You are on page 1of 41

Kuliah Umum di Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), hari Kamis, 20 April 2006:

DARI HUTAN AMAZON SAMPAI KE LAPANGAN MIGAS BLOK CEPU:


Sejarah perkembangan teori ekonomi politik dan relevansinya
dalam menyoroti hubungan ekonomi Utara-Selatan
George Junus Aditjondro1

I. PENGANTAR:
UNDANGAN Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Drs. Suswanta, M.Si., Jumat, 24 Maret lalu, untuk
memberikan kuliah umum tentang Teori Ekonomi Politik, membuat saya merasa
sangat terhormat dan gembira. Mengapa? Undangan berikut kerangka acuannya
memberikan kesempatan untuk mengeksplisitkan dan mensistematisasi apa
yang selama ini sudah saya ketahui dari literatur dan sudah saya terapkan dalam
berbagai penelitian saya di berbagai daerah konflik.

Dalam makalah ini pertama-tama akan saya beberkan sejarah


perkembangan ekonomi politik sejak kemunculannya di Eropa, empat abad lalu,
sampai dengan perkembangan pasca Perang Dunia II, bahkan pasca Perang
Vietnam. Sesudah bagian yang panjang ini, saya akan beberkan sorotan ekonomi
politik terhadap hubungan Utara-Selatan dalam tradisi Marxis, yang jelas
berfihak kepada bangsa-bangsa yang masih terjajah oleh kekuasaan modal
negara-negara kapitalis lanjut. Uraian ini akan saya lanjutkan dengan pergeseran
nada dari salah seorang penganjur teori ketergantungan: Andre Gunder Frank.
Akhirnya, kuliah umum ini akan saya tutup dengan menerapkan teori
ketergantungan terhadap kasus kenaikan harga BBM, yang masih tetap sangat
penad (relevan) untuk dibicarakan, karena menyangkut nasib kaum dhuafa.

II. SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI POLITIK:


SESUNGGUHNYA, ekonomi politik tidaklah identik dengan pendekatan
ekonomi menurut mazhab Marxisme. Malah sebaliknya, label itu empat abad
terakhir telah bergeser dari kanan ke kiri, dan kini ke ‘kiri-tengah’. Dalam bagian
ini saya akan membahas kemunculan aliran fisiokrat, romantisme ekonomis, dan
aliran yang mempopulerkan istilah “ekonomi politik”, sebelum menjelaskan
1 ). M.S. dan Ph.D. dari Cornell University, Ithaca, A.S. Konsultan Yayasan Tanah Merdeka, Palu;
Anggota Dewan Penasehat Center for Democracy and Social Justice Studies (CeDSoS). Saat ini
ikut mengampu mata kuliah Marxisme, Gerakan Sosial Baru, dan Metodologi Penelitian di
Program Studi Ilmu, Religi & Budaya (IRB), Program Pasca Sarjana, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.

1
kontribusi Marx dan pengikutnya terhadap disiplin ini.

Aliran-aliran pra-Marx:
ILMUWAN Perancis A. de Monchrestien pertama kalinya menggunakan
istilah “ekonomi politik” dalam bukunya, Traite de l’economie politique, yang terbit
tahun 1613, yang menyoroti pengelolaan ekonomi negara. Buku itu merintis
jalan bagi munculnya mazhab ekonom di Perancis, yang dikenal dengan nama
physiocrat, sedangkan aliran mereka dikenal dengan istilah physiocratism.
Aliran fisiokrat ini didirikan oleh Francois Quesnay (1694-1774) di tahun 1750s.
Mereka membedakan tiga kelas sosial dalam hubungan produksi dan distribusi,
yakni (1) kelas yang produktif, atau kelas pengusaha pertanian, yaitu kelas yang
sungguh-sungguh terlibat dalam bidang pertanian, para petani penyewa dan
pekerja pertanian; mereka disebut “produktif” karena hanya kerja mereka yang
menghasilkan suatu surplus; (2) kelas yang menghak-miliki surplus itu, atau
kelas tuan tanah, termasuk para pemilik tanah dan para pembantunya, si
penguasa (prince ) dan pada umumnya semua pejabat yang dibayar oleh negara,
dan akhirnya juga Gereja dalam sifat khususnya sebagai penghak-milikan
penerima sepersepuluh penghasilan; serta (3) kelas industri atau kelas mandul;
mandul, karena dalam pandangan kaum fisiokrat, mereka hanya menambahkan
bahan-bahan mentah yang diserahkan padanya oleh kelas produktif hanya
sebesar/sejumlah nilai yang ia konsumsi berupa kebutuhan hidup yang dipasok
oleh kelas yang sama itu (Engels 2005: 326). Buat kaum fisiokrat, nilai lebih
(surplus value) hanya ada dalam bentuk sewa tanah. Kelompok ini juga
merumuskan prinsip laissez faire, perdagangan bebas tanpa campur tangan
pemerintah (Wilczynski 1984: 435, 443; Marx 1990: 298, 644).

Dengan meninggalnya Quesnay di tahun 1774, penggantinya, Jacques


Turgot, berusaha mewujudkan ide-ide fisiokrat menjadi kebijakan kerajaan
Perancis selagi menjabat sebagai kontrolir-jendral Raja Louis ke-XVI.
Lengsernya Turgot dari posisinya itu di tahun 1776 mencetuskan krisis politik
dan ekonomi, yang memuncak dalam revolusi Perancis (Fowkes 1990: 97).
Setelah surutnya aliran fisiokrat di Perancis, muncullah aliran pemikiran
ekonomi di Britania Raya, yang menentang faham merkantilisme, dengan
mengadopsi prinsip laissez faire dari para fisiokrat, dan dipengaruhi oleh
liberalisme John Stuart Mill (1806-1873) serta utilitarianisme Jeremy Bentham
(1748-1832) (Wilczynski 1984: 301).

Mazhab baru itu mulai dikenal dengan istilah “ekonomi politik” (political
economy), meminjam judul buku Sir James Steuart, Inquiry into the principles of
political economy, yang terbit di Dublin tahun 1767. Penulis buku ini adalah

2
seorang pemilik tanah besar di Skotlandia, yang diusir dari Britania Raya karena
dianggap terlibat dalam suatu komplotan. Setelah lama merantau di daratan
Eropa ia menjadi akrab dengan kondisi ekonomi di berbagai negeri. Bukunya
yang menyoroti peranan emas dan perak dalam perdagangan internasional ikut
mempengaruhi pemikiran Adam Smith dan Thomas Robert Malthus dalam hal
spesialisasi dan kependudukan (Marx 1990: 243, 473, 556, 800; Engels 2005: 334).

Istilah “ekonomi politik” kemudian dipopulerkan melalui buku David


Ricardo (1772-1823), Principles of political economy and taxation (1817); buku Jean-
Baptiste Say, Traite d’economie politique, yang edisi ketiganya terbit tahun 1817
juga; buku John Ramsay MacCulloch, The principles of political economy: With a
sketch of the rise and progress of the science (1830); buku Nassau William Senior, An
outline of the science of political economy (1836); buku Thomas Robert Malthus,
Principles of political economy (1836); serta buku-buku J.S. Mill, Essays on some
unsettled questions of political economy (1844), dan Principles of political economy
(1848) (Wilczynzki 1984: 497; Marx 1990: 1105-10).

Sambil meminjam banyak konsep dari Adam Smith (1723-90) dan David
Ricardo (1772-1823), Marx sering mengecam dengan keras tokoh-tokoh aliran
ekopol lainnya, khususnya J. B. Say (1767-1832), T. R. Malthus (1766-1834),
Frederic Bastiat (1802-50), N.W. Senior (1790-1864), J.R. MacCulloch (1789-1864),
dan J. S. Mill (1806-73), karena ia menganggap mereka telah mendistorsi
kontribusi-kontribusi ekopol klasik sebelumnya. Vulgarisasi pemikiran ekonomi
yang mereka lakukan, menurut Marx, adalah memisahkan teori ekonomi dari
analisis terhadap relasi-relasi produksi sosial, dengan asumsi bahwa prinsip-
prinsip ekonomi hasil deduksi ini dapat dianggap sebagai hukum-hukum
universal yang abadi yang berlaku bagi semua sistem sosial. Makanya, mazhab
‘ekonomi politik borjuis klasik’ ini, menurut kaum Marxis, dibagi dalam dua
periode: yakni periode laissez faire yang berlangsung sampai dengan tahun 1830,
dan periode ekopol vulgar yang mulai sesudahnya. Dalam periode pertama,
fokus mereka adalah relasi produksi ekonomi makro, maksimalisasi efisiensi
ekonomi, serta akumulasi modal melalui perusahaan swasta yang bersaing
secara bebas, tanpa intervensi negara. Sedangkan dalam periode kedua, ekopol
vulgar, yang berpengaruh sampai sekarang, fokus perhatian mereka adalah
analisis proses pasar, bersifat sangat subyektif pada kepentingan pelaku pasar
dan buta terhadap relasi-relasi sosial, sehingga mereka dituduh sebagai
pembela-pembela kapitalisme par excellence (Wilczynski 1984: 74, 631).

Ada seorang yang ‘membelot’ dari arus utama ekopol waktu itu, yakni
Jean-Charles-Leonard Sismonde de Sismondi (1773-1842). Bangsawan Swiss

3
keturunan Italia itu yang semula sangat mengagumi Adam Smith, menjadi
ekonom yang pertama kali menolak doktrin laissez faire setelah menyadari
betapa banyaknya orang miskin menjadi korban Revolusi Industri di Inggris.
Gejala pemelaratan kaum proletariat itu (immeseration of the proletariat ) yang
diamati Sismondi dituangkannya dalam bukunya, New principles of political
economy (1819). Sebelumnya, ia telah menulis buku Commercial wealth or
principles of political economy [La richese commerciale ](1803), dan sesudah kedua
buku itu, Political economy and the philosophy of government (1847) (Wilczynzki
1984: 163, 519; Lutz & Lux 1979: 30-1, 53; Marx 1990: 676, 727).

Para pengikut Marx menggolongkan Sismondi dalam mazhab


‘romantisme ekonomis’ (economic romanticism). Walaupun menjulukinya sebagai
pengritik kapitalisme yang ‘romantis’, mereka mengakui Sismondi sebagai salah
seorang pengritik kapitalisme yang paling dini. Ia mendukung teori nilai
berdasarkan kerja (labour theory of value), namun interes utamanya adalah
memperbaiki kelemahan kapitalisme. Menurutnya, kompetisi dan kemajuan
teknologi dalam sistem kapitalis akan menggusur pedagang kecil dan
menurunkan standar hidup masyarakat lus, yang pada gilirannya akan
menyebabkan krisis-krisis ekonomi yang mengancam akan meruntuhkan
seluruh sistem ekonomi. Solusinya, ia menganjurkan campur tangan negara
secara luas (Wilczynski 1990: 519-20).

Selain Sismondi, tokoh-tokoh aliran itu adalah Adam Heinrich Mueller


(1779-1829) di Jerman dan John Ruskin (1819-1900) di Inggris. Mueller terkenal
dengan bukunya, Die Elemente der Staatskunst (1809), sedangkan Ruskin terkenal
dengan bukunya, Unto this last (1862), yang sangat mempengaruhi Gandhi
sehingga meninggalkan praktek pengacaranya yang borjuis dan mulai
mengembangkan praktek sarvodaya-nya di Afrika Selatan dan kemudian di India.
Pemikir-pemikir reformasi sosial idealis ini prihatin atas nasib para bangsawan
yang jatuh miskin, produsen-produsen kecil yang gulung tikar, serta kemiskinan
kelas pekerja akibat mulai maraknya sistim pabrik di bawah kapitalisme. Mereka
menyalahkan kapitalisme industri sebagai penyebab permasalahan sosial di atas.
Namun berbeda dengan Marx dan Engels, mereka tidak menyerukan revolusi
kaum buruh untuk merebut alat-alat produksi, melainkan mengelu-elukan
sistem ekonomi domestik serta gilda di abad-abad pertengahan, dan
menganjurkan kembali ke relasi-relasi produksi pra-kapitalis (Wilczynzki 1984:
163, 519; Mandel 1990: 61; Marx 1990: 1107; Lutz & Lux 1979: 38, 280-1).

Berbeda dengan mereka yang menjulukinya ‘pengecam kapitalisme yang


romantis’, para pengikut Sismondi menghargai dia sebagai perintis aliran ketiga

4
dalam ekonomi politik, di luar aliran liberalisme (Adam Smith dkk) dan
Marxisme, yakni mazhab ‘ekonomi humanis’ (lihat Skema 1). Sesudah Sismondi,
aliran ini dikembangkan oleh Thomas Carlyle (1795-1881), John Ruskin (1819-
1900), John A. Hobson (1858-1940), Richard H. Tawney yang mengecam
kapitalisme Inggris dalam bukunya, The acquisitive society (1920)2, Nicholas
Georgescu-Roegen, Mahatma Gandhi serta E.F. Schumacher, pengarang buku
Small is beautiful (Economics as if people mattered), yang terbit tahun 1973 dan
kontan menjadi ‘Kitab Suci’ gerakan teknologi madya di dunia (Lutz & Lux 1979:
11, 51-5, 280-4; de Gaay Fortman & Thomas 1976: 35-6; Murchland 1992: 3-15).

Tokoh-tokoh yang dikelompokkan di bawah label ‘ekonomi humanis’ ini


sangat beragam filsafatnya, yang masing-masing mengundang reaksi yang
berbeda – kadang-kadang berbeda diametral – dari gerakan sosialisme radikal
yang dirintis oleh Marx dan Engels. Engels berulangkali mengutip kritik Carlyle
terhadap sifat-sifat buruk kaum borjuis Inggris dalam studinya tentang asal-
muasal kelas pekerja di Inggris (1979, pertama kali diterbitkan di Inggris tahun
1892). Namun bertolak belakang dengan harapan Engels, sesudah kebangkitan
gerakan buruh revolusioner di bulan Februari 1848, sejarawan dan filsuf idealis
Inggris berdarah Jerman itu menempatkan dirinya sebagai musuh mereka yang
kejam (Engels 1979: 318, 327).

Berbeda halnya dengan Carlyle adalah Hobson, yang oleh Lenin tetap
dipuji sebagai pengecam kapitalisme dari kacamata liberalisme yang paling
kritis. Ekonom humanis ini menjadi salah seorang ideolog Partai Buruh Inggris,
dan ikut memelopori New Liberalism di tahun 1890-an yang memperjuangkan
perencanaan ekonomi dan ‘negara kesejahteraan’ (welfare state), tapi menolak
perjuangan kelas dan determinisme analisis ekonomis a la Marx. Muak dengan
sentimen publik bangsanya yang mendukung perang melawan para migran
keturunan Belanda (Boer) di Afrika Selatan (1899-1902), Hobson menulis
Imperialism, a study, yang terbit di London tahun 1902. Teori ‘imperialisme baru’
ini sangat menggugah cendekiawan Marxis maupun non-Marxis di masa itu. Ia
menegaskan bahwa perebutan daerah jajahan di antara negara-negara Eropa
didorong oleh usaha mengamankan sumber bahan baku dan mencari pasar buat
produk industri mereka yang baru berkembang. Biaya perang untuk menguasai
daerah jajahan, menurut Hobson, seharusnya dialihkan untuk memperbaiki
kesejahteraan ekonomi rakyat Inggris lewat akses yang sama terhadap tanah,

2 ). Richard H. Tawney juga ikut menjadi penggerak Partai Buruh Inggris. Menurutnya, tugas
gerakan sosialis adalah memperluas prinsip-prinsip demokrasi dari lingkaran hak-hak sipil dan
politik, di mana hak-hak itu secara resmi sudah diakui, ke organisasi-organisasi ekonomi dan
sosial, di mana hak-hak itu secara sistematis diingkari (lihat Berki 1978: 169).

5
pendidikan, dan perundang-undangan. Pandangan Hobson yang anti-
imperialisme baru itu dikutip panjang lebar oleh Lenin dalam Imperialism, the
highest stage of capitalism, yang ditulis di Swiss tahun 1916 sebulan sebelum
kembali ke Rusia. Lenin tertarik pada wawasan Hobson, seorang non-Marxis,
yang begitu tajam mengupas perbedaan imperialisme lama yang merkantilistis
dengan imperialisme baru di mana modal menjadi ujung tombak. Lenin juga
mengutip gambaran Hobson tentang sifat imperialisme yang parasitis,
menyedot kekayaan bangsa-bangsa jajahannya. Makanya, tesis Lenin tentang
imperialisme sering disebut tesis Hobson-Lenin (lihat Farhang 1981: 35-7; Hunt
1981: 146-7; Leach 1988: 92; Wolfe 1972; Hobson 1972; Lenin 1986: 87, 93, 94, 97,
98, 110).

Skema 1: Ketiga Aliran Ekonomi Politik Yang Utama: Liberalisme


(Mainstream), Humanisme & Marxisme (sumber: Lutz & Lux 1979: 52)

Mazhab ekonomi humanis ini bergerak di antara kubu-kubu kapitalisme


dan Marxisme itu, beralaskan pada psikologi humanis Abraham Maslow.
Maslow berpandangan bahwa kebutuhan manusia bukan hanya kebutuhan
fisiologis untuk menyambung hidup, yakni makan, minum, tidur, dan tempat

6
berteduh, tapi juga keamanan, kebutuhan-kebutuhan sosial, serta kebutuhan-
kebutuhan moral yang berpuncak di aktualisasi diri (lihat Skema 2). Untuk itu,
Sismondi berusaha memperlambat laju industrialisasi di Perancis, sementara
Ruskin dan Hobson memperjuangkan humanisasi lingkungan kerja industri di
Inggris (idem).
Skema 2: Hirarki Kebutuhan menurut
psikolog humanis Abraham Maslow
(Sumber: Lutz & Lux 1979: 11)

Sesungguhnya, buat mereka yang mengenal pemikiran Marx secara utuh,


akan melihat bahwa psikologi humanis Maslow sejalan dengan humanisme
Marx (lihat Wardoyo 2003), yang diuraikan secara sangat terinci dalam Naskah-
Naskah Ekonomi dan Filsafat 1844 (Marx, t.t.: 120-1), di mana Marx mengecam
ekonomi politik Adam Smith dkk yang telah mereduksi buruh sekedar menjadi
alat produksi, dengan kata-kata sebagai berikut:

“Ekonomi politik, ilmu pengetahuan mengenai kekayaan ini, … adalah


sekaligus ilmu mengenai pengingkaran, mengenai kekurangan, mengenai
pemborosan, mengenai penghematan – dan ia sesungguhnya mencapai

7
titik di mana ia membebaskan manusia dari kebutuhan akan udara segar
ataupun pengerahan fisikal. Ilmu mengenai industri yang luar biasa ini
sekaligus merupakan ilmu mengenai asketisme, dan ideal sebenarnya
adalah si kikir yang asketik tetapi pemeras dan budak yang asketik tetapi
produktif. ….. ekonomi politik – sekalipun wujudnya yang duniawi dan
binal – adalah suatu ilmu pengetahuan moral yang sesungguhnya, yang
paling moral dari semua ilmu pengetahuan. Pengingkaran diri,
pengingkaran kehidupan dan semua kebutuhan manusia, merupakan
doktrinnya yang paling utama. Semakin sedikit anda makan, minum dan
membaca buku; semakin sedikit anda pergi ke teater, tempat dansa, balai
umum; semakin sedikit anda berpikir, bercinta, berteori, menyanyi,
melukis, bermain anggar, dsb, semakin banyak anda berhemat – semakin
besar jadinya kekayaan anda, yang tiada ngengat ataupun debu
melahapnya – modal anda. Semakin sedikit anda jadinya, semakin banyak
yang anda miliki; semakin kurang/sedikit anda mengekspresikan
kehidupan anda sendiri, semakin besar kehidupan anda yang teralienasi –
semakin besar pula muatan keberadaan anda yang dialienasi dst dst”.

Begitulah Marx menggambarkan keterasingan (alienasi) manusia, yang


ditipu oleh ekonomi politik kapitalis, seolah-olah uang dapat “membeli” semua
kebutuhan hidup manusia, termasuk cinta. Berarti, kalau diterapkan dalam
kehidupan masa kini, baik Maslow maupun Marx akan menolak ‘kebijakan’
perburuhan di mana upah hanya diarahkan untuk memenuhi KFM – kebutuhan
fisik minimum --, lapis terbawah dari hirarki kebutuhan Maslow.

Kritik Marx & Engels terhadap ketiga aliran di atas:


LALU, muncullah Marx dan Engels, yang dengan ganasnya menyadap
pemikiran Smith dan Ricardo sambil mengecam ketiga aliran ekonomi politik
yang telah disinggung di atas. Apa kritik Marx dan Engels terhadap ketiga aliran
tersebut? Pertama-tama, Francois Quesnay dikritik oleh Friedrich Engels dalam
Anti-Duehring, karena hanya membela borjuasi pertanian sambil mengabaikan
peranan dan kepentingan buruh dan petani kecil (Wilczynski 1984: 436).

Marx juga dalam Capital berkali-kali mengecam anggapan kaum fisiokrat


bahwa pekerjaan non-pertanian tidak produktif, bahwa produktivitas hasil kerja
merupakan “pemberian dari alam”, bahwa nilai lebih (surplus value) hanya ada
dalam bentuk sewa tanah, dan bahwa sewa tanah itu muncul dari dalam tanah,
dan bukan merupakan ciptaan masyarakat (Marx 1990: 176, 266, 285, 298, 644).

Selanjutnya, terhadap aliran “romantisme ekonomi” atau “ekonomi

8
humanis”, sikap Marx lebih bersahabat, sebab aliran ini juga mengambil sikap
kritis terhadap kapitalisme. Marx bahkan juga belajar dari teori akumulasi nilai-
lebih menjadi kapital (modal), seperti yang dikemukakan Sismondi. Selain itu,
Marx juga menyetujui teori ‘pemelaratan kaum proletar’ (immiseration of the
proletariat) yang dikemukakan Sismondi (Marx 1990: 727; Wilczynski 1984: 79).

Namun Marx dengan tegas menolak anjuran Sismondi dan kawan-


kawannya untuk kembali ke sistem sosial dan ekonomi pra-kapitalis, dengan
alasan sebagai berikut:
(a). moda produksi kapitalis sudah merupakan suatu keniscayaan sejarah,
karena itu tidak dapat dielakkan;
(b). bagaimanapun, kapitalisme mewakili suatu formasi sosial-ekonomi yang
lebih tinggi dari pada yang ada sebelumnya;
(c). dalam perkembangan lebih lanjut, kapitalisme akan menciptakan kondisi-
kondisi untuk kehancurannya sendiri, dan ini membuka jalan bagi sosialisme
(Wilczynzki 1984:163).

Selanjutnya, terhadap aliran “ekopol vulgar”, kritik Marx terutama


ditujukan kepada hal-hal berikut:
(a). diterimanya biaya produksi, utilitas, kelangkaan (scarcity) dan harga pasar
sebagai dasar untuk menentukan nilai, dan sebagai konsekuensinya, penolakan
terhadap teori nilai atas dasar kerja (labour theory of value);
(b). ditentukannya tanah, modal (kapital) dan kewiraswastaan (entrepreneurship)
sebagai faktor-faktor produksi serta diterimanya rente, bunga bank dan laba
sebagai sumber-sumber pendapatan perorangan yang sah;
(c). diacuhkannya pemerasan (exploitation), krisis-krisis ekonomi, tumbuhnya
monopoli-monopoli, pengangguran dan proses pemelaratan kaum proletar
dalam teori ekonomi mereka;
(d). diterimanya proposisi bahwa bekerjanya mekanisme pasar yang kompetitif
menjamin harmoni, keseimbangan ekonomi secara umum, serta tingkat
kesejahteraan sosial yang maksimal.

Kesimpulannya, Marx menganggap faham ekopol vulgar anti-ilmiah dan


merupakan pembenaran secara sistematis bagi kapitalisme sebagai sistem sosial
yang abadi (Wilczynski 1984: 631-2).

Ekopol pasca Perang Dunia II:


AKIBAT kritik dari kubu Marxis dan kubu humanis, pasca Perang Dunia
II muncullah istilah “ekopol baru” (new political economy) di negara-negara Barat.
Karakteristik pokok “ekopol baru” itu adalah kerjasama yang semakin erat

9
antara sektor publik dan sektor swasta, termasuk kerjasama yang aktif antara
pemerintah, perusahaan raksasa, dan universitas, serta mengaburnya perbedaan
antara sektor publik dan sektor swasta (Willczynski 1984: 391-2).

Ciri-ciri utama “ekopol baru” itu adalah:


(a). intervensi pemerintah secara luas di bidang sosial, ekonomi, dan ilmu
pengetahuan, yang meliputi subsidi pertanian, pembiayaan LitBang (R & D)
untuk industri swasta hyang lemah, serta bantuan di bidang kesejahteraan
rakyat secara luas.
(b). pelibatan sektor swasta dalam urusan kepentingan umum;
(c). pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat terhadap opini public
dan kebijakan pemerintah; kelompok-kelompok kepentingan itu meliputi
gerakan buruh, gerakan lingkungan, kompleks militer & industri, serta badan-
badan professional;
(d). pelayanan publik yang tidak bersifat eksklusif, dengan mengandalkan
kepakaran dari dan kerjasama dengan universitas-universitas dan badan-badan
professional;
(e). perhatian pada kualitas kehidupan dan hak-hak atas kenyamanan-
kenyamanan yang universal (Wilczynski 1984: 392).

Sementara itu, di bidang ilmu ekonomi, muncul juga di negara-negara


Barat apa yang disebut “ilmu ekonomi normatif” (normative economics), yang
tidak bersifat ‘bebas-nilai’ seperti ekonomi mainstream, melainkan di mana
penilaian sang ekonom meyangkut kepentingan-kepentingan makro-sosial
dimunculkan secara eksplisit. Ilmu ekonomi normatif berbicara tentang
bagaimana seharusnya proses-proses ekonomi itu berjalan sesuai dengan norma-
norma sosial, tidak sekedar sesuai dengan realitas ekonomi yang ada.

Menurut mazhab ekonomi ini, pertimbangan politis, sosial, dan moral


harus mengoreksi perputaran roda-roda ekonomi setiap masyarakat, demi
maksimalisasi kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Dengan demikian,
ilmu ekonomi normatif ini menolak pandangan ilmu ekonomi tradisional yang
kapitalistik, yang didasarkan pada pemilikan alat-alat produksi di tangan
swasta, pengoperasian mekanisme pasar, dan maksimalisasi laba pribadi.
Mazhab ini merupakan anti-tesis terhadap ekonomi mainstream yang
memusatkan perhatian pada pasar, sistem harga, keseimbangan Keynesian,
analisis marjinal, efisiensi mikro-ekonomi, dan individu-individu, tanpa
memperhatikan faktor-faktor sosial dan politik (Wilczynski 1984: 332, 398).

Kalau kritik ilmu ekonomi normatif terhadap perkembangan kapitalisme

10
Barat masih sangat moderat, lain halnya dengan “political economy” dan “political
economics”, yang dua-dua diterjemahkan menjadi “ekonomi politik”, ekopol.
Hibrida antara ekonomi dan politik ini tergenjot ke kiri akibat perkembangan
politik di negara-negara Barat. Sebagai reaksi terhadap imperialisme blok Barat
yang dimotori oleh AS serta imperialisme blok Timur yang dimotori oleh Uni
Soviet, lahirlah gerakan Kiri Baru (New Left) di AS dan Eropa Barat di akhir 1950-
an, yang memuncak di akhir 1960-an dan melemah di awal 1970-an. Di AS
gerakan itu dimotori oleh SDS (Students for Democratic Society), SNCC (Students
Non-Violent Coordinating Committee), Black Panther dan Negro Civil Rights
Movement. Filsafat mereka bertolak dari pemikiran 3 M (Marx, Mao dan
Marcuse), feminisme, existensialisme Sartre, anarkisme Murray Bookchin,
utopianisme Andre Gorz, analisis ekonomi Marxis Ernest Mandel, serta
Marxisme revolusioner trio “Caguho” (Castro, Guevara, Ho Chi Minh)
(Wilczynski 1984: 390-1; Aronson & Cowley 1971; Lothstein 1971).

Gerakan Kiri Baru itu serta komitmen politik banyak ilmuwan sosial
melahirkan Union for Radical Political Economics (URPE) pada tahun 1968 di
kampus Universitas Michigan, AS. Anggotanya sempat mencapai 1800 orang,
yang meliputi dosen, mahasiswa, pegawai negeri, peneliti dan aktivis bebas.
Mereka berusaha meradikalisasi mata kuliah ekonomi, dengan menyiapkan
kuliah-kuliah ekopol, serta menerbitkan jurnal Review of Radical Political Economy
yang terbit empat sampai enam kali setahun. Melalui saluran-saluran itu mereka
memasukkan humanisme dan nilai-nilai etis dalam telaah ekopol dan menolak
telaah ekonomi yang sangat fungsionalistis maupun sentralisasi ekonomi a la
Stalin (Wilczynski 1984: 443-4, 616). Berkat keaktifan gerakan itu, ekopol
diartikan sebagai berikut:

Political Economy: A term which has come to be applied by Marxists and other
left-wing radicals to economics, emphasizing the study of economic relations and
laws governing production, distribution, exchange and consumption at different
stages of society’s development.

Political Economics: A term used by the radical New Left, emphasizing the study
of economic facts, problems, processes and organization from the political and
social standpoint.

Tokoh-tokoh gerakan “ekopol radikal” muncul di AS di medio 1960-an


lalu dilanjutkan di negara-negara lain. Di antaranya, Paul A. Baran, Paul M.
Sweezy, dan Harry Magdoff di A.S.; E.L. Wheelwright, Malcolm Caldwell, Ernst

11
Utrecht,3 Rex Mortimer,4 dan Richard Robison5 di Australia; Ernest Mandel di
Eropa6; Mansour Farhang di Iran; serta Adi Sasono dan Sritua Arief7 di
Indonesia. Karya mereka tersebar lewat penerbit New Left Review di London;
penerbit Monthly Review di New York dan penerbit South End Press di Boston,
A.S.; serta jurnal Arena di Melbourne, Australia.

Semua tokoh ini diinspirasi oleh ekonomi politik Marxis, yang menentang
ekonomi mainstream di Barat yang pro-kapitalis maupun model ekonomi Stalin.
Bidang-bidang perhatian mereka adalah:
(a). transformasi masyarakat secara struktural;
(b). perencanaan ekonomi;
(c). hubungan antara kekuatan politik dan ekonomi, khususnya ekonomi swasta;
(d). soal-soal kekayaan dan distribusi pendapatan;
(e). partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan;
(f). dominasi asing oleh negara-negara besar (Wilczynski 1984: 478-9).

Akhirnya, setelah tentara AS dipaksa angkat kaki dari Vietnam Selatan,


ekopol berangsur-angsur didefinisikan secara agak ‘netral’. Di bawah payung

3 ). Ernst Utrecht adalah seorang Sarjana Hukum peranakan Jawa Belanda, yang pernah
mengajar di Universitas Hasanuddin (Makassar) dan Universitas Brawijaya (Malang). Pasca
kudeta Jenderal Soeharto tahun 1965, ia terpaksa mengungsi ke Australia. Di masa hidupnya,
almarhum banyak meneliti pengaruh maskapai-maskapai transnasional Barat, khususnya yang
berbasis di Australia, di awal era Orde Baru. Ia meninggal di Negeri Belanda.
4 ). Rex Mortimer adalah ahli ekopol Australia yang pertama kali menulis buku tentang
kediktatoran Soeharto serta ideologi ‘akselerasi modernisasi’ yang dianut Soeharto dan Asprinya,
Jenderal Ali Moertopo, atas dukungan think tank mereka, CSIS (Centre for Strategic and
International Studies ). Judul bukunya, Showcase state: The illusion of Indonesia’s accelerated
modernization (1973). Rex Mortimer, yang pernah mengajar di Port Moresby, juga sangat
mengecam imperialisme ekonomi Australia di Papua New Guinea. Ia meninggal di Australia.
5 ). Richard Robison menulis Indonesia: Rise of Capital (1986), buku kedua tentang transformasi
ekonomi Indonesia di awal era Orde Baru yang menggunakan pendekatan ekopol radikal. Ia
lama memimpin Asia Research Centre di Murdoch University di Perth, Western Australia, dan
mendidik sejumlah ahli ekopol Indonesia, a.l. Vedi Hadiz, yang sekarang berbasis di National
University of Australia. Buku karangan penulis, Korupsi kepresidenan: Reproduksi oligarki berkaki
tiga: istana, tangsi dan partai penguasa, yang diterbitkan oleh LKiS, dimungkinkan berkat bantuan
Richard Robison.
6 ). Ernest Mandel menulis Kata Pengantar yang panjang dan ilmiah bagi ketiga volume Capital
karangan Marx yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ia meninggal di bulan Juli 1995
dalam usia 72 tahun.
7 ). Di pertengahan Orde Baru, mereka berdua telah menulis buku pertama yang menerapkan
teori ketergantungan pada rezim Soeharto, sebelum Sritua Arief (alm) hijrah ke Inggris untuk
menyelesaikan studi ekonominya ke jenjang Ph.D. Setelah penerbitan buku itu, Adi Sasono
membanting setir orientasi politiknya ke kanan.

12
studi politik (political studies), ekonomi politik merupaan studi tentang “produksi
dan distribusi kekayaan dan dampak sosialnya” (production and distribution of
wealth and its social consequences) (Muschamp 1986: 5). Dictionary of Australian
Politics (Boyce 1980: 202), mendefinisikan political economy, secara lebih sebagai
berikut: The study of economics in its social, cultural and political context, revived in
the 1970s as a left-wing protest against the narrowness of orthodox economics [studi
tentang ekonomi dalam konteks sosial, budaya dan politisnya, yang dihidupkan
kembali dalam dekade 1970s sebagai protes terhadap kesempitan pandangan
ekonomi ortodoks].

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ekonomi politik berusaha


mengungkap konsekuensi ekonomis dari peristiwa-peristiwa politis, dengan
mempertanyakan siapa yang untung dan siapa yang ‘buntung’. Peristiwa-
peristiwa berdarah seperti perang, konflik komunal, operasi militer8, perebutan
suatu negeri yang digembar-gemborkan sebagai daerah miskin, seperti Timor
Leste, pasti punya logika ekonomi.9 Bahkan operasi penyelamatan korban
bencana alam dan perjanjian perdamaian pun, seperti di Aceh, punya logika
ekonomi (Aditjondro 2005c). Begitu pula peristiwa-peristiwa tak berdarah
berupa kampanye ‘pembangunan’, seperti ‘keluarga berencana’ (lihat Navarro
1982), transmigrasi, Revolusi Hijau, dan revolusi bio-teknologi (lihat Pakpahan
2005), di mana tersirat kepentingan maskapai-maskapai transnasional, yang
dilindungi kepentingannya oleh lembaga-lembaga internasional di bawah
payung Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

II. INTERNASIONALISASI MODAL DALAM TRADISI MARXIS:


KETIKA ekopol masih didominasi pemikiran Marxis, perhatian diarahkan
kepada internasionalisasi arus modal antara negara-negara penjajah di belahan
bumi Utara dengan jajahannya di Selatan, “imperialisme” dalam tradisi Marxis,
atau “globalisasi” dalam tradisi Liberal. Marx sendiri, dalam karya agungnya,
Kapital, sebuah kritik ekonomi politik (2004), sudah menggambarkan dampak
negatif penjajahan negara-negara Eropa terhadap koloni-koloninya. Tentang
dampak negatif penjajahan Belanda di Kepulauan Nusantara, Marx menulis
sebagai berikut (2004: 844-5):

8 ) Lihat misalnya, Aditjondro 2001b, 2004a, 2004b.


9 ) Ini yang mendorong saya meneliti keterlibatan maskapai-maskapai pertambangan migas
internasional dalam mempengaruhi keputusan pemerintah Indonesia untuk mencaplok Timor
Leste, kemudian melepaskannya kembali, setelah arrangement baru berhasil dibangun oleh
maskapai-maskapai tadi dengan para pejuang kemerdekaan Timor Leste untuk tidak merugikan
kepentingan maskapai-maskapai migas internasional dalam pertambangan migas lepas pantai.
Lihat Aditjondro 2000b.

13
.0“Sejarah pemerintahan kolonial Belanda – dan pada abad ke-XVII Negeri
Belanda merupakan model tipikal bangsa kapitalis – adalah salah satu dari
hubungan-hubungan yang paling luar biasa dari pengkhianatan, penyuapan,
pembantaian, dan kejahatan. Tiada yang lebih tipikal lagi dari pada sistem
pencurian orang di Celebes [Sulawesi], untuk mendapatkan budak-budak untuk
(pulau) Jawa. Pencuri-pencuri manusia itu dengan khusus dibina untuk itu. Si
pencuri, penerjemah dan si penjual merupakan agen-agen utama dalam
perdagangan ini, dan bangsawan-bangsawan pribumi merupakan penjual-
penjual utamanya. Pemuda-pemuda yang dicuri disembunyikan di dalam
penjara-penjara rahasia di Sulawesi, sampai mereka itu siap untuk dikirim ke
kapal-kapal budak. Sebuah laporan resm mengatakan: “Kota Makassar ini,
misalnya, penuh dengan penjara-penjara rahasia, yang satu lebih mengerikan
dari pada yang lain, penuh dengan orang-orang celaka itu, korban-korban dari
ketamakan dan kelaliman yang dirantai dan dengan paksa dipisahkan dari
keluarga mereka”. Untuk menguasai Malaka, orang-orang Belanda menyuap
Gubernur Portugal. Pada tahun 1641 ia membiarkan mereka masuk kota. Mereka
langsung mendatangi rumahnya (rumah gubernur itu) dan membunuhnya, agar
dapat “tidak membayar” jumlah uang suap sebesar 21.875 poundsterling. Ke
mana saja kaki mereka melangkah, diikuti oleh pemusnahan dan depopulasi.
Banyuwangi, …. pada tahun 1750 berpenduduk lebih dari 80 ribu orang, pada
tahun 1811 hanya tinggal 18 ribu orang. Inilah perdagangan penuh kedamaian!”

Marx sendiri belum sempat mengembangkan teori yang sistematis


tentang imperialisme. Ini dilakukan oleh V. I. Lenin di tahun 1916, di bulan
terakhir masa pembuangannya di Swiss, di mana ia menulis Imperialism, the
highest stage of capitalism (1972: 34; 1986). Dalam karya itu, Lenin menyajikan
enam karakteristik imperialisme baru itu (Lenin 1972: 42; Lenin 1986: 84, 118;
Berki 1978: 107; Wilczynski 1984: 240), yakni:
(1). Konsentrasi produksi dan modal sebegitu tinggi sehingga tercipta monopoli-
monopoli yang sangat menentukan kehidupan ekonomi;
(2). Penyatuan antara modal bank dengan modal industri, sehingga tercipta
suatu “oligarki keuangan”;
(3). Terbentuknya suatu “aristokrasi buruh”, melalui sogokan-sogokan dari
cabang-cabang industri tertentu di negara-negara kapitalis lanjut kepada
pimpinan serikat buruh atau strata atas buruh, sehingga mereka lebih berfihak
kepada borjuasi cabang-cabang industri tersebut, atau berfihak kepada
“kepentingan nasional”, tanpa solidaritas terhadap buruh di industri atau negara
lain;
(4). Ekspor modal menjadi lebih penting ketimbang ekspor komoditi lain;

14
(5). Pembentukan kartel-kartel kapitalis internasional yang membagi-bagi
wilayah pengaruh di dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis internasional.

Melanjutkan tesis Lenin, Kwame Nkrumah, mantan Presiden Ghana yang


digulingkan tahun 1967, menulis buku Neo-colonialism, the last stage of imperialism,
yang terbit di New York tahun 1965. Menurut Nkrumah, mantan negara-negara
kolonial berusaha mempertahankan dominasi ekonomi mereka terhadap mantan
negara-negara jajahannya, melalui berbagai cara tidak langsung. Misalnya,
melalui “bantuan” ekonomi, serta penyebarluasan pola-pola hidup Barat di
bidang konsumsi, pendidikan, dan budaya (Wilczynski 1984: 240).

Ketepatan tesis Nkrumah dapat kita lihat dari kembalinya maskapai


minyak Belanda-Inggris, Royal Dutch Shell, ke Indonesia, dengan pembangunan
pompa bensin Shell pertama di Lippo Karawaci, Kabupaten Tangerang, Jawa
Barat.10 Dalam skala yang lebih kecil, kita dapat menyaksikan neo-kolonialisme
Indonesia di Timor Leste dalam bentuk pengangkatan Ano Gusmao, adik
Presiden RDTL, Xanana Gusmao, menjadi agen Gudang Garam untuk seluruh
negeri itu (Aditjondro 2004d).

Sedangkan kebenaran tesis Lenin dapat kita lihat dari dominasi maskapai-
maskapai tambang AS di Nusantara, mulai dari Freeport McMoRan di Papua
Barat, Newmont di Minahasa (Sulawesi Utara) dan Sumbawa (NTB), s/d
ExxonMobil, yang setelah menguras gas alam di Aceh kini diizinkan melakukan
hal yang sama di Blok Cepu (lihat Laporan Utama Tempo, 27 Maret – 2 April
2006; Aditjondro 2006a).

III. TEORI ANDRE GUNDER FRANK, DARI PESIMISME KE OPTIMISME:


KONTRIBUSI Marx, Lenin, dan Nkrumah dilanjutkan oleh mazhab (teori)
ketergantungan yang pertama muncul di Amerika Latin lalu berkembang ke
Karibia, Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan, dengan varian non-Marxis di
Norwegia, yakni teori kekerasan struktural Johan Galtung. Dari sejumlah pakar

10 ) Royal Dutch, sayap Belanda dari perusahaan kongsi Belanda-Inggris ini dirintis dengan
eksplorasi minyak bumi di Sumatera di akhir 1890an, oleh seorang pedagang Belanda, Jean
Kessler, dibantu oleh dua orang Belanda lagi, yakni Hugo Loudon, seorang pedagang juga yang
keluarganya sudah lama tinggal di Hindia Belanda, dan Henri Deterding, seorang piñata buku
dan anak dari seorang kapten laut, yang mulai belajar perbankan di Singapura dan mahir
mengutak-atik angka penjualan minyak bumi. Tahun 1906, trio itu melakukan merjer dengan
maskapai Inggris, Shell, yang memiliki armada tanker tapi tidak memiliki cadangan minyak
bumi (lihat Sampson 1977: 64-6).

15
teori ketergantungan seperti Fernando Henrique Cardoso, Theotonio Dos Santos,
Andre Gunder Frank, Walter Rodney, Mahmood Mamdani, Hamza Alavi, Ali A.
Mazrui, Samir Amin, dan Hamza Alavi, saya ingin secara khusus menyoroti
perkembangan pemikiran Andre Gunder Frank (lahir tahun 1929), karena
pergeseran pemikiran ‘Frank Muda’ ke ‘Frank Tua’ yang cukup drastis.

Seperti kebanyakan penganut mazhab ketergantungan se zamannya,


dalam dasawarsa 1970-an Frank sangat pesimis terhadap nasib Dunia Ketiga,
yang seolah-olah sudah niscaya akan menjadi ‘lapangan bermain’ (playing
ground) maskapai-maskapai transnasional (transnational corporations ) dari Dunia
Pertama, yakni Amerika Utara dan Eropa Barat.11

Frank waktu itu terkenal dengan tesisnya tentang ‘the development of


underdevelopment’, atau ‘pengawetan keterbelakangan’, untuk menjelaskan
bahwa keterbelakangan negara-negara tertentu bukan karena faktor-faktor di
luar ekonomi politik, tapi justru di bidang itu. Contoh klasiknya adalah
bagaimana Inggris ‘memaksa’ Portugal menerlantarkan industri tekstilnya, dan
mengkhususkan diri pada pengembangan perkebunan anggur (vineyard ) dan
produksi minuman anggur (wine ), dan mengimpor tekstilnya dari Inggris.
Situasi ini dipaksakan lewat tiga perjanjian dagang Inggris-Portugal yang
berkulminasi dengan Perjanjian di Methuen tahun 1703. Dengan situasi ini, yang
diaminkan oleh David Ricardo dengan hukum keuntungan komparatif (law of
comparative advantage), Inggris berhasil menjalankan industrialisasi, sementara
Portugal, mengalami de-industrialisasi. Makanya Frank mengecam Ricardo, yang
begitu mudah mengasumsikan bahwa perdagangan tekstil dengan anggur itu
tidak punya implikasi ke hulu dan ke hilir bagi kedua negara itu, bahkan
berdampak hingga ke Brazil, yang waktu itu masih jajahan Portugal. Kebutaan
Ricardo sangat dikecamnya, sebab hukum keuntungan komparatifnya baru
dirumuskan tahun 1817, lebih dari seabad sesudah Perjanjian Methuen
ditandatangani (Frank 1982: 3-4).

Ada dua hal yang perlu ditambahkan dalam uraian Frank itu. Pertama,
Portugal menerima ‘penjajahan’ Inggris atas negeri mereka, karena masa
kejayaan Portugal sebagai kerajaan maritim sudah pudar, sesudah armada
Spanyol dihancurkan oleh armada Inggris di tahun 1588 (Frank 1974: 46),
sehingga armada Inggrislah yang paling di dunia, dengan semboyan ‘Britain

11 ). Waktu itu maskapai-maskapai Jepang belum begitu berjaya di dunia seperti sekarang,
apalagi perusahaan-perusahaan Korea Selatan, yang di sektor otomotif telah menyaingi
maskapai-maskapai AS dan Jepang. Atau, di bidang perkayuan, maskapai-maskapai Malaysia
dan Indonesia, yang erat terkait dengan dinasti Soeharto dan Mahathir.

16
rules the waves’ . Kekuatan armada Inggris itu kemudian memungkinkan Inggris
dan Perancis – s/d penaklukkan Napoleon oleh tentara Inggris – secara sistematis
mengambil alih kekuasaan atas semua jalur perdagangan dan koloni-koloni
Portugal dan Spanyol (idem ). Kedua, hubungan ekonomi yang istimewa antara
Britania Raya dan Portugal, menyebabkan Portugal sekedar menjadi ‘proxy’ bagi
kepentingan ekonomi Britania Raya di negeri-negeri jajahannya di Afrika,
Angola dan Mozambique, yang kaya sumber daya alam. Selanjutnya, dengan
menjadi anggota NATO, Portugal tidak cuma menjadi proxy Inggris, tapi juga
menjadi proxy AS dan Jerman Barat di Afrika dan Timor Leste.

Kembali ke tesis ‘pengawetan keterbelakangan’ Frank, dia dan para


dependentista yang lain menjelaskan kuatnya ‘ketaatan’ negara-negara Dunia
Ketiga pada penjajahan ekonomi Dunia Pertama pada keberadaan dan kekuatan
politis ‘calo-calo pribumi’ di Jakarta dan ibukota negara-negara Dunia Ketiga
yang lain12. Kelompok ‘borjuasi komprador’ atau ‘komprador lokal’ ini terdiri
dari unsur komprador swasta (corporate compradors) dan komprador birokrat
alias ‘kapitalis birokrat’ , yang mewakili kepentingan kapitalis asing dalam
mempengaruhi penentuan kebijakan nasional serta penentuan perusahaan yang
akan mendapat order mengejawantahkan kebijakan itu (Utrecht 1977; Biersteker
1981: 62, 143-7; Marcussen & Torp 1985: 102, 155, 159).

Dominannya peranan kelas komprador domestik, yang oleh Frank dijuluki


“lumpenbourgeoisie” (‘borjuasi gombal’), ikut mempengaruhi pesimisme akan
nasib Dunia Ketiga, di awal kemunculan teori ketergantungan. Apalagi kalau
kita ingat bahwa pada masa itu beredar studi kelompok Kiri Baru di California,
yang menggambarkan bagaimana para teknokrat yang dipersiapkan untuk
mengambil alih pemerintahan Soekarno di Indonesia, dididik di universitas-
universitas terkemuka di AS, atas biaya CIA dan Ford Foundation (lihat Ransom
1975).

Kelompok Widjojo Nitisastro ini dulu dikenal dengan julukan “mafia


Berkeley”, karena kebanyakan mendapat gelar Doktor Ekonomi dari University
of California di Berkeley. Melalui “mafia Berkeley” ini, paradigma ekonomi
dominan dalam perencanaan pembangunan ekonomi negara-negara kapitalis,
khususnya AS, diadopsi oleh elit pembangunan ekonomi Indonesia, dan dibiayai
oleh hutang yang disodorkan oleh pemerintah AS. Makanya, hutang luar negeri

12 ). Kereaksioneran para borjuis pribumi sudah diungkapkan satu dasawarsa sebelumnya oleh
pemikir dan pejuang kemerdekaan Aljazair, Frantz Fanon, dalam bukunya, Wretched of the earth.
Saya merujuk ke hasil pengamatan Fanon di negara-negara Afrika yang baru merdeka dalam
buku saya tentang rekonstruksi Timor Leste pasca penarikan pasukan Indonesia (2001a: 2-3).

17
itu diibaratkan sebagai “kuda Troja” yang menyelundupkan pola pembangunan
kapitalis ke negara-negara penghutang (lihat Weissman 1975).

Namun jangan keliru, sindikat semacam ‘kelas komprador domestik’ ini


tidak cuma muncul di negara penghutang, tapi juga di negara pemberi hutang,
seperti AS. Rezim George Bush, Jr. merupakan contoh gamblang dari “mafia
maskapai migas AS” yang sangat menentukan politik luar negeri AS, termasuk
politik hubungan “kerjasama” antara AS dan Indonesia. Baik keluarga Bush
maupun sejumlah orang kunci dalam pucuk pemerintahan Bush Jr berasal dari
industri pertambangan migas serta industri penopangnya. Menlu Condoleeza
(“Condy”) Rice, misalnya, yang baru saja berkunjung ke Indonesia, adalah
mantan eksekutif perusahaan migas AS, Chevron ( Intelijen, 24 Maret-6 April
2006: 18-19; Sabili, 6 April 2006: 27).

Sedangkan Dick Cheney, yang sudah mendampingi Bush Sr. maupun


Bush Jr. sebagai Wakil Presiden, adalah mantan CEO (chief executive officer )
Halliburton Group, kelompok bisnis yang memasok industri pertambangan dan
logistik militer dalam hampir semua operasi besar militer AS di dunia. Anak
perusahaan Halliburton, Kellog, Brown & Root (KBR), menangani logistik
tentara AS di Afghanistan, Irak, Hungaria, negara-negara eks-Yugoslavia,Turki,
Jibouti, dan Jordan, yang bernilai hampir tiga juta dollar AS. Selanjutnya,
rekonstruksi Afghanistan dan Irak pasca-perang juga ditangani oleh KBR
(Business Week, 15 Sept. 2003: 52-3).

Selama menjabat sebagai Wakil Presiden AS mendampingi Bush Sr, Dick


Cheney mempertahankan sebagian sahamnya di Halliburton Group, sehingga ia
masih menerima sekitar US$ 150 ribu setahun (Tempo, 4 Des. 2005: 124). Selain
itu, selama menjadi WaPres mendampingi Bush Jr, ia tetap memperjuangkan
kepentingan maskapai-maskapai migas AS dengan melanggar Undang-Undang
AS sendiri. Pertengahan November lalu, Washington Post mencatat adanya lima
pertemuan rahasia selama tahun 2001 antara Gugus Tugas Energi Dick Cheney
dengan pejabat-pejabat ExxonMobil, ConocoPhillips, Shell, dan BP America di
Gedung Putih, yang dihadiri staf Wakil Presiden AS itu (Kompas, 17 Nov. 2005).

Bentuk ‘perselingkuhan’ antara korporasi swasta dan pemerintah itu


dikenal di AS sebagai “kompleks militer & industri” (military-industrial complex).
Istilah itu pertama kali dipopulerkan oleh Dwight D. Eisenhower, seorang
mantan jenderal AS. Pada hari terakhirnya sebagai Presiden AS di tahun 1961, ia
melemparkan konsep itu sebagai wanti-wanti terhadap meningkatnya
militerisasi dalam masyarakat AS, akibat dekatnya hubungan antara pemerintah,

18
militer dan kontraktor proyek-proyek militer (Wilczynski 1984: 359-60).

Para ekonom Marxis di AS serta merta menggunakan istilah itu untuk


menunjukkan bagaimana sistem ekonomi kapitalis lanjut, yang oleh Pigou dan
Hobson diperjuangkan menjadi welfare state (negara kesejahteraan) (Lutz & Lux
1979: 194-5), adalah sekaligus warfare state (negara perang), karena besarnya
pemasukan kas publik dari industri perang. Kompleks ‘militer-industri-
pemerintah’ (military-industrial-government complex ) mendorong negara-negara
kapitalis lanjut selalu terlibat dalam perang di luar batas negaranya,
memproduksi ‘genosida-demi-laba’. Untuk itulah para perumus politik luar
negeri AS selalu menciptakan ‘musuh’, sebagai dalih supaya industri perang AS
terus memproduksi persenjataan yang lebih canggih dari pada milik ‘musuh’13
(Aronson & Cowley 1971: 29-30: Lothstein 1971: 19; Horowitz 1971: 199-201).

Selain kartel di atas, ada juga “kompleks perbankan & minyak bumi”
(banking-oil complex ), di mana saham sejumlah bank dan perusahaan
pertambangan minyak bumi dikuasai oleh segelintir kapitalis. Istilah ini
mengacu kepada kekuasaan keluarga Rockefeller dan keluarga Morgan, yang
menguasai mayoritas saham kelompok Citibank, kelompok Chase (Manhattan)
serta perusahaan-perusahaan pecahan dari Standard Oil, yang didirikan oleh
John Rockefeller, pendiri dinasti Rockefeller.14 Kartel ini tidak hanya
mendominasi politik luar negeri AS ketika Nelson Rockefeller menjadi Wakil
Presiden AS atau ketika Henry Kissinger menjadi Menlu AS di era Presiden
Gerald Ford, tapi juga ketika John Foster Dulles, Christian Herter dan Dean Rusk
menjadi Menlu. Ketiga Menlu itu sangat dekat dengan Rockefeller Bersaudara
(Horowitz 1971: 191; Gibson 1994: 129-32).15

13 ) Di masa Perang Dingin, ‘musuh’ AS adalah Uni Soviet dan sekutu-sekutunya (blok Timur).
Sedangkan setelah runtuhnya Tembok Berlin, harus dicari ‘musuh’ baru, yang tidak lagi tunggal,
seperti ‘bahaya Komunisme’ di masa lalu, melainkan ‘tokoh-tokoh teroris’ yang terpencar-pencar,
yakni diktator-diktator yang menentang imperialisme ekonomi AS, mulai dari putera Kim Il
Sung di Korea Utara, Fidel Castro di Kuba, Milosevic (alm) di Serbia, Saddam Hussein di Irak,
rezim Ayatullah di Iran, rezim Taliban di Afghanistan, s/d Usamah bin Laden dan al Qaeda.
Sementara itu, diktator-diktator yang pro-AS, seperti Ferdinand Marcos (alm) dan Soeharto, serta
rezim PKT di RRT yang membunuh ribuan mahasiswa di Tian An Mien, dirangkul. Oportunisme
ini perlu difahami, supaya kita tidak terjebak dalam anggapan bahwa politik luar negeri AS
ditujukan terhadap kelompok agama tertentu.
14 ) Ada pecahan Standard Oil yang sudah menyatu kembali, yakni ExxonMobil dan Chevron
Texaco. Ada juga yang melakukan merjer dengan perusahaan AS lain yang sedang naik daun,
seperti Conoco yang melebur dengan Phillips Petroleum menjadi ConocoPhillips, penguasa gas
alam di Laut Utara dan Laut Timor.
15 ). Kartel ini berada di belakang keputusan Presiden Gerald Ford untuk memberikan lampu
hijau bagi Soeharto dan tentaranya untuk mencaplok Timor Leste di bulan Desember 1975,

19
Makanya, kunjungan Condoleeza Rice ke Indonesia pada hakekatnya
tidak berbeda dengan kunjungan Henry Kissinger ke Indonesia di era Orde
Baru: inspeksi seorang pejabat rezim imperialis AS ke negeri jajahan
ekonominya, untuk mengecek bagaimana perlakuan orang-orang pribumi
terhadap maskapai-maskapai AS di sini. Tentu saja Condy sangat puas bahwa
ExxonMobil baru saja mendapat hak mengelola Blok Cepu, yang memiliki
kandungan antara 1,4 sampai 2,6 milyar barel minyak bumi dan 1,8 trilyun kaki
kubik gas alam (Gatra, 27 Ag. 2005: 24; Trust, 13-19 Maret 2006: 14; Intelijen, 24
Maret-6 April 2006: 18-19; Tempo, 2 April 2006: 31).

Kembali ke teori ketergantungan Andre Gunder Frank, dua dasawarsa


setelah kemunculan mazhab itu Brazil menjadi ajang berbagai pertemuan
gerakan lingkungan dan gerakan pembelaan hak-hak bangsa-bangsa pribumi
(indigenous peoples’ movement). Gerakan-gerakan kemasyarakatan (social
movements ) itu ikut meng-global-kan nasib kawasan hutan Amazonia serta
penduduknya ke pentas dunia. Terutama, ke pentas media di AS, basis berbagai
maskapai transnasional yang telah mengobrak-abrik kawasan Amazonia seenak
perut mereka. Walaupun tokoh pejuang kelestarian hutan Amazon, Chico
Mendes, mati dibunuh oleh para rancheros, tiga hari sebelum Natal 1988 (Revkin
1990), Frank dan kolaboratornya, Marta Fuentes, seorang sosiolog Brazil
terkemuka, sangat optimis melihat dampak politis para aktivis lingkungan yang
bolak-balik antara Washington DC dan Brazilia, ibukota Brazil.

Optimisme itu dapat dilihat dari serangkaian tulisan Frank dan Fuentes
(1989, 1990, 1994), yang menyoroti gerakan-gerakan kemasyarakatan tersebut.16

supaya kekayaan migas di dasar Laut Timor dapat jatuh ke tangan maskapai-maskapai migas
AS, khususnya yang termasuk “banking-oil complex” milik keluarga Rockefeller & Morgan.
Nyatanya, ladang-ladang migas yang paling menguntungkan di dasar Laut Timor sekarang telah
jatuh ke tangan ConocoPhillips (Aditjondro 2000b: 53-63, 2004d).
16 ). Boleh jadi, kedua sosiolog Brazil itu belum menyadari, bagaimana gerakan-gerakan
kemasyarakatan (social movements ) ikut berpotensi menjatuhkan dan mengorbitkan calon-calon
presiden di negara mereka sendiri. Salah seorang perintis mazhab ketergantungan, Fernando
Henrique Cardoso, terpilih menjadi Presiden Brazil di tahun 1994 di bawah bendera Partai Sosial
Demokrat Brazil (PSDB), dan mulai mengambilalih tanah para tuan tanah untuk dibagikan
kepada petani miskin tak bertanah. Namun di bawah rezimnya, 19 orang petani Amazon
ditembak mati oleh polisi ketika berdemonstrasi di kota Eldorado dos Carajas. Tahun 1998,
Cardoso terpilih kembali, dan mulai melakukan pembangunan besar-besaran di wilayah

20
Khususnya dalam tulisan mereka tentang sepuluh tesis tentang gerakan-gerakan
kemasyarakatan, tesis ketujuh mengeksplisitkan optimisme itu: ternyata masih
ada harapan bagi negara-negara belahan bumi Selatan. Dengan kata lain, negara-
negara Selatan (kecuali Afrika Selatan dan Australia) tidak perlu membebek
pada pola pembangunan negara-negara Utara, karena gerakan-gerakan
kemasyarakatan dapat “melepas kopling” (delinking) negara-negara Selatan dari
negara-negara Utara. Malah, menurut Fuentes dan Frank, gerakan-gerakan ini
memungkinkan negara-negara Selatan melakukan transisi menuju sosialisme.
Bukan sosialisme negara model Uni Soviet, tapi sosialisme yang terbuka
terhadap pemikiran utopianisme dan anarkisme (1989: 186-7).

Sependek pengetahuan saya, konsep delinking ini belum dikembangkan


lebih lanjut oleh Frank, yang kini lebih tertarik meneliti siklus-siklus pergeseran
pusat-pusat perdagangan dan peradaban dunia. Namun berdasarkan
pengamatan terlibat saya, di samping lewat perjuangan bersenjata, sebagaimana
yang dilakukan gerakan Maois di Nepal, delinking dari sistem kapitalisme dunia
dapat diperjuangkan oleh gerakan-gerakan kemasyarakatan melalui tiga jenis
mekanisme: mekanisme pasar, mekanisme hukum, dan mekanisme parlemen.

Contoh penggunaan mekanisme pasar adalah penggagalan rencana


pembukaan sejuta hektar hutan di Papua Barat oleh Scott Paper dengan
membayar iklan di harian New York Times; penggagalan rencana pembabatan 600
ribu hektar hutan di DAS Mamberamo, juga di Papua Barat, oleh perusahaan
Australia, Asmus McLean, setelah peliputan di koran West Australian, yang
menyebabkan pejabat pajak negara bagian Australia Barat mengejar perusahaan
itu karena pajak yang dikemplangnya; serta berbagai kampanye boikot
konsumen, termasuk boikot konsumen terhadap produk Scott Paper (lihat
Aditjondro 2003a: 173-82).

Amazon, atas dorongan IMF dan para kapitalis asing dan domestik. Bulan Maret 2002, sejumlah
anggota gerakan petani tak bertanah (MST, Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra ), yang
tidak puas atas lambatnya land reform di bawah Cardoso, menduduki ranch keluarga Cardoso.
Oktober tahun itu juga, Luiz Inacio da Silva, yang berjulukan “Lula” (gurita), bekas tukang semir
sepatu yang berhasil menjadi pemimpin serikat buruh dan ketua PT (Partido dos Trabalhadores),
Partai Buruh Brazil, terpilih sebagai Presiden Brazil menggantikan Cardoso. Posisinya pun kini
sedang terancam karena dukungan MST menipis akibat lambatnya redistribusi tanah serta
tingginya korupsi para kader PT di pemerintah. Suatu studi UNDP menunjukkan bahwa 10%
penduduk Brazil terkaya memiliki 85 x kekayaan 10% penduduk Brazil termiskin, membuat
Brazil menjadi negara keempat tertimpang pendapatannya di dunia. Dalam pilpres Brazil
Oktober mendatang, salah seorang penantang Lula datang dari partainya Cardoso, PSDB (Petras
2005; Kock 1995; BBC News, 5, 17, 24 Nov. 2005; The Economist, 4 Maret 2006: 39-41, 11 Maret 2006:
40).

21
Contoh penggunaan mekanisme hukum adalah gugatan Oceanic Oil,
perusahaan migas kelas menengah dunia yang berbasis di Denver, Colorado, AS,
terhadap ConocoPhillips. Oceanic Oil menganggap ConocoPhillips telah
“mencuri” konsesi minyaknya di Laut Timor dengan berturut-turut menyogok
pejabat Pertamina (ketika Timor Leste masih dijajah Indonesia), lalu menyogok
Perdana Menteri Timor Leste, Mar’ie Alkatiri serta anggota-anggota kabinet dan
parlemen Timor Leste yang berasal dari partai FRETILIN (Aditjondro 2004d).

Sedangkan contoh penggunaan jalur parlementer di AS, adalah


pembatalan proyek pembukaan hutan Amazonia untuk proyek Polonoro-Este di
Brazil serta penurunan target transmigrasi di Indonesia secara drastis untuk
menyelamatkan hutan dan penduduk asli di Papua Barat. Ini dimungkinkan
setelah kampanye secara intensif tiga tahun berturut-turut (1985-87), di mana
para aktivis ornop dari Brazil dan Indonesia bekerjasama secara intensif dengan
aktivis ornop di AS, yang pada gilirannya melakukan lobbying terhadap Senator
dari Partai Republik yang sangat berperan dalam Komisi Anggaran Senat AS,
yang menentukan alokasi dana untuk proyek Polonoro-este dan transmigrasi
(Aditjondro 2003a: 182, 184).

Kalau diterapkan dalam kasus Papua Barat, di mana kampanye


penutupan tambang PT Freeport Indonesia berkaitan erat dengan perjuangan
kemerdekaan Papua Barat, maka ide delinking Fuentes dan Frank punya
implikasi serius. Apakah para perjuang kemerdekaan Papua Barat hanya
didorong keinginan lebih membuka diri bagi investasi asing, yang nantinya
tidak perlu lagi lewat Jakarta (di mana sebagian besar keuntungan dikorupsi
oleh orang Jakarta)? Ataukah ada keinginan merintis suatu sistem ekonomi yang
lebih sosialistis? Apabila hal ini tidak difikirkan secara serius, maka perjuangan
untuk ‘delinking’ dari NKRI hanya akan merupakan usaha ‘relinking’ Papua
Barat dengan kapitalisme dunia. Seperti halnya di Timor Leste, di mana adik
dari Perdana Menteri Mar’ie Alkatiri menjadi perwakilan ConocoPhilips dan
anak tokoh oposisi Mario Carrascalao menjadi perwakilan Oceanic Oil
(Aditjondro 2004d).

Dalam berbagai studi ekonomi politik pertambangan di Indonesia, konsep


‘kelas komprador domestik’ telah saya gunakan (lihat Aditjondro 2002, 2003b,
2005b, 2006a). Ada tiga kelompok yang masuk dalam ‘KKD’ ini, yakni (a) orang-
orang di sekitar pusat kekuasaan, terutama Presiden, Wakil Presiden dan orang-
orang sekitarnya; (b). para pengusaha yang paling dekat dengan pusat
kekuasaan, termasuk para lobbyist, pelobi kepentingan sektor-sektor ekonomi

22
tertentu; dan (c). para politisi yang memegang kekuasaan di partai pendukung
Presiden dan Wakil Presiden.

Namun dari berbagai observasi, ‘KKD’ yang mirip oligarki ini (lihat
Aditjondro 2006b) harus dilengkapi dua tipe aparat negara. Seperti
dikemukakan filsuf Perancis kelahiran Aljazair, Louis Althusser, kedua jenis
aparat negara itu adalah (d) aparat represif negara dan (e) aparat ideologis
negara (1997). ‘Aparat represif negara’(RSA = repressive state apparatus) adalah
seluruh perangkat aparat negara yang memaksa (coercion) rakyat patuh pada
kehendak negara, mulai dari aparat bersenjata s/d seluruh perangkat aparat
hukum. Namun tidak kalah pentingnya adalah ‘aparat ideologis negara’ (ISA =
ideological state apparatus), yang mempengaruhi pikiran rakyat, sehingga
kemauan pemerintah diterima secara sukarela (consent). ISA meliputi lembaga
agama, lembaga pendidikan, lembaga hukum, lembaga politik, media, serta
lembaga dan pranata kebudayaan. Pentingnya faktor ISA ini dapat dilihat dari
kontroversi iklan Freedom Institute di harian Kompas, 26 Februari 2005, yang
ditandatangani 36 tokoh masyarakat yang mendukung kenaikan harga BBM.
Munculnya nama Frans Magnis-Suseno sebagai salah seorang penandatangan
iklan itu, kontan mengendorkan semangat mahasiswa Universitas Kristen Duta
Wacana (UKDW) untuk turun ke jalan.

Dengan demikian, kelas komprador domestik itu dapat digambarkan


sebagai suatu oligarki bersegi lima (lihat Skema 3). Oligarki ini semakin solid
kekuasaannya, apabila alat-alat represif negara, khususnya militer, sekaligus
menguasai prasarana politik, prasarana ekonomi, dan Istana. Ini mengingatkan
kita pada observasi Ali A. Mazrui terhadap sejumlah negara Afrika. Pasca perang
kemerdekaan, kata Mazrui, negara-negara itu didominasi oleh lumpen-militariat,
yakni kekuasaan sejumlah eks serdadu dari latar belakang petani, yang lebih
mahir menggunakan alat-alat destruksi ketimbang alat-alat produksi (Finnegan
1992: 253, 281-2). Di Indonesia pun, kita sudah saksikan bagaimana sektor
pertambangan migas dan timah pernah dikuasai mantan gerilyawan, yang
bermetamorfosa menjadi pengusaha dan politisi (lihat Aditjondro 2005d, 2006a).

Skema 3: Kelas Komprador Domestik di Indonesia

Klik di
seputar Kepala
Negara dan

23
wakilnya

Orang-orang Orang-orang
kunci di bidang kunci di bidang
politik ekonomi

Aparat Aparat
Represif Ideologis
Negara Negara

Berdasarkan uraian di atas, seluruh sirkulasi kekuatan dalam teori


ketergantungan Andre Gunder Frank dapat digambarkan seperti dalam Skema
4.

Skema 4: Sirkulasi Kekuatan dalam


Teori Ketergantungan Andre Gunder Frank

-----------------------------------
TRANSNATIONAL
CORPORATIONS
-------------------------------------

----------------------------------------------------------

24
FINANCIAL-CORPORATE-
GOVERNMENT COMPLEXES
-----------------------------------------------------------

---------------------------------------------
DE-LINKING MECHANISMS
(market, legal, parliamentary)
------------------------------------------

-------------------------------------------------------
DOMESTIC COMPRADOR
CLASSES
-------------------------------------------------------

------------------------------------
GLOBAL
SOCIAL MOVEMENTS
-----------------------------------

------------------------------------------
CITIZENS
(= voters, consumers,
shareholders)
--------------------------------------------

IV. STUDI KASUS KENAIKAN HARGA BBM DI INDONESIA:


BERGUNA tidaknya suatu teori ilmu sosial tergantung dari
kemampuannya menjelaskan fenomena sosial yang kita hadapi. Makanya
berikut ini saya akan menyoroti hubungan ekonomi Utara-Selatan di bidang per-
migas-an di Indonesia, khususnya kenaikan harga BBM, 1 Oktober tahun lalu,
dengan menggunakan teori ketergantungan Frank. Soal dampak sosial dan
ekologis dari keputusan itu sudah diulas dalam buku suntingan Dharmawan &
de Rosari (2005) serta ceramah saya di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (2005b).

25
Di sini saya hanya ingin bertanya kembali: betulkah penentu kenaikan harga
BBM itu, hanyalah para penentu kebijakan ekonomi di dalam negeri? Betulkah
Presiden SBY serta Wakil Presiden M. Jusuf Kalla dan menteri-menteri mereka
merupakan penentu utama kebijakan ekonomi yang tidak berfihak ke kelas
bawah Indonesia tersebut?

Tidak. Dalam makalah untuk Dialog Publik tentang Refleksi Sosial


Keagamaan terhadap Kenaikan Harga BBM di Indonesia, di kampus UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 23 November tahun lalu, sudah saya gambarkan
bagaimana rezim SBY-MJK hanyalah kepanjangan tangan dari penguasa
maskapai transnasional di bidang per-migas-an. Dengan kata lain, rezim ini
adalah bagian dari “kelas komprador domestik” yang telah kita bahas panjang
lebar di atas.

Penghapusan subsidi BBM merupakan langkah persiapan membuka


pasar Indonesia bagi maskapai-maskapai migas internasional, yang sebagian
sudah bergerak dalam bidang pertambangan migas di Indonesia, dan sebagian
lagi mengincar pasar BBM yang begitu menggairahkan. Sampai sekarang, baru
Shell – lengkapnya, Royal Dutch Shell – serta Petronas dari Malaysia, yang sudah
mendirikan dan mengelola pompa bensin di Karawaci dan Taman Mini. Tapi
masih banyak lagi yang akan menyusul.

Lalu, apa hubungannya itu dengan kepentingan bisnis para anggota


Kabinet Indonesia Bersatu? Banyak. Paling tidak ada tujuh orang puncak
pengambil keputusan ekonomi Indonesia itu atau keluarga dekatnya yang ikut
mengeruk rezeki berlimpah dari minyak dan gas bumi, sebelum atau sesudah
bergabung ke kabinet pimpinan SBY ini (semua data berikut ini diambil dari
Aditjondro 2005d, kecuali di mana tercantum rujukan tambahan).

Di puncak anak tangga perlu disebutkan nama Wakil Presiden M. Jusuf


Kalla. Soalnya, menantunya, Susanto (“Tono”) Suparjo, yang menikah dengan
putri tertua Jusuf Kalla, Muchlisa Kalla, melalui perusahaan miliknya, Nuansa
Group, menjadi salah satu investor yang tertarik menggarap sumur minyak di
Blora, Jawa Tengah (Gatra, 10 Sept. 2005: 74-5; Kedaulatan Rakyat, 31 Maret 2006;
Sabili, 6 April 2006: 35).

Di luar urusan yang berkaitan dengan Blok Cepu, kelompok Bukaka yang
dipimpin oleh Achmad Kalla, adik kandung sang Wakil Presiden, punya

26
hubungan bisnis dengan salah satu raksasa migas dari AS, ConocoPhillips.
Berkongsi dengan perusahaan daerah Batam, PT Bukaka Barelang Energy
sedang membangun pipa gas alam senilai 750 juta dollar AS – setara Rp. 7,5
trilyun – untuk menyalurkan gas alam dari Pagar Dewa, Sumatera Selatan, ke
Batam. Nama perusahaannya, PT Bukaka Barelang Energy (Tempo, 30 Okt. 2005:
75). Gas alamnya sendiri berasal dari ladang ConocoPhillips di Sumatera Selatan.

Adapun Menteri Perindustrian Fahmi Idris adalah anggota Grup Kodel


(“Kelompok Delapan”), yang berkongsi dengan perusahaan migas AS, Golden
Spike Energy. Paling tidak, hingga akhir November tahun lalu, ia masih
memegang jabatan komisaris di Kodel (Prospektif, 21-27 Nov. 2005: 21). Kelompok
perusahaan itu bergerak dalam memasok peralatan pertambangan migas,
melalui anak-anak perusahaannya, yang berkongsi dengan kelompok Nugra
Santana milik keluarga Ibnu Sutowo almarhum, serta beberapa perusahaan
Jepang. Kodel punya hubungan bisnis yang erat dengan berbagai maskapai
pertambangan migas, yang tentu saja berhasrat mengikuti jejak Shell dan
Petronas untuk membuka pompa bensin di Indonesia.

Selanjutnya, Menteri Urusan BUMN Sugiharto, sebelumnya adalah


Direktur Keuangan PT Medco Energi Internasional Tbk, perusahaan swasta
Indonesia terbesar di bidang migas, milik Arifin Panigoro dan keluarganya.
Kelompok Medco itu pada awalnya ikut berkembang karena perkongsiannya
dengan besan Soeharto, Eddy Kowara Adiwinata almarhum (mertua Siti
Hardiyanti Rukmana) dan salah seorang Menteri, yakni Siswono Judo Husodo.
Sampai akhir November tahun lalu, Sugiharto ditengarai masih berkecimpung di
kelompok usaha Medco (Prospektif, 21-27 Nov. 2005: 18).

Menteri Perhubungan & Telekomunikasi, M. Hatta Rajasa, pernah juga


menjadi eksekutif Medco (1980-3), sebelum mendirikan perusahaan konsultan
manajemen, PT InterMatrix Bina Indonesia, yang bekerja sama dengan
Pertamina dan perusahaan-perusahaan perminyakan asing. Sebagai anak
Palembang, Insinyur Pertambangan lulusan ITB itu tidak asing dengan dunia
perminyakan. Mertuanya salah seorang staf Stanvac, ketika Hatta jatuh cinta
kepada Okke, dokter gigi yang kini sebagai isterinya (Forum Keadilan, 27 Febr.
2000: 38-42; Prospektif, 27 Nov. 2005: 13; Jawa Pos, 8 Nov. 2005).

Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) sendiri, Purnomo

27
Yusgiantoro, adalah Wakil Pemimpin Perusahaan PT Resource Development
Consultant, di mana M.S. Kaban, Menteri Kehutanan, menjadi konsultan (Tempo,
4 Des. 2005: 123). Entah apa bidang bisnis PT itu. Namun embel-embel “resource
development” jatuhnya tidak jauh dari sumber-sumber daya energi juga.

Bagaimana dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri? Seperti


yang telah saya bahas dalam buku terbaru saya tentang korupsi kepresidenan di
Indonesia (2006b), kedekatan SBY dengan Letjen (Purn.) T.B. Silalahi, staf ahli
Presiden bidang sekuriti, sangat rentan dimanfaatkan oleh Tomy Winata,
pimpinan kelompok Artha Graha. Soalnya, T.B. Silalahi orang kunci di Artha
Graha. Kenyataannya, Artha Graha, yang sebagian saham banknya milik
Yayasan Kartika Eka Paksi, lengan bisnis TNI/AD, mendapat posisi yang sangat
menonjol dalam rekonstruksi Nias dan Aceh (Aditjondro 2005a).

Belakangan ini, dalam rush para pelaku bisnis top di Indonesia untuk
mendapat bagian dalam pengeboran minyak bumi di blok Cepu di perbatasan
Jawa Tengah dan Jawa Timur, nama Tomy Winata. Selain dia, pengusaha yang
sudah menampakkan minatnya untuk ikut menggarap blok Cepu adalah Surya
Paloh, melalui perusahaannya, PT Surya Energi Raya, Ketua Dewan Penasehat
Partai Golkar, yang digandeng oleh PT Asri Dharma milik Pemkab Bojonegoro;
Dahlan Iskan, boss Grup Jawa Pos; serta Ilham Habibie, puta sulung mantan
presiden B.J. Habibie; Letjen (Purn.) A.M. Hendropriyono, mantan Kepala BIN
(Badan Intelijen Negara); Hartati Murdaya, pimpinan kelompok CCM (Central
Cakra Murdaya); Laksdya Sudibyo Rahardjo; serta Susanto (“Tono”) Supardjo,
menantu Jusuf Kalla (Gatra, 27 Ag. 2005: 26, 10 Sept. 2005: 74-75; Kedaulatan
Rakyat, 31 Maret 2006; Sabili, 6 April 2006: 35).

Hampir semua nama itu merupakan tokoh lama di bidang politik dan
ekonomi. Sudibyo Raharjo, mantan Dubes R.I. untuk Singapura dan mantan
penasehat Otorita Batam, adalah mertua Thareq Kemal Habibie, putra kedua B.J.
Habibie (Aditjondro 1998: 88-9). Setahu saya, purnawirawan perwira TNI/AU itu
tidak terlalu dekat dengan SBY. Berbeda halnya dengan ‘trio’ Hendropriyono,
Tomy Winata, dan Hartati Murdaya.

Trio itu punya pertalian bisnis yang berputar di seputar keluarga


Hendropriyono. Di masa jayanya sebagai Kepala BIN, Hendropriyono juga
masuk dalam kelompok Artha Graha, karena menjadi Presiden Komisaris PT Kia
Motors Indonesia (KMI), yang termasuk kelompok Artha Graha. Tomy Winata

28
pribadi, menjadi salah seorang pemegang saham PT KMI. Sedangkan seorang
putera Hendro, Ronny Narpatisuta Hendropriyono, menjadi salah seorang
direktur PT KMI, bersama Fayakun Muladi, putera mantan Menteri Kehakiman
Muladi. Ronny, pada gilirannya, juga komisaris PT Hartadi Inti Plantations,
penguasa areal konsesi kelapa sawit seluas 52 ribu hektar di Kabupaten-
kabupaten Buol dan Toli-Toli di Sulawesi Tengah (Aditjondro 2004: 144-6).
Berarti, keluarga Hendropriyono punya hubungan bisnis yang cukup erat
dengan Tomy Winata maupun dengan Hartati Murdaya. Melihat kenyataan itu,
boleh jadi trio Hendropriyono-Tomy Winata-Hartati Mudaya akan bekerjasama
untuk mendapatkan bagian dari mega proyek blok Cepu itu.

Dengan mengungkap semua kaitan bisnis migas keluarga dan konco-


konco Presiden, Wakil Presiden dan para Menteri, baik yang sudah terwujud
maupun yang sedang dijajagi, kita dapat memahami kepentingan mereka untuk
menaikkan harga BBM, yang naik sangat tidak proporsional dengan
kemampuan kocek rakyat.17 Dari data di atas terlihat bahwa ada Menteri yang
bisnis keluarganya punya kaitan dengan Shell, yakni Aburizal (“Ical”) Bakrie.

‘Kebetulan’, Ical juga penyandang dana Freedom Institute, yang


‘kebetulan’ memasang iklan kontroversial di harian Kompas, tanggal 26 Februari
tahun lalu (Surono 2005: 211; Gazali 2005: 225). ‘Kebetulan’, Freedom Institute
dipimpin oleh Rizal Mallarangeng, yang abangnya, Alfian Mallarangeng,
‘kebetulan’ salah seorang jurubicara Presiden SBY. Lalu, betulkah semua
‘kebetulan’ itu memang ‘kebetulan’? Ataukah tangan-tangan Shell memang
begitu kuat mencengkeram ke dalam berbagai celah pemerintah dan masyarakat
sipil di Indonesia?

Kelas komprador domestik yang berada di balik kebijakan per-migas-an di


Indonesia, tidak hanya berhenti di tingkat Kabinet. Cakupannya justru lebih
luas, meliputi lembaga legislatif sebagai tempatnya para politisi yang ingin adu
kekuatan dengan eksekutif; para lobbyist, yakni mereka yang ikut mempengaruhi
keputusan di bidang ekonomi; serta aparat represif dan aparat ideologis negara,
mengikuti ‘bintang lima’ (pentagon) di halaman 23.

17 ). Harga bahan bakar minyak (BBM), yang rata-rata naik 125%, mulai 1 Oktober lalu, jelas-jelas
menunjukkan bias ke arah kepentingan kelas menengah dan atas. Bensin premium ‘hanya’ naik
87,5% dari Rp 2400 menjadi Rp 4500 per liter. Solar naik 105% dari Rp. 2.100 menjadi Rp 4.300 per
liter. Sedangkan minyak tanah naik 186% dari Rp 700 menjadi Rp 2000 per liter! (Aditjondro
2005).

29
Siapa lobbyist bagi masuknya Shell ke pemasaran BBM, dapat disimpulkan
dengan melihat lokasi pendirian pompa bensinnya yang pertama, yakni di depan
Hypermart Lippo Karawaci di Tangerang. Tanah di mana SPBU Shell itu berdiri,
adalah bagian dari kota satelit Lippo Karawaci seluas 500 hektar, milik PT Lippo
Karawaci Tbk. James T. Riyadi (lahir di Jakarta, 7 Januari 1957), adalah pemegang
saham utama perusahaan itu. Ia memimpin kelompok Lippo di Indonesia dan di
AS. Sedangkan ayahnya, Mochtar Riady, memimpin usaha kelompok Lippo di
Tiongkok. Kerjasama ayah dan anak ini pernah menimbulkan kontroversi di AS,
ketika kelompok Lippo menyumbang satu juta dollar AS untuk dua kali
pemilihan Presiden William (Bill) Clinton. Kedekatan mereka dengan Bill
Clinton membuahkan hasil yang lumayan menguntungkan: sebuah pembangkit
listrik raksasa yang dibangun kelompok Lippo di Tiongkok, mendapat pinjaman
dari Bank Exim AS, yang sejatinya hanya meminjamkan dana kepada
perusahaan-perusahaan AS (Aditjondro 2005).

Tidak banyak orang yang masih ingat peranan kelompok Lippo dalam
skandal korupsi Bill Clinton, berkat kelihaian strategi human relations kelompok
itu, yang menyasar kelas menengah-atas keturunan Tionghoa yang beragama
Kristen. James Riady telah menyumbang pembangunan banyak gereja di
berbagai kawasan pemukiman mewah di Indonesia. Kapela (gereja kecil) di
kampus UKSW, Salatiga, juga merupakan sumbangan Lippo. Ayah James,
Mochtar Riady, bahkan duduk dalam kepengurusan yayasan pengelola
perguruan tinggi Kristen itu, yang telah memecat Arief Budiman, cendekiawan
keturunan Tionghoa, yang sangat kritis terhadap perkembangan konglomerat di
Indonesia. Selain itu, kelompok Lippo dikenal sebagai salah satu donor PDI-P.

PDI-P sendiri tidak dapat diharapkan mewakili aspirasi rakyat yang tidak
setuju dengan kenaikan harga BBM, maupun penunjukan ExxonMobil sebagai
pengelola Blok Cepu. Ini tidak terlepas dari dominannya peranan Megawati
Soekarnoputri dan suaminya, Taufik Kiemas, di fraksi terbesar di DPR-RI itu.
Padahal keluarga ini merupakan pedagang BBM yang semakin berjaya di
wilayah DKI.

Dengan memiliki 13 SPBU, keluarga Mega-Taufik sangat berhasil di


bidang pemasaran BBM, dan masih terus berniat membuka pompa bensin baru,
dengan merek Pertamina maupun yang lain. Akhir tahun lalu, semua SPBU
milik keluarga Mega-Taufik sudah berhasil menjual lebih dari 15 ribu liter

30
gabungan premium, pertamax dan solar. Bahkan salah satu di antaranya, yaitu
yang berlokasi di kawasan Pluit, Jakarta Barat, mampu menjual 90 ribu liter
sehari (Swasembada, 10-23 Nov. 2005: 126-8). Makanya, mereka sangat
diuntungkan dengan keputusan pemerintah menaikkan harga BBM tahun lalu.
Padahal, keluarga Taufik Kiemas bukan satu-satunya anggota parlemen yang
berjualan minyak. Lalu, untuk apa mereka mau menentang masuknya maskapai
migas asing, mulai dari hulu sampai ke hilir?

Di latar belakang, kerajaan bisnis keluarga Cendana masih menanti


kesempatan untuk ikut menikmati boom minyak bumi di ruas hulu dan hilir di
Indonesia. Walaupun boss-nya, Tommy Soeharto waktu itu masih mendekam di
LP Batu di Nusa Kambangan, PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk akhir
tahun lalu mengumumkan rencananya untuk membeli sepuluh kapal tanker ,
kapal tunda dan tongkang. Realisasinya, bulan Maret atau April ini. Saat itu,
armada PT Humpuss Intermoda Transportasi sudah terdiri dari 14 kapal tanker
dan 16 set kapal tunda dan tongkang, yang ikut berperan menaikkan
pendapatan perusahaan itu dari jasa angkutan minyak mentah dan BBM
(Kompas, 22 Des. 2005).

Dengan berbagai kepentingan domestik dan asing yang bakal bermuara


di Blok Cepu, pemerintah tampaknya berusaha semaksimal mungkin melayani
kenyamanan para calon investor di sana. Aparat represif negara, khususnya
militer dan polisi, kini telah bersiap-siap menjaga keamanan para investor.
TNI/AD sudah bersiap membangun markas Batalon Infanteri 507 Sikatan, yang
akan diisi 747 anggota. Batalion yang dibekukan tiga tahun lalu, akan
dihidupkan kembali. Polisi tidak mau kalah. Mereka akan menambah sekitar
seribu personil untuk mengamankan lapangan minyak itu. Penambahan
pasukan berseragam hijau dan coklat itu, menurut Kapolda Jawa Timur, untuk
mengantisipasi aksi terorisme, dan amuk warga masyarakat sekitar (Tempo, 2
April 2006: 33).

Eskalasi pasukan itu mengherankan masyarakat sekitar. “Terorisme? Di


Bojonegoro?” tanya seorang laki-laki di warung rawon Budhe Surip sambil
tersenyum mengejek, ketika wartawan Tempo menyinggung kata itu. Laki-laki
yang sepanjang hidupnya tinggal di Bojonegoro, tak faham, “perang” apa yang
sedang terjadi di kota kelahirannya.

Tapi polarisasi pendapat masyarakat sekitar pasti akan terjadi. Di satu

31
fihak, puluhan pemuda dari 13 desa di sekitar Blok Cepu di wilayah Jawa Timur
sempat memblokade jalan, ketika mendengar informasi akan ada demo yang
kabarnya akan dilakukan oleh Komite Perjuangan Pemuda Islam Surakarta
(KPPIS) ke lokasi sumber minyak Banyu Urip dan sumber gas Jambaran
(Kedaulatan Rakyat, 4 April 2006). Sebaliknya, di wilayah Kabupaten Blora, Jawa
Tengah, sejak sepuluh tahun lalu, warga Desa Ledok sudah diberi hak mengelola
sekitar 20 sumur minyak secara tradisional. Dalam sehari kelompok penambang
tradisional yang beranggotakan 15-20 orang, dapat menghasilkan lima ton
minyak mentah dari masing-masing sumur, yang berlokasi di kawasan hutan jati
milik Perum Perhutani Blora (Sabili, 6 April 006: 32-3).

Jadi di satu fihak, sebagian besar masyarakat miskin di Blok Cepu


menyambut baik pembukaan lapangan minyak itu, karena begitu mendambakan
pekerjaan dan penghasilan. Tapi di fihak lain, mereka yang sudah mendapat
pekerjaan sebagai penambang tradisional, akan digusur oleh ExxonMobil, saat
penambangan secara korporatis, dengan teknologi tingkat tinggi dan modal
raksasa mulai dikerjakan. Namun sebelum alat-alat berat ExxonMobil
berdatangan ke kawasan Blok Cepu, para spekulan dan calo tanah sudah
berhamburan ke sana, siap untuk membeli tanah penduduk untuk dijual dengan
harga berlipat pada agen-agen properti, a.l. Ray White dari Australia, yang
berencana melayani keperluan rumah dan kantor para manajer dan karyawan
ekspatriat di sana (Jawa Pos & Kedaulatan Rakyat, 6 April 2006).

Walhasil, dari seluruh uraian ini dapat kita lihat kepenadan (relevansi)
konsep ‘kelas komprador domestik’ untuk menggambarkan peranan para ‘calo
berdasi’ dalam pengambilan keputusan di sektor pertambangan & energi di
Indonesia, mulai dari hulu sampai ke hilir. Soalnya, kelas ini mampu
mempengaruhi kebijakan negara maupun pikiran masyarakat.

Sementara itu, gerakan kemasyarakatan yang menyoroti politik migas di


Indonesia, dari hulu ke hilir, masih sangat lemah. Aksi mahasiswa menentang
kenaikan harga BBM, praktis sudah reda. Apalagi pada hari kenaikan harga
BBM tahun lalu, meledak pula bom Bali II yang menggeser wacana publik ke
soal terorisme dan stigmatisasi pesantren sebagai “sarang pendidikan calon
teroris”. Setelah itu agak reda, masyarakat disibukkan dengan debat soal RUU
Anti Pornografi dan Porno-aksi.

Celakanya, media di Indonesia memang sangat mudah diarahkan

32
mengikuti selera penguasa. Terbukti ketika sentimen anti-AS merebak dengan
kedatangan Condoleza Rice, yang disambut pemerintah Indonesia dengan
menyerahkan pengelolaan blok Cepu kepada ExxonMobil, sorotan terhadap
dominasi ekonomi AS tidak berlangsung lama. Begitu para politisi ikut memicu
dan menceburkan diri dalam gelombang ultra-nasionalisme memaki-maki
pemerintah Australia karena pemberian visa kepada 43 orang pencari suaka
politik dari Papua Barat, media dengan patuh mengikuti arus ultra-nasionalisme
itu (lihat karikatur di Gambar 1 & 2).

Dengan demikian, kecil kemungkinan akan ada reaksi masyarakat yang


cukup berarti terhadap ekspansi pompa bensin Shell, Petronas, ChevronTexaco,
ConocoPhillips dan maskapai asing lain, di seluruh Indonesia. Barangkali akan
sedikit berbeda halnya dengan pengoperasian Blok Cepu oleh ExxonMobil, yang
lebih menonjol sebagai simbol imperialisme AS di Tanah Jawa. Tapi dalam kasus
itupun pendapat para aktivis di luar Blok Cepu berbeda diametral dengan
pendapat (sebagian besar?) rakyat miskin di wilayah itu sendiri, yang, untuk saat
ini, masih menyambut kedatangan ExxonMobil dengan tangan terbuka.

Gambar 1: Karikatur John Howard, PM Australia,


di kantung kanguru (Kompas, 29 Maret 2006).

33
Gambar 2: Karikatur Tempo, 9 April 2006, hal. 20.

34
V. KESIMPULAN:
DALAM makalah ini telah saya uraikan sejarah singkat perkembangan
ilmu ekonomi politik sejak kemunculannya di Eropa, empat abad lalu, sampai
dengan perkembangan pasca Perang Vietnam. Tiga aliran telah diuraikan dalam
bagian itu, yaitu aliran fisiokrat di Perancis, aliran ekonomi humanis, aliran
ekonomi mainstream yang dirintis oleh Adam Smith, yang di pergantian abad ke-
19 dan ke-20 mengklain diri sebagai political economy, serta ekonomi politik
Marxis yang muncul sebagai kritik terhadap aliran-aliran sebelumnya. Di puncak
era Perang Dingin, muncullah ekonomi politik radikal di negara-negara Barat,
yang mengritik kapitalisme Barat maupun sentralisme ekonomi model Soviet.
Aliran politik ekonomi radikal itu juga berkembang di luar negara-negara Barat,
yang dapat dilihat dari kontribusi Samir Amin dalam menyoroti sistem ekonomi
daerah periferi di Timur Tengah, serta Hamza Alavi di Pakistan dan Bangla
Desh.

Sesudah kekalahan AS dalam Perang Vietnam, ekonomi politik


berkembang menjadi bagian dari kurikulum ilmu politik, sebagai ilmu yang
mempelajari “produksi dan distribusi kekayaan, serta dampak sosialnya”.
Ekonomi politik menjadi semacam “pendekatan” yang diterapkan terhadap
peristiwa politik yang berdarah dan spektakuler, maupun terhadap kebijakan
pembangunan yang menciptakan kekerasan struktural.

35
Selepas bagian panjang ini, saya telah membeberkan sorotan ekonomi
politik terhadap hubungan Utara-Selatan dalam tradisi Marxis yang jelas
keberfihakannya kepada bangsa-bangsa yang masih terjajah oleh kekuasaan
modal dari negara-negara kapitalis lanjut. Sorotan umum dalam tradisi ini
dilanjutkan dengan sorotan terhadap teori ketergantungan Andre Gunder Frank.
Di situ digambarkan pergeseran ‘nada dasar’ Frank dalam menyoroti pilihan
strategi pembangunan negara-negara berkembang. Semula ia sangat pesimis
terhadap kemungkinan negara-negara berkembang menentukan strategi
pembangunannya sendiri, mengingat kuatnya peranan kelas komprador domestik
yang begitu haus modal asing, demi pembengkakan rekening bank mereka
sendiri. Namun di akhir dasawarsa 1980-an, Frank dan kolaboratornya, Marta
Fuentes, mulai berbicara tentang ‘pelepasan kopling’ (delinking) negara-negara
Selatan dari penjajahan maskapai-maskapai transnasional dari Utara, berkat
kemunculan aktivis gerakan lingkungan di hutan Amazon, serta gerakan petani
tak bertanah dan buruh yang ikut menurunkan Presiden Fernando Henrique
Cardoso, mengorbitkan Presiden Lula, dan kini sedang menentukan sikap
setelah Lula terlalu patuh pada perintah para kapitalis dari Utara.

Akhirnya, kuliah umum ini saya kunci dengan menerapkan teori


ketergantungan terhadap kasus kenaikan harga BBM, yang sempat
menimbulkan kontroversi tentang peranan kaum intelektual, akibat iklan di
harian Kompas, 26 Februari 2005, dari 36 orang tokoh masyarakat – termasuk
Frans Magnis-Suseno dan Ulil Absar-Abdalla – yang mendukung kenaikan harga
BBM. Melalui pendekatan teori ketergantungan, terbukalah kedok rezim SBY-JK,
yang menimbulkan kemudharatan bagi kaum dhuafa, demi kepentingan
maskapai migas asing, seperti Shell dan ConocoPhillips, yang punya hubungan
bisnis dengan perusahaan keluarga sejumlah tokoh inti Kabinet SBY-JK.

Peranan media dalam membelokkan perhatian masyarakat dari soal


imperialisme ekonomi migas Barat, dari hulu (ExxonMobil di Blok Cepu) sampai
ke hilir (pompa bensin Shell di Karawaci), ke sikap ultra-nasionalis menghadapi
Australia, juga telah dibahas.

Atas kesabaran Anda mengikuti kuliah umum ini, saya ucapkan beribu-
ribu terima kasih. Sekaligus mohon maaf atas kata-kata saya, yang secara sadar
maupun tidak, menimbulkan rasa tidak enak di hati Anda.

Yogyakarta, 6 April 2006.

36
Kepustakaan:
Aditjondro, George Junus (1998). Dari Soeharto ke Habibie: Guru kencing berdiri,
murid kencing berlari: Kedua puncak korupsi, kolusi, dan nepotisme rezim Orde Baru.
Jakarta: Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) & Pijar Indonesia.
---------------- (2000a). Menyongsong matahari terbit di Puncak Ramelau: Dampak
pendudukan Timor Lorosae’e dan munculnya gerakan pro-Timor Lorosa’e di Indonesia.
Jakarta: Yayasan HAK & FORTILOS.
---------------- (2000b). Tangan-tangan berlumuran minyak: Politik minyak di balik
tragedi Timor Lorosae. Jakarta: Solidamor.
--------------- (2001a). Timor Lorosa’e on the crossroad: Timor Lorosa’e’s transformation
from Jakarta’s colony to a global capitalist outpost. Jakarta: CeDSoS (Centre for
Democracy and Social Justice Studies).
---------------(2001b). “Di balik asap mesiu, air mata dan anyir darah di Maluku”.
Epilog dalam Zairin Salampessy & Thamrin Husain (peny.). Ketika semerbak
cengkeh tergusur asap mesiu: Tragedi kemanusiaan Maluku di balik konspirasi militer,
kapitalis birokrat, dan kepentingan elit politik. Jakarta: TAPAK Ambon, hal. 131-76.
--------------- (2002). “Burung-burung kondor beterbangan di atas bumi Sulawesi:
Kapitalisme ekstraktif, imperialisme mineral, dan peranan kelas komprador
domestik dalam industri pertambangan di Indonesia.” Kata Pengantar dalam
Arianto Sangaji, Buruk Indo, rakyat digusur: Ekonomi politik pertambangan di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hal. ix-xxii.
-------------(2003a). Kebohongan-kebohongan negara: Perihal kondisi obyektif lingkungan
hidup di Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
------------- (2003b). “Pilar-pilar kelas komprador domestik yang bertahan di
Senayan.” Kata Pengantar dalam Agung Yuswanto, Di balik jejak skandal Balongan.
Jakarta: CeDSoS, hal. vii-xiii.
--------------(2004a). “Dari gaharu ke bom waktu HIV/AIDS yang siap meledak:
Ekonomi politik bisnis tentara di Tanah Papua”. Wacana. Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif. No. 17/Th. III, hal. 8-112.
--------------(2004b). “Kayu hitam, bisnis pos penjagaan, perdagangan senjata dan
proteksi modal besar: Ekonomi politik bisnis militer di Sulawesi bagian Timur.”
Wacana. Jurnal Ilmu Sosial Transformatif. No. 17/Th. III, hal. 137-78.
--------------(2004c). “Kerusuhan Poso dan Morowali, akar permasalahan dan jalan
keluarnya.” Dalam Stanley (peny.). Keamanan, demokrasi, dan pemilu 2004. Jakarta
ProPatria, hal. 109-55.
--------------(2004d). Timor Leste, fotokopi Indonesia? Catatan perjalanan ke Timor Leste,
15 s/d 25 Mei 2004. Naskah tak diterbitkan.

37
--------------(2005a). “Menghadapi gelombang tsunami kedua: Studi kasus
rekonstruksi Aceh, pasca-Helsinki.” Socieae Polites. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, No. 23 (5), hal. 32-44.
--------------(2005b). Militerisme dalam pengelolaan sektor minyak dan gas bumi di
Indonesia: Dari era Ibnu Sutowo ke era Arifin Panigoro. Makalah untuk Konferensi
Warisan Otoriterianisme di Indonesia, diselenggarakan oleh Elsam, PUSDEP
Universitas Sanata Dharma dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) di
Universitas Sanata Dharma, 17-19 Nov.
--------------(2005c). Disandera kabinet pedagang migas: Membongkar kepentingan-
kepentingan domestik dan internasional di balik kenaikan harga BBM di Indonesia.
Makalah untuk Diskusi Publik “Refleksi Sosial Agamawan terhadap Kenaikan
Harga BBM di Indonesia”, yang diselenggarakan Centre for the Study of
Religious and Socio-Cultural Studies (CRSD) Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Rabu, 23 November.
--------------(2006a). Bumi terkelupas, ikan menggelepar, penduduk terkapar: Dampak
seperempat abad korporasi-korporasi tambang di Indonsia. Jakarta: Konphalindo.
--------------(2006b). Korupsi kepresidenan: Reproduksi oligarki berkaki tiga: istana,
tangsi dan partai penguasa. Yogyakarta: LKiS.
Aronson, Ronald & John C. Cowley (1971). ‘The New Left in the United States.’
Dalam Arthur Lothstein (peny.). “Al we are saying “ The philosophy of the New Left.
New York: Capricorn Books. Hal. 27-44.
Althusser, Louis (1997). “Ideology and ideological state apparatuses”. Dalam
Anthony Easthope & Kate McGowan (peny.). A critical and cultural theory reader.
Buckingham: Open University Press, hal. 50-8.
Berki, R.N. (1975). Socialism. London: J.M. Dent & Sons Ltd.
Biersteker, Thomas J. (1981). Distortion of Development? Contending Perspectives on
the Multinational Corporation. Cambridge: The MIT Press.
Boyce, P.J. (peny.) (1980). Dictionary of Australian politics. Melbourne: Longman
Cheshire.
Dharmawan, HCB & Al Soni B.L. de Rosari (peny.) (2005). BBOM, antara hajat
hidup dan lahan korupsi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Engels, Frederick (1979). The conditions of the working class in England. London:
Granada Publishing Company.
--------- (2005). Anti-Duehring: Revolusi Herr Eugen Duehring dalam ilmu
pengetahuan. Jakarta & Bandung: Hasta Mitra & Ultimus.
Farhang, Mansour (1981). US imperialism from the Spanish-American War to the
Iranian Revolution. Boston: South End Press.
Finnegan, William (1992). A complicated war: The harrowing of Mozambique.

38
Berkeley: University of California Press.
Fowkes, Ben (1990). ‘Translator’s Preface’, dalam Karl Marx (1990). Capital: A
critique of political economy. Penguin Books & New Left Review, hal. 87-8.
Frank, Andre Gunder (1974). Lumpenbourgeoisie: Lumpendevelopment: Dependence,
class and politics in Latin America. New York: Monthly Review Press.
-------- (1982). On capitalist underdevelopment. Bombay: Oxford University Press.
Fuentes, Marta & Andre Gunder Frank (1989). “Ten theses on social movement,”
World Development, 17 (2), hal. 179-191.
------------- & ----------- (1990). “Civil democracy: Social movements in recent world
history”. Dalam Samir Amin, G. Arrighi, Andre Gunder Frank, and Immanuel
Wallerstein. Transforming the revolution: Social movements and the world-system.
New York: Monthly Review Press, hal. 139-80.
------------- & ----------- (1994). “On studying the cycles in social movements.”
Dalam L. Kriesberg, M. Dobrkowski & I. Wallimann (peny.). Research in social
movements, conflicts and change. Vol. 17. Greenwich, Conn.: JAI Press, hal. 173-96.
Gaay Fortman, Bas de & Henk Thomas (1976). De winst van een democratische
economie. Utrecht: Uitgeverij Het Spectrum.
Gazali, Effendi (2005). “(Maaf) Tak mampu beriklan”. Dalam Dharmawan & de
Rosari (peny.), op. cit., hal. 224-8.
Gibson, Donald (1994). Battling Wall Street: The Kennedy presidency. New York:
Sheridan Square Press.
Hobson, J.A. (1972). “The economic and financial taproots of imperialism.”
Dalam Martin Wolfe (peny.). The economic causes of imperialism. New York: John
Wiley & Sons, Inc., hal. 21-33.
Horowitz, David (1971). “The fate of Midas: A Marxist interpretation of the
American social crisis.” Dalam Lothstein, op. cit., hal. 184-205.
Hunt, E. K. (1981). Property and prophets: The evolution of economic institutions and
ideologies. New York: Harper & Row Publishers.
Kock, Margareth E. (1995). “Partai Buruh Brasil: Sosial Demokrasi Radikal”.
Dalam Kevin Danaher & Michael Schellenberger (peny.). Fighting for the soul of
Brazil. Global Exchange. Diterjemahkan dan disunting oleh Ken Budha
Kusumandaru.
Leach, Robert H. (1988). Political ideologies: An Australian Introduction. Melbourne:
The MacMillan Company of Australia Pty. Ltd.
Lenin, V.I. (1972). “The stages thesis becomes dogma”. Dalam Wolfe, op. cit., hal.
34-42.
-------- (1986). Imperialism, the highest stage of capitalism. Moscow: Progress
Publishers.

39
Lothstein, Arthur (1971). ‘Introduction.’ Dalam Lothstein, op.cit., hal. 11-23.
Lutz, MarkA. & Kenneth Lux (1979). The challenge of humanistic economics. Menlo
Park, CA: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Marcussen, Henrik Secher & Jens Erik Torp (1985). Internationalization of capital:
prospects for the Third World: A re-examination of dependency theory. London &
Uppsala: Zed Books & Scandinavian Institute of African Studies.
Marx, Karl (1990). Capital: A critique of political economy. Vol. 1. Penguin Books &
New Left Review.
-------- (2004). Kapital, sebuah kritik ekonomi politik. Jakarta: Hasta Mitra.
---------(t.t.). Naskah-Naskah Ekonomi dan Filsafat 1844. Jakarta: Hasta Mitra.
Mandel, Ernest (1990). ‘Introduction’, dalam Marx 1990, op. cit., hal. 11-88.
Murchland, Bernard (1992). Humanisme dan kapitalisme: Kajian pemikiran tentang
moralitas. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogyakarta.
Muschamp, David (1986). ‘Introduction’. Dalam David Muschamp (peny.).
Political thinkers. Melbourne: The MacMillan Co. of Australia Pty. Ltd., hal. 1-13.
Navarro, Vicente (peny.) (1982). Imperialism, health and medicine. London: Pluto
Press.
Pakpahan, Agus (2005). “Ekonomi politik pertanian bioteknologi,” Warta
Ekonomi, 21 Februari, hal. 12-13.
Petras, James (2005). Lula’s “workers’ regime” plummets in stew of corruption.
Counterpunch, 30 Juli.
Ransom, David (1975). “Ford country: Building an elite for Indonesia.” Dalam
Steve Weissman (peny.). The Trojan horse: A radical look at foreign aid. Revised 1975
edition. Palo Alto: Ramparts Press, hal. 93-116.
Revkin, Andrew (1990). The burning season: The murder of Chico Mendes and the
fight for the Amazon rain forest. London: Collins.
Rodney, Walter (1972). How Europe underdeveloped Africa. London & Dar es
Salaam: Bogle-L’Ouverture Publications & Tanzania Publishing House.
Sampson, Anthony (1977). The seven sisters: The great oil companies and the world
they made. Coronet Books.
Surono, Agus (2005). “BBM dan iklan Freedom Institute”, Dalam Dharmawan &
de Rosari (peny.), op. cit., hal. 209-13.
Utrecht, Ernst (1977). “Corporate compradors in South East Asia,” Arena, No. 47-
48, hal. 107-19.
Wardaya, Baskara T. (2003). Marx muda: Marxisme berwajah manusiawi.
Yogyakarta: Budi Baik.
Weissman, Steve (peny.) (1975). The Trojan horse: A radical look at foreign aid.
Revised 1975 edition. Palo Alto: Ramparts Press.

40
Wilczynski, Jozef (1984). An Encyclopedic Dictionary of Marxism, Socialism and
Communism. London: The MacMillan Press Ltd.
Wolfe, Martin (1972). ‘Introduction’, dalam Wolfe, op. cit., hal. 1-18.

41

You might also like