You are on page 1of 6

Masalah Sampah di Jakarta

Penduduk Jakarta setiap harinya menghasilkan kurang lebih 6.500 ton sampah, angka tersebut berdasar pada penuturan kepala suku dinas kebersihan DKI Jakarta, Eko Baruna di detik.com (Edwin, 2012). Angka tersebut bukanlah jumlah yang kecil. Tidak hanya itu, saat ini sampah telah menjadi potensi konflik antar warga di Jakarta. Berawal dari membuang sampah di satu wilayah yang mengakibatkan keresahan warga kemudian menciptakan pertikaian kecil. Sangat mudah kita temui disudut-sudut kota Jakarta, sampah yang telah menggunung. Apabila dulu penumpukan sampah hanya bisa ditemui di wilayah-wilayah tertentu seperti pemukiman kumuh, saat ini penumpukan sampah amat mudah kita dapatkan terutama di pinggiran kali, lahan kosong bahkan pinggir jalan di tengah kota sekalipun. Tentu saja kondisi tersebut menciptakan ketidaknyamanan bagi penduduk yang tinggal disekitarnya, karena menciptakan bau tidak sedap, dan penyebaran penyakit pun menjadi semakin cepat. Maka tidak mengherankan apabila dengan mudah kita temui tulisan yang melarang untuk membuang sampah di satu wilayah yang dibuat oleh penghuni rumah, komunitas maupun pihak-pihak yang dirugikan oleh orang-orang yang membuang sampah sembarangan.

Persoalan sampah merupakan permasalahan kecil tetapi tidak bisa diabaikan. Modus orangorang yang membuang sampah bukan ditempatnya adalah dengan berkeliling wilayah perumahan atau jalan-jalan raya dan mencari lokasi strategis untuk membuangnya. Apabila tidak ada yang menegur maka mereka akan kembali membuang sampah ditempat yang sama dan

dilakukan secara berulang-ulang. Tindakan itu kemudian diikuti oleh orang lain, terus menerus terjadi. Hanya dalam beberapa hari penumpukan sampah telah terjadi, mengundang kemarahan penduduk sekitar yang awalnya tidak menyadari. Hal seperti inilah yang kemudian memicu konflik antar warga yang membuang sampah dan penduduk yang wilayahnya kotor akibat mereka yang membuang sampah.

Produksi sampah di Jakarta mencapai 6.500 ton perhari

Yang menjadi pertanyaan, siapakah mereka yang membuang sampah tidak pada tempatnya ? Dan mengapa mereka melakukan hal tersebut ? Sejauh pengamatan dari sampah dan pelaku yang tertangkap basah membuang sampah, mereka adalah kaum migran. Pengamatan yang pernah dilakukan terhadap sampah yang dibuang adalah sampah sisa makanan dalam volume yang sangat banyak (lebih banyak dari sampah yang dihasilkan rata-rata satu rumah tangga) dan homogen. Dugaan sementara sampah tersebut dibuang oleh pekerja atau pemilik warung makan. Selain itu juga terdapat sisa-sisa makanan yang dibuang dalam jumlah tidak besar, maka dugaan pelaku adalah anggota sebuah rumah tangga yang membuang sampah sisa makanan mereka dalam satu hari. Kaum migran yang dimaksud disini adalah mereka yang tidak menetap dalam jangka waktu yang lama. Mereka adalah penduduk luar Jakarta yang datang untuk bekerja dalam waktu tertentu. Jawaban yang paling sering terucap adalah mereka membuang sampah di sembarang tempat karena mereka tidak memiliki akses yang tepat untuk membuang sampah,

padahal setiap harinya manusia pasti menghasilkan sampah. Apabila ini merupakan jawaban sebenarnya maka permasalahan ada pada pengelolaan sampah.

Penduduk pendatang yang tidak terdeteksi secara administrasi berakibat tertutupnya akses terhadap fasilitas umum, termasuk didalamnya distribusi sampah. Mereka yang tinggal di pemukiman kumuh terutama squater (illegal), sangat minim mendapatkan fasilitas umum, akibatnya mereka mencari celah untuk menikmati fasilitas yang umumnya didapatkan oleh peduduk, diantaranya; rasa nyaman dalam membuang sampah. Begitu juga dengan warungwarung makan yang berada di pinggir jalan raya. Warung-warung tersebut seringkali tidak terdeteksi secara administrasi oleh pemerintah terendah setempat seperti RT/RW sehingga mereka terabaikan secara fasilitas. Sebenarnya apabila mereka terdeteksi secara administrasi dan dikenakan retribusi untuk kebersihan dan fasilitas lainnya mereka sangat bersedia karena restribusi tersebut berdampak positif pada mereka juga.

Kaum migran bukanlah satu-satunya alasan yang menyebabkan sampah menjadi momok yang menakutkan di Jakarta. Padatnya penduduk Jakarta tidak dibarengi oleh kemampuan kapasitas sebuah wilayah membuat permasalahan semakin rumit. Banyaknya penduduk Jakarta dilatar belakangi oleh keberagaman etnis, karakter dan latar belakang sosial-ekonomi membuat menata Jakarta bukanlah pekerjaan mudah. Meningkatkan kesadaran untuk tidak buang sampah juga tidak gampang. Kampanye untuk tidak membuang sampah di Kanal Banjir Timur yang dilakukan oleh Gubernur Jakarta misalnya, hanyalah sekedar slogan. Kondisi Kanal yang baru saja dibangun sangat penuh dengan sampah, hal itu bisa dilihat di Kali Cipinang misalnya, dimana pintu air hanya dipadati oleh sampah terutama di musim kemarau.

Sampah mengotori kali di Jakarta

Selanjutnya, tentu diperlukan adanya langkah-langkah konkrit yang harus diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan sampah yang ada di wilayahnya. Sebenarnya upaya ini sudah mulai terlihat dengan upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang telah mentargetkan swastanisasi jasa pengelolaan sampah bisa meningkat hingga 60 persen pada pertengahan 2011.

Namun faktanya, pengelolaan oleh swasta baru mencapai 40 persen. Dinas Kebersihan DKI Jakarta sampai sekarang masih mengklaim bahwa masih terus berupaya memperbaiki sistem pengelolaan sampah di ibu kota. Salah satunya dengan menyerahkan kepada pihak swasta. Jika tahun 2011 lalu pengelolaan oleh swasta baru 40 persen, pada 2012 ini rencananya akan ditingkatkan menjadi 60 persen dan di waktu-waktu seterusnya menjadi 100 persen.

Eko Bharuna, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta dengan melibatkan swasta pengelolaan sampah diyakini semakin baik. Terlebih, saat ini pemprov memiliki sejumlah keterbatasan. Diantaranya, sumber daya manusia (SDM), kondisi armada yang kurang memadai, dan belum terbangunnya kesadaran warga menjalankan program memisahkan sampah sejak dari rumah. Selain SDM seperti tukang sapu dan sopir, saat ini armada angkutan sampah banyak yang tidak laik jalan. Dari 841 unit pengangkut sampah, kini tinggal 700 unit yang masih bisa beroperasi.

Problem nya adalah, di bagian manakah letak proses swastanisasi itu terjadi? Kita bisa melihat

bahwa proses swastanisasi dalam permasalahan sampah ini hanya pada proses pengolahan sampah di tempat pembuangan akhir yang memang melibatkan pengelolaan harian dan teknologi. Namun, apakah hal tersebut menjadi solusi? Apakah itu yang di maksud oleh Pemrpov DKI dengan proses swastanisasi yang telah mencapai 40% pada 2011 lalu?

Yang menarik adalah, permasalahan sampah itu bukan hanya pada proses pengolahannya saja. Tapi proses pengelolaan mulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan barulah pengolahan. Proses pengumpulan itu terjadi sesaat barang yang di buang atau terbuang itu menjadi sampah. Di kumpulkan dari lokasi awal sampah ke tempat pembuangan awal. Kemudian itu pun membutuhkan proses pengangkutan. Pengangkutan dari lokasi pembuangan awal ke pembuangan akhir untuk diolah, entah menjadi apa, itu urusan lain.

Diperlukan pengelolaan sampah yang baik untuk mengatasi masalah sampah di Jakarta

Jadi ada baiknya bagi Pemprov DKI untuk mulai memikirkan dan memberikan peran pada swasta berbasis ke wilayahan, yang di dorong untuk bisa bekerja sama dengan masyarakat wilayah setempat dalam proses pengelolaan sampah, namun dari hulu sampai hilir, komprehensif, tidak parsial. Dari mulai proses pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan. Kemudian

Pemprov bisa mulai berkonsentrasi untuk memberikan proses edukasi mengenai sampah ini dan mencoba untuk lebih keras menerapkan law enforcement tentang ketaatan warga dalam regulasi dan aturan tentang sampah, serta penyediaan sarana dan prasarana dalam mendukung program edukasi ini. Mulai merangkul komunitas-komunitas warga yang sudah mulai banyak memiliki kesadaran untuk pentingnya kebersihan dan pengelolaan sampah berbasis komunitas, dapat juga dilakukan sebagai pendukung dan role model dalam pendekatan edukatif terhadap masyarakat.

You might also like