Professional Documents
Culture Documents
I. PENGANTAR:
UNDANGAN Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Drs. Suswanta, M.Si., Jumat, 24 Maret lalu, untuk
memberikan kuliah umum tentang Teori Ekonomi Politik, membuat saya merasa
sangat terhormat dan gembira. Mengapa? Undangan berikut kerangka acuannya
memberikan kesempatan untuk mengeksplisitkan dan mensistematisasi apa
yang selama ini sudah saya ketahui dari literatur dan sudah saya terapkan dalam
berbagai penelitian saya di berbagai daerah konflik.
1
kontribusi Marx dan pengikutnya terhadap disiplin ini.
Aliran-aliran pra-Marx:
ILMUWAN Perancis A. de Monchrestien pertama kalinya menggunakan
istilah “ekonomi politik” dalam bukunya, Traite de l’economie politique, yang terbit
tahun 1613, yang menyoroti pengelolaan ekonomi negara. Buku itu merintis
jalan bagi munculnya mazhab ekonom di Perancis, yang dikenal dengan nama
physiocrat, sedangkan aliran mereka dikenal dengan istilah physiocratism.
Aliran fisiokrat ini didirikan oleh Francois Quesnay (1694-1774) di tahun 1750s.
Mereka membedakan tiga kelas sosial dalam hubungan produksi dan distribusi,
yakni (1) kelas yang produktif, atau kelas pengusaha pertanian, yaitu kelas yang
sungguh-sungguh terlibat dalam bidang pertanian, para petani penyewa dan
pekerja pertanian; mereka disebut “produktif” karena hanya kerja mereka yang
menghasilkan suatu surplus; (2) kelas yang menghak-miliki surplus itu, atau
kelas tuan tanah, termasuk para pemilik tanah dan para pembantunya, si
penguasa (prince ) dan pada umumnya semua pejabat yang dibayar oleh negara,
dan akhirnya juga Gereja dalam sifat khususnya sebagai penghak-milikan
penerima sepersepuluh penghasilan; serta (3) kelas industri atau kelas mandul;
mandul, karena dalam pandangan kaum fisiokrat, mereka hanya menambahkan
bahan-bahan mentah yang diserahkan padanya oleh kelas produktif hanya
sebesar/sejumlah nilai yang ia konsumsi berupa kebutuhan hidup yang dipasok
oleh kelas yang sama itu (Engels 2005: 326). Buat kaum fisiokrat, nilai lebih
(surplus value) hanya ada dalam bentuk sewa tanah. Kelompok ini juga
merumuskan prinsip laissez faire, perdagangan bebas tanpa campur tangan
pemerintah (Wilczynski 1984: 435, 443; Marx 1990: 298, 644).
Mazhab baru itu mulai dikenal dengan istilah “ekonomi politik” (political
economy), meminjam judul buku Sir James Steuart, Inquiry into the principles of
political economy, yang terbit di Dublin tahun 1767. Penulis buku ini adalah
2
seorang pemilik tanah besar di Skotlandia, yang diusir dari Britania Raya karena
dianggap terlibat dalam suatu komplotan. Setelah lama merantau di daratan
Eropa ia menjadi akrab dengan kondisi ekonomi di berbagai negeri. Bukunya
yang menyoroti peranan emas dan perak dalam perdagangan internasional ikut
mempengaruhi pemikiran Adam Smith dan Thomas Robert Malthus dalam hal
spesialisasi dan kependudukan (Marx 1990: 243, 473, 556, 800; Engels 2005: 334).
Sambil meminjam banyak konsep dari Adam Smith (1723-90) dan David
Ricardo (1772-1823), Marx sering mengecam dengan keras tokoh-tokoh aliran
ekopol lainnya, khususnya J. B. Say (1767-1832), T. R. Malthus (1766-1834),
Frederic Bastiat (1802-50), N.W. Senior (1790-1864), J.R. MacCulloch (1789-1864),
dan J. S. Mill (1806-73), karena ia menganggap mereka telah mendistorsi
kontribusi-kontribusi ekopol klasik sebelumnya. Vulgarisasi pemikiran ekonomi
yang mereka lakukan, menurut Marx, adalah memisahkan teori ekonomi dari
analisis terhadap relasi-relasi produksi sosial, dengan asumsi bahwa prinsip-
prinsip ekonomi hasil deduksi ini dapat dianggap sebagai hukum-hukum
universal yang abadi yang berlaku bagi semua sistem sosial. Makanya, mazhab
‘ekonomi politik borjuis klasik’ ini, menurut kaum Marxis, dibagi dalam dua
periode: yakni periode laissez faire yang berlangsung sampai dengan tahun 1830,
dan periode ekopol vulgar yang mulai sesudahnya. Dalam periode pertama,
fokus mereka adalah relasi produksi ekonomi makro, maksimalisasi efisiensi
ekonomi, serta akumulasi modal melalui perusahaan swasta yang bersaing
secara bebas, tanpa intervensi negara. Sedangkan dalam periode kedua, ekopol
vulgar, yang berpengaruh sampai sekarang, fokus perhatian mereka adalah
analisis proses pasar, bersifat sangat subyektif pada kepentingan pelaku pasar
dan buta terhadap relasi-relasi sosial, sehingga mereka dituduh sebagai
pembela-pembela kapitalisme par excellence (Wilczynski 1984: 74, 631).
Ada seorang yang ‘membelot’ dari arus utama ekopol waktu itu, yakni
Jean-Charles-Leonard Sismonde de Sismondi (1773-1842). Bangsawan Swiss
3
keturunan Italia itu yang semula sangat mengagumi Adam Smith, menjadi
ekonom yang pertama kali menolak doktrin laissez faire setelah menyadari
betapa banyaknya orang miskin menjadi korban Revolusi Industri di Inggris.
Gejala pemelaratan kaum proletariat itu (immeseration of the proletariat ) yang
diamati Sismondi dituangkannya dalam bukunya, New principles of political
economy (1819). Sebelumnya, ia telah menulis buku Commercial wealth or
principles of political economy [La richese commerciale ](1803), dan sesudah kedua
buku itu, Political economy and the philosophy of government (1847) (Wilczynzki
1984: 163, 519; Lutz & Lux 1979: 30-1, 53; Marx 1990: 676, 727).
4
dalam ekonomi politik, di luar aliran liberalisme (Adam Smith dkk) dan
Marxisme, yakni mazhab ‘ekonomi humanis’ (lihat Skema 1). Sesudah Sismondi,
aliran ini dikembangkan oleh Thomas Carlyle (1795-1881), John Ruskin (1819-
1900), John A. Hobson (1858-1940), Richard H. Tawney yang mengecam
kapitalisme Inggris dalam bukunya, The acquisitive society (1920)2, Nicholas
Georgescu-Roegen, Mahatma Gandhi serta E.F. Schumacher, pengarang buku
Small is beautiful (Economics as if people mattered), yang terbit tahun 1973 dan
kontan menjadi ‘Kitab Suci’ gerakan teknologi madya di dunia (Lutz & Lux 1979:
11, 51-5, 280-4; de Gaay Fortman & Thomas 1976: 35-6; Murchland 1992: 3-15).
Berbeda halnya dengan Carlyle adalah Hobson, yang oleh Lenin tetap
dipuji sebagai pengecam kapitalisme dari kacamata liberalisme yang paling
kritis. Ekonom humanis ini menjadi salah seorang ideolog Partai Buruh Inggris,
dan ikut memelopori New Liberalism di tahun 1890-an yang memperjuangkan
perencanaan ekonomi dan ‘negara kesejahteraan’ (welfare state), tapi menolak
perjuangan kelas dan determinisme analisis ekonomis a la Marx. Muak dengan
sentimen publik bangsanya yang mendukung perang melawan para migran
keturunan Belanda (Boer) di Afrika Selatan (1899-1902), Hobson menulis
Imperialism, a study, yang terbit di London tahun 1902. Teori ‘imperialisme baru’
ini sangat menggugah cendekiawan Marxis maupun non-Marxis di masa itu. Ia
menegaskan bahwa perebutan daerah jajahan di antara negara-negara Eropa
didorong oleh usaha mengamankan sumber bahan baku dan mencari pasar buat
produk industri mereka yang baru berkembang. Biaya perang untuk menguasai
daerah jajahan, menurut Hobson, seharusnya dialihkan untuk memperbaiki
kesejahteraan ekonomi rakyat Inggris lewat akses yang sama terhadap tanah,
2 ). Richard H. Tawney juga ikut menjadi penggerak Partai Buruh Inggris. Menurutnya, tugas
gerakan sosialis adalah memperluas prinsip-prinsip demokrasi dari lingkaran hak-hak sipil dan
politik, di mana hak-hak itu secara resmi sudah diakui, ke organisasi-organisasi ekonomi dan
sosial, di mana hak-hak itu secara sistematis diingkari (lihat Berki 1978: 169).
5
pendidikan, dan perundang-undangan. Pandangan Hobson yang anti-
imperialisme baru itu dikutip panjang lebar oleh Lenin dalam Imperialism, the
highest stage of capitalism, yang ditulis di Swiss tahun 1916 sebulan sebelum
kembali ke Rusia. Lenin tertarik pada wawasan Hobson, seorang non-Marxis,
yang begitu tajam mengupas perbedaan imperialisme lama yang merkantilistis
dengan imperialisme baru di mana modal menjadi ujung tombak. Lenin juga
mengutip gambaran Hobson tentang sifat imperialisme yang parasitis,
menyedot kekayaan bangsa-bangsa jajahannya. Makanya, tesis Lenin tentang
imperialisme sering disebut tesis Hobson-Lenin (lihat Farhang 1981: 35-7; Hunt
1981: 146-7; Leach 1988: 92; Wolfe 1972; Hobson 1972; Lenin 1986: 87, 93, 94, 97,
98, 110).
6
berteduh, tapi juga keamanan, kebutuhan-kebutuhan sosial, serta kebutuhan-
kebutuhan moral yang berpuncak di aktualisasi diri (lihat Skema 2). Untuk itu,
Sismondi berusaha memperlambat laju industrialisasi di Perancis, sementara
Ruskin dan Hobson memperjuangkan humanisasi lingkungan kerja industri di
Inggris (idem).
Skema 2: Hirarki Kebutuhan menurut
psikolog humanis Abraham Maslow
(Sumber: Lutz & Lux 1979: 11)
7
titik di mana ia membebaskan manusia dari kebutuhan akan udara segar
ataupun pengerahan fisikal. Ilmu mengenai industri yang luar biasa ini
sekaligus merupakan ilmu mengenai asketisme, dan ideal sebenarnya
adalah si kikir yang asketik tetapi pemeras dan budak yang asketik tetapi
produktif. ….. ekonomi politik – sekalipun wujudnya yang duniawi dan
binal – adalah suatu ilmu pengetahuan moral yang sesungguhnya, yang
paling moral dari semua ilmu pengetahuan. Pengingkaran diri,
pengingkaran kehidupan dan semua kebutuhan manusia, merupakan
doktrinnya yang paling utama. Semakin sedikit anda makan, minum dan
membaca buku; semakin sedikit anda pergi ke teater, tempat dansa, balai
umum; semakin sedikit anda berpikir, bercinta, berteori, menyanyi,
melukis, bermain anggar, dsb, semakin banyak anda berhemat – semakin
besar jadinya kekayaan anda, yang tiada ngengat ataupun debu
melahapnya – modal anda. Semakin sedikit anda jadinya, semakin banyak
yang anda miliki; semakin kurang/sedikit anda mengekspresikan
kehidupan anda sendiri, semakin besar kehidupan anda yang teralienasi –
semakin besar pula muatan keberadaan anda yang dialienasi dst dst”.
8
humanis”, sikap Marx lebih bersahabat, sebab aliran ini juga mengambil sikap
kritis terhadap kapitalisme. Marx bahkan juga belajar dari teori akumulasi nilai-
lebih menjadi kapital (modal), seperti yang dikemukakan Sismondi. Selain itu,
Marx juga menyetujui teori ‘pemelaratan kaum proletar’ (immiseration of the
proletariat) yang dikemukakan Sismondi (Marx 1990: 727; Wilczynski 1984: 79).
9
antara sektor publik dan sektor swasta, termasuk kerjasama yang aktif antara
pemerintah, perusahaan raksasa, dan universitas, serta mengaburnya perbedaan
antara sektor publik dan sektor swasta (Willczynski 1984: 391-2).
10
Barat masih sangat moderat, lain halnya dengan “political economy” dan “political
economics”, yang dua-dua diterjemahkan menjadi “ekonomi politik”, ekopol.
Hibrida antara ekonomi dan politik ini tergenjot ke kiri akibat perkembangan
politik di negara-negara Barat. Sebagai reaksi terhadap imperialisme blok Barat
yang dimotori oleh AS serta imperialisme blok Timur yang dimotori oleh Uni
Soviet, lahirlah gerakan Kiri Baru (New Left) di AS dan Eropa Barat di akhir 1950-
an, yang memuncak di akhir 1960-an dan melemah di awal 1970-an. Di AS
gerakan itu dimotori oleh SDS (Students for Democratic Society), SNCC (Students
Non-Violent Coordinating Committee), Black Panther dan Negro Civil Rights
Movement. Filsafat mereka bertolak dari pemikiran 3 M (Marx, Mao dan
Marcuse), feminisme, existensialisme Sartre, anarkisme Murray Bookchin,
utopianisme Andre Gorz, analisis ekonomi Marxis Ernest Mandel, serta
Marxisme revolusioner trio “Caguho” (Castro, Guevara, Ho Chi Minh)
(Wilczynski 1984: 390-1; Aronson & Cowley 1971; Lothstein 1971).
Gerakan Kiri Baru itu serta komitmen politik banyak ilmuwan sosial
melahirkan Union for Radical Political Economics (URPE) pada tahun 1968 di
kampus Universitas Michigan, AS. Anggotanya sempat mencapai 1800 orang,
yang meliputi dosen, mahasiswa, pegawai negeri, peneliti dan aktivis bebas.
Mereka berusaha meradikalisasi mata kuliah ekonomi, dengan menyiapkan
kuliah-kuliah ekopol, serta menerbitkan jurnal Review of Radical Political Economy
yang terbit empat sampai enam kali setahun. Melalui saluran-saluran itu mereka
memasukkan humanisme dan nilai-nilai etis dalam telaah ekopol dan menolak
telaah ekonomi yang sangat fungsionalistis maupun sentralisasi ekonomi a la
Stalin (Wilczynski 1984: 443-4, 616). Berkat keaktifan gerakan itu, ekopol
diartikan sebagai berikut:
Political Economy: A term which has come to be applied by Marxists and other
left-wing radicals to economics, emphasizing the study of economic relations and
laws governing production, distribution, exchange and consumption at different
stages of society’s development.
Political Economics: A term used by the radical New Left, emphasizing the study
of economic facts, problems, processes and organization from the political and
social standpoint.
11
Utrecht,3 Rex Mortimer,4 dan Richard Robison5 di Australia; Ernest Mandel di
Eropa6; Mansour Farhang di Iran; serta Adi Sasono dan Sritua Arief7 di
Indonesia. Karya mereka tersebar lewat penerbit New Left Review di London;
penerbit Monthly Review di New York dan penerbit South End Press di Boston,
A.S.; serta jurnal Arena di Melbourne, Australia.
Semua tokoh ini diinspirasi oleh ekonomi politik Marxis, yang menentang
ekonomi mainstream di Barat yang pro-kapitalis maupun model ekonomi Stalin.
Bidang-bidang perhatian mereka adalah:
(a). transformasi masyarakat secara struktural;
(b). perencanaan ekonomi;
(c). hubungan antara kekuatan politik dan ekonomi, khususnya ekonomi swasta;
(d). soal-soal kekayaan dan distribusi pendapatan;
(e). partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan;
(f). dominasi asing oleh negara-negara besar (Wilczynski 1984: 478-9).
3 ). Ernst Utrecht adalah seorang Sarjana Hukum peranakan Jawa Belanda, yang pernah
mengajar di Universitas Hasanuddin (Makassar) dan Universitas Brawijaya (Malang). Pasca
kudeta Jenderal Soeharto tahun 1965, ia terpaksa mengungsi ke Australia. Di masa hidupnya,
almarhum banyak meneliti pengaruh maskapai-maskapai transnasional Barat, khususnya yang
berbasis di Australia, di awal era Orde Baru. Ia meninggal di Negeri Belanda.
4 ). Rex Mortimer adalah ahli ekopol Australia yang pertama kali menulis buku tentang
kediktatoran Soeharto serta ideologi ‘akselerasi modernisasi’ yang dianut Soeharto dan Asprinya,
Jenderal Ali Moertopo, atas dukungan think tank mereka, CSIS (Centre for Strategic and
International Studies ). Judul bukunya, Showcase state: The illusion of Indonesia’s accelerated
modernization (1973). Rex Mortimer, yang pernah mengajar di Port Moresby, juga sangat
mengecam imperialisme ekonomi Australia di Papua New Guinea. Ia meninggal di Australia.
5 ). Richard Robison menulis Indonesia: Rise of Capital (1986), buku kedua tentang transformasi
ekonomi Indonesia di awal era Orde Baru yang menggunakan pendekatan ekopol radikal. Ia
lama memimpin Asia Research Centre di Murdoch University di Perth, Western Australia, dan
mendidik sejumlah ahli ekopol Indonesia, a.l. Vedi Hadiz, yang sekarang berbasis di National
University of Australia. Buku karangan penulis, Korupsi kepresidenan: Reproduksi oligarki berkaki
tiga: istana, tangsi dan partai penguasa, yang diterbitkan oleh LKiS, dimungkinkan berkat bantuan
Richard Robison.
6 ). Ernest Mandel menulis Kata Pengantar yang panjang dan ilmiah bagi ketiga volume Capital
karangan Marx yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ia meninggal di bulan Juli 1995
dalam usia 72 tahun.
7 ). Di pertengahan Orde Baru, mereka berdua telah menulis buku pertama yang menerapkan
teori ketergantungan pada rezim Soeharto, sebelum Sritua Arief (alm) hijrah ke Inggris untuk
menyelesaikan studi ekonominya ke jenjang Ph.D. Setelah penerbitan buku itu, Adi Sasono
membanting setir orientasi politiknya ke kanan.
12
studi politik (political studies), ekonomi politik merupaan studi tentang “produksi
dan distribusi kekayaan dan dampak sosialnya” (production and distribution of
wealth and its social consequences) (Muschamp 1986: 5). Dictionary of Australian
Politics (Boyce 1980: 202), mendefinisikan political economy, secara lebih sebagai
berikut: The study of economics in its social, cultural and political context, revived in
the 1970s as a left-wing protest against the narrowness of orthodox economics [studi
tentang ekonomi dalam konteks sosial, budaya dan politisnya, yang dihidupkan
kembali dalam dekade 1970s sebagai protes terhadap kesempitan pandangan
ekonomi ortodoks].
13
.0“Sejarah pemerintahan kolonial Belanda – dan pada abad ke-XVII Negeri
Belanda merupakan model tipikal bangsa kapitalis – adalah salah satu dari
hubungan-hubungan yang paling luar biasa dari pengkhianatan, penyuapan,
pembantaian, dan kejahatan. Tiada yang lebih tipikal lagi dari pada sistem
pencurian orang di Celebes [Sulawesi], untuk mendapatkan budak-budak untuk
(pulau) Jawa. Pencuri-pencuri manusia itu dengan khusus dibina untuk itu. Si
pencuri, penerjemah dan si penjual merupakan agen-agen utama dalam
perdagangan ini, dan bangsawan-bangsawan pribumi merupakan penjual-
penjual utamanya. Pemuda-pemuda yang dicuri disembunyikan di dalam
penjara-penjara rahasia di Sulawesi, sampai mereka itu siap untuk dikirim ke
kapal-kapal budak. Sebuah laporan resm mengatakan: “Kota Makassar ini,
misalnya, penuh dengan penjara-penjara rahasia, yang satu lebih mengerikan
dari pada yang lain, penuh dengan orang-orang celaka itu, korban-korban dari
ketamakan dan kelaliman yang dirantai dan dengan paksa dipisahkan dari
keluarga mereka”. Untuk menguasai Malaka, orang-orang Belanda menyuap
Gubernur Portugal. Pada tahun 1641 ia membiarkan mereka masuk kota. Mereka
langsung mendatangi rumahnya (rumah gubernur itu) dan membunuhnya, agar
dapat “tidak membayar” jumlah uang suap sebesar 21.875 poundsterling. Ke
mana saja kaki mereka melangkah, diikuti oleh pemusnahan dan depopulasi.
Banyuwangi, …. pada tahun 1750 berpenduduk lebih dari 80 ribu orang, pada
tahun 1811 hanya tinggal 18 ribu orang. Inilah perdagangan penuh kedamaian!”
14
(5). Pembentukan kartel-kartel kapitalis internasional yang membagi-bagi
wilayah pengaruh di dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis internasional.
Sedangkan kebenaran tesis Lenin dapat kita lihat dari dominasi maskapai-
maskapai tambang AS di Nusantara, mulai dari Freeport McMoRan di Papua
Barat, Newmont di Minahasa (Sulawesi Utara) dan Sumbawa (NTB), s/d
ExxonMobil, yang setelah menguras gas alam di Aceh kini diizinkan melakukan
hal yang sama di Blok Cepu (lihat Laporan Utama Tempo, 27 Maret – 2 April
2006; Aditjondro 2006a).
10 ) Royal Dutch, sayap Belanda dari perusahaan kongsi Belanda-Inggris ini dirintis dengan
eksplorasi minyak bumi di Sumatera di akhir 1890an, oleh seorang pedagang Belanda, Jean
Kessler, dibantu oleh dua orang Belanda lagi, yakni Hugo Loudon, seorang pedagang juga yang
keluarganya sudah lama tinggal di Hindia Belanda, dan Henri Deterding, seorang piñata buku
dan anak dari seorang kapten laut, yang mulai belajar perbankan di Singapura dan mahir
mengutak-atik angka penjualan minyak bumi. Tahun 1906, trio itu melakukan merjer dengan
maskapai Inggris, Shell, yang memiliki armada tanker tapi tidak memiliki cadangan minyak
bumi (lihat Sampson 1977: 64-6).
15
teori ketergantungan seperti Fernando Henrique Cardoso, Theotonio Dos Santos,
Andre Gunder Frank, Walter Rodney, Mahmood Mamdani, Hamza Alavi, Ali A.
Mazrui, Samir Amin, dan Hamza Alavi, saya ingin secara khusus menyoroti
perkembangan pemikiran Andre Gunder Frank (lahir tahun 1929), karena
pergeseran pemikiran ‘Frank Muda’ ke ‘Frank Tua’ yang cukup drastis.
Ada dua hal yang perlu ditambahkan dalam uraian Frank itu. Pertama,
Portugal menerima ‘penjajahan’ Inggris atas negeri mereka, karena masa
kejayaan Portugal sebagai kerajaan maritim sudah pudar, sesudah armada
Spanyol dihancurkan oleh armada Inggris di tahun 1588 (Frank 1974: 46),
sehingga armada Inggrislah yang paling di dunia, dengan semboyan ‘Britain
11 ). Waktu itu maskapai-maskapai Jepang belum begitu berjaya di dunia seperti sekarang,
apalagi perusahaan-perusahaan Korea Selatan, yang di sektor otomotif telah menyaingi
maskapai-maskapai AS dan Jepang. Atau, di bidang perkayuan, maskapai-maskapai Malaysia
dan Indonesia, yang erat terkait dengan dinasti Soeharto dan Mahathir.
16
rules the waves’ . Kekuatan armada Inggris itu kemudian memungkinkan Inggris
dan Perancis – s/d penaklukkan Napoleon oleh tentara Inggris – secara sistematis
mengambil alih kekuasaan atas semua jalur perdagangan dan koloni-koloni
Portugal dan Spanyol (idem ). Kedua, hubungan ekonomi yang istimewa antara
Britania Raya dan Portugal, menyebabkan Portugal sekedar menjadi ‘proxy’ bagi
kepentingan ekonomi Britania Raya di negeri-negeri jajahannya di Afrika,
Angola dan Mozambique, yang kaya sumber daya alam. Selanjutnya, dengan
menjadi anggota NATO, Portugal tidak cuma menjadi proxy Inggris, tapi juga
menjadi proxy AS dan Jerman Barat di Afrika dan Timor Leste.
12 ). Kereaksioneran para borjuis pribumi sudah diungkapkan satu dasawarsa sebelumnya oleh
pemikir dan pejuang kemerdekaan Aljazair, Frantz Fanon, dalam bukunya, Wretched of the earth.
Saya merujuk ke hasil pengamatan Fanon di negara-negara Afrika yang baru merdeka dalam
buku saya tentang rekonstruksi Timor Leste pasca penarikan pasukan Indonesia (2001a: 2-3).
17
itu diibaratkan sebagai “kuda Troja” yang menyelundupkan pola pembangunan
kapitalis ke negara-negara penghutang (lihat Weissman 1975).
18
militer dan kontraktor proyek-proyek militer (Wilczynski 1984: 359-60).
Selain kartel di atas, ada juga “kompleks perbankan & minyak bumi”
(banking-oil complex ), di mana saham sejumlah bank dan perusahaan
pertambangan minyak bumi dikuasai oleh segelintir kapitalis. Istilah ini
mengacu kepada kekuasaan keluarga Rockefeller dan keluarga Morgan, yang
menguasai mayoritas saham kelompok Citibank, kelompok Chase (Manhattan)
serta perusahaan-perusahaan pecahan dari Standard Oil, yang didirikan oleh
John Rockefeller, pendiri dinasti Rockefeller.14 Kartel ini tidak hanya
mendominasi politik luar negeri AS ketika Nelson Rockefeller menjadi Wakil
Presiden AS atau ketika Henry Kissinger menjadi Menlu AS di era Presiden
Gerald Ford, tapi juga ketika John Foster Dulles, Christian Herter dan Dean Rusk
menjadi Menlu. Ketiga Menlu itu sangat dekat dengan Rockefeller Bersaudara
(Horowitz 1971: 191; Gibson 1994: 129-32).15
13 ) Di masa Perang Dingin, ‘musuh’ AS adalah Uni Soviet dan sekutu-sekutunya (blok Timur).
Sedangkan setelah runtuhnya Tembok Berlin, harus dicari ‘musuh’ baru, yang tidak lagi tunggal,
seperti ‘bahaya Komunisme’ di masa lalu, melainkan ‘tokoh-tokoh teroris’ yang terpencar-pencar,
yakni diktator-diktator yang menentang imperialisme ekonomi AS, mulai dari putera Kim Il
Sung di Korea Utara, Fidel Castro di Kuba, Milosevic (alm) di Serbia, Saddam Hussein di Irak,
rezim Ayatullah di Iran, rezim Taliban di Afghanistan, s/d Usamah bin Laden dan al Qaeda.
Sementara itu, diktator-diktator yang pro-AS, seperti Ferdinand Marcos (alm) dan Soeharto, serta
rezim PKT di RRT yang membunuh ribuan mahasiswa di Tian An Mien, dirangkul. Oportunisme
ini perlu difahami, supaya kita tidak terjebak dalam anggapan bahwa politik luar negeri AS
ditujukan terhadap kelompok agama tertentu.
14 ) Ada pecahan Standard Oil yang sudah menyatu kembali, yakni ExxonMobil dan Chevron
Texaco. Ada juga yang melakukan merjer dengan perusahaan AS lain yang sedang naik daun,
seperti Conoco yang melebur dengan Phillips Petroleum menjadi ConocoPhillips, penguasa gas
alam di Laut Utara dan Laut Timor.
15 ). Kartel ini berada di belakang keputusan Presiden Gerald Ford untuk memberikan lampu
hijau bagi Soeharto dan tentaranya untuk mencaplok Timor Leste di bulan Desember 1975,
19
Makanya, kunjungan Condoleeza Rice ke Indonesia pada hakekatnya
tidak berbeda dengan kunjungan Henry Kissinger ke Indonesia di era Orde
Baru: inspeksi seorang pejabat rezim imperialis AS ke negeri jajahan
ekonominya, untuk mengecek bagaimana perlakuan orang-orang pribumi
terhadap maskapai-maskapai AS di sini. Tentu saja Condy sangat puas bahwa
ExxonMobil baru saja mendapat hak mengelola Blok Cepu, yang memiliki
kandungan antara 1,4 sampai 2,6 milyar barel minyak bumi dan 1,8 trilyun kaki
kubik gas alam (Gatra, 27 Ag. 2005: 24; Trust, 13-19 Maret 2006: 14; Intelijen, 24
Maret-6 April 2006: 18-19; Tempo, 2 April 2006: 31).
Optimisme itu dapat dilihat dari serangkaian tulisan Frank dan Fuentes
(1989, 1990, 1994), yang menyoroti gerakan-gerakan kemasyarakatan tersebut.16
supaya kekayaan migas di dasar Laut Timor dapat jatuh ke tangan maskapai-maskapai migas
AS, khususnya yang termasuk “banking-oil complex” milik keluarga Rockefeller & Morgan.
Nyatanya, ladang-ladang migas yang paling menguntungkan di dasar Laut Timor sekarang telah
jatuh ke tangan ConocoPhillips (Aditjondro 2000b: 53-63, 2004d).
16 ). Boleh jadi, kedua sosiolog Brazil itu belum menyadari, bagaimana gerakan-gerakan
kemasyarakatan (social movements ) ikut berpotensi menjatuhkan dan mengorbitkan calon-calon
presiden di negara mereka sendiri. Salah seorang perintis mazhab ketergantungan, Fernando
Henrique Cardoso, terpilih menjadi Presiden Brazil di tahun 1994 di bawah bendera Partai Sosial
Demokrat Brazil (PSDB), dan mulai mengambilalih tanah para tuan tanah untuk dibagikan
kepada petani miskin tak bertanah. Namun di bawah rezimnya, 19 orang petani Amazon
ditembak mati oleh polisi ketika berdemonstrasi di kota Eldorado dos Carajas. Tahun 1998,
Cardoso terpilih kembali, dan mulai melakukan pembangunan besar-besaran di wilayah
20
Khususnya dalam tulisan mereka tentang sepuluh tesis tentang gerakan-gerakan
kemasyarakatan, tesis ketujuh mengeksplisitkan optimisme itu: ternyata masih
ada harapan bagi negara-negara belahan bumi Selatan. Dengan kata lain, negara-
negara Selatan (kecuali Afrika Selatan dan Australia) tidak perlu membebek
pada pola pembangunan negara-negara Utara, karena gerakan-gerakan
kemasyarakatan dapat “melepas kopling” (delinking) negara-negara Selatan dari
negara-negara Utara. Malah, menurut Fuentes dan Frank, gerakan-gerakan ini
memungkinkan negara-negara Selatan melakukan transisi menuju sosialisme.
Bukan sosialisme negara model Uni Soviet, tapi sosialisme yang terbuka
terhadap pemikiran utopianisme dan anarkisme (1989: 186-7).
Amazon, atas dorongan IMF dan para kapitalis asing dan domestik. Bulan Maret 2002, sejumlah
anggota gerakan petani tak bertanah (MST, Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra ), yang
tidak puas atas lambatnya land reform di bawah Cardoso, menduduki ranch keluarga Cardoso.
Oktober tahun itu juga, Luiz Inacio da Silva, yang berjulukan “Lula” (gurita), bekas tukang semir
sepatu yang berhasil menjadi pemimpin serikat buruh dan ketua PT (Partido dos Trabalhadores),
Partai Buruh Brazil, terpilih sebagai Presiden Brazil menggantikan Cardoso. Posisinya pun kini
sedang terancam karena dukungan MST menipis akibat lambatnya redistribusi tanah serta
tingginya korupsi para kader PT di pemerintah. Suatu studi UNDP menunjukkan bahwa 10%
penduduk Brazil terkaya memiliki 85 x kekayaan 10% penduduk Brazil termiskin, membuat
Brazil menjadi negara keempat tertimpang pendapatannya di dunia. Dalam pilpres Brazil
Oktober mendatang, salah seorang penantang Lula datang dari partainya Cardoso, PSDB (Petras
2005; Kock 1995; BBC News, 5, 17, 24 Nov. 2005; The Economist, 4 Maret 2006: 39-41, 11 Maret 2006:
40).
21
Contoh penggunaan mekanisme hukum adalah gugatan Oceanic Oil,
perusahaan migas kelas menengah dunia yang berbasis di Denver, Colorado, AS,
terhadap ConocoPhillips. Oceanic Oil menganggap ConocoPhillips telah
“mencuri” konsesi minyaknya di Laut Timor dengan berturut-turut menyogok
pejabat Pertamina (ketika Timor Leste masih dijajah Indonesia), lalu menyogok
Perdana Menteri Timor Leste, Mar’ie Alkatiri serta anggota-anggota kabinet dan
parlemen Timor Leste yang berasal dari partai FRETILIN (Aditjondro 2004d).
22
tertentu; dan (c). para politisi yang memegang kekuasaan di partai pendukung
Presiden dan Wakil Presiden.
Namun dari berbagai observasi, ‘KKD’ yang mirip oligarki ini (lihat
Aditjondro 2006b) harus dilengkapi dua tipe aparat negara. Seperti
dikemukakan filsuf Perancis kelahiran Aljazair, Louis Althusser, kedua jenis
aparat negara itu adalah (d) aparat represif negara dan (e) aparat ideologis
negara (1997). ‘Aparat represif negara’(RSA = repressive state apparatus) adalah
seluruh perangkat aparat negara yang memaksa (coercion) rakyat patuh pada
kehendak negara, mulai dari aparat bersenjata s/d seluruh perangkat aparat
hukum. Namun tidak kalah pentingnya adalah ‘aparat ideologis negara’ (ISA =
ideological state apparatus), yang mempengaruhi pikiran rakyat, sehingga
kemauan pemerintah diterima secara sukarela (consent). ISA meliputi lembaga
agama, lembaga pendidikan, lembaga hukum, lembaga politik, media, serta
lembaga dan pranata kebudayaan. Pentingnya faktor ISA ini dapat dilihat dari
kontroversi iklan Freedom Institute di harian Kompas, 26 Februari 2005, yang
ditandatangani 36 tokoh masyarakat yang mendukung kenaikan harga BBM.
Munculnya nama Frans Magnis-Suseno sebagai salah seorang penandatangan
iklan itu, kontan mengendorkan semangat mahasiswa Universitas Kristen Duta
Wacana (UKDW) untuk turun ke jalan.
Klik di
seputar Kepala
Negara dan
23
wakilnya
Orang-orang Orang-orang
kunci di bidang kunci di bidang
politik ekonomi
Aparat Aparat
Represif Ideologis
Negara Negara
-----------------------------------
TRANSNATIONAL
CORPORATIONS
-------------------------------------
----------------------------------------------------------
24
FINANCIAL-CORPORATE-
GOVERNMENT COMPLEXES
-----------------------------------------------------------
---------------------------------------------
DE-LINKING MECHANISMS
(market, legal, parliamentary)
------------------------------------------
-------------------------------------------------------
DOMESTIC COMPRADOR
CLASSES
-------------------------------------------------------
------------------------------------
GLOBAL
SOCIAL MOVEMENTS
-----------------------------------
------------------------------------------
CITIZENS
(= voters, consumers,
shareholders)
--------------------------------------------
25
Di sini saya hanya ingin bertanya kembali: betulkah penentu kenaikan harga
BBM itu, hanyalah para penentu kebijakan ekonomi di dalam negeri? Betulkah
Presiden SBY serta Wakil Presiden M. Jusuf Kalla dan menteri-menteri mereka
merupakan penentu utama kebijakan ekonomi yang tidak berfihak ke kelas
bawah Indonesia tersebut?
Di luar urusan yang berkaitan dengan Blok Cepu, kelompok Bukaka yang
dipimpin oleh Achmad Kalla, adik kandung sang Wakil Presiden, punya
26
hubungan bisnis dengan salah satu raksasa migas dari AS, ConocoPhillips.
Berkongsi dengan perusahaan daerah Batam, PT Bukaka Barelang Energy
sedang membangun pipa gas alam senilai 750 juta dollar AS – setara Rp. 7,5
trilyun – untuk menyalurkan gas alam dari Pagar Dewa, Sumatera Selatan, ke
Batam. Nama perusahaannya, PT Bukaka Barelang Energy (Tempo, 30 Okt. 2005:
75). Gas alamnya sendiri berasal dari ladang ConocoPhillips di Sumatera Selatan.
27
Yusgiantoro, adalah Wakil Pemimpin Perusahaan PT Resource Development
Consultant, di mana M.S. Kaban, Menteri Kehutanan, menjadi konsultan (Tempo,
4 Des. 2005: 123). Entah apa bidang bisnis PT itu. Namun embel-embel “resource
development” jatuhnya tidak jauh dari sumber-sumber daya energi juga.
Belakangan ini, dalam rush para pelaku bisnis top di Indonesia untuk
mendapat bagian dalam pengeboran minyak bumi di blok Cepu di perbatasan
Jawa Tengah dan Jawa Timur, nama Tomy Winata. Selain dia, pengusaha yang
sudah menampakkan minatnya untuk ikut menggarap blok Cepu adalah Surya
Paloh, melalui perusahaannya, PT Surya Energi Raya, Ketua Dewan Penasehat
Partai Golkar, yang digandeng oleh PT Asri Dharma milik Pemkab Bojonegoro;
Dahlan Iskan, boss Grup Jawa Pos; serta Ilham Habibie, puta sulung mantan
presiden B.J. Habibie; Letjen (Purn.) A.M. Hendropriyono, mantan Kepala BIN
(Badan Intelijen Negara); Hartati Murdaya, pimpinan kelompok CCM (Central
Cakra Murdaya); Laksdya Sudibyo Rahardjo; serta Susanto (“Tono”) Supardjo,
menantu Jusuf Kalla (Gatra, 27 Ag. 2005: 26, 10 Sept. 2005: 74-75; Kedaulatan
Rakyat, 31 Maret 2006; Sabili, 6 April 2006: 35).
Hampir semua nama itu merupakan tokoh lama di bidang politik dan
ekonomi. Sudibyo Raharjo, mantan Dubes R.I. untuk Singapura dan mantan
penasehat Otorita Batam, adalah mertua Thareq Kemal Habibie, putra kedua B.J.
Habibie (Aditjondro 1998: 88-9). Setahu saya, purnawirawan perwira TNI/AU itu
tidak terlalu dekat dengan SBY. Berbeda halnya dengan ‘trio’ Hendropriyono,
Tomy Winata, dan Hartati Murdaya.
28
pribadi, menjadi salah seorang pemegang saham PT KMI. Sedangkan seorang
putera Hendro, Ronny Narpatisuta Hendropriyono, menjadi salah seorang
direktur PT KMI, bersama Fayakun Muladi, putera mantan Menteri Kehakiman
Muladi. Ronny, pada gilirannya, juga komisaris PT Hartadi Inti Plantations,
penguasa areal konsesi kelapa sawit seluas 52 ribu hektar di Kabupaten-
kabupaten Buol dan Toli-Toli di Sulawesi Tengah (Aditjondro 2004: 144-6).
Berarti, keluarga Hendropriyono punya hubungan bisnis yang cukup erat
dengan Tomy Winata maupun dengan Hartati Murdaya. Melihat kenyataan itu,
boleh jadi trio Hendropriyono-Tomy Winata-Hartati Mudaya akan bekerjasama
untuk mendapatkan bagian dari mega proyek blok Cepu itu.
17 ). Harga bahan bakar minyak (BBM), yang rata-rata naik 125%, mulai 1 Oktober lalu, jelas-jelas
menunjukkan bias ke arah kepentingan kelas menengah dan atas. Bensin premium ‘hanya’ naik
87,5% dari Rp 2400 menjadi Rp 4500 per liter. Solar naik 105% dari Rp. 2.100 menjadi Rp 4.300 per
liter. Sedangkan minyak tanah naik 186% dari Rp 700 menjadi Rp 2000 per liter! (Aditjondro
2005).
29
Siapa lobbyist bagi masuknya Shell ke pemasaran BBM, dapat disimpulkan
dengan melihat lokasi pendirian pompa bensinnya yang pertama, yakni di depan
Hypermart Lippo Karawaci di Tangerang. Tanah di mana SPBU Shell itu berdiri,
adalah bagian dari kota satelit Lippo Karawaci seluas 500 hektar, milik PT Lippo
Karawaci Tbk. James T. Riyadi (lahir di Jakarta, 7 Januari 1957), adalah pemegang
saham utama perusahaan itu. Ia memimpin kelompok Lippo di Indonesia dan di
AS. Sedangkan ayahnya, Mochtar Riady, memimpin usaha kelompok Lippo di
Tiongkok. Kerjasama ayah dan anak ini pernah menimbulkan kontroversi di AS,
ketika kelompok Lippo menyumbang satu juta dollar AS untuk dua kali
pemilihan Presiden William (Bill) Clinton. Kedekatan mereka dengan Bill
Clinton membuahkan hasil yang lumayan menguntungkan: sebuah pembangkit
listrik raksasa yang dibangun kelompok Lippo di Tiongkok, mendapat pinjaman
dari Bank Exim AS, yang sejatinya hanya meminjamkan dana kepada
perusahaan-perusahaan AS (Aditjondro 2005).
Tidak banyak orang yang masih ingat peranan kelompok Lippo dalam
skandal korupsi Bill Clinton, berkat kelihaian strategi human relations kelompok
itu, yang menyasar kelas menengah-atas keturunan Tionghoa yang beragama
Kristen. James Riady telah menyumbang pembangunan banyak gereja di
berbagai kawasan pemukiman mewah di Indonesia. Kapela (gereja kecil) di
kampus UKSW, Salatiga, juga merupakan sumbangan Lippo. Ayah James,
Mochtar Riady, bahkan duduk dalam kepengurusan yayasan pengelola
perguruan tinggi Kristen itu, yang telah memecat Arief Budiman, cendekiawan
keturunan Tionghoa, yang sangat kritis terhadap perkembangan konglomerat di
Indonesia. Selain itu, kelompok Lippo dikenal sebagai salah satu donor PDI-P.
PDI-P sendiri tidak dapat diharapkan mewakili aspirasi rakyat yang tidak
setuju dengan kenaikan harga BBM, maupun penunjukan ExxonMobil sebagai
pengelola Blok Cepu. Ini tidak terlepas dari dominannya peranan Megawati
Soekarnoputri dan suaminya, Taufik Kiemas, di fraksi terbesar di DPR-RI itu.
Padahal keluarga ini merupakan pedagang BBM yang semakin berjaya di
wilayah DKI.
30
gabungan premium, pertamax dan solar. Bahkan salah satu di antaranya, yaitu
yang berlokasi di kawasan Pluit, Jakarta Barat, mampu menjual 90 ribu liter
sehari (Swasembada, 10-23 Nov. 2005: 126-8). Makanya, mereka sangat
diuntungkan dengan keputusan pemerintah menaikkan harga BBM tahun lalu.
Padahal, keluarga Taufik Kiemas bukan satu-satunya anggota parlemen yang
berjualan minyak. Lalu, untuk apa mereka mau menentang masuknya maskapai
migas asing, mulai dari hulu sampai ke hilir?
31
fihak, puluhan pemuda dari 13 desa di sekitar Blok Cepu di wilayah Jawa Timur
sempat memblokade jalan, ketika mendengar informasi akan ada demo yang
kabarnya akan dilakukan oleh Komite Perjuangan Pemuda Islam Surakarta
(KPPIS) ke lokasi sumber minyak Banyu Urip dan sumber gas Jambaran
(Kedaulatan Rakyat, 4 April 2006). Sebaliknya, di wilayah Kabupaten Blora, Jawa
Tengah, sejak sepuluh tahun lalu, warga Desa Ledok sudah diberi hak mengelola
sekitar 20 sumur minyak secara tradisional. Dalam sehari kelompok penambang
tradisional yang beranggotakan 15-20 orang, dapat menghasilkan lima ton
minyak mentah dari masing-masing sumur, yang berlokasi di kawasan hutan jati
milik Perum Perhutani Blora (Sabili, 6 April 006: 32-3).
Walhasil, dari seluruh uraian ini dapat kita lihat kepenadan (relevansi)
konsep ‘kelas komprador domestik’ untuk menggambarkan peranan para ‘calo
berdasi’ dalam pengambilan keputusan di sektor pertambangan & energi di
Indonesia, mulai dari hulu sampai ke hilir. Soalnya, kelas ini mampu
mempengaruhi kebijakan negara maupun pikiran masyarakat.
32
mengikuti selera penguasa. Terbukti ketika sentimen anti-AS merebak dengan
kedatangan Condoleza Rice, yang disambut pemerintah Indonesia dengan
menyerahkan pengelolaan blok Cepu kepada ExxonMobil, sorotan terhadap
dominasi ekonomi AS tidak berlangsung lama. Begitu para politisi ikut memicu
dan menceburkan diri dalam gelombang ultra-nasionalisme memaki-maki
pemerintah Australia karena pemberian visa kepada 43 orang pencari suaka
politik dari Papua Barat, media dengan patuh mengikuti arus ultra-nasionalisme
itu (lihat karikatur di Gambar 1 & 2).
33
Gambar 2: Karikatur Tempo, 9 April 2006, hal. 20.
34
V. KESIMPULAN:
DALAM makalah ini telah saya uraikan sejarah singkat perkembangan
ilmu ekonomi politik sejak kemunculannya di Eropa, empat abad lalu, sampai
dengan perkembangan pasca Perang Vietnam. Tiga aliran telah diuraikan dalam
bagian itu, yaitu aliran fisiokrat di Perancis, aliran ekonomi humanis, aliran
ekonomi mainstream yang dirintis oleh Adam Smith, yang di pergantian abad ke-
19 dan ke-20 mengklain diri sebagai political economy, serta ekonomi politik
Marxis yang muncul sebagai kritik terhadap aliran-aliran sebelumnya. Di puncak
era Perang Dingin, muncullah ekonomi politik radikal di negara-negara Barat,
yang mengritik kapitalisme Barat maupun sentralisme ekonomi model Soviet.
Aliran politik ekonomi radikal itu juga berkembang di luar negara-negara Barat,
yang dapat dilihat dari kontribusi Samir Amin dalam menyoroti sistem ekonomi
daerah periferi di Timur Tengah, serta Hamza Alavi di Pakistan dan Bangla
Desh.
35
Selepas bagian panjang ini, saya telah membeberkan sorotan ekonomi
politik terhadap hubungan Utara-Selatan dalam tradisi Marxis yang jelas
keberfihakannya kepada bangsa-bangsa yang masih terjajah oleh kekuasaan
modal dari negara-negara kapitalis lanjut. Sorotan umum dalam tradisi ini
dilanjutkan dengan sorotan terhadap teori ketergantungan Andre Gunder Frank.
Di situ digambarkan pergeseran ‘nada dasar’ Frank dalam menyoroti pilihan
strategi pembangunan negara-negara berkembang. Semula ia sangat pesimis
terhadap kemungkinan negara-negara berkembang menentukan strategi
pembangunannya sendiri, mengingat kuatnya peranan kelas komprador domestik
yang begitu haus modal asing, demi pembengkakan rekening bank mereka
sendiri. Namun di akhir dasawarsa 1980-an, Frank dan kolaboratornya, Marta
Fuentes, mulai berbicara tentang ‘pelepasan kopling’ (delinking) negara-negara
Selatan dari penjajahan maskapai-maskapai transnasional dari Utara, berkat
kemunculan aktivis gerakan lingkungan di hutan Amazon, serta gerakan petani
tak bertanah dan buruh yang ikut menurunkan Presiden Fernando Henrique
Cardoso, mengorbitkan Presiden Lula, dan kini sedang menentukan sikap
setelah Lula terlalu patuh pada perintah para kapitalis dari Utara.
Atas kesabaran Anda mengikuti kuliah umum ini, saya ucapkan beribu-
ribu terima kasih. Sekaligus mohon maaf atas kata-kata saya, yang secara sadar
maupun tidak, menimbulkan rasa tidak enak di hati Anda.
36
Kepustakaan:
Aditjondro, George Junus (1998). Dari Soeharto ke Habibie: Guru kencing berdiri,
murid kencing berlari: Kedua puncak korupsi, kolusi, dan nepotisme rezim Orde Baru.
Jakarta: Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) & Pijar Indonesia.
---------------- (2000a). Menyongsong matahari terbit di Puncak Ramelau: Dampak
pendudukan Timor Lorosae’e dan munculnya gerakan pro-Timor Lorosa’e di Indonesia.
Jakarta: Yayasan HAK & FORTILOS.
---------------- (2000b). Tangan-tangan berlumuran minyak: Politik minyak di balik
tragedi Timor Lorosae. Jakarta: Solidamor.
--------------- (2001a). Timor Lorosa’e on the crossroad: Timor Lorosa’e’s transformation
from Jakarta’s colony to a global capitalist outpost. Jakarta: CeDSoS (Centre for
Democracy and Social Justice Studies).
---------------(2001b). “Di balik asap mesiu, air mata dan anyir darah di Maluku”.
Epilog dalam Zairin Salampessy & Thamrin Husain (peny.). Ketika semerbak
cengkeh tergusur asap mesiu: Tragedi kemanusiaan Maluku di balik konspirasi militer,
kapitalis birokrat, dan kepentingan elit politik. Jakarta: TAPAK Ambon, hal. 131-76.
--------------- (2002). “Burung-burung kondor beterbangan di atas bumi Sulawesi:
Kapitalisme ekstraktif, imperialisme mineral, dan peranan kelas komprador
domestik dalam industri pertambangan di Indonesia.” Kata Pengantar dalam
Arianto Sangaji, Buruk Indo, rakyat digusur: Ekonomi politik pertambangan di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hal. ix-xxii.
-------------(2003a). Kebohongan-kebohongan negara: Perihal kondisi obyektif lingkungan
hidup di Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
------------- (2003b). “Pilar-pilar kelas komprador domestik yang bertahan di
Senayan.” Kata Pengantar dalam Agung Yuswanto, Di balik jejak skandal Balongan.
Jakarta: CeDSoS, hal. vii-xiii.
--------------(2004a). “Dari gaharu ke bom waktu HIV/AIDS yang siap meledak:
Ekonomi politik bisnis tentara di Tanah Papua”. Wacana. Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif. No. 17/Th. III, hal. 8-112.
--------------(2004b). “Kayu hitam, bisnis pos penjagaan, perdagangan senjata dan
proteksi modal besar: Ekonomi politik bisnis militer di Sulawesi bagian Timur.”
Wacana. Jurnal Ilmu Sosial Transformatif. No. 17/Th. III, hal. 137-78.
--------------(2004c). “Kerusuhan Poso dan Morowali, akar permasalahan dan jalan
keluarnya.” Dalam Stanley (peny.). Keamanan, demokrasi, dan pemilu 2004. Jakarta
ProPatria, hal. 109-55.
--------------(2004d). Timor Leste, fotokopi Indonesia? Catatan perjalanan ke Timor Leste,
15 s/d 25 Mei 2004. Naskah tak diterbitkan.
37
--------------(2005a). “Menghadapi gelombang tsunami kedua: Studi kasus
rekonstruksi Aceh, pasca-Helsinki.” Socieae Polites. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, No. 23 (5), hal. 32-44.
--------------(2005b). Militerisme dalam pengelolaan sektor minyak dan gas bumi di
Indonesia: Dari era Ibnu Sutowo ke era Arifin Panigoro. Makalah untuk Konferensi
Warisan Otoriterianisme di Indonesia, diselenggarakan oleh Elsam, PUSDEP
Universitas Sanata Dharma dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) di
Universitas Sanata Dharma, 17-19 Nov.
--------------(2005c). Disandera kabinet pedagang migas: Membongkar kepentingan-
kepentingan domestik dan internasional di balik kenaikan harga BBM di Indonesia.
Makalah untuk Diskusi Publik “Refleksi Sosial Agamawan terhadap Kenaikan
Harga BBM di Indonesia”, yang diselenggarakan Centre for the Study of
Religious and Socio-Cultural Studies (CRSD) Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Rabu, 23 November.
--------------(2006a). Bumi terkelupas, ikan menggelepar, penduduk terkapar: Dampak
seperempat abad korporasi-korporasi tambang di Indonsia. Jakarta: Konphalindo.
--------------(2006b). Korupsi kepresidenan: Reproduksi oligarki berkaki tiga: istana,
tangsi dan partai penguasa. Yogyakarta: LKiS.
Aronson, Ronald & John C. Cowley (1971). ‘The New Left in the United States.’
Dalam Arthur Lothstein (peny.). “Al we are saying “ The philosophy of the New Left.
New York: Capricorn Books. Hal. 27-44.
Althusser, Louis (1997). “Ideology and ideological state apparatuses”. Dalam
Anthony Easthope & Kate McGowan (peny.). A critical and cultural theory reader.
Buckingham: Open University Press, hal. 50-8.
Berki, R.N. (1975). Socialism. London: J.M. Dent & Sons Ltd.
Biersteker, Thomas J. (1981). Distortion of Development? Contending Perspectives on
the Multinational Corporation. Cambridge: The MIT Press.
Boyce, P.J. (peny.) (1980). Dictionary of Australian politics. Melbourne: Longman
Cheshire.
Dharmawan, HCB & Al Soni B.L. de Rosari (peny.) (2005). BBOM, antara hajat
hidup dan lahan korupsi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Engels, Frederick (1979). The conditions of the working class in England. London:
Granada Publishing Company.
--------- (2005). Anti-Duehring: Revolusi Herr Eugen Duehring dalam ilmu
pengetahuan. Jakarta & Bandung: Hasta Mitra & Ultimus.
Farhang, Mansour (1981). US imperialism from the Spanish-American War to the
Iranian Revolution. Boston: South End Press.
Finnegan, William (1992). A complicated war: The harrowing of Mozambique.
38
Berkeley: University of California Press.
Fowkes, Ben (1990). ‘Translator’s Preface’, dalam Karl Marx (1990). Capital: A
critique of political economy. Penguin Books & New Left Review, hal. 87-8.
Frank, Andre Gunder (1974). Lumpenbourgeoisie: Lumpendevelopment: Dependence,
class and politics in Latin America. New York: Monthly Review Press.
-------- (1982). On capitalist underdevelopment. Bombay: Oxford University Press.
Fuentes, Marta & Andre Gunder Frank (1989). “Ten theses on social movement,”
World Development, 17 (2), hal. 179-191.
------------- & ----------- (1990). “Civil democracy: Social movements in recent world
history”. Dalam Samir Amin, G. Arrighi, Andre Gunder Frank, and Immanuel
Wallerstein. Transforming the revolution: Social movements and the world-system.
New York: Monthly Review Press, hal. 139-80.
------------- & ----------- (1994). “On studying the cycles in social movements.”
Dalam L. Kriesberg, M. Dobrkowski & I. Wallimann (peny.). Research in social
movements, conflicts and change. Vol. 17. Greenwich, Conn.: JAI Press, hal. 173-96.
Gaay Fortman, Bas de & Henk Thomas (1976). De winst van een democratische
economie. Utrecht: Uitgeverij Het Spectrum.
Gazali, Effendi (2005). “(Maaf) Tak mampu beriklan”. Dalam Dharmawan & de
Rosari (peny.), op. cit., hal. 224-8.
Gibson, Donald (1994). Battling Wall Street: The Kennedy presidency. New York:
Sheridan Square Press.
Hobson, J.A. (1972). “The economic and financial taproots of imperialism.”
Dalam Martin Wolfe (peny.). The economic causes of imperialism. New York: John
Wiley & Sons, Inc., hal. 21-33.
Horowitz, David (1971). “The fate of Midas: A Marxist interpretation of the
American social crisis.” Dalam Lothstein, op. cit., hal. 184-205.
Hunt, E. K. (1981). Property and prophets: The evolution of economic institutions and
ideologies. New York: Harper & Row Publishers.
Kock, Margareth E. (1995). “Partai Buruh Brasil: Sosial Demokrasi Radikal”.
Dalam Kevin Danaher & Michael Schellenberger (peny.). Fighting for the soul of
Brazil. Global Exchange. Diterjemahkan dan disunting oleh Ken Budha
Kusumandaru.
Leach, Robert H. (1988). Political ideologies: An Australian Introduction. Melbourne:
The MacMillan Company of Australia Pty. Ltd.
Lenin, V.I. (1972). “The stages thesis becomes dogma”. Dalam Wolfe, op. cit., hal.
34-42.
-------- (1986). Imperialism, the highest stage of capitalism. Moscow: Progress
Publishers.
39
Lothstein, Arthur (1971). ‘Introduction.’ Dalam Lothstein, op.cit., hal. 11-23.
Lutz, MarkA. & Kenneth Lux (1979). The challenge of humanistic economics. Menlo
Park, CA: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Marcussen, Henrik Secher & Jens Erik Torp (1985). Internationalization of capital:
prospects for the Third World: A re-examination of dependency theory. London &
Uppsala: Zed Books & Scandinavian Institute of African Studies.
Marx, Karl (1990). Capital: A critique of political economy. Vol. 1. Penguin Books &
New Left Review.
-------- (2004). Kapital, sebuah kritik ekonomi politik. Jakarta: Hasta Mitra.
---------(t.t.). Naskah-Naskah Ekonomi dan Filsafat 1844. Jakarta: Hasta Mitra.
Mandel, Ernest (1990). ‘Introduction’, dalam Marx 1990, op. cit., hal. 11-88.
Murchland, Bernard (1992). Humanisme dan kapitalisme: Kajian pemikiran tentang
moralitas. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogyakarta.
Muschamp, David (1986). ‘Introduction’. Dalam David Muschamp (peny.).
Political thinkers. Melbourne: The MacMillan Co. of Australia Pty. Ltd., hal. 1-13.
Navarro, Vicente (peny.) (1982). Imperialism, health and medicine. London: Pluto
Press.
Pakpahan, Agus (2005). “Ekonomi politik pertanian bioteknologi,” Warta
Ekonomi, 21 Februari, hal. 12-13.
Petras, James (2005). Lula’s “workers’ regime” plummets in stew of corruption.
Counterpunch, 30 Juli.
Ransom, David (1975). “Ford country: Building an elite for Indonesia.” Dalam
Steve Weissman (peny.). The Trojan horse: A radical look at foreign aid. Revised 1975
edition. Palo Alto: Ramparts Press, hal. 93-116.
Revkin, Andrew (1990). The burning season: The murder of Chico Mendes and the
fight for the Amazon rain forest. London: Collins.
Rodney, Walter (1972). How Europe underdeveloped Africa. London & Dar es
Salaam: Bogle-L’Ouverture Publications & Tanzania Publishing House.
Sampson, Anthony (1977). The seven sisters: The great oil companies and the world
they made. Coronet Books.
Surono, Agus (2005). “BBM dan iklan Freedom Institute”, Dalam Dharmawan &
de Rosari (peny.), op. cit., hal. 209-13.
Utrecht, Ernst (1977). “Corporate compradors in South East Asia,” Arena, No. 47-
48, hal. 107-19.
Wardaya, Baskara T. (2003). Marx muda: Marxisme berwajah manusiawi.
Yogyakarta: Budi Baik.
Weissman, Steve (peny.) (1975). The Trojan horse: A radical look at foreign aid.
Revised 1975 edition. Palo Alto: Ramparts Press.
40
Wilczynski, Jozef (1984). An Encyclopedic Dictionary of Marxism, Socialism and
Communism. London: The MacMillan Press Ltd.
Wolfe, Martin (1972). ‘Introduction’, dalam Wolfe, op. cit., hal. 1-18.
41