You are on page 1of 3

BELAJAR RUKUN DARI LELUHUR

Sukamto* KERAGAMAN yang dulu dipuja-puja sebagai kekayaan negeri ini, kini seakan-akan menjadi kutuk yang harus diusir dari negeri Indonesia. Betapa tidak! Meskipun para elit agama bisa duduk bersama namun pada kenyataannya berbagai kejadian suram yang menodai citra kebangsaan kita terus berlangsung. Jangankan rukun yang sering saya lihat justru perasaan ingin adu jotos untuk melampiaskan rasa kekesalan dan ketidaksukaan kita atas yang lain. Peristiwa Cikeusik, Temanggung, GKI Yasmin, merupakan sebagian kecil dari kisah adu jotos dari anak negeri yang tidak bisa dipungkiri banyak dimotivasi oleh perbedaan-perbedaan dan sentimen agama. Nasikun seorang guru besar dari Universitas Gadjah Mada menulis dalam bukunya Sistem Sosial Indonesia bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika sesungguhnya masih lebih merupakan suatu cita-cita yang masih harus diperjuangkan oleh segenap bangsa Indonesia daripada sebagai kenyataan yang benar-benar hidup di dalam masyarakat. Ungkapan Nasikun ini agaknya perlu mendapat perhatian yang serius. Tulisan ini mencoba untuk menggali ulang nilai-nilai leluhur bagaimana mereka belajar menghargai kemajemukan di tengah-tengah perbedaan agama yang ada. Konon menurut para cerdik pandai bahwa pada masa Jawa kuno secara sosioreligius masyarakat telah terdiferensiasi ke dalam beberapa kelompok (group) agama: penganut kepercayaan asli, penganut Hindu, dan penganut Buddha. Namun begitu, distingsi tersebut tidak menimbulkan schisma yang mencemaskan dalam masyarakat, sebaliknya hubungan antarumat beragama pada masa itu bisa dikatakan mencapai puncak yang membanggakan. Kerukunan tersebut tercipta karena kearifan dari nenek moyang dalam mengelola pluralitas. Mereka cukup arif dalam mengelola keortodoksian credo agama mereka. Begitu juga dengan negara, dalam mengakomodasi kepentingan agama-agama yang eksis cukup bijak. Tidak diketahui secara persis apakah perjumpaan agama-agama ini mengakibatkan konflik, namun dari data sejarah tampak terjadi usaha-usaha pendamaian di antara para pemeluk agama tersebut. Di Jawa Tengah pendamaian ini ditandai dengan: Pertama, perkawinan antara pemeluk Hindu dengan Buddha, misalnya antara Rakai Pikatan Raja Mataram yang beragama Hindu dengan Pramodhawardhani berasal dari keluarga Sailendra yang beragama Buddha. Kedua, penghargaan terhadap pendirian tempat ibadah. Meskipun Rakai Pikatan merupakan pemeluk agama Hindu yang taat (dibuktikan dengan pembangunan Candi Prambanan), ia tak melarang istrinya untuk membangun candi Buddha di Plaosan bahkan ia turut menyumbang candi perwara (candi yang lebih kecil dari candi induk). Di salah satu bagian kaki candi perwara ini tertulis anumoda rakai pikatan yang artinya persembahan dari Rakai Pikatan.
1

Penghargaan terhadap pendirian tempat ibadah ini ternyata tidak hanya ditemukan di daerah Jawa Tengah. Pada kerajaan Tarumanagara yang terletak di Karawang, Jawa Barat menurut Ayatrohaedi juga ditandai adanya kerukunan antara Umat Hindu dengan Umat Buddha. Hal ini bisa diketahui dari peninggalan candi dan arca di kecamatan Cibuaya yang bersifat Hindu dan sekitar 25 kilometer dari Cibuaya, di Batujaya terdapat reruntuhan bangunan yang bersifat Buddhis. Selain itu di Cibuaya dan Batujaya ditemukan menhir yang menunjuk ke agama prasejarah yang bersifat animisme dan dinamisme. Artinya pada masa Tarumanagara kedua peradaban besar tersebut bisa hidup berdampingan bahkan juga dengan mereka yang masih menganut kepercayaan lokal yaitu agama asli. Kerukunan seperti ini juga terjadi di Jawa Timur. Misalnya pada masa masa Airlangga menurut Coedes hidup tiga agama yang berdampingan yaitu: sects of Saiva (Sivaites), Sogata (Buddhists), and Rishi (ascetics), or on the other hand, of Sogata, Mahesvara, and Mahabrahmana prove the co-existence, the symbiosis, of Buddism and Sivaite Hinduism in Java. Kerukunan hidup beragama yang tercipta ini disebabkan oleh beberapa hal: Pertama, tidak ada agama yang bersifat ortodoks. Pengaruh kultur Jawa yang selalu berusaha mengharmonikan semua yang ada disekitarnya tak terkecuali agama, telah menghasilkan sebuah komunitas penganut Hindu-Buddha yang masih berorientasi pada agama asli. Menurut Ricklefs bentuk keberagamaan seperti ini menghasilkan sebuah sistem agama yang lack of an exclusive sense of orthodoxy. Karena kurangnya ortodoksi pada ajaran agama maka perbedaan dalam hal ajaran tidaklah ditekankan. Kuil-kuil Hindu dengan Buddha bisa berdiri berdampingan dan para raja-pun dapat disebut Siwa-Buddha, misalnya Raja Majapahit Hayam Wuruk (1350-1389) dipanggil Siwa-Buddha dan Nirguna bagi pengikut Wisnu. Kedua, akomodasi negara terhadap agama-agama yang eksis. Bentuk akomodasi ini misalnya dalam menjalankan pemerintahan raja didampingi oleh dua orang Dharmadyaksa, yaitu: Dharmadyaksa ring kasogatan yang mengurusi agama Buddha dan Dharmadyaksa ring kasaivan yang mengurusi agama Hindu. Negara juga ikut campur tangan dalam menjaga kerukunan antar umat beragama dengan mencoba menyatukan agama-agama yang ada. Misalnya Sinuwun Prabu Hayam Wuruk Sri Rajasa Nagara berusaha menyatukan tiga aliran agama yang disebut dengan tripaksa artinya tiga sayap yaitu: agama Siwa, Buddha dan Brahma. Hubungan antara pemeluk agama yang diwarnai dengan kerukunan ini ditampilkan dalam Kitab Sutasoma, karya Mpu Tantular. Dalam kitab tersebut terdapat kalimat termasyhur, yang sebagian dipetik menjadi semboyan pada waktu Indonesia Merdeka, Siwa-Buddha bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa (Agama Hindu dan Buddha berbeda tetapi satu, sebab kebenaran tidak pernah mendua). Kemampuan untuk menghargai dan mengelola perbedaan tersebut di atas telah menyebabkan pada masa ini menurut Ricklefs sectarian intolerance seems to have been foreign to Javanese thinking. Bahkan lebih dari pada itu Sumartana melihat pada masa ini telah terjadi proses sintese atau sinkretisme yang mampu menciptakan harmoni kehidupan baik dari segi agama maupun dari segi politik. Seharusnya kearifan seperti ini bisa menjadi modal sosial yang sangat berharga dalam mengelola pluralitas agama di Indonesia khususnya pada masa-masa berikutnya. Tidak
2

gampang memang, tetapi demi kejayaan Bangsa Indonesia itu syarat mutlak yang tidak bisa dihilangkan. *Putra Jawa Anak Bangsa Indonesia, Dosen Sekolah Tinggi Teologi INTI dan Penggiat diskusi ENLIGHTENMENT.

You might also like