You are on page 1of 10

2005 Egawati Hardjono, SH Makalah individu Filsafat Sains, t.a.

2004/2005 Program MM, Pasca Sarjana Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta. Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

Posted 19 May, 2005

ANALISIS HUKUM DALAM MERANCANG KONTRAK


Oleh: Egawati Hardjono, SH

BAB I PENDAHULUAN
Dalam dunia bisnis, kontrak sangat banyak dipergunakan orang bahkan hampir semua kegiatan bisnis diawali oleh adanya kontrak meskipun kontrak dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun. Dalam tampilannya yang klasik untuk istilah kontrak ini sering disebut dengan istilah perjanjian sebagai terjemahan dari agreementdalam bahasa Inggris. Yang dimaksud dengan kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan hubungan hukum. Selanjutnya ada juga yang memberikan pengertian kepada kontrak sebagai suatu perjanjian dimana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi / kelalaian yang dilakukan oleh salah satu pihak yang melanggar kesepakatan dari kontrak tersebut. Agar kehidupan dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik dan teratur maka dibutuhkan adanya aturan mengenai etika hidup, kesopanan, kesusilaan dan peraturanperaturan yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain agar kehidupan dalam masyarakat berjalan dengan tertib dan teratur. Peraturan-peraturan tersebut harus dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib yaitu pemerintah agar dapat berlaku umum untuk seluruh masyarakat. Agar peraturan

tersebut ditaati oleh seluruh anggota masyarakat maka dibutuhkan adanya sangsi yang tegas yang dapat menindak setiap anggota masyarakat yang melanggar peraturan tersebut. Adapun sangsi yang dijatuhkan bentuknya dapat bermacam-macam tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat tersebut. Antara lain sangsi dapat berupa hukuman badan (dihukum penjara), denda / ganti rugi, atau dapat juga dijatuhi hukuman peralihan resiko. Dalam kertas kerja ini yang akan dibahas lebih difokuskan kepada hubungan antar manusia dalam pergaulan hidup di masyarakat yang berkaitan dengan bidang perikatan dan perjanjian yang banyak ditemui dalam masyarakat, misalnya bagaimana membuat suatu kontrak yang sah karena itu perlu mempelajari pengetahuan dasar mengenai hukum perjanjian atau perikatan itu sendiri agar tidak melanggar hukum.

BAB II SYARAT SAHNYA SUATU PERJANJIAN


Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti bertemu dengan hukum beserta segala aspeknya yang harus dipatuhi agar tidak terkena sangsinya atau akibatnya, karena kita awam dalam hukum, misalnya kalau hendak membeli mobil atau motor dengan mencicil (leasing), menyewa atau mengontrak rumah, melakukan perjanjian jual beli dan sebagainya. Dalam menyiapkan dan merancang suatu perjanjian tertulis atau kontrak, pertamatama diperlukan pengetahuan dasar tentang perjanjian atau kontrak itu sendiri agar perjanjian yang dibuat tidak cacat hukum. Dengan sendirinya tahap awal yang harus ditempuh adalah mempelajari hukum perjanjian atau perikatan, terutama yang berkaitan dengan pembuatan suatu kontrak. Dalam merancang suatu kontrak jangan sampai terdapat cacat hukum yang dapat mengakibatkan perjanjian dibatalkan atau batal demi hukum. Persyaratan untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: 1) Adanya kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian. 2) Adanya kemampuan dari para pihak yang membuat perjanjian. 3) Adanya objek atau hal tertentu. 4) Adanya sebab atau causa yang halal / legal.
2

Keempat syarat ini harus dipenuhi bagi setiap orang yang akan membuat perjanjian agar perjanjian yang dibuatnya sah menurut hukum, bila keempat syarat ini sudah dipenuhi maka sahlah perjanjian tersebut dan berlakulah Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, jadi bila salah satu syarat dilanggar akan mengakibatkan perjanjian dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalannya di pengadilan atau batal demi hukum. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan masing-masing syarat tersebut dengan akibat hukumnya. Syarat-1 : Adanya Kesepakatan, artinya pihak-pihak yang membuat perjanjian itu harus memberikan persetujuan secara bebas, sadar dan bertanggung jawab, tidak ada paksaan, tidak ada kehilafan dan tidak ada penipuan. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata: kesepakatan itu sah apabila diberikan tidak karena kehilafan atau tidak dengan paksaan ataupun tidak karena penipuan. Bila perjanjian yang dilakukan tidak sesuai dengan isi pasal 1321 KUHPerdata maka kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjian yang dibuat menjadi perjanjian yang cacat dan perjanjian itu dapat dibatalkan atau dimintakan pembatalannya kepada hakim melalui pengadilan. Syarat-2 : Adanya Kecakapan, dari orang-orang yang membuat perjanjian. Apakah yang dimaksudkan dengan kecakapan menurut Undang-Undang ? Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang cakap berbuat (bevoegd) ? Menurut ketentuan yang berlaku, semua orang dianggap cakap / berwenang untuk membuat perjanjian / kontrak kecuali mereka yang tergolong dalam: 1. Orang yang belum dewasa; 2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan / curatele; 3. Wanita bersuami; 4. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata: orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang-orang yang telah dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3

Seorang yang cakap menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur 21 tahun. (Pasal 330 KUH Perdata) Siapakah yang dimaksud dengan orang yang ditaruh di bawah pengampuan ? Menurut Pasal 433 KUHPerdata, orang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah : 1. Orang yang dungu. 2. Orang gila (tidak waras pikiran). 3. Orang yang mata gelap. 4. Orang yang boros. Mengenai orang perempuan yang dinyatakan tidak cakap adalah wanita yang bersuami, menurut Pasal 1330 ayat 3 KUHPerdata, rational dari ketentuan ini adalah agar dalam satu rumah tangga jangan ada dua nahkoda tetapi dengan berkembangnya emansipasi wanita maka ketidakcakapan isteri hanya dalam bidang hukum kekayaan saja dan tidak dalam bidang-bidang lainnya. Mengenai orang-orang yang dilarang oleh UU melakukan perjanjian adalah : antara suami isteri tidak boleh melakukan kontrak jual beli, hakim, jaksa, pengacara, jurusita dan notaris tidak boleh menerima penyerahan untuk menjadi pemilik bagi dirinya sendiri untuk tuntutan yang menjadi pokok perkara. Pegawai dalam jabatan umum dilarang membeli untuk dirinya sendiri barangbarang yang dijual di hadapan mereka. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat mengakibatkan perjanjian dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak yang dirugikan. Syarat pertama (1) dan kedua (2) disebut syarat subjektif dimana menurut pasal 1454 KUH Perdata, tenggang waktu permintaan pembatalan perjanjian ini dibatasi hingga 5 (lima) tahun. Syarat-3 : Adanya Objek / Perihal Tertentu. Suatu kontrak haruslah mempunyai objek tertentu. Beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang terhadap objek tertentu dari suatu perjanjian : 1. Barang yang merupakan objek perjanjian / kontrak, haruslah barang yang dapat diperdagangkan. 2. Pada saat perjanjian / kontrak dibuat, minimal barang tersebut sudah dapat ditentukan jenisnya.

3. Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat ditentukan atau dihitung, misalnya hasil panen padi suatu sawah di musim panen pada tahun mendatang. Menurut undang-undang hal ini tidak menjadi halangan, asalkan jumlah barang itu kemudian ditentukan atau dihitung (pasal 1333 ayat 2 KUH Perdata). 4. Tetapi tidak dapat dibuat kontrak terhadap barang yang masih ada dalam warisan yang belum terbuka (pasal 1334 ayat 2 KUH Perdata). Syarat ketiga (3) ini bila dilanggar maka perjanjian batal demi hukum. Syarat-4 : Suatu Sebab Yang Halal Atau Legal. Dari persyaratan tersebut dikatakan bahwa isi suatu perjanjian harus memuat suatu kausa yang diperbolehkan oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan, misalnya suatu perjanjian untuk melakukan kejahatan atau mencemarkan nama baik seseorang, itu melanggar syarat sebab yang legal atau syarat keempat (4). Bila syarat keempat (4) ini dilanggar maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Syarat ketiga (3) dan keempat (4) ini disebut syarat objektif, karena syarat ini terletak pada objek atau isi perjanjian. Jika syarat ketiga (3) dan keempat (4) ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum.

BAB III MERANCANG SUATU KONTRAK


Setelah membahas mengenai syarat-syarat agar suatu perjanjian / kontrak itu sah menurut hukum maka perlu kita ketahui bahwa kontrak itu adalah perjanjian tertulis bahkan lebih menjurus pada pembuatan akta. Untuk lebih jelas perlu diketahui apa yang dimaksud dengan kontrak dan akta. Kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Akta adalah suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh seseorang atau oleh pihak-pihak dengan maksud dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses hukum. Surat-surat akta dapat dibedakan antara surat akta resmi atau otentik dengan surat akta dibawah tangan atau onderhands.
5

Suatu akta otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang dan dibuat di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu. Keistimewaan dari akta otentik ini adalah merupakan alat pembuktian yang sempurna terutama mengenai waktu, tanggal pembuatan, isi perjanjian, penandatangannan, tempat pembuatan dan dasar hukumnya. Kalau kebenarannya dibantah, si penyangkal harus membuktikan ketidakbenaran-nya dan bila diajukan sebagai alat bukti kepada hakim maka hakim harus menerimanya. Sedangkan akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tidak oleh seorang pejabat umum melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan tidak terikat bentuk formal / bebas. Dalam hal bila para pihak yang membuat perjanjian tersebut mengakui dan tidak menyangkal tanda-tangannya maka akta dibawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta otentik. Tetapi bila kebenarannya disangkal maka pihak yang mengajukannya sebagai bukti, harus membuktikan kebenarannya melalui bukti-bukti atau saksi-saksi. Fungsi Akta Akta mempunyai dua fungsi yaitu: 1) Formalitas Causa : adalah untuk memenuhi syarat formal agar suatu perbuatan hukum sempurna yaitu : a) Harus tertulis berupa akta dibawah tangan atau b) Harus dengan akta otentik. 2) Probationes Causa : adalah sebagai alat bukti karena memang sejak awal dimaksudkan untuk dijadikan alat bukti (probationes). Dalam pembuatan suatu akta; akta perjanjian; akta otentik; akta dibawah tangan dan aktaakta lainnya, secara garis besar dapat dipilah menjadi bagian-bagian tertentu yaitu: 1) JUDUL (HEADING) 2) PEMBUKAAN 3) KOMPARISI PARA PIHAK 4) PREMISE (RECITALS) 5) DASAR/PERTIMBANGAN 6) ISI PERJANJIAN 7) KETENTUAN DAN PERSYARATAN 8) PENUTUP (CLOSURE)
6

9) TANDA TANGAN 10) SAKSI-SAKSI 11) LAMPIRAN Contoh : Judul SEWA-MENYEWA RUMAH Pembukaan Pada hari ini, Jumat, tanggal 22 September 2000 di Jakarta, yang bertandatangan di bawah ini: Komparisi 1. Tuan X, swasta, bertempat tinggal di Jakarta Pusat, Jl. Primadona No. 30, selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama atau Penjual. 2. Tuan Y, swasta, bertempat tinggal di Jakarta Selatan, Jl. Panjalu No. 26, selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua atau Pembeli. Premise Para pihak terlebih dahulu menerangkan sebagai berikut : Bahwa Pihak Pertama adalah pemilik tanah beserta rumah di alamat Jl. Primadona No. 30, berdasarkan sertifikat hak milik nomor ... Bahwa Pihak Pertama hendak menyewakan rumah tersebut kepada Pihak Kedua Bahwa ... dst. Isi Perjanjian Mencakup ketentuan dan persyaratan. Para pihak mencantumkan segala hal atau pokok-pokok yang dianggap perlu yang memuat secara mendetail mengenai objek perjanjian, hak dan kewajiban serta uraian secara lengkap mengenai prestasi. Penutup Setiap perjanjian tertulis selalu ditutup dengan kata: Demikian perjanjian ini dibuat dalam dua rangkap bermeterai cukup, satu rangkap untuk Pihak Pertama dan satu rangkap lagi untuk Pihak Kedua yang masing-masing

mempunyai kekuatan hukum yang sama serta ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Tanda Tangan Terdiri dari tanda tangan para pihak atau yang mewakili dan tanda tangan para saksi. Apabila yang menjadi pihak dalam perjanjian adalah bukan perorangan melainkan Badan Hukum maka di bawah tanda tangan juga disebutkan nama dan jabatannya dan dilengkapi dengan cap perusahaan di sebelah tanda tangan. Lampiran Tidak jarang surat perjanjian disertai dengan lampiran apabila terdapat hal-hal yang perlu disertakan atau dilekatkan pada perjanjian induk seperti surat kuasa, perincian harga atau macam-macam barang dengan tipenya, pelaksanaan pekerjaan atau jenisjenisnya, bentuk laporan dan sebagainya. Lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok atau induk.

BAB IV ANALISIS
Setiap perjanjian yang dibuat antara dua orang atau lebih atau antara dua perusahaan harus dibuat sesuai ketentuan yang berlaku yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320, yaitu harus ada : a) Kesepakatan. b) Kemampuan. c) Objek Tertentu. d) Sebab yang halal. Keempat syarat ini mutlak harus dilaksanakan sebab bila salah satu syarat tidak dipenuhi maka akibat hukumnya dapat minta dibatalkan dengan keputusan hakim di pengadilan, untuk syarat a) dan b). Bila syarat c) dan d) yang dilanggar maka akibat hukumnya adalah batal demi hukum. Bila semua syarat yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini dilaksanakan dengan baik maka menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang
8

Hukum Perdata: bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah (sah sesuai Pasal 1320 KUHPerdata) berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang mem-buatnya. Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata ini yang menyatakan berlaku sebagai undang-undang sehingga mengikat para pihak yang membuat perjanjian ini dan bila salah satu pihak melanggar sesuai dengan yang telah disepakati maka akan dikenakan sangsi yang tegas yaitu berupa hukuman. Hal ini penting agar tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat terutama dalam bidang perekonomian. Dalam membuat perikatan / kontrak baik berupa akta otentik maupun akta dibawah tangan, para pihak harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata agar perikatan atau kontrak yang dibuatnya tidak cacat hukum sehingga dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

BAB V PENUTUP
Perjanjian yang telah diuraikan dalam makalah ini adalah perjanjian yang terjadi dalam masyarakat yang timbul karena adanya kesepakatan antara kedua belah pihak sehingga terjadi perikatan. Jadi perikatan ini terjadi karena dikehendaki oleh kedua belah pihak secara sukarela. Ada juga perikatan yang lahir dari undang-undang, yaitu perikatan yang terjadi karena suatu peritiwa tertentu sehingga melahirkan hubungan hukum yang menimbul-kan hak dan kewajiban di antara para pihak yang bersangkutan, jadi bukan berasal dari kehendak para pihak melainkan telah ditentukan oleh undang-undang. Contoh, dengan kelahiran anak dalam perkawinan, lahirlah perikatan antara si ayah dan si anak yang sebelumnya telah ditentukan oleh undang-undang yaitu: Pasal 298 KUHPerdata Pasal 321 KUHPerdata miskin. Jadi berdasarkan uraian di atas, perikatan atau kontrak yang akan dibuat harus berlandaskan hukum yang berlaku.
9

si bapak dan si ibu, keduanya wajib memelihara dan mendidik dan tiap-tiap anak wajib memberi nafkah kepada kedua orang

sekalian anak mereka yang belum dewasa. tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis ke atas apabila mereka dalam keadaan

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Cetakan II Bandung, Penerbit Alumni. Gautama, Sudargo 1990, Contoh-Contoh Kontrak, Rekes Dan Surat Resmi Sehari-hari, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Rai Widjaya, I. G, 2003, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Edisi Revisi, Penerbit Kesaint Blanc. Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXVIII Jakarta, Penerbit PT Intermasa. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh Bandung, Penerbit PT Citra Aditya Bakti. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Cetakan Keempat belas, Bandung, Penerbit PT Intermasa. Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak, Bandung, Penerbit PT Citra Aditya Bakti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 1989, Cetakan Keduapuluh satu, Jakarta, Pt Pradnya Paramita C.S.T.Kansil, 1994, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, PT Pradnya Paramita.

10

You might also like