You are on page 1of 7

Latar Belakang

Kampung Tugu, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Merupakan daerah wisata pesisir yang layak direkomendasikan. Orisinalitas yang masih dipertahankan, membuat kawasan ini cocok disebut museum hidup. Lingkungan, suasana kampung, kesenian tradisional, ritual, rumah, hingga aktivitas industri rumahan di Kampung Tugu memang terlihat asli. Pemukiman ini merupakan peninggalan sejarah Kota Batavia. Di era Pemerintahan Belanda, Kampung Tugu dihuni tawanan Portugis yang telah dibebaskan penguasa Belanda. Ratarata, mereka ini beragama Katholik dan bahasa Portugis sebagai bahasa sehari-hari. VOC kemudian memindahkan sekitar 22 kepala keluarga mantan tawanan itu ke sebuah kampung yang berjarak sekitar 20 kilometer sebelah tenggara Batavia pada tahun 1661 M. Kampung inilah yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Tugu. Sejak itu, sekitar 150 orang Portugis menetap di Kampung Tugu dan bersosialiasi dengan suku lain. Mereka dijuluki Mardjiker alias kaum yang dimerdekakan. Berkunjung ke kampung Tugu seperti menghantarkan kita ke masa lampau. Ada beberapa versi tentang asal-usul nama Kampung Tugu. Sejarawan Belanda, De Graff, menyebut asal muasal kata 'Tugu' berasal dari penggalan kata Portugis, yaitu Por-tugu-ese, sebutan untuk orang Portugis yang menempati kampung Tugu. Tradisi bangsa Portugis sangat melekat di kawasan Kampung Tugu. Masyarakat Tugu, boleh dibilang memiliki tradisi yang kuat dan unik dalam mempertahankan seni budaya warisan nenek moyangnya. Buktinya, meski telah hidup secara turun temurun selama ratusan tahun di Koja namun mereka tidak pernah meninggalkan kebudayaan asli nenek moyangnya, termasuk dalam mempertahankan seni musik keroncong Tugu. Saat ini, musik keroncong merupakan bagian dari salah satu kesenian dan budaya asli milik Bangsa Indonesia, yang diadopsi dari kebudayaan bangsa Portugis hingga menjadi beberapa genre musik keroncong. Musik keroncong masuk ke Indonesia sekitar abad ke-16 yang dibawa oleh para seniman Portugis. Pada zaman penjajahan Belanda, keroncong sangat digemari dan menjadi primadona. Hingga akhirnya, musik dari Kampung Tugu ini menghipnotis para Noni Belanda. Keroncong Tugu juga diberikan penghormatan untuk mengisi acara-acara pesta bangsa Belanda pada saat itu. Bahkan sebuah Gereja pertama di Kampung Tugu yang dibangun tahun 1678, selalu diiringi musik keroncong dalam setiap acara ritual Gereja. Dan ritual tersebut tetap berlangsung hingga saat ini. Musik keroncong digemari oleh masyarakat Tugu di Jakarta

Utara. Jenis musik inilah yang menjadi cikal bakal keroncong asli Betawi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Keroncong Tugu. Di tengah para pemukim Tugu, keroncong memang menemukan bentuk yang khas, dibandingkan dengan keroncong Jawa dari segi tempo keroncong Tugu lebih cepat dan dinyanyikan lebih bersemangat. Di tengah derasnya arus belantika industri musik Indonesia, dan munculnya genre musik yang sesuai selera pasar masyarakat modern seperti musik melayu yang mendayu-dayu serta musik pop Indonesia yang mendapat pengaruh kuat dari K-pop (Korean Pop) namun keroncong Tugu masih terlihat batang hidungnya. Walaupun gaung musik keroncong Tugu kini tak senyaring dahulu pada masa jayanya, namun musik keroncong masih memiliki ruang di hati dan telinga para penggemarnya dengan tetap memainkan dan menikmatinya. Saat ini tak banyak generasi muda yang menekuni kesenian musik keroncong, bahkan boleh dibilang lagu keroncong kalah bersaing dengan musik-musik modern. Namun hal itu tidak berlaku di daerah Kampung Tugu. Sebab hingga saat ini, masyarakat setempat, utamanya yang keturunan Portugis, masih sangat kental dan mencintai musik keroncong, baik yang berusia tua maupun anak-anak muda atau remaja. Di Kampung Tugu, keroncong merupakan kesenian yang wajib dimainkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Utamanya mereka yang masih memiliki darah keturunan Portugis. Mereka selalu menjaga kesenian asli nenek moyangnya agar tetap eksis dan tidak punah. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism (Determinisme Kebudayaan) . Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, tergambarkan sebuah fenomena kehidupan sosial sekelompok masyarakat minoritas yang mencoba mempertahankan eksistensi budaya musik keroncong yang dimilikinya di tengah kehidupan modernisasi masyarakat urban. Atas dasar itulah peneliti ingin mengkaji lebih mendalam tentang proses pewarisan budaya (cultural heritage) keroncong Tugu dengan kacamata sosiologis dan kebudayaan.

A. Rumusan Masalah
Bagaimana proses terjadinya pewarisan budaya yang dilakukan oleh masyarakat kampung Tugu dalam menjaga eksistensi musik keroncong Tugu masa kini ?

B. Tujuan Penelitian
Mengetahui proses terjadinya pewarisan budaya yang dilakukan oleh masyarakat kampung Tugu dalam menjaga eksistensi musik keroncong Tugu masa kini.

C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat praktis (untuk masyarakat) 2. Manfaat ilmiah (untuk dosen dan mahasiswa)

D. Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori orientasi nilai budaya oleh Clyde Kluckhohn. Kebudayaan sebagai karya manusia memiliki sistem nilai. Menurut C.Kluckhohn dalam karyanya Variations in Value Orientation (1961) sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di seluruh dunia, secara universal menyangkut 5 masalah pokok dalam kehidupan manusia, yaitu : 1. Hakekat hidup manusia Hakekat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstern, ada yang berusaha untuk memadamkan hidup, ada pula yang dengan pola-pola kelakuan tertentu menggangap hidup sebagai suatu hal yang baik, mengisi hidup. 2. Hakekat karya manusia

Setiap kebudayaan hakekatnya berbeda-beda, diantaranya ada yang beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau kehormatan,karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.
3. Hakekat waktu manusia Hakekat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda, ada yang berpandangan mementingkan orientasi masa lampau, ada pula yang berpadangan untuk masa kini atau masa yang akan datang. 4. Hakekat alam manusia Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi alam atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin , ada pula kebudayaan yang beranggapan manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam. 5. Hakekat hubungan manusia Dalam hal ini ada yang mementingkan hubungan manusia dengan manusia, baik secara horizontal (sesamanya) maupun secara vertikal (orientasi kepada tokoh tokoh). Ada pula yang berpandangan individualistis (menilai tinggi kekuataan sendiri) .

E. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif etnografi. Penelitian etnografi merupakan studi yang sangat mendalam tentang perilaku yang terjadi secara alami di sebuah budaya atau sebuah kelompok sosial tertentu untuk memahami sebuah budaya tertentu dari sisi pandang pelakunya. Para ahli menyebutnya sebagai penelitian lapangan, karena memang dilaksanakan di

lapangan dalam latar alami. Peneliti mengamati perilaku seseorang atau kelompok sebagaimana apa adanya. Data diperoleh dari observasi sangat mendalam (observasi partisipatoris) sehingga memerlukan waktu berlama-lama di lapangan, wawancara dengan anggota kelompok budaya secara mendalam (indepth interview), mempelajari dokumen atau artifak secara jeli. Tidak seperti jenis penelitian kualitatif yang lain dimana lazimnya data dianalisis setelah selesai pengumpulan data di lapangan, data penelitian etnografi dianalisis di lapangan sesuai konteks atau situasi yang terjadi pada saat data dikumpulkan. Penelitian etnografi bersifat antropologis karena akar-akar metodologinya dari antropologi.

Proposal Penelitian Geliat Eksistensi Musik Keroncong Tugu


Penelitian Mengenai Pewarisan Budaya Musik Keroncong Masa Kini pada Masyarakat Kampung Tugu
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Perencanaan Penelitian Dosen Pengampu : Dr.Partini, SU dan Drs. Raharjo, M.Sc

Disusun oleh : Halim Perdana Kusuma (10/299671/SP/24189)

SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2012

You might also like