You are on page 1of 2

Buat Apa Menjadi Bupati ?

Oleh Robinson Sembiring Mengapa orang mencalonkan diri menjadi Bupati? Jika dijawab secara jujur, paling tidak ada 3 kemungkinan jawaban yang dikemukakan oleh mereka yang mencalonkan diri. Bagi mereka yang idealis akan menjawab untuk membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Mereka yang setengah idealis akan menjawab membangun masyarakat sambil memperkaya diri. Yang tidak idealis sama sekali dengan enteng menjawab untuk memperkaya diri (sambil menghindari jeratan hukum !). Namun, karena semakin sulit mendapatkan orang jujur di bumi persada ini, maka kemungkinan modus jawaban adalah: untuk membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Di sebuah kedai kopi, saya ajukan pertanyaan: Mengapa orang mencalonkan diri menjadi Bupati ? Seketika itu juga, beraneka jawaban muncul, tapi maknanya sama yakni : untuk memupuk kekayaan. Ketika saya kemukakan bahwa jika saya menjadi Bupati, maka saya tidak akan memperkaya diri tetapi membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Serentak mereka menjawab: Tidak mungkin ! + Mengapa tidak mungkin ? - Karena anda harus keluarkan uang yang banyak untuk jabatan itu. Namanya uang perahu, uang kampanye, uang cari simpati atau istilah terbaru dana sosialisasi partai. Pada awal menduduki jabatan, yang pertama anda perjuangkan adalah mengembalikan uang yang telah anda belanjakan. Sekali anda telah memulai, maka untuk selanjutnya situasi memaksa anda untuk terusmenerus melakukan hal yang sama. + Jika saya tidak mau keluarkan uang sogok untuk mendapatkan jabatan itu, maka saya tentu tidak perlu mencari uang untuk mengembalikan uang sogok ? - Wah, anda pasti tidak punya peluang menjadi Bupati, sobat ! *** Ternyata, masyarakat pemilih juga sangat sukar untuk diyakinkan bahwa masih ada orang yang mau menjadi Bupati untuk membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Pengalaman berpemerintahan yang mereka miliki selama ini telah mengajarkan bahwa tidak ada orang yang mau mencari jabatan atas dasar ingin mengabdikan diri demi kepentingan umum. Kalaupun mereka terus-menerus didebat dan diyakinkan bahwa masih ada orang yang mau membangun, maka mereka segera menyatakan bahwa saat ini orang seperti itu tidak akan memiliki kesempatan untuk menduduki jabatan. Betapa malangnya nasib orang yang mau mengabdi di negeri ini. Mereka ternyata menghadapi sebuah situasi ganjil; secara tertulis mereka diprioritaskan oleh undangundang yang mengajukan persyaratan-persyaratan yang tujuannya untuk menjaring mereka yang terbaik, tapi dalam realitas mereka pasti tidak memiliki kesempatan. Pikiran dan tindakan orang-orang yang menjalankan undang-undang/peraturan, serta pikiran dan tindakan masyarakat pendukung undang-undang/peraturan, sadar atau tidak sadar, justru menjegal mereka. Sehingga mereka menjadi barisan orang potensial yang sial. Inilah

ilustrasinya dan telah menjadi realitas biasa dalam panggung permainan kekuasaan dan jabatan. *** Maka tidak ada kata bijak kecuali: Mari kita kumpul uang untuk membeli kekuasaan ! Setidak-tidaknya, mengumpulkan jaringan yang mampu menyediakan uang untuk membeli orang-orang yang dapat dibeli: anggota DPRD, pengurus partai politik, intelektual, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, preman, juru kampanye, peneliti politik, tukang sablon, tukang sound system, dst dst. Semuanya akan bergerak sinergis dengan management team sukses yang baik. Hasil akhirnya adalah kemenangan, dan terengkuhnya kekuasaan dan jabatan. Lalu, giliran berikutnya adalah mengumpulkan uang untuk mengembalikan semua uang yang telah dibelanjakan sebelumnya. Setiap proyek dalam APBD maupun di luar APBD mesti dipotong, sumber daya alam potensial dieksploitasi sambil memberlakukan rente atasnya, investor diundang dan dimintai uang pelicin untuk izin, jabatan-jabatan yang ada harus dijual, bilamana perlu ciptakan formasi jabatan baru untuk dijual. Jika jumlah uang belum mencukupi, jabatan yang telah dijual sebelumnya, beberapa bulan kemudian dilelang lagi; siapa yang punya uang terbanyak berhak menduduki jabatan tersebut. Jika ada yang protes, diamkan saja. Jika mereka marah, pelajari dulu apakah mereka memiliki kekuatan yang besar untuk memaksa pejabat hukum untuk berpura-pura baik dan menegakkan hukum, jika ya ajak berdamai, berikan uang untuknya dan minta mereka agar diam; jika tidak biarkan saja toh nanti capek sendiri. Jika terasa masih mengganggu, perintahkan satuan keamanan untuk mengamankannya. *** Uang adalah segalanya dalam kompetisi kekuasaan yang sekarang merebak di daerah. Banyak calon yang potensial sejak dini telah mengundurkan diri dari arena kompetisi, karena tidak memiliki uang yang cukup. Sebaliknya, banyak calon jadi-jadian dikategorikan sebagai calon yang potensial karena memiliki uang yang cukup. Apakah ada kepedulian tentang nasib masyarakat dan pemerintahan daerah 5 (lima) tahun ke depan ? Siapa yang peduli ?! Masyarakat dan pemerintahan akan tetap berjalan selama masyarakat Indonesia masih ada. Kualitas pemerintah dan kualitas hidup masyarakat adalah persoalan lain. Bukankah pemerintahan yang baik hanya ada menggelantung di sorga kata pemikir lama yang dipandang bijak ? *** Mari sejenak direnungi. Jika ada orang yang bersedia menjadi calon Bupati, untuk apakah itu ? Jika jawabannya untuk mengumpulkan kekayaan, maka marilah kita busungkan dada sambil berteriak: Angkat tangan kejayaan pasangan uang dan kekuasaan !. Namun, jika jawabannya adalah untuk mengabdi bagi kepentingan masyarakat, maka tidak perlu angkat tangan. Cukup menundukkan kepala, dan bergumam: Anda pasti tidak punya peluang menjadi Bupati, sobat ! (Robinson Sembiring, Dosen FISIP-USU)

You might also like