You are on page 1of 4

Kekuasaan Tradisional dan Kekuasaan Modern Nama: Heriyanto NIM: 10407141006 Ilmu Sejarah A.

Kekuasaan Tradisional Dalam negara kuno (tradisional), di mana kesatuan-kesatuan sosial berupa negara, dengan penduduk yang tidak lagi hanya terdiri dari beberapa ratus orang sebagaimana dalam masyarakat sedang melainkan beribu-ribu bahkan berpuluh ribu orang, dan dapat memberikan suatu rasa identitas kepada mereka. Dalam negara kuno yang seperti ini wewenang seorang pemimpin tidak lagi hanya dibutuhkan kewibawaan (legitimacy) saja, yang bersumber pada keahliannya, keterampilannya, dan kepandaiannya dalam lapangan-lapangan tertentu. Akan tetapi, kebanyakan elit penguasa negara kuno untuk mempertahankan dan menjaga loyalitas rakyatnya, menjadi sangat penting untuk menggunakan konsep-konsep religi dan cara-cara keagamaan untuk memaksakan keseragaman orientasi1 pada masyarakat yang ada

Menurut Weber, otoritas adalah kekuasaan diterima sebagai sah oleh mereka

yang mengalami hal itu. Weber menguraikan tiga bentuk otoritas dalam masyarakat modern: tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Bentuk-bentuk otoritas adalah jenis murni ideal yang jarang "murni" dalam kehidupan nyata.

dalam negara tersebut, yang awalnya memiliki aneka warna kebutuhan, kehendak dan keyakinan. Hal tersebut yang menjadikan dalam negara-negara kuno maupun kerajaan, termasuk di Indonesia, seorang raja untuk mempertahankan kekuasaannya dan menjaga loyalitas rakyatnya, mereka seringkali memberikan doktrin kepada rakyatnya bahwa seorang individu yang menjadi raja memiliki garis keturunan pada dewa-dewa, sehingga wewenang yang berdasarkan keturunan tadi tidak hanya wewenang yang kuat, tapi juga wewenang yang keramat. Selain itu, seorang raja dalam negara-negara kuno seringkali memperkuat sifat-sifat keramatnya (karisma) dengan jalan mengembangkan keyakinan bahwa ia memiliki cahaya keramat atau wahyu dari dewa atau Tuhan, yang pada akhirnya masih lagi ditambah dengan keyakinan bahwa sang raja itu memiliki kekuatan yang sakti. Hal-hal demikian dapat kita lihat dalam cerita-cerita raja-raja Jawa. Koentjaraningrat mengatakan bahwa meskipun kekuasaan pemimpin

tradisional memiliki karisma sebagai komponen yang penting, sehingga menjadi unsur pokok yang menjaga kontinuitas kepemimimpinannya, akan tetapi seorang pemimpin tidak dapat mengabaikan komponen lain yakni apa yang disebut sebagai kekuasaan dalam arti khusus, yaitu: kemampuan untuk mengerahkan kekuatan fisik, dan untuk mengorganisir orang banyak untuk mengadakan sanksi. Selain itu seorang pemimpin haruslah memiliki sifat yang adil, baik hati dan bijaksana. Ketiga sifat ini

pada dasarnya juga diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin baik tradisional maupun masa kini. Sampai sini dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen kekuasaan dalam negara kuno (tradisional) adalah seorang pemimpin dalam mempertahankan kekuasaannya harus memiliki apa yang namanya kharisma (memiliki wahyu Tuhan atau Dewa), kewibawaan, wewenang, dan kekuasaan dalam arti khusus, serta sifatsifat lain yang menjadi syarat penting bagi seorang pemimpin dalam masyarakat negara yang seperti itu. B. Kekuasaan Modern Dalam perkembangan sejarahnya dengan ditandai kemajuan dari segi budaya, tehnologi dan logika berpikir yang lebih maju dan rasional dari masyarakat, menjadikan pandangan kekuasaan di masa kini (era modern) memiliki perbedaan. Kalau untuk menjaga kewibawaan seorang pemimpin terhadap rakyatnya dalam negara tradisional, ia harus mengisolasi diri untuk tidak bertatap muka dan dialog dengan masyarakat walaupun dengan dalih karena seorang raja adalah keturunan dewa yang suci dan harus menjaga kesucian dan kekeramatannya itu, sedangkan masyarakat adalah manusia yang hina yang dapat mencemari kesuciannya. Maka dalam masyarakat modern, seorang pemimpin dalam membangun kewibawaan terhadap rakyatnya, mengharuskan untuk lebih dekat dengan rakyatnya, karena sumber legitimasi dan wewenang seorang penguasa, terlebih dalam negara yang telah menganut sitem politik demokrasi modern (Indonesia), bukan lagi para dewa dan roh

nenek moyang, bukan pula kekuatan sakti yang terhimpun dalam pusaka-pusaka keramat, tetapi sumber kekuasaan dan wewenang seorang pemimpin ada pada masyarakat. Menurut Koentjaraningrat kelanggengan kekuasaan yang dipegang seorang pemimpin mengharuskan dirinya untuk lebih mendapatkan dukungan dari rakyatnya melalui prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam undang-undang, sehingga menjadi unsur wewenang yang terpenting dalam memimpin masyarakat dalam sekala besar, karena dalam system demokrasi seorang pemimpin dipilih langsung oleh rakyat.

You might also like