You are on page 1of 7

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI NUSATENGGARA DOSEN PENGAMPU : DIAN NUR ANA SII (SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM)

DISUSUN OLEH : RADIYATUN ADABIYAH / 11510071 RUKMANIA / RISYANTO / UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA FAKULTAS USHULUDDIN / AQIDAH FILSAFAT BAB 1 PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 2 ISI

PROSES MASUKNYA ISLAM DI LOMBOK. Menurut beberapa catatan, penyebaran agama Islam melalui Bayan dila kukan oleh Sunan Prapen, keturunan dari salah seorang Wali Songo penyebar agama Islam di Ja wayakni Sunan Giri. Namun, tak diketahui persis mengapa Bayan menjadi tujuan pertama Sunan Prapen. Satu yang mungkin bisa direka-reka yakni Sunan Prapen melakukan pelayaran dalam upaya penyebaran Islam ke wilayah timur nusantara dari Gresik lewat pantai utara Jawa. Dia tidak berlabuh ke Pulau Bali, tapi langsung ke Bayan. Dari letak geografisnya, Bayan berada di tepi pantai utara Lombok sehingga sangat mungkin Sunan Prapen melempar sauh di sini. Belakangan sunan Prepen diperkirakan barulah ke Pulau Bali setelah dari Sumbawa dan Bima. Di setiap pantai, penyebaran itu memang ada. Penyebaran dilakukan oleh pedagang-pedagang dari Arab dan Jawa. Kebanyakan datangnya dari Jawa, kata budayawan setempat, Ahmad JD, kepada Republika, tentang asal muasal penyebaran Islam di Lombok melalui pantai utara. Yang monumental adalah peninggalan kebudayaan tulis dari Jawa ini menunjukkan adanya jejak Wali dari Jawa yaitu Sunan Prapen.

Anggun Zamzani (2009) dalam penelitiannya mengenai Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok Abad XVI-XVIII menemukan bahwa agama Islam masuk ke Pulau Lombok pada abad XVI melalui misi yang dipimpin oleh Sunan Prapen, putra Sunan Giri. Mengenai bukti-bukti berkembangnya Islam di Lombok dapat dilihat dari adanya peninggalan masjid kuno yang ada di Bayan, Lombok Utara, yang disebut dengan Masjid Bayan Beleq dan masjid kuno yang ada di Pujut dan Rembitan Lombok Tengah. Selain itu, juga terdapat makam raja-raja Selaparang yang ada di Lombok Timur. Selain bukti arkeologi, Anggun juga menemukan bukti lain, yakni dalam bidang seni sastra, baik itu seni tabuh, seni suara, maupun seni tulisan. Dalam penelitian ini juga me nun jukkan bahwa agama Islam da pat ber kembang di Lombok, selain karena peranan para penyebar agama Islam seperti Sunan Prapen, juga adanya peranan dari rajaraja yang ada di Lom bok sendiri. Pada perkembang an selanjutnya, agama Islam berkembang di Lombok lebih diprakarsai oleh adanya Tuan Guru. Dari literatur yang tersedia, penyebaran agama Islam di Lombok disebutkan juga datang dari Gowa (Sulawesi Selatan) dan Bima. Memang ada dua versi mengenai masuknya penyebaran agama Islam di Pulau Lombok. Versi pertama mengatakan datang dari Jawa, sementara versi satunya lagi yakni dari Sulawesi atau Makassar, kata Dr Akhyar Fadli, dosen dan peneliti sejarah Islam di Lombok dari Institut Agama Islam Qomarul Huda, Praya, Lombok Tengah. Menurut Akhyar, penyebaran yang datang dari Jawa dibawa oleh Sunan Pengging (nama lain Sunan Prapen) sekitar abad ke-14. Pada saat itu, Sunan Prapen bersama para pengikutnya berlabuh di Labuhan Carik, dekat Bayan, Lombok Utara. Menurut sejarah yang saya temukan, Sunan Pengging memang pertama kali menginjakkan kakinya di Bayan untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Jejak yang seakan membenarkan mula penyebaran Islam di Lombok melalui Bayan adalah terbentuknya komunitas/masyarakat adat Islam wetu telu di sana. Ini adalah komunitas Islam tua yang sampai sekarang masih ada di Lombok dengan pusatnya di Bayan. Mereka menjalani Islam dengan tidak meninggalkan ritual adat leluhurnya. Selain terbentuknya komunitas wetu telu, menurut Akhyar, masjid kuno yang sampai sekarang masih berdiri di Bayan adalah bukti lain mengenai penyebaran Islam oleh Sunan Prapen melalui Bayan. Setelah menemukan lokasi yang tepat, Sunan Prapen mendirikan masjid di sana sebagai pusat syiarnya dalam mengislamkan penduduk setempat sebelum menyebar ke seluruh Lombok. Dari Bayanlah kemudian penyebaran itu menuju ke sebelah barat, tengah, serta timur. Jejaknya adalah terdapatnya komunitas wetu telu di wilayah-wilayah tersebut. Di Lombok Barat, mereka ada di Narmada dan Sekotong. Di Lombok Tengah, komunitas ini ada di Pegadang, Pujut, dan Rambitan, Sedangkan di Lombok Timur tidak begitu banyak. Tidak banyaknya komunitas wetu telu di Lombok Timur terjawab dengan versi penyebaran Islam melalui Sulawesi. Penyebaran ini dibawa oleh para pedagang dan nelayan Sulawesi Selatan melalui Labuhan Kayangan, Lombok Timur pada abad ke-14. Jejaknya adalah banyaknya komunitas nenek moyangnya

berasal dari Makassar di sepanjang pantai di Lombok Timur. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Islam Suni. Ada juga yang menyebutnya wetu lima, kata Akhyar, yang menulis buku Islam Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak pada 2008. Diperkirakan pengaruh Sunan Prapen di Lombok Timur tidak besar karena sudah ada penyebar agama Islam dari para pedagang dan nelayan Makassar tersebut. Diduga, Sunan Pra penatau pengikutnya meninggal kan la dang dakwah yang sudah dimasuki oleh para pedagang dan nelayan itu. Dalam sejumlah catatan, Sunan Pra penmemang disebutkan tidak begitu lama menetap di Lombok, dia kemudian menyerahkan tugas penyebar an Islam di pulau ini kepada dua orang kepercayaannya, Raden Sumu liya dan Raden Salut. Setelah itu Sunan Prapen menuju Pulau Sumbawa dan Bima. Namun, Akhyar punya analisis tersendiri. Ada yang bilang dia ke Sumbawa, ada juga yang bilang dia kembali ke Jawa. Setelah saya lacak yang di Pulau Sumbawa ini banyak jejak kerajaan dari Makassar. Menurut saya, Sunan Prapen langsung kembali ke Jawa, tidak berlayar ke Sumbawa ujarnya. Setelah lima abad, Lombok dan Sum bawa yang kemudian menjadi Nusa Tenggara Barat mayoritas pendu duk nya adalah Islam. Dari sekitar 4,4 juta jiwa penduduknya, sekarang ini 80 persen adalah pemeluk Islam. Sisanya adalah Hindu, Budha, dan Kristen. Tentu saja Sunan Prapen, para muridnya, serta para pedagang Arab dan Makassar perannya dalam penyebaran Islam di kedua pulau ini tidak bisa di abaikan. Penyebaran melalui dakwah Sebelum Islam masuk ke Lombok (juga Sumbawa), masyarakatnya adalah penganut kepercayaan pada animisme, dinamisme, dan Hindu. Masuknya agama Hindu di Lombok diyakini merupakan jejak dari kehadiran imperium Majapahit di pulau ini pada pertengahan abad ke-14. Mengenai masuknya Islam di Lombok, beberapa catatan yang mengutip Babad Lombok menyebutkan, proses penyebaran agama Islam ini adalah usaha keras dari Raden Paku atau Sunan Giri dari Gresik yang memerintahkan raja-raja di Jawa Timur untuk menyebarkan Islam keseluruh Nusantara Sampailah kemudian Sunan Prapen di Lombok dalam misi penyebaran agama Islam. Ia dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut. Dengan kekuatan senjata disebutkan, Sunan Prapen mampu menaklukkan beberapa kerajaan yang merupakan warisan Majapahit lalu mengislamkan Masyarakat Namun, menurut Dr Akhyar Fadli, dosen dan peneliti sejarah Islam di Lombok dari Institut Agama Islam Qomarul Huda, Praya, Lombok Tengah, penyebaran Islam oleh Sunan Prapen melalui dakwah bukan penaklukkan dengan kekuatan senjata. gYa seperti yang dilakukan oleh Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di Jawa. Itu yang saya ketahui dari kajian-kajian saya selama ini, katanya.

MASUKNYA AGAMA ISLAM DI TANAH DOMPU (DANA DOMPU) Karo`a Pidu (Qiroah Sabah) ; Awal Mula Penyebaran Islam di Dompu Sejarah di Dana Dompu (NTB, Indonesia) mencatat, ketika Syekh Nurdin seorang ulama terkemuka

keturunan Arab Magribi menginjakkan kakinya di Bumi Dompu sekitar 1528 untuk menyebarkan Islam sambil berdagang, saat itu Dompu di bawah Pemerintahan Raja Bumi Luma Nae yang bergelar Dewa Mawaa Taho (kala itu Dompu belum mengenal Islam/masih menganut ajaran Hindu) sebab saat itu Kerajaan Dompu masih di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit (Raja Hayam Wuruk) dengan Mahapatih Sang Gajah Mada Amurwa Bumi. Kehadiran syekh Nurdin di Kerajaan Dompu tampaknya mendapat simpatik dari rakyat Dompu terutama Raja Dompu saat itu. Bahkan lambat laun ajaran Islam yang dibawa oleh Syekh Nurdin dengan cepat dapat diterima oleh rakyat Kerajaan Dompu termasuk dari kalangan Istana (bangsawan). Konon cerita, salah seorang putri dari keluarga Kerajaan Dompu tertarik terhadap ajaran Islam yang dibawa oleh Syekh Nurdin. Sang Putripun akhirnya belajar dan memeluk Islam di hadapan syekh Nurdin. Sang Putripun akhirnya belajar dan memeluk Islam dihadapan Syekh Nurdin. Bukan itu saja, Sang Putri Raja itupun akhirnya menaruh hati dan menikah dengan Sang Ulama. Putri Raja yang tidak diketahui nama aslinya itupun akhirnya mengganti namanya setelah menikah dengan Syekh Nurdin dengan Islam yakni ST. Hadijah. Dari pernikahan dengan Syekh Nurdin tersebut ia dikaruniai 3 orang anak, 2 putra dan 1 putri. Masing-masing bernama Syekh Abdul Salam, Syekh Abdullah dan Joharmani. Pada saat Syekh Nurdin dan keluarganya berangkat ibadah haji ke tanah suci Makkah untuk memperdalam ilmu agama Islam, Syekh Nurdin dan salah seorang putranya yakni Syekh Abdullah, tidak kembali ke Dompu karena meninggal di Makkah . Hanya Syekh Abdul Salam dan ibundanya ST. Hadijah serta adik perempuannya, Joharmani, yang kembali ke Dompu. Isteri Syekh Nurdin dan kedua anaknya yang sudah menyandang gelar Haji akhirnya pulang ke Dompu dengan membawa oleh-oleh berupa kitab suci Al Quran sebanyak 7 buah (di Dompu dikenal dengan istilah Karoa Pidu). Konon ketujuh buah kitab suci Al Quran yang dibawa dari Makkah oleh keluarga Syekh Nurdin tersebut saat ini masih tersimpan dengan baik di asi mpasa (istana lama) uma siwe (rumah perempuan), Hj. ST Khodijah ( istri Almarhum Sultan Muhammad Tajul Arifin Sirajuddin sultan Dompu terakhir. Islam menjadi agama resmi Kerajaan Dompu ketika putra pertama Raja Dompu yakni La Bata Nae naik tahta menggantikan Ayahandanya. Untuk memperdalam agama Islam, La Bata Nae pergi meninggalkan Dompu untuk menimba Ilmu di Kerajaan Bima, Kerajaan Gowa Makassar bahkan sampai ke tanah Jawa. Setelah menguasai berbagai macam ilmu agama Islam, La Bata Nae akhirnya kembali ke Kerajaan Dompu untuk meneruskan memimpin pemerintahan warisan ayahandanya, Raja Dompu, Bumi Luwu Nae. Pada tahun 1545, La Bata Nae resmi naik tahta. La Bata Nae selanjutnya mengubah sistim pemerintahaan di Dompu dari Kerajaan menjadi Kesultanan dan bergelar Sultan Syamsuddin. La Bata Nae atau Sultan Syamsuddin merupakan sultan Dompu pertama sekaligus salah satu sultan Dompu yang pertama kali memeluk Islam. Selanjutnya agama Islam saat itu resmi menjadi Agama di wilayah Kesultanan Dompu. Untuk mendampinginya dalam memerintah di Kesultanan Dompu, Sultan Syamsuddin akhirnya menikah dengan Joharmani saudara kandung Syekh Abdul Salam pada tahun 1545. Syeh Abdul Salam diangkat oleh Sultan Syamsuddin sebagai Ulama di Istana Kesultanan Dompu. Makam Syekh Abdul Salam terletak di Kampung Raba Laju Kelurahan Potu, kecamatan Dompu. Makam keramat tersebut saat ini oleh pemerintah telah dijadikan salah satu situs purbakala. Bahkan untuk mengenang nama Syekh Abdul Salam, di dekat makam Syekh Abdul Salam terdapat pemakaman umum yang dinamakan oleh warga Dompu Rade Sala (Kuburan Abdul Salam).

Sekitar tahun 1585, datanglah beberapa saudagar/pedagang sekaligus ulama Islam yakni Syekh Hasanuddin dari Sumatera, Syekh Abdullah dari Makassar dan Syekh Umar Al Bantani dari Madiun Jawa Timur. Selanjutnya mereka menetap di Dompu untuk membawa Syiar Islam. Kedatangan 3 Ulama dari negeri seberang tersebut rupanya mendapat simpatik yang baik dari sultan Dompu dan masyarakat di wilayah kesultanan Dompu. Untuk membuktikan rasa simpatik dan hormatnya terhadap ketiga orang ulama tersebut, Syekh Hasanuddin akhirnya mendapat kehormatan dari Sultan Syamsuddin untuk menduduki salah satu jabatan sebagai qadi (jabatan setingkat menteri agama di kesultanan) bergelar Waru Kali. Kemudian Syekh Umar Al Bantani dan Syekh Abdulah dipercaya Sultan Syamsuddin sebagai Imam Masjid di Kesultanan Dompu. Syekh Hasanuddin wafat dan dimakamkan di Kandai I. Oleh masyarakat Dompu lokasi atau komplek pemakaman tersebut kini dikenal dengan sebutan Makam Waru Kali. Pada masa pemerintahaan Bupati Dompu H.Abubakar Ahmad, SH (2000-2005) Waru Kali ditetapkan sebagai salah satu situs purbakala yang bernilai sejarah tinggi. Hal ini dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim arkeologi dan purbakala pimpinan Dr. Haris Sukandar dan Dra. Ayu Kusumawati. Tim menyimpulkan bahwa lokasi Waru kali merupakan peninggalan bersejarah tinggi di Dompu ribuan tahun lalu. Situs Waru Kali berdekatan dengan komplek situs Doro Bata di Kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu. Menurut cerita di Dana Dompu, Syekh Umar Al Bantani dan Syekh Abdullah membangun sebuah tempat ibadah (masjid/mushola) yang berukuran sekitar 4 x 4 meter, tepatnya di dekat perkampungan yang diberi nama Karijawa. Masjid tersebut konon merupakan satu-satunya Masjid Kesultanan Dompu. Menurut riwayat, bekas tempat bangunan Masjid yang dibangun oleh dua orang ulama terkenal itu kini tempatnya sudah berubah fungsi menjadi komplek kantor Kelurahan Karijawa. Sedangkan Masjid Agung Baiturahman Dompu, dahulu merupakan lokasi Istana Kesultanan Dompu. SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI BIMA (DANA MBOJO). Keadaan alam Bima memang sangat strategis bagi perkembangan politik agama dan perdagangan. Wilayah bagian utara berbatasan langsung dengan laut flores , sebagai urat nadi perniagaan Nusantara sejak abad 14 M. Terletak di tengah rangkaian kepulauan nusantara dan memiliki pelabuhan alam yang terlindung dari serangan gelombang dan angin musim barat. Hasil alamnya cukup beragam dan menjadi bahan ekspor yang sangat laris pada zamannya. Inilah yang merupakan salah satu sebab bima bisa tampil sebagai negara maritim tersohor sejak abad 15 sampai pertengahan abad 20 M. Sebagai negara maritim yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir dari berbagai penjuru negeri, seharusnya Bima lebih awal menerima pengaruh islam. Mengingat abad X M, saudagar-saudagar Islam Arab sudah banyak yang berkunjung ke Maluku (Ternate dan Tidore ) untuk membeli rempahrempah. Tetapi dalam kenyataanya, berdasarkan berbagai sumber tertulis yang untuk sementara dapat dijadikan pegangan, masyarakat pesisir Bima baru mengenal islam sekitar pertengahan abad XVI M, yang dibawa oleh para Mubaliq dan pedagang dari kesultanan Demak, kemudian dilanjutkan oleh mubaliq dan pedagang kesultanan Ternate, pada akhir abad XVI M. Menurut Sejarahwan M. Hilir Ismail, tahun 1540 M merupakan tonggak awal kedatangan Islam di tanah Bima. Proses islamisasi itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu periode kedatangan Islam tahun 1540 1621, periode pertumbuhan islam tahun 1621-1640 M, dan periode kejayaan islam pada tahun 1640 1950 M. pada tahap awal sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan, ajaran Islam sudah masuk di wilayah-wilayah pesisir Bima.

Berdasarkan kajian dan penelitian itulah, ditetapkanl dua tahap masuknya islam di tanah Bima. Hal itu didasarkan pada keterangan dari catatan lokal yang dimiliki, ternyata tahap awal kedatangan Islam di Dana Mbojo, peranan Demak dan Ternate sangat besar. Para mubaliq dan pedagang dari dua negeri tersebut silih berganti menyiarkan Islam di Dana Mbojo. Selain itu para pedagang Bima pun memiliki andil dalam penyiaran Islam tahap awal. Secara kronologis kedatangan Islam di Bima yaitu tahap pertama dari Demak dan kedua dari Ternate. Pada abad ke-16 M, Bima sudah menjadi salah satu pusat perdagangan yang ramai di wilayah bagian timur Nusantara. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M, pada masa itu pelabuhan Bima ramai dikunjungi oleh para pedagang Nusantara dan para pedagang Bima berlayar menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah di setiap pelabuhan di Nusantara. Pada saat inilah kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima selain berdagang juga untuk menyiarkan agama Islam. Keterangan Tome Pires juga diperkuat Panambo Lombok, DR. E Urtrech, SH mengatakan bahwa pengislaman di pulau Lombok terjadi pada masa pemerintahan sunan prapen putera Sunan Giri yang pernah menundukkan Sumbawa dan Bima. Saya sepakat dengan M. Hilir bahwa kata Menundukkan dalam keterangan Panambo Lombok itu tidaklah tepat, karena proses islamisasi di tanah air secara umum tidak dilakukan dengan jalan kekerasan melainkan dengan misi damai, dakwah dan perdagangan serta perkawinan silang. Kata menundukkan itu sebenanrnya lebih mengarah pada kesadaran masyarakat untuk memeluk Islam. Disamping itu, jika terjadi penundukkan berarti raja Bima saat itu sudah memeluk Islam dan diikuti oleh rakyatnya. Tapi pada kenyataannya Islam baru secara resmi menjadi agama kerajaan pada tahun 1640 M. Tahap kedua, Islam masuk di Bima melalui Ternate. Dari catatan Raja-Raja Ternate, dapat diketahui betapa gigihnya sultan Ternate bersama rakyatnya, dalam menegakkan nur islam di wilayah timur nusantara. Pada masa sultan Khairun, sultan Ternate ketiga (1536-1570), telah dibentuk aliansi AcehDemak-Ternate. Dan juga telah dibentuk lembaga kerjasama Al Maru Lokatul Molukiyah yang diperluas istilahnya menjadi Khalifah Imperium Nusantara. Aliansi ini dibentuk untuk meningkatkan kerja sama antara tiga negara islam itu dalam penyebaran pengaruh Islam di wilayah Nusantara. Pada masa sultan Baabullah(tahun 1570-1583), usaha penyiaran Islam semakin ditingkatkan dan pada masa inilah, para Mubaliq dan pedagang Ternate meningkatkan kegiatan dakwah di Bima. Hal itu terus berlanjut sesuai keterangan BO Istana, bahwa para Mubaliq dari Sulawesi Selatan yang dikirim oleh Sultan Alauddin Gowa tiba di Sape pada tanggal 11 Jumadil Awal 1028 H bertepatan dengan tanggal 16 April 1618, tiga belas tahun setelah Raja Gowa dan Tallo memeluk Agama Islam, bahkan lima belas tahun setelah Raja Luwu memeluk Agama Islam. Para mubaliq dari Tallo, Luwu, dan Bone tiba di Bima pada saat situasi politik dan keamanan sangat tidak menguntungkan. Pada saat itu sedang terjadi konflik politik yang berkepanjangan, akibat tindakan dari Salisi salah seorang putera Raja Ma Waa Ndapa, yang berambisi untuk menjadi raja. Intrik dan rekayasa politik dijalankan oleh Salisi. Ia membunuh keponakannya yaitu putera Raja Samara yang telah dilantik menjadi Putera Mahkota. Keponakannya itu dibakar hidup-hidup di padang rumput Wera, yang merupakan areal perburuan bagi raja dan keluarga Istana. Sehingga putera Mahkota itu dikenal dengan nama Ruma Mambora Di Mpori Wera. (Tuanku yang wafat di padang rumput Wera). Suasana seperti itu tidaklah menyurutkan tekad dan semangat para mubaliq untuk menyiarkan islam di Bima. Mereka terus berupaya untuk menemui Putera Mahkota La KaI dalam pelariannya di dusun

Kamina. Sebuah dusun di hutan belantara yang berada di puncak gunung La Mbitu di sebelah tenggara Bima. Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H bertepatan dengan tanggal 7 Pebruari 1621 M, Putera Mahkota La KaI bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan para mubaliq sebagai gurunya di Sape. Sejak itu, putera mahkota La KaI berganti nama menjadi Abdul Kahir. Pengikut La KaI Bumi Jara Mbojo bernganti nama menjadi Awaluddin, Manuru Bata putera Raja Dompu Ma Waa Tonggo Dese berganti nama menjadi Sirajuddin. Pada tanggal 5 Juli 1640 M, Putera Mahkota Abdul Kahir dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama setelah melewati perjuangan panjang merebut tahta kerajaan dari pamannya salisi. Hal itu yang menandai beralihnya sistim pemerintahan dari kerajaan kepada kesultanan. Sejak saat itu, Islam bersinar terang di Bumi Bima dan masa masa selanjutnya menjadi kesultanan tersohor di Nusantara Timur.(Sumber : Kebangkitan Islam Di Dana Mbojo M. Hilir Ismail, Upacara Adat Hanta UA PUA Alan Malingi).

BAB 3 KESIMPULAN

You might also like