You are on page 1of 13

Tugas Ekonomi Perencanaan Kota Afriyadi, 1106111666

Review Jurnal Judul Penulis Penerbit Halaman Tahun I. : Sprawl and Blight : Jan K. Brueckner, Robert W. Hesley : Journal of Urban Economics Vol. 69 : 8 lembar (hal. 205-213) : 2011. Ringkasan Jurnal ini membahas mengenai fenomena urban sprawl dan urban blight yang terjadi pada suatu kota, serta dampaknya pada persaingan properti (perumahan) di suburban dan pusat kota tua. Penulis menetapkan urban sprawl sebagai perluasan kota yang diakibatkan oleh investasi berlebih pada suburban baru dan menyebabkan wilayah perkotaan meluas, sementara urban blight ditetapkan sebagai penurunan investasi kembali pada properti yang berada di pusat kota tua. Untuk mengetahui apakah fenomena urban sprawl dan urban blight didasari oleh proses ekonomi yang sama, sebuah model dikembangkan untuk mengukur kompetisi antara properti yang ada di suburban baru dan pusat kota tua dalam mendapatkan penduduk/peminat. Penulis berasumsi bahwa kegagalan pasar yang menyebabkan turunnya biaya dalam mendapatkan lokasi suburban menyebabkan terjadinya pembangunan berlebih pada suburban, menurunkan harga rumah di pusat dan menurunkan biaya insentif yang diperlukan dalam pemeliharaan pusat kota tua sehingga menyebabkan tingkat reinvestasi pusat kota tua yang tidak efisien. Kegagalan pasar yang dimaksud penulis diidentifikasi dari tiga aspek, yakni dari kemacetan lalu lintas yang tidak terukur (unpriced traffic congestion), kegagalan dalam penyediaan fasilitas ruang terbuka dan penyediaan infrastruktur berbasis biaya marginal. Dengan terjadinya kemacetan, biaya sosial yang ditanggung seseorang dalam menempuh perjalanan dalam kota melebihi biaya privat, yang diakibatkan oleh waktu perjalanan yang terlalu panjang karena kota yang terlalu meluas. Sementara ketika fasilitas ruang terbuka tersedia atau ketika

infrastruktur di pusat kota tua dibawah standar, biaya sosial dari pengembangan lahan suburban melebihi biaya privat yang dihadapi pengembang sehingga menyebabkan ekspansi perkotaan yang tidak efisien. Dengan terjadinya kegagalan pasar, fenomena sprawl dan blight muncul akibat sifat alami dari pasar lahan, di mana biaya hidup di suburban yang rendah, mendorong penduduk untuk pindah menjauhi pusat kota. Perpindahan penduduk ini menyebabkan turunnya harga rumah di pusat kota dan menurunkan insentif untuk reinvestasi dalam struktur kota yang telah terbangun. Salah satu faktor yang mendorong terjadinya urban blight di pusat kota adalah sifat eksternal dari properti perumahan, atau dapat disebut sebagai efek lingkungan (neighborhood effect) yang dapat mempengaruhi keputusan seorang individu dalam menanam investasi atau melakukan pemeliharaan pada suatu properti perumahan. Jika suatu unit rumah rusak berat atau ditinggalkan dan

terlantar dalam waktu yang lama, dapat menurunkan minat seorang individu untuk tinggal atau menanam investasi dalam lingkungan perumahan tersebut. Menurunnya tingkat permintaan properti menimbulkan turunnya kemampuan pengembang dalam mengupayakan perbaikan fasilitas dalam perumahan tersebut. Dengan kata lain, blight dapat timbul dari interaksi lingkungan yang bersifat eksternal dan dipacu oleh sebuah kejadian yang menyebabkan menurunnya tingkat pemeliharaan dan investasi kembali suatu properti. Sementara terdapat dua hal lain yang mendasari terjadinya perkembangan suburban dan terjadinya blight. Pertama, adanya ketidakcocokan spasial (spatial mismatch), dimana suburbanisasi pekerjaan ditambah dengan diskriminasi tenaga kerja, perumahan, dan pasar hipotek di suburban telah berkontribusi pada terjadinya konsentrasi dan resistensi kemiskinan di pusat kota. Kedua, terjadinya flight from blight dimana terjadi desentralisasi permukiman dari pusat kota yang didorong oleh keinginan penduduk dalam melarikan diri dari kriminalitas pusat kota, kemiskinan, kemacetan, polusi, dan hal tidak menyenangkan lainnya yang terdapat di pusat kota.

Model dan Analisis Lebih lanjut, Brueckner dan Hasley mengembangkan sebuah model dinamis untuk mengukur tingkat persaingan properti di suburban dan pusat kota sebagai

dampak dari urban sprawl dan blight. Dalam model ini, penulis menyederhanakan elemen struktur kota menjadi hanya terdiri dari zona pusat (central zone) dan zona suburban (suburban zone), yang terhubung oleh sebuah jembatan. Zona pusat disederhanakan menjadi seragam, di mana terdiri dari CBD pada ujung sebelah kiri (lihat Gambar 1.). serta biaya angkutan (transportasi) dari CBD ke setiap lokasi pusat kota diasumsikan menjadi nol. Sementara zona suburban terdiri dari lahan terbangun dan lahan terbuka yang berpotensi untuk dikembangkan, dan terhubung oleh sebuah jembatan congestible. Karena biaya angkutan dalam zona pusat

diasumsikan sama dengan nol, biaya angkutan dari zona suburban ke zona pusat setara dengan diasumsikan setara dengan biaya yang diperlukan untuk menyeberangi jembatan.

Gambar 1. Struktur Kota

Perhitungan dan analisis dalam model ini dilakukan penulis secara bertahap, agar dapat mencakup seluruh preposisi yang dapat terjadi. Tahap pertama dalam model ini belum memperhitungkan kegagalan pasar untuk mendapatkan gambaran normal dari kondisi suburban dan pusat kota. Perhitungan dalam Tahap 1 dibagi menjadi ke dalam dua periode, yakni periode 1 dimana diasumsikan terjadinya perkembangan seluruh pusat kota dan belum terdapat limpahan (spillover) penduduk ke suburban. Model pada periode 1 lebih menekankan pada perhitungan preferensi konsumen dalam memilih perumahan yang dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas perumahan, potensi lahan terbangun di suburba dan juga biaya konstruksi untuk revitalisasi perumahan di pusat kota serta utilitas. Sementara perhitungan dalam periode 2 diasumsikan telah terjadi pengembangan suburban, sehingga model menjadi lebih kompleks karena mengikutsertakan variabel jumlah penduduk (baik suburban dan pusat kota) dan

juga biaya sewa. Adapun dalam periode ini, perhitungan ditekankan untuk mendapatkan nilai marjinal layanan perumahan di kota tua dan tingkat kompetisi pengembang dalam suburban dan pusat kota. Pada tahap pertama, baik dalam periode 1 dan 2, penulis berasumsi bahwa kepemilikan tanah tidak mempengaruhi tingkat kompetisi perumahan di suburban dan pusat kota. Dalam suatu unit (rumah sewa) di pusat kota misalnya, dapat saja pemilik tanah tinggal di suburban, sehingga biaya sewa di pusat kota menjadi mengalir ke suburban, dan model menjadi tidak relevan. Dalam tahap kedua, kegagalan pasar yang selanjutnya disebut sebagai distorsi pemicu sprawl dimasukkan ke dalam analisis. Kemacetan lalu lintas, kegagalan dalam memperhitungkan nilai kemudahan ruang terbuka dan kegagalan dalam menetapkan harga infrastruktur berdasarkan nilai marginal, menghasilkan distorsi urban sprawl, yang dalam konteks ini berarti perkembangan wilayah pinggiran kota yang berlebihan dengan jumlah penduduk terlalu sedikit di zona pusat kota. Dalam setiap kasus urban sprawl, sebuah kebijakan korektif yang tepat dibutuhkan untuk dapat mengurangi efek sprawl dengan mendorong populasi penduduk kembali ke tengah kota. Meskipun demikian, pergeseran populasi ini juga cenderung disertai dampak blight yang membuat penduduk enggan untuk kembali ke pusat kota. Tujuan dari analisis ini adalah untuk menganalisis dampak blight yang terjadi serta melihat fenomena sprawl dan blight secara terpisah dari tiga distorsi yang berbeda (kemacetan, ketersediaan ruang terbuka, dan infrastruktur), dan kebijakan korektif terkait. Untuk setiap distorsi, kondisi keseimbangan (persamaan) yang telah diuraikan pada tahap sebelumnya dimodifikasi untuk menggabungkan distorsi. Kemudian masalah perencanaan dalam ekonomi perkotaan dipecahkan untuk menemukan kebijakan sosial optimum dan korektif untuk mendukung pembangunan kota. Adapun analisis dampak sprawl dan bligh sesuai distorsinya antara lain sebagai berikut: a. Distorsi 1: Kemacetan Dengan terjadinya kemacetan, biaya menyeberangi jembatan penghubung suburban dan pusat kota, yang sebelumnya diasumsikan konstan menjadi sebuah fungsi dengan adanya jumlah komuter dari

suburban. Penghitungan beban biaya yang ditanggung seseorang setiap kali terjadi kemacetan, seringkali diacuhkan, sehingga masalah kemacetan tidak terpecahkan. Sebagai solusi, penulis menganjurkan diterapkannya pungutan biaya kemacetan (congestion pricing) seperti biaya jalan tol agar setiap komuter memiliki beban yang sama dan juga untuk mengurangi jumlah pengguna kendaraan. Dengan dipungutnya biaya kemacetan, populasi penduduk kota akan kembali ke pusat, hal ini tentunya akan meningkatkan permintaan akan properti di pusat kota dan meningkatkan harga rumah secara keseluruhan, sehingga membuat pengembang dan atau pemerintah dapat mengeluarkan dana lebih banyak untuk meningkatkan kualitas perumahan yang tersedia, sehingga menurunkan terjadinya urban blight. b. Distorsi 2: Ketersediaan Ruang Terbuka Dengan berasumsi bahwa kemacetan lalu lintas kembali tidak diperhitungkan seperti pada tahap sebelumnya, ruang terbuka yang tersedia di suburban menawarkan kemudahan fasilitas bagi setiap penduduk. Berpindahnya populasi penduduk dari kota ke suburban menyebabkan biaya marginal dari rumah di suburban menjadi meningkat, semakin banyak lahan terbangun di suburban dan lahan terbuka menjadi semakin terbatas. Dalam model analisisnya penulis

mengasumsikan adanya pajak amenitas ruang terbuka untuk meredam migrasi penduduk dari pusat kota ke suburban, dan mereduksi terjadinya blight. c. Distorsi 3: Infrastruktur Berbasis Biaya Marginal Pada distorsi yang ketiga ini, penulis beranggapan bahwa secara tradisional, pembangunan infrastruktur dibiayai berdasarkan harga ratarata, di mana seorang pengembang akan membayar pajak sesuai sejumlah unit per luas tertentu kepada pemerintah, dimana harga ini akan diteruskan pada konsumen dalam bentuk harga rumah. Akan tetapi, untuk mendesentralisasi sosial optimum, dengan mempertimbangan kondisi konsumen, pajak berbasis biaya rata-rata ini harus digantikan dengan pajak berbasis biaya marginal, atau disebut juga dengan biaya

dampak (impact fee).

Jika biaya rata-rata tetap diterapkan, dapat

menurunkan keuntungan pengembang dalam pembangunan infrastruktur, sehingga menurunkan tingkat investasi kembali pada bangunan pusat kota, dan populasi suburban melebihi optimum sosial. Dengan adanya biaya dampak, yang merefleksikan biaya marginal, dapat meningkatkan investasi kembali sehingga menurunkan terjadinya urban blight, dengan mengembalikan populasi ke pusat kota. Berdasarkan uraian model dan analisis, penulis menyimpulkan bahwa urban sprawl dan blight di suatu kota terjadi sebagai suatu hasil dari proses ekonomi yang sama. Penulis mengusulkan beberapa kebijakan korektif yang dapat dilakukan untuk mengurang terjadinya blight antara lain dengan memungut biaya kemacetan (congestion pricing), memungut pajak amenitas pada ruang terbuka, serta menetapkan biaya marginal sebagai dasar untuk menghitung harga infrastruktur.

II.

Tanggapan Dalam jurnal ini, Brueckner dan Hesley (2011) telah menguraikan suatu

fenomena urban sprawl dan blight yang terjadi pada suatu kota ke dalam suatu model ekonomi sederhana dengan baik. Tidak hanya itu saja, model tersebut juga bersifat sistematis, di mana model dijelaskan secara bertahap, mulai dari kondisi pusat kota sebelum terjadinya urban sprawl dan blight, terjadinya suburbanisasi, serta fenomena sprawl dan blight itu sendiri, dilihat dari kegagalan pasar (distorsi) yang terjadi. Model analisis yang disampaikan penulis masih memiliki sejumlah keterbatasan, dimana model hanya dapat diterapkan pada struktur kota yang monosentris, di mana dalam suatu kota hanya terdiri dari satu pusat kota dengan CBD, pinggiran kota, dan suburban. Perhitungan analisis berbasis model kota monosentris, memiliki kelemahan karena model hanya terfokus pada jarak antara pusat kota dan suburban sebagai biaya angkutan yang harus ditanggung dalam pemilihan perumahan di suburban. Sementara faktor spasial dan sifat eksernalistas lingkungan di pusat kota dan suburban ditiadakan. Caruso (2007) dalam Rahma (2011) berargumen bahwa sprawl lebih baik dijelaskan melalui inerteraksi ekonomi diantara agen yang terdisribusi secara spasial, dan menekankan tingkat kompetisi eksternal. Sprawl dapat dikatakan sebagai hasil dari apresisasi yang signifikan terhadap ruang terbuka lingkungan (eksternalitas hijau) dan
6

interaksi sosial (eksternalitas sosial). Lebih lanjut Rahma (2011) menilai bahwa fenomena urban sprawl pada kota besar yang memiliki struktur kota yang kompleks seperti Jakarta lebih cocok dinilai dari eksternalitas lingkungannya, dimana faktor spasial penggunaan tanah dan interaksi ekonomi dapat menjelaskan/memprediksi arah perkembangan sprawl lebih baik, sehingga kebijakan pembangunan terkait dengan hal tersebut dapat disusun secara lebih optimal. Keterbatasan lainnya akibat berlakunya asumsi berbasis model kota konsentris adalah dalam perhitungan biaya pungutan kemacetan. Dalam model tersebut, biaya pungutan kemacetan (congestion price) hanya dihitung berdasarkan ongkos yang dikeluarkan komuter untuk menempuh jarak antara suburban dan pusat kota, sementara ongkos yang ditempuh dalam pusat kota diasumsikan menjadi nol atau tanpa biaya. Dengan kata lain, Brueckner mengasumsikan bahwa dalam pusat kota tidak terjadi kemacetan. Hal ini tentunya menjadi kurang relevan, karena dalam pusat kota pasti terdapat kemacetan, sebagaimana yang diungkapkan dalam Wassmer (2005) bahwa salah satu akar pemicu sprawl itu sendiri adalah terjadinya kemacetan pusat kota yang menyebabkan keinginan penduduk untuk melarikan diri dan memilih untuk tinggal dalam suburban. Dalam kota dengan beban jumlah penduduk yang kecil, mungkin teori ini masih relevan, karena dengan terjadinya suburbanisasi, jumlah penduduk dapat diasumsikan bergeser ke suburban sehingga titik kemacetan juga bergeser, akan tetapi dalam kota besar seperi Jakarta, model ini menjadi kurang relevan untuk diterapkan. Di Jakarta, terdapat lebih dari 10 juta penduduk (BPS,2011) dan sedikitnya 6,7 juta unit kendaraan bermotor (Dishub, 2010) yang berada di jalan, ditambah dengan sedikitnya 1,2 juta penduduk dan 600.000 kendaraan dari kota di sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Jumlah kendaraan yang lebih banyak di kota bila dibandingkan dengan kendaraan yang masuk dari luar kota menunjukan kecenderungan bahwa tingkat kemacetan di ruas jalan di pusat kota Jakarta lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemacetan di ruas jalan antara suburban dan pusat kota, sehingga model menjadi kurang relevan, dan diperlukan adanya pungutan biaya kemacetan di dalam kota. Unuk mengatasi kemacetan di kota Jakarta, selain upaya untuk mengurangi jumlah kendaraan dengan menetapkan pungutan biaya untuk tol dalam kota, pemerintah kota

Jakarta sedang mengupayakan metode Electronic Road Pricing yakni suatu metode pemungutan ongkos jalan secara elektronik pada jam-jam sibuk1. Sementara dalam penerapan konsep Urban Blight dan Sprawl secara keseluruhan, Brueckner dan Hasley (2011) menyederhanakannya sebagai suatu hubungan sebab akibat, di mana terjadinya sprawl dapat menyebabkan terjadinya

blight, meskipun pada kenyataannya, dengan adanya kemiskinan di perkotaan dapat menimbulkan pelapukan kota atau blight terlebih dahulu, yang dapat menurunkan kualitas permukiman perkotaan sehingga memicu terjadinya sprawl. Dalam kasus yang terjadi pada kota metropolitan seperi Jakarta, fenomena sprawl dan blight yang terjadi menjadi lebih kompleks. Sebagai ibukota negara, Jakarta memiliki fungsi vital baik sebagai pusat pemerintahan, pusat pelayanan, maupun pusat perekonomian, bahkan kegiatan perekonomian di Jakarta mencapai 60% dari seluruh kegiatan ekonomi di Indonesia (Rizqihandari, 2011). Hal ini menyebabkan Jakarta dipandang sebagai daerah yang menjanjikan, sehingga Jakarta menjadi daerah tujuan migran dengan pertambahan penduduk yang signifikan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan populasi dan migrasi serta pertumbuhan ekonomi yang pesat di Jakarta menyebabkan terjadinya suburbanisasi ke kota-kota di sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Aktivitas pembangunan pada Bodetabek telah didominasi oleh proyek insentif lahan dengan kepadatan yang rendah, dan kurang terencana, sehingga mengkonsumsi daerah pertanian primer, dan mengkonversinya menjadi daerah industri dan aktivitas berbasis jasa, atau dengan kata lain dapat disebut sebagai sprawl. Terjadinya sprawl pada dasarnya disebabkan oleh perluasan wilayah metropolitan sebagai akibat dari limpahan penduduk, atau sebagai hasil dari pembangunan yang tidak terencana (Burchell, dkk: 1998). Sprawl yang tidak terkontrol dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam penggunaan lahan, dan juga kesenjangan sosial ekonomi penduduk di suatu kota. Dalam hal pola spasialnya, bentuk sprawl dapat bermacam-macam terkait pola pembangunannya, misalnya seperti tersebar, lompatan katak (leapfrog), dan pita (ribbon). Adapun pola spasial persebaran pusat kegiatan di Jabodetabek sebagai bentuk akibat dari sprawl dapat terlihat pada Gambar 2.
1

Kewenangan kebijakan perencanaan dan pelaksanaan program ERP dipegang oleh Pemerintah Propinsi Jakarta sesuai UU no 34 Tahun 1997 tentang PemProv DKI, UU No. 38 tahun 2004 tentang Jalan, dan UU no 39 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan anara Pemerintah, Pemda Propinsi, dan Pemda Kota.

Gambar 2. Peta Sebaran Pusat Kegiatan di Jabodetabek

Untuk mengurangi dampak sprawl yang tidak terkontrol, pemerintah telah melalui kementrian pekerjaan umum telah menyusun Rencana Tata Ruang Kawasan Kawasan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur), dan membentuk Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabekpunjur sebagai wadah koordinasi pimpinan pemerintah daerah daam mengelola kawasan tersebut agar perencanaan pembangunan dapat berjalan sinergis, dan dampak sprawl dapat lebih terkontrol. Adapun pemanfaatan ruang di kawasan Jabodetabekpunjur berdasarkan keterkaitan Hulu-Hilir dapat terlihat dalam Gambar 3.

Gambar 3. Pemanfaatan Ruang di Kawasan Jabodetabekpunjur Berdasarkan Keterkaitan Hulu-Hilir DAS Ciliwung

Sementara dalam kasus terjadinya urban blight di Jakarta yang ditandai dengan melapuknya atau menurunnya kualitas perumahan di pusat kota, pemicu utama bukanlah akibat penurunan investasi pada pusat kota tua, melainkan akibat dari kemiskinan penduduk perkotaan, di mana keterbatasan eknonomi dan keterbatasan ruang ibukota memaksa mereka untuk tinggal di daerah marjinal yang terletak dengan pusat kegiatan seperti di sekitar kereta rel kereta api, pasar, ataupun terminal. Masalah lain yang dihadapi dalam penyediaan perumahan di Jakarta adalah kebutuhan akan perumahan yang semakin meningkat sementara lahan yang tersedia semakin terbatas. Berdasarkan data Susenas tahun (2001) dalam Cahyadi (2009), jumlah backlog atau kebutuhan akan perumahan di Jakarta mencapai 700.000 unit, sementara lahan yang tersedia untuk membangun kawasan perumahan sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan Untuk mengatasi blight pemerintah melalui dinas perumahan telah memberikan solusi dengan diantaranya dengan mengadakan Rumah Susun (Rusunawa dan Rusunami), dimana orientasi perumahan yang sebelumnya horizontal menjadi vertikal, untuk menampung lebih banyak penghuni, serta menggalakkan perbaikan program Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) dimana pemerintah

10

memberikan bantuan sejumlah dana melalui Program PNPM di setiap kelurahan untuk membantu penduduk miskin yang kurang mampu dalam memperbaiki kualitas rumahnya.

III.

Kesimpulan Model ekonomi yang dikembangkan Brueckner dan Hesley (2011) untuk

mengukur urban sprawl dan blight, di suatu kota, masih kurang rerlevan untuk diterapkan pada kota besar dan dinamis seperti Jakarta, karena berbasis pada model kota yang monosentris, dimana faktor spasial dan eksternalitas kota tidak dimasukkan ke dalam analisis. Kebijakan korektif untuk menanggulangi efek sprawl dan blight di Jakarta antara lain dapat dilakukan dengan penerapan pungutan biaya kemacetan Electronic Road Pricing, perencanaan wilayah Jabodetabekpunjur secara sinergis dan perbaikan Rumah Tidak Layak Huni, serta mendorong investasi perumahan yang berorientasi vertikal (apartemen dan rusun).

Sumber Brueckner, Jan dan Robert Hesley. 2011. Sprawl and Blight. Journal of Urban Economics Vol. 69. Hal 205-2013.

11

Cahyadi, Rusli dan Gusti Ketut. 2009. Penduduk dan Pembangunan Rumah di Jabodetabek: Tantangan Pengembangan Megapolitan Jakarta. Jurnal

Pembangunan Vol IV. No. 1. Fitriani, Rahma dan Michael Harris. 2011. The Extent of Sprawl in The Fringe of Jakarta Metropolitan Area from the Perspective of Externalities. Sydney: Univerity of Sydney. Rizqihandari, Nurrokhmah. 2011. Kemiskinan dan Struktur Ruang Kota di Jakarta. Universitas Indonesia. Sutanudjaja, Elisa. 2009. Urban Sprawl di Jakarta: Korelasi antara Ketergantungan Kendaraan Bermotor dengan Perencananan Desain Perkotaan Jakarta. Universitas Diponegoro. Wassmer, Robert. (2005). Urban Sprawl (Decentralization) in United States. California: Sacramento State University. Naskah Akademik RTRW Jakarta 2011 Penjelasan Menteri Pekerjaan Umum mengenai Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur.

Lampiran Peta Persebaran Pusat Kegiatan di Jabodetabek sebagai Efek dari sprawl

12

13

You might also like