pengertian ini adalah kesimpulan dari Asy-syatibi ketika mengumpulkan semua hadits Rasulullah SAW yang berkaitan dengan masalah jamaah. Pendapat ini pun dikuatkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar penulis kitab Fathu Bari. Allah SWT berfirman: "Dan berpeganglah kamu semua kepada tali Allah dan janganlah berpecah belah." (QS Ali Imran: 103)

Rasulullah SAW bersabda, "Ikatan Islam itu kelak akan terlepas satu persatu. Setiap ikatan yang lepas akan mempengaruhi ikatan berikutnya dan begitulah seterusnya. Yang paling dahulu terlepas adalah masalah hukum dan paling akhir adalah masalah shalat." (HR. Ahmad dan Hakim). Rasulullah SAW bersabda, "Tidak halal darah seorang muslim yang bersyahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku adalah Rasulullah, kecuali dengan 3 hal: jiwa dibalas dengan jiwa, janda yang berzina dan orang yang keluar dari agamanya dan melepaskan diri dari jamaah." (HR Bukhari Muslim). Umar bin al-Khataab pernah berkata, "Tidak ada Islam kecuali dengan jamaah, tidak ada jamaah kecuali dengan imarah, tidak ada imaroh kecuali dengan taat." Syeikh Husein bin Muhsin bin Ali Jabir menuliskan dalam kitabnya yang fenomenal "AtThariq ila Jama'atil Muslimin", bahwa pada hari ini jama'atul muslimin sebagaimana dalam pengertian etimoligis dan pengertian syar'i tidak ada atau belum ada. Yang ada adalah jamaah dari jamaah-jamaah muslimin seperti Ihkwanul Muslimin, Ansharussunnah, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir dan dan jamaah-jamaah lainnya. Secara syar'i dan tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada masing-masing jamaah yang sudah ada, kewajiban untuk ikut kepada salah satu jamaah ini tidak bisa disamakan dengan kewajiban untuk ikut ke dalam jamaah muslimin yang disebutkan dalam haditshadits Rasulullah SAW. Sebab masing-masing jamaah itu bukanlah jamaah muslimin yang dimaksud. Bahwa jamaah-jamaah itu nantinya akan membentuk diri menjadi sebuah jamaatul muslimin yang dimaksud, semoga saja hal itu terjadi tidak lama lagi. Tentu hal ini menjadi dambaan setiap muslim di abad ini untuk bisa menyaksikan terbentuknya jamaah muslimin, setelah hilang selama beberapa lama dari muka bumi. Indikasinya ketiadaan jamaah muslimin seperti yang disebutkan oleh Rasulullah SAW bisa dilihat dengan mudah bahwa kita pada hari ini tidak punya khilafah yang tanpa batas-batas geografis. Yang ada sekarang adalah negeri kecil-kecil hasil kerjaan para penjajah setelah berhasil menumbangkan khilafah Islamiyah terakhir yaitu Khilafah Utsmani. Memang benar bahwa negeri kecil-kecil itu penduduknya mayoritas muslim, tapi sejak awal berdiri, negeri kecil-kecil ini tidak pernah disiapkan untuk menjadi negara Islam, meski hanya sekedar menerapkan hukum Islam saja. Bahkan dalam perjalanannya, justru para penguasa negeri kecil-kecil ini adalah tiran yang kejam dan sadis yang kerjanya membantai ulama dan umat Islam. Jadi tidak ada kamus hukum Islam, apalagi khilafah. Karena itu memang benar bahwa saat ini di dunia Islam tidak ada atau tepatnya belum ada jamaatul muslimin. Dengan demikian, menjadi kewajiban umum bagi umat Islam untuk mewujudkannya dengan langkah panjang dan matang.

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Mengenai Batal atau Tidaknya Wudhu Apabila Suami-Isteri yang Bersentuhan


Publikasi: 10/03/2005 09:13 WIB Assalamu'alaikum wr. wb. Saya mau menanyakan masalah hal-hal yang membatalkan wudhu. Di masyarakat kita ada 2 pandangan mengenai batal atau tidaknya wudhu apabila suami-istri yang bersentuhan, ada yang bilang batal tapi ada juga yang tidak batal, mohon penjelasannya dari pak ustaz? Terima kasih atas penjelasannya. Wassalamu' alaikum wr. wb. Rika Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Masalah yang anda tanyakan ini secara umum menjadi salah satu poin perbedaan pendapat para ulama sejak dahulu. Sebagian mengatakan bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita itu membatalkan wudhu, namun sebagian lainnya mengatakan tidak membatalkan. Pendapat yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak membatalkan wudhu adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa bersentuhan dengan kulit wanita membatalkan wudhu pendapat kalangan As-Syafi?iyah, Al-Hanabilah dan Al-Malikiyah. Namun mereka sendiri berselisih tentang beberapa hal; di antaranya tentang wanita yang disentuh apakah mahram atau bukan, dan apakah sentuhan tersebut dengan syahwat atau bukan?

As-Syafi?iyah mengatakan bahwa sentuhan kulit tanpa pembatas/lapisan dengan wanita bukan mahram itu membatalkan wudhu?. Lepas dari apakah sentuhan itu sifatnya sengaja atau tidak sengaja. Juga lepas dari apakah sentuhan itu dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah bahwa hal tersebut tidak membatalkan wudhu. Kecuali jika hal tersebut menyebabkan keluarnya mani atau madzi. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah mencium isterinya kemudian beliau keluar untuk melaksanakan sholat tanpa melakukan wudhu lagi. (HR Abu Daud 178) Adapun yang dimaksud dengan firman Allah SWT, "Au laamastumun nnisaa" adalah berjima bukan bersentuhan kulit sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu 'Abbas. (Tafsirut Thobary 1/502) Dan dari Umar, ia berkata, "Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah karenanya." Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah, "au laamastum an-nisa?" (atau kamu menyentuh wanita). Karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal "mulaamasah" atau "al-lams" dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Cara Mensucikan Pakaian dari Najis


Publikasi: 10/03/2005 09:05 WIB Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barokatuh Saya ingin bertanya kepada ustadz berhubung dengan rasa was-was yang sangat sering mengganggu saya: 1. Saya pernah membaca buku fiqih yang mengatakan untuk menghilangkan najasah ghoir mariiyyah adalah dengan mencucinya 3 kali. Pertanyaan saya: Apa maksud dari

mencuci di atas? Maksud saya dalam mencuci pakaian dan lain-lain. Apakah cukup dengan disiram air 3 kali, digosok 3 kali pada seriap siraman air atau bagaimana? Saya kurang memahami ma'na al-ghosl. 2. Apakah hukum wudhu saat mandi besar? Apakah wajib? Sebab saya merasa kesulitan jika harus wudhu, mengingat bahwa menyentuh farj adalah membatalkan wudhu, sedangkan wudhu yang dicontohkan itu bertahap pada saat pelaksanaan mandi besar. Tentu saja saya idak dapat mengelakkan diri dari menyentuh farj saat mandi. Sekian saja pertanyaan dari saya,sebelumnya atas perhatianya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu'alaikum wa rahmatullah wa barokatuh Abdullah

Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Najis ghair mar'iyah maknanya adalah najis yang tidak terlihat. Sebenarnya terlihat atau tidak, untuk mengetahui ada tidaknya najis, bisa juga dengan bau atau aroma. Bahkan bisa juga dengan rasanya. Jadi apakah baju kita kena najis atau tidak, bisa diketahui dengan cara melihat warnanya, baunya atau rasanya. Itulah yang umumnya disebutkan oleh para ulama fiqih tentang bagaimana mengetahui kenajisan suatu benda. Lalu untuk membersihkan suatu benda dari najis cukup dilakukan dengan cara mencucinya dengan air. Tentang berapa kali harus dilakukan pencucian, tidak ada ketentuan yang baku, yang penting najis itu hilang biak warna, bau maupun rasa. Kecuali untuk najis yang berat seperti najis babi, maka kewajiban mencucinya harus dengan tujuh kali pencucian dengan air dan salah salah satunya dengan tanah. Penggunaan tanah ini tidak terkait dengan urusan mematikan bakteri atau apapun, sebab penggunaan tanah adalah media ritual yang sudah diatur tatacaranya oleh Rasullah SAW. Sebaliknya bila najis itu bersifat ringan, maka untuk mensucikannya cukup dengan dipercikkan air ke atasnya. Sebagaimana sabda Rasulllah SAW berikut ini: Dari Ummi Qais r.a. bahwa dia datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa anak laki-lakinya yang belum bisa makan. Bayi itu lalu kencing lalu Rasulullah SAW meminta diambilkan air dan beliau memercikkannya tanpa mencucinya. (HR Bukhari 223 dan Muslim 287)

Dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Kencing bayi laki-laki itu cukup dengan memercikkanya saja. Sedangkan kencing bayi wanita harus dicuci." (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmizy dan Ahmad)

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Berjilbab Dulu atau Memperbaiki Hati Dulu?


Publikasi: 10/03/2005 08:47 WIB Jilbab, Hati Dulu atau Kepala Dulu Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bapak ustadz yang terhormat, Saya ingin bertanya perihal jilbab. Saya mempunyai seorang teman yang bertanya mengenai jilbab. Ia ingin menggunakan jilbab akan tetapi ia bingung apakah harus siap dan memperbaiki hati terlebih dahulu sebelum memakai jilbab atau langsung aja memakai jilbab dan urusan hati sambil berjalan? Terima Kasih, Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Fahru Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Antara hati dan perbuatan sebenarnya sama-sama penting, sehingga tidak perlu dipilih mana yang harus diprioritaskan terlebih dahulu. Lagi pula, sulit untuk menilai urusan hati atau membuat standarisasinya. Kalau alasan belum mau pakai jilbab karena hatinya ingin diberesi dulu, sebenarnya agak mengada-ada. Sebab siapa yang akan menilai bahwa hati

seseorang sudah bersih dan baik? Dan bagaimana cara menilainya? Lalu sampai kapankah hatinya sudah bersih dan siap untuk pakai jilbab? Sebenarnya kewajiban memakai jilbab tidak pernah mensyaratkan seseorang harus bersih dulu hatinya. Kewajiban itu langsung ada begitu seorang wanita muslimah masuk usia akil baligh. Dan satu-satunya tanda bahwa dia sudah wajib memakai jilbab adalah tepat ketika dia mendapat haidh pertama kalinya. Saat itulah dia dianggap oleh Allah SWT sudah waktunya untuk memakai jilbab. Tidak perlu menunggu ini dan itu, karena kewajiban itu sudah langsung dimulai saat itu juga. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada anak wanita Abu Bakar ra, Asma' binti Abu Bakar ra. Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Asma', seorang wanita bila telah haidh maka tidak boleh nampak darinya kecuali ini dan ini. Rasulullah SAW memberi isyarat kepada wajah dan tapak tangannya." Rasulullah SAW tidak mengatakan bahwa bila sudah bersih hatinya, atau bila sudah baik perilaku atau hal-hal lain, namun secara tegas beliau mengatakan bila sudah mendapat haidh. Artinya bila sudah masuk usia akil baligh, maka wajiblah setiap wanita yang mengaku beragama Islam untuk menutup auratnya. Dan uaratnya itu adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua tapak tangan. Ketentuan ini juga diperkuat dengan firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang kewajiban memakai kerudung yang dapat menutupi kepala, rambut, leher dan dada. Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya..." (QS. An-Nur : 31) Namun bukan berarti kalau sudah pakai kerudung, boleh berhati jahat atau buruk. Tentu saja seorang wanita muslimah harus berhati baik, berakhlaq baik dan berperilaku yang mencerminkan nilai keimanan dirinya. Tapi semua itu bukan syarat untuk wajib pakai jilbab. Sebab keduanya adalah kewajiban yang tidak saling tergantung satu dengan yang lainnya. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Lelaki Memakai Cincin Kawin untuk Menghindari Perselingkuhan

Publikasi: 09/03/2005 10:23 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Saya ingin menanyakan tentang dilarangnya lelaki memakai cincin/ perhiasan emas. Karena ada anggapan bahwa jika lelaki sudah menikah, tetapi tidak memakai cincin, maka kemungkinan lelaki tersebut melakukan perselingkuhan lebih besar. Itu mungkin anggapan dan saya hanya ingin meyakinkan saja, karena ada beberapa teman saya yang akan melangsungkan pernikahan, mereka ingin mengetahui ketetapan dalam agama Islamnya bagaimana? Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Dewi Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Tentu saja anggapan bahwa laki-laki yang sudah beristri tapi tidak memakai cincin kawin lantas kemungkinan besar akan selingkuh. Pernyataan ini terlalu mengada-ada dan tidak perlu dipercaya. Apalagi mengingat bahwa laki-laki muslim diharamkan mengenakan perhiasan yang terbuat dari emas. Maka bila cincin kawin itu terbuat dari emas, hukumnya justru haram dikenakan. Karena Rasulullah SAW telah melarang emas dan juga sutera bagi laki-laki baik saat menikah atau sehari-sehari. Sebagaimana hadits beliau berikut ini : "Telah diharamkan memakai sutera dan emas bagi laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi wanitanya". (HR Turmuzi dengan sanad hasan shahih) Ali bin Abu Thalib berkata, "Aku melihat Rasulullah SAW memegang sutera di tangan kanan dan emas di tangan kiri seraya bersabda, "Keduanya ini haram bagi laki-laki dari umatku". (HR Abu Daud dengan sanad hasan). Lalu bagaimana bila cincinnya bukan dari emas ? Dahulu Rasulullah SAW pernah memiliki cincin yang disebut khatam. Dalam bahasa arab, kata khatam itu juga bermakna stempel yang digunakan untuk menyetempel surat resmi. Dan memang fungsi cincin Rasulullah SAW adalah juga untuk menyetempel surat-surat yang ditujukan kepada para raja dunia. Surat itu adalah surat yang mengajak para raja dan umat manusia sedunia untuk memeluk agama Islam.

Meski dunia arab saat itu tidak mengenal stempel, namun sesuai dengan tata pergaulan administrasi international yang berlaku di masa itu, bahwa semua surat resmi kenegaraan harus ada stempelnya, maka Rasulullah SAW membuat cincin atau stempel khusus yang bertuliskan Muhammad Rasulullah. Tapi Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah mensyariatkan laki-laki yang menikah untuk memakai cincin perkawinan. Itulah sebabnya kita tidak menemukan adanya budaya tukar cincin dalam literatur Islam khususnya dalam masalah pernikahan. Tak satu pun kitab fiqih yang menyebutkan keharusan untuk menggunakan cincin kawin dalam pernikahan. Bahkan sebagian ulama memakruhkan cincin kawin dan tukar cincin saat menikah, karena itu merupakan produk dan budaya dari luar Islam. Dalam nikah secara Islam, yang dibutuhkan adalah mas kawin. Mas kawin sendiri sekedar istilah dan tidak harus emas bentuknya. Karena dalam istilah bahasa arabnya disebut mahar, nihlah, shodaq, ajr, aridhah, 'aqr dan seterusnya. Meski demikian, bila mahar itu mau diberikan dalam bentuk cincin, pada hakikatnya tidak ada larangan. Bahkan meski terbuat dari emas sekalipun. Asalkan cincin emas itu tidak dipakai oleh pengantin laki-laki. Sebab laki-laki dalam Islam diharamkan memakai perhiasan yang terbuat dari emas. Cincin kawin tidak dikenal dalam syariat Islam sebagai bagian dari ritual pernikahan. Cincin itu lebih merupakan kebiasaan adat tradisi masyarakat setempat. Sebagian ulama mengharamkannya karena dianggap termasuk perilaku meniru orang kafir. Sebagian lagi memandang tidak ada masalah karena meski tidak lahir dari syariat Islam, tidak ada salahnya menjalankan suatu hal yang sudah ada di tengah masyarakat selama tidak ada larangan secara langsung dan eksplisit akan hal itu dari nash-nash yang qath'i. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Sakratul Maut dan Film Rahasia Illahi


Publikasi: 09/03/2005 10:11 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Pak Ustadz yang saya hormati, bagaimana pandangan bapak tentang film/sinetron Rahasia Illahi yang menceritakan tentang pertanda akhir kematian orang yang durhaka/berdosa. Apa itu benar ? Kapan dan di mana terjadinya ? Saya khawatir nanti dipercayai oleh umat islam, dan saya kawatir akan terjadi hasud apabila kita mempercayainya ditengah masyarakat.

Atas pandangannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu 'alaikum wr,wb. Diding Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Sinetron Rahasia Ilahi bisa dilihat dari beberapa sudut pandang. Misalnya bila kita bandingkan dengan kualitas nilai dakwah sintron lain, tentu sintron ini sangat berbeda karakteristiknya. Pada saat sintron lain hanya menampilkan kemewahan, pemain ganteng dan cantik, atau lawakan-lawakan yang kurang bermutu, justru sinetron ini menampilkan nuansa yang berbeda. Sinetron ini menampilkan sebuah nasehat, peringatan bahkan ancaman berdasarkan cerita nyata tentang balasan di dunia ini atas dosa-dosa manusia. Beberapa naskah sinetron ini diambil dari kisah nyata yang ada di salah satu majalah Islam, sementara yang lainnya dari realita dan cerita yang berkembang di tengah masyarakat yang ditulis ulang oleh para penulis naskahnya. Bahwa kemudian cerita itu dikemas ulang agar ada konflik dan sebagainya, tentu hal itu tidak mungkin dihindari dan bisa dimengerti. Tapi intisari cerita-cerita itu bukan khayalan atau mitos, melainkan sesuatu yang nyata. Mungkin karena itulah sintron ini meroket ratingnya menduduki rangking tertinggi. Dan ini bisa dikatakan sebuah penumbangan mitos. Sebab selama ini berkembang anggapan bahwa acara-acara yang dibuat berdasarkan dakwah keagamaan di televisi cenderung sekedar menggugurkan kewajiban belaka. Munculnya para penceramah di TV setiap pagi hari seolah-olah sekedar embel-embel yang tidak pernah ditargetkan menangguk untung. Karena sepi penonton dan -terus terang saja- kurang diminati umumnya pemirsa TV. Munculnya sinetron ini agaknya merubah mitos tersebut. Meski bertabur dengan pesanpesan dakwah dan nasihat layaknya mimbar agama Islam, bahkan pembukaan dan penutupannya diisi oleh seorang pendakwah, tapi penontonnya membludak. Dan seperti biasa, stasiun televisi lain pun sudah bersiap-siap berbaris rapi untuk membonceng kesuksesannya dengan merencanakan untuk membuat sintron sejenis. Lepas dari urusan bisnisnya, tapi paling tidak pemirsa kita punya alternatif atas kebosanan penjejalan sinetron yang kurang bermutu. Kami tidak mengatakan bahwa Rahasia Ilahi adalah sinetron yang sangat bermutu secara ilmu sinematografi, karena bukan pada tempatnya bicara disiplin ilmu yang satu ini di layar kaca. Namun yang menarik adalah bahwa sinetron ini berhasil memberikan dakwah, peringatan bahkan ancaman kepada siapa saja yang berani-berani melakukan dosa dan maksiat. Dan yang menarik adalah bahwa cerita ini bukan mengada-ada, tapi merupakan realita yang sudah terjadi.

Tentang bentuk siksaan Allah kepada orang yang berdoa dengan mengalami masalah pada saat menjelang ajalnya, memang cukup banyak diisyaratkan dalam Islam. Salah satunya yang utama adalah firman Allah SWT berikut ini : Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah." Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orangorang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, : "Keluarkanlah nyawamu" Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah yang tidak benar dan kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.(QS. Al-An'am : 93). Jelas sekali Allah menyebutkan bahwa siksa buat orang para pendosa itu sudah dimulai sejak menjelang sakratul maut. Bahkan digambarkan bagaimana para malaikat mendatanginya dan memukulnya. Anda bisa bayangkan bagaimana dahsyatnya seseorang yang menjelang kematiannya didatangi malaikat pencabut nyawa dengan memukul dan membentak. Sepertinya malaikat itu ingin bermain-main dulu dengan menyiksa si pendosa sebelum mencabut nyawanya. Karena itu salah besar bila ada orang mengatakan bahwa dosa itu tidak terlihat, atau seperti orang betawi mengatakan bahwa 'dosa itu tidak bejendol'. Dosa itu ada dan nyata, sayangnya memang hanya bisa dilihat menjelang seseorang dijemput malaikat kematian. Sehingga kondisinya memang agak nyaris terlambat buat yang bersangkutan untuk bertobat. Tapi buat orang lain yang melihatnya, tentu akan menjadi sebuah pelajaran yang paling berharga seumur hidupnya. Sebab kejadian itu seperti sebuah ancaman keras kepada siapa saja yang berani-berani menyombongkan diri di depan hukum Allah SWT. Dalam kejadian itu, Allah menampakkan sebagain tanda-tanda kekuasaan-Nya. Di masa Rasulullah SAW pun pernah terjadi seorang yang mengalami masalah saat menjelang ajalnya. Ketika Rasulullah mendatanginya serta menanyakan sebabnya, ketahuanlah bahwa orang tersebut durhaka kepada orang tua. Maka atas perintah Rasulullah SAW, orang tuanya diminta datang untuk memaafkan si anak durhaka itu. Barlah orang itu bisa meninggal dengan tenang setelah orang tuanya memaafkan kesalahannya. Namun perlu juga dicatat bahwa semua fenomena penyiksaan menjelang ajal ini belum tentu terjadi pada semua orang yang ingkar. Meski pun semua pendosa pasti disiksa di alam kuburnya, tapi penampakan bentuk penyiksaannya tidak harus selalu terjadi. Sepertinya Allah SWT tidak pada setiap kesempatan menampakkan peringatan itu. Dan memang kenyataannya tidak semua orang yang kufur, ingkar dan melanggar ajaran agama Islam akan mati dengan cara demikian. Hal ini tidak mengapa, karena urusan menampakkan tanda-tanda kekuasan-Nya adalah hak Allah saja, karena ini adalah RAHASIA ILAHI.

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Debat Agama di Forum Internet


Publikasi: 09/03/2005 09:35 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Langsung saja ya ustadz, Saat ini saya sedang gemar berdebat masalah agama dalam salah satu website remaja. Masalahnya, mereka (member non-muslim) selalu tidak bisa menerima statemenstatemen saya dan teman-teman muslim (berdasarkan Al-Quran dan Al- Hadits). Pada awal-awalnya tidak apa-apa namun sekarang sudah menjurus ke arah mengejek , menghina dan merendahkan agama Islam. Bagaimana kami harus meresponnya. Soalnya jika kami berhenti begitu saja, bukankah nanti ada anggapan bahwa kami kalah dan agama Islam memang salah. Sekian dan terima kasih. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Anggayasha Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Di dalam Al-Quran Al-Kariem ada disebutkan tentang berdebat seperti yang anda maksudkan, yaitu pada ayat berikut ini : Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk.(QS. An-Nahl : 125) Jadi mengajak non muslim menuju kepada kebenaran agama Islam itu memang diperintahkan, namun caranya harus dengan hikmah dan mau'izhah hasanah. Dan kalau perlu dengan cara perdebatan, maka perdebatan itu harus dilakukan dengan cara yang baik.

Apa yang dimaksud dengan debat yang baik ? Debat yang bertitik pangkal kepada ilmu pengetahuan, rujukan-rujukan yang ilmiyah, serta dengan logika yang runtut. Kesemua itu nyaris tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang bermental asal menang atau asal debat. Perdebatan yang dibenarkan adalah perdebatan yang sehat, jauh dari caci maki, jauh dari pelecehan dan jauh juga dari saling menjatuhkan harga diri lawan debatnya. Buat umat Islam sendiri, ada baiknya bila sebelum berdebat dengan non muslim untuk lebih memperdalam pengetahuan keagamaannya. Sebab sebagaimana pepatah arab mengatakan bahwa orang yang tidak punya sesuatu tidak bisa memberikan sesuatu. Bagaimana mungkin seorang muslim terlibat baku debat dengan non muslim, sementara dia sendiri tidak pernah paham isi kandungan tiap ayat Al-Quran, tidak mengerti ilmuilmu keislaman seperti tafsir, fiqih, ushul fiqih, kaidah fiqhiyah, mantiq, balaghah, nahwu, sharf, musthalah hadits, rijal hadits, takhrij hadits, dan lainnya? Tanpa semua 'senjata' itu, seseorang akan sama seperti terjun ke medan perang hanya berbekal tangan kosong. Bukannya mati syahid tapi mati konyol, sebab lawan-lawannya datang dengan persenjataan lengkap. Bukankah sebelum berperang yang sesungguhnya, kita wajib punya persiapan terlebih dahulu? "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya.(QS. Al-Anfal : 60) Bila kita sudah punya semua perbekalan dan 'kekuatan tempur' yang lengkap, insya Allah sebelum perdebatan dimulai, musuh-musuh sudah gemetar terlebhi dahulu. Tapi kalau ilmu kita terbatas, dangkal dan terbatas, maka lawan bisa dengan mudah 'mencukur gundul' kita. Akibatnya, kebenaran Islam malah padam hanya lantaran kebodohan umatnya sendiri. Nauzu billahi min zalik. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Dosa Syirik Apakah Benar-Benar Tidak Akan Diampuni?


Publikasi: 09/03/2005 09:12 WIB

Assalaamu 'alaikum Wr. Wb. Pak Ustadz, saya ingin menanyakan tentang dosa syirik. Apakah dosa syirik benar-benar tidak bisa diampuni? Jika tidak, bukankah sia-sia saja ibadah yang dilakukan selanjutnya karena toh ia sudah pasti masuk neraka. Terimakasih atas jawabannya. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Yanto Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Yang dimaksud dengan dosa syirik itu tidak bisa diampuni adalah bila seseorang melakukan perbuatan syirik dan mati bersama dosa itu tanpa pernah bertaubat sebelumnya. Bedanya dengan dosa selain syirik adalah bahwa dosa itu bila terbawa sampai mati tanpa bertaubat sebelumnya, masih ada kemungkian diampuni Allah SWT. Misalnya dengan ditebus dengan amal-amal kebajikan yang dimilikinya. Sebagaimana firman Allah SWT "...Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatanperbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat".(QS. Hud : 114) Atau orang tersebut di akhirat nanti mendapatkan syafa'at dari Rasulullah SAW, sehingga dosa-dosanya diampuni dan yang bersangkutan tidak perlu diazab di neraka. Semua itu mungkin saja terjadi sehingga dikatakan bahwa dosa selain syirik akan diampuni di akhirat. Namun bila dosa yang dibawa mati itu adalah dosa syirik, maka dosa itu tidak bisa ditebus atau diampuni di akhirat. Maka yang bersangkutan harus mendapatkan siksa yang nyata-nyata pedih. Itulah maksud bahwa dosa syirik itu tidak bisa diampuni, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat berikut ini : "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar".(QS. An-Nisa : 48) "Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa

yang mempersekutukan dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauhjauhnya."(QS. An-Nisa : 114) Karena itu selama hayat masih di kandung badan, bersegeralah untuk mendapatkan ampunan dari Allah SWT, terutama yang terkait dengan dosa-dosa syirik. "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali Imran : 133) Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Masa Iddah Wanita yang Dicerai Suami : Sejak Kapan Dimulai?


Publikasi: 09/03/2005 08:59 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Saya ingin bertanya : 1. Kapan mulai menghitung masa iddah itu? sejak putusan pengadilan agama atau talak dari pernyataan/lafazh suami? 2. Apa hukumnya (dengan situasi cerai) jika ayah tidak menafkahi anak-anaknya? Adakah sanksinya? Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Ariefah Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Iddah wanita yang dicerai suaminya adalah 3 kali masa suci dari haidh. Terhitung sejak suaminya menjatuh talak, bukan dari kapan pengadilan memutuskan terjadinya perceraian itu. Dalilnya adalah firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem :

"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri tiga kali quru' . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."(QS. AL-Baqarah : 22) Sebagian ulama mengatakan bahwa makna quru'bukan masa suci dari haidh melainkan masa haidh itu sendiri. Namun jumhur (mayoritas) ulama lebih cenderung mengatakan bahwa quru' itu maknanya adalah suci dari haidh. Jadi dengan pengertian jumhur, masa 'iddah wanita yang dicerai bisa lebih cepat yaitu suci-haidh-suci-haidh-suci. Suci yang pertama adalah waktu dimana seorang wanita itu dicerai. Lalu masa iddahnya adalah sejak diceraikan di masa suci itu lalu dia menadapat haidh dua kali dan begitu suci dari haidh yang kedua, selesailah masa 'iddahnya itu. Bila dibandingkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa quru' itu bermakna haidh, maka masa 'iddah akan menjadi lebih lama. Sedangkan peranan pengadilan sebenarnya lebih kepada pencatatan, sebab hukum nikah dalam syariah Islam sudah jelas, lengkap, sempurna dan tidak perlu diintervensi terlalu jauh. Semua kitab fiqih telah mengatur dengan detail dan rinci. 2. Seorang ayah wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya, meskipun telah bercerai dengan ibu anak-anak itu. Setelah perceraian, ayah memang tidak wajib memberi nafkah kepada ibu mereka, karena mereka sudah bukan lagi suami istri. Namun hal itu tidak berlaku kepada anak-anaknya. Sebab hubungan antara ayah dan anak adalah hubungan yang abadi yang tidak akan putus walau apapun yang terjadi. Sehingga kewajiban memberi nafkah tetap harus dilakukan hingga anak itu mampu menopang sendiri hidupnya. Sedangkan sanksi secara hudud memang tidak dipastikan bentuknya, semua kembali kepada hakim yang bisa saja memberikan sanksi yang bersifat mendidik. Kita mengenal bentuk ini dengan istilah ta'zir. Misalnya, hakim berhak menghukum si ayah yang tidak bertanggung-jawab itu dengan ancaman cambuk, penjara atau denda. Tapi bentuk ini sepenuhnya menjadi hak hakim, bukan merupakan ketentuan formal dari syariat Islam. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Tentang Shalat Malam

Publikasi: 08/03/2005 13:04 WIB Assalamu 'Alaikum Wr. Wb. Ustadz, Saya mau menanyakan mengenai shalat malam: 1. Apakah shalat malam itu. 2. Berapa macam dan rakaat pada shalat malam 3. Adakah bacaan tertentu ( khusus) yang harus di lakukan dalam melaksanakannya. Sebelumya terimakasih, atas jawabannya. Wassalamu 'Alaikum Wr. Wb. Yaya Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du 1. Sholat sunnah yang dilaksanakan di waktu malam hari, memiliki sejumlah nama. Ia bisa disebut qiyamul lail sesuai dengan pelaksanaan waktunya malam hari, sholat tahajjud kalau dilaksanakan setelah tidur dahulu, karena kata tahajjud dalam bahasa Arab berarti bergadang, atau sholat witir karena jumlah rakaatnya ganjil. Sedangkan shalat malam khusus di bulan Ramadhan disebut dengan shalat tarawih. Waktunya setelah shalat Isya` sebelum tidur. Meskipun sholat malam boleh dilaksanakan sebelum tidur ?setelah pelaksanan sholat Isya-, akan tetapi waktu yang paling utama untuk melaksanakan sholat malam atau tahajjud ini adalah sepertiga malam terakhir atau menjelang fajar. Hal tersebut berdasrakan sejumlah hadit, antara lain : Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Rabb kita akan turun setiap malam ke langit dunia ketika sepertiga malam terakhir. Dia pun berfirman, "Barang siapa yang berdo?a pada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Barang siapa yang minta pada-Ku, Aku akan memberinya dan barangsiap yang memohon ampunan padaKu, Aku akan mengampuninya.? (HR. Bukhori 1145, Muslim 758) Dari Abu Hurairoh RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Kalaulah tidak memberatkan umatku, aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap kali wudhu dan aku akan mengakhirkan sholat Isya sampai sepertiga malam atau setengahnya. Dan apabila telah berlalu sepertiga malam atu setengahnya. Alloh SWT turun ke langit dunia, Dia pun berfirman, "Barang siapa yang berdo?a pada-Ku, Aku akan

mengabulkannya. Barang siapa yang minta pada-Ku, Aku akan memberinya dan barangsiap yang memohon ampunan pada-Ku, Aku akan mengampuninya. Adakah orang yang bertaubat sehingga pasti Aku menerima taubatnya." (HR Ahmad) Dari Abdulloh bin Amr berkata, Rasulullah SAW berkata padaku, "Shaum yang paling dicintai oleh Alloh adalah shaum Daud, beliau shaum satu hari dan berbuka tiga hari. Dan sholat yang paling disenangi oleh Alloh adalah sholat Daud, beliau tidur sepertengah malam dan sholat sepertiganya dan tidur seperenamnya." (HR Bukhori 3420 Muslim 1159) Dari Al-Aswad ia berkata: Aku bertanya kepada Aisyah RA, "Bagaimana sholat Nabi SAW di waktu malam?" Aisyah berkata, "Beliau biasa tidur di awal malam dan bangun di akhir malam kemudian beliau sholat, kemudian beliau kembali ke tempat tidurnya. Apabila adzan telah berkumandang beliau bangkit. Jika beliau junub, beliau mandi jika tida beliau hanya berwudhu." (HR Bukhori 1146) 2. Jumlah Rakaat Shalat Malam Ada sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang menerangkan tentang jumlah bilangan rakaat shalat malam nabi. Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menambah di dalam ramadhan dan di luar Ramadhan dari 11 rakaat. (HR Al-Bukhari) 3. Adab Shalat Tahajjud ADAB SHALAT TAHAJJUD/QIYAMULLAIL: 1. Ketika akan tidur pada malam hari berniat terlebih dahulu untuk melakukan qiyamullail. Dari Abi Darda' bahwa Nabi SAW bersabda, "Siapa yang mendatangi tempat tidurnya dan berniat akan bangun malam, namun kantuknya membuatnya tidak bangun hingga pagi hari, dia tetap mendapat pahala sesuai yang diniatkannya. Sedangkan tiudrnya itu merupakan sedekah dari Allah kepada hamba-Nya." (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah). 2. Ketika bangun malam untuk shalat, hendaknya mengusap wajahnya lalu bersiwak (membersihkan gigi), menengadah ke langit lalu berdoa seuai yang diajarkan oleh Rasulullah SAW: Laa ilaha illa anta, subhanaka astaghfiruka li zanbi wa as'aluka rahmataka. Allahumma zidni 'ilman wa la tuzigh qalbi ba'da iz hadaitani, wa habli min ladunka rahmatan, innaka antal wahhab. Alhamdulillahillazi ahyaana ba'da ma amatana wa ilaihinnusyur

. . 3. Sebelum mulai shalat lail, hendaknya dimulai dahulu dengan shalat dua rakaat yang ringan. Setelah itu barulah mulai shalat malam yang panjang terserah berapa lamanya. Dari Aisyah ra. Bahwa Rasulullah SAW bila shalat malam, beliau membukanya dengan terlebih dahulu shalat dua rakaat yang ringan. (HR. Muslim). Dri Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila kalian shalat malam, maka hendaknya memulai dengan shalat dua rakaat yang pendek." (HR. Muslim). 4. Membangunkan juga keluarganya (anak dan istri) untuk ikut shalat malam bersama. Dari Abi Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Semoga Allah merahmati seorang yang bangun malam dan membangunkan istrinya, bila istrinya menolak, maka dipercikkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati seorang istri yang bangun malam dan membangunkan suaminya, bila suaminya menolak, maka dipercikkan air ke wajahnya." (HR. Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad). Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Siapa sih Ahli Sunnah wal Jamaah?


Publikasi: 08/03/2005 11:50 WIB Kadang saya melihat di suatu kampung (yang biasanya mereka memakai hukum adat) apabila mereka melihat seseorang yang berebeda dengannya maka ia akan menjauhinya, dan mereka berkata ia bukan ahlissunah wal jamaah. Sebenarnya gimana sih pengertian ahlisunah wal jamaah sebenarnya dan mazhab apa saja yang termasuk di dalamnya? Syukroon. Asep Rosadi Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du

Istilah Ahlussunnah wal jamaah pada hari ini memang sering kali dipahami dengan cara yang kurang tepat oleh sebagian umat Islam. Padahal istilah Ahlussunnah wal jamaah adalah istilah yang telah disebutkan sejak masa Rasulullah SAW sebagai golongan yang selamat dalam aqidahnya. Sebagaimana kita dapatkan dalam hadits beliau: Dari Muawiyah bin Abi Sufyan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ?Umat sebelummu dari ahli kitab terpecah menjadi 72 millah (aliran). Dan agama ini (Islam) terpecah menjadi 73. 72 diantaranya di neraka dan satu di surga. Yaitu Al-Jamaah." (HR Abu Daud) Dalam kitab syarah (penjelasan) Sunan Abi Daud yaitu kitab Aunul Ma'bud disebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-jamaah adalah ahli Al-Quran Al-Kariem, ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ilmu yang bergabung untuk mengikuti Rasulullah SAW dalam segala halnya. Mereka tidak membuat-buat bid?ah yang merusak, merubah atau membawa pendapat yang rusak. Seolah-olah Rasulullah SAW sudah mengisyaratkan akan ada beberapa alur akidah yang menyimpang dari apa yang beliau ajarkan, sehingga beliau mewanti-wanti ummatnya agar tepat berpegang kepada ahlussunnah wal jamaah. Ahlussunnah wal jamaah yang dimaksud oleh beliau tentu bukanlah nama dari sebuah organisasi baik berbentuk ormas atau orsospol. Juga bukan nama sebuah jamaah, kelompok, pengajian, perhimpunan atau forum sebagaimana yang kita sering dapati penggunaannya oleh beragam kelompok. Istilah ahlisunnah wal jamaah digunakan oleh Rasulullah SAW untuk menyebutkan semua umat Islam yang secara aqidah berpegang teguh kepada apa yang beliau ajarkan (sunnah) serta yang diajarkan oleh para shahabat beliau (jamaah). Jadi apapun nama organisasi atau partainya, asalkan pemahaman aqidahnya sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW (yang diajarkan beliau) dan jamaah (apa yang diajarkan oleh para shahabat beliau), maka mereka semua adalah ahlus sunnah wal jamaah. Maka nama-nama yang anda sebutkan seperti Muhammadiyah, Persis, Ahmadiyah, LDII, Islam Jamaat, Khurij dan ribuan nama lainnya bisa dikatakan sebagai ahlussunnah wal jamaah manakala mereka memiliki prinsip aqidah yang seusai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya. Sebaliknya, bila mereka mengajarkan aqidah yang menyimpang dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya, maka pada titik penyimpangan itu mereka bukanlah bagian dari ahlussunnah wal jamaah. Misalnya, bila ada di antara jutaan organisasi itu yang mengingkari Allah SWT sebagai tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya, atau mengingkari kenabian Muhammad, atau mengatakan adanya nabi sepeninggal beliau, atau mengingkari kebenaran Al-Quran dan hadits, atau mengingkari adanya hari kiamat, atau mengingkari keberadaan surga dan neraka, qadha dan qadar serta apa-apa yang Allah SWT tegaskan dalam kitab-Nya, maka itu adalah penyimpangan aqidah.

Mahzab Fiqih Sedangkan di dalam aqidah umat Islam yang ahli sunnah wal jamaah ini, mungkin saja ada perbedaan teknis dalam masalah tata cara ibadah. Perbedaan ini sangat logis, wajar dan mungkin terjadi. Bahkan sudah terjadi sejak nabi Muhammad SAW masih hidup di antara para shahabatnya. Untuk itu lalu para ulama membuat metologi dalam memahami nash Quran dan Sunnah serta membuatkan 'jalan' bagi mereka yang ingin mendapatkan kesimpulan hukum dari sumber-sumber ajaran Islam itu. Jalan inilah yang kita sebut dengan mazhab fiqih. Adapaun bila metodologi yang berkembang berbeda-beda, adalah hal yang amat wajar sekali. Karena memang syariat Islam memberikan ruang untuk berijtihad di dalamnya. Di antara contohnya adalah adanya perbedaan dalam masalah hukum qunut dalam shalat shubuh, jumlah bilangan rakaat tarawih, bacaan ushalli, zikir dengan suara keras dan berjamaah serta lain-lainnya. Semua itu adalah perbedaan yang bersifat fiqhiyah, bukan dalam hal aqidah. Jadi mereka yang berbeda pendapat dalam masalah itu sebenarnya tetap sama-sama termasuk bagian dari ahli sunnah wal jamaah juga. Sedangkan yang dianggap keluar dari aqidah ahli sunnah misalnya bila punya pandangan bahwa semua agama sama, atau bahwa pemeluk agama selain Islam juga bisa masuk surga, atau pandangan bahwa hukum Islam itu tidak wajib diterapkan, memisahkan antara agama dengan kehidupan dunia dan pemikiran sesat lainnya. Semua ini termasuk paham sesat yang bisa mengeluarkan seseorang dari barisan ahli sunnah wal jamaah. Semoga Allah menetapkan hati kita di atas nikmat hidayah yang telah dianugerahi kepada kita, Amien. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Mengapa Kaum Nasrani Seakan-Akan Dianggap Musuh Islam?


Publikasi: 08/03/2005 11:36 WIB Salam Sejahtera, Dalam sejarah-sejarah awal, agama Kristen mengakui keberadaan Nabi-Nabi yang notabene-nya diakui juga oleh agama Islam dan menjadi akar dalam menjalankan agamaagama tersebut. Namun, setelah zaman Nabi Ismail pandangan masing-masing agama

tersebut menjadi saling bertentangan dan semakin tajam hingga sekarang. Yang ingin saya tanyakan: 1. Apakah kaum Muslim yang terkasih masih mengakui Nabi-Nabi yang diakui juga oleh Kaum Nasrani dan menjalankan hadis-hadis dari Nabi tersebut? 2. Mengapa kaum Nasrani dianggap kaum kafir (tidak mengenal Allah) padahal kaum Nasrani mempunyai Tuhan dan Nabi- Nabi serta menjalankan perintah-perintah dari nabi-nabi yang diakui juga oleh kaum Muslim. Hal ini juga dapat berarti menganggap kafir Nabi - Nabi tersebut. Terima Kasih Yono Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du 1. Umat Islam mengakui semua nabi dan rasul yang pernah diutus oleh Allah SWT kepada umat manusia. Dalam literatur Islam disebutkan bahwa jumlah mereka tidak kurang dari 124.000 nabi dan rasul. Sedangkan yang disebutkan namanya secara tegas di dalam Al-Quran hanya 25 orang saja. Selebihnya hanya berupa cerita tentang nabi tertentu tanpa menyebutkan secara spesifik nama masing-masing. Nabi-nabi setelah masa nabi Ismail as tetap diakui dalam Islam sebagai nabi. Hingga nabi yang terakhir di utus kepada manusia, Muhammad SAW. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran : Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikatmalaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. :"Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta'at." : "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."(QS. Al-Baqarah : 285) Namun keimanan umat Islam kepada para nabi itu terbatas pada pengakuan bahwa mereka adalah utusan Allah SWT, sedangkan risalah atau ajaran yang mereka bawa tidak berlaku lagi buat umat Islam. Kecuali bila ada konfirmasi langsung dari Nabi Muhammad SAW tentang berlakunya sebagian risalah mereka. Seperti risalah puasa nabi Daud as yang sehari puasa dan sehari tidak itu. Di dalam Islam, risalah puasa nabi Daud as itu tidak wajib tetapi hanya sunnah saja. Sedangkan bila tidak ada penegasan dari Nabi Muhammad SAW tentang sikap seorang muslim terhadap detail ajaran yang dibawa oleh para nabi itu, maka risalah itu tidak berlaku buat umat Islam.

2. Kekafiran orang nasrani dalam pandangan Islam semata-mata karena mereka menjadikan Nabi Isa sebagai tuhan atau anak Tuhan. Jadi meski mereka mengaku masih percaya kepada Tuhan, namun tata cara kepercayaann mereka itu yang salah. Dalam konsep Islam, percaya kepada Tuhan tidak bisa seenaknya sendiri, harus sesuai dengan apa maunya Tuhan itu sendiri. Maka kekafiran umat Nasrani itu lebih karena mereka menyekutukan Allah dengan menjadikan nabi Isa sebagai Tuhan, anak Tuhan serta paham tirinitasnya itu. Dalam konsep Islam, konsep Tuhan tidak bisa dijadikan bahan main-mainan para filosuf yang tidak bertanggung-jawab. Hal itu secara tegas disebutkan di dalam Al-Quran : Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah yang dapat menghalanghalangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?". Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(QS. Al-Maidah : 17) Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (QS. Al-Maidah : 72) Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih."(QS. Al-Maidah : 73) Sedangkan nabi-nabi umat nasrani tidak melakukan semua kemusyrikan itu. Dalam konsep Islam, para nabi adalah orang-orang suci yang bersifat ma'shum (tidak punya dosa), karena mereka memang terjaga dari kemungkinan berdosa. Yang kafir adalah umatnya yang kemudian membangkang dari ajaran yang dibawa oleh para nabi itu. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Apakah itu "Shalat Wusthaa" dan Apa Keutamaanya?

Publikasi: 08/03/2005 10:45 WIB Assalaamu 'alaikum Wr. Wb. Pak Ustadz, dalam Surat Al Baqarah (2 : 238) Allah SWT berfirman : "Peliharalah segala shalat (mu),dan(peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalat-mu) dengan khusyu." . Dalam salah satu Tarjamah Al-Quran ada footnote bahwa "Shalat Wusthaa" ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "shalat wusthaa" ialah shalat Ashar. Menurut kebanyakan ahli hadits, ayat ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Mohon penjelasan Ustadz yang lebih rinci dengan nash-nashnya yang syar'i jika ada, apa yang dimaksud Shalat Wusthaa dan apa keutamannya dan lain-lain. Jazakallah. Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Nana Sudiana Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Bernar bahwa Shalat Wustha adalah shalat Ashar menurut sebagian besar ulama. Dasarnya adalah hadits Aisyah ra. Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW membaca ayat :"Peliharalah shalat-shalatmu dan shalat Wustha". Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR. Abu Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya) Dari Ibnu Mas'ud dan Samurah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalat Wustha adalah shalat Ashar". (HR. Tirmizy) Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 311 menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha. Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat Wustha adalah shalat ashar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa shalat itu adalah shalat shubuh. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.

Ahmad Sarwat, Lc

Bank Syariah Bekerjasama dengan Bank Konvensional


Publikasi: 07/03/2005 10:09 WIB Assalamualaikum, Dasar hukum apakah yang digunakan oleh bank syariah yang bekerjasama dengan bank konvensional yang nota bene riba? Apakah dijamin tidak kontaminan dengan perputaran keuangannya? Karena saya juga melihat seperti adanya kerjasama pada kartu ATM dan kartu kredit yang dikeluarkan bank syariah misalnya. mohon jawabannya pak ustaz. Terimakasih. Wassalamualaikum, M. Almas Alfiyu Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Adanya bank syariah di negeri ini merupakan sebuah surprise besar buat umat Islam. Setelah puluhan tahun merdeka, umat Islam akhir menikmati juga fasilitas layanan perbankan yang berbasis syariah. Hal ini sudah wajar kita syukuri dan kita dukung bersama. Bahwa sebagian bank syariah itu masih punya kekurangan di sana-sini, tentu kita bisa maklum. Sebab proses pendirianny memang bermacam-macam. Tentunya satu dengan yang lain tidak sama dalam menghadapi kendala. Ada yang sejak awal berdiri dengan format syariah 100%, tapi tidak sedikit yang merupakan hasil konversi dari bank konvensional. Pola konversinya pun beragam, ada yang punya sistem keuangan terpisah sejak awal namun ada juga yang baru sekedar setingkat divisi atau level tertentu saja. Tentu saja kita berhak untuk mendapatkan bank syariah yang 100% menerapkan pembukuan tersendiri, bahkan menerapkan 100% semua aturan syariah yang qath'i dan tidak masih dalam perdebatan. Dan ini sebenarnya tantangan bagi para penyelenggara bank syariah yang ada. Bagaimana mereka harus berpacu untuk melahirkan bank syariah yang diharapkan umat.

Alhamdulilah, beberap bank syariah meski masih memakai nama bank induknya, namun sudah menerapkan sistem keuangan terpisah. Meski ATM-nya masih menggunakan ATM secara bersama-sama, namun tetap ada sistem keuangan yang terpisah. Sebab mesin ATM itu hanya alat saja untuk menarik sejumlah uang. Tidak berarti bila ATM itu milik sebuah bank konvensional lantas semua uang yang ditarik dari ATM tersebut pasti riba. Dan agaknyam kalau kita menuntut jaminan 100% murni syariah dalam arti kata yang seluas-luasnya, mungkin masih agak berlebihan. Sebab nyaris hampir semua bank syariah di negeri ini (kecuali BMI) masih punya induk yang bukan syariah, meski dengan sistem keuangan yang terpisah. Bahkan semua bank syariah di Indonesia ini tetap harus berkerja di bawah Bank Indonesia (BI), di mana BI memang seakan menjadi induk dari semua bank yang ada. Maka pastilah dengan kaitannya dengan Bank Induk atau dengan Bank Indonesia ini, ada saja transaksi jenis tertentu yang tidak bisa terhindar dari riba. Jadi dalam konteks ini, kita perlu lebih bijaksana dalam bersikap. Sering digambarkan masalah ini dengan orang tua dan anak, di mana orang tuanya masih belum muslim tapi anaknya sudah muslim. Dalam banyak hal, sulit untuk melepaskan begitu saja hubungan antara orangtua dan anak, pastilah ada wilayah-wilayah di mana mereka masih tetap harus berinteraksi. Dan tidak mungkin kita melarang anak itu untuk menjadi muslim hanya gara-gara orang tuanya masih belum menjadi muslim, bukan? Namun kita juga punya kewajiban untuk memotivasi para penyelenggara bank syariah itu untuk melakukan beragam akselerasi di berbagai bidang, termasuk dalam penerapan syariat Islam. Tidak kalah pentingnya adalah meng-upgrade para karyawan untuk mengerti dan paham betul apa itu syariah. Sebab tidak sedikit di antara mereka yang berasal dari bank konvensional.

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Menjadi Komikus, Haram atau Tidak?


Publikasi: 07/03/2005 09:53 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Saya seorang komikus amatir (pembuat gambar/cerita komik) dan berencana menjadikan keahlian saya ini sebagai pekerjaan tetap untuk mencari nafkah. Namun akhir-akhir ini saya belajar hadits dan menemukan bahwa membuat patung/menggambar makhluk hidup itu akan membuat kita nanti disiksa di akhirat dengan disuruh menghidupkan gambargambar buatan kita sendiri, karena kita dianggap menandingi Allah yang menciptakan

semua makhluk yang digambar itu. Pertanyaan saya, hadits tersebut berlaku untuk gambar seperti komik atau patung saja? Saya takut sekali jika mendapatkan nafkah dari jalan yang tidak diridhai Allah. Dan bagaimana dengan karya-karya yang sudah jadi atau yang sudah pernah menghasilkan nafkah yang telah saya makan? Bagaimana tobatnya? Terima kasih. Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Widiyanto bin Achmad Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Para ulama sepakat mengatakan bahwa menggambar makhluk yang tidak bernyawa itu halal hukumnya. Seperti menggambar pemandangan alam, benda-benda mati di sekeliling kita. Sedangkan dalam hukum menggambar makhluk bernyawa seperti manusia dan hewan, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas (jumhur ulama) mengharamkan seseorang menggambar mahluk yang bernyawa seperti manusia dan hewan. Di antara mereka adalah Al-Hanafiyah, AsySyafi'iyah dan Al-Hanabilah. Bahkan Al-Imam An-Nawawi terlalu bersemangat sampaisampai mengatakan bahwa haramnya menggambar itu sudah menjadi kesepakatan semua ulama. Sedangkan dalilnya adalah hadits nabawi berikut ini : Dari Abdullah bin Mas'ud r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang yang siksanya paling pedih di hari kiamat adalah para penggambar". (HR. Bukhari dan Muslim). Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Para penggambar ini nanti di hari kiamat akan disiksa dan diperintahkan kepada mereka,"Hidupkan gambar yang kamu buat". (HR. Bukhari dan Muslim). Namun sebagian lain ulama ada yang tidak sampai mengharamkannya secara mutlak, kecuali hanya sampai batas makruh saja. Salah satunya adalah pendapat dari kalangan Al-Malikiyah, Ibnu Hamdan dari kalangan Al-Hanabilah dan sebagai dari kalangan salaf. Mereka mengatakan bahwa hukum menggambar itu tidak haram, kecuali bila terpenuhi hal-hal berikut ini : 1. Bila gambar itu punya bayangan (zhill) maka hukumnya haram. Maksudnya adalah gambar itu berbentuk tiga dimensi. Sedangkan bila gambar itu hanya terlukis pada media yang datar seperti kanvas, kertas, kain dan sejenisnya, tidak termasuk yang diharamkan.

2. Bila gambar itu utuh sepenuh badan. Sedangkan bila gambar itu hanya sepotong saja sehingga tidak mungkin makhluk itu hidup hanya dengan kekurangan sepotong badannya itu, maka tidak termasuk yang diharamkan. 3. Gambar itu dibuat di atas media yang abadi seperti batu, tembok dan lainnya. Sedangkan bila dibuat di atas sesuatu yang mudah rusak atau hilang seperti pasir atau daun yang mudah layu, di atas makanan yang sebentar kemudian dimakan, maka hukumnya tidak diharamkan. Dr. Khalid bin Abdullah Al-Qashim, salah seorang anggota Dewan Pengajar pada Universitas King Suud Saudi Arabia mengatakan bahwa bila gambar itu tidak diagungkan tidak mengapa, seperti untuk mainan anak-anak dan lain sebagainya. Dengan dalil bahwa Rasulullah SAW membiarkan Aisyah ra bermain dengan boneka kudakudaan yang bersayap. Lihat hadits pada Sunan Abi Daud dan juga keterangan hadits pada Fathul Bari jilid 10 halaman 527. Bahkan Rasulullah SAW juga mendiamkan gambar yang ada di dalam rumahnya yang terlukis pada bantalnya. Di antara hal-hal yang juga ikut membenarkan gambar mahluk hidup adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap mata uang Dinar (emas) dan Dirham (perak). Beliau dan para sahabat menggunakan kedua jenis mata uang itu dalam kehidupan seharihari, padahal kita tahu dalam sejarah bahwa kedua jenis mata uang itu bergambar para raja Romawi dan Persia. Namun kita tidak mendapatkan satu riwayatpun yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW melarang para sahabat menggunakan mata uang yang bergambar kepada para raja itu. Sedangkan Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan bahwa dirinya lebih cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa gambar yang diharamkan adalah yang berbentuk patung (punya bayangan). Sedangkan gambar yang dibuat pada media kertas, kanvas atau lainnya bukan termasuk yang diharamkan. Lebih jauh beliau menegaskan untuk gambar kartun/komik sebagai berikut : 1. Gambar kartun tidak termasuk gambar yang sempurna (lengkap). Gambar itu punya karakter khusus yang sangat membedakannya dengan makhluk aslinya. 2. Gambar itu bila digunakan untuk hal-hal positif seperti untuk dakwah, pengajar agama dan tarbiyah tentu menjadi media yang sangat komunikatif. Terutama karena mudah diterima oleh anak-anak 3. Bahwa orang-orang kafir telah memanfaatkan gambar kartun ini untuk memasukkan pelajaran agama mereka ke dunia kita. Sudah selayaknya kita pun membuat kartun ini untuk menjelaskan agama kita, peradaban kita dan ajaran ini kepada anak-anak kita dengan media kartun yang sangat mereka gemari itu. Lebih jauh apa yang dijelaskan oleh ustadz yang satu ini, anda bisa klik di http://www.islamonline.net/fatwa/arabic/FatwaDisplay.asp?hFatwaID=103079. Asalkan anda bisa bahasa arabnya.

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Bolehkah Seorang Muslim Mempercayai Ramalan?


Publikasi: 07/03/2005 09:02 WIB Assalaamu 'alaikum Wr. Wb. Ustadz saya ingin bertanya, singkat saja. Bolehkah seorang muslim mempercayai ramalan seperti ramalan bintang (zodiak), mimpi, dan sebagainya? Jazakumullah atas jawabannya. Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Nur Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Jawabannya juga singkat saja, yaitu tidak boleh alias haram. Sebab perbuatan itu telah dilarang oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diancam sebagai orang yang kufur alias mengingkari ajaran Islam. Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda:"Barang siapa yang mendatangi tukang tenung lalu membenarkan apa yang dikatakannya maka ia telah mengkufuri apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW" (HR Abu Daud, Bukhori, Ahmad dan Tirmidzy) Selain itu disebutkan juga bahwa orang yang datang kepada peramal dan membenarkan ramalannya, shalatnya tidak akan diterima Allah selama 40 hari. Sebagaimana hadits nabawi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, kemudian ia bertanya kepadanya tentang sesuatu hal dan membenarkan apa yang dia katakan, maka sholatnya tidak akan diterima selama 40 hari" (HR Muslim 4/1751)

Lebih parah lagi, di dalam Al-Quran disebutkan bahwa dosa syirik itu adalah jenis dosa yang tidak bisa diampuni lagi, selama pelakunya belum sempat taubat dalam hidupnya. Berbeda dengan dosa selain syirik yang ada kemungkinan diampuni di akhirat, dosa syirik bila dibawa mati, akan menjadikan pelakunya abadi di neraka kekal selamanya. "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar".(QS. An-Nisa : 48) Zodiak dan ramalan tidak lain adalah bagian dari perkara syirik yang wajib dijauhi oleh seorang muslim, meskipun hanya untuk main-main saja. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Pernikahan Beda Agama


Publikasi: 07/03/2005 08:52 WIB Asslamu 'alaikum Wr. Wb. Baru-baru ini kita dikejutkan oleh pernikahan pasangan selebriti Dedi Corbuzier dengan seorang wanita (sys lupa namanya). Dedi seperti kita ketahui beragama kristen sedang pasangannya beragama islam. Pada saat menikah dia mengaku memakai tata cara islam tetapi dia tetap mempertahankan agamanya. Yang mengherankan (menurut pengakuan Dedi) dia dinikahkan oleh petugas KUA yang notabene bergelar MA. Yang saya tanyakan bagaimana sebenarnya hukum pernikahan seperti ini, apakah sah/tidak? Dalam pengamatan saya, agama (dalam hal ini Islam) seperti dijadikan tameng saja biar masyarakat tidak memberi cap jelek. Apakah tidak ada tindak lanjut dari MUI atau yang berwenang lainnya untuk masalah ini. Bagaimana jika sampai muncul anggapan Islam memberi fasilitas untuk kegiatan seperti ini? Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Riezt Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du

Islam adalah yang menjadi rahmat bagi alam semesta, bukan hanya untuk pemeluknya saja, tetapi juga untuk pemeluk agama lainnya. Sejarah emas perjalanan umat Islam selama lebih dari 14 abad telah membuktikan bagaimana sikap toleransi dan santun, terutama kepada pemeluk agama lain. Itulah salah satu rahasia mengapa agama Islam demikian cepat tersebar dalam waktu cepat ke berbagai peradaban umat manusia. Ulama Sepakat Mengharamkan Wanita Muslimah Dinikahi Laki-laki Non Muslim Para ulama sepakat untuk mengharamkan wanita muslimah dinikahi oleh laki-laki yang bukan muslim. Apakah laki-laki itu ahli kitab atau pun penyembah berhala atau seorang atheis sekalipun. Keharamannya mutlak dan secara tegas disebutkan di dalam Al-Quran Al-Karim. "Dan janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan wanita muslimah) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran". (QS. Al-Baqarah : 221). Bila seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, baik ahli kitab maupun yang lainnya, maka hukumnya haram. Bila mereka melakukan hubungan suami istri, maka itu merupakan zina. Dan konsekuensi hukum lainnya adalah anak yang dilahirkannya meski memeluk Islam, tapi tidak bisa berwali kepada ayahnya lantaran beda agama. Begitu juga konsekuensi hukumnya sampai kepada masalah hukum waris. Dimana para ulama umumnya mengatakan bahwa perbedaan agama mengakibatkan tidak bisa saling mewarisi. Artinya, istri yang muslimah tidak bisa mewarisi harta suaminya yang bukan Islam dan sebaliknya suami pun tidak bisa mewarisi harta istrinya. Tentang komentar anda bahwa ada seorang tokoh yang menikahkan mereka, dia adalah Dr. Zaenun Kamal, MA. Seorang staff pengajar di UIN Jakarta dan di beberapa lembaga pendidikan lainnya. Tokoh ini sejak dahulu memang terkenal agak 'aneh' dengan pendapat-pendapat kontroversialnya. Semua orang yang mengenalnya (termasuk kami) sudah maklum dengan sikapnya. Yang jelas, dia bukan doktor di bidang syariah, disiplin ilmunya adalah filsafat dan hal-hal yang terkait dengan wilayah itu. Sehingga kurang bijaksana untuk menjadikan tokoh 'kontroversial' ini sebagai rujukan dalam masalah fiqih. Sebaiknya kita merujuk suatu urusan kepada ahlinya yang profesional di bidangnya, agar tidak salah jalan dan tersesat tak tahu arah. Kebolehan Laki-laki Muslim Menikahi Wanita Ahli Kitab Salah satu bentuk toleransi dan penghargaan agama Islam kepada agama lain adalah beberapa ketentan syariat atas pemeluk agama ahli kitab. Nyata dan tegas di dalam

syariat Islam disebutkan bahwa makanan (sembelihan) ahli kitab hukumnya halal buat umat Islam. Demikian juga menikahi wanita ahli kitab pun dihalalkan dalam Al-Quran, Sunnah dan ijma para ulama. Ketetapan ini merupakan ketentuan yang datang langsung dari Allah SWT di dalam firman-Nya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.(QS. Al-Maidah : 5) Terkait dengan hukum menikah antara agama, berdasarkan firman Allah SWT di atas, para ulama sepakat menetapkan kebolehan laki-laki muslim untuk menikahi wanita dari kalangan ahli kitab, baik yahudi maupun nasrani. Tetapi selain wanita ahli kitab, hukumnya tetap haram. Yaitu wanita pemeluk agama berhala seperti Konghuchu, Hindu, Budha, Shinto dan lainnya. Sedangkan bila sebaliknya, para ulama sepakat mengharamkan wanita muslimah dinikahi oleh laki-laki non muslm, baik dari kalangan ahli kitab maupun agama penyembah berhala. Namun meski pun laki-laki muslim secara hukum dihalalkan untuk menikahi wanita ahli kitab baik dari kalangan yahudi atau nasrani, tidak berarti harus ditempatkan pada posisi prioritas utama. Sebab selain urusan kehalalan dari segi hukum, tetap harus ada banyak pertimbangan lainnya. Seperti masalah pendidikan anak yang seharusnya diserahkan kepada seorang ibu yang muslimah, agar sejak dini anak itu bisa dididik dengan pendidikan Islam yang benar. Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk menikahi wanita karena agama dan kesholehannya, meski dibolehkan juga untuk mempertimbangkan hal lainnya seperti kecantikan, keturunan dan kekayaan. Karena dengan bekal agama dan kesholehannya, iman kita lebih terjaga dan anak-anak kita akan mendapatkan pendidikan Islami sejak dini tanpa banyak hambatan. Tapi bila istri berbeda agama, sulit membayangkan bisa terbentuk keluarga yang islami. Susah untuk bisa menyelenggarakan makan sahur bersama, atau shalat berjamaah sekeluarga atau mengaji bersama. Dan akhirnya, sulit untuk membayangkan wajah-wajah penuh tanya dari anak-anak kita nantinya,"Kenapa mama tidak shalat ?". "Kenapa mama masuk neraka, padahal dia baik?". Jadi akan lebih bijaksana untuk berpikir dua kali lebih baik dari pada terburu nafsu. Yang Mengharamkan Nikah Antar Agama Karena itulah kemudian ada sebagian ulama yang masih belum bisa menerima kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Misalnya pendapat Ibnu Umar ra yang mengatakan bahwa wanita nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang

mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa as. Sehingga untuk itu mereka menyamaratakan saja untuk mengharamkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Mencari Jodoh Lewat Internet


Publikasi: 04/03/2005 10:57 WIB Apakah boleh memilih calon pasangan hidup melalui media internet, mengingat kemajuan teknologi saat ini, dan bagaimana hukumnya? Irma Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Pada dasarnya tidak ada larangan untuk mencari calon pendamping hidup di internet. Apalgi di zaman yang maju dan serba digital ini. Apapun bisa dilakukan dengan menggunakan internet, mulai dari baca berita, konsultasi beragam masalah, belanja, kirim surat, ngobrol dengan chat dan webcam, bahkan kuliah secara online. Dan tidak lupa juga, di internet kita bisa mencari teman bahkan kalau perlu bisa sampai kepada mendapatkan calon pasangan hidup. Semua itu bisa saja dilakukan dan hukumnya syah-syah saja, asalkan dalam pelaksanaannya tidak melanggar prinsip dasar syariah Islam. Misalnya, ketika berkenalan dengan calon pasangan, janganlah sampai terjadi affair baik online apalagi offline. Sebab affair itu akan membawa kepada perzinaan dari yang paling ringan sampai kepada the real zina. Sebaiknya forum itu dimanfaatkan dengan tetap menjaga nilai-nilai etika Islami yang memang sopan dan penuh dengan ketaatan kepada Allah SWT.

Tapi melihat kenyataannya, agaknya memang sulit untuk menghidupkan suasana yang demikian. Sulit dipungkiri bahwa yang terjadi malah sebaliknya, perkenalan antara lawan jenis di internet itu cenderung mengabaikan tata sopan santun pergaulan yang Islami. Bahkan terkadang mereka yang sudah lebih baik pemahaman Islamnya pun terbawabawa dengan gaya seperti ini. Pernah ada seorang wanita muslimah yang bila bertemu langsung dengan lawan jenisnya, sangat menjaga adab dan tata cara pergaulan yang Islami. Wajahnya lebih sering menunduk, pandangan matanya sangat terjaga, bicaranya pun dijaga sedemikian rupa. Namun ketika dia berada di alam maya, dari bahasa yang digunakan, cara mengungkapkan suatu hal serta sudut pandangnya seringkali membuat kita tidak mengenali lagi sosok yang sesungguhnya. Mengapa bisa terjadi hal yang demikian? Ada banyak kemungkinan. Salah satunya adalah bahwa di alam maya, seseorang bisa mendapatkan suasana yang lebih privasi ketimbang tampil langsung. Segala hal yang dipendam jauh di lubuk hati, seakan mendapat ruang ekspresi ketika diketikkan dan ditampilkan di internet. Apalagi memang bisa saja ungkapan itu disampaikan kepada siapa pun tanpa harus diketahui identitasnya. Sehingga tidak perlu lagi sungkan atau malu. Dan barangkali itulah sebabnya mengapa banyak kami terima pertanyaan dari para penanya di ruang 'Ustaz Menjawab' ini tentang hal-hal yang agak menyerempat pada wilayah sensitif. Bisa jadi hal itu karena memang adanya suasana privasi tadi. Di sinilah tantangannya, bagaimana seorang muslim berinteraksi dengan lawan jenis di internet perlu lebih diperhatikan. Agar jangan terjadi hal-hal yang kurang bisa diterima. Selain itu, karena identitas seseorang bisa saja disembunyilkan, maka kemungkinan seseorang berbohong pun bisa saja terjadi. Apalagi mengingat internet itu memang bebas dimasuki oleh siapa saja. Di dalamnya ada ustaz, kiayi, penjahat, koruptor, maling dan sebagainya. Semua menyatu di sebuah jagad maya. Tinggal bagaimana memastikan bahwa calon pendamping kita itu adalah orang yang benar-benar terselenksi dengan baik. Dan ini sebenarnya justru merupakan pe-er tersendiri yang harus dipecahkan. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Hukum Menepuk Pundak Imam


Publikasi: 04/03/2005 10:19 WIB Assalamu'alaikum Seringkali terlihat kebiasaan oleh masbuk ketika akan mengikuti orang yang sedang shalat sendirian dengan menepuk pundaknya, pertanyaan saya:

1. Adakah contoh ini diperintahkan oleh Rosululloh (adakah hadits tentang ini), jika tidak ada bagaimana tatacara yang benar? 2. Bukankah dengan menepuk pundak seseorang yang sedang sholat, berarti kita mengganggu kekhusyu'an sholatnya? Dan bagaimana jika orang yang diikuti itu sebenarnya sedang sholat sunnah, apakah sholat orang yang ikut dengan niat sholat wajib tetap sah. Syukron Jazakumulloh atas jawaban ustadz. Wassalaamu'alaikum. Agus Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Menepuk pundak itu bukan hal yang disepakati oleh semua orang, sehingga salah-salah bisa melahirkan salah tafsir dari si imam. Tidak tertutup kemungkinan orang itu tidak tahu isyarat tepuk pundak ini, sehingga dia menganggap tepukan itu justru gangguan atau peringatan bahaya, lalu dia menyingkir atau malah membatalkan shalatnya, atau yang paling parah adalah dia balas menepuk kepada makmum. Sebenarnya menepuk pundak seorang yang sedang shalat untuk tanda bahwa seorang yang tadinya shalat sendiri lalu dijadikan imam hanyalah masalah nalar belaka. Maksudnya agar orang tersebut mengetahui bahwa di belakangnya ada barisan makmum yang mengkutinya. Tapi sama sekali tidak ada dalil yang mendasari seseorang untuk menepuk pundak orang yang akan dijadikan sebagai imam. Baik dari kitabullah maupun dari sunnah rasul-Nya. Mungkin logika nalarnya adalah diharapkan agar si imam ini menyesuaikan diri dalam bacaan dan gerakan shalatnya. Misalnya pada shalat jahriyah dimana seharusnya imam mengeraskan bacaan, maka dengan memberi tanda dengan menepuk pundaknya, dia akan mengeraskan bacaan Al-fatiha dan ayat Al-Quran dan para makmum bisa mengamini. Tapi sebenarnya secara tidak langsung seseorang yang shalat sendiri lalu dijadikan imam tidak perlu ditepuk pundaknya, karena pastilah dengan sendirinya akan mengetahui bahwa di belakangnya ada makmum. Bermakmum dengan Imam yang Beda Niatnya Dalam hadits disebutkan bahwa fungsi imam adalah untuk diikuti, "Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti."

Dalam hadits lainnya disebutkan bahwa Muaz bin Jabal pernah shalat berjamaah bersama Rasulullah SAW, tetapi ketika kembali kepada kaumnya dia shalat lagi (shalat yang sama). Dua hadits ini bermuara kepada dua kesimpulan yang berbeda. Hadits yang pertama, oleh para ulama dijadikan dasar bahwa shalat imam dan makmum tidak boleh berbeda jenisnya. Kalau imam shalat zhuhur maka makmumnya hanya boleh shalat zhuhur pula. Tetapi hadits kedua oleh ulama lainnya dijadikan bahwa antara imam dan makmum boleh shalat dengan niat masing-masing yang berbeda. Karena ketika Muaz bin Jabal shalat bersama Rasulullah SAW, dia shalat dengan niat shalat fardhu. Tetapi ketika kembali ke kaumnya, dia shalat bersama mereka dengan niat shalat sunnah dan makmumnya niat shalat fardhu. Dalam literatur fiqih Islam, pendapat pertama diwakili oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Sedangkan pendapat kedua diwakili oleh Imam Asy-Syafi?i. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, hadits Muaz adalah khusus untuk Muaz saja, yaitu bolehnya seseorang shalat bersama imam tetapi berbeda niatnya. Sedangkan menurut Imam Asy-Syafi'i, hadits yang menerangkan bahwa imam itu dijadikan iam untuk diikuti adalah dalil yang umum, di samping dalil umum itu adalah takhshish (pengkhususan), yaitu hadits Muaz yang menerangkan bolehnya seseorang shalat di belakang imam meski berbeda niatnya dengan imam. Lepas dari perbedaan di atas, kalaupun boleh terjadi perbedaan niat shalat antara imam dan makmum, tetapi harus diperhatikan bahwa jumlah rakaat imam harus lebih sedikit dari makmum, atau minimal sama. Karena kalau jumlah rakaat imam lebih banyak, rusaklah jamaahnya, karena begitu makmum selesai ternyata imam belum selesai. Karena itu bila salah satunya musafir dan ingin shalat qashar, jadikanlah musafir itu imam, karena rakatnya lebih sedikit dibanding mereka yang shalat bukan sebagai musafir. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Wali Nikah Tidak Bisa Hadir, Bolehkah Akad Lewat Telepon?


Publikasi: 04/03/2005 10:09 WIB Assalamualaikum wr. wb.

Pak ustadz yang terhormat, saya ingin bertanya tentang sepasang laki dan perempuan hendak menikah padahal yang berhak menjadi wali jauh tak mungkin datang. Apakah boleh akad nikah lewat telpon? Atau wali tersebut mewakilkan ke seseorang yang untuk menikahkan anaknya, walau wali tersebut tidak kenal orang yang akan mewakilinya? Gambaran ini apa yang terjadi di rantau dan kebanyakan ilegal tak mungkin utuk dilaksanakan di KBRI. Mohon jawaban yang jelas dan terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. Zaeni Jeddah Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Hanya seorang ayah kandung yang berwenang untuk menikahkan seorang gadis. Kecuali bila ayah kandung sudah wafat, maka yang berhak menjadi wali adalah kakeknya. Dan demikianlah seterusnya sesuai dengan daftar para wali yang telah ditetapkan dalam syariah. Bila seorang ayah kandung tidak bisa hadir langsung untuk melakukan akad nikah anak gadisnya, syariat Islam membolehkan untuk mewakilkan kewaliannya kepada seseorang yang beliau percaya untuk melaksankan akad nikah anaknya. Istilah yang dikenal dalam fiqih Islam adalah taukil. Hadir dan tidaknya beliau dalam akad nikah itu, tidak menjadi masalah, karena pada prinsipnya beliau sudah mewakilkan kepada orang lain. Posisi orang lain ini tidak selalu harus seorang yang masih punya hubungan darah dengan dirinya, juga tidak diharuskan seorang hakim yang resmi, tetapi bisa siapa saja yang memenuhi syarat untuk menjadi wali dalam sebuah pernikahan. Misalnya laki-laki, akil, baligh, adil dan tentu saja harus seorang muslim. Sebab orang non muslm tidak berhak menjadi wali bagi wanita muslimah. Sedangkan akad nikah lewat telepon tidak bisa diterima karena akad nikah itu harus disaksikan. Sehingga kedua belah pihak harus duduk bersama dalam satu majelis yang disaksikan oleh dua orang laki-laki. Akad nikah memang ada persamaan dengan akad jual beli, namun akadnya jauh lebih kompleks karena diwajibkan adanya saksi. Sedangkan akad jual beli masih dimungkinkan untuk tidak terjadi pertemuan antara penjual dan pembeli. Jual beli seperti itu dibenarkan dalam syariat dan diistilahkan dengan bai'ul mu'ataah. Akad nikah tidak bisa diqiyaskan hukumnya dengan bai'ul mu'ataah, karena terkait dengan menghalalkan hubungan dengan seorang wanita. Dan secara kaidah fiqhiyah, kita mengenal aturan Al-Ashlu fil Abdha'i At-Tahrim, yaitu bahwa hukum asal dari menggauli

seorang wanita itu adalah haram. Kecuali ada celah yang bisa menghalalkannya yaitu dengan jalan pernikahan. Disini kita bisa ketahui bahwa akad nikah boleh diwakilkan tapi tidak boleh dilakukan tanpa kehadiran orang yang mendapatkan mandat untuk mewakilkan. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Tanya Hukum Shalat Sunnah Sebelum Jumat


Publikasi: 03/03/2005 11:16 WIB Assalaamu 'alaikum Wr. Wb Pak Ustadz yang dimuliakan Allah. Adakah dalil yang membolehkan atau melarang sholat kobliatal Jum'at. Orang-orang kalangan NU biasanya melakukannya dua rakaat setelah adzan pertama. Dan bolehkah adzan pertama itu selalu dilakukan walupun tanpa ada sebab musababnya? Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Desi Nuryati Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Masalah yang Anda tanyakan termasuk kategori masalah klasik yang telah telah diperdebatkan ulama sepanjang zaman. Ringkasnya, tiga mazhab besar dari empat yang kita kenal (Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah) menyatakan bahwa shalat qabliyah Jumat itu tidak ada dasar pensyariatannya. Sedangkan satu mazhab lagi yaitu As-Syafi'iyah menyatakan sebaliknya. Dan karena masalah ini menjadi perdebatan ulama selevel imam mazhab, kita bisa memaklumi. Sebab mereka itu memang pakar ilmu syariah yang nyaris tidak ada lagi bandingannya sepanjang zaman. Hampir 13 s/d 14 abad mereka telah eksis menjadi imam dalam masalah fiqih yang levelnya sampai kepada mujtahid mutlak. Kita hargai mereka dengan perbedaan hasil ijtihad sebagai hasil kerja profesional.

Perbedaan pendapat di kalangan mereka bila memang sampai terjadi harus kita pahami bahwa masing-masing datang dengan argumentasi yang sulit terbantahkan. Semua punya landasan yang kuat dan tidak mudah mencari titik lemahnya. Meski pun kita juga tidak bermaksud menuhankan mereka dalam pendapat fiqih. Tapi kalau kita telusuri satu persatu proses yang mereka lakukan sampai kepada kesimpulan masing-masing, pastilah kita akan geleng-geleng kepala. Betapa semua itu lahir dari sebuah proyek ijtihad yang maha raksasa yang dilakukan oleh pakar yang ahli di bidangnya. Namun tidak ada salahnya kalau kita berikan sedikit 'sinopsis'nya disini. Intinya memang pada perbedaan pendapat tentang hadis-hadis yang meriwayatkan praktek shalat qabliyah jumat itu. Di mana mereka yang menafikannya mengatakan bahwa tidak ada satuny hadits tentang itu yang shahih. Yang ada hanyalah hadits-hadits lemah saja. Namun As-Syafi'iyah memang tidak melandaskan pendapatnya pada hadits yang lemah sebagaimana dituduhkan. Beliau mengambil jalan qiyas, yaitu mengqiyaskan shalat Jumat dengan shalat Zhuhur. Sehingga kalau sebelum shalat Zhuhur disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah sebelumnya, maka demikian juga dengan shalat Jumat, disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah sebelumnya. Dan dalam 'teknologi' qiyas ini, Imam As-Syafi'i adalah pakar nomor wahid yang sulit dijatuhkan argumentasinya begitu saja. Imam mazhab lainnya pun mengakui kepakaran beliau dalam bidang ini. Maka meski kami secara pribadi lebih cenderung kepada pendapat ketiga imam lainnya, namun pendapat Asy-Syafi'i ini tidak bisa disepelekan begitu saja. Apalagi bila sampai kita melecehkannya, sungguh sebuah sikap yang tidak pernah dilakukan oleh para imam mazhab lainnya yang berbeda pendapat dengan beliau. Karena itu, sebaiknya kita berikan kesempatan kepada saudara-saudara kita yang ingin melakukan shalat qabliyah Jumat, bila mereka memang yakin akan hal itu, tanpa perlu dilarang-larang. Mungkin dalam pandangan kita, pendapat mereka lemah, tapi bisa saja benar. Dan dalam pandangan mereka, pandangan kita kurang tepat, tapi bisa saja benar. Selama suatu masalah masih dalam ruang lingkup ijtihad, kita tidak bisa memutlakkan kebenaran salah satu pendapat, meski kita tetap boleh memilih salah satunya. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Berinvestasi dan Mendapat Bagian 5 % dari Nilai Investasi, Halalkah?


Publikasi: 03/03/2005 10:24 WIB

Assalaamu 'alaikum Wr. Wb. Pak Ustadz, saya ingin bertanya apakah halal jika seseorang menginvestasikan uangnya dalam usaha orang lain dengan perjanjian mendapat bagian keuntungan sebesar 5 % per bulan dari nilai uang yang diinvestasikan tersebut. Saya mengucapkan terima kasih atas jawaban ustadz. Wassalaamu 'alaikum wr. wb. Sutriyo Hutomo Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Investasi adalah bentuk penyertaan modal kepada pihak lain untuk mendapatkan pembagian hasil. Investasi adalah salah satu bentuk cara mendatangkan penghasilan yang dibenarkan di dalam syariat Islam, asalkan memenuhi aturan yang dibenarkan. Investasi yang tidak dibenarkan di dalam Islam adalah bentuk investasi yang pernah dilakukan oleh para pedagang Mekkah di masa jahiliyah dahulu. Mereka adalah para pelaku perdagangan internasional yang di masa sekarang ini sering disebut dengan bisnis ekspor impor. Untuk melancarkan bisinis ini, mereka tentu butuh investasi atau penyertaan modal. Dan hal itu mereka lakukan dengan cara memberikan nilai tertentu dari besarnya nilai investasi kepada investor. Praktek ini adalah praktek yang di dalam Al-Quran Al-Kariem sebagai riba yang diharamkan. Dan wajib ditinggalkan sampai tidak bersisa lagi. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah : 278) Letak keharamannya ada pada cara memberikan reward dengan didasarkan kepada prosentase besar nilai investasinya. Misalnya, bila nilai investasinya 1 milyar, maka tiap bulan akan mendapat 5 persen dari 1 milyar itu. Inilah bentuk riba yang diharamkan syariat. Tetapi bila yang dibagi adalah keuntungan dari bisnis tersebut, hukumnya halal dan dibenarkan secara syariah. Misalnya setiap dapat untung, pihak investor akan mendapat bagi hasil dari total keuntungannya sekian persen. Semakin besar keuntungannya, tentu dia akan mendapatkan bagi hasil keuntungan yang juga besar. Sebaliknya, bila keuntungannya agak berkurang, tentu saja bagian yang didapatnya akan ikut berkurang juga.

Maka agar investasi itu bisa diterima secara syariah, aturan mainnya yang harus disesuaikan agar tidak melanggar nilai syariah. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Menyiapkan Kubur Sebelum Meninggal Dunia


Publikasi: 03/03/2005 10:04 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Pak Ustadz, saya pernah ditanya apakah kita boleh menyiapkan kuburan untuk diri sendiri atau orang lain sebelum kita atau orang lain tersebut meninggal dunia? lalu bagaimana hukumnya? Terima kasih. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb Syarif Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Boleh-boleh saja bila seseorang semasa hidupnya sudah menyiapkan sepetak tanah yang nanti akan menjadi tempat peristirahatannya yang terakhir. Sebab di masa kini kita tahu bahwa kuburan sudah semakin sempit dan sekedar untuk dikuburkan pun harus bayar. Kalau sejak masih hidup seseorang sudah membeli tanah untuk kuburannya sendiri, Insya Allah tidak akan menyusahkan keluarganya untuk sering-sering membayar retribusi 'parkir' sepanjang zaman. Sebagaimana kita tahu, bila pihak keluarga tidak membayar biaya itu secara rutin, seringkali kuburan itu dimanfaatkan lagi untuk menguburkan orang lain. Walau pun sebenarnya hal itu tidak menjadi masalah dari sisi hukum syariatnya. Sebagaimana kita tahu bahwa hal itulah yang terjadi di Ma'la, pekuburan di kota Mekkah dan Baqi' di kota Madinah.

Tapi kami ingin ingatkan bahwa sebenarnya bukan kuburan yang seharusnya dikedepankan, tapi apa yang akan kita bawa masuk kuburan, itulah yang seharusnya diperhatikan. Apa yang kita bawa masuk ke dalam kuburan itu tentu saja bukan harta benda, karangan bunga atau siraman air mawar, tetapi amal kebajikan yang kita lakukan selama hidup di dunia. Dan amal kebajikan ini harus juga diimbangi dengan pemahaman ilmu syariah yang benar, agar jangan sampai kita kecewa akhirnya, karena kita merasa sudah banyak beramal tapi sia-sia karena keawaman kita sendiri. Dengan pemahaman syariah itu, kita tahu bahwa amal-amal kebajikan itu ternyata harus didasari dengan aqidah yang benar, karena amal seseorang yang landasan aqidahnya lemah hanya akan menghasilkan kesia-siaan saja. Misalnya, ada orang yang kerja setiap hari menyumbang bencana alam, sedekah fakir miskin dan menyayangi anak yatim. Namun juga rajin ke 'orang pintar' (baca : dukun), tukang sihir, peramal, tukang santet dan sejenisnya. Ini tentu sangat kontradiktif, karena perbuatan itu jelas-jelas syirik dan mengakibatkan pelakunya tidak terampuni dosanya di akhirat nanti. Kecuali bila di dunia ini sempat bertaubat. Sebagaimana firman Allah SWT : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisa : 48) Ada juga orang yang punya penghasilan baik dan lalu baik hati kepada orang lain, suka memberi bantuan dan sebagainya, tapi sayang sekali cara mendapatkan uangnya dengan cara yang ribawi. Menyimpan uangnya pun di tempat-tempat yang tidak lepas dari transaksi ribawi pula. Maka kebaikan amalnya akan dirusak oleh dosa-dosa ribawi yang dilakukannya, baik secara sadar atau tidak sadar. Sebab orang yang makan harta riba atau hidup dengan cara riba akan diperangi oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya. (QS. Al-Baqarah : 278-279) Pesan kami adalah bahwa bekal untuk masuk kuburan itu bukan berhenti kepada amal baik saja, tapi juga tanpa membawa amal keburukan. Harus diperhatikan bahwa kita sejak masih hidup di dunia ini sudah terbebas dari segala macam dosa, baik yang terkait dengan syirik atau pun pelanggaran-pelangaran syariat. Buat apa masuk kubur dengan amal yang banyak tapi sekaligus juga dengan dosa-dosa yang jauh lebih besar dan berkualitas. Maka amal baik itu harus diimbangi dengan pemahaman syariah yang baik pula. Silahkan siapkan kuburan untuk rumah masa depan, tapi jangan lupa siapkan juga bekal dan bawaannya. Sebab buat orang yang meninggal, kuburan hanya sekedar pintu masuk, yang perlu disiapkan secara serius justru persiapan setelah melewati pintu tersebut.

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Pada Aqiqah, Bolehkah Daging Kambing Diganti dengan Daging Sapi?


Publikasi: 03/03/2005 09:30 WIB Assalamu 'alaikum wr.wb. Pak Ustadz, Kami ingin mengadakan aqiqah dengan memotong 3 ekor kambing, (2 untuk laki-laki dan 1 untuk perempuan). Permasalahannya banyak tetangga di lingkungan kami tidak mengkonsumsi daging kambing. Supaya dapat dikonsumsi oleh banyak orang, bolehkah jika memotong 1 kambing dan uang senilai 2 ekor kambing digantikan dengan daging sapi atau uang senilai 3 ekor kambing di gantikan dengan daging sapi. Wassalamu 'alaikum wr.wb Adi Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah kesejahteraan sosial. Begitu banyak paket pemberian kepada mereka yang membutuhkan dalam agama ini mulai dari zakat, infaq, sedekah, waqaf, hibah, qardhul hasan sampai dhahiyah (hewan qurban) dan aqiqah. Semua itu menunjukkan bahwa masalah kesejahteraan sosial dalam agama Islam sangat mendapatkan perhatian besar. Dan semua amal baik itu pastilah dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang jauh lebih besar lagi, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 261)

Namun secara detail, masing-masing bentuk pemberian itu ada aturan mainnya. Ada yang aturan mainnya agak ketat seperti zakat, aqiqah dan qurban, namun ada juga yang agak longgar seperti sedekah, infaq dan hibah. Untuk itu kita harus pahami terlebih dahulu semua aturan main dari masing-masing bentuk pemberian ini, agar niat kita yang sudah baik itu bisa selaras dengan tata cara pelaksaannya. Sebab bila salah dalam tata cara pelaksanaannya, bisa jadi ibadah kita malah tidak diterima Allah SWT, sebab terjadi 'salah prosedur'. Khusus dalam masalah penyembelihan hewan aqiqah, ibadah ini termasuk bagian dari ritual yang kental dengan tata cara pelaksanaan. Dari bentuk pemberiannya, telah ditetapkan harus melalui prosesi penyembelihan hewan jenis tertentu seperti kambing. Tidak sah bila menyembelih ayam atau kelinci meski nilainya melebihi harga dua ekor kambing sekalipun. Juga tidak sah bila pemberian aqiqah itu dikonversikan dalam bentuk uang tunai, paket sembako, bantuan beasiswa, jaminan asuransi kesehatan dan sebagainya. Sebab masalahnya bukan pada berapa nilai pemberiannya, melainkan pada nilai ritualnya. Aqiqah adalah sebuah bentuk ibadah ritual yang punya dimensi sosial. Tidak boleh dibalik menjadi bantuan sosial yang berdimensi ibadah. Itulah yang kita dapat dari hadits Rasulullah SAW berikut ini : Rasulullah SAW bersabda: "Setiap yang dilahirkan tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ke tujuh dari kelahirannya dan dicukur rambutnya serta diberi nama" (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan). Tapi jika dalam rangka ikut berbagi kebahagiaan karena kelahiran bayi, Anda ingin memberikan beragam paket sosial seperti yang kami sebutkan di atas, tentu sangat baik dan pasti mendatangkan pahalanya sendiri. Namun dengan catatan bahwa semua itu tidak bisa dikategorikan sebagai ibadah aqiqah. Maka akan menjadi sangat baik bila Anda memadukan keduanya, yaitu sembelih hewan aqiqah lalu bagikan kepada fakir miskin, dengan dilengkapi dengan sumbangan lainnya. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Laki-laki yang Dicerai Isteri Wajibkah Menafkahi Anak Kandungnya?


Publikasi: 03/03/2005 08:35 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb.

Saya mempunyai kakak sepupu perempuan yang dua tahun lalu menggugat cerai suaminya. Yang ingin saya tanyakan adalah benarkah laki-laki yang dicerai istri tidak wajib menafkahi anak kandungnya sendiri? Karena mantan suami kakak sepupu saya tersebut mengatakan kalau dia tidak wajib menafkahi anak karena yang meminta cerai adalah kakak sepupu saya. Mohon jawaban ustadz. Jazaakumullah khairan. Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Nafa Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Pendapat itu kurang tepat, sebab menafkahi anak itu hukumnya wajib dilakukan oleh seorang ayah. Sebab hubungan anak itu dengan ayahnya adalah hubungan abadi. Sampai kapan pun anak itu akan tetap menjadi anaknya. Tidak pernah ada seorang anak kemudian menjadi 'mantan anak', juga tidak ada seorang ayah menjadi 'mantan ayah' untuk anaknya. Ini berbeda dengan hubungan suami istri yang bisa kapan saja bubar alias cerai. Seorang laki-laki sudah tidak wajib lagi memberi nafkah kepada 'mantan istri' bila sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan. Dan seorang wanita sudah tidak punya kewajiban apapun kepada laki-laki yang pernah menjadi suaminya, bila hubungan pernikahan mereka sudah diputuskan. Tetapi hal itu tidak pernah terjadi kepada anak. Pendeknya, selama anak itu masih membutuhkan nafkah, maka ayahnya wajib memberinya nafkah, meski ayahnya itu sudah bercerai dengan ibu anak itu. Bahkan walaupun anak itu tinggal bersama ibunya yang terpisah jauh dari ayahnya. Si ayah tetap masih berkewajiban untuk memberinya nafkah. Dalam masalah perceraian memang kita mengenal istilah khulu', yaitu gugatan cerai yang diajukan oleh pihak istri kepada pengadilan untuk memisahkan hubungan suami istri. Dalam masalah khulu' memang bukan suami yang menceraikan istrinya, namun pihak pengadilan atas nama pemerintah yang mengambil kebijakan untuk membubarkan sebuah rumah tangga. Tentu saja pihak pengadilan tidak mungkin memutuskan begitu saja untuk membubarkan sebuah rumah tangga kecuali ada alasan yang sangat masuk akal dan bisa diterima oleh semua pihak. Di masa Rasulullah masih hidup, kasus pisah dengan khulu' ini memang pernah terjadi sebagaimana yang kita dapati dalam hadits berikut ini :

Dari Ibnu 'Abbas r.a : "Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mencela suamiku (Tsabit) dalam hal akhlaknya maupun agamanya, akan tetapi aku benci kekufuran (karena tidak mampu menunaikan kewajibanku sebagai istri) dalam Islam" Maka Rasulullah SAW berkata padanya: "Apakah kamu mengembalikan kebun (mahar) suamimu ? Wanita itu menjawab: "Ya". Maka Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit: "Terimalah kebun tersebut dan ceraikanlah ia 1 kali talak" (HR Bukhari, Nasa'i dan Ibnu Majah. Nailul Authar 6/246) Konsekuensi khulu' sebenarnya sangat berat. Pertama, pihak istri wajib mengembalikan semua mahar/maskawin yang pernah diberikan oleh pihak suami, sebagaimana disebutkan di dalam hadits di atas. Kedua, pasangan itu sudah dipastikan tidak bisa kembali lagi selama-lamanya, bahkan meski pun pihak istri sempat menikah dulu dengan laki-laki lain. Sebab yang terjadi bukan perceraian dengan talak 1, talak 2 atau talak 3, tetapi yang terjadi adalah pelepasan, atau dengan bahasa agak lebih kasar adalah 'pemuntahan'. Maksudnya, pihak istri seperti memuntahkan makanan yang ada di dalam perutnya, sehingga tidak mungkin muntahan itu dimakan kembali selamanya. Kita kembali ke masalah yang Anda tanyakan, bila yang terjadi adalah khulu' dan pasangan itu berpisah untuk selama-lamanya, tetap saja seorang ayah tetap wajib memberi nafkah kepada anaknya.Sebab anak itu tidak dikhulu' bukan? Anak itu adalah anaknya untuk selamanya dan tidak pernah ada 'perceraian' antara orang tua dan anak. Maka sebagai ayah, dia wajib memberikan nafkah kepada anaknya. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Saya Menyukai Muslimah yang SamaSama Aktif di Rohis Sekolah


Publikasi: 02/03/2005 09:57 WIB Assalaamu 'alaikum Wr. Wb. Pak ustadz, saya aktif dalam kegiatan rohis sekolah. Saat ini, saya menyukai seorang muslimah yang juga aktifis rohis. Bagaimana saya harus bersikap, hal ini menyulitkan saya, karena setiap hari saya pasti bertemu dengannya. Bolehkah saya berdoa supaya ia kelak menjadi jodoh saya?

Syukron. Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Tiftazani Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Anda masih sekolah, barangkali pada level SMU. Kira-kira usia Anda sekitar 17-19 tahun. Ini memang usia yang lumayan matang dari sisi hasrat dan kebutuhan biologis maupun psikologis untuk menyukai seorang wanita. Dan karena Anda seorang aktifis di Rohis, wajarlah bila seseorang yang Anda sukai tidak jauh-jauh dari ruang lingkup Anda sendiri. Syariat Islam sama sekali tidak menafikan kenyataan seperti ini. Juga tidak menganggap hasrat ini sebagai sesuai yang hina atau naif. Sebab syariat Islam sangat mengakui kondisi biologis dan psikologis orang-orang seperti Anda ini. Meskipun tetap mengharamkan pacaran, berkhalwat dan berzina. Dan kami yakin bahwa Anda pun pasti sudah tahu kedudukan hukum tersebut. Jadi apa yang bisa dilakukan? Haruskah hasrat ini disembunyikan dan ditahan-tahan? Hanya diri sendiri dan Allah saja yang tahu? Ataukah boleh menyampaikannya kepada muslimah tersebut? Mau menikah tapi masih kecil, masih sekolah dan sama sekali tidak punya penghasilan. Atau curhat saja kepada teman lain? Atau curhat melalui rubrik seperti rubrik 'Ustadz Menjawab' di eramuslim.com, sebab tidak perlu bertemu secara langsung dengan ustadz karena sungkan. Pertanyaan-pertanyaan ini barangkali sering terlintas di benak Anda. Bimbang dan ragu karena Anda berada pada dua bilah pedang yang sama-sama tajam. Anda mungkin bisa menebak jawaban mengenai permasalah ini, yaitu dengan berpuasa. Sebab hadits Nabi SAW memerintahkan untuk berpuasa bagi pemuda yang sudah ingin menikah tapi kurang mampu dari segi finansial. Tapi bila Anda merasa dengan jalan puasa tidak menyelesaikan masalah, bagaimana? Berarti Anda harus mempertanyakan teknik dan cara berpuasanya. Seringkali seseorang berpuasa secara fisik saja tanpa diiringi dengan pengahayatan dari makna puasa itu secara batin. Secara fisik, puasa memang sekedar menahan lapar dan haus saja. Dan selama hal itu dilakukan, hukumnya memang syah. Tapi secara batin, seharusnya puasa itu menahan diri dari pikiran, angan-angan, khayal, fantasi dan segala hal yang melahirkan hasrat ke arah 'sana'. Dengan demikian hasrat itu bisa dikurangi meski tidak semuanya.

Justru ketika Anda curhat kepada seseorang, hasrat dan khayal itu akan semakin nampak nyata. Sebab memori otak dijejali dengan isu tentang ketertarikan kepada seorang wanita. Maka puasanya tidak akan berpengaruh karena memori otak masih saja dipenuhi virus ketertarikan terhadap muslimah tadi. Sebagai stimulan, coba lakukan banyak kegiatan lain yang jauh lebih mengasyikkan selain dari urusan mengenang bayangan muslimah. Apa saja yang penting harus jauh lebih mengasyikkan, sehingga memori otak yang tadinya penuh dengan virus itu dengan sendirinya akan berganti dengan memori yang lainnya. Lalu tanpa sadar Anda lupa dengan sendirinya, karena ingatan Anda sudah terarah kepada yang lain. Lebih bagus lagi jika kegiatan itu kegiatan yang positif dan jauh lebih konstruktif. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Mahar Rumah dalam Status Kredit, Hutang atau Tunai?


Publikasi: 02/03/2005 09:22 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Ustadz, saya berencana menikah dalam waktu dekat. Saat ini saya telah membeli sebuah rumah kecil dengan cara Beli-Bayar-Angsur di Bank Muamalat. Gampangnya rumah tersebut sedang saya cicil setiap bulan selama 5 tahun. Nah, saya ingin menjadikan rumah tersebut sebagai mahar bagi calon istri saya. Pertanyaan saya: 1. Bolehkah demikian? 2. Jika boleh, pada saat akad nikah, apakah saya menyebut tunai atau hutang kepada calon istri tersebut (dalam akad nikah ada kalimat "saya terima nikahnya dengan mas kawin sebuah rumah...", tunai atau hutang? Terima kasih atas jawabannya. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Hidayat AZ Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du

1. Hukumnya boleh Mahar itu boleh diberikan dalam bentuk tunai dan juga boleh diberikan dalam bentuk kredit atau hutang. Tapi bila dalam bentuk hutang, harus ada kepastian bahwa hutang itu akan bisa ditunaikan. Namun pada dasarnya hukumnya memberi mahar yang masih dihutang itu boleh. Dan hal itu tercermin dari lafaz akad yang sering kita dengar dimana di bagian akhir penyebutan mahar sering diakhiri dengan lafaz : TUNAI. Ini berarti juga bahwa boleh saja mahar itu diberikan tapi masih dihutang atau masih dikredit yang belum lunas cicilannya. 2. Tentang penyebutan status mahar, apakah disebutkan dengan mahar tunai atau kredit, tergantung dari status kepemilikan rumah itu sendiri. Bila statusnya masih hutang, maka disebutkan masih hutang. Sedangkan bila dianggap sudah milik sepenuhnya, maka disebutkan sesuai dengan status kepemilikan rumah tersebut. Biasanya pihak KUA yang memimpin acara akad nikah sudah tahu lafaz apakah yang harus diucapkan oleh mempelai pria terkait dengan status rumah cicilannya itu. Nanti sebelum akad, pak KUA biasanya akan menanyakan mahar dan statusnya. Serahkan saja kepada beliau, karena beliau sudah berpengalaman dalam masalah ini. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Mana Lebih Dulu, Bayar Hutang atau Menghajikan Orang Tua?


Publikasi: 02/03/2005 09:09 WIB Assalaamu 'alaikum Wr. Wb. Ustadz, saya membeli rumah dan kendaraan dengan menggunakan pinjaman bank yang diangsur tiap bulan. Dan sekarang alhamdulillah saya ada sedikit tabungan yang bisa digunakan untuk membayar sebagian hutang tersebut. Pada sisi yang lain saya ingin membantu orang tua untuk pergi haji mumpung mereka masih mampu secara fisik. Pertanyaan saya, manakah yang harus saya dahulukan, membayar sebagian utang atau membantu biaya ibadah haji orang tua? Terimakasih atas bantuan jawabannya. Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Roni

Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Hutang adalah kewajiban yang wajib dibayarkan. Bahkan seorang yang mati syahid sekalipun tidak bisa masuk surga selama belum membayar hutangnya. Padahal orang yang mati syahid tidak akan ditanya apapun tentang amalannya. Tapi khusus masalah hutang, Allah masih mempersoalkannya. Di sisi lain, ibadah haji pun pada hakikatnya ibadah yang wajib juga, bahkan termasuk rukun Islam yang kelima. Dan sesuai dengan hadits Rasululah SAW, bahwa orang yang berhaji dengan mabrur tidak ada pahala baginya kecuali surga. Namun diantara keduanya ada perbedaan hukum yang sangat mendasar, yaitu bahwa ibadah haji tidak wajib hukumnya bagi seseorang yang belum punya cukup mampu, termasuk mampu dalam masalah finansial/uang. Sebab ketika menyebutkan tentang haji, nash-nash selalu mengiringinya dengan syarat bila mampu. Seperti dalam ayat berikut ini : "Dan Allah mewajibkan haji ke baitullah kepada manusia diantara mereka yang mampu bergi kesana".(QS. Ali Imran : 97) Sedangkan seorang yang punya harta tapi dari hasil meminjam dari pihak lain itu tidak dikatakan sebagai orang yang mampu, sebab dia masih punya kewajiban untuk membayarkan hutangnya terlebih dahulu. Maka menjadi kewajiban yang harus disegerakan adalah membayar atau melunasi hutangnya terlebih dahulu sebelum mengerjakan ibadah haji. Sebab secara syarat, yang bersangkutan sebenarnya belum wajib mengerjakan haji, karena belum cukup punya kemampuan. Meski pun juga harus dipahami bahwa bila dia nekat juga untuk pergi haji sementara hutang-hutangnya belum dibayar, ibadah hajinya tetap syah dan sudah gugur kewajiban haji baginya. Tapi karena pertanyaannya tentang manakah yang harus didahulukan, maka jawabannya adalah membayar hutang terlebih dahulu. Apalagi yang mau pergi haji bukan dirinya melainkan orang lain, meski pun ayahandanya sendiri. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Wasiat Orang Tua tentang Pembagian Warisan Tidak Sesuai dengan Hukum Waris
Publikasi: 02/03/2005 08:54 WIB Assalaamu 'alaikum Wr. Wb. Mohon penjelasannya Ustadz, kami menghadapi masalah tanah warisan, ketika sebelum orang tua kami meninggal, beliau berpesan tanah peninggalan yang ada diperuntukkan untuk salah satu anak (saudara kami) yang belum mampu secara ekonomi dengan melihat kondisi saat itu. Belakangan diketahui ada saudara kami, tidak mengetahui ada pesan seperti itu. Pertanyaannya, bagaimanakah sikap saudara-saudara yang lain dalam mensikapi hal ini sesuai dengan tuntutan agama, apakah menggunakan pesan almarhum orang tua, atau menggunakan aturan-aturan warisan yang ada, atau ada pendapat lain yang lebih baik Terima kasih atas jawabannya, jawaban Ustadz sangat kami nantikan Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Achmad Widodo Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Memang masalah warisan ini cukup sensitif di kalangan umat Islam, terutama bila ada wasiat tertentu dari pihak yang meninggal. Sementara tidak semua ahli waris mengetahui adanya wasiat tertentu itu. Namun seandainya umat Islam selama ini lebih mendalami ilmu hukum waris secara benar, insya Allah masalah-masalah yang tiimbul tidak akan serumit sekarang ini. Sebab pada dasarnya ilmu hukum waris itu sangat jelas, mudah dan sangat adil. Tapi bila tidak dipahami dengan lengkap dan jelas, memang bisa saja ada yang merasa kurang diperlakukan dengan adil. Mengenai pertanyaan Anda, sebenarnya ada ketentuan tentang wasiat untuk ahli waris yang terkait dengan harta benda. Yaitu Rasulullah SAW menetapkan bahwa harta peninggalan seseorang yang wafat itu diberikan kepada ahli waris dengan cara ilmu hukum waris atau istilahnya ilmu faraidh. Sedangkan wasiat atau pesan-pesan almarhum/ah tentang bagaimana seharusnya pembagian harta peninggalannya kepada

ahli waris dinyatakan tidak berlaku. Orang yang sudah wafat sudah tidak berhak lagi ikutikutan menentukan pembagian hartanya kepada ahli warisnya. Rasulullah SAW bersabda : La Washiyyata Li Warits, artinya, tidak ada washiat (harta) buat ahli waris. Namun wasiat itu boleh diperuntukkan kepada selain ahli waris, dengan syarat tidak boleh melebihi kadar 1/3 dari total harta yang dimilikinya. Sebab ahli warisnya akan terzalimi dengan wasiat itu. Terkait dengan itu, maka semua yang termasuk dalam daftar ahli waris tidak bisa mendapatkan harta apa-apa dari almarhum kecuali hanya dengan jalan pembagian berdasarkan hukum waris saja. Dan itu merupakan ketetapan dari Allah SWT sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Quran : Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa : 11) Dalam bahasa arabnya, ketetapan itu disebut dengan ungkapan hudud, yaitu ketetapan yang bersifat pasti dari Allah dan beresiko mengakibatkan dosa besar bila dilanggar. Bahkan di ayat ke-13 dari surat yang sama, Allah sekali lagi memberikan janji kepada mereka yang menjalankan hudud dengan surga. Itu adalah hudud (ketentuan-ketentuan) dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa : 13) Sebaliknya, di ayat ke-14 Allah SWT mengancam orang-orang yang melanggar ketetapan-Nya itu dengan siksa neraka. Bukan itu saja, tetapi para pelanggar hudud Allah itu sudah dipastikan tidak akan pernah keluar lagi dari dalam neraka. Sebab mereka telah ditetapkan akan dikekalkan di dalamnya. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuanketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa : 13-14) Buat mereka yang suddah terlanjur melanggar ketetapan itu, tidak ada jalan lain kecuali berhenti dari pelanggaran itu, memperbaiki diri dan membatalkan keputusan salah yang terlanjur dilakukannya. Artinya, bila pembagian harta yang salah itu terlanjur dibuat, harus dibatalkan, diralat serta dibagi ulang sesuai dengan aturan syariah yang benar. Sebab bila tidak demikian, maka pelakunya diancam akan dimasukkan ke dalam neraka dan tidak akan pernah keluar selama-lamanya. Semoga Allah menjauhkan kita dari siksa-Nya yang teramat pedih, Amien Ya Rabbal 'Alamin

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Saat Ta'aruf, Bolehkah Menanyakan Keperawanan Calon Istri?


Publikasi: 02/03/2005 08:38 WIB Assalaamu 'alaikum Wr. Wb. Saya adalah seorang pemuda berumur 30 tahun dan belum menikah. Saat ini, saya ingin berkenalan dengan seorang gadis (Insya Allah pada minggu ini ), dalam tahap perkenalan tersebut ( taa'ruf ) wajarkah bila kita bertanya kepadanya apakah dia masih perawan atau tidak (maksud dari pertanyaan ini adalah hanya untuk mengetahui kondisinya saja, tidak ada maksud lainnya, Insya Allah rahasianya terjamin). Atas jawabannya dan sarannya saya mengucapkan terima kasih. Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Iwan Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Menanyakan apakah seorang gadis masih perawan atau tidak sebenarnya susah-susah gampang di zaman sekarang ini. Susah karena bisa salah teknik dalam bertanya, bisa-bisa yang bersangkutan tersinggung. Kira-kira sama kasusnya dengan orang baik-baik yang tiba-tiba ditanya kepadanya, apakah dia pencuri? Kalau dia adalah orang baik, wajar saja bila spontan tersinggung, sebab pertanyaan itu meski hanya bertanya tapi ada terkandung kesan menuduhnya sebagai pencuri. Maka sebaiknya Anda perlu pikirkan terlebih dahulu cara bertanya yang paling etis, sopan dan penuh penghargaan, sebelum terlanjur melontarkannya. Sebab ini adalah masalah sangat-sangat sensitif, bahkan bila ditanyakan kepada keluarganya sekali pun.

Tapi lepas dari teknis dan cara bertanya, intinya memang boleh untuk menanyakan kegadisan calon istri. Dan itu adalah bagian dari ta'aruf yang punya landasan hukum yang kuat dalam syariat Islam. Rasulullah SAW menganjurkan seorang calon suami untuk mengenal lebih dalam calon istrinya dalam arti yang positif. Islam tidak mengharapkan seseorang seolah membeli kucing dalam karung. Padahal istri adalah orang yang akan menjadi teman dalam jangka waktu yang amat lama bahkan seumur hidup. Bagaimana mungkin pemilihan calon itu istri dilakukan dengan mata tertutup. Bahkan sekedar membeli barang saja, kita diharuskan untuk teliti, cermat dan memeriksa dengan seksama sebelum melakukan akad, apalagi urusan menentukan pasangan hidup, bukan? Anjuran untuk mengenal lebih dalam itu tercermin dalam kisah kejadian di masa Rasulullah SAW, ketika ada seorang sahabat beliau yang akan menikah tapi merasa tidak perlu mengenal lebih dahulu calon istrinya. Rasulullah SAW sapmai merasa harus memerintahkannya untuk melihat dulu calon istrinya itu, agar tidak menyesal akhirnya. Rasulullah SAW bertanya, "Apakah kamu sudah mengenalnya?". "Belum", katanya. "Apakah kamu sudah kenal keluarganya?". "Belum, katanya. "Pergi dulu, kenalan dan lihat". Rasulullah SAW bersabda, "Takhoyyaru linthfatikum", maknanya "Pilihlah calon istri untuk air manimu". Lakukanlah seleksi untuk faktor embrio atau bahan manusia nanti sebab darah itu mengandung faktor keturunan dan faktor genetis. Ta'aruf dalam rangka membentuk keluarga yang islami idealnya mencakup semua aspek, baik normatif ataupun yang sifatnya moral dan akhlak. Termasuk soal sosialnya, keturunannya, soal lingkungan dan mungkin juga soal pendidikan. Selain itu taaruf bisa saja terjadi antar dua keluarga, sebab pernikahan itu tidak sekedar mengintegrasikan dua manusia tetapi dua keluarga dengan adat istiadat dan pola hidup masing-masing. Selain itu juga tidak lupa aspek medis, sebab ada orang yang mungkin darahnya atau organ apanya terpenngaruh atau kecanduan sesuatu. Baik AIDS atau NAZA dan sebagainya. Kesimpulannya, materi pertanyaan itu boleh ditanyakan tetapi harus hati-hati dalam menyampaikannya. Mungkin dengan bahasa yang lebih halus dan tidak terkesan punya niat kurang baik. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Apakah Dosa Kita Diampuni Setelah Shalat Taubat?


Publikasi: 01/03/2005 16:50 WIB

Assalamualaikum Wr. Wb. Ustadz, saya ingin bertanya, apabila kita melakukan dosa, dan kita tidak mengulanginya lagi kemudian kita Sholat Taubat apakah dosa-dosa kita akan diampuni? dan mohon kiranya ustadz memberikan tuntunan doa untuk sholat taubat. Terima kasih Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. iin Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Taubat adalah perintah Allah SWT kepada semua hamba-Nya yang pernah melakukan kesalahan. Dan pada hakikatnya, tidak ada seorang pun yang bebas dari kesalahan kecuali diri Nabi Muhammad SAW saja. Bertaubat adalah perintah Allah dan Dia menjamin bila seseorang bertaubat pasti diampuninya. Asalkan tobatnya itu tobat sungguhnan, bukan main main atau sekedar formalitas saja. Diantara syarat utama dalam bertaubat adalah : 1. Adanya penyesalan yang merasuk ke dalam hati atas apa yang pernah dilakukannya itu. 2. Meminta ampun kepada Allah seta bermohon agar catatan amal buruknya itu dihapuskan selam di dunia ini. 3. Tidak mengulangi dan meninggalkan seluruhnya semua perbuatan yang demikian itu. 4. Dan lebih baik bila perbuatan buruk itu dihapus dengan perbuatan baik yang besar karena Allah berfirman : "Sesungguhnya amal baik itu menghapus amal yang buruk". Shalat Taubat Shalat taubah oleh sebagian fuqaha dianggap kurang kuat dalilnya. Dasar pensyariatan shalat ini oleh sebagian ulama dianggap lemah, karena hadits yang menerangkan hal itu oleh mereka dianggap hadits hasan gharib. Namun kalangan Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah menegaskan adanya sunnah shalat Taubah ini. Dengan menggunakan dasar hadits berikut : "Tiada seorang hamba yang melakukan sebuah dosa lalu dia wushu' dan melakukan shalat dua rakaat dan memohon ampun kepada Allah SWT, kecuali Allah SWT telah mengampuni dosanya". (HR. Abu Daud dan Tirmizy)

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa shalat taubat itu adalah shalat iasa dengan dua rakaat, dengan bentuk dan bacaan yang biasa atau umum saja. Baru sesudahnya dia melakukan mohon ampun atau istighfar atas dosa-dosanya. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Bagaimana Hukum Memakan Binatang Bertaring?


Publikasi: 01/03/2005 14:54 WIB Assalaamu 'alaikum Wr. Wb. Ustadz, saya ingin bertanya tentang hukum memakan binatang yang bertaring beserta dalilnya jika memang ada, dan kedudukan dalilnya untuk menambah keyakinan akan dalil yang diutarakan, karena saya mendapat dalil yang tidak ada sanad dan kedudukannya jadi belum dapat saya jadikan pegangan. Terima kasih dan mohon maaf. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Adri Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Dalil tentang haramnya daging hewan bertaring adalah dalil dari hadits yang shahih. Salah satunya hadits berikut ini yang diriwayatkan oleh imam Muslim. Semua kita tahu bahwa imam Muslim punya kitab yang isinya hadits-hadits shahih yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi level keshahihannya. Hadits-hadits dalam kitab beliau nyaris sama kedudukannya dengan hadits yang ada di dalam shahih Bukhari, atau hanya selevel sedikit di bawahnya.

Dari Abu Tsa'labah Al-Khunasyi r.a sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: "Setiap bintang buas yang memiliki taring, maka memakannya adalah haram" (HR. HR. Muslim 1932, Ahmad 4/194, Tirmidzi 1477, Nasa'i 7/201, Ibnu Majah 3232) Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah SAW melarang untuk memakan hewan yang memiliki taring diantaranya hewan buas dan yang memiliki cakar dari jenis burung (HR. Muslim). Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan hewan yang bertaring adalah bahwa hewan itu menggunakan taringnya itu untuk berburu atau mengoyak mangsanya. Bukan asal punya taring, sebab manusia pun juga punya gigi taring, sebagaimana hewan herbivora (pemakan tumbuhan) lainnya. Demikian juga dengan cakar, yang dimaksud bukan asal punya kuku atau cakar, tapi hewan itu menggunakan cakar kukunya yang tajam untuk berburu dan mengoyang mangsanya untuk dimakan, di mana cakar itu bukan sekedar alat untuk mempertahankan diiri tapi untuk mencari makan. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Surat Apa dalam Al Quran yang Terakhir Turun?


Publikasi: 01/03/2005 11:27 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Ustadz Ahmad Sarwat yang dirahmati Allah. Saya ingin bertanya mengenai surat yang terakhir turun. Benarkah surat An-Nashr? karena beberapa waktu lalu saya memperoleh tulisan bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat dalam surat At-Taubah ayatnya saya lupa, bukan Surat Al-Maidah ayat 3 serta surat yang terakhir turun adalah surat An-Nashr. Mohon penjelasan dari ustadz beserta asbabun nuzulnya. Syukron wa Jazakumullah Wassalamu 'alaikum wr. wb. Mahfudh

Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Sebaiknya Anda tidak perlu heran dengan perbedaan pendapat tentang ayat yang terakhir turun. Sebab kalau kita teliti lebih jauh perkataan para ahli ilmu al-Quran, ternyata pendapat mereka memang saling berbeda-beda. Bahkan di dalam kitab Mabahits Fie 'Ulumil Quran karya Syeikh Manna' Al-Qaththan disebutkan tidak kurang dari 9 versi pendapat yang saling berbeda. Perbedaan pendapat ini wajar saja, karena memang tidak ada nash qath'i yang secara khusus menegaskan ayat apakah yang terkahir kali turun ke muka bumi. Berbeda dengan riwayat yang menyebutkan tentang ayat yang pertama kali turun yang sangat jelas nashnya, sehingga nyaris tidak ada perbedaan pendapat di dalam periwayatannya. Pendapat pertama menyebutkan bahwa ayat terakhir yang diturunkan itu adalah ayat mengenai riba. Hal ini didasarkan pada hadist yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas, yang mengatkan : 'Ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat mengenai riba'. Yaitu firman Allah : "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba." ( al-Baqarah : 278 ). Pendapat ke dua mengatakan bahwa ayat Qur'an yang terakhir turun surat Al-Baqarah ayat 281 yang maknanya adalah : "Dan peliharalah dirimu dari hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah." (al-Baqarah : 281 ). Ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh an-Nasa'i dan lain-lain, dari Ibnu Abbas dan Said bin Jubair: " Ayat Qur'an terakhir turun ialah "Dan peliharalah dirimu dari hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah." ( al-Baqarah : 281 ). Pendapat ke tiga mengatakan bahwa yang terakhir turun ialah ayat mengenai hutang piutang, berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Said bin al-Musayyab: Telah sampai kepadanya bahwa ayat Qur'an yang paling muda di arsy ialah ayat mengenai utang. Yang dimaksudkan ialah ayat : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu 'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya."( alBaqarah : 282 ). Ketiga riwayat itu dapat dipadukan, yaitu bahwa ketiga ayat tersebut di atas diturunkan sekaligus seperti tertib urutannya di dalam mushaf. Ayat mengenai riba, ayat pelihara dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari kemudian ayat mengenai utang, karena ayatayat itu masih satu kisah. Setiap perawi mengabarkan bahwa sebagian dari yang diturunkan itu sebagi yang terakhir kali, dan itu memang benar. Dengan demikian maka ketiga ayat itu tidak saling bertentangan.

Lalu ada pendapat ke empat yang mengatakan pula bahwa yang terakhir kali diturunkan ialah ayat mengenai warisan atau lebih rincinya mengenai kalalah. "Mereka meminta fatwa kepadamu . Katakanlah : Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah" ( an-Nisa : 176 ). Ayat yang terakhir kali turun menurut hadist Barra' ini adalah berhubungan dengan masalah warisan. Pendapat ke lima menyatakan bahwa, yang terakhir turun adalah firman Allah : "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rosul dari kaummu sendiri" sampai dengan akhir surat. Dalam al-Mustadrak disebutkan, dari Ubai bin Ka'ab yang mengatakan : "Ayat terakhir kali diturunkan : sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri." ( at-Taubah : 128-129 ) sampai akhir surat. Mungkin yang dimaksudkan adalah ayat terakhir yang diturunkan dari surah at-Taubah. Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa hadist ini memberitahukan bahwa surat ini adalah surat yang diturunkan terkhir kali, karena ayat ini mengisyaratkan wafatnya Rasulullah SAW sebagaimana dipahami oleh sebagian sahabat. Atau mungkin surah ini adalah surat yang terakhir kali diturunkan. Pendapat ke enam mengatakan pula bahwa yang terakhir kali turun adalah surat alMaidah. Ini didasarkan pada riwayat Tirmizi dan Hakim. Dari Aisayah r.a tetapi menurut pendapat kami, surat itu surat yang terakhir kali turun dalam hal halal dan haram. Sehingga tak satu hukum pun yang dinasikh di dalamnya. Pendapat ke tujuh mengatakan bahwa yang terkhir kali turun ialah firman Allah : "Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya : Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain." ( Al-Imran : 195 ). Ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui Mujahid, dari Ummu salamah; dia berkata: "Ayat yang terakhir kali turun adalah ayat ini: "Maka Tuhanmu memperkenankan permohonan mereka: "Sesungguhnya Aku tidak menyianyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kaummu..." sampai akhir ayat tersebut. Hal itu disebabkan dia ( Ummu Salamah ) bertanya : Wahai Rasulullah, aku Melihat Allah menyebutkan kaum lelaki akan tetapi tidak menyebutkan kaum perempuan. Maka turunlah ayat : "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain,"(An-nisa : 32 ) dan turun pula : "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim." ( al-Ahzab: 35 ). Serta ayat ini : "Maka Tuhan mereka..." Ayat ini adalah yang terakhir diturunkan dari ketiga ayat di atas. Ia ayat terakhir yang diturunkan yang di dalamnya tidak hanya disebutkan kaum lelaki secara khusus. Dari riwayat itu jelaslah bahwa ayat tersebut yang terakhir kali turun diantar ketiga ayat diatas. Dan yang terakhir turun dari ayat-ayat yang didalamnya disebutkan kaum perempuan.

Lalu pendapat ke delapan mengatakan bahwa ayat terakhir yang turun ialah ayat : "Dan barang siapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya." ( An-Nisa : 93 ). Ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan Bukhari dan yang lain dari Ibbn Abbas yang mengatakan : "Ayat ini ( Barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah jahannam) adalah ayat yang terakhir diturunkan dan tidak dinasikh oleh apa pun. Ungkapan "Ia tidak di nasikh oleh apa pun" itu menunjukkan bahwa ayat itu ayat yang terakhir turun dalam hal hukum membunuh seorang mukmin dengan sengaja. Dan terakhir pendapat kesembilan mengatakan bahwa Ibnu Abbas berkata bahwa surat terakhir yang diturunkan ialah: "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan." Al-Qadhi Abu Bakar al Baqalani mengomentari tentang berbagai riwayat mengenai yang terakhir kali diturunkan menyebutkan : "pendapat-pendapat ini sama sekali tidak disandarkan kepada Nabi saw. Boleh jadi pendapat itu diucapkan orang karena ijtihad atau dugaan saja. Mungkin masing-masing bicara tentang apa yang terakhir kali didengarnya dari Rasulullah SAW pada saat ia wafat atau tak seberapa lama sebelum ia sakit. Sedang yang lain mungkin tidak secara langsung mendengar dari Nabi. Mungkin juga ayat itu yang dibaca terakhir kali oleh Rasulullah SAW bersama-sama dengan ayat yang turun diwaktu itu. Sehingga disuruh untuk menuliskan sesudahnya, lalu dikiranya ayat itulah yang terakhir diturunkan menurut tertib urutannya."

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Hukum Menjual Bangkai Ayam untuk Pakan Lele


Publikasi: 28/02/2005 15:02 WIB Assalaamu 'alaikum Wr. Wb. Saya adalah peternak ayam pedaging. Jika terdapat ayam yang mati karena penyakit atau tidak disembelih, kemudian dibeli oleh seorang peternak ikan lele, untuk makanan ikan, apakah uang hasil penjualan bangkai ayam tersebut halal ataukah haram?

Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Aryo Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Ayam yang mati tidak dengan cara disembelih secara syar'i, hukumnya adalah hukum bangkai yang najis dan haram dimakan manusia. Tapi kalau yang memakan bangkai itu bukan manusia, melainkan ikan lele, tentu saja hukumnya halal. Sebab ikan lele itu tidak terikat dengan hukum syariat yang berlaku buat manusia. Lalu bolehkah bangkai ayam yang sudah mati itu dijual kepada peternak lele untuk diberikan sebagai ransum hewan peliharaannya? Dan halalkah jual beli barang najis itu? Dalam hubungannya dengan hukum memperjual-belikan bangkai atau benda najis lainnya, apakah dibolehkan atau diharamkan, para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama sepakat menetapkan bahwa memperjual-belikan bangkai itu haram, meski pun bukan untuk dimakan tapi untuk dimanfaatkan hal lain. Bila ada akad atau transaksi atas barang seperti itu, maka akadnya batil. Namun ada juga sebagian ulama yang membolehkannya, selama tidak untuk dimakan. Pendapat jumhur ulama ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jamaah yang juga sangat termasyhur dalam masalah ini yaitu : Dari Jabir bin Abdillah r.a dari Rasulullah SAW : "Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan jual beli bangkai, khamar, babi dan berhala". Seorang bertanya,"Ya Rasuluillah, bagaimana dengan lemak yang terdapat pada bangkai? Lemak itu bisa dimanfaatkan untuk mengecat perahu, mengolesi kulit dan bahan bakar lampu". Beliau menjawab,"Tidak, itu haram. Semoga Allah memerangi yahudi ketika Allah mengharamkan lemaknya, mereka melarutkannya, kemudian menjualnya dan memakan untung penjualannya" (HR. Jamaah). Hadits ini tegas menyatakan bahwa lemak yang ada pada bangkai hukumnya najis dan karena itu tidak boleh diperjual-belikan. Demikian juga hukum yang berlaku pada barang najis lainnya. Bahkan meski untuk kepentingan yang tidak ada kaitannya dengan memakannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama berdasarkan hadits di atas. Namun segolongan ulama di kalangan Al-Hanafiyah mengatakan bahwa bila pemanfaatannya tidak terkait dengan memakannya, maka hukumnya tidak apa-apa alias halal. Sebab yang diharamkan adalah memakannya, bukan pemanfaatan untuk yang lainnya. Dan pendapat mereka ini bukan asal beda, tetapi juga didasari oleh hadits shahih juga.

Dari Ibni Umar r.a bahwa beliau ditanya tentang hukum minyak yang kejatuhan tikus mati, beliau menjawab, "Gunakan minyak itu untuk menghidupkan lampu dan gunakan untuk mengolesi barang yang terbuat dari kulit". (HR. Al-Baihaqi) Selain itu juga ada riwayat dari Rasulullah SAW tentang kebolehan memanfaatkan bangkai yang mati. Rasulullah SAW melewati seekor bangkai kambing yang mati milik Maimunah ra yang dibuang, belaiu bertanya,"Mengapa kalian tidak manfaatkan kulitnya dengan cara disamak?". Mereka menjawab,"Ya Rasulallah, itukan bangkai". Beliau SAW menjawab,"Yang diharamkan itu memakannya". (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah). Pendapat ini juga didukung oleh mazhab Zhahiri dan juga Ibnu Umar ra tentunya sebagai perawi hadits ini. Pendapat ini mengatakan : Dibolehkan untuk memperjual-belikan kotoran ternak dan sampah yang najis yang dimanfaatkan untuk pupuk pertanian dan juga bahan bakar. Demikian juga minyak yang mengandung najis dan juga celupan yang menganjung najis, selama digunakan untuk selain dimakan. Argumentasinya adalah selama memanfaatkannya halal, maka hukum memperjual-belikannya pun halal juga. Sedangkan terhadap hadits pertama di atas, mereka mengatakan bahwa hadits itu diucapkan oleh Rasulullah SAW ketika orang-orang baru saja diharamkan untuk memakan najis bangkai. Namun ketika mereka sudah lebih kuat dalam menjalankan syariat, dibolehkan bagi mereka memanfaatkannya untuk selain dimakan. Pendapat kedua ini nampaknya bisa menjadi jawaban bagi pertanyaan anda tentang hukum menjual ayam bangkai yang digunakan untuk memberi pakan lele. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Siapa Sajakah Mahram Itu?


Publikasi: 28/02/2005 12:22 WIB Assalamu 'alaikum Wr.Wb. Ustadz, saya ingin mengetahui siapa saja yang merupakan muhrim bagi setiap muslim dan muslimah. Apakah sepupu (anaknya kakak/adik ayah (laki-laki) dan anak saudara ibu) merupakan muhrim atau bukan? Terima kasih banyak atas penjelasan Ustadz

Wassalamu 'alaikum Wr.Wb. Husna Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Hubungan antara laki-laki dan wanita yang sepupu adalah hubungan yang bukan mahram. Sehingga dimungkinkan terjadinya pernikahan di antara mereka. Dan sebagai orang yang bukan mahram, ada beberapa konsekuensi misalnya antara lain ketidakbolehan untuk berkhalwat (berduaan), ketidakbolehan untuk bepergian berduaan, juga ketidakbolehan untuk melihat atau terlihat sebagian dari aurat wanita yang bukan mahram. Meski pun dalam pandangan masyarakat atau budaya kita, sepupu itu sudah seperti kakak adik layaknya. Namun secara hukum syariah, keduanya adalah orang asing (ajnabi). Tentang siapa saja yang menjadi mahram, para ulama membaginya menjadi tiga klasifikasi besar : A. Mahram Karena Nasab 1. Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek. 2. Anak wanita dan seteresnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan. 3. Saudara kandung wanita. 4. 'Ammat / Bibi (saudara wanita ayah). 5. Khaalaat / Bibi (saudara wanita ibu). 6. Banatul Akh / Anak wanita dari saudara laki-laki. 7. Banatul Ukht / anak wnaita dari saudara wanita. B. Mahram Karena Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab Pernikahan 1. Ibu dari istri (mertua wanita). 2. Anak wanita dari istri (anak tiri). 3. Istri dari anak laki-laki (menantu peremuan). 4. Istri dari ayah (ibu tiri). C. Mahram Karena Penyusuan 1. Ibu yang menyusui. 2. Ibu dari wanita yang menyusui (nenek). 3. Ibu dari suami yang istrinya menyusuinya (nenek juga). 4. Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan).

5. Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui. 6. Saudara wanita dari ibu yang menyusui. D. Mahram Dalam Makna Haram Menikahi Semata Selain itu, ada bentuk kemahraman yang semata-mata mengharamkan pernikahan saja, tapi tidak membuat seseorang boleh melihat aurat, berkhalwat dan bepergian bersama. Yaitu mahram yang bersifat muaqqat atau sementara. Misalnya : 1. Istri orang lain, tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh melihat auratnya. 2. Saudara ipar, atau saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat atau melihat sebagian auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari istri. 3. Wanita yang masih dalam masa Iddah, yaitu masa menunggu akibat dicerai suaminya atau ditinggal mati. 4. Istri yang telah ditalak tiga. 5. Menikah dalam keadaan Ihram, seorang yang sedang dalam keadaan berihram baik untuk haji atau umrah, dilarang menikah atau menikahkan orang lain. 6. Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka. 7. Menikahi wanita pezina. 8. Menikahi istri yang telah dili'an, yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat. 9. Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah. Dalil dari semua hal diatas bisa anda pelajari pada firman Allah berikut ini : Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu , maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu ; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa : 23) Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan

bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS An-Nuur : 31) Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Hukum Mahar dalam Pernikahan Islami


Publikasi: 28/02/2005 11:50 WIB Asalamu 'alaikum Wr. Wb. Pak Ustadz, saya ingin menanyakan beberapa hal : 1. Hukum "Mas Kawin" dari seorang mempelai pria kepada mempelai wanita dalam pernikahan islam. 2. Bagaimana menurut Islam, jika untuk pemberian mas kawin tersebut, mempelai wanita ikut membantu dananya. 3. Jika saya ingin memperoleh buku yang isinya mengupas tuntas tentang hukum mas kawin/mahar dalam pernikahan islam, apak pak Ustadz dapat mereferensikan judul buku tersebut kepada saya? Terima kasih atas jawaban Bapak. Wasalaamu 'alaikum Wr. Wb. Novi Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du 1. Salah satu bentuk pemuliaan Islam kepada seorang wanita adalah pemberian mahar atau maskawin pada saat menikahinya. Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Perintah untuk memberikan mahar disebutkan di dalam Al-Quran Al-Kariem : "Berikanlah maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan

senang hati, maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya".(QS. AnNisa : 4) "Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan dosa yang nyata?" (QS. An-Nisa : 20) Pemberian mahar akan memberikan pengaruh besar pada tingkat keqowaman suami atas istri. Juga akan menguatkan hubungan pernikahan itu yang pada gilirannya akan melahirkan sakinah, mawadah dan rahmah. Sebagaimana firman Allah SWT berikut ini : "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisa : 34) 2. Pihak Wanita Membantu Memberikan Mahar Sebenarnya tidak perlu pihak wanita membantu memberikan mahar kepada calon suaminya. Sebab ujung-ujungnya mahar itu akan kembali dimiliki oleh sang istri. Cukuplah bagi wanita itu untuk memberikan patokan mahar yang tidak terlalu memberatkan calon suaminya. Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar. Dan bila dicermati secara umum, nash-nash hadits telah datang kepada kita dengan gambaran yang seolah tidak mempedulikan batas minimal mahar dan juga tidak batas maksimalnya. Barangkali karena kenyataannya bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sebagian dari mereka kaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya. Maka berapakah harga mahar yang harus dibayarkan seorang calon suami kepada calon istrinya sangat ditentukan dari kemampuannya atau kondisi ekonominya.

Banyak sekali nash syariah yang memberi isyarat tentang tidak ada batasnya minimal nilai mahar dalam bentuk nominal. Kecuali hanya menyebutkan bahwa mahar haruslah sesuatu yang punya nilai tanpa melihat besar dan kecilnya. Maka Islam membolehkan mahar dalam bentuk cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkan bacaan Al-Quran atau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridha dan rela atas mahar itu. a. Sepasang Sendal Dari Amir bin Robi'ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?". Dia menjawab," Rela". Maka Rasulullahpun membolehkannya (HR. Ahmad 3/445, Tirmidzi 113, Ibnu madjah 1888). b. Hafalan Quran : Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya". Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu". Dia berkata, "Aku tidak mendapatkan sesuatupun". Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi". Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi, "Apakah kamu menghafal Al-Quran?". Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Al-Quranmu" (HR Bukhori Muslim). c. Tidak Dalam Bentuk Apa-apa : Bahkan diriwayatkan bahwa ada seorang wanita rela tidak mendapatkan mahar dalam bentuk benda atau jasa yang bisa dimiliki. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk masuk Islam, lalu waita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain, keIslamanannya itu menjadi mahar untuknya. Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata, "Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam, keislamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya". Maka jadilah keislaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa'i 6/ 114). Semua hadist tadi menunjukkan bahwa boleh hukumnya mahar itu sesuatu yang murah atau dalam bentuk jasa yang bermanfaat. Demikian pula dalam batas maksimal tidak ada batasannya sehingga seorang wanita juga berhak untuk meminta mahar yang tinggi dan mahal jika memang itu kehendaknya. Tak

seorangpun yang berhak menghalangi keinginan wanita itu bila dia menginginkan mahar yang mahal. Bahkan ketika Umar Bin Khattab r.a berinisiatif memberikan batas maksimal untuk masalah mahar saat beliau bicara diatas mimbar. Beliau menyebutkan maksimal mahar itu adalah 400 dirham. Namun segera saja dia menerima protes dari para wanita dan memperingatkannya dengan sebuah ayat Al-Quran. Sehingga Umar pun tersentak kaget dan berkata, "Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari Umar". Kemudian Umar kembali naik mimbar, "Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan lakukan sekehendak anda". 3. Hampir semua buku fiqih yang lengkap membahas masalah mahar. Anda bisa mencarinya di toko buku, kami yakin anda pasti mendapatkannya. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Bepergian dengan Lelaki Bukan Mahram dan Ditemani Anaknya, Bolehkah?


Publikasi: 28/02/2005 11:17 WIB Assalaamu 'alaikum Wr. Wb. Ustadz, saya ingin menanyakan tentang bagaimana hukumnya bagi seorang wanita yang bukan muhrim mengajak pria beristri keluar (jalan-jalan) berpergian walau si wanita mengajak anaknya untuk menemaninya? Apakah si pria berdosa? Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Fathoni kh Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Dalam bergaul dengan wanita yang bukan mahram, memang ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Salah satu yang paling utama adalah masalah khalwat atau berduaan dengan lain jenis dengan yang bukan mahram tanpa kehadiran orang lain.

Islam tegas sekali ketika menetapkan haramnya khalwat antara laki-laki dan wanita. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara laki-laki yang sudah beristri dengan yang belum, keduanya sama-sama laki-laki juga yang tetap diharamkan untuk berkhalwat dengan wanita yang bukan mahramnya. Khalwat ini memang salah satu pintu gerbang paling favorit bagi syetan untuk menyeret manusia ke dalam lembah zina. Dan yang namanya pintu gerbang, seseorang yang masuk melewatinya tidak lantas langsung sampai ke titik zina, tapi paling tidak dia sudah ada di jalan yang benar untuk segera sampai ke wilayah zina. Saking tegasnya Islam melarang berkhalwat antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram, sampai-sampai mereka yang berkhalwat sudah ditetapkan bahwa di antara mereka berdua pastilah hadir peserta ketiga yaitu si syetan raja angkara murka. Ini bukan sekedar pendapat ulama atau statemen orang yang tua, tetapi ini adalah pentegaskan yang jelas-jelas tertera dalam hadits Rasulullah SAW : "Janganlah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita karena yang ketiganya adalah syetan" (HR Ibnu Majah dan Ahmad) Maka segala aktifitas yang bentuknya memenuhi prinsip berkhalwat harus dijauhi, meskipun orang-orang tidak memandangnya sebagai hal yang terlarang. Sebab standar dan ukurannya bukanlah penilaian orang lain, juga bukan masalah etika, kebiasaan atau budaya, melainkan peraturan dan tatacara yang ditetapkan di dalam syariat Islam. Dalam prakteknya, khalwat itu bisa saja terjadi dengan beragam bentuknya. Bisa dalam bentuk makan-makan di rumah makan, jalan-jalan, wisata, bicara bisnis, rapat, curhat, bahkan bisa terjadi lewat surara di telepon, sms, chatting dan sebagainya. Khusus tiga yang terakhir ini memang tidak terjadi khalwat secara fisik, tapi hakikat berkhalwat sebenarnya bisa saja terjadi. Hakikat khalwat? Apa itu? Hakikat khalwat adalah tidak adanya kehadiran orang lain kecuali hanya dua orang berlainan jenis itu. Di mana dengan ketiadaan orang lain itu, maka terjadilah dialog langsung/interaktif antara Anda berdua. Meski tidak bisa langsung menyentuh, memegang, meraba atau bentuk fisik lainnya, namun kata-kata yang mengalir antara mereka berdua bisa saja tanpa batas, karena tak ada seorang pun yang hadir dalam percakapan jarak jauh itu. Meski tidak ada khalwat secara fisik, namun laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu bisa merasa sangat bebas membicarakan atau menuliskan semua perasaannya. Sangat berbeda dengan bila langsung berhadapan, dalam khalwat jarak jauh ini ada semacam perasaaan 'lebih aman' untuk merangkai kata. Dan yang pasti ada privasi yang lebih terjaga. Dan sebenarnya disitulah letak titik masalah pada 'kencan virtual' tersebut. Esensi khalwat itu adalah 'rasa bebas dan aman' untuk berekspresi dengan lawan jenis dimana isi dan tema pembicaraan tidak diketahui oleh orang lain. Lepas dari apakah mereka ada pada jarak yang dekat atau jarak yang jauh. Pada hari ini, jarak sudah menjadi sangat nisbi, bukan?

Demikian juga dengan kehadian anak kecil dalam khalwat, ini pun sebenarnya tidak menggugurkan keharaman khalwat itu sendiri. Sebab apalah artinya anak kecil sebagai orang ketiga, kalau dia sama sekali tidak faham apa yang dibicarakan oleh kedua insan berbeda jenis kelamin itu. Dalam hal ini, diajaknya anak kecil dalam khalwat dengan lain jenis yang bukan mahram tidak menggugurkan keharamannya. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Ingin Keluar dari Jamaah yang Dirasa Kurang Cocok


Publikasi: 28/02/2005 09:37 WIB Assalaamu 'alaikum Wr. Wb. Umur saya saat ini 22 tahun. Pada saat saya berusia 15 tahun saya aktif mengaji, hingga pada suatu hari saya mengaji pada seorang ustadz dan kemudian dia mengajak saya untuk menjadi seorang NII. Karena pikiran saya masih sangat belia dan segala tindakan kurang saya pertimbangkan dengan matang maka saya ikut pengajian itu dan sekarang saya menyadari bahwa islam itu adalah milik semua orang. Bagaimana caranya supaya saya dapat keluar dari gerakan ini, karena saya merasa tidak nyaman. Banyak pertimbangan yang membuat saya bertahan diantaranya sahabat saya. dia masih tetap aktif dan saya tidak mau kehilangan sahabat saya. Bagaimana supaya saya bisa tetap bersahabat dengan dia walu saya sudah keluar dari gerakan itu. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih karena mudah-mudahan jawaban Bapak dapat membantu dan mendorong saya pada jalan yang diridhai Allah. Amin Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Pepen Sarif Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Setiap orang berhak untuk ikut pada suatu jamaah atau gerakan tertentu. Dan juga menjadi haknya pula untuk keluar atau berhenti dari mengikutinya. Sama sekali tidak ada

dosa baginya bila keluar dari sebuah jamaah. Apalagi bila diikuti oleh pertimbangan yang syar'i dan masuk akal, misalnya bila jamaah itu nyata-nyata berlaku tidak adil, sesat atau keluar dari manhaj ahlussunnah wal jamaah. Saat ini kita masih belum memiliki sebuah jamaah muslimin yang seperti digambarkan oleh Rasulullah SAW. Yang ada barulah sekedar sekian banyak jamaah yang berserakserak, sebagiannya sudah mempunyai manhaj yang lurus namun tidak sedikit pula yang manhajnya berantakan dan memang tidak layak untuk diikuti. Bahkan ada kelompok yang sampai menginjak-injak syariat Islam, entah karena keawamannya maupun karena kedegilannya. Mesi bertabur dengan dalil ayat Quran, namun penempatannya bukan pada tempatnya yang benar, sehingga justru merupakan sebuah penyelewengan. Biasanya bila seseorang ikut suatu jamaah tertentu, ada bai'at yang harus diucapkan. Bai'at adalah sebuah janji atau sumpah untuk setia terus menerus kepada jamaah itu. Semacam sumpah jabatan yang kita kenal di instansi pemerintahan. Lalu bagaimana bila seseorang merasa jamaah yang diikutinya selama ini sudah menyimpang dari ajaran Islam yang lurus? Bolehkan dia melanggar bai'at yang terlanjur diucapkannya? Secara hukum syariah, sumpah yang pernah dilakukan oleh seseorang bila dilanggar harus membayar denda/kaffarah. Dan denda/kaffarah atas sumpah yang dilanggar itu sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran adalah berupa memberi makan, pakaian membebaskan budak atau puasa. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah : 89) Jadi bila seseorang terpaksa harus melanggar sumpah yang pernah dilakukannya, maka dendanya adlaah memberi makan sepuluh orang miskin. Atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Dan bila tidak sanggup melakukan yang demikian, maka puasa selama tiga hari. Dengan melakukan semua itu, maka seseorang terbebas dari sumpah yang pernah diucapkannya. Sedangkan masalah hubungan baik dengan teman dan saudara sesama muslim, tetap harus dijaga. Bahkan kepada orang kafir sekalipun, kita tetap diwajibkan untuk menjaga hubungan baik. Karena mereka pun punya hak-hak yang harus didapat dari kita sebagai muslim. Sehingga bukan pada tempatnya bila seseorang sudah berlainan jamaah dengan saudaranya, mereka lantas harus saling bermusuhan, saling menyakiti atau saling mencela. Ini bukanlah akhlaq seorang muslim yang baik.

Beda jamaah itu biasa, bukan hal yang perlu dipusingkan. Sebab adanya sebuah jamaah itu tidak lain adalah sebuah ijtihad. Dan kita tahu bahwa ijtihad itu mungkin benar dan mungkin juga salah. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Benarkah Suara Wanita itu Aurat?


Publikasi: 28/02/2005 09:18 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Ustadz, saya ingin bertanya, ada hadist Nabi yang menyebutkan bahwa suara wanita adalah aurat, dan jika seseorang mendengarkan musik yang dinyanyikan oleh wanita, nanti di hari pembalasan, orang tersebut akan ditetesi timah ditelinganya. Saya mohon ustadz memberikan penjelasan mengenai hal ini. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Yayah Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Bila kita masuk ke dalam wilayah kajian hukum Islam dan perbandingan pendapat dalam fiqih, akan kita dapati kenyataan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa suara wanita adalah aurat termasuk pendapat yang lemah dan menyendiri dari apa yang sudah disepakati oleh jumhur ulama. Sehingga kalaupun kita menerimanya, kita pun harus tahu bahwa jumhur ulama tidak mengharamkan suara wanita. Para ulama jumhur sepakat menyatakan bahwa suara wanita bukan termasuk aurat pada dasarnya. Sehingga mendengar wanita berbicara atau bersuara, tidaklah termasuk hal yang terlarang dalam Islam. Kecuali bila suara wanitai itu dalam bentuk suara yang mendayu-dayu, mendesah atau dibuat sedemikian rupa sehingga membangkitkan nafsu birahi laki-laki yang mendengarnya. Tentu saja para ulama sepakat untuk mengharamkannya. Namun bila

dalam bentuk pembicaraan biasa saja di mana hal itu jauh dari fitnah dan urusan birahi, para ulama sepakat mengatakan bahwa mendengar suaranya tidak diharamkan. Bagaimana latar belakang dalilnya? Ada sekian banyak riwayat yang sampai kepada kita bahwa suara wanita di masa Rasululah SAW bukan termasuk aurat. Misalnya, bukankah para istri nabi SAW berbicara langsung dengan para shahabat? Bukankah ketika berbicara itu mereka tidak menggunakan perantara orang lain yang menjadi mahram? Bahkan komunikasi antara para sahabat dengan istri Rasulullah SAW itu pun juga tidak dengan tulisan, seperti yang kita lihat pada beberapa situasi sekarang ini. Demikian juga istri beliau yaitu Aisyah r.a ketika meriwayatkan hadist dari Rasulullah SAW, beliau berbicara langsung kepada para sahabat Rasulullah SAW. Sebaliknya, Rasulullah SAW pun berbicara langsung juga dengan para wanita shahabiyah, juga tidak menggunakan perantaraan atau pun tulisan. Bahkan ketika para wanita berbai 'at, mereka pun berbicara dengan Rasulullah SAW secara langsung. Lebih jauh lagi, Rasulullah SAW punya satu hari khusus untuk mengajarkan para wanita ilmu-ilmu agama. Dan pengajaran ini diberikan langsung oleh Rasulullah SAW tanpa perantaraan para istrinya. Dan satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Rasulullah SAW dan beberapa shahahat diriwayatkan pernah mendengar nyanyian yang dinyanyikan para wanita Anshar. Dan beliau tidak melarang mereka dari bernyanyi. Dengan semua riwayat yang kami sebutkan di atas, tidak ada alasan untuk melarang wanita bersuara di depan orang laki-laki, karena suara mereka bukan termasuk aurat. Namun tentu saja bila dalam bersuara itu para wanita melakukan rayuan, atau mendesahdesahkan suaranya, apalagi bergoyang pinggul yang akan melahirkan birahi para lelaki, sampailah kepada keharamannya. Sebab itu sudah merupakan bagian dari fitnah wanita. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Mempelajari Sihir, Bolehkah?


Publikasi: 25/02/2005 09:22 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Saya ingin mengetahui bagaimana sebenarnya hukum mempelajari sihir. Mohon penjelasannya. Syukron. Semoga Allah meridhai kita semua.

Sultan Mujahidin Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Sihir itu haram dipelajari dan terlarang untuk dipraktekkan. Mereka yang belajar sihir adalah orang-orang yang berdosa besar, bahkan termasuk ke dalam kategori syirik yang dosanya tidak bisa diampuni di akhirat, selama belum bertobat di dunia ini. Memang sihir itu bisa dipelajari. Dan pengajarnya adalah syetan dan bayarannya adalah menggadaikan iman kepada Allah SWT. Dan hadiahnya adalah masuk neraka. Bonusnya adalah dibunuh di dunia karena memakai sihir. Hukuman untuk Penyihir Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum tukang sihir muslim dan zimmi. Imam Malik berpendapat bahwa seorang muslim apabila menyihir sendiri dengan suatu ucapan yang berwujud kekafiran maka ia dibunuh, tidak diminta taubatnya, dan taubatnya tidak diterima karena itu adalah perkara yang dilakukannya dengan senang hati seperti orang zindiq dan berzina. Juga karena Allah menamakan sihir dengan kekafiran di dalam firman-Nya: Sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang pun sebelum mengatakan, "...Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kafir..." (QS Al-Baqarah: 102) Ibnu Munzir Rahimahullah berkata, "Apabila seseorang mengakui bahwa dia telah mensihir dengan ucapan yang berupa kekafiran maka wajib dibunuh, jika dia tidak bertaubat. Demikian juga jika terbukti melakukannya dan bukti itu menyebutkan ucapan yang berupa kekafiran." Jika ucapan yang dipakai untuk menyihir bukan berupa kekafiran maka dia tidak boleh dibunuh. Dan jika dia menimbulkan bahaya pada diri orang yang tersihir maka wajib diqishas. Ia di qishas jika sengaja membunuhnya. Jika termasuk yang tidak dikenakan qishas maka dikenakan diyat. Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, Telah berdalil dengan firman Allah: "...Sekiranya mereka beriman dan bertakwa...", orang yang berpendapat mengkafirkan tukang sihir, sebagaimana riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal dan sekelompok dari ulama salaf. Dikatakan bahwa dia tidak kafir, tetapi hukumannya dibunuh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Syafi'i dan Imam Ahmad keduanya berkata; Telah menceritakan kepada Sofyan Ibnu Uyainah dari Amr bin Dinar bahwa ia mendengar

Bajlah bin Abdah berkata, "Umar bin Khattab memutuskan agar setiap tukang sihir lelaki ataupun wanita agar dibunuh. Ia (Bajlah) berkata, kemudian kami membunuh tiga tukang sihir" Ia (Ibnu Katsir) berkata, "Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab sahihnya." Masih menurut Imam Ibnu Katsir ia berkata, "Demikianlah riwayat sahih menyebutkan bahwa Hafsah Ummul Mu'minin pernah disihir oleh wanita pembantunya, lalu beliau memerintahkan agar wanita itu dibunuh. Imam Ahmad berkata; Dalam riwayat sahih dari tiga orang sahabat Nabi saw disebutkan bahwa mereka pernah membunuh tukang sihir." Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Menurut Imam Malik bahwa hukum tukang sihir sama dengan hukum orang Zindiq, maka tidak diterima taubatnya dan dibunuh sebagai hukumannya, jika terbukti melakukannya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad. Imam Syafi'I berkata: Tukang sihir tidak dibunuh kecuali jika dia mengakui bahwa dia membunuh dengan sihirnya." Hakikat Sihir Pada hakikatnya sihir adalah kesepakatan antara penyihir (manusia) dengan syetan. Si penyihir harus melakukan hal-hal yang diharamkan syariat atau kemusyrikan. Dan imbalannya adalah bantuan ghaib dari syetan serta ketaatan dan pemenuhan apa yang dimintakan kepada syetan. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, "Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman , padahal Sulaiman tidak kafir , hanya syaitan-syaitan lah yang kafir . Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan kepada seorangpun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan , sebab itu janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang dengan isterinya . Dan mereka itu tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui." (QS Al-Baqarah: 102) Untuk dapat bantuan ghaib dari syetan, para penyihir harus merelakan dirinya melakukan semua yang dilarang Allah sebagai syarat adanya kesepakatan antara mereka. Terkadang dengan memerintahkan seseorang membaca Al-Qur'an dengan cara terbalik-balik. Pernah juga dengan cara menulis ayat Al-Qur'an dengan tinta darah pada ladam/sepatu kuda. Dan ada juga perintah untuk berkurban kepada syetan dengan menyembelih hewan tertentu. Atau diminta untuk menyediakan kembang, dupa dan seserahan. Yang jelas, meski dibingkai dengan kemasan yang terkesan agamis, namun intinya adalah kemungkaran, syirik dan dosa besar.

Kesepakatan itu terjadi antara penyihir dengan pimpinan syetan atau jin kafir, lalu dia memerintahkan kepada anak buahnya -terutama yang bodoh- untuk membantu dan melayani si penyihir. Bila anak buah ini mulai tidak patuh, si penyihir akan melaporkan kepada biang syetan/jin melalui berbagai ajian dan jimat. Lalu anak buahnya akan dihukum. Sehingga hubungan antara syetan/jin dengan penyihir adalah hubungan kebencian dan dendam. Sehingga tidak jarang malah berbalik menyerang si penyihir, atau kalau tidak malah menyerang keluarga, anak-anak, harta dan lainnya. Atau bisa juga dengan menimbulkan rasa sakit, using, mimpi buruk dalam tidur, bahkan sampai membuat si penyihir tidak punya anak karena janinnya yang masih dalam rahim telah dibunuh. Wallahu a 'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Benarkah Ada Manusia Sebelum Nabi Adam?


Publikasi: 25/02/2005 08:48 WIB Pertanyaan ini sudah lama saya pendam karena saya belum pernah dapat jawaban yang logis dari ustaz-ustaz. Yang saya tahu dari kecil adalah bahwa nabi Adam manusia pertama di muka bumi. Tapi ada hal yang menarik yang pernah saya baca di suatu buku tentang manusia purba. Dikatakan bahwa manusia purba hidup ribuan tahun SM berdasarkan dari test DNA tengkorak manusia purba tersebut. Kemudian saya baca buku Islam tentang sejarah nabi-nabi dan tertulis (juga ada dalilnya) bahwa Nabi Adam tercipta setelah adanya manusia purba tersebut. Kemudian saya baca di Al-Qur'an bahwa Nabi Adam adalah khalifah pertama di muka bumi (khalifah = pemimpin) bukan manusia di bumi? Perlu diketahui juga pada sejarah manusia purba mereka belum bisa bicara, bercocok tanam dan lain-lain. Sedangkan Nabi Adam dengan segala keistemewaannya. Sabiq Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du

Sebenarnya anda tidak perlu mendapatkan jawaban yang 'logis' dari ustaz-ustaz, cukup anda membaca hadits Rasulullah SAW berikut ini. Sebagai seorang muslim, tentunya anda bukan hanya beriman kepada kebenaran Al-Quran saja, bukan? Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang kondisi orang-orang pada hari kiamat yang berkata kepada Nabi Adam, "Wahai Nabi Adam, engkau adalah bapak manusia. Allah SWT telah menciptakanmu dengan tangan-Nya dan meniupkan dari ruhNya kepadamu dan memerintahkan malaikatnya untuk bersujud kepadamu." (HR Bukhari 3092, Muslim 287, Turmuzi 2358 dan Ahmad 9250) Dari Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Manusia itu adalah anak nabi Adam dan Allah SWT menciptakan Adam dari tanah." (HR Tirmizy 3193). Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Mereka semua adalah anak nabi Adam diciptakan dari tanah." (HR Tirmizi kitab Manaqib 3890). Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Kalian semua adalah anak nabi Adam dan Adam (diciptakan) dari tanah." (HR Abu Daud kitabul Adab 4452 dan Ahmad). Hadits-hadits Nabi SAW yang shahih merupakan rujukan resi dan syah yang telah ditetapkan dalam Islam. Tidak beriman kepada hadits-hadits itu berarti sama saja dengan mengingkari kenabian Muhammad SAW. Dan itu berarti ingkar pula kepada agama Islam. Sebab sumber hadits nabi itu sebenarnya juga dari Allah SWT juga, hanya saja metode penyampaiannya melalui perkataan Nabi Muhammad SAW, di mana keredaksiannya memang diserahkan kepada beliau. Tapi level kebenaran dan validitasnya tidak kalah dengan Al-Qur'an. Al-Qur'an dan hadits adalah dua warisan abadi yang kita jadikan sumber rujukan dalam beragama. Kalau hadits-hadits nabi SAW sudah menegaskan dengan jelas bahwa nabi Adam memang benar-benar manusia pertama di muka bumi, alasan apalagi yang masih akan dikemukakan? Apakah kita masih saja ingin menolaknya dengan menggunakan asumsiasumsi sederhana produk manusia yang kufur itu? Apakah kita akan mau menentang kebenaran hadits Bukhari itu? Nauzu bilahi min zalik. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Membuat Aplikasi Keuangan dalam Sitem Riba, Ikut Berdosakah?

Publikasi: 25/02/2005 08:34 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Saya adalah seorang programmer yang bekerja pada sebuah perusahaan pengembang software. Kebetulan saat ini kantor saya mendapat kontrak untuk mengerjakan sebuah aplikasi keuangan. Tentu saja sebagai penyedia solusi berbasis komputer kami harus memenuhi spesifikasi bisnis mereka dalam mendesain dan membuat program. Hanya saja yang membuat saya risau adalah klien kami itu menerapkan sistem riba dalam bisnisnya. Sebenarnya aplikasi yang kami buat tersebut bisa juga digunakan dengan berdasar pada prinsip syariah. Bagaimanakah posisi kami menurut syariat Islam? Apa saja yang harus saya perhatikan, dan sejauh mana saya bisa terlibat dalam proyek tersebut? Penjelasan Ustadz akan sangat membantu saya. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu yang bermanfaat bagi kita, amin. Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. Budi Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Sebenarnya software keuangan untuk bisnis dengan sistem ribawi sudah terlalu banyak. Sehingga bukan hal yang baru lagi bila ada sebuah perusahaan pengembang software memproduksinya. Yang masih jarang sebenarnya justru software yang berbasis syariah. Paling tidak, sebagai seorang muslim atau perusahaan yang pengembang software yang dikelola oleh pemilik yang juga muslim, di dalam software itu ada opsi penghitungan secara syariah yang bisa diaktifkan. Bahkan kalau perlu harus diprogram untuk sebagai default, di mana bila klien ingin menonaktifkan opsi penghitungan syariahnya memang bisa dilakukan. Jadi alangkah baiknya bila software itu bisa diprogram untuk multifungsi. Sehingga kalau klien melakukan penghitungan keuangan dengan cara ribawi, bisa dikatakan bahwa hal itu menjadi pilihannya sendiri, sedangkan secara default sebenarnya sudah diprogram untuk dihitung secara syariah. Hal ini perlu untuk menghindarkan diri kita dari keterlibatan dalam penghitungan ribawi yang diharamkan. Sebab ancaman dari hadits Rasulullah SAW begitu tegas, yaitu laknat. Siapa yang mau dapat proyek menggiurkan tapi sekaligus mendapat laknat juga? Terima kasih deh.

Dari Jabir ra. beliau berkata, "Rasulullah saw telah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan kedua saksinya." (HR Muslim) Laknat Rasulullah SAW ternyata bukan saja terkena pada pemakan atau pemberi makan riba, tetapi merembet juga kepada penulisnya serta saksinya. Dalam hal ini, pihak yang membuat softaware bisa dikategorikan sebagai penulis atau pencatat transaksi ribawi. Sebab dengan menggunakan software buatannya itu, terjadilah transaksi ribawi. Nauzu billahi min zalik. Tentu kita tidak bisa mengelak kalau nanti di hari akhir akan diadili dan didudukkan pada kursi terdakwa pada pengadilan teragung. Ketika catatan kita dibacakan dan ternyata ada sekian ribu transaksi ribawi dimana kita ikut di dalam kesuksesan transaksi haram itu, yaitu sebagai pembuat software. Kita mau bilang apa? Apakah kita akan mengatakan bahwa kita berlepas diri dari semua itu? Padahal nyata jelas memang software buatan kita yang dipakai untuk melakukan penghitungan keuangan haram itu, bukan? Tapi kalau kita mengatakan bahwa sebenarnya kita sudah buatkan metode penghitungan secara syariah, namun si klien malah memilih sendiri mode penghitungan ribawinya, padahal secara default sudah dibuat agar tidak terjadi transaksi ribawi, rasanya kita masih bisa beralasan kepada Allah SWT. Paling tidak, kalau pun kena siksa, maka siksaannya tidak berat-berat amat. Memang akan menjadi lebih baik kalau kita 100% berlepas diri dari segala hal yang bisa menyukseskan transaksi ribawi itu, agar di pengadilan akhirat kita tidak lagi direpotkan dengan beragam pertanyaan ini dan itu. Seandainya pengadilannya di dunia, mungkin kita masih bisa bernafas lega karena masih banyak orang yang akan menjadi pembela. Paling tidak, kita bisa mengeluarkan dana untuk menyewa pengacara. Tapi di akhirat... siapa yang mau jadi pengacara kita? Semua orang akan disibukkan dengan permasalahannya masing-masing. Maka akan sangat bijaksana bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mempersiapkan hari pengadilan itu dengan persiapan yang sebaik mungkin. Jangan sisakan bahan-bahan permasalahan yang nantinya hanya akan merepotkan diri sendiri. Meski pun kita mungkin masih bisa berdalih untuk mencari alibi pembenar tindakan kita di dunia. Tapi yang namanya alibi itu masih mengambang, kalau alibi itu bisa diterima Allah sih masih enak, tapi bagaimana kalau alibi itu ditolak? Kan bahaya... Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Benarkah Bumi itu Bulat Menurut AlQur'an?


Publikasi: 24/02/2005 13:54 WIB Assalaamu 'alaikum. Wr. Wb. Ustadz, saya adalah mahasiswa Teknik Geodesi UGM. Dalam materi kuliah dijelaskan kalau bentuk bumi itu bulat. Saya kemudian mencari dalilnya dalam Al quran yang saya dapat dari Harun Yahya tapi alasannya cuma satu ayat, pada ayat yang lain disebutkan jika bumi itu "dihamparkan", bukankan berarti datar? Apakah Al Quran masih relevan untuk setiap zaman? Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. ACB Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Pada hakikatnya tidak masalah yang perlu dipertentangkan antara ungkapan "bumi dihamparkan" dengan kebulatan bentuk bumi seutuhnya. Keduanya tidak saling bertentangan. Ungkapan "bumi dihamparkan" tidak berarti bumi itu rata seluruhnya, sebab ternyata bumi itu tidak rata, melainkan ada gunung, jurang, lembah, ngarai, laut yang dalam dan seterusnya. Bagian bumi ada yang sampai menjulang ke "langit" bahkan menembus awan. Sampai terjadi salju abadi karena tingginya mencapai 8.000-an meter dari permukaan laut. Tapi ada juga yang sedemikian dalam di tengah dasar lautan hingga kedalama beberapa ribu meter, seakan menjadi tempat gelap abadi. Sejak ayat Al-Qur'an ini diturunkan, para shahat pun sudah tahu adanya beragam bentuk permukaan bumi tersebut. Dan tidak ada yang mempertentangkannya, sebab makna "bumi dihamparkan" tidak berarti harus rata seluruhnya seperti permukaan air laut. Demikian juga ayat tersebut tidak bertentangan bila ternyata bentuk utuh bumi itu bukan rata seperti permukaan meja. Sebab dibentangkannya bumi tidak harus bentuknya rata seperti meja. Mungkin saja permukaan bumi itu melengkung hingga membentuk bulatan. Di dalam Al-Qur'an Al-Kariem ada banyak ungkapan yang tidak harus mengungkap fenomena ilmiyah, melainkan ungkapan dengan sudut pandang subjektif tertentu. Dan ungkapan demikian bukan hal yang asing, apalagi mengingat Al-Quran itu memang

bukan buku tentang antariksa. Sebaliknya, Al-Qur'an lebih dikenal dengan ungkapan sastra dan prosanya yang sangat mendalam maknanya. Dalam bahasa sehari-hari kita pun tidak asing dengan ungkapan "beratapkan langit". Padahal secara ilmiyah, langit itu tidak berbentuk atap bukan? Orang-orang sain akan berkata bahwa langit adalah antariksa yang membentang luas. Sementara ungkapan "beratapkan langit" bagi sebagian orang yang kurang paham gaya bahasa akan sangat membingungkan, mungkin mereka akan bertanya, "Apakah langit itu seperti atap?" Tentu saja tidak. Maka jangan terlalu terpaku dengan ungkapan "bumi dihamparkan", sebab maknanya cukup luas. Bisa saja bermakna bahwa bumi itu di-"gelar" atau dipersiapkan untuk manusia, sebagaimana istilah di dalam Al-Qur'an: "firash". Firasy adalah sesuatu yang digelar, sehingga bisa juga bermakna sebagai tanah tempat manusia hidup itu digelar. Bahkan ada ungkapan di dalam Al-Quran yang diterjemahkan dengan "hamparan" di mana istilah aslinya adalah "bisatha". Bisath dalam bahasa arab maknanya adalah alas yang bisa digunakan untuk duduk, semacam karpet atau tikar. Dan secara ilmiyah, kita menemukan bahwa memang manusia hidup di bumi ini bagai berdiri di atas "selembar" alas yaitu lapisan kerak bumi. Sementara di bawah lapisan kerak bumi ada isi perut bumi yang berupa magma cair yang panas. Dan masih banyak lagi makna yang harus dipahami dengan baik dan dengan catatan harus merujuk kepada istilah yang dipakai oleh Al-Qur'an langsung. Bukan istilah terjemahan seperti "hamparan" yang ternyata kurang tepat ketika dipahami secara terburu-buru. Mungkin dalam bahasa Indonesia, kata "hamparan" seolah bisa diartikan sesuatu yang rata. Padahal kata itu hanya terjemahan dari bahasa arab yang justru maknanya tidak harus sesuatu yang rata. Inilah salah satu sebab mengapa Al-Qur'an itu tidak boleh diterjemahkan tanpa menyertakan lafaz aslinya dalam bahasa Arab. Dan sekedar terjemahannya saja, tidaklah termasuk Al-Qur'an. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Bayar Zakat Via SMS, Bisakah Dibenarkan?


Publikasi: 23/02/2005 11:45 WIB

Bagaimana pandangan Islam (Landasan Syar'i) mengenai zakat dengan menggunakan fasilitas SMS sebagai moment dalam kemajuan dan perkembangan teknologi informasi? PC Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Sebagai cara pembayaran atau pengiriman uang, teknologi SMS pada dasarnya mungkin saja dimanfaatkan untuk menyetoran uang zakat. Asalkan terpenuhi beberapa persyaratannya. Sebab masalah zakat sedikit lebih spesifik dari sekedar infaq biasa. Misalnya, dari sisi siapa yang wajib berzakat, hanya orang-orang dengan kriteria tertentu yang wajib mengeluarkan harta zakat. Tidak bisa digeneralisir seperti infaq biasa. Juga dari sisi siapa yang berhak menerima zakat, hanya orang-orang dengan kriteria tertentu juga yang berhak menerimanya. Tidak semua orang berhak menerima uang zakat. Demikian juga dengan jenis harta yang wajib dizakati, ada ketentuan batas minimal atau yang sering disebut dengan nishab. Tidak semua harta harus dizakati. Dan juga harus dipastikan jenis harta yang dimiliki sehingga wajib dizakati, sebab ada juga jenis harta tertentu yang meski nilainya besar namun tidak wajib dizakati. Perlu juga dipastikan bahwa waktu untuk mengeluarkan zakat pun hanya pada waktu tertentu saja, bukan setiap saat. Pihak penyelenggara SMS baik amil zakat, conten provider (CP) atau pun operator telepon seluler harus mengerti betul segala ketentuan ini. Tugas mereka adalah bagaimana membuat sistem yang bisa memandu para calon muzakki membayarkan zakatnya dengan benar sesuai dengan ketentuan. Pihak yang mau membayar zakat lewat sistem SMS ini pun hendaknya paham ilmu hitung zakat. Agar dia tidak mengirimkan uang zakat atas harta yang tidak jelas hitunghitungannya atau tidak memenuhi ketentuan zakat itu sendiri. Demikian juga dengan perjanjian bagi hasil diantara amil zakat, conten provider dan operator ponsel, semua harus jelas agar jangan sampai uang pembayaran zakat yang niatnya untuk membayar zakat malah dibagi-bagi untuk keuntungan masing-masing pihak. Uang itu harus 100% sampai kepada pihak amil, sedangkan biaya pengiriman via SMS, adminstrasi atau lain-lainnya haruslah diluar uang zakat. Maka disini perlu sistem charging yang benar sesuai dengan aturan dalam zakat. Misalnya, bila seorang berniat mengirim uang zakat sebesar Rp 10.000, maka uang itu harus utuh sampai kepada pihak amil zakat. Tidak boleh dibagi-bagi untuk conten

provider dan operator. Kalau keduanya ingin dapat untung, maka harus diluar nilai Rp 10.000 itu, sebab uang itu adalah uang zakat yang harus sampai kepada 8 ashnaf melalui amil zakat yang resmi. Bukan buat keuntungan conten provider atau operator. Dan tentu masih banyak hal lain yang perlu dikaji lebih mendalam agar sistem pembayaran via SMS untuk zakat ini bisa dikatakan memenuhi aturan. Untuk itu para pihak harus mengundang para ulama syariah yang kualified untuk mendiskusikan sistem ini sebelum diluncurkan. Agar sistem ini bisa dibenarkan dari sisi syariat. Namun demikian, ide ini sangat baik dan sangat membantu umat Islam dalam menjalankan kewajibannya. Tentu saja hal ini penting untuk dijalankan dengan sebaikbaiknya. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Bolehkah Mendepositokan Uang di Deposito Syariah?


Publikasi: 23/02/2005 09:44 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Ustadz, saya seorang karyawan pada sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, saya berencana meminjam uang dari koperasi tempat saya bekerja kemudian uang tersebut saya depositokan di bank syariah? Pertanyaan saya, apakah uang yang saya terima dari pembagian hasil dari deposito di bank syariah tersebut halal saya gunakan? Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Gus Jarwo Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Memang istilah deposito itu kesannya hanyalah untuk hal-hal yang terkait dengan membungakan uang. Padahal ada juga sistem deposito yang menggunakan cara bagi

hasil, di mana tidak dilakukan praktek pembungaan uang. Sehingga dari sisi hukum syariah, deposito yang menggunakan sistem bagi hasil ini hukumnya halal. Umumnya deposito dengan sistem bagi hasil ini hanya dilakukan oleh bank syariah. Sedangkan bank konvensional biasanya menggunakan sistem pembungaan uang yang bersifat ribawi. Sehingga secara syariah, depostio di bank konvensional hukumnya haram. Wajib bagi umat Islam untuk segera menghentikan praktek pendepositoan dana mereka dari bank-bank konvensional. Dan sebagai gantinya, mereka harus mendepositokannya di bank-bank syariah yang menggunakan sistem bagi hasil. Sudah waktunya bagi umat Islam untuk sadar dan mulai menjalankan hidup dengan syariat Islam. Dan sudah waktunya untuk berpikir tentang siksa dan azab Allah di neraka. Siksa Allah SWT di neraka memang sudah dijamin buat mereka yang masih saja melakukan praktek ribawi. Bahkan di dunia ini saja, mereka sudah dilaknat oleh Sang Pencipta. Kita tidak bisa membayangkan menjadi manusia tapi dilaknat oleh Sang Maha Pencipta. Dan bagaimana rezki kita bisa berkah bila pendapatan kita datang dari hasil yang ribawi? Sudah waktunya kita meresapi ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabi berikut ini : "Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih." (QS An-Nisa 160-161) "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya" (QS al-Baqarah 275, 276, 278, 279) Dari Jabir berkata: "Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yeng memberi makan, pencatatnya dan kedua orang saksinya" (HR Muslim)

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Wanita Mengikuti Outbound Menginap Bolehkah?


Publikasi: 22/02/2005 15:46 WIB Ustadz, saya seorang instruktur outbound, pesertanya dari kalangan umum baik pria maupun wanita. Umumnya kegiatan outbound dilaksanakan 3 hari dan dilakukan di alam bebas, jadi seluruh peserta menginap di tenda yang panitia sediakan, termasuk peserta wanitanya. Pertanyaannya bolehkah peserta yang wanita menginap juga di tenda (terpisah antara lokasi tenda wanita dan pria) selama 2 malam tersebut? Abu Farhah Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Wanita yang sudah akil baligh memang tidak diperkenankan untuk keluar rumah lebih dari tiga hari kecuali ditemani oleh mahram atau suaminya. Larangan ini bersifat umum dan jelas berdasarkan sabda Rasulullah SAW, "Tidak halal bagi wanita muslim bepergian lebih dari tiga hari kecuali bersama mahramnya." Para ulama berbeda pendapat bila tujuannya adalah untuk pergi haji. Dalam masalah mahram bagi wanita dalam pergi haji, ada dua pendapat yang berkembang. 1. Pendapat Pertama: Mengharuskan ada mahram secara mutlak. Seorang wanita yang sudah akil baligh tidak diperbolehkan bepergian lebih dari tiga hari kecuali ada suami atau mahram bersamanya. Hal itu sudah ditekankan oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu dalam sabda beliau. Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita kecuali bila ada mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya. Ada seorang yang berdiri dan bertanya, "Ya Rasulullah SAW, istriku bermaksud pergi haji padahal aku

tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu." Rasulullah SAW bersabda, "Pergilah bersama istrimu untuk haji bersama istrimu." (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad) Hal itu juga diungkapkan oleh Ibrahim An-Nakha'i ketika seorang wanita bertanya via surat bahwa dia belum pernah menjalankan ibadah haji karena tidak punya mahram yang menemani. Maka Ibrahim An-Nakha'i menjawab bahwa anda termasuk orang yang tidak wajib untuk berhaji. Kewajiban harus adanya mahram di atas adalah sebuah pendapat yang dipegang dalam mazhab Hanafi dan para pendukungnya. Juga pendapat AnNakha'i, Al-Hasan, At-Tsauri, Ahmad dan Ishaq. 2. Pendapat Kedua: Tidak mengharuskan secara mutlak Seorang wanita boleh bepergian untuk haji asal ada mahram atau suami atau ada sejumlah wanita lain yang tsiqah (dipercaya). Ini adalah pendapat yang didukung oleh Imam Asy-Syafi'i ra. Bahkan dalam satu pendapat beliau tidak mengharuskan jumlah wanita yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Bahkan dalam riwayat yang lain seorangwnaita boleh pergi haji sendirian tanpa mahram asal kondisinya aman. Namun semua itu hanya berlaku untuk haji atau umrah yang sifatnya wajib. Sedangkan yang sunnah tidak berlaku hal tersebut. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi yang menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada wanita yang pergi haji dari kota Hirah ke Mekkah dalam keadaan aman. Rasulullah SAW bersabda, "Wahai Adi, bila umurmu panjang wanita di dalam haudaj (tenda di atas punuk unta) bepergian dari kota Hirah hingga tawaf di Ka'bah tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja." (HR Bukhari) Selain itu pendapat yang membolehkan wanita haji tanpa mahram juga didukung dengan dalil bahwa para istri nabi pun pergi haji di masa Umar setelah diizinkan oleh beliau. Saat itu mereka ditemani Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. (HR. Bukhari). Ibnu Taymiyah sebagaimana yang tertulis dalam kitab Subulus Salam mengatakan bahwa wnaita yang berhaji tanpa mahram, hajinya syah. Begitu juga dengan orang yang belum mampu bila pergi haji maka hajinya syah. Karean itu bila memang tidak terlalu penting dan lengkap persyaratannya, sebaiknya para akhwat tidak diprogram dengan acara yang menginap, apalagi di luar kota. Kecuali dengan pertimbangan yang betul-betul matang sekali dan dengan alasan yang sangat kuat pada kasus tertentu. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Pembagian Warisan Ayah Kami


Publikasi: 22/02/2005 14:05 WIB Ass. Wr. Wb. Pak Ustadz, Saya ingin mengetahui secara pasti bagaimana perhitungan (persentase) pembagian harta warisan dari ayah (alm. tahun 1989) di mana pewaris terdiri dari: 1 (satu) Ibu dan 9 anak (5 laki-laki dan 4 perempuan). Saat ini ayah saya sudah tidak memiliki ayah, ibu dan saudara kandung. Perlu diketahui bahwa pewaris (1 ibu & 9 anak) sepakat untuk menjual secara bertahap harta peninggalan (3 bidang tanah dalam jangka waktu 3 tahun) dan pembagian warisan segera dilaksanakan setiap harta waris terjual. Selain itu, berapa wajib zakat yang harus dikeluarkan dari harta waris? Yazakillah khairan katsiran Wass. wr. wb. Mila Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Ibu mendapatkan 1/8 atau 12,5% dari total harta yang diwariskan. Sedangkan sisanya yang 7/8 atau 87,5% menjadi ashabah yang dibagikan kepada anak-anak almarhum yang jumlahnya 9 orang itu. Tinggal bagaimana cara membagi harta itu kepada anak-anak. Ketentuannya adalah harta itu dibagi rata namun tiap anak laki-laki harus mendapatkan 2 kali lebih besar dari yang diterima anak perempuan. Maka kita anggap tiap anak laki-laki punya nilai 2 sedangkan anak perempuan punya nilai 1. Sehingga jumlah pembagiannya menjadi (5 anak laki x 2) + (4 anak perempuan x 1) = 10 + 4 = 14. Maka sisa harta yang 7/8 dibagi menjadi 14 bagian yang sama. Maka nilai per-bagiannya adalah 7/8 x 1/14 = 7/112. Jadi tiap anak laki-laki mendapatkan 2 x 7/112 = 14/112 bagian, sedangkan anak perempuan mendapat 1 x 7/112 = 7/112 bagian. Sedangkan ibu sudah mendapat 1/8 bagian atau 14/112 bagian. Kalau kita jabarkan satu persatu, berapakah besar bagian masing-masing, bisa kita lihat pada tabel berikut ini:

1. Ibu

Fardh = 1/8 12,5% 14/112 Ashabah = 2. Anak laki-laki pertama 2 x 7/8 12,5% 14/112 7/8 3. Anak laki-laki kedua 2 x 7/8 12,5% 14/112 4. Anak laki-laki ketiga 2 x 7/8 12,5% 14/112 5. Anak laki-laki keempat 2 x 7/8 12,5% 14/112 6. Anak laki-laki kelima 2 x 7/8 12,5% 14/112 7. Anak perempuan pertama 1 x 7/8 6,25% 7/112 8. Anak perempuan kedua 1 x 7/8 6,25% 7/112 9. Anak perempuan ketiga 1 x 7/8 6,25% 7/112 10. Anak perempuan keempat 1 x 7/8 6,25% 7/112 TOTAL 8/8 112/112 100% 112/112 Kemudian masalah harta yang berupa tanah yang mau dijual, sebaiknya sebelumnya ditetapkan terlebih dahulu jatah masing-masing sesuai dengan prosentase di atas. Sehingga setiap orang sudah tahu berapa bagiannya. Namun bila kesepakatannya demikian, maka asal semua pihak sepakat, kami kira boleh saja dilakukan penjualan. Sedangkan masalah KEWAJIBAN berzakat dari harta yang diterima secara warisan, kami belum mendapatkan dalil yang sharih dari Rasulullah SAW tentang hal itu. Demikian juga dalam ilmu hukum waris dalam bab-bab fiqih, tidak pernah dikaitkan dengan kewajiban untuk menzakatkannya. Namun bila masing-masing ahli waris ingin berinfaq atau bersedekah karena telah merasa telah mendapatkan rizqi dari Allah SWT, silahkan saja dan insya Allah berpahala sesuai dengan niat dan ketulusannya hatinya. Dalam hal ini bukan sebagai zakat melainkan sebagai sedekah biasa. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Adakah Bid'ah Hasanah?


Publikasi: 22/02/2005 12:03 WIB Ass. wr. wb. Ustadz, saya mau menanyakan apakah memang ada pembagian bid'ah menjadi bid'ah hasanah dan bid'ah dlolalah? Jika ada, berdasarkan apa pembagiannya dan apa saja contohnya? Terimakasih. Wass. wr. wb. Wahyu

Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du 1. Pengertian Bid'ah Secara Bahasa Secara bahasa bid'ah itu berasal dari ba-da-'a asy-syai yang artinya adalah mengadakan dan memulai. Dan kata "bid'ah" maknanya adalah baru atau sesuatu yang menjadi tambahan dari agama ini setelah disempurnakan. 2. Pengertian Bid'ah Secara Istilah dan Perbedaan Pandangan Secara istilah, bid'ah itu didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak versi dan batasan. Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid'ah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis yang baru (diperbaharui), sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya. Dalam Ensiklopedi Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bid'ah. Yaitu kecenderungan menganggap apa yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid?ah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bid'ah adalah sesat. Kelompok Pertama Mereka yang meluaskan batasan bid'ah itu mengatakan bahwa bid'ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk. a. Tokoh Di antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi'i dan pengikutnya seperti Al-'Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri. Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid'ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid'ah wajib, bid'ah haram, bid'ah mandub (sunnah), bid'ah makruh dan bid'ah mubah. b. Contoh

Contoh bid'ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid'ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid'ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid'ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid'ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat. c. Dalil Pendapat bahwa bid'ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalildalil berikut: Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu, "Sebaik-baik bid'ah adalah hal ini." Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha' berjamaah di masjid sebagai bid'ah yaitu jenis bid'ah hasanah atau bid'ah yang baik. Hadits-hadits yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah dan bid'ah dhalalah seperti hadits berikut: Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi'ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Kelompok Kedua Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid'ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat. Di antara mereka ada yang mendifiniskan bid'ah itu sebagai sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara'ah) yang bersifat syar'i dan diniatkan sebagai tariqah syar'iyah. a. Tokoh Di antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, AsySyathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada AlBaihaqi, Ibnu Hajar Al-'Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan AsySyafi'iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah. b. Contoh

Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya). c. Dalil Dalil yang mereka gunakan adalah: Bahwa Allah SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT, ... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu... (QS Al-Maidah: 3) Juga ayat berikut: dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS Al-An'am : 153) Setiap ada hadits Rasulullah SAW yang berbicara tentang bid'ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut: ...bahwa segala yang baru itu bid'ah dan semua bid'ah itu adalah sesat. Selain pembagian di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit berbeda, oleh para ulama bid?ah terbagi dua : a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuanpenemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah) b. Bid'ah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief (menunggu dalil). Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak." (HR Muslim 1817) Namun dalam kaitannya dengan bid'ah dalam agama, para ulama ternyata juga masih memilah lagi menjadi dua bagian: Pertama: Bid'ah perkataan yang berkaitan dengan masalah I'tiqod Seperti perkataan Jahmiyah, Mu?tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu?tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.

Kedua: Bid'ah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar?inya. Bid?ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam: a. Bid'ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu. b. Bid'ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga. c. Bid'ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu. d. Bid'ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru'. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya'ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari'atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Kriteria MLM yang Tidak Melanggar Syariah


Publikasi: 22/02/2005 11:40 WIB Bagaimana multilevel marketing dalam pandangan Islam? Apakah ada penjelasan boleh atau tidaknya melakukan kegiatan tersebut dari ajaran agama kita yang bersumber pada al-Qur'an dan sunah nabi? Ratih Marina Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Diantara hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan bisnis MLM antara lain adalah:

Masalah Transparansi Transparansi penentuan biaya untuk menjadi anggota dan alokasinya harus dapat dipertanggungjawabkan. Penetapan biaya pendaftaran anggota yang tinggi tanpa memperoleh kompensasi yang diperoleh anggota baru sesuai atau yang mendekati biaya tersebut adalah celah dimana perusahaan MLM mengambil sesuatu tanpa hak. Transparansi termasuk dalam masalah peningkatan anggota pada setiap jenjang (level) dan kesempatan untuk berhasil pada setiap orang. Juga peningkatan posisi bagi setiap orang dalam profesi memang terdapat disetiap usaha. Sehingga peningkatan level dalam sistem MLM adalah suatu hal yang dibolehkan selagi dilakukan secara transparan, tidak menzhalimi fihak yang ada di bawah, setingkat maupun di atas. Hak dan kesempatan yang diperoleh sesuai dengan prestasi kerja anggota. Seorang anggota atau distributor biasanya mendapatkan untung dari penjualan yang dilakukan dirinya dan dilakukan down line-nya. Perolehan untung dari penjualan langsung yang dilakukan dirinya adalah sesuatu yang biasa dalam jual beli, adapun perolehan prosentase keuntungan diperolehnya disebabkan usaha down line-nya adalah sesuatu yang dibolehkan sesuai perjanjian yang disepakati bersama dan tidak terjadi kedholiman. Bukan Money Game MLM adalah sarana untuk menjual produk (barang atau jasa), bukan sarana untuk mendapatkan uang tanpa ada produk atau produk hanya kamuflase. Sehingga yang terjadi adalah Money Game atau arisan berantai yang sama dengan judi. Produk yang ditawarkan jelas kehalalannya Produk yang ditawarkan jelas kehalalannya, karena anggota bukan hanya konsumen barang tersebut tetapi juga memasarkan kepada yang lainnya. Sehingga dia harus tahu status barang tersebut dan bertanggung-jawab kepada konsumen lainnya. Legalisasi Syariah Alangkah baiknya bila seorang muslim menjalankan MLM yang sudah ada legalisasi syariahnya. Yaitu perusahaan MLM yang tidak sekedar mencantumkan label dewan syariah, melainkan yang fungsi dewan syariahnya itu benar-benar berjalan. Sehingga syariah bukan berhenti pada label tanpa arti. Artinya, kalau kita datangi kantornya, maka ustaz yang mengerti masalah syariahnya itu ada dan siap menjelaskan letak halal dan haramnya. Bukan Milik Musuh Islam Seorang muslim sebaiknya menghindari diri dari menjalankan perusahaan non Islam, apalagi milik yahudi, yang keuntungannya justru digunakan untuk MEMBUNUH saudara kita di belahan bumi lainnya. Meski pun pada dasarnya kita boleh bermumalah dengan

non muslim, selama mereka mau bekerjasama yang menguntungkan dan juga tidak memerangi umat Islam. Tetapi memasarkan produk yahudi di masa ini sama saja dengan berinfaq kepada musuh kita untuk membeli peluru yang merobek jantung umat Islam. Menjaga Diri dari Berdusta Hal yang paling rawan dalam pemasaran gaya MLM ini adalah dinding yang teramat tipis dengan dusta dan kebohongan. Biasanya, orang-orang yang diprospek itu dijejali dengan beragam mimpi untuk jadi milyuner dalam waktu singkat, atau bisa punya rumah real estate, mobil built-up mahal, apartemen mewah, kapal pesiar dan ribuan mimpi lainnya. Dengan rumus hitung-hitungan yang dibuat seperti masuk akal, akhirnya banyak yang terbuai dan meninggalkan profesi sejatinya atau yang kita kenal dengan istilah 'pensiun dini'. Apalagi bila objeknya itu orang miskin yang hidupnya senin kamis, maka semakin menjadilah mimpi di siang bolong itu, persis dengan mimpi menjadi tokoh-tokoh dalam dunia sinetron TV yang tidak pernah menjadi kenyataan. Dan simbol-simbol kekayaan seperti memakai jas dan dasi, pertemuan di gedung mewah atau kemana-mana naik mobil seringkali menjadi jurus pemasaran. Dan sebagai upaya pencitraan diri bahwa seorang distributor itu sudah makmur sering terasa dipaksakan. Bahkan istilah yang digunakan pun bukan sales, tetapi manager atau general manager atau istilah-istilah keren lain yang punya citra bahwa dirinya adalah orang penting di dalam perusahaan mewah kelas international. Padahal ujung-ujungnya hanya jualan obat. Kami tidak mengatakan bahwa trik ini haram, tetapi cenderung terasa mengawang-awang yang bila masyarakat awam kurang luas wawasannya, bisa tertipu. Tidak Ngawur Dalam Menggunakan Dalil Yang harus diperhatikan pula adalah penggunaan dalil yang tidak pada tempatnya untuk melegalkan MLM. Seperti sering kita dengar banyak orang yang membuat keterangan 'palsu' bahwa Rasulullah SAW itu profesinya adalah pedagang atau menjual sesuatu. Ini jelas eksploitasi sirah Rasulullah SAW yang perlu diluruskan. Yang benar adalah bahwa sebelum diangkat menjadi Nabi pada usia 40, Muhammad itu memang pernah berdagang dan ketika masih kecil memang pernah diajak berdagang. Namun setelah menjadi nabi, beliau tidak lagi menjadi pedagang. Ma'isyah beliau adalah dari harta rampasan perang/ghanimah, bukan dari hasil jualan atau menawarkan barang dagangan, juga bukan dengan sistem MLM. Lagi pula kalaulah sebelum jadi nabi beliau pernah berdagang, jelas-jelas sistemnya bukan MLM. Dan Khadidjah ra bukanlah upline-nya beliau sebagaimana Maisarah juga bukan downline-nya. Terkait dengan itu, ada juga yang berdalih bahwa sistem MLM merupakan sunnah nabi. Mereka mengaikannya dengan dakwah berantai/berjenjang yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di masa itu.

Padahal apa yang dilakukan beliau itu tidak bisa dijadikan dalil bahwa sistem penjualan berjenjang itu adalah sunnah Rasulullah SAW. Sebab ketika melakukan dakwah berjenjang itu, Rasulullah SAW tidak sedang berdagang dengan memberikan barang/jasa dan mendapatkan imbalan materi. Jadi tidak ada transaksi muamalat perdangan dalam dakwah berjenjang beliau. Kalau pun ada reward, maka itu adalah pahala dari Allah SWT yang punya pahala tak ada habisnya, bukan berbentuk uang pembelian. Tetap Menjaga Keseimbangan Produktifitas Ummat Juga perlu diperhatikan bahwa bila semua orang akan dimasukkan ke dalam jaringan MLM yang pada hakikatnya menjadi sales menjualkan produk sebuah industri, maka akan matilah jiwa kreatifitas dan produktifitas ummat. Sebab di belakang sistem MLM itu sebenarnya adalah industri yang mengeluarkan produk secara massal. Padahal umat ini butuh orang-orang yang mampu berkreasi, mencipta, melakukan aktifitas seni, menemukan hal-hal baru, mendidik, memberikan pelayanan kepada ummat dan pekerjaan pekerjaan mulia lainnya. Kalau semua potensi umat ini tersedot ke dalam bisnis pemasaran, maka matilah kreatifitas umat dan mereka hanya sibuk di satu bidang saja yaitu: BERJUALAN produk sebuah industri. Etika Penawaran Salah satu hal yang paling 'mengganggu' dari sistem pemasaran langsung adalah metode pendekatan penawarannya itu sendiri. Karena memang di situlah ujung tombak dari sistem penjualan langsung dan sekaligus juga di situlah titik yang menimbulkan masalah. Biasanya para distibutor selalu dipompakan semangat untuk mencari calon pembeli. Istilah yang sering digunakan adalah prospek. Sering hal itu dilakukan dengan tidak pandang bulu dan suasana. Kejadiannya adalah seorang teman lama yang sudah sekian tahun tidak pernah berjumpa, tiba-tiba menghubungi dan berusaha mengakrabi sambil membuka pembicaraan masa lalu yang sedemikian mesra. Kemudian melangkah kepada janji bertemu. Tapi begitu sudah bertemu, ujung-ujungnya menawarkan suatu produk yang pada dasarnya tidak terlalu dibutuhkan. Hanya saja karena kawan lama, tidak enak juga bila tidak membeli. Karena si teman ini menghujaninya dengan sekian banyak argumen mulai dari kualitas produk yang terkadang sangat fantastis, termasuk peluang berbisnis di MLM tersebut yang intinya mau tidak mau harus beli dan jadi anggota. Pada saat mewarkan dengan sejuta argumen inilah seorang distributor bisa bermasalah. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Tentang Kesempurnaan Syariat Islam


Publikasi: 22/02/2005 11:33 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Pak ustadz, saya mau bertanya, katanya, Islam adalah agama yang termuda, dan Islam adalah agama yang telah disempurnakan sehingga menjadi agama yang paling sempurna di antara agama-agama yang lain, yang ingin saya tahu, benarkah itu, lalu saya ingin bertanya bagaimana Islam awal mulanya dapat terbentuk? Apa penyebabnya? Seperti: kata Islam diambil dari mana? yang artinya apa, mengapa Allah menurunkan agama Islam, dan lain-lain, saya hanya ingin tahu agar pengetahuan tentang agama saya (Islam) menjadi bertambah, tolong diberi penjelasan yang sejelas-jelasnya. Maaf jika ada katakata saya yang kurang berkenan di hati ustadz. sekian terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Denny Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Meskipun Islam agama yang paling muda, namun berita kedatangan Islam dan Nabi Muhammad sudah disebut-sebut oleh hampir semua nabi yang pernah diutus ke muka bumi. Sehingga para pemeluk agama terdahulu sudah sangat akrab dengan informasi tentang Islam dan nabinya. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran Al-Kariem: Orang-orang yang telah Kami beri Al Kitab mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri . Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS Al-Baqarah: 146) Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman. (QS Al-An'am: 20) Sedangkan letak titik kesempurnaan Islam adalah bahwa syariat agama Islam ini merupakan rangkuman dari syariat yang pernah diturunkan sebelumnya. Namun diformulasikan secara khusus sehingga nyaman dilaksanakan dan manusia manapun bisa dengan mudah menjalankannya. Berbeda dengan syariat yang turun kepada umat terdahulu yang terasa kejam, kaku, keras dan kurang manusiawi. Misalnya, baju yang

terkena najis tidak bisa disucikan dengan dicuci tapi harus dibakar. Bilan najis itu terkena badan, maka badan itu harus dipotong. Orang yang berdusta hanya bisa diampuni dosanya dengan dipotong lidahnya. Dan sekian banyak hukum lainnya yang teramat berat untuk bisa dijalankan oleh manusia. Ketika syariat Islam diturunkan ke muka bumi, semua syariat yang pernah ada disempurnakan dan dibuat nyaman untuk dijalankan. Dan itulah yang kemudian dijadikan syariat Islam sekarang ini. Benar-benar sebuah penyempurnaan yang mengagumkan, sebagaimana Allah jelaskan di dalam Al-Quran. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Maidah: 3) Adapun jawaban pertanyaan anda tentang kata ISLAM, jawabannya adalah sebagai berikut: 1. Ketundukan dan penyerahan diri Islam berarti tunduk dan menyerahkan diri karena setiap Muslim wajib tunduk dan patuh menyerahkan diri kepada ketentuan Allah SWT, Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan , dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS An-Nisa': 65) Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nyalah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan. (QS Ali-Imran (3): 83) Katakanlah, "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan dikembalikan ke belakang sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan), "Marilah ikuti kami." Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Rabb semesta alam, dan agar mendirikan shalat serta bertaqwa kepada-Nya" dan Dialah Rabb Yang kepada-Nya-lah kamu akan dihimpunkan. (QS Al-An'am (6): 71-72) 2. Keselamatan

"Hai ahli kitab, sesungguhnya telahd atang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepada mubanyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan." "Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengankitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (QS Al-Maidah (5):15-16) 3. Kedamaian Serta berarti keselamatan dan damai. Sebab, orang yang telah memeluk Islam dan rnengerjakan tuntutannya akan selamat di dunia dan akhirat serta akan mendapatkan keselamatan dan kedamaian sejati. Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawwakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Anfal (8): 61) Hai orang-orang yang beriman masuklah kedalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syeithon. Sesungguhnya syeitho itu musuh yang nyata bagimu. (QS Al-Baqorah: 208 ) 4. Kesejahteraan "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanannya, dibawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh kenikmatan". "Do'a mereka di dalamnya ialah, "Subhanakallahumma" dan salam penghormatan mereka ialah, "Salaam." Dan penutup doa mereka ialah, "Alhamdulillaahi Rabbil'aalamin." (QS Yunus (10): 9-10) Menurut Istilah Sedangkan menurut istilah, berislam berarti: Menundukan dan menyerahkan diri sepenuh-penuhnya, secara mutlak, baik lahir maupun batin, kepada Allah swt untuk Ia atur sesuai dengan kehendak-Nya. Dan kehendakkehendak Allah swt itu tertuang secara utuh dalam agama yang Ia turunkan kepada umat manusia, sebagai petunjuk abadi dalam menjalani kehidupan mereka dimuka bumi, melalui perantara seorang Rasul, Muhammad SAW, yang kemudian Ia beri nama "Islam".

Asas ketundukan dan penyerahan diri itu adalah pengakuan yang tulus dari lubuk hati bahwa kita dan seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah swt. Karena itu Allah swt berhak mengatur segenap ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Jadi jelaslah bahwa lafadz Islam digunakan sebagai nama dari dien dan peraturan yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Allah menerangkan bahwa siapa yang mencari dien selain Islam tidak akan diterima amal perbuatannya dan di akhirat termasuk orang yang merugi "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS Ali Imran: 85) Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Kapan dan di Mana Para Nabi Hidup?


Publikasi: 21/02/2005 12:18 WIB Pak Ustaz, sejak kecil kita seringkali diceritakan kisah 25 nabi dan rasul. Tapi ada yang bilang bahwa jumlah nabi sebenarnya bukan hanya 25 orang saja tapi lebih dari itu. Mana yang benar ustaz? Semua kisah para nabi itu tentu akan sangat berarti bila kita juga bisa diinformasikan kapankah mereka itu hidup dan di negeri mana saja. Sebab kisah-kisah itu umumnya sudah kita ketahui, namun tanpa tahun kejadian dan tanpa keterangan di belahan bumi manakah mereka. Kalau bisa diinformasikan tentu bisa sangat baik, agar kisah-kisah teladan itu bukan seperti kisah khayalan saja, tapi memang bebar-benar kisah nyata. Adakah rujukan yang ilmiyah dan bisa dipertanggung-jawabkan dalam masalah peta para nabi ini. Makasih utstaz atas kesediaan menjawab. Abdullah Jawaban: Jumlah nabi dan Rasul memang bukan hanya 25 orang saja, tapi lebih dari itu. Tepatnya ada 124 ribu orang, sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut ini: Dari Abi Zar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya tentang jumlah para nabi, "(Jumlah para nabi itu) adalah seratus dua puluh empat ribu (124.000) nabi." "Lalu

berapa jumlah Rasul diantara mereka?" Beliau menjawab, "Tiga ratus dua belas(312)" (HR At-Turmuzy) Sedangkan yang 25 orang itu hanyalah yang nama mereka disebutkan secara tegas di dalam Al-Quran. Ada sebuah buku yang memuat data sejarah para nabi dan rasul yang disebutkan di dalam Al-Quran Al-Kariem. Bahkan ada beberapa peta serta analisa para ahli sejarah tentang perkiraan masa hidup mereka, lokasi dimana mereka tinggal berikut beberapa keterangan lainnya yang digali berdasarkan keterangan baik dari Al-Quran AlKariem, As-Sunah An-Nabawiyah ataupun fakta-fakta sejarah. Judulnya adalah Atlas Tarikh Al-Anbiya' War Rusul disusun oleh Samiy bin Abdullah bin Ahmad Al-Maghluts. Buku ini diberi muqaddimah oleh Syeikh Muhammad bin Nashir Al-'Abudi, sekretaris umum Musaid Rabithah Alam Islami, Mekkah AlMukarramah. Sebagai sebuah ijtihad dalam bidang sejarah, barangkali buku ini bisa menjawab pertanyaan anda. Salah satunya adalah sebuah tabel yang memuat daftar para nabi dan data mereka masing-masing. Berikut adalah cuplikannya: 1. Nabi Adam Diperkirakan hidup pada 5872-4942 SM di sekitar wilayah yang kini dikenal sebagai India. Konon disitulah beliau pertama kali turun ke muka bumi. Lalu beliau berjalan ke wilayah yang kini disebut dengan jazirah Arabia dan bertemu dengan istrinya, Hawwa. Mereka lantas menetap di sekitar Ka'bah yang memang telah dibangun sebelumnya oleh para malaikat. Nama nabi Adam disebutkan sebanyak 25 kali dalam Al-Quran Al-Karim. Diriwayatkan bahwa beliau punya 40 anak dan wafat di jazirah Arabia 2. Nabi Idris bin Yarid bin Mahlail dari keturunan Nabi Syits bin Adam Diperkirakan hidup sekitar tahun 4533-4188 SM. Beliau dari Anak keturunan Qabil yangtinggal di Babil di Iraq. Nama beliau disebutkan sebanyak 2 kali dalam Quran. 3. Nabi Nuh bin Malik bin Mutawashlihbin Idris dari keturunan Nabi Syits bin Adam Diperkirakan hidup pada tahun 3993-3043 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 3650 SM. Diperkirakan beliau tinggal di wilayah yang kini disebut sebagai Iraq. Nama beliau disebutkan sebanyak 43 kali dalam Al-quran dan memiliki 4 anak laki-laki. Para ahli sejarah banyak menyebutkan bahwa beliau wafat di Mekkah 4. Nabi Hud bin Abdullah bin Rabah bin Al-Khulud dari keturunan Sam bin Nuh

Diperkirakan hidup pada tahun 2450-2320 SM. Kaum yang beliau dakwahi disebut dengan Kaum 'Ad yang tinggal di Al-Ahqaf, Yaman. Nama beliau disebutkan sebanyak 7 kali dalam Al-Quran. Dan diriwayatkan beliau wafat di Timur Hadhramaut, Yaman 5. Nabi Shalih bin Ubaid bin 'Ashif dari keturunan Sam bin Nuh Diperkirakan beliau hidup pada tahun 2150-2080 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 2100 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Kaum Tsamud yang tinggal di AlHijir. Nama beliau disebutkan sebanyak 9 kali di dalam Al-Quran dan wafat di Madain Shalih, Mekkah. 6. Nabi Ibrahim bin Azar bin Nahur dari keturunan Sam bin Nuh Beliau diperkirakan hidup tahun 1997-1822 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 1900 SM. Beliau tinggal di Kaldaniyyun, Ur, negeri yang disebut kini sebagai Iraq. Nama beliau disebutkan sebanyak 69 kali dalam Al-Quran dan wafat di Alkhalil, Hebron, Palestina 7. Nabi Luth bin Haran bin Azar bin Nahur dari keturunan Sam bin Nuh Diperkirakan hidup pada tahun 1950-1870 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 1900 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Kaum Luth yangtinggal di negeri Sadum, Syam, Palestina. Nama beliau disebutkan sebanyak 27 kali dalam Al-Quran, punya 2 anak perempuan. Beliau meninggal di Desa Shafrah di Syam, Palestina. 8. Nabi Ismail bin Ibrahim Azar bin Nahur dari keturunan Sam bin Nuh Diperkirakan hidup pada tahun 1911-1774 SM dan dianggkap menjadi nabi pada tahun 1850 SM. Beliau tinggal di Amaliq dan qabilah Yaman, Mekkah. Nama beliau disebutkan sebanyak 12 kali dalam Al-Quran dan punya 12 anak. Meniggal tahun 1779 SM di Mekkah 9. Nabi Ishaq Ibrahim Azar bin Nahur dari keturunan Sam bin Nuh Diperkirakan hidup pada tahun 1897-1717 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 1800 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Kan'anniyun di wilayah Al-Khalil Palestina.

Nama beliau disebutkan sebanyak disebutkan sebanyak 17 kali. Punya 2 anak dan meninggal di Alkhalil Hebron Palestina 10. Nabi Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim Diperkirakan hidup pada tahun 1837-1690 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 1750 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil di Syam. Nama beliau disebutkan sebanyak disebutkan sebanyak 16 kali dan punya 12 anak. Beliau wafat di Alkhalil Hebron Palestina. 11. Nabi Yusuf bin Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim Diperkirakan hidup pada tahun 1745-1635 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 1715 SM Beliau ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil dan Heksos di Mesir Nama beliau disebutkan sebanyak 27 kali di dalam Al-Quran. Punya 2 anak laki dan 1 anak perempuan. Beliau wafat di Nablus Palestina. 12. Syu'aib bin Mikail bin Yasyjar bin Madyan bin Ibrahim Diperkirakan hidup pada tahun 1600-1490 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 1550 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Madyan dan Penduduk Aikah Madyan. Nama beliau disebutkan sebanyak 11 kali di dalam Al-Quran. Beliau wafat di Madyan. 13. Nabi Ayyub bin Amwas bin Zarih dari keturunan Ibrahim Diperkirakan hidup pada tahun 1540-1420 SM. Dan diangkat menjadi nabi pada tahun 1500 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Orang-orang Amoria di Huran, Syam, Palestina. Disebutkan sebanyak 4 kali di dalam Al-Quran. Punya 26 anak. Beliau wafat di Huran di Syam. 14. Nabi Zulkifli bin Bisyr bin Ayyub dari keturunan Ishaq bin Ibrahim Diperkirakan hidup pada tahun 1500-1425 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 1460 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada orang-orang Amoria di Damaskus & sekitarnya. Disebutkan sebanyak 1 kali di dalam Al-Quran. Punya 2 anak. Beliau wafat di Damaskus Syiria. 15. Nabi Musa bin Imran dri keturunan Ya'qub bin Ishak Diperkirakan hidup pada tahun 1527-1408 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 1450 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Para Firaun Mesir dan Bani Israil di Mesir.

Disebutkan sebanyak 136 kali di dalam Al-Quran. Punya 2 anak. Beliau wafat di Tanah Tih. 16. Nabi Harun bin Imran dri keturunan Ya'qub bin Ishak Diperkirakan hidup pada tahun 1531-1408 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 1450 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada para Firaun Mesir dan Bani Israil Mesir. Disebutkan sebanyak 19 kali di dalam Al-Quran dan wafat di Tanah Tih 17. Nabi Daud bin Aisya bin Awid dari keturunan Yahuza bin Ya'qub Diperkirakan hidup pada tahun 1041-971 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 1010 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil di Palestina. Disebutkan sebanyak 16 kali di dalam Al-Quran. Punya 1 anak dan wafat di Baitul Maqdis, Palestina. 18. Nabi Sulaiman bin Daud bin Aisya bin Awid dari keturunan Yahuza bin Ya'qub Diperkirakan hidup pada tahun 989-931 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 970 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil di Palestina. Disebutkan sebanyak 27 kali di dalam Al-Quran. Beliau wafat di Rahbaam Baitul Maqdis, Palestina. 19. Nabi Ilyas bin Yasin bin Fanhas dari keturunan Harun bin Imran Diperkirakan hidup pada tahun 910-850 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 870 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Orang-orang Phiniq di Ba'labak di Syam. Disebutkan sebanyak 2 kali di dalam Al-Quran. Beliau tidak wafat tapi diangkat ke sisi Allah. 20. Nabi Ilyasa' bin Akhtub dari keturunan Yusuf bin Ya'qub Diperkirakan hidup pada tahun 885-795 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 830 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil dan orang-orang Amoria di Panyas, Syam. Disebutkan sebanyak 2 kali di dalam Al-Quran. Beliau wafat di Palestina 21. Yunus bin Matta dari keturunan Bunyamin bin Ya'qub

Diperkirakan hidup pada tahun 820-750 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada orang Asyiria di Ninawa di Iraq. Disebutkan sebanyak 6 kali di dalam Al-Quran. Beliau wafat di Ninawa di Iraq 22. Nabi Zakaria bin Dan bin Muslim dari keturunan Rahbaam bin Sulaiman Diperkirakan hidup pada tahun 91-31 SM dan diangkat menjadi nabi pada tahun 2 SM. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil di Palestina. Disebutkan sebanyak 8 kali di dalam Al-Quran. Punya 1 orang anak dan beliau wafat di Syam. 23. Yahya bin Zakaria bin Dan bin Muslim dari keturunan Rahbaam bin Sulaiman Diperkirakan hidup pada tahun 1SM - 31M dan diangkat menjadi nabi pada tahun 28M. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil di Palestina. Disebutkan sebanyak 4 kali di dalam Al-Quran. Dan wafat di Damaskus Syiria 24. Nabi Isa bin Maryam binti Imran dari keturunan Sulaiman bin Daud Diperkirakan hidup pada tahun 1SM-32M dan diangkat menjadi nabi pada tahun 29M. Beliau ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil di Palestina Disebutkan sebanyak 25 kali di dalam Al-Quran. Beliau juga tidak wafat melainkan diangkat ke sisi Allah. 25. Nabi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib dari keturunan Ismail bin Ibrahim Diperkirakan hidup pada tahun 571M-632M dan diangkat menjadi nabi pada tahun 610M. Beliau ditugaskan berdakwah kepada seluruh manusia dan alam semesta. Tinggal di Mekkah dan Madinah. Disebutkan sebanyak 5 kali di dalam Al-Quran. Punya 7 orang anak dan wafat di Madinah. Demikian sejarah ringkas 25 nabi dan rasul. Semoga bisa menjadi rujukan yang bermanfaat. Wassalam

Hewan Qurban Tidak Disembelih Tapi Diternakkan, Mungkinkah?


Publikasi: 21/02/2005 11:28 WIB

Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Yang saya tahu selama ini bahwa hewan qurban itu hanya untuk disembelih dan diberikan kepada yang berhak. Apakah selain hewan qurban itu disembelih boleh tidak untuk diusahakan atau diternakan kepada yang berhak? Karena saya merasa bahwa selama ini pada saat qurban manfaatnya yang saya rasakan secara nyata hanya untuk mereka yang berqurban. Sedangkan yang tidak mampu berqurban hanya menunggu pembagian daging qurban. Dan bila ditinjau dari segi ekonomi juga apabila hewan qurban itu tidak hanya untuk disembelih tapi dengan memberdayakan peternak muslim yang berhak akan terasa manfaatnya secara ibadah dan ekonomi. Terima kasih Wassalamu 'alaikum wr. wb. Yadi Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Ide untuk membuat peternakan yang anda sampaikan memang baik sekali. Sebab dengan demikian potensi umat akan bisa semakin digali. Dan ada sekian banyak orang yang juga akan kecipratan berkah. Namun masalahnya, urusan penyembelihan hewan qurban ini memang sebuah bentuk ibadah ritual. Dan inti ritualnya justru pada prosesi penyembelihannya, yaitu pada saat darah mengalir menyentuh tanah. Sehingga kalau ide membuat peternakan diajukan sebagai ganti dari prosesi penyembelihan hewan qurban, tentu bukan pada tempatnya. Sebab masing-masing punya tujuan dan posisinya sendiri, sehingga tidak bisa secara sederhana digabung-gabungkan begitu saja. Kalau pun digabungkan kedua hal di atas, maka yang lebih realistis adalah membuat peternakan hewan qurban yang tujuannya memang untuk disembelih. Sehingga institusi peternakan itu memang sebuah usaha jasa untuk menternakkan hewan yang nantinya akan diqurbankan. Umat Islam yang pada tahun-tahun ke depan ingin melakukan ibadah penyembelihan hewanb qurban bisa membeli anak kambing yang harganya masih sangat murah, lalu dibawa ke peternakan ini untuk dipelihara atau dibesarkan, tentu saja dengan membayar biaya pemeliharaan. Bila telah cukup umur, maka hewan itu diambil oleh pemiliknya untuk disembelih sebagai hewan kurban. Tentu saja tetap harus diperhitungkan resiko yang mungkin saja terjadi, seperti bila hewan itu sakit atau mati, maka tidak bisa dikatakan bahwa seseorang yang telah memeliharakan hewan di peternakan ini sebagai orang yang sudah berqurban. Sebab qurban itu hanya syah bila dilaksanakan pada hari Raya Idul Ahda (10 Zulhijjah) dan hari tasyrik (11, 12 dan 13 Zulhijjah). Orang yang sedang memeliharakan hewannya di

peternakan ini sama sekali belum tercatat sebagai orang yang sudah berqurban, karena belum memenuhi aturan dalam syariat ibadah qurban. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Gonta-ganti Mazhab, Bolehkah? Dan Haruskah Bermazhab?


Publikasi: 21/02/2005 11:27 WIB Subject: [Ustadz Menjawab] hukum perpidahan madzab dalam islam > Islam hadir sebagai penyempurna melalui risalah Al Qur'an, dalam proses interaksi dengan al qur'an kemudian manusia mempunyai interpretasi yang erbeda sehingga menimbulkan perbedaan i'tiqodiyah dan masalah fiqhiyah, nah pertanyaannya apakah memang kita harus menganut satu penafsiran (madzhab) ataukah kita bebas menentukan pilihan kita sesuai dasar yang kita anggap enar ? selanjutnya apakah kita boleh berpindah madzhab untuk tujuan emaslahatan ukhuwah islamiyah > > akrom Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Mazhab adalah sebuah sistem atau metodologi yang sangat ilmiyah yang erfungsi untuk mengistimbath (menyimpulkan kesimpulan) hukum atas dalil-dalil syariat yang rinci, baik Al-Quran maupun As-Sunnah. Mustahil seorang bisa mendapatkan kesimpulan hukum dari kedua sumber Islam itu tanpa menggunakan sebuah metodologi tertentu. Dan bahkan meski dia mengatakan hwa dirinya tidak bermazhab, sesungguhnya mazhabnya adalah mazhab dirinya sendiri. Sebab mazhab itu tidak lain adalah metodologi dalam memahami dalil-dalil syariat. Apapun metologi dan sistematikanya. Ada ribuan bahkan jutaan metodologi, tapi belum tentu semuanya bisa diterima secara ilmiyah. Dan jutaan mazhab itu gugur dengan sendirinya karena orang-orang melihat batapa lemahnya metologi yang digunakan. Namun ada eberapa puluh metodologi yang

ilmiyah dan sangat kuat sistematikanya dan hkan sepanjang masa selalu bisa diterima dengan puas oleh berbagai gan. Dari sekian banyak itu, yang paling menonjol ada 4 mazhab, yaitu mazhab Hanafiyah yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah, mazhab Malikiyah yang didirikan oleh Imam Malik, mazhab As-syafi`iyah yang didirikan oleh imam As-Syafi`i dan mazhab Al-Hanabilah / Hambali yang didirikan oleh imam Ahmad in Hanbal. Juga ada Zaidiyah, Zhahiriyah dan lainnya. Keempat mazhab itu bisa dikatakan yang paling kuat argumentasi, sistematika dan metodologinya sepanjang zaman, dan paling banyak diterima secara umum oleh umat Islam. Namun bukan berarti setiap orang harus memilih satu dari eempatnya. Juga tidak berarti bila sudah memegang satu mazhab, lalu tidak oleh berpindah ke mazhab yang lain. Juga tidak dilarang biladalam satu masalah ikut mazhab A tapi dalam masalah lain ikut mazhab B. Semuanya boleh saja dilakukan karena memang tidak ada keharusan untuk itu dari Rasulullah SAW. Namun bila seseorang tidak mau repot-repot gonta ganti mazhab setiap saat, lebih nyaman untuk ikuti saja satu mazhab. Lagi pula pada hakikatnya, kita sebagai orang awam yang tidak masuk ke dalam kategori seorang mujtahid, sama sekali tidak diwajibkan untuk mencari-cari sendiri kesimpulan hukum dari Quran dan Sunnah. Sebab spesifikasi untuk menjadi mujtahid juga tidak terlalu gampang. Sehingga buat apa merepotkan diri untuk membuat sendiri, kalau sudah tersedia yang siap pakai, kuat, handal dan terjamin eamanannya. Kita bisa analogikan dengan penggunaan software di komputer. Buat apa harus repotrepot setiap orang untuk membikin sendiri semua software yang dibutuhkan, kalau sudah ada software yang tersedia, bagus, handal dan gratis. Sedangkan kalau bikin sendiri, khusus buat para programer profesional memang akan lebih mengasyikkan, tapi tidak mungkin semua pengguna komputer kita wajibkan untuk membuat software sendiri. Salah-salah malah tidak jadi menggunakan komputer, tapi malah sibuk berkutat dengan hasa pemograman yang rumit dan pusing tujuh keliling. Maka kita serahkan saja urusan mazhab ini kepada ahlinya, sedangkan kita yang awam ini tinggal menggunakan saja produk yang sudah mereka buat. Dan n lebih nyaman bila kita berada dalam satu keluarga software tertentu, karena dikembangkan oleh pihak yang sama. Meski berpindah software pun hukumnya boleh. Misalnya, anda senang pakai windows, lalu tiba-tiba bosan ingin pakai linux, ya boleh-boleh saja, tidak ada yang melarang. Tapi juga harus siap dengan perbedaan sistem dari keduanya juga. Dan yang paling pokok harusnya mengerti belum lika-liku keduanya, agar tidak menambah beban anda sendiri. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.

Kadar Alkohol 0%, Halalkah?

Publikasi: 21/02/2005 11:27 WIB Assalamu'alaikum Wr Wb Halalkah bir bintang dengan kadar 0% alkohol? Wassalamu'alaikum Wr Wb Amin Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menegaskan bahwa Bir Bintang dan Green Sand yang sekarang ini berkampanye menyatakan bahwa kandungan minuman produk mereka tidak mengandung Alkohol adalah tetap haram. Ada beberapa alasan yang dikemukakan, diantaranya adalah masalah tidak terdeteksinya kadar Alkohol itu bukan berarti jaminan bahwa minuman itu sudah 100% tidak ada Alkoholnya. Tidak terdeteksinya alkohol pada alat yang digunakan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika, Majelis Ulama Indonesia (LP-POM MUI) bisa jadi dikarenakan limit deteksi alat yang dimiliki lebih tinggi dari kandungan alkohol yang mungkin ada dalam kedua minuman tersebut. Adapun alat yang kami gunakan memiliki limit deteksi 0,1 % atau 1 ppm. Sehingga jika hasil pengukuran kemudian didapatkan tidak terdeteksi, maka bukan berarti produk tersebut tidak mengandung alkohol. Boleh jadi kandungan alcoholnya dibawah 0.1 persen. Alasan lain adalah dasar yang mengacu kepada Fatwa MUI no 4 tahun 2003. Disebutkan dalam fatwa itu : "Tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan makanan/minuman yang menimbulkan rasa/aroma (flavor) benda-benda atau binatang yang diharamkan". Untuk kasus Bintang Zero, adanya proses pengimitasian terhadap barang haram sehingga akan mengajarkan konsumen muslim untuk menyukai sesuatu yang haram. Sedangkan pada Green Sands, proses pembuatannya sama sekali tidak berbeda dengan pembuatan bir, dimana pada tahap akhir ada usaha untuk menghilangkan alkohol. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Lambang Bulan Sabit dan Bintang darimana Asal-Usulnya?


Publikasi: 18/02/2005 09:29 WIB Assalamu'alaikum wr.wb Seorang teman saya yang baru menjadi muallaf bertanya, dia sering melihat lambang bulan dan bintang yang ada diatas kubah masjid dan menanyakan kepada saya apa maknanya, saya tidak bisa menjawab karena saya juga tidak tahu. Jadi saya mohon ustadz mau membantu untuk menjawabnya. Terima kasih atas jawabannya. Wassalamu'alaikum wr. wb. Ratna Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Sebenarnya asal muasal lambang bulan bintang berasal dari lambang khilafah Islamiyah terakhir yang dimiliki umat Islam, Khilafah Turki Utsmani. Khilafah ini adalah warisan terakhir kejayaan umat Islam. Memiliki luas wilayah yang membentang dari ujung barat sampai ujung timur dunia. Wilayahnya secara real adalah tiga benua besar dunia, Afrika-Eropa dan Asia. Ibukotanya adalah kota yang sejak 1.400 tahun yang lalu telah dijanjikan oleh Rasulullah SAW sebagai kota yang akan jatuh ke tangan umat Islam. Rasulullah bersabda, "Constantinople akan kalian bebaskan. Sungguh pasukan yang mampu membebaskannya adalah pasukan yang sangat kuat. Dan sungguh panglima yang membebaskannya adalah panglima yang sangat kuat." Berabad-abad lamanya umat Islam memimpikan realisasi kabar gembira Rasulullah itu. Namun sejak zaman khalifah Rasyidah, Bani Umayah hingga Bani Abbasiyah, kabar gembira itu tidak pernah juga terealisasi. Memang sebagian Eropa sudah jatuh ke tangan Islam, yaitu wilayah Spanyol dengan kota-kotanya antara lain: Cordova, Seville, Granda dan seterusnya. Namun jantung Eropa belum pernah jatuh secara serius ke tangan Islam. Barulah ketika Sultan Muhammad II yang lebih dikenal dengan Sultan Muhammad Al-

Fatih menjadi panglima, jatuhlah kota yang pernah menjadi ibu kota masyarakat Eropa itu. Lewat pertempuran yang dahsyat dengan menggunakan senjata paling modern di kala itu, yaitu CANON atau meriam yang sangat besar dan suaranya memekakkan telinga, Muhammad Al-Fatih berhasil menjatuhkan kota Konstantininopel itu dan menjadikannya sebagai ibu kota Khilafah Turki Utsmani. Serta menjadikannya pusat peradaban Islam. Wilayahnya adalah tiga benua dan semua peradaban yang ada di dalamnya. Saat itu bulan sabit digunakan untuk melambangkan posisi tiga benua itu. Ujung yang satu menunjukkan benua Asia yang ada di Timur, ujung lainnya mewakili benua Afrika yang ada dibagian lain dan di tengahnya adalah Benua Eropa. Sedangkan lambang bintang menunjukkan posisi ibu kota yang kemudian diberi nama Istambul yang bermakna: Kota Islam. Bendera bulan sabit ini adalah bendera resmi umat Islam saat itu, karena seluruh wilayah dunia Islam berada di bahwa satu naungan khilafah Islamiyah. Tidak seperti sekarang ini yang terpecah-pecah menjadi sekian ratus negara yang berdiri sendiri hasil dari jajahan barat. Wajar kalau lambang itu begitu melekat di hati umat dari ujung barat Maroko sampai ujung Timur Maroke. Inilah lambang yang pernah dimiliki oleh umat Islam secara bersama, bulan dan bintang. Sedangkan masalah warna, justru ini menarik, karena lambang dunia Islam itu justru berwarna merah, bukan hijau seperti yang sekarang ini sering diidentikkan dengan hal-hal yang berbau ke-Islaman. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Hukum Puasa pada Hari Sabtu


Publikasi: 18/02/2005 09:24 WIB Assalamu'alaikum Wr. Wb. Pak Ustadz, kita semua tentunya ingin memperbanyak ibadah-ibadah sunnah, a.l. dengan melaksanakan ibadah puasa sunnah seperti puasa 9 Dzulhijjah (Arafah) bagi orang yang tidak sedang melaksanakan haji, puasa Senin-Kamis, puasa 10 Muharram dan lain-lain. Namun puasa tanggal 10 Muharram 1426 H. besok akan jatuh pada hari Sabtu. Sebagian kalangan mengharamkan puasa pada hari Sabtu. Bagaimana menyikapi kontroversi ini Ustadz? Mohon jawaban dalam waktu segera supaya tidak kehilangan momentum jika disunnahkan.

Jazakumullahu khairon katsir. Wassalam, Nana Sudiana Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Puasa tanggal 10 Muharram atau puasa 'Asyura adalah puasa yang sangat dianjurkan meski tidak sampai menjadi kewajiban. Demikian juga dengan puasa sunnah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini: Dari Humaid bin Abdir Rahman, ia mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan RA berkata. "Wahai penduduk Madinah, di mana ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Ini hari Assyura, dan Allah tidak mewajibkan shaum kepada kalian di hari itu, sedangkan saya shaum, maka siapa yang mau shaum hendaklah ia shaum dan siapa yang mau berbuka hendaklah ia berbuka" (HR Bukhari: 2003) Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, "Ketika Rasulullah SAW tiba di kota Madinah dan melihat orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum Asyura, beliau pun menanyakannya dan mereka menjawab: Ini hari baik, hari di mana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka lalu Musa shaum pada hari itu. Maka Rasulullah SAW menjawab, "Aku lebih berhak terhadap Musa dari kalian", maka beliau shaum pada hari itu dan memerintahkan untuk melaksanakan shaum tersebut. (HR Bukhari: 2004) Maka jatuh pada hari apapun tanggal 10 Muharram itu, tidak ada halangan bagi kita untuk berpuasa. Sebab adanya larangan untuk puasa pada hari Jum'at saja atau Sabtu saja hanya berlaku bila tidak ada sebabnya. Seperti hari-hari biasa di mana memang tidak ada even puasa sunnah yang secara khusus disyariatkan, lalu seseorang ingin secara pribadi berpuasa sunnah setiap hari Jumat atau Sabtu saja, barulah hal itu dilarang. Namun karena puasa 10 Muharram itu memang ada dasar pensyariatannya, kalau jatuh pada hari Jum'at atau Sabtu, tidaklah menjadi haram. Sebaliknya, puasa itu adalah puasa sunnah yang jelas dasar syaraitnya. Juga ada hadits lainnya yang menganjurkan untuk tidak hanya puasa pada tanggal 10 Muharram saja, tetapi tanggal 9 dan 11 juga. Jadi tiga hari itu memang disunnahkan berpuasa. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini: Rasulullah SAW bersabda, "Shaumlah kalian pada hari Assyura tapi berbedalah dengan orang Yahudi. Shaumlah kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya." (HR Thohawy dan Baihaqy serta Ibnu Huzaimah 2095)

Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, "Pada saat Rasulullah SAW melaksanakan shaum Assyura dan memerintah para sahabat untuk melaksanakannnya, mereka berkata, "Wahai Rasulullah hari tersebut (Assyura) adalah hari yang diagung-agungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani." Maka Rasulullah SAW bersabda, "Insya Allah jika sampai tahun yang akan datang aku akan shaum pada hari kesembilannya." Ibnu Abbas berkata, "Rasulullah SAW meninggal sebelum sampai tahun berikutnya" (HR Muslim: 1134) Tapi bila hanya ingin puasa tanggal 10 Muharram saja, tetap boleh dan tidak ada larangan meski jatuh para hari Sabtu. Adapun keutamaan shaum tersebut sebagaimana diriwayatkan dalam hadits dari Abu Qatadah, bahwa shaum tersebut bisa menghapus dosa-dosa kita selama setahun yang telah lalu (HR Muslim 2/819) Imam Nawawy ketika menjelaskan hadits di atas beliau berkata, "Yang dimaksud dengan kafarat dosa adalah penghapus dosa-dosa kecil, akan tetapi jika orang tersebut tidak memiliki dosa-dosa kecil diharapkan dengan shaum tersebut dosa-dosa besarnya diringankan, dan jika ia pun tidak memiliki dosa-dosa besar, Allah akan mengangkat derajat orang tersebut di sisi-Nya. Pada asalnya Shaum Asyuro ini adalah wajib. Kemudian kewajibannya dinasakh dengan kewajiban shaum Ramadhan, maka shaum tersebut berubah hukumnya menjadi sunnah. Oleh karena itu Rasulullah SAW menganjurkan kepada umat Islam untuk melaksanakan shaum assyuraa (shaum hari kesepuluh) dari bulan Muharram ditambah dengan shaum sehari sebelumnya atau sesudahnya. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan para sahabat. Antara lain: Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Menikahi Wanita Hamil yang Pernah Berzina


Publikasi: 18/02/2005 09:24 WIB Assallamu alaikum wr. wb. Ustadz yang terhormat, saya punya kakak perempuan saat ini dia sudah mempunyai putra 1 berumur 5 tahun. Beliau ingin menanyakan sesuatu. Pak ustadz, kakak saya waktu menikah dulu sudah dalam hamil 5 bulan. Dan saya pernah mendengar kalau kakak saya ingin punya anak lagi harus menikah ulang dulu.

Apakah betul apabila orang yang menikah dalam keadaan hamil harus menikah lagi atau menikah ulang. Dan apakah diharuskan atau tidak? Apabila "Tidak" berdosa atau tidak. Dan apabila tidak menikah ulang apa benar anak itu tidak bisa diakui dalam agama. Pak ustadz yang budiman, saya mohon diberikan jalan keluarnya. Terima kasih. Wassalam Wr. Wb. Wulan Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Wanita yang hamil karena berzina boleh dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya. Memang mereka berdua berdosa besar karena telah melanggar larangan zina, namun tidak berarti mereka diharamkan menikah secara syar'i setelah berzina. Namun bila yang akan menikahinya laki-laki lain, hukumnya haram sampai wanita itu melahirkan anak dan selesai masa nifasnya. Sebab bila tidak, akan melahirkan kerancuan dalam nasab bayi tersebut. Karena janin yang ada di dalam perutnya adalah benih milik orang lain yang bukan menjadi suaminya. Memang ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa wanita yang pernah berzina haram untuk dinikahi, sebagaimana ayat berikut ini: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min. (QS An-Nur: 3) Namun atas ayat ini, mayoritas ulama mengemukakan tiga alasan. a. Bahwa lafaz 'hurrima' atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci). b. Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan. c. Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang

perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS An-Nur: 32). Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq r.a. dan Umar bin AlKhattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah. Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut: Dari Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny). Juga dengan hadits berikut ini : Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Istriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia." "Tapi aku takut memberatkan diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan An-Nasa'i) Penebusan Dosa Untuk menebus dosa mereka, yang bisa dilakukan adalah bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benar taubat. Dalam artinya terjadi penyesalan luar biasa di dalam diri masingmasing, yang berkembang menjadi sebuah tekad yang tertanam kuat untuk tidak akan mengulangi lagi kapan dan di mana pun. Dan disempurnakan dengan selalu memohon kepada Allah SWT atas semua yang telah mereka lakukan. Dan bila mereka berada di dalam wilayah hukum yang menerapkan syariat Islam, mereka harus rela dijatuhi hukuman yang berlaku yaitu cambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan ke luar tempat tinggalnya selama setahun. Namun bila salah satu dari mereka atau keduanya sudah pernah menikah sebelum berzina, hukumannya adalah rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati. Namun hukuman seperti ini hanya boleh dilakukan oleh sebuah pengadilan syariah yang resmi dan berlaku secara formal di suatu negeri. Tidak boleh dilakukan oleh perorangan, organisasi, jamaah, kelompok pengajian atau yang sejenisnya. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Di Manakah Nabi Isa AS Sekarang Ini?

Publikasi: 17/02/2005 10:33 WIB Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh. Pak Ustadz, kembali saya mempertanyakan keberadaan Isa Almasih setelah saya mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya dengan judul "BENARKAH NABI ISA MASIH HIDUP?". Sebelumnya saya mohon maaf, karena saya masih awam dalam pemahaman tafsir dan terkadang saya hanya berfikir secara logika tapi masih tetap berpedoman pada Al-Qur'an dan Al-Hadist. Bukankah Islam adalah agama yang paling mudah secara logika? Adapun pertanyaan saya berkenaan dengan tafsir Ibnu Katsir 2/415 sebagai berikut: 1. Maka mereka membunuh orang yang menyerupai Nabi Isa, apakah ada orang yang dibunuh di tiang salip yang memiliki rupa sama dengan Nabi Isa pada waktu itu? kalau ya, siapakah orang tersebut? Dalam Al-Qur'an saya tidak menemukan penjelasan atau menyebutkan perihal orang yang menyerupai Nabi Isa a.s tersebut. Adakah hubungannya dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 46 dan An Nisa 157. 2. "Kemudian Nabi Isa diangkat ", maksud diangkat di sini apakah diangkat secara jasmani dan rohani ataukah hanya rohaniah saja? bagaimakah hubungannya dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 55. 3. "Dia masih ada dan hidup", apakah maksud tafsir tersebut adalah Isa Al-Masih sekarang ini hidup jasmani dan rohani? Kalau ya, di manakah keberadaannya? Bagaimanakah hubungannya dengan firman Allah SWT yang menjelaskan bahwa setiap yang bernyawa akan diwafatkan, maaf saya lupa nama surat-nya dan ayatnya. 4. "Turun sebelum hari kiamat", apakah turun dalam bentuk jasmani dan rohani? Kalau ya, di manakah pertamakali akan diturunkan? Apakah ada hubungannya dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah: 117. Demikian pertanyaan saya, atas bantuan pak Ustadz saya ucapakan terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Hamiruddin Jade Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du 1. Al-Quran memang tidak menyebutkan secara spesifik siapakah jati diri orang yang dibunuh itu. Sebab tujuan ayat ini memang bukan untuk menjelaskan siapa yang dibunuh,

melainkan untuk menunjukkan bahwa orang-orang nasrani sendiri tidak sepakat tentang siapakah yang mereka bunuh itu. Sehingga sejak awal sudah bisa kita pastikan bahwa keraguan itu sudah ada sejak masa pertama kali kejadian itu berlangsung. Yang ragu-ragu bukan ahli sejarah, tetapi si pelaku pembunuhan itu sendiri ragu-ragu tentang siapakah sebenarnya yang mereka bunuh. Kalau hari ini pemeluk nasrani berani-beraninya memastikan bahwa yang dibunuh itu nabi Isa as, di situlah letak kesalahan totalnya. Bagaimana bisa terjadi pemuka nasrani hari ini menjadi begitu yakin bahwa yang dibunuh itu Nabi Isa as? Padahal 21 abad yang lalu, pelaku pembunuhannya sendiri pun ragu-ragu? Sungguh sebuah keanehan yang tidak masuk akal, bukan? Sisi inilah yang ingin diangkat oleh Al-Qur'an Al-Kareim sehingga Allah tidak merasa perlu untuk memberikan keterangan atau jawaban atas misteri pembunuhan itu. Berbeda dengan cerita misteri pembunuhan biasa, yang menjadi pertanyaan bukanlah siapa yang membunuh tetapi siapakah yang dibunuh. Dengan adanya misteri siapa yang dibunuh, akan sangat nampak kelemahan aqidah nasrani yang terlalu yakin bahwa Yesus mati untuk menebus dosa umat manusia. Jawaban misteri siapakah yang dibunuh bisa kita dapat di dalam hadits nabawi dan keterangan tasfir Al-Quran Al-Kariem. Adh-Dhahhak meriwayatkan bahwa ketika Nabi Isa as dan hawariyyin sudah terkepung oleh musuhnya, beliau berkata, "Siapakah yang berani keluar hingga terbunuh tapi menjadi temanku di surga?". Maka salah seorang dari hawariyyin itu menjawab, "Aku bersedia wahai Nabi Allah". Lalu keluarlah dia dan terbunuh karena diserupakan wajahnya seperti Nabi Isa as oleh Allah SWT. Riwayat ini juga disetujui oleh At-Thabari, ahli tafsir kenamaan. (Silahkan rujuk Tafsir Al-Jami' li Ahkamil Quran oleh Al-Qurthuby jilid 4 halaman 101 tentang tafsir surat Ali Imran ayat 55). 2. Yang benar adalah bahwa Nabi Isa diangkat ke langit jasad dan ruhnya. Dalam ayat 55 surat Ali Imran sama sekali tidak disebutkan adanya perbedaan antara ruh dengan jasad. Sehingga tidak boleh ditafsirkan bahwa yang diangkat hanya ruhnya saja tanpa jasad, atau jasad saja tanpa ruh. 3. Nabi Isa as hari ini masih hidup dengan ruh dan jasadnya. Tapi bukan di muka bumi ini, melainkan di langit. Kalau disebut langit, kita agak susah mendeteksinya karena apa yang ada selain di bumi ini bisa disebut sebagai langit. Bahkan beberapa meter ke atas dari permukaan bumi pun sudah bisa disebut langit, yaitu ketinggian di mana ada awan hujan. Dan jaraknya menjadi tidak terhingga karena sampai hari ini belum ada yang bisa membuat batas alam semesta. Yang jelas beliau masih hidup normal tapi bukan di bumi ini tempatnya. Sebab kalau ada di muka bumi, seharusnya beliau ikut dalam perang Badar, sebab dia termasuk muslim. Padahal saat itu Rasulullah menyebutkan bahwa hanya itulah manusia yang tersisa di muka bumi yang masih beriman kepada Allah. Ternyata semua shahabat yang ikut

perang Badar itu ada datanya namun tak satu pun di antara mereka Nabi Isa as. Sehingga bisa disimpulkan bahwa memang beliau tidak hidup di muka bumi ini, melainkan di langit. Sebagaimana riwayat dari Al-Hasan dan Ibnu Zaid secara shahih dari Ibnu Abbas. 4. Bahwa beliau akan turun lagi ke muka bumi memang telah dipastikan di dalam haditshadits shahih. Hanya saja tentang lokasi turunnya tidak disebutkan secara spesifik. Namun ada disebutkan bahwa beliau melakukan haji dan umrah dan akan melantunkan talbiyah di Fajjir Rauha', sebuah tempat antara Mekkah dan Madinah. Hadits Shahih riwayat Imam Muslim nomor 1252, Ahmad jilid 2 halaman 240 dari Abi Hurairah r.a.

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Hukum Memakan Kapsul dari Tanduk Rusa


Publikasi: 17/02/2005 09:35 WIB Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Ustadz yang saya hormati, di tempat saya ada produk kapsul bahan bakunya dari tanduk rusa. Yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana hukumnya tanduk rusa tersebut baik dari segi dzatnya ataupun proses pengambilanya, sebab tanduk tersebut diambil dari rusa yang masih hidup. Demikian, Jazakumullah atas jawabannya. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Imam Jawaban : Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Rusa adalah hewan yang halal dimakan dagingnya. Dan tentunya semua bagian dari tubuhnya pun halal untuk dikonsumsi. Hukum memakan dagingnya sama saja dengan

memakan unta, sapi atau kambing. Bahkan konon dagingnya lebih lezat dari hewan ternak lainnya. Demikian juga dengan tanduknya, hukumnya halal untuk dikonsumsi atau dijadikan bahan baku produk kapsul. Sebab anggota tubuh lainnya itu mengikuti hukum dagingnya, kecuali barangkali kotorannya. Sehingga halal hukumnya memakan kapsul yang bahan bakunya terbuat dari tanduk rusa, atau dari anggota tubuh lainnya. Kasusnya sama dengan pengambilan bulu domba untuk dijadikan wol atau bahan pakaian, bulu itu dicukur dari domba yang masih hidup. Agar nanti masih bisa tumbuh lagi untuk bisa diambil lagi bulunya setelah tumbuh. Menurut hemat kami, tanduk rusa yang diambil jenisnya lebih dekat kepada bulu domba yang bila diambil atau dipotong pada saat hewan itu masih hidup tidak akan melukai atau membuatnya kesakitan atau cacat. Walaupun para ulama menegaskan bahwa anggota tubuh yang dipotong begitu saja dari hewan yang masih hidup dianggap haram karena menjadi seperti bangkai. Misalnya, memotong kaki atau paha kambing yang masih hidup untuk dimakan, hukumnya haram. Karena seharusnya kambing itu disembelih terlebih dahulu dengan cara penyembelihan yang syar'i. Dengan demikian, semua bagian tubuhnya menjadi halal dikonsumsi. Namun bila yang diambil bukan bagian dari tubuh yang vital dan hidup seperti bulu, kuku atau tanduk, nampaknya tidak termasuk dalam kategori bangkai yang diharamkan. Sehingga secara fiqih hukumnya bukan benda najis dan boleh dimakan. Namun kehalalan ini tidak terkait bila ada kebijakan pemerintah untuk melindungi rusa dari kepunahan. Sebab perburuan hewan seperti rusa pada hari ini sudah sampai para taraf yang mengerikan, sehingga bila sebuah pemerintahan mengambil kebijakan untuk melindungi rusa dari perburuan atau penyembelihan, memang sebuah alasan yang bisa diterima syariat. Kalau lah ingin dikatakan bahwa tanduk rusa tidak boleh dikonsumsi karena alasan takut punahnya rusa di habitatnya, boleh saja diterima. Namun secara hakikinya, alasan larangannya bukan karena kenajisan atau keharaman tanduk itu sendiri. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc

Sholat Membawa Alkohol, Bolehkah?


Publikasi: 16/02/2005 12:12 WIB Assalamu'alaikum wr.wb Ustadz, sampai saat ini saya masih merasa bimbang tentang halal atau haramkah alkohol dibawa untuk shalat. Kalau haram, apakah penyebabnya?

Man Jawaban: Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulilahi Rabbil 'alamin, wash-shalatu was-salamu 'alaa Sayyidina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa shahbihihi ajma'in, wa ba'du Tidak setiap zat yang mengandung alkohol termasuk dalam kategori khamar. Dan sebaliknya, tidak semua khamar itu mengandung alkohol. Karena bila ditilik secara ilmu kimia, banyak dari jenis makanan yang alami termasuk buah-buahan memiliki kandungan zat yang disebut sebagai Alkohol seperti nasi dan sebagainya. Tentu saja kita tidak bisa mengatakan bahwa nasi itu adalah khamar karena secara alami mengandung kadar tertentu dari zat yang dikenal dengan nama Alkohol. Jadi untuk menentukan apakah suatu benda termasuk khamar, bukan dengan adanya alkohol atau tidak, tetapi dengan melihat apakah zat itu memabukkan atau tidak bila dikonsumi oleh masyarakat umum. Bila memabukkan, maka hukumnya adalah khamar tapi bila tidak maka bukan khamar. Contohnya seperti perasan buah anggur. Pada tahap tertentu, perasan anggur dapat menjadi khamar dan pada tahap yang lain dimana bila diminum tidak memabukkan secara umum, maka bukan khamar. Karena itu dalam literatur fiqih sering dituliskan bahwa bila khamar bila telah berubah menjadi khall (cuka), hukumnya menjadi halal dan sebaliknya. Maka dari itu sebagian besar ulama tidak memasukkan alkohol sebagai sebagai barang najis, karena bukan khamar. Dan tidak mengapa menggunakan parfum yang mengandung alkohol dalam shalat karena tidak termasuk benda najis. Dan kenajisan khamar sendiri sebagaimana yang disebutkan Al-Quran, bukan jenis najis secara fisik. Demikian menurut sebagian ulama. Karena dalam ayat itu dikaitkan dengan judi, anak panah sebagai rijs yang merupakan perbuatan setan. Meskipun jumhur ulama mengatakan bahwa khamar itu najis. Namun karena alkohol tidak identik dengan khamar, maka bila ada suatu cairan seperti parfum yang di dalamnya ada kandungan alkoholnya, tidak bisa dikatakan sebagai khamar. Dan itu bisa dibuktikan dengan cara meminum parfum itu. Kalau yang minum mabuk, maka parfum itu khamar, tapi kalau yang minum tidak mabuk tapi mati, jelaslah parfum itu bukan khamar tapi racun untuk diminum. Wallahu A'lam Bish-shawab

Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc.

Permainan Olah Raga yang Kalah Bayar, Judikah?


Publikasi: 16/02/2005 12:08 WIB Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Saya hanya ingin bertanya: Jika seorang bermain olahraga, contoh bulutangkis dan ketika selesai bertanding yang kalah harus membayar. Bagaimana menurut pandangan, ustadz? Karena pada dasarnya kami hanya ingin untuk memotivasi pemain dan kami semua sudah setuju dengan ketentuan itu. Saya sangat berharap pertanyaan ini segera terjawab. Terima kasih atas kesempatannya. Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Pujo Jawaban: Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulilahi Rabbil 'alamin, wash-shalatu was-salamu 'alaa Sayyidina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa shahbihihi ajma'in, wa ba'du Memang dengan cara demikian, bisa ditimbulkan semacam motivasi atau semangat untuk bertanding dan memenangkan pertandingan. Sedangkan yang tanpa target memang akan terasa kurang gregetnya. Namun perlu juga diperhatikan bahwa penyemangatan sebuah pertandingan tidak harus selalu diwujudkan dalam bentuk uang atau materi. Paling tidak, perlu dihindari dari halhal yang menjurus kepada praktek perjudian, meskipun semua pihak telah merelakannya. Dan tidak ada satu pun arena perjudian yang para pemainnya tidak rela mempertaruhkan uang, bukan? Sebab kalau mereka tidak rela mempertaruhkan uang, mereka tidak akan main judi. Katakanlah bila dengan menggunakan hadiah uang, maka seharusnya hadiah itu disediakan oleh pihak ketiga, seperti sponsorship atau lainnya, bukan oleh pihak-pihak yang ikut dalam pertandingan itu. Sebab kalau tidak demikian, akan sama prakteknya

dengan perjudian, dimana masing-masing membayar uang taruhan dan uang taruhan akan menjadi hak pemenang. Dan prinsip yang sama juga terjadi pada sistem yang anda tanyakan, yaitu yang kalah harus bayar. Artinya, para pemain itu harus menyiapkan uang taruhan meski belum dikeluarkan dan pihak yang kalah akan kehilangan uang taruhannya. Sedangkan yang menang akan mendapatkannya. Praktek itu adalah sebuah judi yang hakiki. Kita wajib menghindarinya, meski pun nilainya kecil dan tujuannya sekedar untuk penyemangat semata. Namun kalau bayarnya bukan dalam bentuk harta material, hukumnya boleh. Misalnya, yang kalah harus lari keliling lapangan 10 kali putaran, atau harus melakukan push-up 20 kali. Kebolehannya karena hukuman itu tidak terkait dengan materi, uang atau harta, tetapi lebih merupakan hal-hal yang terkait dengan tujuan olah raga itu sendiri. Pihak yang kalah itu tidak akan mengalami kerugian material, bahkan akan jadi lebih sehat karena harus lari dan push-up. Dan bisa juga sebaliknya, pihak yang menang diberikan reward yang bukan bersifat materi/harta. Misalnya, namanya akan ditempel di papan pengumuman sebagai pemenang. Namun kalau ada pihak lain -misalnya penonton- ingin memberi reward dalam bentuk harta, silahkan saja. Asalkan sumbernya bukan dari sesama uang taruhan peserta. Wallahu A'lam Bish-shawab Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Ahmad Sarwat, Lc.

Mengapa Islam Cepat Menyebar di Madinah?


Publikasi: 16/02/2005 12:07 WIB Assalamu'alaikum Wr Wb Ustadz, bagaimanakah proses dan komunikasi yang dibangun dalam penguasaan Madinah menjadi negeri Islam paska dan pra hijrah, yang sebelumnya memiliki para penguasa dan sistem tersendiri sehingga hidayah begitu cepat datang? Khususnya proses komunikasi delegasi Islam pertama (Mush'ab bin Umair) yang dirasa sangat cepat prosesnya sehingga seorang penguasa dan rakyatnya dengan begitu mudahnya untuk menyerahkan kekuasaannya dan menerima Islam secara utuh dan menyeluruh, serta sumber referensi siroh yang mungkin bisa saya baca detailnya.

Jazakumullah Khairan Katsiran Wassalamu'alaikum Wr Wb Fadli Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du Salah satu di antara rahasia mengapa Islam begitu mudah diterima di Madinah adalah karena masyarakat Madinah saat itu memang sudah mengetahui konsep kenabian. Dan bahwa akan ada nabi yang segera diutus Allah SWT ke muka bumi dengan ciri-ciri yang spesifik. Berbeda dengan masyarakat Mekkah yang masih buta dengan konsep kenabian itu. Bahkan bahwa Allah itu berkata-kata dan berfirman pun masih terasa aneh di logika berpikir mereka. Ada apa dengan masyarakat Madinah? Mengapa mereka begitu berbeda dengan masyarakat Mekkah? Jawabannya ada pada kejadiaan beberapa tahun atau beberapa ratus tahun sebelumnya. Yaitu ketika para agamawan dan orang-orang yahudi pemeluk ahli kitab bermigrasi dari Syam (Palestina dan sekitarnya) ke arah Selatan menuju kawasan Jazirah Arabia. Posisi kota Madinah yang pada saat itu masih bernama Yatsrib memang agak di Utara dekat ke perbatasan arah ke Syam. Gelombang migrasi Yahudi ke tanah Arab pun terkonsentrasi di kota agraris ini. Rupanya, kedatangan mereka ke negeri Arab bukan tanpa sebab. Sebaliknya, kedatangan mereka didorong dari informasi detail yang ada dalam hampir semua kitab suci mereka, yaitu tentang berita kedatangan nabi terakhir (the last prophet) ke muka bumi. Dan sesuai dengan rincian informasi itu, nabi yang informasi kedatangannya selalu disampaikan oleh semua nabi yang pernah turun itu akan lahir di tanah Arab. Untuk itulah mereka mulai berdatangan untuk menyongsong nabi baru dan terakhir. Kedatangan para Yahudi itulah yang kemudian berpengaruh kepada pandangan penduduk Yatsrib, sehingga mereka pun mulai ikut menyongsong kedatangan nabi Muhammad SAW. Padahal sebelumnya mereka pun sama dengan penduduk Mekkah yang tidak paham dengan konsep kenabian, kitab suci ataupun syariat yang turun dari langit. Maklumlah, negeri Arab itu telah tidak kedatangan nabi sejak ribuan tahun lamanya. Konon menurut para ahli sejarah, nabi terakhir yang pernah ada di tanah Arab adalah nabi Ismail a.s. anaknya Nabi Ibrahim a.s. Menurut perkiraan, beliau diperkirakan hidup sekitar tahun 1911-1774 SM. Dan Nabi Ibrahim sang Ayah diperkirakan hidup pada 1997-1822 SM. Sedangkan Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi nabi pada tahun 611 M. Berarti paling tidak ada jarak waktu sekitar 18 abad ditambah 7 abad lagi atau 25

abad yang memisahkan antara kedua nabi itu. Sebuah rentang waktu yang tidak sebentar untuk menghilangkan konsep kenabian di dalam tsaqafah suatu bangsa. Maka dari orang-orang Yahudi inilah masyarakat Yatsrib mengenal kembali konsep kenabian, kitab suci yang turun dari langit serta akan turunnya syariat yang mengatur konsep kehidupan. Dan ketika para jamaah haji dari Yatsrib bertemu langsung dengan Nabi Muhammad SAW di Mekkah dalam even haji tahunan bangsa Arab, dengan mudah mereka masuk Islam dan memeluk erat agama baru ini. Buat mereka, kosep kenabian serta adanya wahyu yang turun beserta syariat Islam yang lengkap bukan lagi masalah yang aneh. Sebab mereka sudah tahu dan paham betul kosep itu dari orang-orang yahudi yang tinggal di negeri mereka. Jadi sama sekali tidak ada masalah ketika nabi Muhammad SAW memperkenalkan diri kepada mereka. Seperti sudah janjian sebelumnya, mereka tanpa pikir-pikir lagi langsung masuk Islam saat itu juga. Suatu hal yang jarang terjadi dengan masyarakat Mekkah yang betul-betul nggak nyambung. Kan susah bicara dengan orang yang nggak nyambung. Segera Islam tersiar di kota penghasil kurma terbesar ini dan menjadi sebuah trend yang menakjubkan. Bahkan mereka meminta kepada Nabi SAW untuk mengirim guru yang mengajarkan detail-detail ajaran Islam, yaitu Mush'ab bin Umair, setelah sebelumnya 12 pemimpin qabilah dari suku Aus dan Khazraj telah berbaiat kepada Rasululah SAW di Aqabah. Sampai akhirnya struktur masyarakat Madinah dianggap sebagai basis yang mapan untuk segera didirikannya sebuah negara yang berdaulat, dengan pemerintahan, rakyat dan wilayah yang pasti. Maka hijrah-lah nabi Muhammad SAW ke Madinah pada bulan Rabi'ul Awwal. Dan mulailah peletakan dasar masyarakat Islam pertama di muka bumi. Peristiwa itu kemudian dikenang sepanjang masa dengan digunakanya momentum hijrah sebagai dasar penghitungan tahun dalam Islam. Yang kita kenal dengan istilah Hijriyah. Tapi lain halnya dengan para Yahudi, keadaannya justru berbalik. Rupanya kebiasaan lama mereka mengingkari para nabi terulang kembali. Memang sejak dulu, nyaris semua nabi yang Allah SWT turunkan kepada mereka harus berhadapan dengan kedegilan, kecongkakan, kemunafikan dan ke-mencla-mencle-an mereka. Bahkan tidak sedikit nabi yang mereka perangi bahkan mereka bunuh. Tidak terkecuali dengan nabi Muhammad SAW sendiri. Beliau harus menghadapi sekian banyak pe-er besar menghadapi ulah komunitas yang mengaku sebagai masyarakat pilihan tuhan ini. Padahal mereka lah yang memperkenalkan konsep kenabian kepada masyarakat Madinah, tapi mereka sendiri pula yang pertama kali ingkar begitu nabinya sudah benar-benar ada. Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang kamu dustakan dan beberapa orang kamu bunuh? (QS Al-Baqarah: 87)

Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israil , dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, sebagian dari rasulrasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh. (QS Al-Maidah: 70) Wajar sekali kalau Allah SWT menjuluki Yahudi sebagai umat yang SESAT, meskipun sudah bertubi-tubi datang para nabi dan rasul kepada mereka. Semoga kita terhindar dari sifat dan karakter bangsa yang dikutuk Allah itu. Dan semoga Allah SWT menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang selalu taat, tunduk dan patuh pada semua aturanNya. Amien Ya Rabbal 'Alamien. Wallahu a'lam bishshawab Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc.

Tidak Ada Lafaz Cerai, Berceraikah Kami?


Publikasi: 15/02/2005 13:06 WIB Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Ustadz, kemarin ketika terjadi masalah dalam rumah tangga, saya sempat mengatakan kepada istri saya, seandainya istri saya sudah tidak tahan dengan keberlangsungan rumah tangga ini dan sudah mantap serta bersedia mengakhiri hubungan rumah tangga kami, saya bersedia mengantarnya ke orang tua. Kemudian saya sempat mempertegasnya dengan mengatakan bahwa saya sudah mantap untuk mengakhiri rumah tangga ini. Namun satu jam setelah kejadian tersebut saya kemudian tersadar dan menyesal. Ustadz, apakah rumah tangga kami sudah berakhir? Perlu diketahui bahwa saya tidak pernah mengatakan sama sekali kata-kata "Cerai" atau "Saya ceraikan kamu". Mohon penjelesannya. Jazakallah Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Abdulloh Jawaban: Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulilahi Rabbil 'alamin, wash-shalatu was-salamu 'alaa Sayyidina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa shahbihihi ajma 'in, wa ba 'du Lafaz cerai itu ada dua macam. Pertama lafaz yang sharih (jelas/eksplisit) dan kedua lafaz kina'i atau lafaz majazi (tidak jelas/implisit). 1. Lafaz sharih atau lafaz yang jelas Lafaz ini bila diucapkan akan menjatuhkan talak. Yaitu bila disebutkan secara jelas kata 'cerai', 'talak' atau 'firaq'. Seorang suami bila mengucapkan lafaz ini kepada istrinya meski dilakukan dengan main-main, tapi talaknya tetap jatuh. Rasulullah SAW bersabda, "Tiga hal yang main-mainnya tetap dianggap serius, yaitu nikah, talak dan rujuk." Dalam lain riwayat disebutkan, "nikah, talak dan membebaskan budak." Namun statusnya hanya talak satu saja, masih ada dua talak lagi yang mereka miliki. Dan seandainya suami melakukan rujuk saat itu juga, status hubungan mereka normal kembali sebagai suami istri yang syah. Bahkan rujuk itu tidak harus diucapkan, cukup dengan menggaulinya sudah dianggap rujuk. Hanya saja perlu diingat bahwa dari 'tiga persediaan' talak, pasangan ini sudah kehilangan satu, masih ada dua lagi. Seandainya kejadian seperti itu terulang lagi, maka persediaan itu hilang satu lagi. Dan kalau terjadi lagi, maka hilanglah ketiga-tiganya dan keduanya tidak boleh rujuk lagi selama-lamanya, sampai si istri menikah lagi dengan orang lain. 2. Lafaz yang bersifat kina 'i Yaitu lafaz yang tidak secara jelas menyebutkan salah satu dari tiga lafaz itu. Atau lafaz yang bisa bermakna ganda. Misalnya adalah apa yang anda sebutkan di atas, kita akhiri sampai di sini. Atau seperti seroang suami berkata kepada istrinya, "Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu." Dalam kasus seperti ini, maka yang menjadi titik acuannya adalah niat dari suami ketika mengucapkannya. Atau 'urf (kebiasaan) yang terjadi di negeri itu. Misalnya, kata-kata, "Pulanglah ke rumah orang tuamu." Apakah lafaz ini berarti thalaq atau bukan? Jawabannya tergantung niat atau kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Bila kebiasaannya lafaz itu yang digunakan untuk mencerai istri, maka jatuhlah thalak itu. Bila tidak, maka tidak. Lafaz kina 'i ini tidak menjatuhkan talak kecuali bila dengan niat dari pihak suami. Jadi tergantung pada niatnya saat melafalkan lafaz kina'i itu. Jadi bila Anda ketika mengatakan hal itu tidak berniat mentalak istri Anda, maka sama sekali tidak ada pengaruhnya.

Kalimat Anda itu 'kita akhiri saja rumah tangga ini' juga masuk dalam kasus yang sama, yaitu kekompok lafaz yang tidak sharih alias kina'i. Tergantung pada niatnya, apakah kata 'mengakhiri hubungan' itu maksudnya adalah cerai atau hubungnan lainnya seperti kemesraan atau kedamaian dan lainnya. Namun bila saat mengucapkannya, memang niat anda adalah ingin menceraikannya, jatuhlah talak satu kepada istri anda itu. Tapi begitu anda menyesal hal itu terjadi, rujukilah dia secepatnya. Dan maksimal hingga tiga kali masa sucinya dari haidh. Lebih dari masa itu, kalau anda mau rujuk, anda perlu menikah ulang dari awal dengan mahar baru, wali, saksi dan ijab qabul lagi. Dan kalau talak rujuk itu sudah berlangsung dua kali, pada kali yang ketiga sudah tidak boleh rujuk lagi selamanya. Karena itu, sebagai suami seharusnya menahan diri dari emosi dan jangan terlalu mudah menanggapi istri yang sedang emosi dengan kata-kata. Sebab bila suami ikut-ikutan emosi dan mengeluarkan kata-kata untuk menceraikan, akan semakin runyam jadinya. Sedangkan ucapan-ucapan dari istri tentang lafaz cerai dan pisah, sama sekali tidak ada pengaruhnya dari sisi hukum talak. Sebab yang punya dasar hukum untuk menceraikan hanyalah suami saja, bukan istri. Wallahu A 'lam Bish-shawab Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Ahmad Sarwat, Lc.

Teori Evolusi Darwin, Bisakah Diterima?


Publikasi: 15/02/2005 12:01 WIB Assalamualaikum wr.wb. Saya mau tanya sebenarnya teori evolusi Darwin itu sendiri seperti apa? Terus, apakah sama teori yang di kemukakan oleh Darwin dengan teori teori yang ada di Al-Qur'an. Saya minta tolong supaya diberi bukti bukti atau ayat ayat yang mendukung penjelasan anda. Mungkin ada gambar-gambar penelitian tentang evolusi mohon dilampirkan juga. Terima kasih. Wassalammualaikum wr. wb. Panji Dwi A. Jawaban: Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulilahi Rabbil 'alamin, wash-shalatu was-salamu 'alaa Sayyidina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa shahbihihi ajma'in, wa ba'du Dunia telh mengakui bahwa apa yang dicetuskan oleh Darwin tentang teori evolusi bertentangan dengan semua agama, bukan hanya agama samawi tetapi juga semua jenis agama. Bahkan para ilmuwan sekuler yang juga tidak percaya adanya tuhan pun banyak yang tidak bisa menerima teori lemah itu. Dan yang juga perlu diungkap adalah ternyata si Darwin sendiri pun agak meragukan teorinya itu. Dalam bukunya itu, Darwin masih banyak meragukan teorinya itu dengan beberapa pertanyaan dan kemungkinankemungkinan. Maka bukan pada tempatnya kita sebagai muslim mendukung teori yang secara ilmiyah sangat lemah, apalagi 180% bertentangan dengan ajaran semua agama yang dikenal umat manusia. Al-Qur'an sudah menjelaskan asal usul manusia yang disebutkan dari keturunan Nabi Adam a.s. Kitab samawi lainnya pun sepakat bahwa asal mausia adalah Adam. Bukan kera yang berevolusi menjadi manusia. Terkait dengan tanda tanya besar yang menghantui hati si Darwin sendiri, sebagai contoh adalah dengan tidak pernah ditemukannya fosil makhluk-makhluk yang sedang mengalami evolusi itu sendiri. Belum pernah ditemukan ada fosil kera yang setengah manusia. Kalau pun ada, ternyata itu penuh dengan manupulasi dan kebohongan semata. Apalagi Darwin sendiri bukanlah seorang yang punya kapasitas untuk mengajukan teori seperti itu karena dia bukan ahli biologi. Sehingga ini sungguh menggelikan. Dan perlu diingat bahwa ketika Darwin mencetuskan teorinya, ilmu hayat (biologi) saat itu masih sangat purba. Mereka belum mengenal inti sel apalagi struktur DNA yang sedemikian rumit. Mikrobiologi jelas belum ada, yang ternyata menguak mistieri yang paling penting dalam dunia mikro. Bisa kita katakan bahwa seandainya Darwin pada hari ini hidup kembali, pastilah dia akan buru-buru meralat semua teorinya itu karena tak satupun yang sesuai dengan iptek hari ini. Karena ketika kita bicara mikrobiologi, kita akan dapati bahwa ternyata struktur makhluq hidup itu sedemikian kompleks, sehinga amat mustahil dengan sendirinya akan tercipta, apalagi hanya sekedar kebetulan. Kalaupun teori evolusi itu benar, mengapa kita juga tidak menyaksikan satu saja di antara manusia di jagad ini yang sedang berproses kembali menjadi makhluq lainnya. Kenapa proses ini harus berhenti di manusia saja. Lalu apakah bentuk manusia itu sudah final? Bila kita cermati secara mendalam, ternyata Darwin para evolusionis ini punya latar belakang yahudi yang memang sejak awal kerjanya hanya ingkar pada Allah semata. Ini adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan. Dimana pun ada yahudi, maka kerusakan dan kehancuran selalu terjadi disitu.

Wallahu A'lam Bish-Showab, Wassalamu 'Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. Wallahu A'lam Bish-shawab Wassalamu 'Qalaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Ahmad Sarwat, Lc.

Apakah Pemeluk Agama Selain Islam itu Kafir?


Publikasi: 15/02/2005 11:51 WIB Assalamu'alaikum wr. wb. Pak, saya ingin bertanya tentang status orang-orang yahudi dan nasrani yang hidup sebelum turunnya agama islam tetapi agama mereka tersebut sudah tidak murni lagi. Apakah mereka termasuk orang yang tidak beriman, mengingat agama yang mereka anut saat itu sudah melenceng? Tapi bukankah saat itu islam belum ada? Bagaimana status mereka? Contohnya kakek rasulullah Abdul Muthalib, ayah rasulullah dan ibunya. bahkan dalam kisah, disebutkan bahwa Abdul Muthalib melaksanakan nazarnya di depan berhala Hubal, apakah dia termasuk kafir? Selanjutnya, saya punya teman nonmuslim, dia pernah mengakui percaya dan beriman kepada Allah SWT, tapi dia belum bisa menerima islam, apakah dia termasuk kafir, padahal ada ayat yang mengatakan bahwa akan dikeluarkan dari neraka oleh Allah orang yang di dalam hatinya ada setitik iman. Bagaimana jadinya? Assalamualaikum wr. wb. Muslim Jawaban: Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulilahi Rabbil 'alamin, wash-shalatu was-salamu 'alaa Sayyidina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa shahbihihi ajma'in, wa ba'du Dalam masalah aqidah, sudah menjadi ketetapan dari Allah SWT bahwa iman dan bukan iman itu ditandai dengan ikrar atas dua kalimat syahadat. Dua kalimat syahadat ini telah menjadi kesatuan yang tidak bisa dipilah-pilah. Sehingga iman dalam arti percaya bahwa

Allah SWT itu ada tapi ingkar kepada eksistensi Nabi Muhammad SAW sebagai utusannya, tetap saja bukan iman tetapi kafir. Dan perlu diketahui, ketika Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi di tanah Arab, hampir semua masyarakatnya percaya kepada Allah, dalam arti mereka mengakui keberadaan Allah. Bahkan bukan sekedar itu saja, tetapi juga mereka 'beribadah' kepadaNya. Salah satunya dengan melakukan ibadah haji ke baitullah, menyembelih hewan dan ritual-ritual lainnya. Kalau ditanyakan kepada mereka siapakah tuhan mereka, jawaban mereka adalah Allah, bukan sekedar tuhan atau 'Yang di Atas', seperti umumnya jawaban orang zaman sekarang. Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab, "Allah", maka betapakah mereka dipalingkan. (QS Al-Ankabut: 61) Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab, "Allah". Katakanlah, "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS Luqman: 25) Mereka tahu bahwa yang menurunkan hujan adalah Allah, juga tahu bahwa yang memberi mereka rizki adalah Allah. Karena itulah ketika untanya dirampas oleh tentara Abrahah saat akan menghancurkan ka'bah, Abdul Muttalib malah sibuk mengurusi untanya. Sedangkan ka'bah yang sedang terancam dan menjadi tanggung-jawabnya sudah diserahkan kepada Allah SWT. Biar Allah saja yang menjaganya, sedangkan unta-unta yang dirampas itu miliknya, maka dialah yang mengurusnya. Hal ini menunjukkan bahwa kafir Quraisy sebenarnya sudah mengenal Allah SWT, mengakuinya sebagai tuhan, bahkan bertawakkal dan memohon kepada-Nya. Namun mereka semua adalah orang-orang kafir yang sudah dipastikan masuk neraka. Mengapa? Karena mereka tidak mau mengakui eksistensi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, juga tidak mau menerima ajaran yang dibawanya yaitu agama Islam secara kaffah (totalitas). Bagi Allah SWT sendiri, tindakan manusia yang percaya pada keberadaan Diri-Nya tapi tidak mau mengakui keberadaan nabi-Nya adalah cerminan sikap ambivalensi yang parah. Buat apa menyatakan diri sebagai hamba-Nya tapi ingkar pada kehendak-Nya? Juga membangkang pada ketetapan-Nya? Buat apa menyembah tuhan tapi kemauan tuhan malah diinjak-injak, dihina dan dibuang jauh-jauh? Tindakan mengingkari utusan tuhan dan agama yang ditetapkan tuhan sama saja dengan mengingkari eksistensi tuhan itu sendiri. Karenanya, orang yang melakukan hal itu lebih pantas masuk neraka dan dijadikan bahan bakarnya. Sama sekali tidak berhak masuk surga, karena surga hanya untuk orang yang taat pada semua perintah dan ketetapan tuhan saja.

Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu (Muhammad), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. (QS Al-An'am: 33) Dan hadits yang anda bawakan itu pun sejalan dengan aqidah yang kita pahami, bahwa orang yang di dalam hatinya ada iman memang akan masuk surga, tapi iman itu bukan sekedar percaya bahwa tuhan itu ada, tapi iman itu minimal harus melingkupi hal-hal pokok yang tak terpisahkan, yaitu percaya bahwa Allah itu satu-satunya tuhan yang patut disembah, percaya Muhammad itu adalah nabinya dimana beliau menjadi rujukan dalam tatacara beriman kepada Allah, percaya bahwa Al-Quran itu adalah kitab-kitabnya yang harus dijadikan petunjuk hidup, percaya bahwa Islam adalah aturan hidup yang lengkap dan harus diterapkan dalam kehidupan nyata dan hanya Islam-lah agama yang diridhainya. Sedangkan selain agama Islam adalah agama yang dimurkai Allah dan bahwa orang kafir pasti masuk neraka. Kalau seorang tidak punya konsep iman yang demikian, maka tidaklah dikatakan beriman, meski dia banyak ibadah dan melakukan hal-hal ritual lainnya. Wallahu A'lam Bish-shawab Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Hubungan Suami-Isteri Saat Haid


Publikasi: 14/02/2005 13:10 WIB Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Istri saya bila mendapati haid kurang lebih 10 hari, apa akibat dari bila melakukan hubungan di saat haid dari hukum agama maupun dari segi kesehatan. Jazakillah. Wass. Wr. Wb. Rasyid Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Jawaban: Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulilahi Rabbil 'alamin, wash-shalatu was-salamu 'alaa Sayyidina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa shahbihihi ajma'in, wa ba'du Wanita yang sedang mendapat haid haram bersetubuh dengan suaminya. Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini:

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS Al-Baqarah: 222) Yang dimaksud dengan menjauhi mereka adalah tidak menyetubuhinya. Sedangkan al Hanabilah membolehkan mencumbu wanita yang sedang haid pada bagian tubuh selain antara pusar dan lutut atau selama tidak terjadi persetubuhan. Hal itu didasari oleh sabda Rasulullah SAW ketika beliau ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka beliau menjawab: Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan. (HR Jama'ah). Keharaman menyetubuhi wanita yang sedang haid ini tetap belangsung sampai wanita tersebut selesai dari haid dan selesai mandinya. Tidak cukup hanya selesai haid saja tetapi juga mandinya. Sebab di dalam al-Baqarah ayat 222 itu Allah menyebutkan bahwa wanita haid itu haram disetubuhi sampai mereka menjadi suci dan menjadi suci itu bukan sekedar berhentinya darah namun harus dengan mandi janabah, itu adalah pendapat al Malikiyah dan as Syafi`iyah serta al Hanafiyah. Kaffarat Menyetubuhi Wanita Haidh Bila seorang wanita sedang haid disetubuhi oleh suaminya maka ada hukuman baginya menurut al Hanabilah. Besarnya adalah satu dinar atau setengah dinar dan terserah memilih yang mana. Ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW berikut: Dari Ibn Abbas dari Rasulullah SAW bahwa orang yang menyetubuhi isterinya diwaktu haid haruslah bersedekah satu dinar atau setengah dinar.(HR. Khamsah) As Syafi'iyah memandang bahwa bila terjadi kasus seperti itu tidaklah didenda dengan kafarat, melainkan hanya disunnahkan saja untuk bersedekah. Satu dinar bila melakukannya diawal haid, dan setengah dinar bila diakhir haid. Namun umumnya para ulama seperti al Malikiyah, as Syafi'iyah dalam pendapatnya yang terbaru tidak mewajibkan denda kafarat bagi pelakunya cukup baginya untuk beristigfar dan bertaubat. Sebab hadis yang menyebutkan kafarat itu hadis yang mudah tharib sebagaimana yang disebutkan oleh al Hafidz Ibn Hajar dalam Nailul Authar jilid 1 halaman 278. Wallahu A'lam Bish-shawab Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc.

Bagaimanakah Menyikapi Mu'jizat yang Terjadi di Agama Lain


Publikasi: 14/02/2005 10:42 WIB Assalamu'alaikum, Ustadz, tolong bantu saya. Saya pernah melihat di Metro TV acara yang membahas penampakan Bunda Maria di Lourdes. Kemudian, kita juga tahu banyak "miracles" (keajaiban) yang terjadi pada agama-agama misalnya Hindu, Budha dan lain-lain. Bagaimanakah penjelasan Islam mengenai hal ini. Apakah Allah juga memberikan karomah kepada non muslim? Terimakasih, Wassalamu'alaikum. Hamba Allah M. Santoso Jawaban: Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulilahi Rabbil 'alamin, wash-shalatu was-salamu 'alaa Sayyidina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa shahbihihi ajma'in, wa ba'du Kejadian luar-biasa di luar hukum fisika yang dikenal manusia memang ada dan tidak bisa dipungkiri eksistensinya. Baik kejadian itu terjadi pada seorang hamba yang taat atau pun pada hamba yang membangkang. Keduanya mungkin saja terjadi dan tetap di bawah kehendak dan kekuasaan Allah SWT juga. Iblis, syetan dan sejenisnya termasuk di antara mereka yang membangkang serta ingkar kepada perintah Allah. Namun Allah SWT tetap memberikan mereka kemampuan luar biasa kepada mereka. Dan demikian juga yang terjadi pada manusia-manusia yang kafir serta ingkar kepada Alllah SWT. Mereka pun tetap Allah SWT berikan kemampuan itu. Namun semua kemampuan itu tidak berarti bahwa Allah SWT meredhai mereka, juga bukan berarti mereka dekat kepada Allah SWT. Bahkan sebaliknya, semua itu malah menjadi semacam penguluran waktu kepada mereka agar siksanya menjadi semakin berat di akhirat nanti. Sebab kemampuan itu di dapat dengan cara yang batil dan digunakan juga bukan dijalan yang benar. Para pelakunya adalah mereka yang tidak berada di dalam

syariat Allah yang telah diresmikan. Walhasil, semua itu hanyalah bersifat sementara dan lemah sekali. Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuasaan Allah SWT. Allah SWT menyebutkan bahwa kepada mereka yang ingkar namun diberikan kemampuan sejenis itu akan mengalami perpanjangan waktu. Mereka tidak langsung disiksa tapi akan ditarik oleh Allah SWT secara perlahan atau berangsur-angsur. Agar dosa mereka semakin bertumpuk dan siksa mereka semakin besar. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur, dengan cara yang tidak mereka ketahui. (QS Al-A'raf: 182) Maka serahkanlah kepada-Ku orang-orang yang mendustakan perkataan ini . Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur dari arah yang tidak mereka ketahui (QS Al-Qalam: 44) Kemampuan mereka yang ajaib itu sama sekali bukan karamah atau mukjizat, melainkan disebut dengan istilah Istidraj. Yaitu penguluran yang Allah berikan kepada mereka dan balasannya adalah azab yang pedih di neraka. Istidraj tidak akan pernah bisa mengalahkan mukjizat Nabi, karena level mukjizat itu jauh lebih tinggi. Hal ini bisa kita lihat dengan jelas ketika ular-ular hasil sihir pendukung Fir'aun dengan mudah dikalahkan oleh ular dari mukjizat Nabi Musa a.s. Dan Kami wahyukan kepada Musa, "Lemparkanlah tongkatmu!" Maka sekonyongkonyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. (QS Al-A'raf: 117-118) Wallahu A'lam Bish-shawab Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Ahmad Sarwat, Lc.

You might also like