You are on page 1of 1

Desain dan Proses Jaminan Kesehatan Aceh Mahlil Ruby

Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Undang-Undang Dasar tahun 1945 mengarahkan sub sistem pendanaan kesehatan kepada Sistem Pendanaan Publik (Public Financing) yang bersumber pada gabungan dua pilar yaitu (1) bantuan sosial dalam bentuk bantuan iuran dan (2) asuransi sosial yang merupakan iuran wajib bagi pekerja di sektor formal. Kedua pilar itu dirincikan dalam Undang-Undang (UU) No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sayang, pemerintah belum optimal mengimplementasikan UU ini. Rakyat Aceh yang didera oleh konflik vertical 30 tahun dan tsunami telah mendorong Pemerintah Aceh untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Lambatnya Pemerintah Pusat untuk menjamin kesehatan seluruh penduduk menambah dorongan itu. Apalagi Undang-Undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh memberikan otonomi yang luas kepada Pemerintah Aceh untuk mensejahterakan rakyat Aceh. Gubernur Aceh meminta kepada Dinas Kesehatan Provinsi Aceh untuk mendesain sistem pelayanan kesehatan yang membuat Semua Senang. Artinya, pendanaan kesehatan yang memadai sehingga rakyat senang dan fasilitas kesehatan ikut senang sehingga dapat memberikan pelayanan yang bermutu. Berbagai jenis jaminan kesehatan sosial sekarang (jaminan PNS/PT.Askes, Jamkesmas, JPK Jamsotek) di Indonesia belum memperbaiki mutu pelayanan kesehatan karena tidak pernah memperhatikan kebijakan yang mendera fasilitas kesehatan public sebagai provider utama seperti kebijakan two tiers system, perlakuan sebagai unit kantor, dan aturan keuangan. Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) didesain untuk dapat memenuhi harapan itu. Pada tahap awal, penduduk yang tidak terjamin dari berbagai jaminan dan peserta Jamkesmas menjadi peserta JKA. Pada tahun ke tiga, seluruh jenis jaminan kesehatan harus dikoordinasikan agar mendapat benefit dan pelayanan yang sama. Penduduk cukup menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga ketika menggunakan fasilitas kesehatan sebelum kartu peserta diterbitkan. Iuran tersebut berasal dari Pemerintah Aceh dengan besaran Rp.17 ribu/kapita/bulan. Iuran bagi penduduk yang mampu akan diminta iurannya pada tahun ke lima. Benefit yang diberikan serupa dengan Jamkesmas dengan memperhatikan gate keeper yang bermutu. Pelayanan kesehatan ibu hamil dan bersalin diperlakukan khusus untuk mempercepat pencapaian MDGs. Fasilitas kesehatan pemerintah sebagai pemberi pelayanan kesehatan utama. Sementara fasilitas kesehatan swasta akan dikontrak sesuai dengan kebutuhan dan persyaratan yang berlaku. Fasilitas kesehatan rawat jalan tingkat pertama dibayar dengan kapitasi dan adjusted capitation. JKA akan membayar fasilitas kesehatan tanpa membedakan tarif kelas. Apabila peserta naik kelas, maka peserta membayar ruang kamar tersebut dan sekaligus cost sharing dalam persentase tertentu. Badan penyelenggara JKA adalah badan atau lembaga yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan pengalaman, kemampuan menalangi dana, dan tersedia di seluruh Indonesia. Pemerintah kabupaten/kota seluruh Aceh diminta untuk meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan baik sarana, tenaga, maupun perbaikan kebijakan untuk fasilitas kesehatan daerah. Dalam proses dijumpai banyak tantangan terutama dalam menyakinkan otoritas anggaran seperti Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) di tingkat provinsi, pengawas anggaran, masyarakat, dan lainnya. Aspek politis dan lobi-lobi serta pendekatan lainnya dalam menentukan desain dan badan penyelenggara dan pembayaran fasilitas kesehatan merupakan upaya yang lama dan berat. Pada tahun 2008, pendanaan JKA gagal dialokasikan dengan alasan peserta yang belum jelas. Meskipun kegagalan itu lebih dominan karena aspek politik. Apalagi Gubernur yang terpilih tidak memiliki partai sehingga program ini rawan digagalkan oleh DPRA. Pada tahun 2009, Partai Aceh menjadi mendominasi DPRA tetapi bukan berarti JKA akan mulus untuk pelaksanaannya. Banyak diantara para politisi meragukan JKA tidak memperbaiki mutu pelayanan sekaligus menganggap iuran yang terlalu besar. Akhirnya, anggaran JKA hanya dialokasikan sebesar 239 miliar rupiah pada tahun 2010 yang cukup untuk 6-7 bulan. Pembayaran fasilitas kesehatan sangat dilematis dari aspek hukum terutama dalam meningkatkan pelayanan untuk Jamkesmas. Istilah duplikasi sangat menghantui tim JKA dan fasilitas kesehatan dalam menerima pembayaran. Tentang pembayaran ini akan dikonsultasikanlebih lanjut dengan otoritas keuangan provinsi dan kabupaten/kota agar tidak menjerat tenaga kesehatan public pada aspek hukum. Jaminan Kesehatan yang universal coverage yang dapat mereformasi fasilitas kesehatan merupakan upaya yang sangat berat terutama dari aspek politis dan aturan. Banyak pengambil kebijakan yang kurang memahami konsep dan penyelenggaraan asuransi kesehatan yang adil dan merata. JKA diharapkan dapat menjadi tambahan rujukan nasional dalam mengembangkan sistem asuransi kesehatan nasional.

Kata Kunci: desain, proses, politik, dan Jaminan kesehatan Aceh.

You might also like