You are on page 1of 9

14

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA

MODUL PENGANTAR SOSIOLOGI (3 SKS)

POKOK BAHASAN: PERSPEKTIF SOSIOLOGI Oleh: Dra. Siti Komsiah, M.Si DESKRIPSI Setiap tokoh atau pemikir siosiologi tidak memiliki kesamaan dalam memberikan pengertian suatu konsep. Setiap tokoh akan memiliki asumsi dasar pemikiran sendiri untuk melihat fenomena sosial. Pemikiran mereka akan tergantung pada keyakinan mereka dan posisi mereka. Perbedaan keyakinan inilah yang membuat penjelasan mereka akan suatu konsep dapat berbeda-beda. Asumsi dasar yang diyakini para sosiolog inilah yang dikenal dengan istilah perspekstif atau sudut pandang/cara pandang. TUJUAN INSTRUKSIONAL Setelah mengikuti perkuliahan ini di harapkan mahasiswa akan dapat:

1. Memahami dan mampu menjelaskan kembali asumsi dasar


mengenai perspektif struktural fungsional, konflik dan interaksi simbolik

2. Mampu menyebutkan tokoh-tokoh yang mengembangkan ke tiga


perkspektif tersebut.

3. Mampu

menjelaskan

pengertian

masyarakat

dengan

menggunakan ketiga perspektif tersebut.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Siti Komsiah, S.IP, M.Si PENGANTAR SOSIOLOGI

PERSPEKTIF SOSIOLOGI

Kita telah mempelajari 13 modul sebelumnya, dari modul sebelumnya tersebut dapat kita lihat konsep-konsep dari ilmu sosiologi. Konsep-konsep yang dipelajari oleh ilmu sosiologi yang mempelajari tentang masyarakat dan fakta-fakta yang ada didalam masyarakat. Pada modul sebelumnya tersebut dapat kita lihat dan amati bahwa para sosiolog memiliki asumsi yang berbeda dalam menjelaskan tentang konsep-konsep yang ada dalam sosiologi. Perbedaan asumsi oleh para sosiolog tersebut terjadi karena mereka memiliki keyakinan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan keyakinan itu terjadi karena mereka memiliki sudut pandang yang berbeda-bdea yang dalam hal ini kita kenal dengan perspektif. Perspektif itu sendiri diartikan berbeda-beda, pengertian pertama diberikan oleh Horton dan Hunt (1991) yang mengartikan konsep perspektif sebegai perangkat asumsi kerja. Hal ini berati perspektif merupakan pedoman kita dalam bekerja atau dalam mengamati fenomena sosial. Pengertian ke kedua adalah yang dikemukakan oleh Kendall (1998), menurutnya perspektif merupakan kerangka teori dan logika berpikir untuk mengamati realitas sosial. Disini perspektif merupakan sekumpulan teori dan logika berpikir yang digunakan oleh individu untuk memberikan penjelasan mengenai realitas sosial. Pengertian terakhir adalah dari Thomas J. Sullivan (2004), yang mengatakan perspektif sebagai susut pandang kita mengenai suatu hal, disini perspektif lebih merupakan alat kita dalam memberikan penjelasan mengenai sesuatu.

Dari pengertian ketiga diatas dapat kita simpulkan bahwa Perspektif adalah
sekumpulan teori dan logika berpikir yang digunakan oleh individu untuk memberikan penjelasan mengenai realitas social. Pembahasan mengenai perspektif ini akan menjadi landasan kita dalam memahami teori-teori sosial pada umumnya dan teori sosiologi pada khususnya. Dengan memahami perspektif ini kita akan melihat fenomena sosial itu dapat dijelaskan oleh beberapa sudut pandang dan memperoleh analisa secara lengkap sehingga dapat menemukan cara yang tepat dalam mengatasi permasalahan yang muncul dalam masyarakat.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Siti Komsiah, S.IP, M.Si PENGANTAR SOSIOLOGI

Sosiologi memeliki beberapa perspektif, pada modul ini kita hanya akan membahas tiga perspektif, yaitu perspektif struktural fungsional, perspektif konflik, dan perspektif interaksi simbolik. Ketiga perspektif ini kan kita bahas satu persatu. Sebelum kita mempelajari perspektif struktural fungsional, terlebih dahulu kita saimak ilustrasi berikut, sebagai ilustrai untuk mempermudah kita membayangkan secara sederhana penekanan ketiga perspektif dalam fenomena sosial. Bos Pengemis Tinggal Nikmati Hidup [ Kamis, 12 Juni 2008 ] Jawa Pos Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis, berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah mobil gagah, dan empat rumah. Berikut kisah hidupnya. --Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ''karir''-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya. Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong. Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta. Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang. Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Siti Komsiah, S.IP, M.Si PENGANTAR SOSIOLOGI

*** Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik. Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ''orang mampu''. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar. Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. ''Yang penting halal,'' ujarnya mantap. Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurtu dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan. ''Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan,' ' ungkapnya. Karena mengemis di Bangkalan kurang ''menjanjikan' ', awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah. Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ''bakat'' Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat. Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ''Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,'' ungkapnya bangga. Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas. Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. ''Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),'' tegasnya. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Komsiah, S.IP, M.Si PENGANTAR SOSIOLOGI

Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ''Kami berpencar kalau mengemis,'' jelasnya. Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan. *** Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ''ilmu'' dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya. Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. ''Pokoknya sudah enak,'' katanya. Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ''Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,'' kenangnya. Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah. Cerita tentang ''keberhasilan' ' Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ''Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,'' ujarnya enteng. Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ''Kali pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung,'' tegasnya. Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya Timur. Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di ''pos khusus'', Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan. Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Komsiah, S.IP, M.Si PENGANTAR SOSIOLOGI

perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri. Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan. .. *** Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari. Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan. Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ''Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada saya,'' ucapnya. Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. ''Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,'' katanya. Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. ''Saya ingin naik haji,'' ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti... (ded/aza)

Pada ilustrasi diatas kita memiliki tiga alternatif penyelesaian, masalah pengemis dalam masyarakat. Perbedaan penyelesaian pengemis tersebut tidak terlepas dari sudut pandang mana yang digunakan para pengamat sosial dalam melihat permasalahan pengemis. Pengamat A mengatakan bahwa pemecahan masalah pengemis harus dari perubahan sistem. Sistem sosial harus diperbaiki, salah satu sistem sosial adalah sistem hukum. Perubahan sistem hukum diantaranya adalah adalah harus diberikan sanksi yang tegas bagi pengemis yang masih berkeliaran. Pengamat B memiliki sdut pandang yang berbeda, menurutnya pengemis muncul karena Sekarang tidak terpenuhinya kebutuhan manusia kan kebutuhan materi, sehingga pemecahan Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Komsiah, S.IP, M.Si PENGANTAR SOSIOLOGI

masalahnya

haruslah

dibuat

kebijakanoleh

pemerintah

tentang

terpenuhinya

kesejahteraan setiap masyarakat. Pengamat C mempunyai pendapat lain lagi, menurutnya yang penting harus dibenahi adalah bagaimana menjadikan profesi mengemis sebagai suatu nilai yang hina dalam masyarakat. Mengemis harus dijadikan simbol yang menunjukan betapa rendahnya martabat seseorang jika mengemis. Sekarang marilah kita mulai melihat dan membahas fenomena/ilustrasi tersebut diatas dengan tiga perspektif sosiologi dan teori yang menjelaskannya. A. Perspektif struktural fungsional Perspektif struktural fungsional banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu alam khususnya oleh ilmu biologi. Perspektif ini Menganalogikan masyarakat seperti mahluk hidup (organisme) yang unsurnya saling tergantung dan berhubungan. Individu dibentuk oleh masyarakat, dan ini merupakan fungsi penting yang harus dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat terdiri dari berbagai unsur yang saling berhubungan dan menjalankan fungsinya masing-masing. Ralp Dahrendorf mengemukakan empat asumsi dasar dari perspektif ini yaitu: Asumsi dasar dalam teori ini: 1. Setiap masyarakat merupakan struktur unsur yang relatif gigih dan stabil 2. Mempunyai struktur unsur yang terintergrasi dengan baik 3. Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem 4. Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsesnsus mengenai nilai di kalangan anggotanya. Menurutnya perspektif struktural fungsional masyarakat merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya salaing tergantung dan berhubungan. Bagi perspektif ini individu dibentuk oleh masyarakat, dan ini merupakan fungsi penting yang harus dilakukan oleh masyarakat. Sedangkan perubahan sosial menueut perspektif ini akan mendapat perlawanan dari sistem yang ada dalam masayarakat. Penjelasan perspektif struktural fungsional menitik beratkan pada konsep-konsep integrasi, saling ketergantungan, stabilitas, equilibrum atau titik keseimbangan. Tokoh-tokoh dari perspektif struktural fungsional diantaranya Aguste comte, Turner, Herbert Spenser, Emile Durkheim, Talcont Parsons, dan Robert K.Merton. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Komsiah, S.IP, M.Si PENGANTAR SOSIOLOGI

B. Perspektif Konplik Pemikiran perspektif konflik menekankan pada adanya perbedaan pada individu dalam mendukung suatu sistem sosial. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri dari individu-individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan yang sifatnya langka. Keberhasilan untuk mendapatkan kebutuhan itu berbeda-beda karena kemampuan untuk mendapatkannya berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan inilah yang memicu munculnya konflik. Konsep-konsep yang muncul dalam perspektif ini adalah kepentingan, kekuasaan, dominasi, konflik dan pemaksaan Menurut Dahrendorf, Asumsi utama dari persfektif ini adalah: 1. Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan 2. Disensus dan konflik terdapat dimana-mana 3. Setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan pada disentralisasi dan perubahan masyarakat 4. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa anggota terhadap anggota lain. Perspektif ini beranggapan bahwa masyarakat dibentuk oleh persaingan kelompokkelompok dalam menguasai sumber-sumber yang bersifat langka. Individu dibentuk oleh institusi sosial dan posisi kelompok-kelompok mereka dalam masyarakat. Bagi perspektif ini perubahan sosial meruapakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dan selalu terjadi dalam setiap masyarakat. Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori konflik daiantaranya adalah Karl Marx, Max Weber, Ralf Dahrendorf, dan Lewis Coser. C. Perspektif Interaksionisme Simbolik Perspektif ini muncul dari ketidaksetujuan atas konsep bahwa individu adalah sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat. Bagi perspektif ini, individu merupakan unsur masyarakat yang tidak statis tetapi justru dinamis. Mereka memiliki keinginan dan dapat membentuk sistem sosial berdasarkan interaksi diantara mereka. Perspektif interaksioniosme simbolik dikembangkan dari konsepi interaksi sosial. Interaksi sosial menurut teori ini adalah bagian yang penting dari masyarakat. Menurut

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Siti Komsiah, S.IP, M.Si PENGANTAR SOSIOLOGI

Turner, ada empat asumsi dasar yang mendasari perspektif interaksionisme simbolik yaitui: 1. Manusia merupakan mahluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbol 2. Manusia menggunakan simbol untuk saling berkomunikasi 3. Manusia berkomunikasi melalui pengambilan peran 4. Masyarakat tercipta, bertahan, dan berubah berdasarkan kemampuan manusia untuk berpikir, untuk mendefinisikan, untuk melakukan renungan, dan untuk melalukan evaluasi. Perspektif interaksionisme sembolik melihat masyarakat sebagai kumpulan individuindividu yang berinteraksi secara tatap muka dan membentuk konsensus sosial. Perkembangan diri (kepribadian) individu berasal dari komunikasi dan interaksi sosial. Perubahan soisal bagi perspektif ini terjadi ketika tidak ada lagi konsensus bersama mengenai perilaku yang diharapkan. Perubahan ini termasuk dikembangkannya pencapaian konsensus yang baru. Perspektif ini menekankan pada konsep-konsep interpretasi, konsensus, simbol-simbol, adanya harapan-harapan bersama, kehidupan sosial membentuk kenyataan sosial. Para tokoh yang mengembangkan perspektif interaksionisme simbolik daiantaranya adalah George Simmel, Max Weber, William James, Charles Harton Cooley, John Dewey, George Herbert Mead, W.I Thomas, Herbert Blumer, Erving Goffman, dan peter Berger. dan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Siti Komsiah, S.IP, M.Si PENGANTAR SOSIOLOGI

You might also like