You are on page 1of 14

PERKAWINAN dalam Perspektif HUKUM ADAT

Oleh: ABDURRAHMAN SUPARDI USMAN ANDI AHMAD SAID ANDI FIRMANSYAH AHMAD FATANAH ANDI TANRI AJENG ABDUL SYUKUR

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVESITAS ISLAM NEGERI ALAUUDDIN MAKASSAR

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul Perkawinan dalam Perspektif Hukum Adat dapat kami selesaikan. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada junjungan Nabi Besar Muhammad saw yang telah membawa cahaya pada lembah kegelapan dunia. Perkawinan merupakan salah satu bagian penting dalam kajian humaniora. Sehingga untuk dapat menerapkan kepribadian bermanusia secara utuh, kita perlu memahami substansi perkawinan. Oleh karena masyarakat Indonesia memiliki kekuatan adat yang kokoh, maka tinjauan terhadap perkawinan ini diambil dari sudut pandang adat. Lebih jauh makalah ini hadir sebagai salah satu jendela wawasan yang diharapkan dapat membantu pembaca dalam upaya berkenalan dengan hukum adat terkhusus aspek perkawinan agar dapat diterapkan manfaatnya. Teringat pada pepatah tak ada gading yang tak retak. Tentunya kesalahan dan kekurangan masih ditemukan dalam makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para insan akademik dan masyarakat pada umumnya. Kiranya Allah swt menggolongkannya sebagai amal ibadah bagi kita semua.

Samata, 25 April 2011 Daftar Isi Tim Penulis

Halaman judul Kata pengantar..1 Daftar isi...2 BAB I Pendahuluan A. Latar belakang.3
B. Rumusan masalah3 C. Tujuan..4 D. Manfaat...4

BAB II Pembahasan
A. Bentuk-bentuk perkawinan adat.5 B. Corak perkawinan adat di Indonesia..8 C. Kawin lari9

BAB III Penutup A. Simpulan.11


B. Saran...11

Daftar pustaka....12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan peradapan manusia. Melalui perkawinanlah pondasi masyarakat kemudian lahir yang selanjutnya berkembang menjadi peradaban. Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku. Setiap suku memiliki adat dan hukum adat sebagai warisan dan kekayaan intelektual oleh para leluhur. Oleh karena perkawinan merupakan hal yang sakral, maka tentunya diatur pula dalam tatanan adat dan hukum adat. Oleh karena kita hidup di Indonesia, maka menjadi nilai estetik tersendiri bahwa pernikahan selain terikat hukum perdata positif, juga terikat dengan perdata agama dan adat tentunya. Dilatarbelakangi oleh kesadaran tentang betapa pentingnya mengetahui peranan adat dalam mengatur perkawinan bagi masyaraktnya, maka makalah ini lahir sebagai suatu media perkenalan terhadapnya.

B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari wacana perkawinan adat adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk perkawinan adat? 2. Bagaimana corak perkawinan adat di Indonesia? 3. Bagaimana kedudukan Kawin lari pada hukum adat? C. Tujuan Makalah ini lahir dengan tujuan untuk membuka tabir perkenalan dengan hukum keluarga yang dalam hal ini lebih spesifik pada hukum perkawinan dalam ruang lingkup adat dengan berbagai coraknya di Indonesia.

D. Manfaat Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah untuk: 1. Mengetahui bentuk-bentuk perkawinan adat; 2. Mengetahui corak perkawinan adat di berbagai daerah di Indonesia. 3. Mengetahui kedudukan kawin lari dalam hukum adat.

BAB II PEMBAHASAN

A. Bentuk-bentuk Perkawinan Adat. Bentuk perkawinan secara adat cenderung bergantung pada sistem kekerabatan atau genelogi yang dianut oleh masyarakat adat terkait. Sehingga, bentuk pekawinan tersebut dapat diidentifikasi menjadi:
1. Masyarakat adat Patrilineal 2. Masyarakat adat Matrilineal

Perkawinan Jujur

Perkawinan Semenda

3. Masyarakat adat Bilateral/Parental Perkawinan Bebas (mandiri)

Adapun pembahasan mengenai bentuk perkawinan adat secara lebih mendalam adalah sebagai berikut: a. Perkawinan Jujur Perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang atau barang jujur yang dilakukan pihak calon suami kepada pihak calon istri sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum

bapaknya untuk kemudian pindah dan masuk kedalam persekutuan hukum adat suaminya. Setelah perkawinan, maka istri berada di bawah kekuasaan kerabat suami berkedudukan hukum dan menetap dengan pihak kerabat suami, begitu pula anakanak keturunannya melanjutkan garis suaminya. harta yang dibawa istri dalam perkawinan dikuasai suami, kecuali ditentukan lain oleh pihak istri. Pembayaran jujur tidak sama dengan mas kawin menurut islam. uang jujur adalah kewajiban adat ketika dilakukan pelamaran dari kerabat pria kepada kerabat wanita untuk dibagi-bagikan kepada tua-tua kerabat. Sedangkan mas kawin adalah kewajiban agama yang harus dipenuhi pria untuk wanita. Dalam perkawinan jujur, berlaku adat pantang cerai, jadi senang-susah selama hidupnya istri dibawah kekuasaan suami. Jika suami wafat, maka istri harus melakukan perkawinan dengan saudara suami (leviraat, anggau (sumsel), lakoman (batak), nyikok (lampung)). Begitupula sebaliknya, jika istri wafat, maka suami harus kawin lagi dengan saudara istri (sororat, nuket (lampung)). Akan tetapi bila

tidak ada saudara/saudari dari suami/istri, maka boleh digantikan orang lain diluar kerabat.
b. Perkawinan Semenda

Calon suami dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, justru sebaliknya berlaku pelamaran dari pihak calon istri dan kerabatnya. Setelah perkawinan, maka suami berada di bawah kekuasaan kerabat istri dan berkedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semenda yang berlaku, yaitu: 1) Semenda Raja-raja, artinya suami istri berkedudukan seimbang baik di pihak istri maupun pihak suami. 2) Semanda Lepas, artinya suami mengikuti kediaman istri. 3) Semanda Bebas, artinya suami tetap pada kerabat orang tuanya,hanya sebagai urang sumando. 4) Semanda Nunggu, suami istri berkediaman kerabat istri sampai adik istri (ipar) mandiri/menikah. 5) Semanda Ngangkit, artinya suami mengambil istri untuk dijadikan penerus keturunan pihak ibu suami dikarenakan ibu suami tidak mempunyai anak perempuan.

6) Semanda Anak Dagang atau Semanda Burung, artinya suami tidak menetap di tempat istri melainkan datang sewaktu-waktu,kemudian pergi lagi. c. Perkawinan Bebas (mandiri) Berlaku pada masyarakat adat sistem parental dimana pihak kerabat suami maupun istri tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga rumah tangga suami istri. Sistem ini seperti tujuan UU No.1/1974, dimana kedudukan dan hak suamiistri berimbang sama. Suami adalah kepala rumah tangga, dan istri sebagai ibu rumah tangga. Setelah perkawinan, suami-istri memisah (mencar,mentas) dari kekuasaan orang tua dan keluarga masing-masing dan hidup mandiri. Orang tua hanya memberikan bekal (sangu) dengan harta pemberian atau harta warisan sebagai harta bawaan dalam perkawinan. Sebelum perkawinan orang tua masing-masing pihak memberikan nasehat, petunjuk dalam memilih jodoh. Setelah menikah, orang tua hanya mengawasi kehidupan mereka berumah tangga.

B. Corak Perkawinan Adat di Indonesia. 1. Masyarakat Makassar & Bugis

10

Dalam masyarakat Makassar dan Bugis,

menurut Soerjono Soekanto

(2011:220), adat mengklasifikasikan bentuk-bentuk perkawinan yang ideal, antara lain:


a) Passialleang bajina (Makassar) atau assialang marola (Bugis)

Merupakan perkawinan antara saudara sepupu derajat pertama, baik dari pihak ayah maupun ibu.
b) Passialleanna (Makassar) atau assialanna memang (Bugis)

Merupakan perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu.
c) Nipakambani bellaya (Makassar) atau ripaaddeppe mabelae (Bugis)

Merupakan perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun ibu. Selanjutnya, kami ingin menambahkan terkait pembahasan poin a) dalam tulisan Soerjono yang menggolongkan perkawinan antara sepupu sebagai salah satu bentuk yang ideal. Berdasarkan pengamatan empiris, perkawinan antara sepupu sekali atau cikali (Makassar), merupakan salah satu pernikahan yang memang legal, namun dalam konteks kekinian, pernikahan semacam itu sudah semakin jarang dianjurkan dan dilaksanakan sebagai hasil dari resapan nilai-nilai islam yang berasimilasi kuat dengan masyarakat Makassar. 2. Masyarakat Batak

11

Masyarakat Batak menganggap bahwa perkawinan yang ideal adalah pekawinan antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki- laki ibunya. Dengan demikian, seorang laki-laki Batak, sangat pantang kawin dengan wanita dari marganya sendiri dan juga dengan anak perempuan ayah. 3. Masyarakat Minangkabau Pada masa lalu terdapat adat yang mengarahkan seorang lelaki sedapat mungkin untuk kawin dengan anak perempuan mamak-nya. Adapun istilah mamak berarti saudara laki-laki ibu. 4. Masyarakat Bali Pada masyarakat Bali, menurut adat lama yang sangat kental akan pengaruh sistem dadia (klan) dan sistem wangsa (kasta), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan antara warga yang se-dadia atau paling tidak antara orangorang yang sederajat dalam tingkatan wangsa-nya. Dengan demikian, adat perkawinan di Bali bersifat endogami klan. Sedangkan perkawinan yang dicitacitakan oleh masyarakat Bali yang masih kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki.

C. Kawin Lari Kawin lari adalah bentuk perkawinan yang bukan merupakan salah satu dari bentuk-bentuk perkawinan yang dicita-citakan dalam adat Indonesia. Akan tetapi, kawin lari tetap diatur dalam hukum adat terkait proses repairing-nya. Adapun

12

kawin lari menurut Soerjono Soekanto (2011:224), dapat dibedakan menjadi perkawinan lari bersama, perkawinan bawa lari, perkawinan baku-piara. Perkawinan lari bersama merupakan perkawinan lari dimana calon suami dan istri sebagai pelakon utama merencanakan dan menyepakati bersama rencana kawin lari tersebut dengan tanpa adanya peminangan. Hal ini merupakan langkah yang umum terjadi pada masyarakat patrilineal. Perkawinan lari bersama cenderung dilakukan untuk menghindari berbagai prosesi adat yang panjang dan memakan biaya. Sedangkan perkawinan bawa lari, merupakan perkawinan lari dimana sang wanita telah dalam pinangan, atau telah ditunangkan, bahkan telah dinikahkan. Atau dapat pula diartikan membawa paksa anak gadis orang. Adapun perkawinan baku-piara sebenarnya bukanlah bentuk perkawinan yang sah. Akan tetapi pada kelompok masyarakat adat tertentu di daerah Minahasa, Sulawesi Utara, bentuk hubungan tinggal bersama tanpa ikatan ini dianggap sebagai salah satu cara untuk menjalin hubungan keluarga.

13

BAB III PENUTUP A. Simpulan Adapun simpulan dari makalah kami adalah sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk perkawinan adat terdiri atas perkawinan jujur, semenda dan perkawinan bebas; 2. Corak perkawinan adat di Indonesia sangat beragam dan memiliki ciri serta keunikan tersendiri; 3. Perkawinan lari tetap terjamah dan terjangkau secara intelektual oleh hukum adat. B. Saran Peninjauan terkait hukum perkawinan adat hendaknya dikembangkan dengan metode pengamatan empiris oleh karena percepatan asimilasi budaya yang kian melaju.

14

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soarjono. 2011. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers Website: antonbudiarto.files.wordpress.com diakses pada Maret 2012 Website: id.wikipedia.org/hukum+adat/ diakses pada Maret 2012

You might also like