You are on page 1of 6

TUGAS PERJANJIAN INTERNASIONAL SISTEM RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG DIANUT NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Oleh : 1016051097

UNIVERSITAS UDAYANA HUKUM EKSTENSI TAHUN AJARAN 2011 PEMBAHASAN

Pengesahan atau ratifikasi adalah persetujuan terhadap rencana perjanjian internasional agar menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing-masing negara tersebut. Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang telah disepakati oleh para pihak. Setelah penandatanganan naskah perjanjian internasional dilakukan oleh para wakil negara peserta perundingan, maka selanjutnya naskah perjanjian tersebut dibawa pulang ke negaranya masing-masing untuk dipelajari dengan seksama untuk menjawab pertanyaan, yaitu apakah isi perjanjian internasional tersebut sudah sesuai dengan kepentingan nasional atau belum dan apakah utusan yang telah diberi kuasa penuh melampaui batas wewenangnya atau tidak. Apabila memang ternyata isi dalam perjanjian tersebut sudah sesuai, maka negara yang bersangkutan tersebut akan meratifikasi untuk menguatkan atau mengesahkan perjanjian yang ditandatangani oleh wakil-wakil yang berkuasa tersebut. Ratifikasi bertujuan memberi kesempatan kepada negara peserta perjanjian internasional untuk mengadakan peninjauan dan pengkajian secara seksama apakah negaranya dapat diikat suatu perjanjian internasional atau tidak. Ratifikasi perjanjian internasional dibedakan menjadi tiga. Hal ini untuk mengetahui siapakah yang berwenang meratifikasi suatu naskah perjanjian internasional di negara tersebut. Ketiga sistem ratifikasi tersebut adalah sebagai berikut :

Sistem ratifikasi oleh badan eksekutif, yaitu bahwa suatu perjanjian internasional baru mengikat apabila telah diratifikasi oleh kepala negara atau kepala pemerintahan. Misalnya saja pada pemerintahan otoriter seperti NAZI.

Sistem ratifikasi oleh badan legislatif, yaitu bahwa suatu perjanjian baru mengikat apabila telah diratifikasi oleh badan legislatif. Misalnya adalah Honduras, Turki, dan Elsalvador.

Sistem ratifikasi campuran (badan eksekutif dan legislatif), yaitu bahwa suatu perjanjian internasional baru mengikat apabila badan eksekutif dan legislatif sama-sama menentukan proses ratifikasi. Misalnya Amerika Serikat, Perancis, dan Indonesia. Indonesia menganut sistem ratifikasi campuran, yaitu ada peran lembaga

eksekutif dan legislatif dalam meratifikasi perjanjian internasional. Dalam UU RI No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional, ratifikasi atau pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Di Indonesia ratifikasi dengan undang-undang harus terdapat persetujuan Presiden dan DPR secara bersama-sama terhadap perjanjian internasional. Ratifikasi dengan keputusan Presiden hanya mengisyaratkan adanya persetujuan Presiden terhadap perjanjian tersebut. Dasar hukum sistem ratifikasi di Indonesia, terdapat dalam undang-undang Dasar 1945 yaitu pasal 11 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945. Perjanjian internasional yang dapat diratifikasi dengan keputusan Presiden, diantaranya yaitu perjanjian induk yang berkaitan dengan kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan teknik perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, serta penghindaran pajak berganda dan kerjasama perlindungan penanaman modal. Ratifikasi melalui undang-undang dapat dilakukan terhadap perjanjian internasional yang menyangkut materi-materi di bawah ini,

Politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.

Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI. Kedaulatan atau hak berdaulat negara. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Pembentukan kaidah hukum baru. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Sebagai Negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan perjanjianperjanjian Internasional dengan negara-negara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian Internasional tersebut, Indonesia menganut prinsip Primat Hukum Nasional dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional. Dasar kewenangan Presiden dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 UUD 1945 mengatur tentang Perjanjian Internasional sebagai berikut: (1). Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain. (2). Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harus dengan persetujuan DPR. (3). Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan pasal 11 ayat (3) UUD 1945 tersebut, telah diterbitkan surat Presiden nomor : 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang

berisi ketentuan sebagai berikut: * Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjanjian tentang masalah masalah yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara RI, diratifikasi dengan Undang Undang. * Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur tentang masalahmasalah yang bersifat tehnis dan segera, diratifikasi dengan Keputusan Presiden. Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga adanya UU nomor: 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang juga memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826. Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan jenis peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar 1945. b. Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-undang (Perpu). c. Peraturan Pemerintah (PP). d. Peraturan Presiden. e. Peraturan Daerah f. Peraturan Desa Tentang kedudukan Perjanjian Internasional dalam sistem peraturan PerUU-an Nasional, meskipun dalam UU No.10 tahun 2004 tentang Peraturan, Perundang-undangan tidak masuk sebagai jenis peraturan Per-UU-an, namun perjanjian Internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana diperintahkan oleh peraturan per-UU-an yang lebih

tinggi (pasal 7 ayat 4 UU nomor 10 tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional). Berdasarkan sistem Hukum Nasional kita, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, negara sudah terikat untuk tunduk pada ketentuan ketentuan dalam konvensi atau perjanjian tersebut. Suatu konvensi atau perjanjian internasional yang telah diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam suatu UU yang dikenal sebagai UU tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional. Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian Internasional telah diratifikasi dengan UU tentang Pengesahan Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan isi ketentuan peraturan perundang undangan Nasional yang mengatur tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasikan tersebut.

You might also like