You are on page 1of 4

PENDIDIKAN DI INDONESIA PADA MASA KOLONISASI BELANDA

Pendidikan berfungsi untuk mengadakan perubahan sosial, selain itu juga mempunyai fungsi: 1. 2. 3. 4. Melakukan reproduksi budaya, Difusi budaya Mengembangkan analisis kultural terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional Melakukan perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional dan 5. Melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan. Dari sini kita bisa melihat bahwa pendidikan bisa menjadi tolak pikir atau acuan dari kemajuan sebuah bangsa dan berkembangnya sebuah kebudayaan. Pendidikan jugalah sumber semua orang untuk menemukan sebuah penemuan baru dan teori baru baik dalam untuk membantu kehidupan sehari-hari manusia ataupun untuk merusak kehidupan manusia itu sendiri. Pendidikan mulai masuk atau berada di Indonesia sejak penjajahan Belanda. Pendidikan pertama kali diberikan oleh Pemeritah Hindia Belanda bukan untuk kesejahteraan masyarakat pribumi yang tinggal di Hindia Belanda tapi dikhususkan untuk orang-orang Eropa yang berada di Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda juga memang mendirikan sekolah untuk rakyat pribumi namun memiliki berbagai syarat yaitu dia haruslah anak-anak orang-orang terpandang seperti anak wedana, haruslah anak seorang yang kaya raya seprerti pedagang yang sukses. Jikalau kedua syarat itu belum bisa dicapai oleh masyarakat maka dia haruslah anak dari orang yang sudah menerima Kristen sebagai agamanya.

Dari segi pendidikan, kualitas sarana dan prasarana terdapat jurang pemisah yang sangat dalam anatara pelajar Eropa dan Pribumi. Orang-orang Eropa biasanya diberikan semua pelajaran, seragam dan jenjang pendidikan yang sangat jelas dan masih banyak lagi fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun sekolah pada masyarakat pribumi pelajaran yang diberikan sangatlah dibatasi yaitu hanya aritmatika, agama Kristen, bahasa latin dan bahasa Belanda. Mereka juga tidak diberikan seragam sekolah, jenjang pendidikannya jika kita ibaratakan seperti saat ini mereka hanya sampai sekolah dasar. Fasilitas yang diberikan tidak memadai dan sekolah orang Eropa dan Pribumi sangat dibedakan. Memang benar selain pendidikan barat ada juga pendidikan Islam seperti

pesantren. Namun di Pesantren, para pelajarnya kebanyakan hanya mempelajari lebih dalam tentang agama islam saja. Pada masa poltik etis yang terjadi awal abad 20, orang-orang Eropa mulai melakukan politik balas budi terhadap rakyat Hindia Belanda. Adapun salah satu program dalam menjalankan Politik Etis adalah melalui pendidikan. Pada masa politik Etis ini terjadi memang benar bahwa pribumi mendapatkan sebuah pendidikan, namun tetap saja dibatasi oleh pemerintah Hindia Belanda sebanyak 20 orang dan juga harus menguasai bahasa belanda, melayu, latin dan juga aritmatika. Selain itu ada juga sebagian pelajar Indonesia yang dikirim ke Belanda untuk belajar. Namun selain itu pendidikan juga mulai didapatkan di Pesantren dan ada juga sekolah baru untuk pribumi yang bernama sekolah arjuna. Sekolah ini didirikan dengan berhaluan aliran theosofi. Sekalipun poltik etis sudah berjalan di Hindia Belanda, namun tetap saja orangorang pribumi diatur oleh orang Eropa. Hal inilah yang membuat para pelajar baik di Hindia Belanda atau pun di Belanda mulai melakukan aksi pemberontakan dan mulai mendirikan organisasi atau partai untuk mebicarakn kondisi Hindia Belanda. Dari analisis diatas saya akan mencoba menganalisis pola gerak sejarah yang ada pada kasus ini. Sebelum saya melakukan analisis, saya akan menjelaskan bahwa ada 3 pola

dalam gerak sejarah. Pola pertama disebut progresif (maju): pola ini dikatakan maju karena dilihat dari segi materi yang cukup maju. Pola kedua disebut regresif (mundur): pola ini dikatakan mundur jika dilihat dari segi lingkungan atau faktor alam yang terus menurun. Pola ketiga disebut daur cultural (siklus lingkaran): pola ini bisa dikatakan terjadi pengulangan sebuah peristiwa atau pola dari masa lalu dengan pelaku, tempat, waktu yang berbeda. Dalam kasus ini bisa dikatakan adalah pola daur cultural (siklus lingkaran). Kasus ini dikatakan daur cultural disebabkan terdapat beberapa kesamaan yang terjadi yaitu bahwa pemerintah Hindia Belanda tetap saja membatasi pendidikan kepada pribumi walaupun sudah memasuki poltiki etis. Selain itu banyak juga sekolah yang didirikan pada masa ini bertujuan untuk menyebarkan atau memperdalam sebuah agama atau ajaran tertentu. Memang benar pendidikan telah diberikan kepada rakyat pribumi, namun yang menjadi kegunaan pendidikan itu sendiri untuk mendekati penguasa yang ada di daerah tersebut ataupun untuk mendekatkan diri kepada masyarakat. Pendidikan juga memebrikan kepintaran atau keahlian kepada pribumi, dimana tujuan yang ada sebenarnya bukan untuk menyejahterakan pribumi namun untuk kepentingan perseorangan atau sebuah institusi untuk mendapatkan tenaga ahli yang murah.

Sumber http://fungsipendidikandalamperubahansosial.blogspot.com/ http://blogs.unpad.ac.id/mumuhmz/2008/11/06/fil-sej-i/#comments http://pustaka.unpad.ac.id/archives/110777/ Artawijaya.2010. Gerakan Theosofi di Indonesia: Menelusuri Jejak Aliran Kebatinan Yahudi Sejak Masa Hindia Belanda Hingg Era Reformasi.Jakarta:Pustaka ALKAUTSAR. Kozok, Uli.2010.Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba.Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Poesponegoro, Marwati Djoened.1992.Sejarah Nasional Indonesia zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Republik Indonesia.Jakarta:PT. Balai Pustaka. Poeze, Harry.A. 2008.Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri

Belanda.Jakarta:Gramedia.

You might also like