You are on page 1of 18

Undang-Undang No.

28 Tahun 1999
Tentang : Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan
Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia

Menimbang:
a. bahwa Penyelenggaraan Negara mempunyai peranan yang sangat
menentukan dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita
perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945
b. bahwa untuk mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang mampu
menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh
tanggungjawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara;
c. bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan
antar-Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggaraan
Negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan
eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk
pencegahannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme;

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA


YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN
NEPOTISME.

BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:


1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang
menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari
praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi.
4. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum
antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan
pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara
melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan
atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
6. Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik adalah asas yang
menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum,
untuk mewujudkan Penyelengara Negara yang bersih dan bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
7. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya
disebut Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas
untuk memeriksa kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan
Penyelenggara Negara untuk mencegah praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme.

BAB II
PENYELENGGARA NEGARA

Pasal 2

Penyelenggara Negara meliputi:


1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
BAB III
ASAS UMUM PENYELENGGARAAN NEGARA

Pasal 3

Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi:


Asas Kepastian Hukum;
1. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
2. Asas Kepentingan Umum;
3. Asas Keterbukaan;
4. Asas Proporsionalitas;
5. Asas Profesionalitas; dan
6. Asas Akuntabilitas.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PENYELENGGARA NEGARA

Pasal 4

Setiap Penyelenggara Negara berhak untuk:


1. menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaku;
2. menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari
atasannya, ancaman hukuman, dan kritik masyarakat;
3. menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggungjawab
sesuai dengan wewenangnya; dan
4. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5

Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:


1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum
memangku jabatannya;
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah
menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah
menjabat;
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, tas,
dan golongan;
6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak
melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan
pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan
imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme
serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6

Hak dan kewajiban Penyelenggaraan Negara sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 dan Pasal 5 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V
HUBUNGAN ANTAR PENYELENGGARA NEGARA

Pasal 7

(1) Hubungan antar-Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan menaati


norma-norma Kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan etika yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
(2) Hubungan antar-Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berpegang teguh pada asas-asas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 8

(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan


hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan
Penyelenggara Negara yang bersih.
(2) Hubungan antara Penyelenggara Negara dan masyarakat dilaksanakan
dengan berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Pasal 9

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang
penyelenggaraan negara;
b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
Penyelenggara Negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara
bertanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara;
dan
d. hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1). Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b, dan c;
2). Diminta hadir dalam proses Penyelidikan, penyidikan, dan
disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau
saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

(2) Hubungan antar-Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) berpegang teguh pada asas-asas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat


dalam penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
KOMISI PEMERIKSA

Pasal 10

Untuk mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari


korupsi, kolusi, dan nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara membentuk
Komisi Pemeriksa.

Pasal 11

Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 merupakan


lembaga independen yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden
selaku Kepala Negara.

Pasal 12

(1) Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi untuk mencegah praktek korupsi,


kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat
91), Komisi Pemeriksa dapat melakukan kerjasama dengan lembaga-
lembaga terkait baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pasal 13

(1) Keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah dan


masyarakat.
(2) Pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa
ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 14

(1) Untuk dapat diangkat sebagai Anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 10 seorang calon Anggota serendah-rendahnya
berumur 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya berumur 75
(tujuh puluh lima) tahun.
(2) Anggota Komisi Pemeriksa diberhentikan dalam hal:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Anggota Komisi Pemeriksa diangkat untuk masa jabatan selama 5
(lima) tahun dan setelah berakhir masa jabatannya dapat diangkat
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan serta
pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 15

(1) Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdirid dari seorang Ketua


merangkap Anggota dan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang
Anggota yang terbagi dalam 4 (empat) Sub Komisi.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemeriksa dipilih oleh dan dari para
Anggota berdasarkan musyawarah mufakat.
(3) Empat Sub Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas;
a. Sub Komisi Eksekutif;
b. Sub Komisi Legislatif;
c. Sub Komisi Yudikatif; dan
d. Sub Komisi Badan Usaha Milik Negera/Badan Usaha Milik
Daerah.
(4) Masing-masing Anggota Sub Komisi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diangkat sesuai dengan keahliannya dan bekerja secara
kolegial.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pemeriksa dibantu oleh
Sekretariat Jenderal.
(6) Komisi Pemeriksa berkedudukan di Ibukota negara Republik Indonesia.
(7) Wilayah kerja Komisi Pemeriksa meliputi Seluruh wilayah negara
Republik Indonesia.
(8) Komisi Pemeriksa membentuk Komisi Pemeriksa di daerah yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 16

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota


Komisi Pemeriksa mengucapkan sumpah atau janji, sesuai dengan
agamanya, yang berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya senantiasa akan
menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh,
jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama,
ras, dan golongan dari Penyelenggara Negara yang saya periksa dan
akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta
bertanggungjawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
masyarakat, bangsa dan negara”.
“Saya bersumpah dan berjanji bahwa saya untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam tugas dan wewenang saya ini, tidak
akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya akan mempertahankan
dan mengamalkan Pancasila sebagai Dasar Negara, melaksanakan
Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan lain
yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan
di hadapan Presiden.

Pasal 17

(1) Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan


pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.
(2) Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah:
a. melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan
Penyelenggara Negara;
b. meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya
korupsi, kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
c. melakukan Penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta
kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya
korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara
yang bersangkutan;
d. Mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi
untuk Penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga
melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta
dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan
Penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang
bersangkutan;
e. Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian
atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga
diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat
sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang
berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan sebelum, selama, dan setelah yang
bersangkutan menjabat.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan kekayaan Penyelenggara
Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

(1) hasil pemeriksanaan Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 17 disampaikan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Khusus hasil pemeriksaan atas kekayaan Penyelenggara Negara yang
dilakukan oleh Sub Komisi Yudikatif, juga disampaikan kepada
Mahkamah Agung.
(3) Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka
hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, untuk ditindak lanjuti.

Pasal 19

(1) Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan tugas dan wewenang


Komisi Pemeriksa dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemantauan dan evaluasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
SANKSI

Pasal 20

(1) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5, atau 6 dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan
atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 21
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang
melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Pasal 22

Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang


melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah)

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 23

Dalam waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak Undang-undang ini


mulai berlaku setiap Penyelenggara Negara harus melaporkan dan
mengumumkan harta kekayaannya dan bersedia dilakukan pemeriksaan
terhadap kekayaannya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24
Undang-undang ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd
PROF. DR. H. MULADI, S.H.

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG
BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME

I. UMUM
1. Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam
mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas
dinyatakan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa yang sangat penting dalam pemerintahan dan
dalam hal hidupnya negara ialah semangat para Penyelenggara
Negara dan Pemimpin pemerintahan.
Dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, Penyelenggara
Negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara
optimal, sehingga penyelenggara negara tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi karena adanya pemusatan
kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pada
Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia. Di samping itu, masyarakatpun belum sepenuhnya
berperan serta dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang efektif
terhadap penyelenggaraan negara.
Pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab tersebut
tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga
dibidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktek
penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok
tertentu dan memberi peluang terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi
dan nepotisme.
Tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut tidak hanya
dilakukan oleh Penyelenggara Negara, antar-Penyelenggara Negara,
melainkan juga Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti
keluarga kroni, dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
membahayakan eksistensi negara.
Dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional
sesuai tuntutan reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi, dan
misi dari Seluruh Penyelenggara Negara dan masyarakat.
Kesamaan visi, persepsi, dan misi tersebut harus sejalan dengan
tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya
Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan tugas dan
fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggung jawab,
yang dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi,
dan nepotisme, sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.
2. Undang-undang ini memuat tentang ketentuan yang berkaitan
langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap
tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang khusus ditujukan
kepada para Penyelenggara Negara dan pejabat lain yang memiliki
fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Undang-undang ini merupakan bagian atau subsistem dari
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan
hukum terhadap perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sasaran
pokok Undang-undang ini adalah para Penyelenggara Negara yang
meliputi Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat
Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim,
Pejabat Negara dan atau Pejabat Lain yang memiliki fungsi
strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, dalam Undang-undang ini
ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi
asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas
kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
5. Pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam Undang-undang
ini dimaksud untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme, Dengan hak dan kewajiban yang
dimiliki, masyarakat diharapkan dapat lebih bergairah
melaksanakan kontrol sosial secara optimal terhadap
penyelenggaraan negara, dengan tetap mentaati rambu-rambu
hukum yang berlaku.
6. Agar Undang-undang ini dapat mencapai sasaran secara efektif
maka diatur pembentukan Komisi Pemeriksa yang bertugas dan
berwenang melakukan pemeriksaan harta kekayaan pejabat negara
sebelum, selama, dan setelah menjabat, termasuk meminta
keterangan baik dari mantan pejabat negara, keluarga, dan
kroninya, maupun para pengusaha, dengan tetap memperhatikan
prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Sususnan
keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah dan
masyarakat mencerminkan independensi atau kemandirian dari
lembaga ini.
7. Undang-undang ini mengatur pula kewajiban para Penyelenggara
Negara, antara lain mengumumkan dan melaporkan harta
kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Ketentuan tentang
sanksi dalam Undang-undang ini berlaku bagi Penyelenggara
Negara, masyarakat, dan Komisi Pemeriksa sebagai upaya preventif
dan represif serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya
ketentuan tentang asas-asas umum penyelenggaraan negara, hak
dan kewajiban Penyelenggara Negara, dan ketentuan lainnya
sehingga dapat diharapkan memperkuat norma Kelembagaan,
moralitas individu, dan sosial.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Angka 3
Cukup jelas

Angka 4
Yang dimaksud dengan “Gubernur” adalah wakil Pemerintah Pusat di
daerah.

Angka 5
Yang dimaksud dengan “Hakim” dalam ketentuan ini meliputi Hakim di
semua tingkatan Peradilan.

Angka 6
Yang dimaksud dengan “Pejabat negara yang lain” dalam ketentuan ini
misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh,
Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya.

Angka 7
Yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis”
adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan
penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme, yang meliputi:
1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan
Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan
sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.

Pasal 3

Angka 1
Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas
dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara

Angka 2
Yang dimaksud dengan “Asas Tertib Penyelenggaraan Negara”
adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian,
dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan
negara.

Angka 3
Yang dimaksud dengan “Asas Kepentingan Umum” adalah yang
mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,
akomodatif dan selektif.

Angka 4
Yang dimaksud dengan “Asas Keterbukaan” adalah asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia
negara.

Angka 5
Yang dimaksud dengan “Asas Proporsionalitas” adalah asas yang
mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
Penyelenggara Negara.

Angka 6
Yang dimaksud dengan “Asas Profesionalitas” adalah asas yang
mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Angka 7
Yang dimaksud dengan “Asas Akuntabilitas” adalah asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 4
Pelaksanaan hak Penyelenggara Negara yang ditentukan dalam Pasal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945 serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5
Dalam hal Penyelenggara Negara dijabat oleh anggota Tentara Nasional
Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka terhadap
pejabat tersebut berlaku ketentuan dalam Undang-undang ini.

Angka 1
Cukup jelas

Angka 2
Apabila Penyelenggara Negara dengan sengaja menghalang-
halangi dalam pendataan kekayaannya, maka dikenakan sanksi
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Angka 3
Cukup jelas

Angka 4
Apabila Penyelenggara Negara yang didata kekayaannya oleh
Komisi Pemeriksa dengan sengaja memberikan keterangan yang
tidak benar, maka dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Angka 5
Cukup jelas

Angka 6
Cukup jelas

Angka 7
Cukup jelas

Pasal 6
Yang dimaksud dengan “hak dan kewajiban Penyelenggara Negara
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945” adalah
hak dan kewajiban yang dilaksanakan dengan memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang
luhur.
Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Ayat (1)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini,
adalah peran aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme, yang dilaksanakan dengan menaati
norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam
masyarakat.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat (1) huruf d angka 2) merupakan suatu
kewajiban bagi masyarakat yang oleh Undang-undang ini
diminta hadir dalam proses Penyelidikan, penyidikan, dan di
sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli.
Apabila oleh pihak yang berwenang dipanggil sebagai saksi
pelapor, saksi, atau saksi ahli dengan sengaja tidak hadir, maka
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (2)
Pada dasarnya masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh
informasi tentang penyelenggaraan negara, namun hak tersebut
tetap harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang memberikan batasan untuk
masalah-masalah tertentu dijamin kerahasiaannya, antara lain
yang dijamin oleh Undang-undang tentang Pos dan Undang-
undang tentang Perbankan.

Ayat (3)
Cukup Jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Yang dimaksud dengan “lembaga independen” dalam Pasal ini adalah
lembaga yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga negara
lainnya.

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Ayat (1)
Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa dalam ketentuan ini,
harus berjumlah ganjil. Hal ini dimaksudkan untuk dapat
mengambil keputusan dengan suara terbanyak apabila tidak
dapat dicapai pengambilan keputusan dengan musyawarah

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang dapat
dipertanggungjawabkan, anggota sub-sub komisi harus
berintegrasi tinggi, memiliki keahlian, dan professional di
bidangnya.
Dalam hal terdapat dugaan adanya Keterlibatan pihak lain
seperti keluarga, kroni, dan atau pihak lain dalam praktek
korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka bagi keluarga, kroni, dan
atau pihak lain tersebut dikenakan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Sekretariat Jenderal bertugas membantu di bidang pelayanan
administrasi untuk kelancaran pelaksanaan tugas Komisi
Pemeriksa.

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Pembentukan Komisi Pemeriksa di daerah dimaksudkan untuk
membantu tugas Komisi Pemeriksa di daerah Keanggotaan
Komisi Pemeriksa di daerah perlu terlebih dahulu mendapatkan
pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 16

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Ketentuan ayat (2) ini pada dasarnya berlaku pula bagi Komisi
Pemeriksa di daerah

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau
menegaskan perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi
Pemeriksa selaku pemeriksa harta kekayaan Penyelenggara
Negara dan fungsi Kepolisian dan kejaksanaan. Fungsi
pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Pemeriksa sebelum
seseorang diangkat selaku pejabat negara adalah bersifat
pendataan, sedangkan pemeriksaan yang dilakukan sesudah
Pejabat Negara selesai menjalankan jabatannya bersifat
evaluasi untuk menentukan ada atau tidaknya petunjuk tentang
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Yang dimaksud dengan “petunjuk” dalam Pasal ini adalah fakta-
fakta atau data yang menunjukkan adanya unsur-unsur korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Yang maksud dengan “instansi yang berwenang” adalah Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung, dan
Kepolisian.

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3851

__________________________________

You might also like