You are on page 1of 39

Pemicu 3 Tn. S usia 35 tahun datang dengan keluhan badan lemas.

Sejak 3 tahun minum 2 jenis obat penambah berat badan yang dibeli dari toko obat di pasar pramuka. Obat terdiri dari tablet hijau yang diminum 4 6 tablet sehari dan tablet orange kecil 3 kali sehari. Berat badan naik 20 kg dalam waktu 3 tahun menjadi 67 kg (tinggi badan 160 cm). Pada pemeriksaan fisik didapatkan: tampak muka bulat, TD 160/90 mmHg, suhu 36,8 oC, jantung dan paru dalam batas normal. Abdomen: membesar, tampak striae, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus normal. Kedua lengan tampak kurus dibandingkan tubuhnya. Ditemukan edema pada kedua tungkai bawah. I. Klarifikasi dan definisi A. Striae : peregangan yang mengakibatkan perubahan warna pada kulit.

B. Edema : peningkatan volume cairan interstisiel disertai dengan penimbunan di jaringan serosa. II. Kata Kunci A. Tuan S 35 tahun B. Keluhan badan lemas C. 3 tahun minum 2 jenis obat penambah berat badan: tablet hijau yang diminum 4 6 tablet sehari, tablet orange kecil 3 x sehari D. Berat badan naik 20 kg dalam 3 tahun E. BB: 67 kg TB: 160 cm F. Pemeriksaan fisik: Muka bulat, TD 160/90 mmHg, suhu 36,8oC, jantung dan paru dalam batas normal. Abdomen: membesar, tampak striae, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus normal. Kedua lengan kurus, edema pada kedua tungkai bawah. III. Rumusan masalah Tn. S yang mengonsumsi obat penambah berat badan sejak 3 tahun lalu datang dengan keluhan badan lemas, TD tinggi, abdomen membesar dengan striae, lengan kurus dan edema pada tungkai bawah.

IV. Analisis masalah Tn. S 35th

Konsumsi obat P BB

Glukokortikoid

Prednison

Hiperkortisolisme Gejala ACTH Moon Face P Berat Badan Penimbunan jar. Adiposa Sensitifitas Katekolamin Proteolisis Fungsi fibroblast Protein plasma Dependen Independen Sindroma Cushing Pemeriksaan penunjang

Kortisol

Hipertensi Lemas dan lengan kurus Striae

Edema Tungkai

DD

Diagnosis

Tata Laksana

V.

Hipotesis Tn. S mengalami sindrom cushing karena konsumsi kortikosteroid eksogen dalam jangka waktu yang panjang.

VI. Isu Pembelajaran A. Korteks Adrenal 1. Anatomi 2. Histologi 3. Fisiologi B. Sindrom Cushing C. Diagnosis banding 1. Endogen a. Dependent b. Independent 2. Eksogen D. Farmakologi kortikostreoid E. Pemeriksaan penunjang F. Alur Diagnostik

VII. Pembahasan A. Kelenjar Adrenal 1. Anatomi Kelenjar adrenal terletak dalam jaringan lemak padakutub kranial setiap ginjal. Mereka merupakan organ segitiga relatif gepeng, dengan tebal kurang dari 1 cm, dan lebar 2 cm di apeks sampai 5 cm di basisnya. Berat keduanya pada orang dewasa sekitar antara 15 sampai 20 gram. Pada permukaan potong adrenal dengan jelas dapat dibedakan korteks kuning yang tebal dari medula kelabu yang tipis dibagian dalamnya.

Baik korteks maupun medual adalah kelenjar endokrin, namun beda asal embriologi Korteks, dan yang

fungsinya.

merupakan 80-90% dari volume kelenjar, berasal darai mesoderm, sedangkan medula, 10-20%

kelenjar, berasal dari ektoderm dari krista neural embrio.

2. Histologi a. Zona Glomerulosa Dalam zona glomerulosa, sel-sel epitel kolumnar

membentuk barisan-barisan

rapat yang sepintas mirip asini

kelenjar eksokrin. Mereka dipisahkan oleh septa jaringan ikat tipis yang menyusup ke dalam dari simpai. Sel-sel memiliki inti heterokromatik terpulas gelap dengan satu atau dua nukleoli jelas. Sitoplasma asidofiliknya mengandung sebaran kelompok materi basofilik. Kompleks golgi cenderung terpolarisasi ke arah pembuluh darah terdekat.

Pada mikrograf elektron, sel-sel glomerulosa tampak saling berhubungan oleh desmosom biasa dan beberapa taut rekah kecil. Di tempat terpapar pada interstitium, sel-sel itu memiliki sedikit mikrovili pendek terorientasi tak teratur. Inti sel bagian luar sering berbentuk tidak teratur, sedangkan yang lebih ke dalam zona berbentuk bulat. Terdapat beberapa baris retikulum endoplasma kasan dan kompleks golgi yang relatif kecil. Mitokondrianya panjang-panjang dengan sedikit krista lamelar. Jalinan retikulum endoplasma licin, terbentang di seluruh sitoplasma, namun kurang banyak daripada dalam sel zona fasikulata. Ada tetes-tetes lipid, namun tidak banyak. Zona ini menghasilkan hormone mineralokortikoid /aldosteron. Hormon tersebut bekerja diepitel tubulus renalis, hormone berperan dalam pengaturan kadar natrium. b. Zona Fasikulata Zona fasikulata terdiri atas sel-sel polihedral pucat yang tersusun dalam kolom-kolom panjang terorientasi radier terhadap medula. Kolom-kolom setebal satu atau dua sel itu dipisahkan oleh kapiler-kapiler dengan orientasi serupa. Sitoplasmanya yang asidofilik lemah memiliki tampilan bervakuol banyak akibat terlarutnya banyak tetes lipid selama pembuatan sediaan. Pada mikrograf elektron, sel-selnya sedikit lebih besar dari sel glomerulosa dan memiliki lebih banyak taut rekah yang lebih besar. Intinya memiliki nukleolus nyata dan sebuah lamina fibrosa jelas. Sitoplasmanya mengandung banyak sekali tetes lipid berdensitas elektron rendah, yang dilaporkan menempati bagian terbesar volume sel pada adrenal manusia dan tikus.

Ciri nyata sel-sel zona fasikulata adalah jaringan retikulum endoplasma licinnya yang sangat luas yang merupakan 40-45% volume sel. Retikulum endoplasma kasar hanya berupa beberapa sisterna tunggal atau berpasangan. Kompleks golgi yukstanuklear tidak mencolok. Badan-badan kecil padat dalam jumlah terbatas dalam sitoplasma diinterpretasi sebagai lisosom dan

mikroperoksisom. Mitokondria menempati 25-30% volume sel dan lebih pendek daripada yang dari zona glomerulosa. Struktur internnya atipik dan bervariasi dari spesien ke spesies. Pada manusia, krista-krista berupa tubul pendek dengan pelebaran vesikuler. Zona ini menghasilkan glukokortikoid hormone, 4 macam glukokortikoid yaitu cortisol, cortisone, corticosterone dan 11deoxycorticosterone. Glukokortikoid berperan dalam membantu mengendalikan kadar gula dalam darah. Cortisol memegang 95 % dari aktivitas glukokortikoid. Glukokortikoid mempengaruhi metabolisme semua jenis makanan, berperan sebagai agen antiu inflanmasi, mempengaruhi pertumbuhan dan menurunkan efek stress fisik dan emosional. Efek terbesar glukokortikoid adalah glukoneogenesis

(pembentukan glukosa dari non karbohidrat seperti dari asam amono dan lemak). Karena efek glukoneogenesis menyebabkan sel tidak membutuhkan gula dari darah sehingga gula dalam darah meningkat yang disebut dengan efek diabetogenik yang disebut dengan diabetes adrenal. Cortisol berperan dalam memfasilitasi metabolisme protein, meningkatkan metabolisme lemak memungkinkan sebagai sumber energi dan efek lain dari cortisol adalah menekan reaksi allergi dan respon peradangan.

c. Zona Retikularis Kolom sel paralel membentuk jalinan tiga dimensi dari korda sel yang beranastomasis dalam zona retikularis. Sel-selnya sedikit lebih kecil dan terpulas lebih gelap karena sitoplasmanya mengandung lebih sedikit tetes lipid yang di ekstraksi. Akumulasi pigmen coklat intrasel umum terlihat. Pada mikrograf elektron, sel-selnya tampak kurang aktif dibanding dari fasikulata. Retikulum endoplasma jauh lebih sedikit, kompleks golgi kecil, dan tetes lipid relatif sedikit. Umumnya terdapat agregasi pigmen lipofuchsin. Dekat medula terdapat sel-sel gelap dalam jumlah bervariasi, yang memiliki sitoplasma padat elektron lebih banyak dan inti hiperkromatik yang mengeriput. Perubahan inti dan sedikitnya organel dan akumulasinya pigmen dalam sitoplasma mengesankan degenerasi sel yang banyak dalam zona ini. Pembagian dalam zona dari korteks adrenal tercermin dari produksi hormon berbeda dalam ketiga zona itu. Aldosteron hanya dihasilkan oleh zona glomerulosa, kortisol digetahkan terutama oleh zona fasikulata, dan zona retikularis dikatakan adalah tempat utama produksi dehidroepiandrosteron. Medulla Adrenal Pada mikrograf elektron, ciri paling mencolok sel-sel medula adrenal adalah banyaknya granul kecil padat bermembran (sampai 30.000). granul sel yang menimbun norepinefrin memiliki baguan pusat padat-elektron yang sering eksentrik. Sel yang menimbun epinefrin memiliki granul dengan isi lebih homogen berdensitas lebih rendah. Sitoplasma kedua jenis sel itu mengandung barisan paralel retikulum endoplasma kasar dan mitokondria dalam jumlah banyak dengan

krista foliata. Materi yang disebut sebagai prekursor granul sekresi sering terdapat dalam transisiterna dari kompleks golgi

yukstanuklear. Norepinefrin atau epinefrin merupakan 20% dari volume granul medula yang diisolasi. Sisanya adalah sejenis protein dapat-larut yang disebut kromagranin, bersama ATP, dan enkefalin.

Katekolamin agaknya tidak bergabung dengan protein khusus, seperti hormon dari sel lain, dan belum jelas betul bagaimana substansi berbobot molekul begitu rendah dipertahankan didalam granul. Masuknya katekolamin kedalam granul disebabkan

mekanisme transport aktif yang tergantung pada ATP-ase yang diaktifkan magnesium pada membrannya. Medulla adrenal memproduksi adrenalin dan noradrenalin. Adrenalin berguna dalam membongkar glikogen otot, hati dan bersifat fight (bertengkar), flight (terbang), Fright (takut).

3. Fisiologi a. Sintesis Hormon Korteks Adrenal Korteks adrenal mensintesis molekul steroid yang dibagi menjadi tiga kelompok hormon yaitu glukokortikoid,

mineralokortikoid dan androgen dengan zona/lapisan penghasil yang berbeda-beda. Korteks adrenal mempunyai 3 lapisan/zona yaitu :
1) Zona

glomerulosa

yang

memproduksi

hormon

mineralokortikoid
2) Zona fasikulata yang memproduksi hormon glukokortikoid

(bersama dengan zona reticularis)


3) Zona reticularis yang memproduksi homon androgen

Kolesterol, yang didapatkan dari makanan dan sintesis endogen adalah bahan untuk steroidogenesis. Uptake

kolesterol dilakukan oleh LDL reseptor. Dengan stimulasi dari ACTH, jumlah reseptor LDL meningkat. Skema jalannya sintesis dari hormon steroid adrenal :
a. Sintesis mineralokortikoid

Pregnenolon diubah menjadi progesterone oleh dua buah enzim reticulum endoplasma halus yaitu 3-hidroksisteroid dehidrogenase dan 5,4 isomerase. Progesterone

mengalami hidroksilase pada posisi C21 untuk membentuk 11-deoksikortikosteron, yang merupakan mineralokortikoid yang aktif (menahan ion Na+). Hidroksilase berikutnya, pada C11 menghasilkan kortikosteron. Enzim 18-hidroksilase bekerja pada kortikosteron membentuk 18 hidroksikortikosteron yang diubah menjadi aldosteron oleh konversi 18-alkohol menjadi aldehid.
b. Sintesis glukokortikoid

Sintesis kortisol memerlukan tiga enzim hidroksilase yang bekerja secara berurutan pada posisi C17, C21, C11. Dua reaksi pertama berlangsung cepat, sementara hidroksilasi C11 berlangsung lambat. 17-hidroksilase merupakan enzim reticulum endoplasma halus yang bekerja pada pregnenolon. 17-hidroksiprogesteron mengalami hidroksilase pada posisi C21 oleh 21-hidroksilase hingga membentuk 11deoksikortisol yang kemudian juga dihidroksilasi oleh 11hidroksilase pada posisi C11 untuk membentuk kortisol.
c. Sintesis androgen

Hormon androgen yang utama yang dihasilkan oleh korteks adrenal adalah dehidroepiandrosteron (DHEA). DHEA sebenarnya adalah sebuah prehormon karena kerjanya 3OHSD dan 5,4 isomerase akan mengubah DHEA androgen yang lemah menjadi androstenedion yang lebih poten.

Reduksi androstenedion pada posisi C17 mengakibatkan pembentukan testosterone.

b. Transport Hormon Steroid Kortisol bersirkulasi dalam plasma sebagai : 1) Kortisol bebas Merupakan bentuk hormon yang aktif dan tidak terikat dengan protein dan mereka dapat secara lagsung bereaksi ke organ target (normalnya 5%). 2) Kortisol terikat protein Plasma mempunyai dua macam pengikat kortisol. Yang pertama mempunyai afinitas yang tinggi yaitu Cortisol Binding Globulin (CBG) dan yang lainnya mempunyai afinitas yang rendah, kadar protein yang tinggi yaitu albumin. Kortisol terikat CBG mengurangi efek dari inflamasi, dengan peningkatan konsentrasi kortisol bebas secara lokal. Ketika konsentrasi kortisol >700nmol, sebagian terikat pada albumin dan sebagian yang lebih besar beredar secara bebas. CBG meningkat pada kadar estrogen yang tinggi (kehamilan, pemakai obat kontrasepsi). Peningkatan CBG disertai juga dengan peningkatan protein terikat kortisol, dengan demikian kadar total kortisol dalam plasma meningkat. 3) Kortisol metabolit Merupakan suatu respon biologis yang tidak aktif dan terikat lemah pada protein plasma.

c.

Metabolisme dan Ekskresi Steroid 1) Glukokortikoid Sekresi kortisol tiap harinya berkisar antara 40-80 mol, yang disekresi dengan irama sirkadian. Kadar kortisol dalam

plasma ditentukan oleh sekresinya, inaktivasinya dan ekskresinya. Hati adalah organ utama untuk penginaktifan steroid. Enzim utama yang meregulasi metabolisme kortisol adalah 11-hydroxysteroid dehydrogenase (11-HSD). Ada dua isoforms, yaitu : 11-HSD 1 diekspresikan terutama di hati dan bertindak sebagai reductase, mengkonversi

inaktivasi kortison ke dalam bentuk glukokortikoid yang aktif yaitu kortisol. 11-HSD 2 diekspresikan di sejumlah jaringan dan mengkonversi kortisol dalam bentuk yang tidak aktif, kortison. 2) Mineralokortikoid Pada individu yang mempunyai kadar garam yang normal, sekresi tiap harinya berkisar 0,1 dan 0,7 mol. Selama perjalanannya lewat hati, >75% dari aldosterone diinaktifkan oleh konyugasi dengan asam glukoronik. Bagaimanapun juga pada kondisi tertentu, seperti pada gagal jantung, penginaktifannya berkurang. 3) Adrenal Androgens Androgen terutama disekresi oleh adrenal dalam bentuk DHEA dan DHEAS. Kira-kira 15-30 mg dari senyawa ini disekresikan tiap harinya. Dalam jumlah yang lebih kecil androstenedione, 11-hydroxyandrostenedione dan

testosterone disekresikan. DHEA merupakan prekusor utama dari urinary 17-ketosteroid. 2/3 dari urinary 17-ketosteroid pada laki-laki derivat dari metabolisme adrenal, dan sisanya berasal dari testicular androgen. Sedangkan pada wanita, hampir semua urinary 17-ketosteroid derivat dari adrenal.

d. Mekanisme Aksi Hormon Steroid Steroid berdifusi secara pasif melewati membran sel dan terikat pada protein intraselular. Glukokortikoid dan

mineralokortikoid terikat dengan reseptor yang afinitasnya hampir sama dengan reseptor mineralokortikoid. Bagaimanapun juga, hanya glukokortikoid yang terikat pada reseptor

glukokortikoid. Setelah steroid terikat pada reseptor, kompleks steroid-reseptor berjalan ke nukleus, dimana steroid akan melakukan transkripsi RNA. Karena kortisol terikat pada mineralokortikoid dikarenakan afinitas yang sama dengan aldosterone, spesifitas mineralokortikoid dicapai dengan

metabolisme lokal dari kortisol untuk menginaktifkan senyawa kortison dengan 11-HSD2.

e.

Regulasi Hormon Steroid 1) Glukokortikoid ACTH diproses dari prekursor POMC. POMC dibuat di berbagai jaringan termasuk otak, hipofisis anterior dan posterior dan limfosit. ACTH disintesis dan disimpan dalam sel basophil di hipofisis anterior. Sekresi ACTH dari hipofisis anterior diatur oleh Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) yang diproduksi di eminenisea mediana di hipotalamus. Faktor utama yang mengontrol ACTH dan juga CRH adalah
a) Kadar kortisol dalam plasma

Kortisol mempunyai efek umpan balik negatif terhadap (1) hipotalamus untuk menurunkan pembentukan CRF dan (2) kelenjar hipofisis anterior untuk menurunkan pembentukan ACTH. Kedua umpan balik ini membantu mengatur konsentrasi kortisol dalam plasma. Jadi, bila konsentrasi kortisol menjadi sangat tinggi, maka umpan

balik ini secara otomatis akan mengurangi jumlah ACTH sehingga kembali ke keadaan normalnya
b) Stress

Stress

baik

fisik,

emosional

atau

hipoglikemia

menyebabkan terjadinya sekresi CRH dan arginin vasopressin dan aktivasi dari sistem saraf simpatis. Hal ini akan meningkatkan sekresi ACTH.
c) Siklus

istirahat

atau

aktivitas

tiap

orang

akan

berhubungan dengan irama sirkadian. ACTH dalam plasma bervariasi sesuai dengan sekresi dan mengikuti pola sirkadian yang mana mencapai puncak saat kita bangun (pagi hari) dan mencapai titik terendah saat malam hari (akan tidur). Jika pola istirahat kita berubah, maka irama sirkadian ini juga akan berubah mengikuti pola baru. Secara normal, pola sirkadian dari sekresi ACTH dipengaruhi oleh CRH. Mekanisme ini disebut juga open feedback loop. CRH sekresi, dipengaruhi oleh neurotransmitter hipotalamus (kolinergik, serotoninergic).

2) Hormon Aldosterone Aldosterone disekresi oleh zona glomerulosa. Dikenal empat factor yang memainkan peranan dalam pengaturan

aldosterone, yaitu :
a) Peningkatan konsentrasi kalium yang meningkatkan

sekresi aldosteron.
b) Peningkatan

aktivitas

rennin-angiotensin

yang

meningkatkan sekresi aldosteron juga.


c) Peningkatan

konsentrasi natrium di dalam cairan sangat sedikit menurunkan sekresi

ekstraselular aldosteron.

d) Hormon adrenokortikotropin (ACTH) dari kelenjar

hipofisis anterior diperlukan untuk sekresi aldosterone tetapi mempunyai efek yang kecil dalam mengatur kecepatan sekresi. Dari faktor-faktor di atas, yang paling memegang peranan yaitu konsentrasi kalium dan aktivasi dari rennin-angiotensin. Peningkatan konsentrasi kalium yang rendah dapat menyebabkan beberapa kali

peningkatan aldosterone. Dan juga aktivasi dari sistem rennin-angiotensin, biasanya sebagai efek dari

berkurangnya aliran darah ke ginjal, dapat menyebabkan peningkatan sekresi aldosterone yang besar. Selanjutnya, aldosterone akan bekerja di ginjal dengan :
a) Membantu ginjal mengeluarkan kelebihan ion kalium b) Meningkatkan volume darah dan tekanan arteri, jadi

mengembalikan keadaan normal

sistem

rennin-angiotensin

dalam

f.

Efek Hormon Steroid 1) Efek Mineralokortikoid a) Efek ginjal dan sirkulasi dari aldosteron (1)Aldosteron menyebabkan pengangkutan pertukaran natrium dan kalium yakni absorbsi natrium bersamasama dengan ekskresi kalium oleh sel-sel epitel tubulus terutama dalam tubulus distal dan duktus koligentes. (2)Meningkatkan jumlah total natrium dalam cairan ekstraseluler sementara menurunkan jumlah kalium. (3)Karena natrium dalam cairan ekstraselular banyak maka berpengaruh juga terhadap kandungan air

dalam

cairan

ekstraselular

dan

menyebabkan

peningkatan tekanan darah. (4)Aldosteron sebaliknya menyebabkan sekresi ion hidrogen yang ditukar dengan natrium di tubulus sehingga mengakibatkan alkalosis ringan.

b) Efek aldosteron pada kelenjar keringat, kelenjar liur, dan absorpsi intestinal
(1) Efek aldosteron terhadap kelenjar keringat penting

untuk menyimpan garam tubuh dalam lingkungan yang panas.


(2) Efek aldosteron terhadap kelenjar saliva adalah

menyimpan garam sewaktu saliva hilang secara berlebihan.


(3) Aldosteron meningkatkan absorsi natrium oleh usus

terutama di dalam kolon yang mencegah hilangnya natrium di dalam feses.

2) Efek Glukokortikoid a) Efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat


(1) Untuk

merangsang

proses

glukoneogenesis

(pembentukan karbohidrat dari protein dan beberapa zat lain) oleh hati yang meningkatkan jumlah penyimpanan glikogen dalam sel-sel hati.
(2) Kortisol menurunkan kecepatan pemakaian glukosa

oleh sel-sel tubuh.


(3) Karena efek diatas dapat menyebabkan peningkatan

konsentrasi glukosa darah (diabetes adrenal).

b) Efek kortisol terhadap metabolisme protein


(1) Kortisol mempunyai kemampuan untuk mengurangi

penyimpanan protein di seluruh sel tubuh kecuali protein dalam hati.


(2) Hal diatas dikarenakan oleh berkurangnya sintesis

protein dan meningkatnya katabolisme protein yang sudah ada di dalam sel.
(3) Kortisol menyebabkan peningkatan protein hati dan

protein plasma.

c) Efek kortisol terhadap metabolisme lemak


(1) Kortisol meningkatkan mobilisasi asam lemak dari

jaringan lemak yang meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas di dalam plasma dan

meningkatkan pemakaiannya untuk energi.


(2) Kortisol meningkatkan oksidasi asam lemak di

dalam sel.

d) Fungsi kortisol pada stress dan peradangan Kortisol sangat meningkat pada keadaan stress, dimana glukokortikoid dapat menyebabkan

pengangkutan asam amino dan lemak dengan cepat dari cadangan sel-selnya sehingga dapat dipakai untuk energi dan sintesis senyawa lain.

e) Efek anti inflamasi kortisol Pemberian kortisol dalam jumlah besar biasanya dapat menghambat proses inflamasi atau malah dapat membalikkan sebagian besar efeknya segera ketika proses inflamasi mulai terjadi. Kortisol mempunyai efek berikut ini dalam mencegah proses inflamasi:

(1) Kortisol menyebabkan stabilisasi membran lisosom (2) Kortisol menurunkan permeabilitas kapiler (3) Kortisol menurunkan migrasi sel darah putih ke

dalam daerah inflamasi dan fagositosis sel yang rusak


(4) Kortisol menekan sistem imun (5) Kortisol menurunkan demam

f) Efek terhadap alergi Kortisol menghambat reaksi inflamasi akibat alergi

g) Efek terhadap sel darah dan imunitas pada penyakit infeksi (1) Kortisol mengurangi jumlah eosinofil dan limfosit di dalam darah (2) Kortisol menyebabkan atrofi jaringan limfoid yang akan mengurangi keluarnya sel-sel T dan antibodi dari jaringan limfoid yang menyebabkan tingkat kekebalan terhadap benda asing berkurang dan kadang kematian. menyebabkan infeksi fulminan dan

3) Efek Androgen Merupakan hormon kelamin yang berpengaruh besar pada hormon kelamin pria, mengatur libido dan perkembangan alat kelamin.

B. Sindrom Cushing 1. Sindrom Cushing Sindrom cushing adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh pajanan terhadap peningkatan glukokortikoid dalam jangka waktu lama secara endogen maupun exogen. Dalam praktik klinis, sebagian besar kasus sindrom tersebut disebabkan oleh pemberian

glukokortikoid eksogen. Penyebab lain yang bersifat endogen dapat disebabkan oleh penyakit primer hipotalamus-hipofisis, hiperplasia atau neoplasia adrenokorteks primer, dan sekresi ACTH ektopik oleh neoplasma nonendokrin. Individu dengan sindrom Cushing dapat memiliki gejala moonface, penumpukan lemak di punggung bagian atas, obesitas sentral dan stria berarna pada abdomen. Pasien sering mengeluh adanya kelemahan otot proksimal, mudah lebam, peningkatan berat badan, hirsutisme (penumbuhan rambut abnormal). Pada anak-anak dapat terjadi retardasi pertumbuhan. Hipertensi, osteopenia, diabates mellitus dan gangguan sistem imun dapat terjadi sebagai gejala penyerta. Secara morfologi, kelenjar adrenal akan berubah bergantung pada penyebab hiperkortisolismenya. Pada pasien yang disebabkan oleh glukokortikoid eksogen, penekanan ACTH endogen akan menyebabkan atrofi bilateral korteks adrenal karena tidak adanya rangsangan terhadap zona fasikulata dan retikularis oleh ACTH. Pada kasus hiperkortisolisme endogen, adrenal akan mengalami hiperplasia atau mengandung neoplasma korteks. Pada sindrom ushing yang disebabkan oleh peningkatan sekresi ACTH oleh hipofisis atau sumber ektopik, stimulasi kelenjar adrenal akan menyebabkan hiperplasia bilateral. Korteks adrenal akan menebal secara difus dan tampak kuning. Pada semua kasus sindrom Cushing, kelenjar hipofisis memperlihatkan perubahan. Perubahan tersering akibat tingginya

kadar glukokortikoid endogen atau eksogen disebut perubahan hialin Crooke. Pada keadaan ini, sitoplasma sel penghasil ACTH yang secara normal basofilik akan diganti oleh bahan homogen yang sedikit basofilik. Perubahan ni disebabkan karena akumulasi filamen sitokeratin intermediat di dalam sitoplasma sel tersebut. Pada pasien sindrom Cushing karena kelainan hipotalamus-hipofisis (Cushing disease) hipofisis biasanya mengandung adenoma hipofisis penghasil ACTH atau fikus hiperplasia sel ACTH.

2. Patofisiologi Tingkat glukokortikoid yang berlebih dalam tubuh, baik yang diberikan dari luar, maupun produksi kortisol yang berlebih, akan menyebabkan sindrom Cushing. Karena kadar hormon kortisol yang meningkat dalam jumlah melebihi batas normal tersebut, tubuh pasien akan mengalami dampak fisiologis hormon kortisol dalam skala yang meningkat. Efek fisiologis kortisol pada metabolisme karbohidrat adalah meningkatnya glukoneogenesis oleh hati. Glukosa dibuat dari asamasam amino hasil proteolisis yang juga merupakan salah satu efek metabolik kortisol. Kortisol juga akan menghambat pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh. Hal ini diduga karena glukokortikoid menghambat oksidasi NADH sehingga proses glikolisis tidak dapat terjadi. Karena peningkatan sintesis glukosa dan penurunan pemakaian glukosa oleh sel, maka efek tidak langsung kortisol adalah peningkatan sintesis glikogen dalam hati. Pada peningkatan hormon kortisol dalam janggka waktu lama, peningkatan kecepatan glukoneogenesis dan penurunan pemakaian glukosa akan meningkatkan konsentrasi glukosa darah yang kemudian akan menstimulasi sekresi insulin. Tetapi peningkatan kadar insulin menjadi tidak efektif karena glukokortikoid akan menurunkan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Hal ini dapat

terjadi karena glukokortikoid meningkatkan mobilisasi asam lemak dan asam lemak berlebih dalam sel mengganggu kerja insulin di jaringan. Peningkatan konsentrasi gula darah pada kasus

hiperkortisolisme ini sangat tinggu, dapat mencapai 50% diatas normal. Hal ini mendorong timbulnya diabetes mellitus adrenal dan berbagai efek patofisiologi yang menyertainya. Salah satu gejala yang umum ditemukan pada penderita sindrom Cushing adalah kelemahan otot. Hal ini terkait dengan fungsi hormon kortisol untuk meningkatkan katabolisme protein dan meningkatkan transpor asam amino dari otot sebagai tambahan energi. Secara fisiologis, hal ini terjadi akibat respon tubuh terhadap stress. Jika hormon kortisol dalam plasma berada dalam jumlah yang berlebihan, peningkatan katabolisme protein dan penurunan

penyimpanan protein di seluruh jaringan tubuh, kecuali jaringan hati, ini akan menyebabkan atrofi jaringan otot di seluruh tubuh, khususnya di ekstremitas, yang ditandai dengan kurusnya

ekstremitas pasien dan kemampuan otot pasen berkurang. Efek lain dari pemecahan protein ini adalah striae keunguan pada jaringan subkutan. Hal ini terjadi karena terdapat kerusakan serabutserabut kolagen pada jaringan subkutan dan terjadi distensi mekanik akibat penumpukan lemak sehinga jaringan subkutan mudah robek. Aktivasi osteoklas oleh steroid akan menyebabkan resorbsi tulang meningkat sehingga tulang pasien menjadi rapuh dan timbul osteoporosis. Orang dengan sindrom Cushing juga menderita gangguan sistem imun. Hal ini terkait dengan fungsi antiinflamasi kortikosteroid. Hal ini terjadi karena kortisol akan menghambat tahap awal proses inflamasi dan mempercepat resolusi inflamasi yang terjadi. Kelebihan kortisol akan menyebabkan permeabilitas kapiler

menurun, migrasi sel inflamasi ke daerah cedera terhambat, dan reproduksi limfosit menurun. Hal ini membuat individu dengan

sindrom Cushing sangat rentan terhadap infeksi opurtunistik. Selain itu, penyembuhan luka pada pasien tersebut juga cendrung menjadi terlambat. Mobilisasi asam lemak semakin meningkat pada pasien dengan sindrom Cushing. Hal ini terjadi karena berkurangnya kadar glukosa dalam sel-sel lemak. Mobilisasi asam lemak ini membuat sistem metabolisme sel berubah dari penggunaan glukosa menjadi lebih cendrung menggunakan asam lemak. Tetapi pasien dengan hiperkortikolisme mengalami obesitas yang khas dengan

penumpukan lemak yang berlebihan di daerah dada, abdomen, punggung bagian atas dan di daerah kepalanya, sehingga bentuk badannya seperti sapi dan wajahnya memiliki bentuk moon face. Walaupun penyebab hal ini tidak diketahui, tetapi mungkin obesitas yang khas ini terjadi karena kecendrungan tubuh untuk membentuk lemak di beberapa jaringan tertendu daripada mobilisasi dan oksidasinya saat terjadi rangsangan asuan bahan makanan yang berlebih. Pada sistem kardiovaskular, kortikosteroid akan meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap katekolamin. Akibatnya terjadi vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan curah jantung yang kemudian akan meningkatkan tekanan darah (hipertensi). Gejala lain yang umum terjadi adalah hirsutisme, gangguan siklus menstruasi. Biasanya hal ini terjadi pada sindrom Cushing yang disertai gangguan sekresi androgen adrenal. Gangguan mental seperti depresi, psikosis dan gangguan suasana hati juga sering dijumpai. Gejala ini dapat terjadi karena efek kortisol terhadap sistem saraf pusat. Pada pasien sindrom Cushing eksogen, kadar glukokortikoid yang tinggi akan menahan sekresi ACTH oleh hipofisis dan sekresi CRH oleh hipotalamus. Hal ini membuat rantai endokrin yang terkait hipotalamus dan hipofisis terganggu. Karena kadar glukokortikoid

yang tinggi membuat sel-sel endokrin tidak bekerja untuk menjalan umpan balik negatifnya, sehingga sistem endokrin lain seperti

sistem hormon tiroid akan terganggu. Pada pasien dengan sindrom Cushing, tanda-tanda hipotiroidisme sering ditemukan.

3. Gejala Klinis Gejala klinis yang timbul pada pasien penderita sindrom Cushing disebabkan oleh proses patofisiologi akibat kadar glukokortikoid dalam darah yang melebihi batas normal. Gejala-gejala klinis tersebut mencakup berbagai macam sistem organ di tubuh manusia. a. Obesitas Pasien akan mengalami peningkatan berat badan dan

penumpukan jaringan adiposa di wajah, punggung bagian atas dan dasar leher, serta diatas klavikula. Selain itu, pasien akan mengalami obesitas sentral dengan peningkatan jaringan adiosa di mediastinum dan peritoneum. b. Kulit Striae keunguan dapat diamati di abdomen, punggung bagian bawah, tungkai atas, lengan atas dan payudara. Wajah pasien dapat menjadi kemerahan dan dapat timbul ekimoss,

telangektasias dan purpura. Selain itu glukokortikoid dapat merangsang peningatan rambut lanugo wajah. Jika

glukokortikoid berlebihan ditemani dengan kelebihan androgen, maka hirsutisme dan kebotakan dapat terjadi pada wanita. c. Sistem Kardiovaskular dan Ginjal Hipertensi dan edema dapat terjadi karena aktivasi reseptor mineralkorticoid oleh kortisol yang akan menyebabkan retensi air dan natrium.

d. Gastroenetrologi Ulkus peptikum dapat terjadi dengan atau tanpa gejala. Biasanya terjadi pada hiperkortikolisme karena penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama, dan jarang terjadi pada pasien

hipercortisolisme endogen. e. Endokrin Gejala hipotiroidisme seperti reflex yang melambat, metabolisme yang menurun dan gejala lainnya. Kadar testoteron yang menurun pada laki-laki dapat mengarah ke gangguan testikular. f. Muskuloskeletal Kelemahan otot-otot proksimal karena efek proteolisis kortisol merupakan gejala umum sindrom Cushing. Selain itu, pendertia sindrom Cushing sering mendertia osteoporosis dan fraktur serta kelainan tulang yang berkaitan dengannya. g. Neuropsikologikal Pasien dapat mengalami gangguan emosional, kelelahan dan depresi. Selain itu dapat terjadi gangguan lapangan pandang dan pandangan kabur pada pasien dengan tumor pituitari dengan produksi ACTH berlebih yang menekan chiasma opticum. 4. Perawatan Perawatan sindrom Cushing diarahkan kepada penyebab utama sindrom tersebut. Secara umum, perawatan diarahkan untuk menurunkan kortisol ke nilai normal dan mengurangi resiko komorbiditas. Perawatan pilihan untuk pasien dengan tumor adalah pengangkatan tumor penyebab secara operatif. Perawatan pilihan untuk sindrom Cushing eksogen adalah penurunan bertahap kadar glukokortikoid yang dikonsumsinya. Terapi medis dapat digunakan untuk menghambat produksi steroid endogen. Obat-obat yang digunakan seperti adalah metotane, sediaan yang

menghambat

steroidogenesis

ketokonazol,

metyrapone, aminoglutethimide, trilostane dan etomidate. Tetapi

obat-obat ini jarang digunakan dan seringkali memiliki efek toksik pada dosis yang diperlukan untuk menghambat sekresi kortisol. Efek obat-obat ini harus selalu di pantau sesering mungkin dengan pengukuran kadar kortisol urin.

C. Diagnosis banding 1. Endogen Klasifikasi dan Etiologi Sindroma Cushing a. ACTH-dependen 1) Penyakit Cushing 2) Sindroma ACTH ektopik b. ACTH-independen 1) Adenoma adrenal 2) Karsinoma adrenal

1) Penyakit Cushing : Merupakan tipe sindroma Cushing yang paling sering ditemukan dan berjumlah kira-kira 70% dari kasus yang dilaporkan. Penyakit Cushing lebih sering pada wanita dari pada pria (rasio wanita; pria kira-kira 8:1) dan umur saat diagnosis biasanya antara 20 dan 40 tahun. 2) Hipersekresi ACTH Ektopik : Kelainan ini berjumlah sekitar 15% dari seluruh kasus sindroma Cushing. Sekresi ACTH ektopik paling sering terjadi akibat karsinoma small cell di paru-paru; tumor ini menjadi penyebab pada 50% kasus sindroma tersebut. Hipersekresi ACTH ektopik diperkirakan terjadi pada 0,5-2% pasien dengan tumor ini. 3) Tumor-tumor Adrenal Primer : Tumor-tumor primer adrenal, menyebabkan 17-19% kasus-kasus sindroma Cushing; adenoma dan karsinoma terjadi dalam jumlah jumlah kurang lebih sama dengan dewasa.

4) Sindroma Cushing pada Masa Kanak-kanak: Karsinoma adrenal merupakan penyebab yang paling sering dijumpai (51 %), adenoma adrenal terdapat sebanyak 14%. Tumor-tumor ini lebih terjadi pada usia 1 dan 8 tahun.

Etiologi dan Patogenesis 1) Penyakit Cushing : sel-kortikotrof yang timbul spontan dari adenoma hipofisis merupakan penyebab primer dan akibat dari hiperplasia ACTH serta hiperkortisolisme menyebabkan timbulnya abnormalitas-abnormalitas endokrin yang khas serta disfungsi hipotalamus. 2) Sindroma ACTH Ektopik : Sindroma ini timbul bila terdapat tumortumor non hipofisis yang mensintesis dan mensekresi ACTH yang aktif secara biologis dalam jumlah berlebihan. Peptida-peptida -LPH dan P-endorfin yang berkaitan juga disintesis dan disekresi, sebagai fragmen-fragmen ACTH yang inaktif. Produksi CRH juga telah diperlihatkan pada tumor ektopik yang mensekresi ACTH, tapi apakah CRH memainkan peranan dalam pathogenesis masih belum jelas. Sindroma ACTH ektopik terjadi terutama hanya pada sejumlah kecil tumor dengan jenis-jenis tertentu (Tabel 2); karsinoma small cell pada paru paru menjadi penyebab pada 50% kasus. 3) Tumor-tumor Adrenal : Adenoma-adenoma dan karsinomakarsinoma adrenal yang memproduksi glukokortikoid timbul secara spontan. Tumor-tumor ini tidak dipengaruhi oleh hipotalamushipofisis dan secara otonom mensekresi steroid-steroid

adrenokortikal. Yang lebih jarang, timbul karsinoma-karsinoma adrenal akibat adanya hipersekresi ACTH yang berlangsung kronis pada pasien-pasien penyakit Cushing dan hiperplasia nodular adrenal ataupun hiperplasia adrenal kongenital.

Tumor-tumor Penyebab Sindroma ACTH Ektopik a) Karsinoma small cell di paru-paru (sekitar 50% kasus) b) Tumor-tumor sel pulau-pulau pankreas c) Tumor-tumor karsinoid (paru-paru, timus, usus, pankreas, ovarium) d) Karsinoma modular firoid e) Feokromositoma dan tumor-tumor yang berkaitan

Patofisiologi 1) Penyakit Cushing : Pada penyakit Cushing, hipersekresi ACTH berlangsung secara episodik dan acak serta menyebabkan

hipersekresi kortisol dan tidak terdapat irama sirkadian yang normal. Inhibisi umpan-balik ACTH (yang disekresi dari adenoma hipofisis) oleh kadar glukokortikoid yang fisiologis tidak ada. jadi, hipersekresi ACTH terus menetap walaupun terdapat peningkatan sekresi kortisol dan menyebabkan berlebihan glukokortikoid kronis. Sekresi ACTH dan kortisol yang berlangsung episodik menyebabkan kadarnya tidak menentu di dalam plasma yang suatu saat dapat berada dalam batas normal. Tetapi, hasil pemeriksaan kecepatan produksi kortisol. kortisol bebas dalam urin atau kadar kortisol secara multipel yang diambil dari contoh darah di waktu-waktu tertentu selama 24 jam memastikan adanya hipersekresi kortisol . Sebagai tambahan, karena tidak adanya variabilitas diurnal, kadar ACTH dan kortisol dalam plasma tetap meninggi sepanjang hari. Keseluruhan peningkatan sekresi glukokortikoid ini menyebabkan terjadinya manifestasi-manifestasi sindroma Cushing; tetapi, biasanya sekresi ACTH dan -LPH tidak cukup meningkat sehingga dapat menyebabkan hiperpigmentasi.

a) Abnormalitas sekresi ACTH- Walaupun terdapat hipersekresi ACTH, respons terhadap stres tidak ada, stimulasi-stimulasi seperti hipoglikemia atau tindakan pembedahan gagal untuk meningkatkan sekresi ACTH dan kortisol lebih lanjut. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya supresi fungsi hipotalamus dan sekresi CRH oleh hiperkortisolisme, yang menyebabkan hilangnya kontrol hipotalamus pada sekresi ACTH. b) Efek kortisol yang berlebihan- Kortisol yang berlebihan tidak hanya menghambat fungsi hipotalamus dan hipofisis yang normal, mempengaruhi pelepasan ACTH, tirotropin, GH dan gonadotropin, tetapi juga mempengaruhi semua sistim akibat efek sistemik glukokortikoid yang berlebihan . c) Androgen yang berlebihan- Sekresi androgen oleh adrenal juga meningkat pada penyakit Cushing dan derajat berlebihnya androgen paralel dengan ACTH serta kortisol. Jadi kadar DHEA sulfat dan androstenedion dalam plasma meningkat dalam tingkat sedang pada penyakit Cushing; konversi perifer hormonhormon ini menjadi testosteron dan dihidrotestosteron menyebabkan kelebihan androgen. Pada wanita hal ini menyebabkan hirsutisme, akne dan amenorea. Pada pria pasien penyakit Cushing, supresi LH oleh kortisol akan menyebabkan penurunan sekresi testosteron oleh testis,

menyebabkan menurunnya libido dan impotensi. Peningkatan sekresi androgen adrenal tidak cukup untuk mengkompensasi terjadinya penurunan produksi testosteron gonadal. 2) Sindroma ACTH Ektopik: Hipersekresi ACTH dan kortisol biasanya lebih banyak pada pasien-pasien kelainan ini dibandingkan pasien pasien penyakit Cushing. Hipersekresi ACTH dan kortisol terjadi secara episodik acak, dan kadarnya sering sangat meningkat.

3) Tumor-tumor Adrenal : a) Sekresi otonom- Tumor-tumor primer, baik karsinoma maupun adenoma, akan menyebabkan hipersekresi kortisol secara otonom. Kadar ACTH yang bersirkulasi dalam plasma mengalami supresi, menyebabkan atrofi korteks pada adrenal yang tidak bertumor. Sekresi episodik secara acak, dan tumor-tumor ini khas yaitu tidak berespons terhadap dilakukannya manipulasi aksis hipotalamushipofisis dengan obat-obat farmakologis seperti deksametason dan metirapon. b) Adenoma-adenoma adrenal- Sindroma Cushing yang disebabkan adenoma adrenal secara tipikal menimbulkan hanya manifestasi-manifestasi klinis berupa glukokortikoid berlebihan, karena biasanya hanya mensekresi kortisol. Jadi, adanya androgen atau mineralokortikoid yang berlebihan harus dipikirkan

disebabkan oleh tumor yang berupa karsinoma adrenokortikal. c) Karsinoma-karsinoma adrenal- Karsinoma adrenal sering menyebabkan hipersekresi steroid-steroid adrenokortikal multipel dan prekursor-prekursornya. Kortisol dan androgen-androgen adalah steroid-steroid yang paling sering disekresi dalam jumlah yang berlebihan. Manifestasi-manifestasi klinis hiperkortisolisme biasanya berat dan cepat progresif pada pasien-pasien ini. Pada wanita, jelas terdapat gambaran androgen yang berlebihan; kadang-kadang dapat terjadi virilisasi. Sering terjadi hipertensi dan hipokalsemia; hal ini penting, paling sering terjadi; akibat efek mineralokortikoid kortisot, yang lebih jarang, juga terdapat hipersekresi DOC dan aldosteron.

2. Eksogen Sindrom Cushing biasanya disebabkan oleh paparan terhadap glukokortikoid, yang digunakan untuk mengobati penyakit inflamasi.

D. Farmakologi kortikostreoid 1. Toksisitas Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid dapat sangat beragam. Penggunaan obat tersebut harus ditimbang secara cermat pada masing-masing pasien untuk melawan efek obat yang luas pada setiap bagian organisme. Efek tak diinginkan yang utama dari glukokortikoid merupakan hasil kerja hormon glukokortikoid tersebut yang selanjutnya menyebabkan gambaran klinis sindrom cushing iatrogenik. Ketika glukokortikoid tersebut digunakan untuk waktu pendek (kurang dari 2 minggu), tidak lazim terjadi efek yang tidak diinginkan yang serius bahkan walaupun pada pemberian dosis yang cukup besar. Meskipun demikian, kadangkala terjadi insomnia, perubahan perilaku, dan ulkus peptikum akut, bahkan yang hanya setelah beberapa hari pengobatan. 2. Indikasi Radang kronis sendi, artritis reumatoid, spondilitis ankilosa, bursitis kronis, diberikan saat kambuh hebat dan tidak dapat diatasi dengan NSAID. Alergi hebat yang tidak dapat diatasi hanya dengan anti-histamin seperti rhinitis allergik, serum sickness, asthma

bronchial yang tidak dapat diatasi anti-asma, reaksi alergi akibat obat, dermatitis kontak atau atopik. Penyakit mata , akibat reaksi allergi yang hebat, dan tidak memberikan respons obat topical. Ulserasi cornea akibat alergi, allergic conjunctivitis, keratitis, dan neurotis optika. 3. Kontraindikasi Obat-obat tersebut harus digunakan dengan hati-hati sekali pada pasien dengan ulkus peptikum, sakit jantung atau hipertensi dengan gagal jantung kongestif, infeksi, psikosis, diabetes, osteoporosis, glaukoma, atau infeksi herpes simpleks.

4. Efek Samping Kortikosteroid jarang menimbulkan efek samping jika hanya digunakan dalam waktu singkat dan non-sistemik. Namun apabila digunakan untuk jangka waktu yang lama dapat menimbulkan beragam efek samping. Ada dua penyebab timbulnya efek samping pada penggunaan kortikosteroid. Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara tiba-tiba atau pemberian terus menerus terutama dengan dosis besar. Efek samping yang dapat timbul antara lain: a. Insufisiensi adrenal akut/krisis adrenal Pemberian kortikosteroid jangka lama (>2 minggu) yang dihentikan secara mendadak dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis adrenal). Insufisensi adrenal akut sebaiknya dibedakan dari Addison disease, di mana pada Addison disease terjadi destruksi adrenokorteks oleh bermacam penyebab (mis.autoimun, granulomatosa, keganasan dll). Insufisiensi adrenal akut terjadi akibat penekanan sumbu hipothalamushipofisis-adrenal oleh kortikosteroid eksogen, sehingga kelenjar adrenal kurang memproduksi kortikosteroid endogen. Pada saat kortikosteroid eksogen dihentikan, terjadilah kekurangan kortikosteroid (endogen). Dapat terjadi kehilangan ion Na+ dan shock, terkait aktivitas mineralokortikoid yang ikut berkurang. Gejala yang timbul antara lain gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa lemah, hipotensi, demam, mialgia, dan arthralgia. Hal ini diatasi dengan pemberian hidrokortison, disertai asupan air, Na+, Cl-, dan glukosa secepatnya. Untuk menghindari insufisiensi adrenal maka penghentian penggunaan kortikosteroid harus secara perlahan /bertahap.

b. Habitus Cushing Penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu lama

menyebabkan kondisi hiperkortisme sehingga menimbulkan gambaran habitus Cushing. Kortikosteroid yang berlebihan akan memicu katabolisme lemak sehingga terjadi redistribusi lemak di bagian tertentu tubuh. Gejala yang timbul antara lain moon face, buffalo hump, penumpukan lemak supraklavikular, ekstremitas kurus, striae, acne dan hirsutism. Moon face dan buffalo hump disebabkan redistribusi/akumulasi lemak di wajah dan punggung. Striae (parut kulit berwarna merah muda) muncul akibat peregangan kulit (stretching) di daerah perut yang disebabkan oleh akumulasi lemak subkutan. c. Hiperglikemia dan glikosuria Karena kortikosteroid glukosa (glukokortikoid) yaitu berperan dalam

memetabolisme

melalui

peningkatan

glukoneogenesis dan aktivitas enzim glukosa-6-pospat, maka akan timbul gejala berupa peninggian kadar glukosa dalam darah sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuria. Dapat juga terjadi resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa, sehingga menyebabkan diabetes steroid (steroid-induced diabetes). d. Penurunan absorpsi kalsium intestinal Penelitian menunjukkan bahwa betametason serta prednison menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di intestinal dalam jumlah signifikan. Hal ini dapat membuat keseimbangan kalsium yang negatif. e. Keseimbangan nitrogen negative Kortikosteroid juga menyebabkan mobilisasi asam amino dari jaringan ekstrahepatik, yang digunakan sebagai substrat untuk glukoneogenesis. Hal ini menyebabkan tingginya kadar asam amino dalam plasma, peningkatan pembentukan urea, dan keseimbangan nitrogen negatif.

f. Mudah terkena infeksi Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek antiinflamatik. Efek antiinflamatik ini terjadi melalui mekanisme salah satunya penekanan aktifitas fosfolipase sehingga mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien. Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi peradangan, namun dapat memudahkan pasien terkena infeksi. Oleh karena itu pada pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamatik sebaiknya disertakan dengan pemberian antibiotik/antifungal untuk

mencegah infeksi. g. Tukak peptik Tukak peptik merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan radiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan. Pemberian dosis besar sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi, dan di antara waktu makan diberikan antasida (bila perlu). Perforasi yang terjadi sewaktu terapi kortikosteroid dosis besar sangat berbahaya karena dapat berlangsung dengan gejala klinis minimal. h. Osteoporosis (steroid-induced osteoporosis) Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara menghambat pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama malah menghambat pembentukan tulang (sintesis protein di osteoblast) dan meningkatkan resorpsi sehingga memicu terjadinya osteoporosis. Selain itu juga menurunkan absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal dan meningkatkan ekskresinya melalui ginjal, sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan PTH yang menyebabkan resorpsi.

Salah satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat osteoporosis dan kompresi. i. Miopatik Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat menyebabkan berkurangnya massa otot, sehingga

menimbulkan kelemahan dan miopatik. Miopatik biasanya terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan pelvis, dan pada pengobatan dengan dosis besar. Miopatik merupakan komplikasi berat dan obat harus segera dihentikan. j. Psikosis Psikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi. Kemungkinan hal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan elektrolit dalam otak, sehingga mempengaruhi kepekaan otak. Berbagai bentuk gangguan jiwa dapat muncul, antara lain: nervositas, insomnia, psikopatik, skizofrenik, kecenderungan bunuh diri. Gangguan jiwa akibat penggunaan hormon ini dapat hilang segera atau dalam beberapa bulan setelah obat dihentikan. k. Hiperkoagubilitas darah Hiperkoagulabilitas darah dengan kejadian tromboemboli telah ditemukan terutama pada pasien yang mempunyai penyakit yang memudahkan terjadinya trombosis intravaskular.

Pengobatan kortikosteroid dosis besar pada pasien ini, harus disertai pemberian antikoagulan sebagai terapi profilaksis. l. Pertumbuhan terhambat Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat

menyebabkan pertumbuhan terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat growth hormone. Selain itu kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi sekresi PTH yang meningkatkan aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga

menghambat hormon-hormon gonad, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan proses penulangan sehingga

menghambat pertumbuhan. m. Peningkatan tekanan darah Kortikosteroid dengan efek mineralokortikoidnya dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah/hipertensi. Yaitu efek retensi sodium yang mengakibatkan retensi air dan peninggian tekanan darah. Beberapa obat dengan efek mineralokortikoid kuat antara lain fludrokortison dan hidrokortison. n. Glaukoma (steroid-induced glaucoma) Patofisiologi glaukoma akibat kortikosteroid belum

diketahui dengan baik. Diduga terdapat defek berupa peningkatan akumulasi glikosaminoglikan atau peningkatan aktivitas respons protein trabecular-meshwork inducible glucocorticoid (TIGR) sehingga menyebabkan obstruksi cairan. Selain itu bukti lain mengisyaratkan terjadi perubahan sitoskeleton yang menghambat pinositosis aqueous humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans dan menyebabkan akumulasi. Dan masih ada beberapa efek samping lain seperti katarak, peninggian kolesterol LDL, ginekomastia, akne, virilisasi,

pembesaran prostat, sterilitas dll. Mekanisme terjadinya beragam efek samping ini masih ada yang belum diketahui dan sedang diteliti. 5. Pencegahan Pasien yang mendapat obat-obat tersebut harus dipantau dengan cermat untuk mengetahui terjadinya hiperglikemia, glikosuria, retensi natrium dengan edema atau hipertensi, hipokalemia, ulkus peptikum, osteoporosis, dan infeksi yang tersembunyi.

6. Dosis Dalam menentukan dosis regimen yang digunakan, dokter harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit, jumlah obat yang diperlukan untuk memperoleh efek yang diinginkan, dan lama terapi. Banyak cara pengaturan dosis telah digunakan dalam pemberiaan glucocorticoid. Apabila diperlukan untuk mempertahankan kadaar plasma corticosteroid yang meninghkat secaraterus menerus untuk menekan ACTH , maka dibutuhkan preparat parenteralyang

diabsorbsi secara perlahan atau dosis kecil peroral pada interval yang frekuen/sering. Situasi yang berlawanan terjadi dalam hal penggunaan corticosteroid pada pengobatan inflamasi dan alergi. Kuantitas total yang sama yang diberikan dalam beberapa dosis mungkin lebih efektif daripada cara pemberian dalam banyak dosis yang lebih kecil, ataudalam bentuk parenteral yang diabsorbsi secara perlahan. Untuk memperkecil deposisi kompleks imun dan aliran masuk leukosit dan makrofagh, pada awalnya dibutuhkan 1 mg/kg/hari prednison dalam dosis yang teerbagi. Dosis tersebut dipertahankan sampai terjadi respon yang berupa manifesatasi yang serius , kemudian dosis tersebut dapat diturunkan secara bertahap. Jadwal tipikal untuk pasien yang menerima dosis pemeliharaan 50 mg prednisone perhari dapat dilakukan sebagai berikut:
Hari 1 : 50 mg 2 : 40 mg 3 : 60 mg 4 : 30 mg 5 : 70 mg 6 : 10 mg Hari 7 : 75 mg 8 : 5 mg 9 : 70 mg 10 : 5 mg 11 : 65 mg 12 : 5 mg

Pemilihan obat untuk digunakan dalam dosis besar, dianjurkan untik menggunakan steroid sintetis dengan masa kerja menengah atau medium dan dengan sedikit efek mineralocorticoid. Jika

memungkinkan steroid tersebut seyogyanya diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari.

7. Bentuk dosis khusus Penggunaan terapi lokal seperti sediaan topikal untuk penyakit kulit, sediaan oftalmik untuk sakit mata, injeksi intra-artikuler untuk penyakit sendi, steroid hirup untuk penyakit asma dan enema hydrocortisone untuk kolitis ulserativa. Memberikan sarana

penyediaan sarana sejumlah besar steroid ke jaringan yang sakit dengan sedikit efek sistemik.

E. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium : a. Kadar Gula Darah Hiperglikemia pada keadaan puasa atau diabetes klinis terjadi hanya pada 10-15% pasien; lebih sering dijumpai adanya hiperglikemia postprandial. b. Kadar GlukosaUrin Glikosuria terdapat pada pasien-pasien yang mengalami

hiperglikemia postprandial atau pada keadaan puasa. c. Kadar Insulin Sebagian besar pasien mengalami hiperinsulinemia dan hasil uji toleransi glukosa yang abnormal. d. Kadar Kortisol Urin dan Plasma Kortisol bebas dalam urin dengan uji deksametason semalaman Dugaan adanya hiperkortisolisme diselidiki dengan melakukan uji supresi dengan deksametason 1mg semalaman disertai pengukuran kadar kortisol bebas dalam contoh urin yang dikumpulkan selama 24 jam dengan metode pemeriksaan pada pasien yang dirawat jalan. Bila uji supresi semalaman normal (kortisol plasma < 5 mikrogram/dL 10,14 mikromol/L]), diagnosis tersebut mungkin dapat disingkirkan; bila kadar kortisol bebas dalam urin juga normal, kemungkinan adanya

sindroma Cushing dapat disingkirkan. Bila kedua uji tersebut memberikan hasil abnormal, terdapat hiperkortisolisme dan diagnosis adanya sindroma Cushing dapat dipastikan bila keadaan-keadaan yang menyebabkan hasil positif palsu dapat disingkirkan . Uji deksametason dosis rendah selama 2 hari Pada pasien dengan hasil yang meragukan atau dalam nilai batas, dilakukan uji supresi deksametason dosis rendah selama 2 hari. Respons normal terhadap uji ini berupa kadar 17-hidroksi kortikosteroid yang kurang dari 4 mg/24 jam (11,2 pmol/24 jam) (atau 1 mg/gram kreatinin [0,3 mmol mol kreatinin)) dan kadar kortisol bebas kurang dari 25 mikrogram/24jam (69 nmol/24 jam), dan kortisol plasma kurang dari 5 mikrogram/dL (0,14 mikromol/L). Respons yang normal menyingkirkan kemungkinan adanya sindroma Cushing; hasil supresi yang abnormal sesuaikan dengan diagnosis, karena insidens respons terjadinya hasil positif palsu dapat disingkirkan. e. Kadar Kalsium Urin Terdapat hiperkalsiuria pada 40% kasus. 2. Pemeriksaan Foto Rontgen : Pemeriksaan radiologi rutin mungkin menunjukkan adanya

kardiomegali akibat penyakit jantung hipertensif atau aterosklerosis sebagai salah satu penyakit yang timbul akibat Sindrom Chusing. Mungkin pula ditemukan adanya fraktur kompresi pada vertebra, fraktur iga-iga dan batu ginjal. 3. Pemeriksaan Elektrokardiografi : Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan adanya gambaran hipertensi, iskemik dan perubahan-perubahan yang diinduksi elektrolit. 4. Pemeriksaan CT Scan Hipofisis dan Kelenjar Adrenal

F. Alur Diagnostik Tanda klinik Osteoporosis Diabetes Melitus Hipertensi Diastolik Adipositas Sentral Hirsutisme dan amenorea

Tes Skrining Kortisol plasma pada jam 08.00>140nmol/L (5g/dL) setelah 1mg deksamentason pada tengah malam; kortisol bebas urin>275 nmol/L (100ug/hari)

Tes supresi deksamentason Respon kortisol pada hari ke-2 menjadi 0,5mg per 6 jam

Respon normal

Respon abnormal Sindrom Cushing

Tes supresi deksametason dosis tinggi

Supresi Hiperplasia adrenal sekunder terhadap sekresi ACTH hipofisis

Tidak ada respon -hiperplasia adrenal sekunder terhadap tumor yang menghasilkan ACTH -Neoplasma Adrenal
ACTH plasma

ACTH tinggi hiperplasia adrenal sekunder terhadap tumor yang menghasilkan ACTH
Pencitraan pituitari

ACTH Rendah Neoplasia Adrenal

17-ks urin/ Dhea sulfat serum

Positif Adenoma hipofisis

Negatif Tumor Ektopik

Tinggi Karsinoma Adrenal

Normal-rendah Adenoma Adrenal

VIII. Kesimpulan Tn. S mengalami Sindrom Cushing karena hiperkortisolisme terkait konsumsi kortikosteroid eksogen dalam jangka waktu yang panjang.

You might also like