You are on page 1of 20

Rumah Sakit Publik Bebentuk BLU: Bentuk Paling Pas Dalam Koridor Hukum Saat ini*

Hasbullah Thabrany**
Belakangan ini ramai dibahas kebijakan Pemda DKI yang mengubah RSD menjadi Perseroan Terbatas. Proponen kebijakan ini menekankan pada aspek manajemen mikro RS dan menilai bahwa kebijakan tersebut melulu merupakan kebijakan RS. Selain itu, proponen kebijakan ini menggunakan asumsi yang tdak berbasis fakta bahwa bentuk PT akan meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan. Padagal, ribuan PT dan raturan PT Persero seungguhnya berkinerja tidak bagus dan tidak juga efisien. Rancangan bentuk badan hukum PT adalah kendaraan ekonomi yang dalam UUD45 mengacu pada pasal 33 dengan tujuan utama mencari keuntungan finansial. Padahal, rumah sakit bukanlah kendaraan ekonomi akan tetapi kendaraan kesejahteraan dan investasi sumber daya manusia indonesia jangka panjang, yang mengacu pada pasal 34 UUD45. Di banyak negara, sebagian besar RS swastapun bukanlah berbentuk PT, tetapi yayasan atau badan sejenis yang tidak bertujuan mencari keuntungan finansial. Makalah ini mengungkapkan landasan etika-moral, landasan hukum, dan analisis ekonomi kebijakan badan hukum RS. Sesungguhnya faktor terpenting untuk efisiensi dan kualitas adalah otonomi atau fleksibilitas manajemen, khususnya dalam manajemen sumber daya uang dan tenaga. Berdasarkan analisis ini, bentuk Badan Layanan Umum merupakan bentuk yang paling pas saat ini. Badan Layanan Umum adalah suatu badan kuasi pemerintah yang tidak bertujuan mencari laba, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memberikan otonomi atau fleksibilitas manajemen rumah sakit publik, baik milik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bentuk BLU merupakan altenatif penting dalam menerapkan UUD Otonomi Daerah yang merumuskan RSD sebagai LTD. Kata kunci: kebijakan kesehatan, rumah sakit publik, BLU, rumah sakit daerah

Sejak Departemen Kesehatan berencana mengubah status 13 rumah sakit umum pusat menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) dan keluarnya Kepres No 40/2001 yang memberikan opsi rumah sakit daerah menjadi BUMD, saya
*

Disampaikan dalam Seminar Sehari Kontroversi Pengelolaan dan Bentuk

Kelembagaan Rumah Sakit Pemerintah, Jakarta 12 Maret 2005. Dimuat dalam Jurnal MARSI 2005
**

Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

sudah melayangkan berbagai reaksi yang menentang kebijakan publik tersebut. Djojosugito (2002) dalam makalahnya menjelaskan beberapa faktor yang mendorong perubahan status RSUP menjadi RS Perjan seperti perubahan fungsi RS dari fungsi sosial menjadi Industri jasa, berkurangnya kemampuan keuangan pemerintah untuk mensubsidi pelayanan kesehatan, pengelolaan RS swadana yang tidak lagi berjalan akibat adanya UU PNBP, dan berkembangnya paradigma sehat. Perubahan menjadi RS Perjan diharapkan dapat memberikan RS Perjan otonomi tanpa meninggalkan fungsi sosialnya. Akhir Tahun 2004, tiga RS Daerah di DKI telah diubah menjadi Perseroan Terbatas dengan alasan rumitnya manajemen RS dalam bentuknya yang sekarang sebagai UPTD atau LTD sebagai mana dikemukakan oleh Rijadi (2005) yang sepemikiran dengan Djojosugito. Pemda DKI beralasan bahwa selama ini Pemda telah banyak mensubsidi rumah sakit tersebut yang tetap rugi. Asumsinya kalau diubah menjadi PT, RS akan meraup untung (Masulili, 2005) Kebijakan Pemda DKI ini menuai banyak kritik luas dari masyarakat kesehatan maupun non kesehatan yang lebih parah dari kritik perubahan RSU menjadi Perjan. Saya pun termasuk yang secara tajam mengkritisi perubahan tersebut. Ada alasan-alasan akademis yang tidak mendukung perubahan tersebut dan ada beberapa istilah yang sesungguhnya tidak tepat digunakan untuk RS Publik (pemerintah) yang diselenggarakan untuk melaksanakan kewajiban pemerintah sesuai dengan UUD dan UU Otonomi Daerah. Istilah fungsi sosial, subsidi, dan merugisesungguhnya tidak tepat digunakan untuk sebuah RS Publik. Penggunaan istilah tersebut dalam berbagai diskusi menunjukkan bahwa kita tidak memahami atau pemahaman kita telah terdistorsi tanpa memperhatikan tugas pokok dan fungsi pemerintah. Kita telah mencampur adukan diskusi tentang RS Publik dengan RS swasta. Istilah fungsi sosial, yang umunya diartikan memberikan pelayanan bagi masyarakat yang kurang mampu (yang di Amerika sering disebut uncompensated care), melekat pada RS swasta khususnya yang bertujuan mencari keuntungan atau uang bagi pemegang sahamnya (for profit private hospital). Melayani orang tidak mampu, bukan hanya yang miskin, adalah kewajiban pemerintah yang diberikan antara lain melalui RS Publik, puskesmas, dan upaya-upaya lain. Mengapa istilah fungsi sosial tidak atau

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

jarang kita gunakan untuk puskesmas, jembatan yang dibangun pemerintah, atau kantor pemerintah? Kedudukan RS Publik sama dengan puskesmas, jembatan atau jalan yang merupakan fasilitas umum. UUD45 pasal 34 ayat 3 jelas menyebutkan bahwa Negara bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan dan fasilitas umum yang layak. Jadi kalau kita mau menggunakan fungsi sosial bagi RS publik, maka kita juga harus menggunakan istilah itu untuk puskesmas, jalan dan jembatan. Aneh kan! Istilah subsidi juga tidak tepat untuk RS Publik. Pengertian subsidi yang benar adalah pemberian dana oleh pemerintah kepada lembaga swasta atau yang digunakan untuk swasta agar lembaga swasta tersebut bisa berkembang atau mampu menjual produknya di bawah harga ekonomis agar rakyat banyak bisa menjangkau jasa atau produk yang dijual. Istilah subsidy berasalah dari kata subside yang berarti memperkuat pihak yang secara ekonomis tidak kuat. Subsidi pupuk atau subsidi harga kepada petani, wajar dan lazim digunakan di negara barat. Karena petani adalah pihak swasta. Subsidi BBM wajar digunakan, karena pemerintah tidak berkewajiban menyediakan BBM bagi semua rakyat. Istilah subsidi tidak tepat digunakan pada pendanaan pelayanan yang menjadi kewajiban pemerintah. Sepertinya halnya kita berkewajiban membiayai kehidupan dan pendidikan anak kita sendiri, tidak bisa kita katakan itu sumbangan/subsidi kita untuk anak. Perkataan subsidi kantor Pemda atau subsidi jalan tidak pernah digunakan dan memang tidak tepat, karena kantor dan jalan tersebut adalah fasilitas umum yang memang menjadi kewajiban negara. Demikian juga istilah merugi tidak sepantasnya digunakan untuk RS Publik yang merupakan suatu perangkat pemerintah untuk menjalankan fungsi pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Seperti halnya membayar gaji aparat negara, membangun fasilitas umum, membiayai DPR atau DPRD, dan berbagai pendanaan aparat atau perangkat pemerintah, istilah merugi tidak pernah digunakan. Akan tetapi, istilah efisiensi dapat dan lazim digunakan untuk menganalisis aspek ekonomis dari suatu program bahkan institusi. Memang, belakangan ini dunia ramai membahas pilihan mana yang lebih efisien, antara melayani langsung melalui perangkat pemerintah yang secara tradisional dibiayai oleh pemerintah dan dilaksanakan oleh pegawai

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

pemerintah dengan opsi outsourcing atau diswastakan. Istilah merugi, bukan istilah yang tepat guna. Mengapa istilah subsidi dan merugi tidak pernah kita gunakan untuk membangun sebuah jalan, jembatan, atau Kantor Camat. Bahkan tidak juga kita gunakan untuk pelayanan puskesmas atau sekolah dasar. Padahal, kalau secara ekonomis dihitung-hitung, tentu neraca pelayanan kantor pemda, jalan, jembatan dsb tidak menghasilkan uang yang menutup seluruh biaya operasionalnya, apalagi biaya investasinya. Kita telah terkecoh, mana yang menjadi kewajiban pemerintah (kita sebagai pegawai pemerintah) dan mana yang menjadi kewajiban swasta. Istilah modernnya, kita berada pada status disorientasi. Dimana kedudukan dan tugas pokok dan fungsi kita sebagai aparat pemerintah telah dicampur baurkan dengan keinginan, tugas pokok serta fungsi seorang swasta atau wiraswastawan.

Peran Pemerintah Dalam Pelayanan Kesehatan


Peran pemerintah dalam memenuhi kebutuhan penduduknya dapat dilakukan melalui dua pendekatan: pendekatan mekanisme pasar atau pendekatan regulasi dan penyediaan langsung. Kalau kita cermati UUD dan UU Otonomi Daerah, peran pemerintah jelas dirumuskan sebagai peran pelayanan langsung. Sesungguhnya jika mekanisme pasar berjalan dengan baik, sesuai sifat barang atau jasa, pemerintah tidak perlu repot-repot menyediakan sebuah produk atau jasa. Pemerintah cukup menjadi wasit atau regulator, mengatur arus lalu lintas pasar. Mekanisme pasar dengan sendirinya akan mengatur suplai dan harga sehingga penduduk (konsumen) akan diuntungkan. Akan tetapi, tidak semua produk atau jasa bisa berjalan sesuai dengan mekanisme pasar. Produk atau jasa yang tidak memiliki sifat informasi asimetris, atau sifat asimetrisnya rendah, memenuhi syarat untuk dilepas kepada mekanisme pasar. Pendekatan penyediaan langsung oleh pemerintah dilakukan jika mekanisme pasar gagal mencapai tujuan suatu negara atau menyediakan produk atau jasa yang terjangkau rakyat dalam rangka memakmurkan rakyat (Thabrany, 2001). Campur tangan pemerintah, dalam penyediaan pelayanan langsung seringkali dikaitkan dengan ciri suatu

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat. Suatu barang atau jasa yang karena sifatnya sebagai public goods (barang publik) sangat wajar disediakan oleh publik/pemerintah dalam bentuk penyediaan langsung oleh negara atau memberikan subsidi kepada pihak swasta. Sementara barang atau jasa yang bersifat pure private goods (barang swasta murni) tidak perlu diatur atau disediakan oleh negara. Mekanisme pasar merupakan alat yang handal untuk mengaturnya. Namun demikian, pembagian barang publik dan barang swasta tidaklah merupakan patokan mutlak tentang tanggung jawab pemerintah. Tampaknya, di sektor kesehatan telah terjadi kesalah-fahaman tentang hal ini. Azwar misalnya menyatakan bahwa tanggung jawab pemerintah hanya pada barang publik sementara masyarakat bertanggung jawab untuk barang swasta (Azwar, 2001). Barang publik adalah barang yang bersifat non rivalry dan atau non excludabilty. Apabila seseorang menkonsumsi barang tersebut, orang lain dapat mengkonsumsinya pada saat yang sama dalam jumlah yang sama tanpa menghabiskan barang tersebut. Sedangkan barang yang menimbulkan rivalry dan atau excludability disebut barang privat (Rosen 1999, Sapti, 2001). Menurut definisi ini, siaran televisi, radio atau mercu suar merupakan barang publik. Toh kebanyakan stasion televisi dan radio dimiliki, disediakan, dan dikelola oleh swasta. Sementara jasa salon kecantikan, kendaraan, atau makanan adalah barang privat. Informasi, jelas merupakan barang publik. Akan tetapi pelayanan kesehatan dan jalan raya, bukan barang publik dalam artian dalam mengkonsumsi barang tersebut, pada situasi tertentu, menjadi rival dan excludable. Misalnya pada jalan yang macet, jelas orang yang baru mau masuk jalan tersebut tidak bisa menggunakan jalan, karena sudah penuh dengan mobil orang lain (rival dan excludable). Tetapi semua orang tahu bahwa membangun jalan umum menjadi tugas publik (pemerintah). Tidak ada sektor swasta yang mau membangun jalan umum. Di Inggris dan di negara-negara persemakmuran Inggris serta di negara-negara kaya Timur Tengah, pelayanan kesehatan menjadi tanggung-jawab negara yang disediakan secara langsung. Selama ini terdapat salah faham para pengambil keputusan di bidang kesehatan yang menganggap bahwa pelayanan kesehatan, personal care seperti konsultasi dokter dan perawatan di rumah sakit, adalah barang privat dan

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

karenanya

BUKAN

tanggung

jawab

pemerintah.

Ini

adalah

kesalahan

fundamental di dalam pengambilan keputusan yang hanya berdasar salah satu sifat barang, tanpa memperhatikan berbagai aspek lain. Sebab, kalau faham ini benar, maka pembangunan jalan umum seharusnya bukan tanggung jawab pemerintah. Tidak ada satu negarapun di dunia yang mengandalkan pembangunan jalan umum kepada pihak swasta. Dalam makalah saya di Jurnal MARSI tahun 2002 yang lalu (Thabrany, 2002), saya telah jelaskan alasan-alasan karakteristik pelayanan kesehatan yang tidak cocok kalau dijadikan komoditas jual beli, seperti yang dilakukan oleh sebuath PT. Disini saya cantumkan kembali alasan-alasan yang telah saya kemukakan tersebut. Ada tiga alasan utama penyediaan atau pembiayaan suatu barang atau jasa menjadi tanggung jawab publik atau pemerintah. Pertama adalah sifat eksternalitas, baik positif maupun negatif. Pendidikan memiliki eksternalitas positif dimana masyarakat umum akan menikmati juga hasil pendidikan kepada sebagian kecil orang pintar. Pada akhirnya, lulusan universitas akan membawa manfaat bagi bangsa. Pengobatan TB di rumah sakit mempunyai eksternalitas yang tinggi. Seorang yang menderita penyakit TB dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain tanpa pandang bulu. Jika seorang penderita TB berobat tuntas, orang sekitarnya mendapat manfaat tidak tertularkan. Oleh karenanya tidak adil jika si penderita harus bayar sendiri sementara manfaatnya juga dirasakan orang lain. Konsumsi rokok dapat menimbulkan resiko kanker dan serangan jantung yang lebih tinggi kepada bukan perokok yang berada di sekitarnya. Oleh karenanya tidaklah adil jika orang sekitarnya yang tidak merokok dan kemudian mendapatkan resiko sakit harus menanggung sendiri biaya pengobatannya. Disinilah letaknya justifikasi pembiayaan atau subsidi publik. Efek eksternalitas ini menjadi dasar pertimbangan, meskipun sifat barang atau jasanya sebenarnya barang privat. Kedua, investasi pelayanan sangat mahal atau merugikan sehingga swasta tidak mau ambil peran. Ya, baik jasa rumah sakit maupun universitas pada satu tingkat tertentu memenuhi kriteria ini. Penelitian yang amat mahal harus dilakukan oleh atau disubsidi pemerintah. Fasilitas rumah sakit yang mahal atau unggulan Nasional, apalagi untuk orang tidak mampu, tidak menarik bagi swasta, maka pemerintah/publik harus turun tangan. Meskipun

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

konsumsi barang atau jasa ini tidak mempunyai efek eksternalitas. Ketiga aspek kemanusiaan dimana swasta tidak mau menangani sepenuhnya oleh karena swasta tidak berkepentingan. Orang menderita suatu penyakit berat atau kecelakaan berat tetapi ia tidak memiliki cukup uang sering kali ditanggung pemerintah atau disumbang (sebagian) oleh swasta. Swasta bisa turun tangan hanya sampai batas tertentu. Jika jumlahnya terlalu besar, swasta tidak bisa diandalkan. Maka pemerintah harus turun tangan. Pendidikan tidak memiliki aspek ini, tetapi kesehatan mempunyai muatan yang besar dalam aspek kemanusiaan ini. Itulah sebabnya pada suatu kecelakaan besar pesawat, kecelakaan kereta api atau terjadi bencana alam tsunami, pemerintah (bukan hanya pemerintah suatu negara) dituntut turun tangan--tanpa memperhatikan seberapa besar biayanya. Pertimbangan biaya, tidak relevan disini. Apakah setiap orang harus menanggung sendiri? Apakah pemerintah akan mengandalkan swasta untuk menolong para korban? Tidak pernah! Bahkan pemerintah negara lainpun akan turun tangan. Penanganan korban menjadi tanggung jawab baik sesuai dengan bidang publik. Tetapi tidak berarti swasta lepas maupun tidak sesuai. Apakah tangan. Banyak perusahaan juga turun tangan membantu korban tsunami, usahanya perusahaan swasta boleh dikatakan semata-mata mencari untung? Tidak. Dimanapun, tidak ada yang ekstrim == hanya mencari keuntungan atau hanya melayani seperti halnya malaikat bekerja. Jika dilihat dari sifat jasanya, pendidikan dan kesehatan memenuhi paling tidak dua syarat untuk dikelola atau didanai oleh pemerintah, tanpa memperhatikan status kepemilikan badan. Universitas atau rumah sakit swasta sering mendapat bantuan pemerintah di berbagai negara bahkan lintas negara. Rumah sakit memiliki ketiga syarat pembiayaan publik dalam derajat yang jauh lebih kuat dari universitas. Artinya, jika memperhatikan ukuran derajat kelengkapan dan intesitas barang yang patut disediakan atau dibiayai pemerintah/publik, maka seharusnya peran pemerintah lebih besar dalam bidang kesehatan dibandingkan dengan perannya dalam bidang pendidikan. Kesalah-fahaman konsep bahwa barang privat tidak perlu dibiayai negara ini sedikit banyak mempengaruhi konsep sistem kesehatan masa depan dan perubahan status rumah sakit pemerintah.

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

Jika kita perhatikan anggaran belanja berbagai negara di dunia, maka pemerintah menanamkan investasinya hanya pada dua kelompok besar yaitu pembangunan manusia dan pembangunan prasarana. Pembangunan manusia dilakukan melalui pembiayaan kesehatan dan pendidikan. Kesehatan merupakan fondasi dasar untuk berhasilnya pendidikan. Baik kesehatan maupun pendidikanlah yang menjadi tulang punggung tingginya mutu sumber daya manusia. Mutu sumber daya manusia (bukan sumber alam) yang tinggi inilah yang mampu mengubah kemiskinan menjadi kemakmuran. Pembangunan prasarana dilakukan dengan membangun jalan, jembatan, listrik, telepon, dan air bersih. Dengan mutu SDM yang tinggi, maka prasarana yang dibangun pemerintah dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan kinerja ekonomi yang tinggi. Itulah sebabnya, Lembaga Pembangunan Dunia (UNDP) hanya menggunakan sebagai tiga faktor besar; Indeks kesehatan, Pembangun pendidikan, Manuia dan penghasilan; indikator (Human

Development Index). Jangan heran kalau Indonesia masih berada pada urutan ke 112 dari 191 (UNDP, 2003) negara karena pemerintah kita, selama tiga dekade, tidak cukup menanamkan investasi dalam kesehatan dan pendidikan sebagai investasi SDM. Jika kelak, pemerintah semakin mengurangi investasinya di bidang kesehatan (dengan mengurangi pembiayaan rumah sakit pemerintah sementara golongan tidak mampu dan tidak memiliki asuransi kesehatan masih merupakan sebagian besar penduduk), maka Indonesia akan makin terpuruk. Negara maju yang relatif ekstrim dalam faham publik seperti Inggris dan Australia masih tetap mempertahankan sistem National Health Service di mana RS tetap dikelola dan dibiayai negara (fungsi penyediaan langsung). Hakikat rumah sakit pemerintah dalam negara yang memiliki keseimbangan peran publik-swasta, paling tidak harus menjadi jejaring pengaman. Rumah sakit swasta harus berperan sebagai substitusi dari rumah sakit pemerintah, bukan sebagai pesaing. Rumah sakit pemerintah wajib menyediakan pelayanan bagi seluruh penduduk yang memang haknya dijamin UUD. Jika seorang penduduk, yang berhak mendapatkan pelayanan di rumah sakit pemerintah tidak berkenan menggunakannya, karena kualitas pelayanannya dinilai kurang memadai, maka ia boleh menggunakan RS swasta

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

atas biaya atau risikonya sendiri. Dimanapun di dunia, prinsip inilah yang berlaku. Apakah setiap rakyat dapat memperoleh pelayanan yang memadai di RS Cipto Mangunkusumo misalnya, yang merupakan rumah sakit rujukan tertinggi, setelah rumah sakit itu menjadi BUMN? Tampaknya, dengan tarif yang semakin tinggi (yang kini untuk konsultasi saja sudah mencapai Rp 40.000), akibat dituntut untuk mandiri secara finansial, gejala rakyat menengah tidak mampu berobat di RSCM sudah mulai tampak. Apakah seorang tukang ojek yang penghasilannya per hari paling banyak Rp 30.000 bisa menggunakan fasilitas konsultasi di RSCM? Pasti tidak. Sebab, penghasilan hariannya saja tidak cukup untuk makan dengan gizi seimbang untuk keluarganya. Kok RS yang beraset ratusan milyar, yang dibangun dari uang rakyat, yang para dokter dan pegawai serta pimpinannya dibesarkan dengan fasilitas yang dibiayai uang rakyat, dapat membuat kebijakan yang menghambat rakyat memperoleh pelayanan dengan memasang tarif setinggi itu? Nilai-nilai yang diturunkan dari jenis barang dan jasa pelayanan kesehatan, seperti yang dibahas diatas itulah, yang melandasi pengaturan oleh UUD45. Pasal 28H menyatakan bahwa setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan. Visi ini kemudian dijabarkan dalam Pasal 34 ayat 3 Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas umum yang layak. Disini jelas negara (yang harus dijalankan oleh pemerintah) mempunyai misi menyediakan fasilitas kesehatan yang disejajarkan dengan fasilitas umum (seperti taman dan tempat ibadah) yang layak (yang mutu pelayanannya dapat diterima oleh masyarakat banyak, bukan persepsi kita yang termasuk kelas atas).

Antara Penyediaan Langsung, Quasi Swasta, dan Membeli Dari Swasta


Visi dan misi dalam pelayanan kesehatan seperti yang termaktub dalam UUD 45 diatas dijabarkan lebih lanjut oleh UU 32/2004 tentang otonomi daerah, khususnya pasal 22 yang menyatakan Pemerintah Daerah Wajib Menyediakan Fasilitas Kesehatan. Secara lebih operasional, kewajiban Pemda ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 125 dimana digariskan bahwa Rumah Sakit

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

Umum Daerah berbentuk Lembaga Teknis Daerah. Bentuk perangkat daerah yang dirumuskan dalam UU otoda ini memang sejalan dengan visi dan misinya. Bentuk Bukankah organisasi dalam atau manajemen hukum strategis suatu kita diajarkan dan untuk rencana merumuskan segala sesuatunya dimulai dengan value, visi-misi dan tujuan? badan organisasi operasional harus sesuai dengan visi dan misinya. Kalau tidak sesuai, kita tidak bisa mencapai keadaan tersebut, alias kesasar. Mengambil bentuk badan hukum PT untuk RSUD jelas melanggar UU dan tidak sesuai dengan visi-misi. Sebab, PT menurut Uunya merupakan vehicle atau kendaraan untuk urusan ekonomi atau bisnis yang didalam UUD diatur dalam Pasal 33 tentang Perekonomian Negara. Sedangkan RS sebagai bagian fasilitas kesehatan diatur dalam Pasal 34 UUD45. Jelas, mengambil bentuk PT merupakan kebijakan yang tidak sesuai atau tidak sealur antara bentuk operasional dengan visimisinya. Sampai saat ini, pembagian besar RS di dunia masih mengacu pada dua golongan kepemilikan pemerintah dan swasta dimana milik swasta lebih lanjut dibagi menjadi dua golongan besar, yang bertujuan cari untung dan yang bertujuan sosial yang tidak cari untung. Maka kita kenal rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta not for profit, dan rumah sakit swasta for profit. (Griffith, 1992). Tidak dikenal adanya rumah sakit pemerintah for profit. Tampaknya Indonesia telah menciptakan keajaiban dunia ke delapan dengan menjadikan rumah sakit pemerintah sebagai Perseroan Terbatas, yang berbeda dengan PT lain (Masulili, 2005). Padahal, UU Perseroan Terbatas jelas-jelas mengatur kepemilikan saham yang tujuannya untuk secara fair membagi hasil usaha (laba atau profit) secara proporsional sesuai dengan saham yang dimiliki seseorang atau suatu badan hukum. Gambar 1 Perbandingan Kesesuaian Antara Visi-Misi dengan Bentuk Organisasi (Badan Hukum) RS

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

LTD/BLU (Pasal 34 UUD45)


Visi-Misi: Penyediaan pelayanan yang terjangkau dan merata

BUMN /BUMD/PT (Pasal 33 UUD45)

Visi-Misi: Penyediaan pelayanan / laba /pendapatan Tujuan utama: Pelayanan terjual,laba

Tujuan utama: Pemertaan pelayanan

Nyasar
Status: Nirlaba, service maximizer Status: Cari laba, profit maximizerr

Indikator sukses utama: Akses dan status kesehatan

Indikator sukses utama: Kinerja keuangan

Sebenarnya, kritik tidak sesuainya bentuk RS BUMN/BUMD dengan visi-misinya telah saya sampaikan secara tertulis (Thabrany, 1999; Thabrany, 2000). Namun, karena pengambil keputusan dan para pelaku (khususnya manajemen RS Publik) terus menghadapi masalah mikro manajemen yang sering kali dikeluhkan sebagai tidak fleksibel, tidak memberikan insentif untuk kerja bermutu, tidak memberikan peluang untuk bersaing dengan RS swasta atau RS asing dan berbagai keluhan lainnya, maka perubahan RS Publik ke BUMN/BUMD oleh sebagian kita terus dipaksakan. Kepala Dinkes DKI Jaya, A Cholik Masulili, sendiri secara gamblang mengakui bahwa pengambilan bentuk PT di DKI memang terpaksa dilakukan (Masulili, 2005). Yang lebih parah lagi adalah dikemukakannya asumsi bahwa bentuk PT dianggap sebagai bentuk yang paling baik, yang bisa menyelesaikan masalah mutu dan efisiensi. Suatu pandangan yang sama sekali tidak berbasis fakta (no evidence based policy), yang lebih banyak dilihat dari teori-teori dan benchmarking sebagian usaha swasta. Faktanya, hanya sekitar sepertiga BUMN bebentuk PT Persero yang sehat secara finansial dan baik kinerjanya. Sesungguhnya, ratusan bahkan ribuan perusahaan Perseroan Terbatas swasta bangkrut setiap tahunnya 10

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

akibat salah manajemen, atau korupsi oleh pihak manajemen. Cuma saja, karena perusahaan tersebut milik sebagian kecil orang, kegagalan manajemen di PT swasta tersebut tidak masuk koran dan tidak dilaporkan ke pengadilan. Inilah informasi bias yang kita terima selama ini, khususnya bagi pegawai negeri yang jarang mempelajari aspek perushaaan swasta. Memang harus diakui bahwa sistem penggajian pegawai negeri di Indonesia, kesadaran pemerintah, sistem penganggaran dan pengadaan barang, dan kualitas pegawai negeri menyebabkan timbulnya keluhan ketidakpuasan manajemen dan pengguna pelayanan RS publik. Tetapi kita sering keliru dan tidak menangkap bahwa sesungguhnya keluhan masyarakat akan rendahnya mutu pelayanan di RS swasta, meskipun yang berbentuk PT, juga tidak sedikit. Kita sering keliru menangkap keluhan sebagian kecil orang (umumnya dari kelas atas atau dari sebagian kita yang menginginkan pelayanan yang setara dengan di luar negeri) dengan mengeneralisasi bahwa rakyat banyak tidak puas dengan pelayanan RS publik. Sesungguhnya sebagian besar masyarakat (mungkin lebih dari 80%) kelas menengah ke bawah tidak mengeluhkan mutu pelayanan RS publik. Hal yang sama juga terjadi di negara lain, dengan tingkat yang jauh lebih rendah. Oleh karena itu, mengubah RSD menjadi PT dengan alasan-alasan yang dikemukakan pihak manajemen, mungkin lebih merupakan pemenuhan keinginan manajemen daripada keinginan rakyat banyak. Memang tren mengubah manajemen RS dari organisasi birokrasi menuju organisasi korporat sedang terjadi di berbagai negara. Tetapi organisasi korkorat tidak identik dengan PT yang milik swasta dan dirancang sebagai kendaraan ekonomi di sektor swasta. Jenis kendaraan memang banyak dan bervariasi. Kita memiliki traktor dan mesin pembajak tanah untuk pertanian. Kita memiliki traktor untuk pembangunan sarana fisik. Kita memiliki truk untuk mengangkut barang. Kita memiliki sedan untuk mengangkut orang secara privat, minibus untuk mengangkut keluarga dan kita memiliki bus untuk mengangkut manusia. Masing-masing dirancang sesuai dengan kebutuhannya. Kalau kita menggunakan traktor untuk mengangkut orang banyak, maka bukan saja ditertawakan orang, kemungkinan besar kita juga tidak mencapai tujuan. Begitulah bentuk kendaraan badan hukum organisasi. Badan hukum PT

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

11

dirancang

untuk

kendaraan

usaha

niaga pihak swasta, BUMN/BUMD

dirancang untuk usaha niaga pemerintah (Kansil and Kansil, 2003:135-204), dan fasilitas kesehatan serta lembaga pendidikan dirancang melayani rakyat banyak dalam meningkatkan kesejahteraan umum. Mengambil bentuk PT badi RS publik untuk melayani masyarakat sama halnya menggunakan traktor pertanian untuk mengangkut penumpang bus. Bisa digunakan, hanya dalam keadaan darurat. Apakah kita dalam keadaan darurat sekarang ini? Perubahan badan hukum organisasi RS sesungguhnya tidak penting. Yang sangat penting sesungguhnya adalah perubahan budaya manajemen birokrat menuju manajemen dan budaya korporat yang lebih efisien dan responsif (korporatisasi). Bukan perubahan badan hukum (transformasi struktural) dari RSUD menjadi BUMN/BUMD atau PT. Renald Kasali (2005) merekomendasikan transformasi cultural (mengubah budaya birokrat ke korporat) yang perlu dilakukan terlebih dahulu, bukan transformasi struktural (tetapi orangnya dan budayanya masih sama) seperti yang dilakukan oleh Pemda DKI. Lebih lanjut, Kasali menganjurkan bahwa untuk jenis pelayanan tertentu, seperti kesehatan dan pendidikan, maka transformasi struktural dilakukan menuju living company (seperti bentuk Badan Hukum Pendidikan, BHMN atau BLU) ketimbang bentuk economic company seperti PT atau PT (Persero). Kasali menilai bahwa UU nomor 1/2004 tentang perbendaharaan negara merupakan langkah awal dari korporatisasi pemerintah Indonesia.

Bentuk yang pas


Tuntutan bentuk dan struktur manajemen otonom yang fleksibel dan memberikan insentif atas perubahan yang cepat sudah dimulai sejak diperkenalkan konsep swadana. Namun demikain, memang dirasakan masih belum pas benar dengan yang diinginkan. Banyak pihak sesungguhnya menyadari perlunya perubahan menuju bentuk yang sejalan antara visi-misi dengan bentuk organisasi, struktur manajemen, dan opersionalnya. Universitas negeri mendapat angin untuk menjadi otonom melalui Peraturan Pemerintah No. 61/99 yang menetapkan universitas sebagai badan hukum. Empat universitas/institut negeri yaitu UI, UGM, ITB, dan IPB telah dilepaskan menjadi badan otonom (Badan Hukum Milik Negara, BHMN) yang jelas disebut

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

12

bersifat nirlaba.1 Semula juga ada pemikiran untuk menjadikan universitas sebagai BUMN. Namun karena tujuan dan sifat BUMN yang mencari keuntungan dan mengacu pada pasal 33 UUD 35 dinilai tidak sesuai dengan visi-misi universitas negeri, maka bentuk yang dipilih adalah BHMN. Saat ini, berbagai pihak tengah mempersiapkan UU bentuk badan hukum yang lebih pas yaitu Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang memang sudah diberikan dasarnya dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Bentuk semacam BHP itulah yang lebih pas, untuk fasilitas kesehatan dan pendidikan. Dalam diperlukan bidang adalah RS yang Otonomi Kalau kita, pegawai negeri dan pejabat di pemerintahan, yang dalam dapat membuat beban pelayanan kita kebijakan rakyat karena meringankan mendapat

manajemen di rumah sakit yang menjamin RS publik menjalankan usaha luas, atau baik upayanya sejalan personil, dan adalah yang dengan visi-misinya. Otonomi yang manajemen pengadaan, korporat bentuk keuangan, sebagai memang

kesehatan, mencegah rakyat jadi miskin penyakitnya, mengapa membuat kebijakan, RSUD jadi PT, yang justeru membuat beban rakyat menjadi berat. Anggaran pemerintah tidak bisa disalurkan melalui PT . Sebuah PT harus berupaya financial sendiri memenuhi yang total pada requirement

sebagainya sehingga RS dikelola suatu suatu

dipandang ideal saat ini. Rumah sakit berbentuk UPTD dan LTD terikat dengan sistem akuntabilitas departemen yang (flexible). dan pegawai tidak negeri lentur memang

akhirnya dibebankan kepada rakyat.. Dengan bentutk BLU, manajemen RS mendapat selain Bukankah kucuran dari beban dana jasa pemerintah pelayanan. lebih dana

Sesungguhnya

Pemerintah telah menyadari hal itu dan karenanya telah mengubah sistem keuangan negara dengan UU Pebendahaan Negara yang salah satunya mengatur bentuk

manajemen

ringan dan dapat menarik jasa yang lebih murah? Rakyat juga tidak akan marah karena persepsi for profit sebuah PT?

Badan Layanan Umum. Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut tentang bentuk BLU ini memang sedikit terlambat dari rencana semula yang diharapkan selesai bulan Januari 2005. Bentuk ini memberikan keleluasaan

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

13

RS menggunakan langsung dana yang diterimanya dari pelayanan dan dapat mengangkat pegawai negeri dan bukan pegawai negeri. Meskipun, bentuk BLU belum memenuhi benar harapan manajemen RS publik, mengapa harus memaksakan diri mencari bentuk lain yang jelas-jelas tidak sejalan dengan visi-misi RS publik. Bukankah sebagai pegawai negeri tugas kita mengikuti aturan yang ada dulu, baru mempersiapkan bentuk lain yang lebih tepat dengan membuat aturan yang tepat. Apapun namanya, prinsip dasarnya adalah otonomi atau manajemen korporat. Ini kita setuju semua. Badan rumah sakit pemerintah, dan juga rumah sakit swasta nirlaba, adalah badan otonom. Direksi mempunyai kewenangan, di dalam koridor peraturan perumah sakitan, untuk mengelola sepenuhnya sumber daya keuangan maupun sumber daya manusia yang ada di rumah sakit. Rumah sakit harus tetap dikelola sebagai layaknya sebuah perusahaan, minus bukan mencari keuntungan. Pemerintah akan membeli pelayanan ke rumah sakit tersebut melalui global budget atau block grant atau melalui jumlah out put tertentu sebagai pertanggung-jawaban pemerintah atas tugas publik bagi rakyatnya. Apabila penerimaan rumah sakit dari pelayanan tidak memadai, maka pemerintah (pusat maupun daerah) harus mendanai dalam bentuk uang tunai, biaya operasional, pengadaan gedung, alat atau tana, block grant, global badget membeli dengan DRG dan lain sebagainya. Banyak teknik-teknik ekonomi yang merangsang manajemen efisien, tanpa harus merubah badan hukum RS menjadi badan usaha economic company yang sensitif publik dan memberi citra jelek bagi pengelola RS publik.

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

14

Ciri BLU menurut RPP BLU draft tanggal 11 April 2005 BLU adalah instansi pemerintah dalam memberikan pelayanan umum kepada masyarakat tanpa mengutamakan mencari keuntungan, memiliki otonomi/fleksibilitas dalam pengelolalaan keuangan (tanpa harus disetor ke kas negara). Artinya, tidak ada birokrasi keuangan seperti yang selama dini disalah-persepsikan dan dapat dikelola mirip sebuah PT. Pengelola BLU harus mencapai sebuah kinerja (mirip dengan PT) sesuai dengan kontrak kinerja dengan pemerintah Laporan keuangan harus diaudit, sebagaimana juga laporan keuangan PT Besaran jasa layanan selain mempertimbangkan aspek keuangan dan kemampuan masyarakat, juga mempertimbangkan kompetisi yang sehat BLU dapat meneriman APBN/APBD, hibah terikat, dan hibah tidak terikat BLU juga bisa bekerja sama dengan pihak lain dengan pendapatan dari kerja sama merupakan pendapatan BLU. Keuntungan investasi jangka panjang juga merupakan pendapatan BLU Seluruh pendatapan BLU, baik dari pemerintah, jasa layanan, maupun kerja sama dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU (tak ada beda dengan PT) BLU harus membuat Rencana Kerja dan Anggaran BLU, sebagai mana juga sebuah perusahaan Pengelolaan BLU diawasi oleh Dewan Pengawas Pegawai BLU dapat terdiri dari pegawai negeri dan bukan pegawai negeri.

Karena sifatnya yang nirlaba, maka pemerintah (pusat maupun daerah) tidak menarik pajak atas penghasilan badan (Pph badan) dan tidak mengambil dividen. Dividen yang diterima pemerintah adalah dalam bentuk rakyat yang sehat dan produktif, yang pada akhirnya dapat bekerja dan menghasilkan uang. Dari hasil kerja inilah pemerintah mengambil pajak penghasilan orang
H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

15

pribadi. Inilah mekanisme yang paling tepat dan umum berlaku di seluruh dunia. Kekeliruan pemilihan badan hukum PT Askes dan PT Jamsostek hendaknya jangan diulang kembali. Satu dekade yang lalu, pemerintah telah membentuk PT Askes dan PT Jamsostek sebagai BUMN PT Persero, yang secara yuridis legal bertujuan mencari laba, untuk menyelenggarakan program asuransi sosial.2,
3

Dimanapun di dunia, suatu program asuransi sosial atau

jaminan sosial dikelola oleh pemerintah atau swasta secara nirlaba. Apa yang terjadi kemudian, kinerja badan tersebut lebih banyak diukur dengan indikator keuangan, profit maximizer. Padahal hakikat asuransi sosial atau jaminan sosial adalah service maximizer. Pemerintah, yang diwakili Departemen Keuangan, tiap tahun menuntut bagi hasil (dividen) dan tentu saja pajak penghasilan badan. Disisi lain, PT Askes misalnya tidak akan mampu membayar dokter dan rumah sakit dengan tarif yang fair, meskipun untuk rumah sakit pemerintah. sementara kedua Akibatnya, banyak rumah sakit mengeluh dibayar memperoleh laba yang disetorkan ke terlalu kecil dan tenaga kerja mengeluh jaminannya kurang memadai, perusahaan Departemen Keuangan yang cukup besar. Mendengar kedua Persero memiliki laba, yang menurut ukuran rumah sakit jumlahnya besar sekali, maka semakin timbullah kecemburuan dan ketidak-puasan pimpinan rumah sakit umum kepada BUMN tersebut. Pelayanan kepada peserta, yang nota bene, adalah sama-sama pegawai pemerintah menjadi tidak optimal. Akibatnya keadaan ini mengancam kehancuran instrumen sosial, asuransi sosial dan RSU, yang di negara-negara lain dapat berjalan jauh lebih baik. Kekeliruan ini telah dikoreksi dengan UU nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengharuskan badan penyelenggara bersifat nirlaba. Hanya dengan UU, tujuan suatu badan yang telah ditetapkan dengan UU dapat dikoreksi. Untuk RS yang menggunakan kendaraan BUMN/BUMD/PT, UU mana yang akan mengoreksi? Sementara UU Perbendahaan Negara sudah memberikan koreksi atas kelemahan bentuk UPTD/LTD. Asumsi bahwa RS berbentuk PT atau badan hukum yang mencari laba tidak membuat akses bagi penduduk yang kurang mampu tidak terabaikan

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

16

tidak didukung bukti-bukti yang kuat. Berbagai studi di beberapa negara menunjukkan hal itu. Eggleston dan Yip (2004) mendapatkan bahwa kompetisi mendapatkan pasien dalam sistem pembayaran FFS meningkatkan biaya (cost escalation). Peningkatan biaya ini menurunkan akses bagi pasien yang harus bayar pelayanan dari kantong sendiri (self-pay). Penelitian Tong Li dan Rosenman (2001) menunjukkan bahwa rumah sakit not for profit di Amerika memberikan pelayanan rawat jalan lebih banyak dari rumah sakit for profit, sebaliknya RS for profit lebih fokus pada pasien rawat inap yang lebih menguntungkan. Efek efisiensi dengan cara pembayaran DRG/case mix mempunyai efek yang sama baik bagi RS for profit maupun not for profit. Jadi, yang menjadi faktor penting efisiensi adalah sistem pembayaran. Tidak benar bahwa RS for profit akan lebih efisien. Thorpe, Florence, and Seiber (2000) melakukan penelitian terhadap 431 RS yang mengalami perbubahan dari RS Publik ke RS not for profit, for profit, dan sebaliknya selama tahun 1991-1997 mendapatkan bahwa perubahan status dari not-for profit menjadi for profit menurunkan pelayanan bagi yang tidak mampu (uncompensated care) sebesar 13%. Rumah sakit publik yang berubah menjadi RS for profit mengalami penurunan terbesar dalam dana uncompensated dari 5,2% menjadi hanya 2,5% dari total expenses. Reinhardt (2001) menyatakan bahwa not for profit and for profit hospital sama-sama efisien dalam memproduksi pelayanan kesehatan, namun RS for profit menetapkan tarif (charge) yang lebih tinggi dari RS not for profit untuk menutupi akuisisi modalnya. Sejalan dengan penelitian di Amerika, di Indonesia, RS not for profit seperti memang mempunyai biaya pegawai yang lebih tinggi dibandingkan dengan RS for profit. Tetapi hal itu terjadi karena RS not for profit umumnya jauh lebih tua dan lebih besar sehingga beban overhead dan tingkat upah menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan RS for profit yang relatif baru dan umunya bersekala lebih kecil.

Penutup
Yang perlu diingat adalah bahwa rumah sakit umum adalah milik masyarakat, bukan milik pegawai pemeritah apalagi direktur RS atau Kepala 17

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

Dinas Kesehatan. Oleh karenanya, pemerintah pusat atau daerah, harus meminta persetujuan rakyat dan rakyat harus diberi pengertian tentang keuntungan dan kerugian, jangka pendek dan jangka panjang, tentang perubahan status rumah sakit. Fungsi rumah sakit pemerintah adalah penyehatan rakyatnya yang sakit, bukan sebagai lembaga pengumpul dana bagi pengelola rumah sakit apalagi pemerintah. Persetujuan rakyat hanya dapat diwujudkan dalam bentuk UU yang secara lebih luas dibahas di DPR dan masyarakat banyak. Oleh karenanya, sejak lama saya menganjurkan untuk menyusun dan mengajukan UU Fasilitas Kesehatan atau UU Rumah Sakit yang akan mengatur RS dengan lebih pas atau konsisten dengan visimisinya, namun menampung kesulitan manajemen. Kalau di Indonesia hanya ada 167 perusahaan asuransi ada UU Asuransi, kalau di Indonesia ada 280an BUMN ada UU BUMN, mengapa untuk lebih dari 1.300 rumah sakit tidak ada UU Rumah Sakit atau Fasilitas Kesehatan. Marilah kita bekerja dengan lege artis dan prosedural, agar segala yang kita upayakan mendapat dukungan rakyat dan tidak mencoreng muka kita karena dinilai hanya memikirkan kepentingan sendiri. Semoga kita dapat segera mengoreksi kekeliruan kita. KEPUSTAKAAN
Azwar. A. Makalah disampaikan pada Seminar Public-Private Mix in Health Care. Jakarta, 2-3 Mei 2001. Djojosugito, A. Seluk Beluk Rumah Sakit Berbentuk Perusahaan Jawatan. Jur. MARSI Vol III, No.1, 2002. p19-23 Eggleston, Karen and Yip, Winnie. Hospital Competition under Regulated Prices: Application to Urban Health Sector Reforms in China. International Journal of Health Care Finance and Economics. 4, 343-368, Dec 2004 Griffith, JR. The Well-Managed Community Hospital. 2nd Edition. AUPHA Press. Ann Arbor, MI, 1992: p13-15 Kansil, CT dan Kansil, CST. Kitab Undang-Undang Hukum Perusahaan , Jilid I. Cetakan ketiga. Pradnya Paramita, Jakarta 2003 Kasali, Renald. Korporatisasi. Pidato Ilmiah dalam Dies Natalis Universitas Indonesia ke 55, 5 Februari 2005 Laporan UNDP 2003, website //www.undp.org/

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

18

Li, Tong and Rosenman Robert. Estimating Hospital Costs with a Generalized Leontief Function. Health Econ, 10:523-538, 2001 Masulili, Chalik. Kebijakan Pemda DKI dalam Tidak RS. Makalah disampaikan pada Diskusi Publik Privatisasi RSUD DKI, Departemen AKK FKMUI, Jakarta 19 Februari 2005 Pasal 4, Peraturan Pemerintah No. 152/2000 tentang Universitas sebagai Badan Hukum Milik Negara. PP 2/92 tentang Pembentukan dan Penujukkan PT Asuransi Kesehatan Indonesia sebagai pengelola JPK PNS. PP 35/93 tentang Penunjukkan PT Jamsostek sebagai pengelola Program Jamsostek Reinhardt, Uwe. The Economics of For Profit and Not For Profit Hospitals. Health Affairs, 19 (6):178-185 Rijadi, Suprijanto. Makalah disampaikan pada Diskusi Publik Privatisasi RSUD DKI, Departemen AKK FKMUI, Jakarta 19 Februari 2005 Rosen. HS. Public Finance. 5th edition. McGraw Hill, Boston, 1999: p61-63 Sapti, N. Barang publik dan barang swasta. Makalah disampaikan pada Seminar Public-Private Mix in Health Care. Jakarta, 2-3 Mei 2001. Thabrany, H. Kemana Arah Kebiajakan Pembiayaan Kesehatan Kita. Majalah Griya Husada Vol 1, No 1, 1999 Thabrany, H. Pembiayan Publik (MKI) Thabrany, H. Rumah Sakit BUMN/BUMD Menjebak Diri. Jurnal MARSI, Vol III, no 2 2002 Thabrany, H. Rumah Sakit Perjan: Kebijakan Salah Kaprah. Harian Pelita 20 Oktober 2000 Thorpe, Kenneth E; Florence, Curtis S and Seiber, Eric E. Hospital Conversitons, Margins, and The Provision of Uncompensated Care. Health Affairs, 19 (6):187194

Pasal 4, Peraturan Pemerintah No. 152/2000 tentang Universitas sebagai Badan Hukum Milik Negara. PP 2/92 tentang Pembentukan dan Penujukkan PT Asuransi Kesehatan Indonesia sebagai pengelola JPK PNS.
3

PP 35/93 tentang Penunjukkan PT Jamsostek sebagai pengelola Program Jamsostek

H Thabrany, Pandangan Akademisi ttg RSUD

19

You might also like