You are on page 1of 15

L A P O R A N

PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN II

Pembuatan Bakso dan Daging Curing


`

Disusun Oleh :

Prizky Mayang Sari 1121017


Dosen Pembimbing: Ir. Hasbullah, M.Si

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN AKADEMI TEKNOLOGI INDUSTRI PADANG

TAHUN 2012
BAB I PENDAHULUAN Salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi adalah daging. Daging merupakan bahan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, karena daging mengandung protein yang cukup tinggi dengan kandungan asam amino esensial yang lengkap. Selain itu, daging merupakan salah satu komoditi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi. Konsumsi daging tersebar dari desa sampai kota. Daging yang terutama dikonsumsi adalah daging sapi, meskipun di beberapa daerah, orang mengonsumsi daging kerbau, kelinci, ataupun rusa. Pengolahan daging juga bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Definisi Daging Daging merupakan salah satu bahan pangan bergizi tinggi disamping telur, susu dan ikan. Daging mengandung protein, lemak, mineral, air serta vitamin dalam susunan yang berbeda tergantung jenis makanan dan jenis hewan. Hewan yang berbeda mempunyai komposisi daging yang berbeda pula. Komposisi daging terdiri dari 75% air, 18% protein, 4% protein yang dapat larut (termasuk mineral) dan 3% lemak. Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-macam hasil sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh warna, bau, penampakan dan kekenyalan. Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek (tidak kenyal) menunjukkan kualitas daging yang kurang baik. Daging didefinisikan sebagai urat daging atau otot yang melekat pada rangka, kecuali urat daging pada bagian bibir, hidung dan telinga, yang berasal dari hewan sehat sewaktu dipotong. Menurut Food and Drug Administration, daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi atau domba yang dipotong dalam keadaan sehaat dan cukup umur, tetapi hanya terbatas pada bagian muskulus yang berserat yaitu yang berasal dari muskulus skeletal atau lidah, diafragma, jantung dan oesofagus (yakni pembuluh makanan yang

menghubungkan mulut dengan perut) dan tidak termasuk bibir, hidung atau pada telinga dengan atau tanpa lemak yang menyertainya serta bagian-bagian dari tulang, urat, urat syaraf dan pembuluh-pembuluh darah. Daging merupakan semua jaringan hewan dan produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengonsumsinya (Soeparno, 1998). Daging yang umum dikonsumsi dapat diperoleh dari ternak ruminansia besar dan kecil (sapi, kerbau, domba, kambing), ternak unggas (ayam, itik), dan aneka ternak (kelinci, rusa, kuda, babi). Daging juga dapat dibedakan atas daging merah dan daging putih tergantung perbedaan histologi, biokimia, dan asal ternak. Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi (edible offals) (Lukman, 2008). Daging adalah semua bagian tubuh ternak yang dapat dan wajar dimakan termasuk jaringan-jaringan dan organ tubuh bagian dalam seperti hati, ginjal, dan lain-lain. Soeparno (1994) mendefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Dengan didasarkan pada definisi tersebut maka organ-organ dalam (jeroan) dan produk olahan seperti corned termasuk dalam kategori daging. Namun demikian sering dalam kehidupan sehari-hari yang disebut dengan daging adalah semata-mata jaringan otot, meskipun benar bahwa komponen utama penyusun daging adalah otot, tetapi tidaklah sama otot dengan daging (Suharyanto, 2008). Daging adalah salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh manusia, karena zat-zat makanan yang dikandungnya sangat diperlukan untuk kehidupan manusia, terutama bagi anak-anak yang sedang tumbuh (Rachmawan, 2001).

Menurut strukturnya daging terdiri dari jaringan otot, jaringan ikat, pembuluh darah dan jaringan syaraf. Menurut Lawrie (1995) yang dimaksud dengan daging adalah daging tanpa jaringan pengikat khusus atau tendo sehingga lunak dan berasal dari ternak yang digunakan sebagai bahan makanan. (Khatimah, 2008) Daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) karena daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan

mikroorganisme. Preservasi daging mempunyai tujuan antara lain untuk mengamankan daging dari kerusakan atau pembusukan oleh mikroorganisme dan memperpanjang masa simpan (shelf life daging). Preservasi berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, khemis dan kerusakan fisik daging (Soeparno, 1992). Menurut Soesanto (1985) cara pengawetan bahan pangan pada prinsipnya dikelompokkan menjadi 2 yaitu pengawetan tanpa perubahan bentuk dari bahan pangan tersebut dan pengawetan dengan perubahan bentuk dan kadar air dari bahan pangan tersebut. Ditambahkan Soeparno (1992) pengawetan yang menghasilkan produk yang sifat fisiknya berubah dari bahan bakunya dikenal dengan istilah pengolahan. Berdasarkan keadaan fisiknya, daging dapat dikelompokkan menjadi: 1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan; 2) daging segar yang dilayukan dan didinginkan (daging dingin); 3) daging segar yang dilayukan, didinginkan dan dibekukan (daging beku); 4) daging masak; 5) daging asap dan 6) daging olahan. Salah satu ciri khas pengolahan adalah adanya formulasi produk daging olahan. Dalam proses formulasi, macam ingredien yang dipilih dan jumlah yang digunakan bervariasi sesuai dengan hasil produk yang diinginkan. Tujuan utama formulasi adalah untuk menghasilkan daging olahan dengan penampakan yang kompak, cita rasa dan sifat-sifat yang stabil dan seragam. hasil formulasi tergantung pada karakteristik komposisi dan bahan dasar yang ditambahkan dalam produk daging olahan (Khatimah, 2008)

Struktur Daging Berdasarkan Fisik (Morfologi) Daging terdiri dari tiga komponen utama yaitu : Jaringan otot (muscle tissue), Jaringan lemak (adipose tissue), dan Jaringan ikat (connective tissue).

Struktur Daging dan Penampang Otot Daging Serat otot daging di bagi menjadi tiga : Endomisium adalah tenunan pengikat yang mengikat setiap serat-serat otot daging. Perimisium adalah tenunan pengikat yang mengikat gabungan atau bundel beberapa serat otot. Epimisium adalah tenunan pengikat yang menyelimuti seluruh bundel serat-serat otot membentuk olahan daging. Bagian-bagian dari serat otot daging secara detail dapat dilihat dibawah mikroskop. Serat-serat otot daging terlihat berupa kumpulan serat-serat kecil panjang dengan garis tengah antara 2-3 mikron yang tersusun sejajar. Serat-serat tersebut dinamakan miofibril. Diseluruh bagian serat-serat myofibril terdapat kandungan bahan yang disebut sarkoplasma. Seluruh serat-serat miofibril dibungkus oleh selaput tipis yang disebut sarkolema. Setiap kelompok serat myofibril yang terbungkus sarkolema, satu sama lain diikat dengan tenunan pengikat endomisium. Berdasarkan keadaan fisik, daging dapat dikelompokkan menjadi, daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), daging segar yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan (daging beku), daging masak, daging asap, daging olahan. Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah, genetic, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif

(hormon, antibiotik, dan mineral), keadaan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah metode pelayuan, metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan tambahan (termasuk enzim pengempuk daging), lemak intramuskular (marbling), metode penyimpanan dan pengawetan, macam otot daging, serta lokasi otot.

Penampang serat otot daging

Rigor Mortis Berlangsungnya rigor mortis sangat ditentukan oleh suhu dan waktu yang diperlukan untuk berlangsungnya rigor meningkat dengan turunnya suhu. Perubahan sperti penurunan pH, kandungan keratin posfat dan ATP berlangsung lambat hanya pada suhu rendah. Jangka waktu antara matinya hewan dan berlangdungnya rigor mortis ditentukan oleh aktivitas enzim dalam system yang ada kaitannya dengan pembentukan dan pemecahan ATP. Waktu rigor mortis ditentukan oleh kandungan keratin fosfat, ATP dan glikogen dalam jaringan otot pada saat mati. Keadaan rigor mortis disebabkan oleh kekakuan yang terjadi dari ikatan silang (cross linking) antara protein aktin dan myosin. Pada fase kematian hewan (fase prerigor) hanya terjadi perubahan pH secara bertahap sementara jumlah ATP masih relative konstan sehingga jaringan otot masih bersifat lentur dan lunak. Dalam periode waktu antara saat hewan mati sampai saat dikonsumsi, banyak perubahan biokimia dan fisiko kimia berlangsung.

Daging yang sudah dipotong akan mengalami tahapan-tahapan sifat fisiologisnya. Tahapan-tahapannya yaitu fase prerigor (daging lentur), fase rigor

mortis (daging kaku/keras), dan fase post rigor (daging lunak).

Fase Prerigor Setelah hewan mati, metabolisme yang terjadi tidak lagi sabagai metabolisme aerobik tapi menjadi metabolisme anaerobik karena tidak terjadi lagi sirkulasi darah ke jaringan otot. Pada kondisi ini menyebabkan terbentuknya asam laktat yang semakin lama semakin menumpuk. Akibatnya pH jaringan otot menjadi turun. Penurunan pH terjadi perlahan-lahan dari keadaan normal (7,2-7,4) hingga mencapai pH akhir sekitar 3,5-5,5. Sementara jumlah ATP dalam jaringan daging masih relatif konstan sehingga pada tahap ini tekstur daging lentur dan lunak. Jika ditinjau dari kelarutan protein daging pada larutan garam, daging pada fase pre rigor ini mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan daging pada fase post rigor. Hal ini disebabkan daging pada fase prerigor ini hampir 50% protein-protein daging yang larut dalam larutan garam (protein miofibril), dapat diekstraksi keluar dari jaringan. Karakteristik ini sangat baik apabila daging pada fase ini digunakan untuk pembuatan produk-produk yang membutuhkan sistem emulsi pada tahap proses pembuatannya. Mengingat pada sistem emulsi dibutuhkan kualitas dan jumlah protein yang baik untuk berperan sebagai emulsifier.

Rigor Mortis Pada tahap ini, terjadi perubahan tekstur pada daging dimana jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Rigor mortis juga sering disebut sebagai kejang bangkai. Kondisi daging pada fase ini perlu diketahui kaitannya dengan proses pengolahan. Daging pada fase ini jika dilakukan pengolahan akan menghasilkan daging olahan yang keras dan alot. Kekerasan daging selama rigor mortis disebabkan terjadinya perubahan struktur serat-serat protein. Protein dalam daging yaitu protein aktin dan miosin mengalami cross-

linking. Kekakuan yang terjadi juga dipicu terhentinya respirasi sehingga terjadi perubahan dalam struktur jaringan otot hewan, serta menurunnya jumlah adenosin triphosphat (ATP) dan kreatin phosphat sebagai penghasil energi (Tien R. Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Jika penurunan konsentrasi ATP dalam jaringan daging mencapai 1 mikro mol/gram dan pH mencapai 5,9 maka kondisi tersebut sudah dapat menyebabkan penurunan kelenturan otot. Pada tingkat ATP dibawah 1 mikro mol/gram, energi yang dihasilkan tidak mampu mempertahankan fungsi retikulum sarkoplasma sebagai pompa kalsium, yaitu menjaga konsentrasi ion Ca disekitar miofilamen serendah mungkin. Akibatnya terjadi pembebasan ion-ion Ca yang kemudian berikatan dengan protein troponin. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin). Proses ini ditandai dengan terjadinya pengekerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible). Penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin sedikitnya jumlah ATP. Bila konsentrasi ATP lebih kecil dari 0,1 mikro mol/gram, terjadi proses rigor mortis sempurna. Daging menjadi keras dan kaku.

Post Rigor Fase post rigor atau pasca rigor. Melunaknya kembali tekstur daging bukan diakibatkan oleh pemecahan ikatan aktin dan miosin, akan tetapi akibat penurunan pH. Pada kondisi pH yang rendah (turun) enzim katepsin akan aktif mendesintegrasi garis-garis gelap Z pada miofilamen, menghilangkan daya adhesi antara serabut-serabut otot. Enzim katepsin yang bersifat proteolitik, juga melonggarkan struktur protein serat otot.

Reaksi Curing Curing daging adalah proses pengolahan daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam (NaCl, natrium nitrit/natrium nitrat), gula

(dekstrosa, sukrosa atau pati hidrolisis). Daging yang di curing disebut green cured meat. Garam NaCL berfungsi memberi cita rasa dan pengawet karena ion Cl bersifat sebagai anti bakteri. Pemakaian garam sebanayak 2-5 %, sedangkan gula berfungsi dalam membantu garam membentuk rasa spesifik dan jumlah pemakaian gula sangat sedikit. Curing bertujuan untuk mendapatkan warna daging yang stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang baik. Selain itu, curing juga untuk mengurangi pengerutan daging selama diolah dan memperpanjang masa simpan produk daging. Garam nitrat dan nitrit pada umumnya sering digunakan pada proses curing daging guna mendapatkan warna yang baik dan mencegah pertumbuhan mikroba. Mekanisme curing menurut Winarno (2002) adalah nitrit bereaksi dengan gugus sulfihidril dan membentuk senyawa yang tidak dapat

dimetabolisasi oleh mikroba dalam kondisi anaerob. Pada daging nitrit membentuk nitroksida yang dengan pigmen daging membentuk nitrosomioglobin yang berwarna merah cerah. Soeparno (1994) bahwa maksud curing antara lain untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang baik, dan untuk mengurangi pengerutan daging selama processing serta memperpanjang masa simpan produk daging. Berkat adanya proses curing tersebut, kecerahan warna daging masih dapat dipertahankan, walaupun tidak sempurna. Reaksi yang terjadi selama perkembangan warna daging proses hingga tercapai warna yang stabil menurut (Forrest et al., 1975; Lawrie, 1995; Swatland, 1984; dan Bacus, 1984) adalah sebagai berikut : 1. Nitrit organisme nitrit Pereduksi nitrat 2. Nitrit kondisi menguntungkan NO + H2O Tanpa sinar dan udara 3. NO + mb kondisi NOMMb (Nitrit Oksida Metmioglobin) Myoglobin menguntungkan 4. NOMMb kondisi NOmb (Nitrit Oksida myoglobin, merah) Menguntungkan

BAB II PROSEDUR KERJA

2.1 Alat Timbangan Penggiling Baskom Talenan Pisau Panci Kantong Plastik : untuk menimbang bahan-bahan. : untuk menggiling daging sapi. : wadah mencampurkan bahan. : tempat mengiris daging dan bahan lain. : alat untuk memotong. : untuk merebus bakso dan daging curing. : untuk membungkus daging sebelum dimasukkan ke dalam freezer. Gelas piala 500 ml Batang Pengaduk : wadah untuk membuat Nitrit Curing Salt. : untuk mencampurkan bahan dalam pembuatan Nitrit Curing Salt. Sendok Kompos gas : alat yang digunakan dalam pembentukan bakso. : sumber api untuk memasak.

2.2 Bahan a. Bakso Daging sapi 2 kg Tepung terigu 200 gr Merica halus 1 ons Garam 250 gr Adonan daging sapi + tepung 500 gram (pembagian per kelompok)

b. Daging Curing Daging sapi 500 gr NaCl (Garam dapur) 74,625 gr NaNO2 (Natrium nitrit) 0,375 gr Asam askorbat (Vit C) 250 mg

2.3 Cara Kerja a. Bakso Siapkan alat dan bahan. Kemudian timbang bahan yang dibutuhkan. Daging sapi digiling dan ditambahkan tepung terigu sebanyak ataupun tepung tapioka, bumbu-bumbu seperti garam, bawang putih, bawang merah, penyedap dan sodium tripoliposfat untuk mengenyalkan. Kemudian dihomogenkan atau dicampur sehingga membentuk adonan. Adonan bakso lalu dibentuk bulat dengan cara adonan diremasremas dengan telapak tangan, kemudian dibuat bulatan dengan meremas-remas adonan, kemudian dikeluarkan melalui lubang yang dibentuk oleh telunjuk dan ibu jari. Setelah itu dengan bantuan ujung sendok terbalik, bulatan adonan secara cepat dimasukkan ke dalam air mendidih. Bila sudah matang bakso akan mengapung, biarkan lima menit kemudian angkat dan tiriskan. Hasil yang didapat disebut bakso daging. Hitung bulatan yang didapat dan berat total.

b. Daging Curing Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Buat nitrit curing salt dengan komposisi 99,5% NaCl (garam dapur) dan 0,5% nitrit kemudian kedua bahan dicampur. Potong daging menjadi bagian-bagian kecil. Lumuri daging dengan NCS (Nitrit curing salt) sebanyak 3% dari berat daging atau sebanyak 15 gram dan vitamin C sebanyak 0,05 % dari berat daging atau 250 mg. Kemudian masukkan ke kantong plastik dan beri label. Setelah itu tutup kantong plastik dan masukkan ke dalam freezer. Tunggu beberapa hari dan amati apa yang terjadi.

BAB III PENGAMATAN DAN KESIMPULAN

2.1 Pengamatan a. Bakso

Data Jumlah bulatan Berat total Warna Tekstur Bau Rasa

Kelompok I 53 buah 650 gram Abu-abu Agak kenyal Anyir Enak

Kelompok II 58 buah 730 gram Abu-abu Lunak Agak amis Lumayan

Kelompok III 62 buah 830 gram Abu-abu Kenyal Aroma bakso Terasa tepung

Kelompok IV 30 + 11 buah 570 gram Pucat dan pink Lembek Amis Hambar

Pada praktikum pembuatan bakso, tepung yang digunakan adalah tepung terigu. Pada saat penggilingan, dilakukan tanpa penambahan bumbu-bumbu, hanya daging dan tepung terigu. Setelah digiling adonan bakso dibagi per kelompok sebanyak 500 gram. Ada beberapa kelompok yang menambahkan tepung dan bumbu seperti bawang putih, garam dan penyedap. Kelompok I, II dan III menambahkan tepung pada adonan bakso dan dapat dilihat hasilnya lebih kenyal dan lunak. Kelompok III menambahkan tepung terlalu banyak sehingga terasa tepung pada bakso yang dihasilkan. Sedangkan kelompok IV tidak menambahkan tepung, dan bakso menjadi lembek dan kekurangan garam sehingga terasa hambar.

b. Daging Curing

Warna daging Sebelum direbus Sesudah direbus

Kelompok I Merah pucat

Kelompok II

Kelompok III

Kelompok IV

Merah daging Merah daging Merah daging segar segar Merah pucat segar Merah pucat

Merah pucat

Merah pucat

Pada praktikum pembuatan daging curing yang membedakan antar kelompok adalah konsentrasi vitamin C. Kelompok I tidak menambahkan vitamin C atau asam askorbat. Pada percobaan ini, untuk kelompok II, III, IV masingmasing 0,03%, 0,04%, dan 0,05%. Dari hasil yang didapat kelompok I dagingnya berwarna merah pucat karena pada proses curing seharusnya dalam kondisi asam, dengan menambahkan asam askorbat. Sedangkan kelompok I tidak menambahkan asam askorbat sehingga tidak terjadi proses curing yaitu mempertahankan warna daging hingga stabil. Sedangkan untuk kelompok II, III dan IV didapatkan dari proses curing dapat mempertahankan warna daging menjadi agak cerah seperti daging segar walaupun tidak sempurna.

2.2 Kesimpulan a. Bakso Pada praktikum pembuatan bakso dapat disimpulkan bahwa untuk membuat bakso yang kenyal dan rasa yang lezat dapat dilakukan dengan perbandingan tepung, daging serta bumbu-bumbu yang tepat. Prinsip pembuatan bakso adalah mencampurkan semua bahan sehingga menjadi adonan yang homogeny dan kalis. Adonan kemudian dibentuk dan direbus hingga mengapung. Selain itu, untuk membuat bakso juga dibutuhkan daging yang masih segar (prerigor) agar bakso yang dihasilkan kenyal dan kompak walaupun tanpa penambahan bahan pengenyal.

b. Daging Curing berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa curing bertujuan untuk memperpanjang masa simpan daging, menghambat aktibitas mikrobia terutama Clostridium botulinum, memperbaiki flavor dan tujuan utamanya adalah memperbaiki warna daging menjadi merah pink. Penyebab warna merah karena bakteri mengubah nitrat menjadi nitrit, nitrit dipecah menjadi NO (nitroso) yang kemudian berekasi dengan pigmen daging (mioglobin) membentuk nitrosochemochromagen sehingga terbentuk warna merah menarik dan haemoglobin. Nitrit mampu memberikan flavor yang spesifik kemungkinan dikarenakan adanya reaksi antara nitrit dengan komponen volatil

daging. Oleh karena itu, di dalam industri pangan proses curing sangat penting karena membuat warna daging menjadi merah pink seperti daging segar sehingga produk tersebut disukai oleh konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Anjarsari, Bonita. 2010. Pangan Hewani (Fisiologi Pasca Mortem dan Teknologi). Yogyakarta : Graha Ilmu.

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia.

Hamidi, Muamal. 2009. Curing dan Daging Asap. (http://midhy.wordpress.com/2009/11/19/curing-dan-daging-asap/ September 2012, 12. 45 WIB) Diakses 28

Rohman, Muhammad. 2010. Daging. (http://seputarpanganindustri.blogspot.com/2010/10/daging-oleh-muhammadrohman-daging.html Diakses 28 September 2012, 13.00 WIB) Anonim. 2011. Curing Daging. (http://www.scribd.com/doc/56054424/CuringDaging Diakses 29 September 2012, 21.00 WIB)

LAMPIRAN

Bakso

Daging Curing

You might also like