You are on page 1of 13

BAB II PEMBAHASAN

1) Definisi Perikatan dan Perjanjian

Dalam bahasa Belanda, istilah perikatan dikenal dengan istilah verbintenis. Namun demikian dalam kepustakaan hukum Indonesia memakai berbagai macam istilah untuk menterjemahkan verbintenis. Beberapa ahli menggunakan istilah verbintenis untuk perikatan, perutangan, dan perjanjian namun istilah perikatan tersebut lebih umum digunakan dalam literatur hukum di Indonesia. Dengan demikian, vebintenis dapat memiliki tiga arti dalam bahasa indonesia yaitu (1) Perikatan; (2) Perutangan; (3) Perjanjian. Perikatan dapat diartikan secara sederhana sebagai sesuatu yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Sedangkan secara istilah Ilmu Hukum Perdata, perikatan diartikan sebagai hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, diamana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lain wajib memenuhi prestasi itu.1 Sedangkan menurut beberapa Ahli perikatan di artikan sebagaiberikut ;
I.

Hofmann dan R. Setiawan : Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum .

II.

Abdulkadir Muhammad : Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa atau keadaan.

III.

Salim H.S Perikatan adalah suatu kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara subyek hukum yang satu dengan yang lain dalam suatu bidang tertentu.

IV.

Soediman Kartohadiprodjo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, ( Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006 ) hal.218

Sedangkan perjanjian dalam bahasa Belanda dikenal dengan overeenkomst, walaupun ada juga yang menyebut verbintenis sebagai perjanjian namun yang lebih dikenal sebagai istilah perjanjian dalan bahasa Belanda adalah overeenkomst. Perjanjian dalam arti sederhana adalah persetujuan antara dua orang atau lebih, sedangkan secara istilah Ilmu Hukum Perdata Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian tersebut juga diungkapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Pedata ) tepatnya tedapat didalam pasal 1313 KUH Perdata.2 Selian itu beberapa ahli juga memaparkan definisinya masing-masing ; I. Abdulkadir Muhammad Perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebihsaling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. II. Setiawan Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. III. Menurut Rutten Perjanjian adalah perbuatan hokum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masingmasing pihak secara timbal balik. IV. Menurut adat Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).3

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, ( Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006 ) hal.243 3 http://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/ (23/09/2012 ; 19.20)

2) Asas asas dalam Perjanjian 4 a) Asas Konsensualisme (concensualism) Asas kebebasan berkontrak menemukan dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal 1320 berbunyi ; Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang. Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Hal itu terdapat pada rumusan nomor 1 yang dimana menyatakan bahwa kesepakatan itu mengikat mereka. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalkan syarat harus tertulis contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris. Setap perjanjian memikat pada pihak sejak detik kerja filex consensus atau kesepakatan dalam hal ini timbul hak dan kewajiban bagi kedua pihak. b) Asas Kepribadian (personality) Asas kepribadian dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal 1315 yang berbunyi ; Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari perjanjian,( Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004) hal.13

c) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Asas kebebasan berkontrak menemukan dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal 1320 berbunyi ; Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang. Asas kebebasan berkontrak meletakkan dasar eksistensinya pada rumusan angka 4 Suatu sebab yang tidak terlarang. Sehingga dengan adanya asa ini para pihak bebas melakukan kontrak dengan pihak manapun, tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan). d) Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda) Asas kepastian hukum berhubungan dengan akibat dari perjanjian. Hal ini termuat dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyebutkan ; Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hukum memandang bahwa setiap orang yang terlibat dalam perjanjian terhadap hak dan kewajiban yang sudah pasti. Hal mana yang menimbulkan hak para pihak untuk menuntut atau menggugat hak-hak tersebut. Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum secara pasti memiliki perlindungan hukum.

e) Asas Itikad Baik (good faith/tegoeder trouw) Asas Itikad baik ini termuat dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), tepatnya di bagian akhir kalimat dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan; Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya. Asas yang memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak pembuat perjanjian yang beritikad baik.
3) Macam-macam Perjanjian5

a) Perjanjian Timbal Balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Contoh perjanjian timbal balik ; Perjanjian tukar menukar yaitu suatu perjanjian antar dua pihak, dimana pihak satu akan menyerahkan suatu barang begitupun dengan pihak lainnya. (KUH Perdata Pasal 1541) b) Perjanjian Cuma Cuma Perjanjian Cuma-Cuma adalah suatu perjanjian yang mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Begitupun yang terdapat di dalam Pasal 1314 KUHPerdata, suatu persetujuan yang dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada, pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. c) Perjanjian Atas Beban Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Contoh perjanjian atas beban ; A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahkan suatu barang tertentu kepada A
5

Suharnoko, Hukum Perjanjian,(Jakarta, Prenada media group, 2004) hal. 27

d) Perjanjian Bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata. e) Perjanjian Tidak Bernama Perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak- pihak yang mengadakannya. Seperti perjanjian kerjasama, pengelolaan dan lain-lain. f) Perjanjian Obligatoir Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Artinya sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Seperti, pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang. g) Perjanjian Publik Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang sama(co-ordinated). h) Perjanjian Campuran Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian di dalamnya. Terhadap perjanjian campuran ada berbagai paham ; Pertama ; Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada. Kedua ; ketentuan ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan.

4) Syarat Sahnya Perjanjian6

Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang- undang, sehingga ia diakui oleh hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPdt, syarat- syarat sah perjanjian adalah sebagai berikut: 1) Ada persetujuan kehendak antara pihak- pihak yang membuat perjanjian (consensus) 2) Ada kecakapan pihak- pihak untuk membuat perjanjian (capacity) 3) Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter) 4) Ada suatu sebab yang halal (legal cause) Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang- undang, sehingga ia diakui oleh hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPdt, syarat- syarat sah perjanjian adalah sebagai berikut: 1) Ada persetujuan kehendak antara pihak- pihak yang membuat perjanjian (consensus) 2) Ada kecakapan pihak- pihak untuk membuat perjanjian (capacity) 3) Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter) 4) Ada suatu sebab yang halal (legal cause) Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat komulatif. Keempat syarat untuk sahnya perjanjian tersebut antara lain :
1. Sepakat diantara mereka yang mengikatkan diri. Artinya para pihak yang membuat

perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan. Dan kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila diberikan karena kekeliruan, kekhilafan, paksaan ataupun penipuan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Arti kata kecakapan yang dimaksud dalam

hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, yakni sesuai dengan ketentuan KUHPerdata, mereka yang telah berusia 21 tahun, sudah atau pernah
6

http://legalakses.com/perjanjian/ (23/09/2012 ; 19.20)

menikah. Cakap juga berarti orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Dan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum yaitu : orang-orang yang belum dewasa, menurut Pasal 1330 KUHPerdata jo. Pasal 47 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan; orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, menurut Pasal 1330 jo. Pasal 433 KUPerdata; serta orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu seperti orang yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan.
3. Suatu Hal Tertentu. Artinya, dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus

jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.


4. Suatu Sebab Yang Halal. Artinya, suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal

yang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu : Tidak bertentangan dengan ketertiban umum; Tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan Tidak bertentangan dengan undang-undang. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, syarat kesatu dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berbicara mengenai subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif, karena berbicara mengenai objek yang diperjanjikan dalam sebuah perjanjian. Dalam perjanjian bilamana syarat-syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan, perjanjian tersebut tetap mengikat. Sedangkan, bilamana syarat-syarat objektif yang tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum. Artinya batal demi hukum bahwa, dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di pengadilan. 5) Akibat Hukum Perjanjian yang Sah7 Menurut ketentuan pasal 1338 KUHPdt, perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat- syarat pasal 1320 KUHPdt berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan- alasan yang cukup menurut undang- undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik,

Ibid. Hal 260

Pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga. a) Perikatan yang timbul karena Undang-Undang Perikatan yang bersumber pada undang-undang diatur dalam pasal 1352 sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata yaitu suatu perikatan yang timbul atau lahir karena telah ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Pasal 1352 KUH Perdata menyatakan ; Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undangundang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Berdasarkan ketentuan itu, maka perikatan ini meliputi ; (a). Perikatan yang lahir dari Undang-undang saja dan (b). Perikatan yang lahir dari undnag-undang karena perbuatan manusia. 1. Perikatan yang lahir dari undang-undang saja Perikatan yang lahir dari UU saja, adalah perikatan yang timbul karena adanya hubungan keluargaan. Misalnya; (1) hak dan kewajiban alimansi dan (2) hak dan kewajiban antara pemilik pekarangan yang berdampingan.

(1) Hak dan kewajiban alimansi

Pada dasarnya setiap orang tua yang mengikatkan diri dalam perkawinan memiliki kewajiban mendidik atau memelihara anak mereka [ Pasal 104 KUH Perdata ]. Sebagai imbal balik dari kewajiban orng tua kepada anak maka menurut pasal 46 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa anak yang telah dewasa wajib memberikan nafkah kepada orang tua yang sudah tidak bekerja [alimentasi] (2) Hak dan kewajiban antara pemilik pekarangan yang berdampingan Menurut pasal 625 KUH Perdata bahwa antara para pemilik pekarangan yang berdampingan berlaku bebebrapa hak dan kewajiban, baik yang bersumber pada letak pekarangan mreka karena alam, mapun yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
2. Perikatan yang lahir dari undang-undang karena Perbuatan Manusia8

Bab III KUHPerdata mengatur tentang perikatan-perikatan yang lahir dari Undang-undang. Di dalam 2 (dua) pasal pertama dari BAB III itu, yaitu dalam Pasal 1352 dan Pasal 1353 KHUPerdata ditentukan perbedaan dari perikatan-perikatan. Perikatan yang lahir dari Undang-undang karena : 1. Perbuatan manusia yang menurut hukum (halal) ialah : - Mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming); pasal 1354 KHUPerdata. Pasal 1354. a. Kewajiban gestor menyelesaikan urusan dominuss negotii (pasal 1355) b. Mengurus sebagai bapak rumah tangga yang baik (pasal 1356). c. Kewajiban Dominuss (pasal 1357). Seseorang yang secara sukarela mengurus kepentingan orang lain, demi Undang-undang ia memikul kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia dikuasakan suatu pemberian kuasa, yaitu:

http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/perikatan-perikatan-yang-lahir-dari.html (23/09/2012 ; 19.45)

10

a. Seorang gestor wajib menyelesaikan urusan yang diwakilinya itu, wajib memberikan laporan, pertanggungjawaban dan sebagainya sebagaimana seorang wakil berdasarkan perjanjian harus berbuat. b. Bertindak sebagai bapak rumah tangga yang baik seperti ditentukan dalam Pasal 1356. 2. Perikatan Wajar (naturlijke Verbintenis) Pasal 1359 ayat (2) Terhadap perikatan-perikatan bebas yang secara sukarela telah dipenuhi tidak dapat dilakukan penuntutan kembali. 3. Pembayaran Utang yang tidak Diwajibkan (onverschuldigde Betaling) Pasal 1359 al 1: Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang; apa yang telah dibayarnya dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali. a. Orang yang menerima pembayaran karena khilaf (pasal 1360 KUHPerdata) b. Hak kreditur untuk menggugat (pasal 1361) c. Itikad buruk dari penerima pembayaran (pasal 1362) d. Menerima pembayaran dengan itikad baik (pasal 1363 KUHPerdata) e. Kewajiban membayar biaya dan hak retensi (pasal 1364)

11

BAB III KESIMPULAN


Dari berbagai penjelasan yang telah dipaparkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa perikatan diartikan sebagai hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, diamana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lain wajib memenuhi prestasi itu. Sedangkan Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Maka letak perbedaannya adalah hanya pada obyeknya saja yaitu ikatan pada harta kekyaan dan perjanjian ikatan secara khusus pada orang dengan oarng lain Selain itu, asas asas dalam perjanjian dapat disebutkan sebagai berikut ; f) Asas Konsensualisme (concensualism) g) Asas Kepribadian (personality) h) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) i) Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda) j) Asas Itikad Baik (good faith/tegoeder trouw) Sedangkan untuk jenis-jenis perjanjian adalah sebagai berikut ; i) Perjanjian Timbal Balik j) Perjanjian Cuma Cuma k) Perjanjian Atas Beban l) Perjanjian Bernama m) Perjanjian Tidak Bernama n) Perjanjian Obligatoir o) Perjanjian Publik p) Perjanjian Campuran

12

DAFTAR PUSTAKA

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta, Prestasi

Pustaka, 2006
Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari perjanjian, Jakarta, Raja Grafindo Persada,

2004
Suharnoko, Hukum Perjanjian,(Jakarta, Prenada media group, 2004 http://legalakses.com/perjanjian/ http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/perikatan-perikatan-yang-lahir-

dari.html
http://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/

13

You might also like