You are on page 1of 15

AYAT POLIGAMI BERMAKNA MONOGAMI

Poligami merupakan problem sosial klasik yang perlu menarik

perbincangan dan diperdebatkan, terutama dikalangan masyarakat muslim. Perdebatan pada tingkat wacana itu selalu berakhir tanpa pernah malahirkan kesepakatan. Kesimpulan dari perdebatan ini muncul tiga pandangan. Pertama, pandangan yang membolehkan poligami secara longgar. Sebagian penganut pandangna ini beranggapan poligami sebagai sunnah, alias mengikuti perilaku Nabi Muhammad SAW1. Syarat keadilan yang secara eksplisit disebutkan alQuran cenderung cenderung diabaikan atau hanya sebatas argumen verbal belaka. Kedua, pandangan yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat yang cukup ketat. Pandangan ini memandang keadilan sebagai syarat, tetapi menitikberatkan padaformal-distributif. Yakni bahwa suami harus memenuhi hak-hak ekonomi dan kebutuhan seksual (gilir) para istri secara adil (relatif); keharuasan mendapat izin istri dan beberapa syarat lainnya2. Ketiga, pandangan yang melarang poligami secara mutlak3. Tiga pandangan ini, pada tataran hukum positif pada saat ini melahirkan UU keluarga (qanun al-usrah atau qanun al-ahwal al-syakhsyiyah) di negaranegara Islam dengan substansi hukum yang juga beragam. UU keluarga di AlJazair, pasal 8 misalnya menyebutkan:
1 Rasulullah Muhammad SAW dalam sejarah tercatat memiliki 9 orang istri. Istri pertama yang dinikahinya adalah Khadijah binti Khuwailid, seorang janda yang saat dinikahi Nabi telah berusia 40 tahun, 15 tahun lebih tua dari usia Nabi saat menikahinya. Selama hidup berumah tangga dengan Khadijah, Nabi memilih hidup secara monogami (satu istri) selama 28 tahun, yaitu hingga Khadijah wafat saat usia 53 tahun. Sepeninggal Khadijah, Nabi menikah secara poligami dengan beberapa perempuan. Mereka adalah sauda binti Zamah; Aisyah binti Abu Bakar; Hafsah binti Umar; Hindun binti Abi Umayah yang dikenal dengan nama Ummu Salamah; Zainab binti Jahsyi; Zainab binti Khuzaimah; Shofiyah seorang putri pembesar Yahudi bani Qoraizhah; Ramlah binti Abi Sufyan; Hurriyah binti al-Haris. Kesembilan istri tersebut adalah janda kecuali Aisyah binti Abu Bakar. Pernikahan Nabi dengan beberapa perempuan tersebut dilatarbelakangi oleh situasi konflik dan alasan-alasan sosial lainnya. Berkaitan dengan latar belakang pernikahan poligami tersebut, lihat Muhammad Husein Haikal, , tr Ali Audah, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1980), cet. Ke-5, hal. 353-369. 2 Pakar tafsir kontemporer, Muhammad Rasyid Ridha, mengilustrasikan poligami sebagai pintu darurat. Pintu darurat itu tidak bisa seenakknya dibuka, kecuali dengan syarat-syarat dan pertimbangan-pertimbangan yang ketat. Bukan hanya itu, Rasyid Ridha pun menegaskan bahwa tidak ada satu dalil pun yang menganjurkan poligami. Dalil yang ada justru membatasi bukan menganjurkan. Argumentasi lebih jauh tentang pendapat ini, lihat Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, tr. Afif Muhammad, (bandung; pustaka, 1994), hal 55-56; Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: bias Laki-laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKIS, 2003), cet. Ke1, hal. 212-231. 3 Pelarangan poligami muncul pada banyak penafsiran kalangan modernis Islam. Pada tahun 1922 Syed Ali mempubliksikan tulisan yang memuat pendapatnya tentang poligami, lihat Syed Ali, The Spirit of Islam, (London: Chatto and Windus, 1964), hal 246.

. Diperkenankan perkawinan poligami damam batas-batas Syariah Islam UU keluarga Maroko al-Mudawanah pasal 40 menyatakan: . poligami dilarang jika tidak memenuhi keadilan, juga dilarang jika istri mensyaratkan suaminya tidak akan berpoligami4. Selanjutnya pada pasal 41 Undang-undang maroko tersebut menyebutkan: pengadilan tidak dapat mengizinkan poligami jika (a) tidak ada alasan obyektif dan mendesak. (b) pemohon tidak memiliki sumber ekonomi yang mencukupi keluarganya serta jaminan nafkah, tempat tinggal dan perlakuan yang sama dalam semua aspek kehidupan5. Sejalan dengan hukum positif Maroko di atas, UU perkawinan Indonesia No. 1/ 1974 menyatakan bahwa azas perkawinan adalah monogami. Yakni bahwa seorang laki-laki hanya boleh menikahi seorang perempuan. Poligami hanya dibolehkan dengan sejumlah syarat. Mirip dengan UU Mudawanah di atas, UU Perkawinan Indonesia menetapkan syarat-syarat bagi orang yang ingin poligami, antara lain: adanya persetujuan istri dan adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Sementara Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 56 menambahkan satu syarat lain: suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama. Pada pasal 57 dinyatakan: pengadilan agama hanya membarikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari satu prang apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Baik mudawanah, maroko, maupun UU Perkawinan Indonesia No. 1/1974 memang menjanjikan sebuah regulasi yang ketat, sehingga dengan itu secara praktis poligami sulit untuk dilakukan. Seorang suami yang hendak mengajukan perkawinan poligami di depan pengadilan, tidak hanya dia harus mampu membuktikan kemampuan finansial untuk menjamin kehidupan dua, tiga, atau empat keluarganya, juga harus bisa menunjukkan pernyataan persetujuan dari istrinya. Kebanyakan negara Islam dewasa ini masih membolehkan poligami
4 Lihat: Mudawanah al-Usrah. 5 Lihat: Mudawanah al-Usrah

dengan sejumlah syarat diatas. Berbeda dengan sejumlah negara Islam, UU keluarga tunisia tahun 1959 melangkah lebih maju dengan mengapuskan poligami. Pasal 8 UU itu secara tegas menyatakan: taaddud al-zaujat mamnuun (poligami dilarang). Bagi mereka yang melanggar dikenakan sanksi hukuman kurungan atau denda6. Keberagaman pandangan kaum muslimin dalam isu poligami tentu saja menarik, karena itu memperlihatkan adanya sebuah dinamika pemikiran yang terus berkembang. Perkembangan ini menunjukkan dengan nyata bahwa mereka tampaknya tengah menghadapi perubahan-perubahan sosial yang terus bergerak. Hal yang menarik dari perdebatan dan kontroversi poligami adalah fakta bahwa masing-masing pendapat merujuk pada sumber yang sama, yaitu ayat 23 dan 129 pada surat al-Nisa, berikut sejumlah hadits Nabi Muhammad SAW. Perdebatan menyediakan tersebut menunjukkan bagi bahwa teks-teks tafsir keagamaan selalu kemungkinan sejumlah (interpretasi). Teks-teks

bagaimanapun adalah huruf-huruf yang tidak bisa bicara sendiri. Tapi ia pasti mengandung arti. Di sini akal manusia berperan untuk memaknainya, maka tidak bisa dihindari kemungkinan dihasilknnya kesimpulan yang berbeda dan beragam. Perbedaan pemahaman dan cara pandang terhadap teks bisa terjadi karena perbedaan ruang dan waktu. Karena setiap pandangna dan pikiran manusia sejatinya merupaka refleksi atas pangalaman hidup yang saling berbeda pada setiap zaman dan setiap tempat. Perbedaan pendapat juga tejadi akibat perbedaan metodologi yang digunakan dalam analisa teks. Bahkan, kadangkala perbedaan penafsiran terjadi karena perbaedaan kepentingan dan ideologi. Dengan penjelasan singkat ini, saya (penulis) ingin mengatakan bahwa pandangan-pandangan tentang poligami diatas, sebenarnya tidaklah lepas dari rujukan teks-teks agama. Saya (penulis) juga meyakini bahwa pandangannya dimaksudkan untuk menegakkan pesan-pesan agama. Dalam kondisi seperti ini, tentu sangat diperlukan adanya sikap saling menghargai. Dengan sikap seperti ini, maka tidaklah sepatutnya masing-masing mengklaim pendapatnya sebagai paling benar sendiri sambil menuduh pihak lain sebagai menyimpang, sesat atau
6 Dalil Min Ajl al-Musawah fu al-Usrah al-Magharibiyah, Mansyurat Majmuah 95 al-Maghribiyyah. Tunisia adalah negara yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Merdeka tahun 1956.

menentang hukum Allah. Sejak Nabi Muhammad SAW wafat umat Islam tidak lagi memiliki tokoh paling otoritatif yang dapat memutuskan kebenaran suatu hukum Allah (agama atau syariah) secara tunggal dan final. Poligami tidak semata tradisi Islam Poligami bukanlah merupakan praktik perkawinan yang dilahirkan Islam. Islam tidak pernah menginisiasi poligami. Hal ini karena jauh sebelum Islam datang tradisi poligami telah menjadi salah satu bentuk praktik peradaban Arabia patriarkhis. Peradaban patriarkhis adalah peradaban yang memposisikan laki-laki sebagai aktor yang menentukan seluruh aspek kehidupan. Nasib hidup perempuan dalam sistem ini di definisikan oleh laki-laki dan untuk kepentingan mereka. Peradaban poligami sesungguhnya telah lama bercokol bukan hanya di wilayah jazirah arabia, tetapi juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti Mesopotamia dan Mediterania, dan juga di belahan dunia lainnya7. Dengan kata lain, perkawinan poligami sejatinya bukan khas peradaban Arabia, tetapi juga peradaban bangsa-bangsa lain. Di tempat kelahiran Islam (Arab), sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, perempuan dipandang sebagai makhluk yang rendah dan merupakan entitas yang tak berarti. Bahkan, Al-Quran dalam sejumlah ayatnya mengabadikan realitas sosial ini. Umar bin Khattab pernah mengungkapkan kenyataan ini dengan mengatakan, kunna fi al-jahiliyyah la naudd al-nisa syaian. (dalam dunia kelam (jahiliyah), kami tidak menganggap perempuan sebagai makhluk yang perlu dipertimbangkan). Perbudakan manusia (terutama perempuan) dan poligami menjadi praktik kebudayaan yang lumrah dalam masyarakat Arabia saat itu. Ketika Islam hadir di tengah-tengah mereka, praktik-praktik ini tetap berjalan dan dipandang tidak bermasalah, sebagaimana tidak bermasalahnya tradisi kasur, dapur, sumur bagi peran perempuan dalam masyarakat jawa. Meskipun Nabi Muhammad SAW mengetahui bahwa poligami yang dipraktikkan bangsa arab saat itu banyak merugikan kaum perempuan, namun bukanlah kebiasaan Islam melakukan penghapusan praktik kebudayaan secara revolusioner. Al-Quran tidak pernah menggunakan bahasa provokatif, apalagi radikal. Transformasi Islam selalu bersifat gradual., akomodatif, dan kontinyu. AlQuran dan Nabi Muhammad SAW selalu berupaya memperbaiki keadaan ini secara intensif. Tindakan transformasi Islam tersebut tidak semata dilakukan

7 Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami dan Keutamannya, (Bandung: IBS, 2001), cet. Ke-1 hal. 85-86.

pada isu poligami, melainkan juga pada seluruh praktik kebudayaan yang tidak menghargai manusia. Karena martabat manusia. Dengan pembacaan secara holistik atas teks-teks Al-Quran, perhatian kitab suci terhadap eksistensi perempuan secara umum dan isu poligami secara khusus, dapat dilihat dalam rangka reformasi sosial, terutama perbaikan status perempuan. Al-Quran tidak serta merta turun untuk mengafirmasi perlunya poligami. Pernyataan Islam atas praktik poligami dilakukan dalam rangka mengeliminasi praktik tersebut selangkah demi selangkah, sedemikian rupa sehingga keadaan status perempuan menjadi lebih baik. Cara Al-Quran dalam merespon praktik poligami adalah dengan cara mengurangi jumlah (al-taqlil) dan memberikan catatan-catatan penting secara kritis, transformatis, sekaligus mengarahkan pada penegak keadilan. Sebagaimana diketahui dari berbagai sumber, sebelum Islam laki-laki dipandang sah saja untuk mengambil istri sebanyak yang dikehendaki, tanpa batas. Laki-laki dianggap wajar memperlakukan perempuan sesuka hati. Logika mainsteam saat itu memandang poligami dengan jumlah perempuan yang di kehendaki sesuka hati sebagai sesuatu yang lumrah dan umum, dan bukan perilaku yang salah dari sisi kemanusiaan. Bagi sebagian komunitas suku, poligami bahkan merupakan kebanggaan tersendiri. Previlage, kehormatan, dan kewibawaan seseorang atau suatu komunitas seringkali dilihat dari seberapa banyak dia mempunyai istri, budak, atau selir. Dan perempuan menerima kenyataan itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berdaya melawan realitas yang sejatinya merugikan dirinya itu. Boleh jadi, karena keadaan yang lumrah dan mentradisi ini, mereka tidak menganggap ketimpangan ini sebagai hal yang merugikan. Ketidakadilan menjadi tak terpikirkan lagi. Dalam konteks inilah, Al-Quran turun untuk mengkritik dan memprotes keadaan tersebut dengan cara meminimalisasi jumlah yang tak terbatas itu menjadi terbatas hanya empat orang istri, sekaligus emnuntuk perlakuan yang adil terhadap istri. Informasi mengenai realitas sosio-kultural dan tindakan mereduksi praktik poligami ini terungkap dalam sejumlah hadits Nabi SAW. Diantaranya adalah hadits Ibnu Umar, saat dia mengatakan: Ghilan al-Saqafi ketika masuk Islam mempunyai sepuluh istri. Mereka semua masuk Islam bersamanya. Nabi Muhammad SAW kemudian menyarankan dia untuk hanya mengambil empat 5 sesungguhnya, kehendak logis dari sistem kepercayaan Islam (tauhid) adalah keadilan dan penghargaan terhadap

orang saja.8 Qais bin Haris juga mengalami hal yang sama. Dia mengatakan, aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan istri. Aku kemudian datang menghadap dan menceritakannya kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW mengatakan:pilih empat diantara mereka 9. Keputusan Al-Quran maupun Nabi untuk meredukasi dan meminimalisasi jumlah istri menunjukkan dengan jelas bahwa Al-Quran enggan untuk membolehkan poligami kecuali dengan syarat keadilan. Membaca ayat poligami Ayat Al-Quran yang menjadi dasar keabsahan poligami hingga empat orang dapat dibaca pada ayat berikut: [3 -2/] Dan beriaknlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, tindakan-tindakan (menukar dan memakan harta anak yatim) itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat bagi kamu untuk tidak berbuat aniaya. (QS. Al-Nisa, 2-3). Dilihat dari latar belakang turunnya, menurut banyak ulama tafsir, ayat ini disinyalir tengah merespon ketidakadilan para pengasuh (wali) anak-anak yatim10. Anak-anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayah saat usia mereka belum dewasa. Dalam kondisi demikian, kehidupan mereka sangat tergantung pada orang lain, membutuhkan perlindungan, pemeliharaan, dan pemenuhan kebutuhan, baik secara finansial (ekonomi) maupun emosional (kasih sayang). Dalam ayat ini, Allah SWT menyerukan agar para pengasuh
8 HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi. Lihat, Abu Saadat al-Mubarak bin Muhammad bin al-Atsir, Jami al-Ushul min Ahadits al-Rasul, (beirut: Dar Ihya al-turats, 1984), jilid 12, no.hadits: 9031, hal 164. 9 HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini bin majah, sunan Ibn Majah, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tth), jilid 1, no. Hadits: 1952, hal 628. 10 Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Aisyah istri Nabi saat ditanya oleh Urwah bin Zubair keponakannya. Lihat, Ibn Hajar al-Asqallaniy, Fathul Bari, (Beirut: darul fikr, tth), jilid 5, no. hadits: 2494, hal. 430.

anak-anak yatim memberikan perlindungan , pengasuhan, dan pemeliharaaan secara serius dengan memperlakukan mereka secara baik dan adil. Jikan mereka mempunyai kekayaah (harta peninggalan), para pengasuh (wali) harus menyerahkannya ketika mereka dewasa. Para wali tidak diperkenankan memanipulsi atau mengkorupsi harta mereka. Para wali hanya diberi hak untuk menggunakan harta mereka sepanjang diperlukan bagi kepentingan mereka. Mujahid, Said bin Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil bin Hayyan, al-Siddi, dan Sufyan bin Husein berkomentas tentang mencampuradukkan harta anak yatim dan memakannya dengan mengatakan: jangan anda berikan kepada mereka (anak yatim) sesuatu yang kurus sementara anda mengambil yang gemuk.11 Seorang ahli tafsir paling terkemuka, Ibnu Jarir al-Tabari, dengan mengutip para ahli seperti Siti Aisyah istri Nabi, menympulkan bahwa turunnya ayat ini berkiatan dengan kasus seorang laki-laki yang menjadi wali anak yatim yang kaya. Dia ingin mengawininya demi kekayaannyam dan memperlakukannya dengan tidak wajar. Padahal, anak yatim tersebut tidak menyukainya12. Praktik pengasuhan anak-anak yatim pada saat itu cenderung tidak adil. Para wali tidak mengelola hak-hak social dan ekonomi mereka secara proporsional. Disamping itu, mereka juga ingin mengawini anak-anak yatim perempuan yang diasuhnya dengan tidak membayar maskawin sama sekali atau membayarkan maskawin diluar ketentuan (tidak wajar). Ketika hal itu marak terjadi, Al-Quran membolehkan para wali mengawini perempuan yang sah selain anak-anak yatim dua, tiga, atau empat13. Dengan mengetahui latar belakang spesifik turunnya ayat ini, telah jelas bahwa maksud dan misi utama ayat pada saat diturunkan adalah memberi peringatan sekaligus penekanan kepada para pengasuh anak-anak yatim untuk melindungi mereka (yang keberadaannya memang lemah dan tak berdaya itu) melalui cara-cara yang adil. Jadi, ayat ini bukan dimaksudkan untuk menganjurkan poligami. Tegasnya, poligami bukanlah tujuan dari turunnya ayat
11 Al-Imam Abu al-Fida al-Hafidz Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir Al-Quran al-Adzim, (Beirut:darul fikr, 1997), jilid 1, hal 494. 12 Ibn Jarir al-Thabrani, Jami al-Bayan an Tawili Ayi al-Quran, (Beirut: Darul Fikr, 2001), cetakan ke 1, jilid 1, hal 280-281. 13 Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Zubair bertanya kepada Aisyah ra. Mengenai latar belakang turunnya ayat ini (QS. Al-Nisa, 2-3). Aisyah menjawab: hai anak saudara perempuanku, perempuan yatim ini diasuh seseorang (wali), dia menggabungkan harta dia (yatim) dengan hartanya. Si wali menginginkan kecantikan dirinya dan hartanya. Karena itu dia ingin mengawininya tanpa memberikan maskawin yang layak. Maka dia dilarang mengawininya kecuali bias bertindak adil dan memberikan maskawin yang pantas. Ketiak berbuat adil itu tidak dapat dilakukannya, maka ia dianjurkan menikahi perempuan lainnya. Lihat Al-Imam Abu al-Fida al-Hafidz Ibnu Katsir al-Dimasyqiy, Tafsir Al-Quran alAdzim, jilid 1, hal 495.

ini dan bukan pula insiatif Al-Quran. Hal ini karena seperti sudah disinggung, perkawinan poligami sudah eksis dan telah berlangsung lama di tengah masyarakat Arabia kala itu. Kalaupun ayat ini menyinggung poligami, maka sesungguhnya Al-Quran hanya membiarkannya tetapi dalam waktu yang sama ia mengkritik praktik poligami yang tidak adil. Inilah sesungguhnya, substansi pesan yang ingin disampaikan Al-Quran pada ayat tersebut. Sampai di sini, poligami memang masih tetap dipertahankan keabsahannya, meski sudah dibatasi. Frase al-Nisa (perempuan-perempuan) dalam ayat Pertanyaan yang penting diajukan pada ayat diatas kemudian adalah: siapakah yang dimaksud dengan frase al-Nisa (perempuan-perempuan) dalam ayat tersebut? Apakah ia berarti perempuan-perempuan mana saja tanpa membedakan usia dan status pernikahan (perawan atau janda)? Ataukah, maksud frase tersebut merujuk pada perempuan-perempuaan yang menjadi ibu anak-anak yatim (janda-janda), sesuai konteks turunnya ayat? Terhadap pertanyaan kritis ini terdapat pandangan yang beragam dari para penafsir AlQuran. Terkait dengan tafsir frase al-Nisa (perempuan-perempuan) pada ayat di atas maka dapat dikemukakan terjemahan yang berbeda, sebagai berikut: pertama, jika kamu (para pengasuh anak-anak yatim) khawatir tidak bias bertindak adil (manakala kamu mengawini mereka), maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang halal bagimu (yang kamu sukai), dua, tiga, atau empat.. Kedua, jika kamu (para pengasuh anak-anak yatim) khawatir tidak bias bertindak adil (manakala kamu mengawini mereka), maka kawinilah perempuan-perempuan (yang menjadi ibu-ibu mereka [janda-janda]) yang halal bagimu (yang kamu sukai), dua, tiga, atau empat.. Kecenderungan mayoritas besar para ahli tafdir klasik adalah pada penafsiran pertama. Menurut tafsir ini, laki-laki yang ingin berpoligami dibebaskan memilih perempuan manapun yang menarik hari laki-laki dan yang disenanginya, baik perawan maupun janda, atau keduanya. Sementara pada penafsiran kedua, laki-laki yang ingin berpoligami hanya diperbolehkan menikahi janda-janda yang memiliki anak-anak yatim. Penafsiran kedua ini diungkapkan

oleh pemikir muslim kontemporer, Muhammad Sahrur14. Penafsiran Sahrur di atas tentu atau mungkin terasa asing agi kebanyakan orang, akan tetapi menurut saya (penulis) pandangan ini merupakan kemungkinan yang menarik. Sahrur bukan tidak puya logika yang patut dipertimbangkan . menurutnya, jika alur ayat ini dimaksudkan sebagai advokasi terhadap anak-anak yatim tak berdaya, maka perlindungan terhadap para anakanak yatim sekaligus dengan mengawini ibu-ibu mereka tentu lebih masuk akal, karena mereka (para janda dan anak yatim), merupakan orang-orang yang lemah atau dipandang lemah dan rentan. Perlindungan terhadap mereka, sebagaimana diketahui dari banyak teks keagamaan Islam, merupaka bagian dari concern (perhatian) utama Islam. Meskipun begitu, dengan teori yang dibangunnya, hududiyah (batasan minimal dan maksimal), Sahrur tetap membolehkan poligami sampai empat dengan pertimbangan konteks social. Ini misalnya, menurut Sahrur, ketika dalam kenteks perang dan jumlah laki-laki berkurang, sementara jumlah perempuan lebih banyak disbanding jumlah lakilaki. Tampak bahwa Sahrur membolehkan poligami dengan mengemukakan argument demografik15. Penafsiran kontemporer lain yang hidup jauh sebelum Sahrur, semerti Maulana umar Ahmad mirip Usmani dan Prof. Fazlurrahman, Mereka mengemukakan bahwa pandangan yang dengan sahrur. berpendapat

dibolehkannya seorang laki-laki beristri lebih dari satu hanya bias dilakukan dengan para janda atau perempuan-perempuan yatim, dan bukan dengan perempuan selain mereka16. Dengan cara pandang seperti ini, poligami dibenarkan hanya dalam rangka perlindungan terhadap para janda atau para gadis yatim. Pandangan para ahli tafsir modern ini menarik dan lagi-lagi lebih masuk akal. Fakta-fakta di seputar perkawinan Nabi Muhammad SAW sebagaimana tercatat dalam buku-buku sejarah, nampaknya memberikan inspirasi bagi kehendak tafsir ini. Pendapat ini barangkali perlu menjadi pertimbangan bagi orang-orang yang hendak berpoligami. Poligami: Mempertimbangkan Suara Perempuan
14 Muhammad Sahrur, al-kitab wa al-Quran Qiraah Muasirah, (Damaskus: al-Ahali, 1990), cet. Ke-4, hal 597. Lihat juga, Muhammad Sahrur, Nahwa Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islamy, (Damaskus: al-Ahali, 2000), cetakan ke-1, hal. 303 15 Muhammad Sahrur, al-Kitab wa al-Quran Qiraah Muasirah. Hal 600. 16 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), cet. Ke-1, hal 122.

Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan ma thaba lakum min al-nisa (perempuan-perempuan yang kalian suka) dalam ayat tersebut? Pandangan umum para ahli tafsir menyatakan bahwa frase di atas berarti, perempuanperempuan yang kalian senangi atau perempuan-perempuan yang kamu kehendaki (ma syitum min al-nisa).17 Ini menunjukkan bahwa laki-laki dapat berpoligami dengan mengambil perempuan-perempuan yang menarik hatinya. Namun, sejumlah tafsir memberikan penafsiran yang lain. Tafsir Muqatil bin Sulaiman, al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf, al-Wahidi, dan Ibnu Arabi mengartikan frase ma thaba lakum min al-nisa dengan makna, perempuanperempuan yang halal bagi kalian (ma halla lakum).18 Tafsir lain yang mungkin mengejutkan banyak orang, sekaligus sulit untuk diterima atau bahkan akan dianggap mengada-ada adalah tawaran yang dikemukakan oleh Faqihuddin Abdul Kodir. Dalam bukunya Memilih Monogami, Faqih mengajukan tafsir atau terjemahan lain dari kalimat maa thaba lakum min al-nisa di atas. Menurutnya adalah sesuatu yang mungkin jika kalimat tersebut diterjemahkan sebagai: perempuan-perempuan yang menyukai kamu. Faqih menganalogkan pemaknaan ini dengan kalimat fa in thibna

lakum an syai-in (jika perempuan-perempuan itu senang menyerehkan (makanan) kepadamu), pada ayat lain. Dengan kata lain, Faqih ingin mengatakan bahwa siapapun laki-laki yang ingin berpoligami hendaknya mendengarkan suara sekaligus prasyarat untuk banyak perjanjian yang mengikat, apalagi menunggu perjanjian kesepakatan dan kerelaan hati perempuan. Menurut Faqih, kerelaan adalah perkawinan. Katanya:Kerelaan pihak perempuan merupakan syarat bagi keberlangsungan perkawinan poligami. Tafsir alternatif yang diperkenalkan Faqihuddin ini ingin menegaskan bahwa poligami tidak bisa dilakukan atas kehendak laki-laki, melainkan perlu mempertimbangkan pendapat perempuan. Dengan begitu, laki-laki yang ingin berpoligami hendaknya mempertimbangkan kerelaan dan kesediaan mereka yang akan dinikahinya. Akad nikah pada dasarnya sama dengan akad-akad yang lain, yakni bahwa keduanya memerlukan kesepakatan dan kerelaan dua pihak
17 Lihat misalnya Al-Quran dan terjemahnya yang diterbotkan oleh Departemen Agama RI yang menterjemahkan frase ayat maa thaaba lakum min al-nisa(QS. Al-Nisa, 3), dengan nikahilah wanitawanita yang kamu sukai. 18 Demikian pula dengan al-Thabari yang mengutip beberapa pendapat para sahabat dan tabiin dalam menafsirkan frase ini. Lihat riwayat-riwayat yang disampaikan al-Thabari dalam Ibnu Jarir alThabari, Jami al-Bayan an Tawili Ayi al-Quran, jilid 1, hal 284-285.

yang bertransaksi (an taradhim minkum)19. Boleh jadi kerelaan dua pihak dalam transaksi perkawinan jauh lebih urgen, mengingat konsekuensi-konsekuensi yang dimungkinkan timbul di kemudian hari dan dalam waktu yang panjang. Penafsiran ini menurut saya bukan hanya sangat wajar, melainkan jauh lebih masuk akal. Kehendak Al-Quran untuk menegakkan keadilan dalam poligami (dan jauh dalam hal lain), tidak bisa hanya ditentukan oleh salah satu pihak saja (laki-laki). Penilaian dan penentuan keadilan seharusnya diserahaknan kepada pihak yang mungkin akan merasa dirugikan, tentu saja adalah perempuan. Tegasnya, apabila seorang laki-laki ingin berpoligami, dia harus meminta persetujuan dari pihak perempuan. Mempertimbangkan kerelaan tersebut tidak hanya berlaku bagi calon istri berikutnya, tetapi jauh lebih penting adalah istrinya sendiri. Karena istri adalah pihak yang paling dirugikan dengan rencana perkawinan poligami itu. Undangundang (UU) Perkawinan RI.No. 1/1974 pasal 5 dan Undang-undang Keluarga di banyak negara Islam juga mempersyaratkan adanya izin istri jika seseorang ingin melakukan poligami. Undang-undang keluarga Maroko menyatakan dengan jelas syarat ini. Bahkan UU perlindugan keluarga di Iran sebelum revolusi (1975) juga mengharuskan laki-laki yang ingin mengambil istri kedua, diharuskan meminta izin kepada pengadilan dan juga mendapatkan izin pengadilan dan juga mendapatkan izin dari istri pertama20. Secara ideal keikhlasan atau kerelaan pihak-pihak yang dirugikan tidak hanya ditunjukkan oleh pernyataan verbal dan atau tertulis, melainkan ekspresiekspresi dan situasi-situasi psikologis yang menyertainya. Persetujuan dan kerelaan tersebut seharusnya tidak disampaikan oleh perempuan dalam kondisi psikologis yang terbujuk, tidak berdaya, atau tertekan secara ideologis, melainkan dengan kerelaan yang disadari. Keadialan sebagai Syarat Terlepas dari tafsir-tafsir di atas yang tetap mengapresiasi poligami, namun satu hal yang seharusnya menjadi perhatian utama tekait poligami
19 Lebih jauh tentang pemaknaan ayat ini, lihat Faqihuddin abdul Kodir, Memilih Monogami: Pembacaan Atas Al-Quran dan Hadits Nabi, (Yogyakarta: LKiS, 2005), cet. Ke-1 hal. 85-96. 20 Demikian pula dengan UU Pernikahan di Tunisia, sebuah Negara Muslim yang menjadikan Islam sebagai ideology Negara, melarang pernikahan poligami. Bahkan yang menarik, Tunisia melarang poligami dengan menganalogikan bahwa poligami itu sama dengan perbudakan. Keduanya, diperbolehkan pada masa lalu dengan melihat pertimgbangan social saat itu. Tentu saja pertimbangan masa lalu itu, menurut UU pernikahan di Tunisia, kini tidak relevan. Lihat Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: Gramedia, 2004), cet. Ke-4, hal 194-195.

11

adalah apresiasi dan concern kita terhadap prinsip keadilan. Karena sejatinya, prinsip ini adalah inti dar ajaran Islam. Membaca persoalan ini dari prinsip keadilan, tampak jelas bahwa keadilan dalam hal ini sama sekali tidak bisa diabaikan. Jika penggalan pertama ayat ini menekankan keadilan terhadap para yatim, maka penggalan kedua keadilan ditujukan kepada para perempuan, yaitu istri-istrinya. Ini adalah kritik Al-Quran terhadap poligami yang banyak dilakukan orang pada saat itu. Bahkan, penekanan Al-Quran pada keharusan suami berlaku adil demikian seriusnya, sehingga jika ia tidak sanggup berbuat adil, maka dia harus merasa cukup dengan seorang istri (monogami). [3/ ] Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil (terhadap para istri), hendaklah satu orang istri (monogami) saja, atau (jika masih ingin lebih dari seorang istri) budak-budak yang kamu miliki. Hal ini agar kamu lebih dekat agar kamu tidak berbuat menyimpang. (QS. Al-Nisa, 3). Ayat ini kembali menyebut kata-kata keadilan. Saya (penulis) merasa pengulangan ini mengindikasikan bahwa Allah tengah memberikan peringatan serius kepada mereka keinginan yang ingin berpoligami agar memikirkan agar dan tidak merenungkan tersebut dengan sungguh-sungguh

terjerumus pada tindakan-tindakan yang tidak adil. Keadilan adalah syarat dalam poligami, sebgaiman juga syarat dalam setiap keputusan hukum yang lain. Ini sesuatu yang disebut sangat jelas di dalam Alquran. Karenanya, menarik sekali pernyataan alhli tafsir terkemuka, Fakhruddin al-Razi dalam al-Tafsir al-Kabir saat mengomentari ayat, fa in khiftum alla tadilu fawahidatan, (jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil, maka nikahlah dengan satu saja). Al-Razi mengatakan, faltazimu wa ikhtaru wahidatan wa aru aljama rasan, fa inna al-amr kullahu yaduru maa al-adl, fa ainama wajadtum al-adla faalaikum bihi, (Pegang teguh dan pilihlah satu orang istri saja dan tinggalkan poligami begitu kamu merasa yakin tidak bisa berbuat adil. Karena inti persoalannya adalah keadilan. Maka, dimanapun kamu menemukan keadilan, di sanalah kamu memilih)21. Pernyataan yang sama juga sebelumnya juga disampaikan oleh ahli tafsir al-Zamakhsyari. Demikian mendasarnya asas keadilan Islam dalam poligami, sehingga terhadap orangorang yang berpoligami dan tidak bertindak adil, Nabi Muhammad saw menyampaikan pandangannya bahwa mereka akan datang pada hari kiamat
21 Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Khabir, (teheran: Dar al-kutub al-Ilmiyyah, tth), cet. Ke-2 jilid 9, hal 176.

dengan tubuh terbelah. Dalam riwayat lain disebutkan: Dia akan datang dengan tubuh miring.22 Satu hal lain yang penting untuk mendapatkan perhatian kita adalah penggalan ayat berikut ini. Yakni kalimat aw ma malakat aymanukum (atau budak yang kamu miliki). Ini merupakan bagian tak terpisahkan dan satu tarikan nafas dari ayat tersebut (fa in khiftum an la tadilu fa wahidatan aw ma malakat aymanukum). Artinya jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap para istri, maka nikahlah dengan satu orang saja, atau (silakan) nikahi budak-budak yang kamu miliki (berapapun). Dengan tidak harus berfikir mendala, orang yang membaca ini segera dapat menyimpulkan bahwa ayat ini memperbolehkan perbudakan. Sepenggal ayat ini sering luput dari perhatian para penafsir Alquran. Apakah dengan membiarkan ayat ini tidak dibicarakan maka dengan sendirinya ia (perbudakan ini) tetap berlaku atau dibenarkan, sebagaimana bagian ayat sebelumnya, yakni tentang poligami tadi? Sebagian orang mencoba menjawab dengan mengatakan bahwa oleh karena perbudakan dalam realitasnya sudah tidak ada, maka ayat tersebut dengan sendirinya tidak punya tempat dan tidak bisa diberlakukan. Keberadaannya hanya dianggap sebagai sejarah belaka. Dengan demikian pertanyaan kita adalah apakah penggalan ayat ini termasuk ayat yang mansukhah, dihapus? Sampai hari ini tidak ditemukan informasi dari sumber-sumber Islam klasik maupun kontemporer yang menyatakan secara tegas bahwa bahwa ayat-ayat perbudakan sudah mansukhah, dihapus23. Demikian juga ayat-ayat perbudakan yang lain, Melihat tidak jelasnya persoalan tersebut, maka tidaklah mengheranakan jika ada sebagian pihak yang mencurigai bahwa Islam masih tetap membolehkan perbudakan. Pertanyaan lanjutan yang perlu disampaikan terhadap jawaban dia tas adalah apakah sesuatu yang sudah tidak ada atau tidak eksis dalam realitas social berarti juga tidak diakui secara hukum syariah? Dan sebaliknya, apakah hanya oleh karena Al-Quran menyebutkan, lalu hukumnya juga masih dan harus berlaku sebagaimana yang dimaksud oleh makna tekstualnya? Pertanyaan ini
22 Abu Saadat al-Mubarak bin Muhammad bin al-Atsir, Jami al-ushul min Ahadits al-Rasul, (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1984), jilid 2, no hadits: 9049, hal 168. 23 Legalitas perbudakan dihapus berdasarkan dekrit Kerajaan Turki Utsmani tahun 1887 yang menyatakan bahwa Pemerintahan Kerajaan secara resmi tidak mengakui perbudakan dan memutuskan dengna dasar hukum bahwa setiap orang yang hidup di kerajaan adalah bebas. Di banyak negara di semenanjung arabia praktik perbudakan baru dihapus pada pertengahan abad ke 20. Sejak saat itu perbudakan hampir punah di wilayah-wilayah Islam.

13

penting dikemukakan, karena seringkali orang dengan mudah, simplistik dan tidak berfikir panjang berpendapat bahwa poligami dibolehkan karena Al-Quran menyebutkan dengan jelas. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa orang yang menolak poligami berarti menolak ayat Al-Quran dan menentang hukum Allah SWT. Jika demikian jawabannya, maka sama dengan mengatakan bahwa perbudakan masih diperbolehkan, karena Al-Quran juga menyebutkannya. AlQuran dalam banyak ayat memang jelas menganjurkan dan menekankan masyarkat untuk membebaskan budak. Bahkan sejumlah pelanggaran hukum harus dihukum dengan memerdekakan budak. Cita-cita Nabi SAW dengan caracara dan langkah-langkah hukum seperti itu saja berharap bahwa perbudakan pada saatnya harus dihapuskan. Persoalan kita sekarang adalah bahwa jika perbudakan sudah bias dihapuskan melalui sejumlah cara dan langkah-langkah gradual sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat Al-Quran, maka mungkinka berbagai cara dan langkah tersebut juga bisa diterapkan untuk problem poligami sehingga pada akhirnya juga perlu dihapuskan? Atas dasar memikirkan hal tersebut, sejumlah ulama kontemporer berpendapat bahwa seharusnya pengurangan jumlah perempuan yang boleh dinikahi dari empat menjadi tiga atau dua sudah dilakukan sejak lama, untuk pada saatnya (atau pada saat ini) hanya menjadi satu saja. Undang-undang keluarga Tunisia yang melarang poligami juga mengemukakan argument perlunya pengurangan gradual ini. Dalam pertimbangan terhadap ketentuan ini, disebutkan: . sesungguhnya, pembatasan jumlah istri menjadi hanya seorang istri sesudah berlangsung lima belas abad, merupakan proses alamiyah (wajar), yang ingin diatasi oleh misi islam24. Allah SWT mengakhiri ayat ini dengan menyatakan bahwa perkawinan monogami itu dzalika adna alla taulu, (supaya kamu lebih dekat untuk tidak akan bertindak menyimpang [tidak adil])25. Dari penghujung ayat ini dapat disimpulkan bahwa perkawinan monogami sejatinya merupakan cita-cita atau kehendak (keinginan) Allah SWT bagi sebuah perkawinan yang adil. Inilah yang
24 Dalil min Ajl al-musawah, hal 73 25 Mayoritas ulama tafsir memaknai an la taulu sebagai supaya kamu tidak menyimpang, (an la tamilu wa la tajuru). Namun, Imam al-Syafii memaknainya supaya kamu tidak banyak anak (keluarga) (an la taktsura iyalakum). Lihat Fakhruddin al-Razi, Al-Tafsir al-kabir, cet. Ke-2, jilid 9, hal 177

seharusnya

diperjuangkan terus-menerus. Dengna kata lain, Allah dalam

Firman-Nya yang demikian indah sekaligus menggugah itu, sejatinya tengah mengarahkan kepada masyarakat agar hanya memiliki satu orang istri. Perkawinan monogami adalah sebuah pilihan perkawinan yang paling ideal bagi terbangunnya relasi suami-istri dan keluarga yang baik (sakinah, mawaddah, wa rahmah) sebagaimana dikemukakan surat al-Rum ayat 31. Wallahu alam.

15

You might also like