You are on page 1of 10

MAKALAH HUKUM JUAL BELI DALAM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Jual beli dalam fiqih Islam terkadang dilakukan dengan pembayaran kontan dari tangan ke tangan, dan terkadang dengan pembayaran dan penyerahan barang tertunda. Terkadang salah satu keduanya kontan dan yang lainnya tertunda. Pembayaran tertunda itu sendiri terkadang dibayar belakangan dengan sekali bayar sekaligus. Terkadang di-bayar dengan cicilan, yakni dibayar dengan jumlah tertentu pada waktu-waktu tertentu. Itu disebut jual beli baitaqsit atau kredit.[1]

Semakin bertumbuhnya penduduk dan kebutuhan yang semakin meningkat memaksa orang untuk melakukan jual beli dengan cara kredit. Salah satua alasana adalah kurangnya dana kontan untuk membeli atau dialokasikan untuk kebutuhan lain Makalah kali ini lebih mendalami tentang hokum kredit pembelian barang. B. Rumusan masalah 1. Apa pengertian jual beli dalam islam? 2. Apa pengertian kredit ? 3. Bagaimana hukum kredit dalam islam?

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Kredit

Jual Beli Kredit dalam bahasa Arabnya disebut bai taqsith yang pengertiannya menurut istilah syariah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan

cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. Gambaran umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang (x) dengan harga yang sudah dipastikan nilainya (y) dengan masa pembayaran (pelunasan) (z) bulan. Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian. Perbedaan harga cicilan dari harga kontan, bukan termasuk riba. Itu merupakan keuntungan dalam jual beli barang sebagai kompensasi tertahannya hak penjual dalam jangka waktu tertentu.[2] Aplikasi bai taqsith dapat mendatangkan kemudahan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, karena banyak orang tidak mampu menyerahkan harga secara menyeluruh. Tetapi dengan cicilan, ia bisa memanfaatkan dan memiliki barang yang dibutuhkan

Hukum jual beli kredit

1. Jual beli kredit diharamkan

Contoh : Ali menawarkan sepeda motor kepada Iwan dengan harga Rp. 12 juta. Iwan membayar dengan cicilan dengan ketentuan bahwa setiap bulan dia terkena bunga 2 % dari Rp. 12 juta atau dari sisa uang yang belum dibayarkan..Transaksi seperti ini termasuk dalam riba nasiah , karena kedua belah pihak tidak menyepakati harga dengan pasti, tetapi harganya tergantung dengan besar bunga atau presentase dan masa cicilan. Yang seperti ini jelas haram.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda. (QS. Ali Imron: 130)[3]

Hukum Bunga menurut fatwa MUI:

a.

Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasiah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.

b.

Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.[4] 2. Jual beli kredit diperbolehkan Contoh : Ahmad menawarkan sepeda motor pada Budi dengan harga Rp. 12 juta. Karena Budi tidak punya uang tunai Rp.12 juta, maka dia minta pembayaran dicicil (kredit). Untuk itu Ahmad minta harganya menjadi Rp. 18 juta yang harus dilunasi dalam waktu 3 tahun. Harga Rp. 18 juta tidak berdasarkan bunga yang ditetapkan sekian persen, tetapi merupakan kesepakatan harga sejak awal. Transaksi seperti ini dibolehkan dalam Islam.

a.

Dalil-dalil yang memperbolehkan jual beli dengan pembayaran tertunda. Firman Allah Ta'ala Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah (berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya (QS. Al Baqarah: 282).[5]

Hadits Rasulullah Dari Aisyah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah rnembeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tertunda. Beliau memberikan baju besi beliau kepada orang tersebut sebagai gadai (HR. Bukhari 2068, Muslim 1603).[6]

Hadits ini tegas bahwa Rasululah mendapatkan barang kontan namun pembayarannya tertunda.

b.

Dalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya memberikan tambahan harga karena penundaan pembayaran atau karena penyicilan.

a.

Firman Allah Ta'ala Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling mernakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu (Q.S. An Nisa': 29).[7] Keumuman ayat ini mencakup jual beli kontan dan kredit, maka selagi jual beli kredit dilakukan dengan suka sama suka maka masuk dalam apa yang diperbolehkan dalam ayat ini.

b. Hadits Rasulullah Dari Abdullah bin Abbas berkata, Rasulullah datang ke kota Madinah, dan saat itu penduduk Madinah melakukan jual beli buah-buahan dengan cara salam dalam jangka satu atau dua tahun, maka beliau bersabda,

"Barangsiapa yang jual beli salam maka hendaklah dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas" (HR. Bukhari 2241, Muslim 1604).[8]

Pengambilan dalil dari hadits ini, bahwa Rasulullah membolehkan jual beli salam asalkan takaran dan timbangan serta waktu pembayarannya jelas, padahal biasanya dalam jual beli salam uang untuk membeli itu lebih sedikit daripada kalau beli langsung ada

barangnya. Maka begitu pula dengan jual beli kredit yang merupakan kebalikannya yaitu barang dahulu dan uang belakangan meskipun lebih banyak dari harga kontan..

c.

Dalil Ijma. Sebagian Ulama mengklaim bahwa dibolehkannya jual beli dengan kredit dengan perbedaan harga adalah kesepakatan para ulama.

d. Dalil qiyas Sebagaimana yang telah lewat bahwasannya jual beli kredit ini diqiaskan dengan jual beli salam yang dengan tegas diperbolehkan Rosulullah, karena ada persamaan, yaitu samasama tertunda. hanya saja jual beli salam barangnya yang tertunda, sedangkan kredit uangnya yang tertunda. Juga dalam jual beli salam tidak sama dengan harga kontan seperti kredit juga hanya bedanya salam lebih murah sedangkan kredit lebih mahal.

e.

Dalil Maslahat Jual beli kedit ini mengandung maslahat baik bagi penjual maupun bagi pembeli. Karena pembeli bisa mengambil keuntungan dengan ringannya pembayaran karena bisa diangsur dalam jangka waktu tertentu dan penjual bisa mengambil keuntungan dengan naiknya harga, dan ini tidak bertentangan dengan tujuan syariat yang memang didasarkan pada kemaslahatan umat. Berkata Syaikh Bin Baz disela-sela jawaban beliau mengenai jual beli kredit,; "Karena seorang pedagang yang menjual barangnya secara berjangka pembayarannya setuju dengan cara tersebut sebab ia akan mendapatkan tambahan harga dengan penundaan tersebut. Sementara pembeli senang karena pembayarannya diperlambat dan karena ia tidak

mampu mambayar kontan, sehingga keduanya mendapatkan keuntungan." (Ahkamul Ba'i, Syaikh Jarulloh, hal. 58).

BAB III PENUTUP

Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa jual beli merupakan pertukaran antara penjual dan pembeli baik berupa barang ke uang, ataupun barang ke barang. Jual beli kredit termasuk dalam jual beli umum yaitu menukar uang dengan barang, dan jual beli dengan pembayaran secara tertunda dan dalam bentuk cicilan dalam waktuwaktu yang ditentukan.. Jual beli kredit merupakan kebalikan dari jual beli salam, dimana salam adalah uang dimuka barang tertunda, sedangkan kredit barang dimuka uang tertunda.

Dan penambahan harga pembayaran barang karena tertunda diperbolehkan dengan alasan suka sama suka dan saling menguntungkan serta mengandung maslahat bagi penjual dan pembeli. Pembeli bisa mengambil keuntungan dengan ringannya pembayaran karena bisa diangsur dalam jangka waktu tertentu dan penjual bisa mengambil keuntungan dengan naiknya harga.

JUAL BEL I DAN HUKUM-HUKUMNYA Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Penjualan merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan bahkan secara umum adalah bagian yang terpenting dalam aktivitas usaha. Kalau asal dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya di antara bentuk jual beli ada juga yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu, menjadi satu kewajiban bagi seorang usahawan muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram dari kegiatan itu, sehingga ia betul-betul mengerti perso-alan. Dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan masalah jual beli. Mari kita mengikuti pembahasan berikut ini:

DEFINISI JUAL-BELI Jual beli secara etimologis artinya: Menukar harta dengan harta.(1) Secara terminologis artinya: Transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Sengaja diberi pengecualian "fasilitas" dan "kenikmatan", agar tidak termasuk di dalamnya pe-nyewaan dan menikah. (1) Jual beli adalah dua kata yang saling berlawanan Martina, namun masing-masing sering digunakan untuk arti kata yang lain secara bergantian. Oleh sebab itu, masing-masing dalam akad transaksi disebut sebagai pembeli dan penjual. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Dua orang yang berjual beli memiliki hak untuk menentukan pilihan, sebelum mereka berpindah dari lokasi jual beli." Akan tetapi bila disebutkan secara umum, yang terbetik dalam hak adalah bahwa kata penjual diperuntukkan kepada orang yang mengeluarkan barang dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan bayaran. Penjual adalah yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah orang yang menjadikan barang itu miliknya dengan kompensasi pembayaran.

DISYARIATKANNYA JUAL-BELI Jual beli disyariatkan berdasarkan konsensus kaum mus-limin. Karena kehidupan umat menusia tidak bisa tegak tanpa adanya jual beli. Allah berfirman: "Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba.." (Al-Baqarah: 275). KLASIFIKASI JUAL BELI Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbedabeda. Kami akan menyebutkan sebagian di antara pembagian tersebut: 1. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Objek Dagangan Ditinjau dari sisi ini jual beli dibagi menjadi tiga jenis: Pertama: Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Kedua: Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yakni penukaran uang dengan uang. Ketiga: Jual beli muqayadhah atau barter. Yakni menukar barang dengan barang. 2. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga a) Jual beli Bargainal (Tawar-menawar). Yakni jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya. b). Jual beli amanah. Yakni jual beli di mana penjual mem-beritahukan harga modal jualannya. Dengan dasar jual beli ini, jenis jual beli tersebut terbagi lain menjadi tiga jenis lain: * Jual beli murabahah. Yakni jual beli dengan modal dan ke-untungan yang diketahui. * Jual beli wadhi"ah. yakni jual dengan harga di bawah modal dan jumlah kerugian yang diketahui.

* Jual beli tauliyah. Yakni jual beli dengan menjual barang dalam harga modal, tanpa keuntungan dan kerugian. Sebagian ahli fiqih menambahkan lagi jenis jual beli yaitu jual beli isyrak dan mustarsal. Isyrak adalah menjual sebagian barang dengan sebagian uang bayaran. Sedang jual beli mustarsal adalah jual beli dengan harga pasar. Mustarsil adalah orang lugu yang tidak mengerti harga dan tawar menawar. c) Jual beli muzayadah (lelang). Yakni jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut. Kebalikannya disebut dengan jual beli munaqadhah (obral). Yakni si pembeli menawarkan diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalu para penjual berlomba menawarkan dagang-annya, kemudian si pembeli akan membeli dengan harga ter-murah yang mereka tawarkan. 3. Pembagian Jual Beli Dilihat dari Cara Pembayaran Ditinjau dari sisi ini, jual beli terbagi menjadi empat bagian: * Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung. * Jual beli dengan pembayaran tertunda. * Jual beli dengan penyerahan barang tertunda. * Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda. SYARAT-SYARAT SAH JUAL BELI Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek yang diperjual-belikan. Pertama: Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas itu, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Tidak sah transaksi yang dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa. Kedua: Yang berkaitan dengan objek jual belinya, yakni sebagai berikut: a. Objek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, bisa dise-rahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak. Tidak sah menjualbelikan barang najis atau barang haram seperti darah, bangkai dan daging babi. Karena benda-benda ter-sebut menurut syariat tidak dapat digunakan. Di antara bangkai tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan belalang. Dari jenis darah juga tidak ada yang

dikecualikan selain hati (lever) dan limpa, karena ada dalil yang mengindikasikan demikian. Juga tidak sah menjual barang yang belum menjadi hak milik, karena ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap itu. Tidak ada pengecualian, melainkan dalam jual beli asSalm. Yakni sejenis jual beli dengan menjual barang yang digambarkan kri-terianya secara jelas dalam kepemilikan, dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih dahulu tetapi barang diserahterimakan bela-kangan. Karena ada dalil yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini. Tidak sah juga menjual barang yang tidak ada atau yang ber-ada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya seperti menjual Malaqih, Madhamin atau menjual ikan yang masih dalam air, burung yang masih terbang di udara dan sejenisnya. Malaqih adalah anak yang masih dalam tulang sulbi pejantan. Sementara madhamin adalah anak yang masih dalam tulang dada hewan be-tina. Adapun jual beli fudhuliy yakni orang yang bukan pemilik barang juga bukan orang yang diberi kuasa, menjual barang milik orang lain, padahal tidak ada pemberian surat kuasa dari pemilik barang. Ada perbedaan pendapat tentang jual beli jenis ini. Na-mun yang benar adalah tergantung izin dari pemilik barang. b. Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pemba-yarannya, agar tidak terkena faktor "ketidaktahuan" yang bisa termasuk "menjual kucing dalam karung", karena itu dilarang. c. Tidak memberikan batasan waktu. Tidak sah menjual barang untuk jangka masa tertentu yang diketahui atau tidak di-ketahui. Seperti orang yang menjual rumahnya kepada orang lain dengan syarat apabila sudah dibayar, maka jual beli itu dibatalkan. Itu disebut dengan "jual beli pelunasan".

[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. raja Grafindo, 2008.

[2]

Abdullah

Al-Musih

dan

Shalah

ash-Shawi,

Fikih

Ekonomi

Keuangan

Islam Jakarta: . Darul haq. 2004

[3]

QS. Surah Al-Imran: 130

[4] Keputusan fatwa MUI Nomor 1 tahun 2004 tentang bunga

[5] [6] [7] [8]

QS. Al_Baqarah : 282 HR. Bukhari 2068, Muslim 1603 QS. An Nisa : 29 HR. Bukhari 2241, Muslim 1604

You might also like