You are on page 1of 11

LOMBA MENULIS CERPEN

KARYA

: ASRI DEWI PRATIWI (05/8A)


SMPN 1 PIYUNGAN

BIODATA PENULIS
Nama Tempat Tanggal Lahir Alamat Kelas Sekolah : Asri Dewi Pratiwi : Bantul, 02 Juni 1996 : Bintaran Kulon RT 06, Srimulyo, Piyungan, Bantul : 8A : SMPN 1 PIYUNGAN

Guru Pembimbing Pangkat/Golongan Mengajar

: Lusia Sukatiyah S.Pd : Pembina/IVA : Bahasa Indonesia

Ini sudah kesekian kalinya aku menghabiskan menit-menitku di sini. Di bangku yang sama. Di bawah pohon yang sama. Dengan pandangan yang sama. Ada sebuah obyek menarik di hadapanku, yang membuatku betah memandangnya dan menumbuhkan imajinasiku, melayangkan rasa cemburu yang begitu dalam. Anak-anak seusiaku itu begitu bergembira. Begitu bahagia. Begitu beruntung. Mereka dengan segala kesempurnaannya tak pernah berhenti membuatku iri. Mereka dengan kaki lincahnya, berlari kesana-kemari. Mereka telah membuatku iri dengan segala kesempurnaannya. Saat aku memejamkan mata, bayang-bayang kisah lampau yang mengakhiri kehidupanku yang sempurna berkelebat dalam pikiranku. Dulu, sebelum peristiwa itu terjadi, aku selalu merasa semua orang merasa iri dengan kehidupanku yang mendekati sempurna. Semua orang juga tahu, betapa menariknya aku. Aku pandai melukis, keluargaku cukup berada, dan aku punya banyak teman. Semuanya tampak sempurna bagiku. Tapi seperti yang sudah aku katakan, kehidupan yang sempurna itu dulu sebelum aku divonis mengidap penyakit lekimia stadium akhir. Sejak itu, aku merasa menjadi orang paling malang sedunia. Aku dengan penyakit leukemia stadium akhir , yang membuatku harus menghabiskan sisa hidupku dengan berbagai macam obat-obatan dan terapi. Menurutku, semua obat yang kuminum setiap hari justru meracuni tubuhku dan membuat tubuhku ini semakin lemah. Kadang aku merasa kehidupanku sangat berat hingga aku merasa tak dapat lagi menanggungnya. Aku ingin Tuhan segera mengambil nyawaku. Jujur saja, aku sudah tidak tahan dengan rasa sakit yang menderaku hampir setiap hari. Namun, tiap kali kuingat dua sosok yang begitu kusayangi, rasa putus asa dan rasa sakit itu sirna sudah. Rasanya aku ingin tetap bertahan hidup demi mereka, demi Papa dan Mamaku. Aku tidak ingin melihat mereka sedih tiap kali penyakitku kambuh. Aku ingin mereka melihatku sembuh dan ceria seperti 3 tahun yang lalu sebelum penyakit mematikan ini kuderita. Andaikan aku bisa mengulang kembali smeuanya, tentu saja aku akan berusaha menjaga apa yang telah diberikan-Nya dengan sebaik-baiknya. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya. Ketika penyakit mematikan ini kuderita aku baru sadar betapa bodohnya aku yang telah menyia-nyiakan semuanya. Tapi apa boleh buat, penyesalan memang selalu datang terlambat ibarat nasi yang telah menjadi bubur. Tak ada gunanya lagi aku menyesali

semua ini karena semua ini mungkin adalah cobaan bagiku. Meskipun awalnya aku tidak bisa menerima semua ini, namun perlahan tapi pasti aku mencoba menerima semuanya. Meskipun begitu menyakitkan, akan kuterima ini sebagai sebuah anugerah yang diberikan Tuhan kepadaku. Apalagi, ada Papa dan Mamaku yang selalu ada di sampingku. Bagiku mereka adalah secercah sinar yang diberikan Tuhan kepadaku. Sinar yang selalu menerangiku kala gelap menghampiriku. Sinar yang selalu ada di setiap tangis dan tawaku. Sinar yang tak akan pernah lelah menyinariku. Tanpa terasa kuteteskan air mataku. Aku tak kuasa menahan tangisku. Peristiwa mengerikan itu masih tertancap jelas dalam ingatanku, peristiwa mengerikan 3 tahun lalu ketika dokter memvonisku mengidap penyakit leukemia. . . Pagi itu, ketika aku akan berangkat ke sekolah. Aku merasakan rasa sakit yang amat sangat di sekujur tubuhku, terutama kepalaku. Bagai seribu paku menusuk-nusuk kepalaku, rasanya saaakiiit sekaaaalii ! ! ! Tiba-tiba semuanya terasa kabur dan kurasakan seluruh benda yang ada di hadapanku berputar-putar mengelilingiku. Semuanya terasa gelap dalam sekejap. Dan ketika aku bangun aku merasakan suasana lain, aku merasa aku tidak berada di kamarku melainkan di sebuah ruangan kecil yang temboknya berwarna biru muda. Ya, ini adalah Rumah Sakit. Kulihat Papa dan Mamaku duduk di pojok ruangan. Tampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu dengan seorang lelaki setengah baya berpakain putih-putih, mungkin seorang Dokter. Ma. . . aku memanggil Mamaku dengan suara yang lirih. Sayang. . jawab Mamaku terkejut. Papa dan Mamaku berlari menghampiriku. Mereka terlihat begitu khawatir dengan keadaanku saat ini. Tifa. . . Gimana keadaan kamu Sayang?? tanya Papaku. Tifa baik-baik aja kok, Pa. Papa sama Mama nggak usah sedih. kataku. Papa dan Mamaku hanya diam mendengar perkataanku. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Tidak biasanya Papa dan Mamaku bersikap seperti ini. Pa, Ma. Sebenarnya ada apa sih??? Kenapa Papa sama Mama terlihat begitu sedih??? Kenapa?? tanyaku. Tifa. . . Sebenarnya Papa sama Mama berat mengatakan semua ini sama kamu. Tapi bagaimanapun juga kamu harus tahu hal ini. . . kata Papaku terbata-bata.

Kenapa, Pa? Apa yang terjadi sama Tifa?? tanyaku. Kamu. . .Kamu. . .Kamu divonis mengidap penyakit leukemia stadium akhir, Sayang. kata Mamaku sambil menangis. Nggak. .Nggak mungkin. . . Mama bohong kan, Pa??? kataku sambil menangis. Nggak, Sayang. . .Mama nggak bohong. . . Kamu harus sabar ya. . jawab Papaku sambil memeluku. Aku tak kuasa menahan tangisku. Tapi, Papa dan Mamaku terus berusaha menenangkanku. Mereka mencoba menenangkanku dengan segala cara dan akhirnya aku pun luluh. Aku mencoba untuk menerima semuanya meskipun rasanya begitu berat. Jujur aku tak sanggup, sungguh aku tak bisa menerima semua ini. Menerima kenyataan bahwa aku menderita penyakit leukemia stadium akhir. Penyakit yang nantinya akan memberikan perubahan-perubahan fisik pada tubuhku. Entah apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Mungkinkah semua mimpi-mimpiku selama ini akan terwujud? Mungkinkah aku masih bisa bertahan? Mungkinkah aku masih bisa sembuh? Sejuta pertanyaan yang ada di benakku. Mengapa dan mengapa? Aku sendiri tidak tahu jawabannya. Tapi, aku yakin Tuhan tidak pernah tidur. Aku yakin suatu saat nanti, aku akan menemukan jawabannya. Kini, aku hanya bisa berdoa, berdoa, dan terus berdoa karena aku yakin mukjizat itu nyata. Tiga tahun berlalu. . . . . . Aku masih bertahan dengan penyakit leukimiaku meskipun 3 tahun yang lalu dokter memvonis umurku tinggal 4 bulan, tapi buktinya 3 tahun telah berlalu dan aku masih bisa bertahan. Ini semua berkat semangat dan dorongan yang telah diberikan oleh Papa dan Mamaku serta teman-temanku. Kasih sayang dari merekalah yang membuatku terus termotivasi untuk bisa sembuh dari penyakit ini. Meskipun sakit, aku tidak mau hanya berdiam diri di rumah. Setiap hari, aku mencoba menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas. Terutama melukis. Melukis adalah hobiku sejak kecil. Sebenarnya, sejak kecil aku punya cita-cita menjadi seorang pelukis. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa mewujudkan cita-citaku dengan kondisiku saat ini. Aku juga tetap bersekolah meskipun sakit. Aku ingin cita-citaku menjadi seorang pelukis bisa tercapai. Aku ingin melihat Papa dan Mamaku tersenyum bahagia suatu saat nanti ketika aku berhasil menjadi seorang pelukis. Karena menurutku hanya itulah yang bisa

kulakukan untuk membuat kedua orangtuaku bangga kepadaku, meski kutahu umurku tak lama lagi. Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh dari Masjid di samping rumahku, aku lalu bergegas mengambil air wudhu. Sejak kecil, Papa dan Mamaku memang selalu mengajarkanku untuk beribadah lima kali sehari sesuai dengan agama kami. Setiap hari, kami selalu melaksanakan ibadah sholat secara berjamaah. Meskipun kami hanya berjamaah ketika sholat Subuh, Maghrib, dan Isya. Aku merasa sangat bersyukur memiliki kedua orang tua yang selalu membimbingku, menyayangiku, dan mengasihiku. Hari ini begitu istimewa bagiku. Ya, karena hari ini adalah hari pertamaku berangkat sekolah setelah kurang lebih dua minggu aku tidak berangkat sekolah karena penyakitku kambuh dan membuatku harus tinggal di Rumah Sakit. Pagi, Pa! Pagi, Ma! sapaku. Pagi, Sayang! jawab Papaku. Kamu mau sekolah hari ini? tanya Mamaku. Ya iyalah, Ma. Masa udah dandan rapi begini gak sekolah. jawabku. Tapi, inget! Kamu harus sarapan dan minum obat dulu. . . Mamaku mengingatkan. Beres deh. ..! jawabku. Aku lalu duduk bersama Papa dan Mamaku di meja makan. Setiap pagi kami memang selalu sarapan bersama. Selesai sarapan, aku lalu berpamitan pada Mamaku. Aku selalu berangkat dan pulang sekolah diantar Papa. Meski sebenarnya aku ingin naik sepeda bersama teman-temanku, tapi apa boleh buat Mama tidak mengijinkanku dengan alasan terlalu bahaya untuk kondisiku saat ini. Sesampainya di sekolah, aku segera berjalan menuju ruang kelasku. Kelas VIII A. tapi, samar-samar kudengar suara sesorang yang memanggilku dari kejauhan. Tifa! teriak seseorang dari kejauhan. Suara cempreng itu serasa tidak asing lagi kudengar. Siapa lagi kalau bukan suara. . . Laras? Laras lalu berlari menghampiriku. Laras memag sahabat dekatku. Kami bersahabat sejak umur 7 tahun.

Tifa, aku kangen banget sama kamu. Rasanya sepi banget dua mingu duduk sendirian. . kata Laras. Aku juga kangen sama kamu. . . jawabku. Senang banget rasanya bisa ketemu kamu lagi. kata Laras. Sama, aku juga senang bisa ketemu kamu lagi . kataku. Di sekolah aku memang mempunyai banyak teman yang setia. Mereka semua juga sudah tahu bahwa aku menderita penyakit leukemia. Meskipun aku menderita penyakit leukemia teman-temanku tidak pernah memperlakukanku layaknya orang yang sakit apalagi mencoba menjauhiku. Justru merekalah yang memberiku semangat dan motivasi agar aku bisa sembuh. Meskipun aku mempunyai banyak teman yang setia. Namun, tidak sedikit dari temantemanku yang merasa terganggu atas kehadiranku di sekolah. Mereka yang terganggu tak pernah berhenti mencaci makiku. Termasuk Rossa, teman sekelasku yang terlihat begitu membenciku dan terganggu atas kehadiranku di sekolah. Suatu hari, ketika aku sedang berjalan sendirian di koridor sekolah. Aku merasakan ada seseorang yang menarik topiku dari belakang. Tak kusangka orang itu adalah Rossa. Semua orang yang ada di koridor pun menertawakanku. Ya, aku tahu semenjak aku menderita penyakit leukemia aku harus menghabiskan sisa hidupku dengan obat-obatan keras yang dapat memberikan perubahan fisik pada tubuhku. Salah satunya adalah rambutku. Perlahan tapi pasti rambutku mulai rontok dan mengakibatkan sebagian rambutku mulai botak sehingga mengharuskanku memakai topi ke sekolah untuk menutupinya. Aku tak menyangka Rossa tega memperlakukanku seperti itu. Apa salahku padanya?!? Aku lalu berlari sekencang-kencangnya menuju halaman sekolahku. Aku tak menghiraukan cacian mereka. Yang aku inginkan adalah pergi dari tempat ini secepat mungkin. Aku lalu duduk di bangku halaman sekolah. Aku tak ingin hidup lagi. Aku bosan Tuhan, aku bosan, aku sudah tak kuat lagi. jerit hatiku. Aku hanya bisa menangis, menangis, dan menangis Hingga kudengar suara seseorang memanggilku. Tifa! Kamu kenapa?? Pasti ini semua ulahnya si Rossa kan! ! tanya Laras. Rossa emang bener-bener keterlaluan! Kamu nggak usah sedih Tif, kamu masih punya banyak orang yang sayang ama kamu! Ada aku, Papa dan Mama kamu, juga temen-temen yang lain! Aku yakin kamu pasti bisa nglewatin semua ini dan bisa sembuh kayak dulu lagi! lanjut Laras.

Thanks, ya. Aku janji aku nggak bakal sedih lagi dan aku yakin aku bakalan bisa sembuh kataku pada Laras. Gitu dong. . kata Laras. Aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Laras. Mulai sekarang aku berjanji aku nggak akan sedih lagi. Aku nggak ingin mengecewakan mereka semua. Mereka yang selama ini menyayangiku dan selalu ada di sampingku. Mulai sekarang aku juga nggak bakalan peduli sama cacian dan makian dari orang lain, termasuk Rossa. Mungkin mereka mencaci dan memakiku karena mereka belum pernah berada di posisiku. Setiap hari, sepulang sekolah aku selalu pergi ke sebuah sanggar yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Di sana, aku dan teman-temanku diperbolehkan mengembangkan bakat kami, terutama bakat di bidang seni. Tentu saja, di sana aku memilih untuk mengembangkan bakatku dalam bidang seni lukis. Biasanya, setahun sekali diadakan semacam pameran atau pertunjukkan yang memamerkan hasil karyaku dan juga teman-temanku. Hari ini, ada sebuah pengumuman penting di sanggar yaitu mengenai Lomba Melukis Tingkat Internasional dalam rangka Hari Anak Sedunia. Tentu saja, aku sangat tertarik mendengarnya. Apalagi, lomba ini dibuka untuk umum. Sampai di rumah, aku langsung memberitahukan berita gembira ini pada Papa dan Mamaku. Tentu saja mereka mendukungku penuh. Mereka bilang aku boleh mengikuti lomba ini, tentu saja aku langsung bersorak gembira mendengar reaksi Papa dan Mamaku. Beneran Ma, aku boleh ikut? tanyaku kepada Mamaku. Iya, Sayang. Kamu boleh ikut jawab Mamaku sambil tersenyum. Makasih, Ma. Makasih, Pa !!! kataku gembira. Papa dan Mamaku hanya melemparkan senyum manisnya, melihat tingkahku. Kuakui, setelah divonis menderita penyakit leukimia 3 tahun lalu aku belum pernah segembira ini. Sambil melompat-lompat aku lalu bergegas menuju kamarku, kuambil peralatan melukisku. Dan mulai kugoreskan warna-warna indah itu di sehelai kertas dengan ukuran 1 meter x 1 meter. Satu jam kemudian, sebuah lukisan indah dengan tema keluarga berhasil kuselesaikan. Lukisan inilah yang nantinya akan kukirim untuk mengikuti Lomba Melukis Tingkat Internasional. Aku hanya bisa berdoa semoga aku bisa lolos ke babak selanjutnya. Oh, ya.. .. Lomba Melukis Tingkat Internasional ini dibagi menjadi 3 babak. Babak pertama

adalah Babak Kualifikasi, dari sekitar 120 negara yang mengikuti lomba ini nantinya hanya akan diambil 50 negara dengan wakilnya 1 orang. Babak kedua adalah Babak Grand Final, dari 50 negara yang terpilih tadi nantinya akan dipilih lagi 15 negara yang berhak mengikuti Babak Final. Nah, di babak final ini 15 negara yang terpilih atau 15 pelukis yang terpilih akan diundang ke Korea untuk menghadiri Babak Final. Babak Final ini sangat berbeda dengan Babak Kualifikasi dan Babak Grand Final karena kita harus menghadirinya secara langsung dan melukis secara lansung di sana. Aku jadi ragu-ragu akan mengikuti lomba ini atau tidak sebab ada sekitar 120 negara yang mengikuti lomba ini. Meskipun aku sudah sering mengikuti berbgai macam lomba melukis mulai dari tingkat Kecamatan hingga Nasional dan berhasil menjadi juara pertama. Namun, kali ini aku merasa agak minder. Aku nggak yakin bisa memenangkan lomba ini. Apalagi jika melihat lukisanku yang sepertinya masih kalah jauh dengan para pelukis di negara lain. Aku jadi minder sendiri. Tapi, begitu Papa dan Mamaku meyakinkanku bahwa aku pasti bisa masuk Babak Final rasa minderkupun hilang, kini yang ada di hatiku hanya kata-kata : SEMANGAT!!! Aku tidak tahu apa yang bisa membuatku berubah pikiran secepat itu mungkin karena motivasi, semangat, dan kasih sayang yang telah diberikan oleh orang tuaku selama ini hingga setiap kata yang mereka ucapkan seolah menjadi sebuah semangat yang tidak ternilai harganya. Tujuh hari setelah aku mengirimkan lukisanku untuk mengikuti lomba, aku mendapatkan sepucuk surat yang didalamnya terdapat selembar kertas yang berisi pernyataan bahwa lukisan dengan judul KELUARGAKU, KEKUATANKU Karya ANANDA ATIFA LARASATI ANGGARA berhasil LOLOS ke Babak Kedua yaitu Babak Grand Final. Antara percaya dan tidak itulah perasaanku saat ini. Untuk memastikannya, aku lalu berlari menuju dapur menemui Mamaku dan memintanya membacakan isi surat tersebut . Ternyata benar, aku lolos Babak Kedua atau Babak Grand Final. Dengan spontan, aku lalu memeluk Mamaku erat-erat dan mengucapkan rasa terima kasihku atas semua yang telah diberikannya kepadaku selama ini. Tak lupa aku juga mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga kepada Tuhan. Di babak Grand Final ini, aku mengirimkan sebuah lukisan dengan judul SAHABAT SEJATI. Mudah-mudahan saja aku berhasil lolos ke Babak Final. Amiiiinnnn!!!!! Tujuh hari kemudian, aku mendapatkan sepucuk surat pemberitahuan. Alhamdulillah. . .. Aku berhasil lolos ke Babak Final. Papa dan Mamaku adalah orang pertama yang memberiku

ucapan selamat. Mereka juga memberiku sebuah kado berupa boneka dan sepatu baru. Aku merasa sangaaatttt sennanggg karena selain berhasil lolos ke Babak Final kau juga mendapatkan hadiah dari Papa dan Mamaku. Hari ini juga rencananya aku akan berangkat ke Korea pukul 15.00 WIB. Tapi, entah kenapa aku merasa kurang enak badan hari ini. Apa mungkin penyakitku kambuh?? Ah, tidak mungkin, batinku dalam hati. Aku harus sehat, aku kan mau berangkat ke Korea, batinku. Tiba-tiba aku merasakan sekujur badanku terasa sakit terutama kepalaku. Rasanya sakiiittt sekaaaaliii. Dan tiba-tiba bruuukkk!!!!!!!! Badanku jatuh ke lantai. Dan ketika sadarkan diri, aku sudah berada di tempat yang sudah tidak asing lagi bagiku. Di Rumah Sakit. Kulihat Papa dan Mamaku berada di sampingku. Mereka memang selalu setia mendampingiku setiap kali aku berada di Rumah Sakit. Aku melihat sekelilingku, kulihat jam menunjukkan pukul 12.00 WIB. Andaikan aku bisa memutar waktu, akan kuputar waktu. Jujur, meskipun kondisiku sekarang sangat lemah aku tetap ingin berangkat ke Korea. Aku ingin mengikuti lomba melukis itu. Kuberanikan diri untuk mengatakannya pada Papa dan Mamaku walau ku tahu mereka pasti melarangku pergi ke Korea. Tapi, dengan segala cara aku mencoba meyakinkan kedua orang tuaku bahwa aku bisa bertahan. Membujuk, membujuk, dan membujuk itulah yang terus kulakukan. Melihat perjuanganku,dengan berat hati kedua orang tuaku akhirnya mengijinkanku pergi ke Korea untuk mengikuti lomba itu. Waktu menunjukkan pukul 14.00. Aku ditemani Papa dan Mamaku segera menuju bandara untuk berangkat ke Korea. Rupanya, kedatanganku ke bandara sudah ditunggu oleh para rombongan yang akan menemaniku berangkat ke Korea. Rencananya aku tinggal di sana selama kurang lebih 1 minggu. Aku akan berangkat ke Korea ditemani oleh Bapak Menteri Pendidikan. Sungguh suatu kehormatan bagiku bisa mewakili Indonesia di ajang Internasional ini. Detik dan menit terus berlalu. Kini waktu menunjukkan pukul 15.00. Saatnya aku berangkat meninggalkan Indonesia menuju ke Korea. Sebelum berangkat, aku berpamitan dan memohon doa restu kepada kedua orang tuaku dan teman-temanku yang ternyata datang ke bandara tanpa sepengetahuanku. Aku juga berdoa pada Tuhan agar diberikan keselamatan dan kekuatan untuk menjalani semua ini.

Satu minggu berlalu dengan cepatnya. Dan sekarang aku berada di dalam pesawat yang akan membawaku kembali ke Indonesia. Aku lalu memandang ke luar jendela. Di bawah tampak pemandangan kota Jakarta yang terhampar luas. Beberapa menit lagi pesawat yang kunaiki akan mendarat. Perasaan senang dan bangga kini ada di benakku. . . Tentu saja, aku merasa senang dan bangga karena aku berhasil menjadi juara pertama dalam Lomba Melukis Tingkat Internasional. Aku juga senang karena aku bisa bertemu Papa dan Mamaku lagi juga teman-temanku. Tifa! Suara itu serasa kukenal saat aku keluar dari terminal kedatangan di bandara Soekarno-Hatta. Suara siapa lagi kalau bukan suara Mamaku tersayang. Aku langsung memeluk Mamaku erat-erat. Selamat ya, Nak. Mama bangga sekali sama kamu. kata Mamaku memberikan ucapan selamat.Makasih, Ma. jawabku. Aku lalu melepaskan pelukanku. Aku berlari ke arah Papaku. Aku langsung mencium tangan Papaku dan memeluknya. Papa juga mengucapkan selamat atas keberhasilanku. Empat tahun berlalu dengan cepatnya. Kini aku menjalani hidup dengan penuh kegembiraan dan keceriaan. Penyakitku juga hampir tidak pernah kambuh lagi. Setiap waktu kuhabiskan dengan melukis, melukis, dan melukis. Semua yang kudapatkan saat ini menurutku merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepadaku. Dan anugerah terindah yang pernah kumiliki adalah kedua orang tuaku. Satu kata yang ingin kuucapkan pada mereka, TERIMA KASIH karena kasih sayang dan semangat yang telah mereka berikan padaku selama ini, hingga aku masih bisa bertahan dan mewujudkan mimpi-mimpiku.. . .

You might also like