You are on page 1of 15

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah

Tata Ruang Wilayah Sungai

7..4 74 TATA RUANG WIILAYAH SUNGAII T AT A RUA NG W L AYA H SUNG A


Oleh Roestam Sjarief

Sebagaimana telah kita ketahui, di Indonesia dan juga di negara-negara yang sedang berkembang masalah tanah dan tata ruang menjadi sangat penting, oleh karena tanah pada hakekatnya adalah lokasi di mana penduduk dapat melakukan kegiatan sosial ekonomi. Sementara itu tata ruang pada hakekatnya adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang untuk kegiatan tersebut, yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya air pada lokasi atau ruang geografis yang disebut wilayah sungai. Sungai merupakan salah satu sumberdaya air yang berperan penting bagi kehidupan. Oleh sebab itu, peradaban manusia selalu dimulai dari daerah yang berdekatan dengan air, bahkan di tepi sungai (berorientasi ke sungai). Di samping itu, wilayah sungai adalah tempat bertumpu hampir semua kegiatan ekonomi, seperti pertanian, industri, perdagangan, jasa, transportasi serta kawasan perkotaan dan permukiman. Dalam pemanfaatan wilayah sungai, kegiatan tersebut dapat saling mengisi (komplementer), bersaing dalam penggunaan lahan dan air, serta mempunyai pengaruh timbal balik terhadap ketersediaan air Jumlah maupun mutu). Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 39/PRT/1989, untuk keperluan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air, sungai dikelompokkan dalam 90 Satuan Wilayah Sungai (SWS), dan setelah Timor Timur melepaskan diri menjadi 89 SWS. Kewenangan pengelolaan sumberdaya air di SWS diatur melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 48/PRT/1990. Pengelolaan 72 SWS yang berada dalam satu propinsi dilimpahkan kepada pemerintah propinsi setempat sebagai tugas pembantuan. Ada pun 15 SWS yang bersifat lintas propinsi, dikelola Menteri Pekerjaan Umum. Untuk 2 SWS lainnya, yaitu SWS Brantas dan SWS Citarum, pengelolaan diserahkan kepada Perusahaan Umum Jasa Tirta I (PJT I) dan PJT II. Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief VII.4-1

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

Pembangunan wilayah sungai bidang irigasi yang mencakup pembangunan, pemeliharaan dan operasi jaringan irigasi telah berperan besar bahkan menjadi tulang punggung program pemenuhan pangan, mulai dari swasembada pangan (dulu) hingga ketahanan pangan (kini). Sekitar 80% produksi beras di Indonesia berasal dari sawah beririgasi, meliputi sekitar 5,1 juta hektar sawah beririgasi teknis dan 1,6 juta hektar irigasi desa. Irigasi itu dikendalikan dari sekitar 12.500 bendung dan 40 waduk besar/sedang yang telah dibangun, direhabilitasi atau ditingkatkan selama 32 tahun (PELITA I-VI). Dalam bidang pengendalian banjir, dari sekitar 1,4 juta hektar wilayah rawan banjir baru sekitar 420.000 hektar (32%) yang telah diatasi dengan prasarana pengendalian banjir yang mampu mengatasi debit banjir dengan periode ulang 5-25 tahun. Penyediaan air baku untuk kebutuhan domestik, perkotaan, industri, jasa dan kebutuhan lainnya telah mencapai 100 m3/detik. Kontribusi listrik tenaga air dalam penyediaan energi sampai dengan tahun 2001 mencapai 2.331 MW. Pembahasan tata ruang wilayah sungai tidak dapat terlepas dari pengembangan wilayah sungai dari sebelum penjajahan, masa penjajahan, era awal kemerdekaan, periode Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I, dan era reformasi yang berlangsung saat ini.

PERKEMBANGAN PEMANFAATAN WILAYAH SUNGAI


(1) SEBELUM KEMERDEKAAN

a. Sebelum Sistem Tanam Paksa (1930) Pada kurun ini tidak tercatat adanya pekerjaan pengairan yang ditangani pemerintah. Hal ini dapat dimengerti, karena pemerintahan saat itu dilakukan pedagang (VOC). Beberapa pekerjaan pengairan, di antaranya, irigasi di Bali dan Lombok bagian barat yang dibangun oleh Subak yang bersangkutan, bersamaan dengan pembukaan persawahan baru. Irigasi di tanah-tanah partikelir di dataran Tangerang dibangun oleh para tuan tanah setempat secara sendiri maupun bersamasama mengerahkan tenaga kerja paksa. Di Jakarta, pada awal abad ke 17, telah dibangun saluran navigasi, antara lain Moo Kervaart oleh Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief VII.4-2

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

swasta yang mendapat keuntungan dengan mengenakan tol kepada pemakai. Bangunan pengairan lainnya adalah saluran pelayan (prauwvart canal) yang menghubungkan Semarang dengan Demak, terus ke Kudus. Kedua saluran sampai sekarang masih ada meski dengan fungsi berbeda. b. Awal Tanam Paksa Sampai Awal Abad ke-20 Untuk mendukung keberhasilan program tanam paksa di bidang perkebunan semusim, pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jaringan irigasi Sampean di Situbondo, delta Brantas, Pekalen dan Pemali-Comal, semuanya di Jawa, untuk mengairi tanaman perkebunan seperti tebu dan nila. Ternyata, program yang menyengsarakan rakyat ini dinilai cukup berhasil, karena dapat melepaskan pemerintah Hindia Belanda dari kebangkrutan. Dalam kurun waktu ini, dikerjakan persungaian yang besar untuk mengatur dan mengendalikan banjir sistem Sungai Brantas dan pembebasan banjir Kota Surabaya. c. Awal Abad ke-20 sampai dengan tahun 1920 Menjelang akhir abad 19, pemerintah Kolonial menghapuskan sistem tanam paksa. Selanjutnya, berlaku politik budi baik atau politik etis yang dirumuskan dalam 3 usaha, yaitu industrialisasi, emigrasi (transmigrasi) dan irigasi. Pada kurun waktu ini, pengembangan proyek irigasi lebih cepat dan tidak tersendat. Namun tidak berarti pembangunan proyek irigasi dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Penyelesaian jaringan irigasi Ciujung, misalnya, butuh waktu sekitar 30 tahun. Pada kurun waktu ini dapat diselesaikan, sedang dilaksanakan atau baru dipersiapkan sejumlah jaringan besar di dataran rendah Jawa, seperti Bedadung-Bondoyudo, Semarang dan Karawang-Walahar. d. Tahun 1920 sampai Keruntuhan Kolonialisme Ada beberapa hal penting dan khas yang mewarnai periode ini. Pertama, mulai dirasakan keterbatasan dataran yang potensial untuk dikembangkan menjadi wilayah irigasi di Jawa. Wilayah potensial di luar Jawa seperti di Sumatra Utara, Sumatra Selatan dan Sulawesi Selatan, mulai dikembangkan untuk padi. Kedua, pengembangan irigasi di pulau Jawa semakin bergeser pada wilayah yang kurang subur dan memerlukan biaya besar, seperti Citanduy, Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief VII.4-3

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

Tulungagung Selatan dan Bengawan Solo. Ketiga, pendirian laboratorium pengairan di Mojokerto, Semarang dan Bandung menuntut perfeksi dan presisi dalam setiap pekerjaan. Terakhir, mulai dibangun waduk skala kecil dan sedang di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Periode ini diakhiri Perang Pasifik dan masuknya penjajah Jepang yang menambah kesengsaraan masyarakat karena diharuskan menyerahkan 50% hasil panenan kepada tentara Jepang. Sebelum pendudukan pasukan Jepang, telah diselesaikan pengembangan irigasi di pantai utara Jawa dan beberapa lokasi di luar Jawa. Ada pun selama pendudukan Jepang (3,5 tahun) praktis tidak ada pembangunan jaringan pengairan. (2) SETELAH KEMERDEKAAN

a. Setelah Proklamasi Sampai Pelita I Pada kurun ini, pemerintah sudah menyusun rencana-rencana pembangunan. Rencana pertama adalah Rencana Pembangunan Jangka Pendek (1951-1953), kemudian disusul Rencana Pembangunan Lima Tahun (1956-1960), dan dilanjutkan dengan Pembangunan Semesta Berencana Delapan Tahun (1961-1968). Namun, karena kondisi politik yang belum stabil pada periode tersebut, efektivitas ketiga rencana pembangunan belum mencapai hasil yang diharapkan. Pada periode Orde Baru kestabilan politik dan kenaikan harga minyak merupakan kondisi yang kondusif untuk pembangunan di segala bidang, termasuk pengairan melalui pengembangan wilayah sungai. Mulailah disusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I), diawali Pembangunan Lima Tahun I (Pelita I) pada tahun 1969. Pada kurun tercatat proyek besar seperti Waduk Cacaban di Jawa Tengah, Waduk Darma di Jawa Barat, waduk Selorejo dan Karangkates di Jawa Timur, jaringan irigasi Lakbok Selatan di Jawa Barat, pengendalian banjir Tulungagung Selatan Tahap I di Jawa Timur. Selain itu, juga waduk terbesar Jatiluhur di Jawa Barat beserta jaringan pengairan multiguna yang mencakup komponen irigasi sekitar 240.000 hektar, penyediaan air domestik, perkotaan dan industri (DMI), pengendalian banjir, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pariwisata dan olah raga air serta usaha perikanan. Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief VII.4-4

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

Selama periode ini, anggaran pembangunan untuk pengairan relatif kecil dibanding kebutuhannya, meski lebih baik dibanding sektor lainnya. Hampir seluruh pembiayaan di bidang pengairan adalah pengeluaran pemerintah dengan sasaran irigasi tanaman pangan, khususnya padi. Tujuannya, menurunkan impor beras, karena saat itu Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Di samping itu, anggaran terkonsentrasi pada pembangunan proyek besar, sehingga kurang menyebar ke seluruh tanah air. b. Pembangunan Jangka Panjang I (PJP I) - Ruang Lingkup Pengembangan Sumber Daya Air Sejak tahun 1980-an, pengembangan pengairan dan pengelolaan wilayah sungai disebut sebagai pengembangan sumberdaya air, karena cakupannya lebih luas dibanding sebelumnya. Setelah kemerdekaan, khususnya selama PJP I sampai sekarang, lingkup pengembangan sumberdaya air dapat dikelompokkan sebagai berikut: Pemanfaatan sumberdaya air, meliputi penyediaan air bersih untuk rumah tangga, perkotaan, irigasi, industri, pembangkit listrik (termasuk pendingin), pemeliharaan sungai/lingkungan, perikanan, navigasi/transportasi, rekreasi dan olahraga air; pengendalian bencana karena air, meliputi pengendalian banjir, pengendalian lahar, erosi dan sedimentasi serta drainase/reklamasi; Perlindungan/konservasi sumberdaya air, meliputi konservasi sumberdaya air serta pengendalian pencemaran dan mutu air. Dalam rencana induk (master plan), diupayakan mengembangkan seluruh potensi sumberdaya air dan lahan di wilayah sungai, guna mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya air. Untuk itu, dibangun prasarana dan sarana pengairan yang bersifat multi-tujuan, multi-guna dan multi-unit, di antaranya untuk menangani pengembangan sumberdaya air dari sungai besar, terlihat bahwa kita lebih berorientasi pada pengembangan wilayah, di mana wilayah sungai dianggap sebagai Satuan Wilayah Pengembangan yang cocok. Implementasinya dikerjakan badan pelaksana proyek, yakni Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai (PIPWS) di bawah Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief VII.4-5

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

Direktorat Jendral Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum (sejak tahun 2001 menjadi Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah). Tugas pokok PIPWS adalah menyusun master plan (rencana induk) yang mencakup program pendayagunaan/pemanfaatan sumberdaya air, pengendalian bencana yang terkait dengan air, dan perlindungan/konservasi sumberdaya air. Perencanaan dilakukan terpadu dengan prinsip one river, one plan and one integrated management (Satu sungai, satu rencana dan satu pengelolaan terpadu). Pelaksanaannya, oleh sektor atau instansi masing-masing. Mengingat tugas pokok dan fungsi serta pengalokasian dana untuk Departemen PU/Kimpraswil diutamakan pada program pemanfaatan dan pengendalian bencana karena air, maka PIPWS hanya melaksanakan komponen program ditjen induknya. Konsekuensinya, pelaksanaan rencana yang sudah terpadu itu menjadi pincang. Contohnya, program dan kegiatan yang menjadi bidang tugas instansi lain seperti pelindungan/konservasi SDA di banyak lokasi PIPWS selalu tertinggal dari upaya pemanfaatan SDA. Proyek pengembangan wilayah sungai dalam PJP I adalah PPWS Brantas (Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, Juana, disingkat Jratunseluna); Bengawan Solo; Serayu-Bogowonto; Citanduy; Citarum; Ciujung-Ciliman, Way Seputih-Way Sekampung; dan Jeneberang. Waduk multiguna yang dapat diselesaikan adalah Karangkates (Sutami)-Lahor, Selorejo, Wonogiri, Sempor, Jatiluhur, Kedungombo serta Wadaslintang. - Program-program Sektoral Selain program pengembangan wilayah sungai sesuai dengan potensi wilayahnya, dilaksanakan juga program sektoral dengan sasaran peningkatan produksi pangan dan menunjang program transmigrasi. Program tersebut adalah (1) pengembangan irigasi, (2) pengembangan jaringan pengairan rawa, dan (3) perbaikan sungai dan pengendalian banjir. Dalam PJP I, irigasi merupakan program prioritas dan bersifat tersebar di seluruh propinsi. Irigasi merupakan prakondisi untuk melaksanakan usaha peningkatan produksi pangan, guna mencapai swasembada yang merupakan salah satu tujuan utama PJP I. Sejak awal, segala upaya dicurahkan agar segera dapat melepaskan diri Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief VII.4-6

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

dari ketergantungan impor bahan pangan, terutama beras, sekaligus menghemat devisa. Untuk perluasan lahan beririgasi dilakukan rehabilitasi jaringan irigasi agar berfungsi kembali dan mencapai produktivitas optimal, intensifikasi jaringan irigasi melalui optimalisasi fungsi jaringan irigasi dengan peningkatan intensitas tanam, dan perluasan jaringan irigasi untuk wilayah pertanian di luar Jawa guna menambah luas lahan berigasi terkaitkan dengan program transmigrasi. Selain itu, diupayakan ekstenfikasi lahan untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan (kelapa dan kelapa sawit) di wilayah rawa di luar Jawa. Pekerjaan dilaksanakan melalui pembangunan jaringan pengairan rawa pada rawa lebak (nonpasang surut) melalui pembangunan konstruksi drainase dan irigasi. Juga, pembangunan jaringan pengairan rawa pasang-surut yang umumnya dikaitkan dengan lokasi program transmigrasi sebagai penggarap lahan yang telah direklamasi. Selanjutnya, program perbaikan sungai merupakan pekerjaan beragam, mulai dari pekerjaan yang mendesak dan harus dikerjakan secepatnya, misalnya memperbaiki kerusakan akibat bencana alam, pekerjaan untuk melindungi dan mengamankan objek tertentu dari ancaman banjir suatu sungai, sampai rangkaian pekerjaan untuk memperbaiki tingkah laku atau rejim suatu sungai. Wilayah sungai yang sudah ditangani adalah sungai yang melewati metropolitan dan kota besar di Jawa, Sumatra dan Sulawesi serta daerah sentra produksi pangan seperti di wilayah sungai Brantas dan Bengawan Solo. Program ini mencakup pula pengendalian bencana akibat letusan gunung berapi serta perbaikan dan perlindungan muara dan pantai. Bencana akibat letusan gunung berapi yang sudah dan sedang ditangani adalah gunung berapi di Jawa dan Bali, seperti Merapi, Semeru, Kelud, Galunggung dan Gunung Agung. Sampai akhir PJP I, belum banyak pengamanan pantai yang dilaksanakan. Hanya pantai di daerah yang sudah berkembang untuk perkotaan, industri, pariwisata seperti di Bali (Sanur, Kuta, Tanah Lot), Padang dan Menado yang telah ditangani sebagian. Pantai di luar daerah itu hampir belum tersentuh. Era Reformasi dan Otonomi Daerah (1998-sekarang) Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief VII.4-7

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

Dalam periode ini telah dan sedang dilaksanakan perubahan peraturan perundangan di bidang pengelolaan sumberdaya air, disesuaikan dengan tuntutan reformasi di bidang pemerintahan umum yang mencakup otonomi daerah/desentralisasi dan pelaksanaan prinsip good governance (demokratisasi, transparansi, partisipasi). Perubahan yang mendasar ditandai dengan perubahan UU No.11/1974 tentang Pengairan serta peraturan pemerintah, keputusan presiden dan keputusan menteri turunannya yang masih belum memberi peluang kepada masyarakat dan daerah untuk berperan lebih besar dalam mengelola sumberdaya air. Oleh sebab itu, perlu aturan pengelolaan sumberdaya air yang menyeluruh, terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan serta menampung aspirasi dan peran serta masyarakat, termasuk masyarakat adat. Sementara proses perubahan peraturan perundang-undangan sedang berlangsung, kebijakan pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air masih berdasarkan pada peraturan perundangan yang ada. Pembangunan fisiknya merupakan kelanjutan dari program yang dilaksanakan dalam PJP I dengan tambahan kegiatan bersifat perlindungan dan konservasi terhadap SDA.

KAITAN PENGATURAN WILAYAH SUNGAI DAN PENATAAN RUANG


Ketrkaitan antara pengaturan wilayah sungai dan penataan ruang dapat dilihat pada pasal 8 ayat 3 UU No.11/1974, yang menyatakan bahwa rencana dan rencana teknis tata pengairan disusun berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional dan dilaksanakan untuk kepentingan nasional, regional dan lokal. Dalam hal ini, penataan ruang (RTRWN, RTRW propinsi dan RTRW kabupaten/kota) dapat dianggap bagian dari Pola Dasar Pembangunan Nasional. Pada pasal 7 ayat 2 PP No.22/ 1982 tentang Tata Pengaturan Air disebutkan, rencana pengembangan sumber-sumber air nasional adalah bagian dari rencana pembangunan nasional. Selanjutnya, pasal 1 dan 4 PP No. 22/1982 menyebutkan bahwa (1) kesatuan wilayah tata pengairan ditetapkan berdasarkan wilayah sungai; (2) Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah tata pengairan sebagai hasil pengembangan satu atau lebih daerah pengaliran sungai (DPS); (3) DPS adalah kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah dimana air meresap dan/atau mengalir melalui sungai dan anak-anak sungai yang bersangkutan.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief

VII.4-8

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

Ada pun pengertian umum daerah aliran sungai (DAS) adalah wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang dibatasi oleh pemisah topografi yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan, menyimpan dan mengalirkannya ke danau atau laut secara alami. Dengan pengertian DAS itu, tidak ada perbedaan antara pengertian DAS dengan DPS. DAS dan DPS dapat disepadankan, karena keduanya berbasis pada batas-batas alamiah/topografi. Sementara itu, wilayah sungai (WS) merupakan wilayah pengembangan sumberdaya air yang cakupan wilayahnya meliputi satu atau lebih DAS/DPS. Pengertian DAS/DPS berdasarkan posisinya terhadap batas administratif pemerintahan dalam RUU SDA didefinisikan sebagai berikut: DAS/DPS kabupaten/kota adalah DAS/DPS yang seluruhnya berada dalam satu wilayah kabupaten/kota; DAS/DPS propinsi adalah DAS/DPS yang berada pada lebih dari satu wilayah administrasi kabupaten/kota dalam satu propinsi; DAS/DPS nasional adalah DAS/DPS yang berada pada lebih dari satu wilayah administrasi propinsi atau bersifat lintas negara. Ada kesepadanan DAS/DPS kabupaten/kota dan WS kabupaten/kota, DAS/DPS propinsi dan WS propinsi, serta DAS/DPS nasional dan WS nasional, karena cakupan wilayah sungai (WS) dapat meliputi satu atau lebih DAS/DPS kabupaten/kota, propinsi maupun nasional. Juga, terdapat hubungan timbal balik antara pengaturan wilayah sungai (DAS/DPS kabupaten/kota, propinsi, nasional) dan penataan ruang (RTRW kabupaten/kota, propinsi, nasional). Keduanya saling mempengaruhi dan bersifat interaktif dalam pengembangan Kegiatan osial-ekonomi suatu wilayah yang optimal dan berkelanjutan.

PERMASALAHAN PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI


(1) Degradasi dan Agradasi DAS/DPS

Peningkatan DAS kritis (berciri fluktuasi debit sungai musim hujan dan kemarau yang tinggi, erosi di hulu dan sedimentasi di hilir), menggambaran parahnya kerusakan DAS di Indonesia akibat penggundulan hutan dan cara bercocok tanam yang mengabaikan konservasi tanah dan air. Pada tahun 1984, ada 22 DAS kritis, pada tahun 1992 ada 39 DAS, pada tahun 1998 ada 59 DAS dan pada Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief VII.4-9

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

tahun 2002 tercatat 62 DAS kritis. Fenomena ini menunjukkan perkembangan tata ruang telah berlangsung tanpa memperhatikan kepentingan dan kaidah konservasi wilayah sungai. Pada kenyataannya, pemanfaatan ruang tidak berjalan sebagaimana semestinya. Meski banyak peraturan yang terkait dengan pertanahan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya yang mempengaruhi kualitas DAS, namun pengaturan terlihat belum serasi. Hal ini menyebabkan tumpang tindih wewenang dan tanggung jawab antarinstansi dalam pengelolaan pertanahan dan penataan ruang. Hal ini, juga mengindikasikan peraturan perundangan yang ada belum mengakomodasikan pemecahan masalah pertanahan dan penataan ruang yang kompleks. Pada wilayah sungai tertentu degradasi (erosi) DAS di hulu telah menyebabkan agradasi di hilir, yaitu kian meluas tanah timbul (akibat sedimentasi) di sekitar muara. Jika tanah timbul di pantai ini cukup luas, maka perlu pengaturan ruang tersendiri. (2) Implikasi Karakteristik Dinamis Sumberdaya Air

Sumberdaya air yang merupakan bagian dari sumberdaya alam dalam suatu wilayah sungai memiliki sifat berbeda dengan sumberdaya alam lainnya. Air merupakan sumberdaya terbarui, bersifat dinamis mengikuti siklus hidrologi dan selalu bergerak mengikuti hukum alam dari tempat yang tinggi ke tempat lebih rendah tanpa mengenal batas politik, sosial, ekonomi, suku bangsa maupun batas wilayah administrasi bahkan batas negara. Dengan demikian, sumberdaya air secara alamiah merupakan flowing resources, melekat potensi konflik seperti opportunity value, externality effect dan hubungan reciprocal hulu-hilir. Sifat-sifat konflik multi-dimensi, seperti hulu vs hilir, konflik lintas batas antarwilayah administrasi, golongan kaya vs miskin, kota vs desa, pengguna lama vs pengguna baru, pertanian vs industri, dan sebagainya, harus diidentifikasi serta dijadikan bahan pemikiran dan analisa untuk mengupayakan kebijakan pengelolaan SDA dalam suatu wilayah sungai yang berkelanjutan dan berkeadilan yang akan mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh tata ruang ruang.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief

VII.4-10

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM WILAYAH SUNGAI


(1) Perubahan Pendekatan Pengembangan Wilayah Sungai

Pada umumnya, sungai di Indonesia relatif lurus, tegak lurus arah memanjang pulau dan di tengah pulau terdapat jajaran pegunungan yang memanjang, sehingga panjang sungai menjadi terbatas dengan kemiringan rata-rata yang besar serta daerah pengalirannya yang relatif sempit. Dengan demikian, potensi dari sungai amat terbatas. Hanya beberapa sungai saja yang memiliki potensi lebih besar, sehingga wajib memberi suplesi ke daerah tetangga yang mengalami defisit. Hal ini mendorong penggeseran dari pendekatan pengembangan wilayah sungai ke pengembangan regional yang meluas meliputi wilayah pulau. Dalam skala kecil, hal itu sudah dialami oleh Pulau Lombok, yaitu pengembangan bagian timur pulau itu perlu transfer air dari sungai yang berada di bagian barat. Dengan demikian, pendekatannya bergeser dari One River, One Plan, and One Integrated Management ke One Region, One Integrated Plan, and One Coordinated Management. Pada akhirnya, One Island, One Integrated Plan and One Coordinated Management. (2) Implementasi Kebijakan Baru Pengelolaan SDA Wilayah Sungai

Selain pembangunan infrastruktur, kebijakan juga harus diarahkan untuk perlindungan dan pelestarian sumber air, dengan merubah kebiasaan masyarakat yang menganggap air sebagai sumberdaya tak terbatas. Selain itu, dalam pengelolaan sumberdaya air, perlu dilakukan berbagai tindakan efisiensi dan distribusi air yang memadai sesuai kebutuhan. Dalam menyusun strategi pengelolaan sumberdaya air secara berkeadilan dan berkelanjutan, perlu diperhatikan beberapa hal berikut: air sebagai bagian sumberdaya alam yang dinamis yang senantiasa bergerak mengikuti hukum alam dari hulu ke hilir tanpa mengenal batas administrasi memerlukan pendekatan tersendiri, agar kesatuan sistem hidrologis serta ikatan dan rekatan antardaerah tetap terjaga;

Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief

VII.4-11

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

air yang menjadi faktor pokok dalam berbagai sektor pembangunan menyangkut banyak institusi pemerintah maupun masyarakat, karena itu pengelolaan sumberdaya air perlu didasarkan kepada pendekatan peranserta semua stakeholders; keberlanjutan sumberdaya air dari aspek kuantitas maupun kualitas yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan penataan ruang. Untuk mengatasi, setidaknya mengurangi, berbagai persoalan konflik antarwilayah, antarpengguna, antarkelompok maupun ketidakadilan dalam penataan ruang yang terkait dengan pengelolaan SDA, diperlukan prinsip pengelolaan SDA yang komprehensif, mencakup pula sistem sosial, tidak hanya sistem SDA. Kebijakan tersebut dirangkum dalam dua kelompok, yaitu kebijakan pemanfaatan dan pelestarian (mengelompokan kebijakan yang mengatur keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian), dan kebijakan pengelolaan yang berkeadilan (mencakup aspek sosial dan administrasi pemerintahan). (3) Kebijakan Pengelolaan Yang Berkeadilan

Klasifikasi Sistem SDA dan Wewenang Pengelolaannya Mengingat: (a) perlunya kemungkinan konflik antardaerah, (b) perlu perekat antarwilayah, (c) perlu dijaga keseimbangan antardaerah (d) perlu pendekatan kesatuan sistem hidrologis dalam pengelolaan SDA, maka jaringan SDA perlu diklasifikasikan dalam: Jaringan SDA kabupaten/kota (berada dalam satu wilayah kabupaten/kota) dengan wewenang pengelolaan oleh pemda kabupaten/kota; Jaringan SDA propinsi (lintas kabupaten/kota dalam satu propinsi) dengan wewenang pengelolaan oleh pemda propinsi; Jaringan SDA nasional (lintas propinsi atau lintas negara) dengan wewenang pengelolaan oleh pemerintah.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief

VII.4-12

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

Institusi Pusat dan Daerah - Tingkat Nasional Mengingat SDA menyangkut semua sektor, maka perlu dibentuk Dewan Sumberdaya Air Nasional (DSDAN), suatu institusi koordinasi yang anggotanya terdiri atas perwakilan stakeholders dan bertugas menyiapkan kebijakan dan strategi. Kebijakan harus bersifat mengikat bagi semua stakeholders. Keberadaan, keanggotaan dan pembentukan dewan ini telah tercantum dalam RUU SDA. Meski desentralisasi sudah berjalan, tetapi institusi operasional tingkat pusat diperlukan untuk penyiapan kebijakan umum dan kebijakan teknis, antara lain, menyangkut perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria dan prosedur yang berlaku secara nasional maupun bantuan pengelolaan jaringan SDA nasional (lintas propinsi/lintas negara). Di samping tugas itu, institusi pusat juga berkewajiban melakukan pembinaan teknis terhadap institusi propinsi dan kabupaten/kota. - Tingkat Propinsi Institusi di tingkat propinsi diperlukan sebagai wadah koordinasi stakeholders mulai dari perencanaan sampai pemanfaatan jaringan SDA/pengairan propinsi maupun kegiatan dengan asas dekonsentrasi di tingkat propinsi untuk jaringan SDA nasional. Wadah koordinasi dimaksud, dapat berupa dewan/komisi sumberdaya air propinsi yang merupakan peleburan dan penyempurnaan Panitia Irigasi Propinsi dan Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA). Dinas pengairan propinsi menjadi institusi utama pengelolaan SDA di tingkat propinsi. Tugas dan kewajibannya adalah menyiapkan produk peraturan dan perijinan daerah (propinsi) serta pembinaan teknis terhadap institusi tingkat kabupaten/kota, bertanggung jawab terhadap pengelolaan jaringan SDA propinsi (lintas kabupaten), melaksanakan tugas dekonsentrasi dan membantu menyelesaikan masalah antarkabupaten/kota.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief

VII.4-13

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

- Tingkat Kabupaten Mengingat desentralisasi di titikberatkan di tingkat kabupaten/kota, maka koordinasi pelaksanaan menjadi penting. Seperti di tingkat propinsi, koordinasi tingkat kabupaten/kota melibatkan stakeholders. Wadah koordinasi dapat berupa dewan/komisi sumberdaya air kabupaten/kota (penyempurnaan Panitia Irigasi Kabupaten/Kota). Dinas pengairan kabupaten/kota yang sudah terbentuk maupun yang akan dibentuk, menjadi institusi pelaksana. Tugas dan kewajibannya, antara lain, membuat perencanaan dan pembangunan serta pengelolaan jaringan SDA kabupaten/kota, menyiapkan produk pengaturan daerah dan perijinan serta pembinaan langsung kepada masyarakat dan melaksanakan sebagian tugas bupati dalam pembinaan P3A sesuai PP No. 77/2001.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief

VII.4-14

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah


Tata Ruang Wilayah Sungai

DAFTAR PUSTAKA
1. Sutardi, (1997), Water and Sustainable Development Current Status and Future Trends in Indonesia , United Nations Publication, New York. Sutardi, (2000), Aspek Tata Ruang Berkeadilan Dalam Pengelolaan Sumber daya Air, Seminar Pengelolaan Sumberdaya Air, UII Yogyakarta. Roestam Sjarief, (2000), Pokok-Pokok Pikiran Pengelolaan SDA. Soebandi W., (1998), Pengairan di Indonesia Perkembangan Pembangunan

2.

3. 4.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Roestam Sjarief

VII.4-15

You might also like