You are on page 1of 51

Laporan Kasus

Gagal Jantung Kongestif et causa Penyakit Jantung Reumatik

Disusun oleh: Rahman Wahyudin S. Ked 70 2008 043 Dosen Pembimbing: dr. Amrizal, Sp. PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG 2012

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit

jantung

reumatik

(PJR)

merupakan

komplikasi

yang

membahayakan dari demam reumatik. Katup-katup jantung tersebut rusak karena proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus hemoliticus tipe A yang bisa menyebabkan demam reumatik. Kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih menjadi penyebab utama stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di Amerika Serikat.1 Menurut Hudak dan Gallo (1997), adanya malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.2 Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer, 2001). Menurut Brunner dan Suddarth (2002) gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan Oksigen dan nutrisi.2 Menurut laporan WHO Expert Consultation Geneva 29 Oktober-1 november 2001 yang diterbitkan tahun 2004 menyebutkan, sekitar 7,6/100.000

penduduk di Asia Tenggara, 8,2/100.000 penduduk di negara berkembang dan 0,5/100.000 penduduk di negara maju menderita penyakit jantung rematik.3 Sementara, untuk kasus gagal jantung kongestif akibat penyakit jantung reumatik tercatat bahwa di Eropa, tiap tahun terjadi 1,3 kasus per 1000 penduduk yang berusia 25 tahun. Kasus ini meningkat 11,6 pada manula dengan usia 85 tahun ke atas.4 Di Indonesia berdasarkan data dari RS Jantung Harapan Kita, peningkatan kasus ini dimulai pada 1997 dengan 248 kasus, kemudian melaju dengan cepat hingga mencapai puncak pada tahun 2000 dengan 532 kasus. Diperkirakan tahun ini juga akan terjadi peningkatan. Untuk itu, pihak RS telah mengantisipasi lonjakan kasus tersebut dengan membuka klinik khusus gagal jantung dan pelayanan One Day Care dengan system Nurse Base Care. Mengenai kematian akibat penyakit gagal jantung. Direktur RS tersebut, mengemukakan bahwa tahun lalu hanya 4,3% kematian yang terjadi. Jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan insiden pada 1999 sejumlah 12,2%.4 Dengan data perkembangan seperti ini, penyakit jantung kongestif oleh kelainan katup yang disebabkan penyakit reumatik akan menyebabkan permasalahan yang signifikan bagi mayarakat global dan bukan tidak mungkin dalam kurun beberapa tahun kedepan angka statistik ini akan bergerak naik jika para praktisi medis khususnya tidak segera memperhatikan faktor risiko utama yang menjadi awal mula penyakit ini. Dengan demikian perlu adanya penanganan dari segala aspek baik secara biomedik maupun biopsikososial. Dan untuk itu kasus ini penulis angkat sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sebagai praktisi medis agar dapat mengenal penyakit ini lebih rinci sebelum benar-benar mengaplikasikan teori pengobatan yang rasional.

BAB II LAPORAN KASUS II.1. IDENTIFIKASI Nama Umur Jenis kelamin Alamat Status Pekerjaan Agama MRS :F : 17 tahun : Laki-laki : Palembang : belum Menikah : Pelajar : Islam : 9 Oktober 2012

II.2. ANAMNESIS (autoanamnesis pada tanggal 9 Oktober 2012) Keluhan utama Sesak bertambah hebat sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit Keluhan tambahan Perut kembung dan kaki bengkak sejak 2 minggu yang lalu Riwayat perjalanan penyakit 2 minggu sebelum masuk rumah sakit os mengeluh sesak. Sesak dipengaruhi aktivitas dan tidak dipengaruhi cuaca maupun emosi. Os mengalami sesak saat berjalan 20 meter, sesak os berkurang ketika beristirahat. Os

mengeluh sembab pada kedua tungkai, Demam tidak ada. Mual tidak ada, muntah tidak ada. Nyeri dada tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Os hanya berobat kedukun tetapi tidak ada perubahan.

1 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak yang dialami os semakin bertambah. Os mengalami sesak saat berjalan 5 meter, Os sering terbangun pada malam hari karena sesak. Os lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Os mengeluh sembab pada kedua tungkai bertambah, perut dan kemaluan os membesar, demam tidak ada, mual ada, muntah tidak ada, , BAK sedikit-sedikit dan BAB biasa. Os belum berobat. 3 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak bertambah hebat, Os tidak bisa tidur karena sesak.. Sesak timbul walaupun os sedang istirahat, os lebih nyaman jika menggunakan 3 bantal atau duduk. Demam tidak ada. Mual ada, muntah tidak ada. Nyeri dada tidak ada. Jantung berdebar-debar ada. Kaki bertambah sembab, perut dan kemaluan os semakin membesar BAK sedikit-sedikit dan BAB tidak ada keluhan. Kemudian os berobat ke Rumah Sakit.

Riwayat penyakit dahulu: Riwayat darah tinggi sebelumnya, disangkal. Riwayat nyeri sendi berpindah disertai demam tinggi 6 Bulan yang lalu Riwayat sakit jantung rematik ada 6 bulan yang lalu, Os dirawat di RS selama 1 bulan dan pulang dengan ijin dokter. Awalnya os mengaku demam tinggi disertai nyeri sendi bahkan os sempat tidak bisa berjalan. Os tidak berobat. Os hanya berobat ke dukun kampung. Tetapi tidak ada perubahan. 1 bulan kemudian merasa kaki bengkak. Perut membesar dan sesak nafas. Os dibawa berobat ke RSMH. Os didiagnosis menderita PJR dan dirawat selama 1 bulan oleh dokter Sp. PD. Riwayat sakit kencing manis, disangkal. Riwayat sakit ginjal disangkal Riwayat Asma disangkal.

Riwayat penyakit keluarga Riwayat penyakit dengan gejala yang sama dalam keluarga disangkal Riwayat kebiasaan Riwayat Merokok (-) Riwayat Minum minuman beralkohol (-)

III.3. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum Kesadaran Dehidrasi Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu Tinggi Badan Berat Badan IMT : 50 (1,60)2 : 50 2,56 : 19,5 : Tampak sakit sedang : compos mentis : (-) : 130/60 mmHg : 98x/menit, reguler, isi-tegangan cukup. : 28x/menit, thoracoabdominal, reguler : 36,8 o C : 160 cm : 52 Kg

Keadaan spesifik Kulit Warna sawo matang, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-), sianosis (-), scar (-), pucat pada telapak tangan dan kaki(-), pertumbuhan rambut normal. KGB Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula serta tidak ada nyeri penekanan. Kepala Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, dan deformasi (-). Mata Eksophtalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-),pupil isokor, reflek cahaya normal, pergerakan mata ke segala arah baik. Hidung Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung(-). Telinga Tophi (-), nyeri tekan processus mastoideus (-),pendengaran baik. Mulut Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (), stomatitis (-), rhageden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan. Leher Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP (5+2) cmH 2 0, kaku kuduk (-).

Dada Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-) Paru-paru I : Statis,dinamis simetris kanan = kiri, P : Stemfremitus kanan = kiri P : Sonor kedua lapangan paru A: Vesikuler (+) Normal kanan = kiri, ronkhi basah halus (+) pada kedua basal paru, wheezing (-) Jantung I : Ictus cordis terlihat pada ICS VI P : Ictus codis teraba pada ICS VI linea axilaris anterior sinistra, thrill (+) P : Batas jantung atas ICS II Batas jantung kanan linea sternalis dextra Batas jantung kiri ICS VI linea axillaris anterior sinistra A: HR = 122x/menit ireguler, murmur sistolik (+) grade 4/6 di katup mitral penjalaran ke lateral, gallop(-) Perut I : Cembung, venektasi(-) P : tegang, nyeri tekan (+) di epigastrium, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor kulit normal. P : Shiftting Dullness (+)

A : BU(+) normal Alat kelamin : Tidak diperiksa Extremitas atas : Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, acral hangat, jari tabuh (-), turgor kembali cepat, clubbing finger (-). Extremitas bawah Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema pretibial (+/+), jaringan parut (-), pigmentasi normal, acral hangat, clubbing finger (-), turgor kembali cepat.

III.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Klinik (9/10/2012) Hb Hematokrit Leukosit Trombosit : 12,5 g/dl : 38 vol% : 8600/mm : 253.000/mm (14-16 g/dl) (40-46%) (5000-10000/ul) (200000-500000/ul)

Kimia klinik (9/10/2012) BSS Cholesterol : 85 mg/dl : 126 mg/dl (<200 mg/dl)

HDL Cholesterol : 21 mg/dl LDL Cholesterol : 84 mg/dl Trygliserde Urid Acid : 105 mg/dl : 7,3 mg/dl

(>55 mg/dl) (<130 mg/dl) (<150 mg/dl) (3,5-7 mg/dl)

Serologis ASTO CRP Widal H Widal O EKG : 800 ui/ml :: 1/160 : 1/320

10

Rontgen Thorax (18/6/2012)

Kesan: kardiomegali II. 6. Resume Seorang pasien laki-laki berusia 17 tahun datang ke poliklinik RSMP dengan keluhan Sesak bertambah hebat sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit dan Keluhan tambahan Perut kembung dan kaki bengkak sejak 2 minggu yang lalu. 2 minggu sebelum masuk rumah sakit os mengeluh sesak. Sesak dipengaruhi aktivitas dan tidak dipengaruhi cuaca maupun emosi. Os mengalami sesak saat berjalan 20 meter, sesak os berkurang ketika beristirahat. Os

mengeluh sembab pada kedua tungkai. 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak yang dialami os semakin bertambah. Os mengalami sesak saat berjalan 5 meter, Os sering terbangun pada malam hari karena sesak. Os lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Os mengeluh sembab pada kedua tungkai bertambah, perut dan kemaluan os membesar. 3 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak bertambah hebat, Os tidak bisa tidur karena sesak.. Sesak timbul walaupun os sedang istirahat, os lebih

11

nyaman jika menggunakan 3 bantal atau duduk. Demam tidak ada. Mual ada, muntah tidak ada. Nyeri dada tidak ada. Jantung berdebar-debar ada. Kaki bertambah sembab, perut dan kemaluan os semakin membesar BAK sedikitsedikit dan BAB tidak ada keluhan. Kemudian os berobat ke Rumah Sakit. Riwayat nyeri sendi berpindah disertai demam tinggi 6 Bulan yang lalu Riwayat sakit jantung rematik ada 6 bulan yang lalu, Os dirawat di RS selama 1 bulan dan pulang dengan ijin dokter. Awalnya os mengaku demam tinggi disertai nyeri sendi bahkan os sempat tidak bisa berjalan. Os tidak berobat. Os hanya berobat ke dukun kampung. Tetapi tidak ada perubahan. 1 bulan kemudian merasa kaki bengkak. Perut membesar dan sesak nafas. Os dibawa berobat ke RSMH. Os didiagnosis menderita PJR dan dirawat selama 1 bulan oleh dokter Sp. PD. Pada pemeriksaan vital singn didapatkan TD: 130/80mmHg, N: 98x/m reguler, RR: 28x/menit, T: 36,80C. Pada pemeriksaan vital sign dididapatkan peningkatan tekanan vena jungularis, pembesaran jantung, Murmur (+) Grade 4/6. Ronchi pada paru (+). Abdomen: cembung tegang, BU + N, NT (+) Epigastrik, H/L Tidak teraba, Undulasi (+), Shifting Dullnes (+). Pada ekstemitas didapatkan Edema pretibial (+). Pemeriksaan darah rutin: dalam batas normal. Pemeriksaan serologis: ASTO : 800ui/dl, CRP: -. Pemeriksaan radiologis : kardiomegali.

II.7. DIAGNOSIS KERJA CHF ec Mitral insufusiensi/Mitral stenosis ec Rheumatic Heart Disease II.8. PENATALAKSANAAN Non Farmakologis : Istirahat, posisi duduk O2 3L/Menit Diet jantung III

12

Farmakologis : II.9. RENCANA PEMERIKSAAN Echocardiography Rontgen Thorax IVFD RL gtt XV/menit Injeksi furosemid 1 x 40 mg (IV) Ksr 1x1 Aspilet 1 x 80 mg tablet Digoxin 1 x 0,125 mg Antasid syr 3xi c Inj ceftriaxon 1x1

II.10. PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam : Dubia ad bonam : Dubia ad malam

13

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Demam Reumatik 3.1.1. Definisi Demam rematik merupakan suatu penyakit peradangan yang berkembang sebagai suatu komplikasi dari suatu infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A di faring yang tidak mendapatkan pengobatan atau mendapatkan pengobatan yang kurang adekuat.5,6,7 Demam rematik bukan merupakan suatu infeksi, tetapi merupakan suatu reaksi peradangan terhadap infeksi, yang menyerang berbagai bagian tubuh (misalnya persendian, jantung, kulit).7

3.1.2. Etiologi Terdapat bukti-bukti yang mendukung adanya hubungan antara infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus -hemolyticus grup A dengan demam rematik akut serta penyakit jantung rematik. Sebanyak 2/3 dari pasien yang menderita demam rematik akut, mempunyai riwayat infeksi saluran nafas bagian atas beberapa minggu sebelumnya, dan angka insidens dari demam rematik akut hampir sama dengan infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A. Pasien dengan demam rematik akut hampir selalu mempunyai hasil serologi yang menunjukan adanya infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A baru-baru ini. Titer antibodi pasien-pasien tersebut lebih tinggi dibandingkan pasien-pasien dengan infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A tanpa diikuti demam rematik akut. Wabah faringitis oleh Streptococcus -hemolyticus grup A pada kelompokkelompok masyarakat yang tertutup seperti di asrama dan pangkalan militer, dapat pula diikuti oleh wabah demam rematik akut. Terapi antimikroba yang digunakan untuk mengeliminasi Streptococcus -hemolyticus grup A dari faring dapat pula mencegah episode awal dari demam rematik akut, dan sebagai upaya jangka panjang, pengobatan profilaksis yang diberikan untuk mencegah terjadinya

14

faringitis oleh Streptococcus -hemolyticus grup A kembali, juga dapat mencegah kekambuhan dari demam rematik akut.6,7,8 Streptococcus -hemolyticus grup A merupakan bakteri kokus grampositif, yang sering berkolonisasi di kulit dan orofaring. Bakteri ini dapat menimbulkan penyakit-penyakit supuratif, seperti faringitis, impetigo, selulitis, miositis dan pneumonia. Streptococcus -hemolyticus grup A juga dapat

menimbulkan penyakit-penyakit non-supuratif seperti demam reumatik, poststreptokokus glomerulonefritis akut. Streptococcus -hemolyticus grup A mengeluarkan toksin sitolitik yaitu streptolisin S dan O. Dari kedua jenis toksin ini, streptolisin O menimbulkan titer antibodi yang cukup tinggi dan persisten sehingga menjadi marker berguna untuk mendeteksi adanya infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A dan komplikasinya yang bersifat non-supuratif.6,7,8,9 Hubungan pasti antara infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A dengan timbulnya demam rematik tidak jelas, tetapi terdapat dugaan dimana bakteri ini mempermainkan sistem imun tubuh. Streptococcus -hemolyticus grup A memiliki protein yang serupa dengan protein yang ditemukan pada jaringanjaringan tertentu tubuh manusia. Oleh sebab itu, sel sistem imun yang biasanya menyerang bakteri Streptococcus -hemolyticus grup A dapat memperlakukan jaringan-jaringan tubuh tersebut, terutama jaringan jantung, persendian, kulit dan sistem saraf pusat, sebagai suatu agen infeksi. Reaksi sistem imun inilah yang menyebabkan proses peradangan.7 Tidak semua serotipe Streptococcus -hemolyticus grup A dapat menyebabkan demam rematik. Terdapat suatu konsep rhematogenicity dari terinfeksinya penyakit ini. Serotipe Streptococcus -hemolyticus grup A tertentu (M tipe 1, 3, 5, 6, 18, 24) sering diisolasikan dari pasien dengan demam reumatik akut dibandingan serotipe lainnya.7 Seperti yang telah terurai diatas, demam reumatik dipercaya timbul akibat suatu respon autoimun, namun patogenesis pastinya masih belum jelas. Demam

15

reumatik hanya timbul pada anak-anak dan remaja yang sebelumnya telah menderita faringitis oleh Streptococcus -hemolyticus grup A, dan hanya infeksi faring tersebut yang dapat mencetuskan atau mereaktivasi demam rematik.7 3.1.3. Faktor Resiko Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya demam rematik adalah: Riwayat keluarga. Beberapa orang memiliki gen yang membuat mereka menjadi lebih rentan untuk terkena demam rematik. Serotipe Streptococcus -hemolyticus grup A. Beberapa strain tertentu lebih berperan dalam timbulnya demam rematik dibandingkan strain lainnya. Faktor-faktor lingkungan. Resiko penting yang juga berperan dalam terjadinya demam rematik berhubungan dengan kepadatan penduduk, sanitasi yang buruk, dan kondisi-kondisi lain yang dapat mempermudah transmisi cepat atau paparan berulang dari Streptococcus -hemolyticus grup A. 6,8

3.1.4. Epidemiologi Evolusi dari demam rematik sungguh menakjubkan. Angka kejadian penyakit ini pada awal abad ke-20 sangat tinggi (100-200 kasus per 100.000 penduduk di Amerika Serikat pada tahun 1900 dan 50 per 100.000 pada tahun 1940). Dulu demam rematik merupakan salah satu penyebab terbesar dari kematian pada anak-anak dan remaja, dan penyebab penyakit jantung didapat pada dewasa muda. Hingga awal tahun 1980 terjadi penurunan tajam sekitar 0,5 per 100.000 di Amerika Serikat. Sejak saat itu, telah terjadi wabah demam rematik di beberapa daerah. Di Eropa telah terjadi penurunan serupa dari angka kejadian demam rematik dan telah menjadi penyakit yang jarang ditemui.9 Penjelasan dari penurunan tajam dari insidensi demam reumatik akut dan penyakit jantung reumatik di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya tidak jelas.

16

Menurut sejarah, demam reumatik akut telah dikaitkan dengan kemiskinan, terutama didaerah-daerah perkotaan. Kemungkinan penyebab dari penurunan tersebut pada era sebelum tersedianya antibiotik, adalah karena perbaikan kondisi lingkungan hidup. Beberapa penelitian menunjukan bahwa berbagai manifestasi dari kemiskinan, kepadatan, yang sangat berperan dalam penyebaran infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A, adalah yang paling berkaitan dengan insidensi demam reumatik akut. Penurunan insidensi demam reumatik akut di negara-negara maju pada 4 dekade terakhir ini juga disebabkan karena ketersediaan pelayanan kesehatan yang memadai dan penggunaan antibiotik. Terapi antibiotik untuk faringitis oleh Streptococcus -hemolyticus grup A penting perannya dalam pencegahan serangan awal dan juga pencegahan terhadap kekambuhannya. Sebagai tambahan, penurunan tersebut juga menunjukan prevalensi strain Streptococcus -hemolyticus grup A yang bersifat reumatogenik menjadi non-reumatogentik.6,8 Di negara-negara berkembang, demam rematik merupakan suatu epidemik dan menetap sebagai penyebab utama dari penyakit jantung didapat. Penyakit ini juga merupakan penyebab utama dari kematian kelompok usia dibawah 50 tahun, dan insidensi annual dari demam rematik adalah 100-200 kali lebih besar dibanding di negara-negara maju. demam rematik biasanya terjadi pada anak-anak usia 5-15 tahun. Jarang terjadi sebelum usia 3 tahun dan 92% kasus terjadi hingga usia 18 tahun. Demam rematik merupakan komplikasi dari infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A pada orang yang terpredisposisi. Kurang dari 2-3% dari orang yang sebelumnya sehat terkena demam rematik yang diikuti faringitis streptokok. Demam rematik tidak terjadi setelah pioderma streptokok.5 Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi

17

demam rematik di Indonesia pasti lebih tinggi dari angka tersebut, mengingat penyakit jantung rematik merupakan akibat dari demam rematik.7 3.1.5. Patogenesis Hubungan patogenik antara infeksi saluran napas bagian atas oleh Streptococcus -hemolyticus grup A dengan demam reumatik akut masih belum jelas. Salah satu rintangan terbesar dari usaha untuk memahami patogenesis demam rematik akut dan penyakit jantung rematik adalah tidak terdapatnya binatang percobaan. Banyak teori dari demam rematik akut dan penyakit jantung reumatik yang telah diusulkan, namun hanya 2 yang dapat dipertimbangkan yaitu the cytotoxicity theory dan teori imunologik.9 The cytotoxicity theory berpendapat bahwa suatu toxin dari Streptococcus -hemolyticus grup A terlibat dalam patogenesis demam rematik akut dan penyakit jantung reumatik. Toksin ini akan beredar melalui pembuluh darah dan mempengaruhi sistem tubuh lainnya. Streptococcus -hemolyticus grup A memproduksi berbagai enzim yang bersifat sitotoksik untuk sel jantung mamalia, seperti streptolisin O, yang mempunyai efek sitotoksik langsung terhadap sel mamalia dalam kultur jaringan. Pendukung terbanyak dari teori cytotoxicity berpusat pada enzim ini. Namun, salah satu masalah utama dari hipotesis ini adalah ketidakmampuannya untuk menjelaskan periode laten antara faringitis oleh Streptococcus -hemolyticus grup A dengan onset dari demam reumatik akut.9 Teori imunologik menyatakan adanya suatu immune-mediated patogenesis untuk demam rematik akut dan penyakit jantung rematik. Munculnya teori ini oleh karena adanya persamaan manifestasi klinik dari demam rematik akut dengan penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh proses imunopatogenik dan adanya periode laten antara infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A dengan demam rematik akut.4 Teori ini menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh sistem imun tubuh yang bertindak tidak sesuai. Sel imun tubuh (antibody), yang dibuat secara spesifik untuk mengenali dan menghancurksn agen penyebab penyakit

18

yang memasuki tubuh dalam hal ini, Streptococcus -hemolyticus grup A. Antibodi ini mampu mengenali bakteri ini karena bakteri ini mengandung marker spesifik sebagai tanda pengenal yang disebut antigen. Determinan antigenik antara komponen Streptococcus -hemolyticus Grup A (protein M, membran protoblas, karbohidrat dinding sel grup A, kapsul hialuronat) dan jaringan spesifik mamalia (jantung, otak, persendian) serupa. Sebagai contoh, beberapa M protein (M1, M5, M6, M19) berbagi epitop dengan tropomiosin dan miosin pada manusia. Oleh karena adanya persamaan antara antigen Streptococcus -hemolyticus grup A dan antigen sel-sel tubuh tertentu, maka antibodi tersebut dapat salah mengenali dan menyerang sel tubuh sendiri.6,7,8,9 Infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus -hemolyticus grup A adalah pencetus utama dari individu yang terpredisposisi. Usaha terakhir untuk menerangkan suspektabilitas pejamu terhadap kuman ini adalah gen respon imun yang ditemukan pada sekitar 15% seluruh populasi. Respon imun yang dicetuskan oleh kolonisasi Streptococcus -hemolyticus grup A di faring meliputi: (1) sensitisasi dari limfosit B oleh antigen streptokokus. (2) pembentukan antibodi antistreptokokus. (3) pembentukan kompleks imun yang mengalami reaksi silang dengan antigen sarkolema jantung. (4) respon inflamasi dari miokardium dan katup jantung.7,8,9 3.1.6. Gejala Klinis Karena tidak terdapatnya manifestasi klinis dan temuan laboratorium yang patognomik untuk demam rematik akut, T. Ducket Jones, pada tahun 1944, mengusulkan pedoman untuk mendiagnosis demam rematik akut dan untuk mencegah overdiagnosis. Kriteria Jones, yang telah direvisi pada tahun 1992 oleh American Heart Association, dibuat dengan maksud untuk mendiagnosis serangan pertama dari demam rematik akut dan bukan untuk serangan ulangan. Terdapat 5 kriteria mayor dan 4 kriteria minor dan persyaratan absolut (mikrobiologik atau serologik) dari bukti adanya infeksi Streptococcus -hemolyticus Grup A baru-

19

baru ini. Diagnosis dari demam rematik akut akut dapat ditegakan dari kriteria Jones jika seorang pasien memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor serta memenuhi persyaratan absolut. Meskipun dengan aplikasi ketat dari kriteria Jones, overdiagnosis atau underdiagnosis dari demam rematik akut masih dapat terjadi. 6,8,9 Ada tiga keadaan dimana diagnosis demam rematik akut dapat dibuat tanpa penetapan ketat dari kriteria Jones. Korea mungkin timbul sebagai manifestasi klinis satu-satunya dari demam reumatik akut. Keadaan yang sama mirip dengan seorang pasien yang dengan karditis dan baru datang berobat pertama kali berbulan-bulan setelah onset demam reumatik. Beberapa pasien dengan serangan ulangan dapat memenuhi kriteria Jones, beberapa lainnya tidak. 8 Manifestasi mayor. Terdapat 5 kriteria mayor. Adanya 2 kriteria mayor dengan bukti (mikrobiologik atau serologik) dari infeksi Streptococcus hemolyticus Grup A sebelumnya memenuhi kriteria Jones. 1. Poliartritis Migran. Artritis timbul pada 75% pasien dengan demam rematik akut dan sering melibatkan sendi-sendi besar, terutama sendi lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan siku. Keterlibatan tulang belakang, sendisendi kecil dari tangan dan kaki, atau sendi panggul sangat jarang. Persendian yang terkena rematik secara umum ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan keterbatasan gerak aktif; bahkan jika bersinggungan dengan sprei menimbulkan perasaan tidak enak.2,4,6 Nyeri ini dapat berlanjut dan dapat tampak tidak sesuai dengan temuan klinis lainnya. Keterlibatan sendi pada demam rematik akut bersifat migratory atau berpindah-pindah, sendi yang mengalami peradangan yang sangat berat dapat menjadi normal dalam waktu 1-3 hari tanpa pengobatan, sementara sendi-sendi lainnya mulai meradang. Sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada

20

beberapa sendi pada waktu yang bersamaan.6,8 Keluhan ini dapat menetap hingga berminggu-minggu (2-4 minggu).8 Artritis monoartikuler jarang terjadi kecuali jika terapi anti-inflamasi diberikan sejak awal sehingga mencegah progresifitas dari poliartritis migran. Jika seorang anak dengan demam dan artritis dicurigai menderita demam rematik akut, biasanya akan membantu jika pemberian salisilat ditunda dan pasien diobservasi untuk poliartritis. Respon dramatis terhadap dosis salisilat yang kecil pun adalah salah satu karakteristik untuk artritis dan tidak adanya respon itu menandakan diagnosis alternatif yang lain.4 Rematik artritis tidak menyebabkan deformitas dan kerusakan sendi jangka panjang7 Cairan sinovial pada demam rematik akut biasanya mengandung 10.000-100.000 sel darah putih/mm3 dengan sel dominan neutrofil, protein sebanyak 4 g/dL, kadar glukosa yang normal dan terjadi pembentukan gumpalan musin. Akhir-akhir ini artritis merupakan manifestasi awal dari demam rematik akut dan terdapat hubungan sementara dengan tingginya titer antibodi dari Streptococcus hemolyticus Grup A. Ada hubungan yang jelas antara beratnya artritis dengan beratnya keterlibatan jantung.8

2. Karditis Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat

mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung rematik.7 Diagnosis karditis rematik dapat ditegakan secara klinis berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) pankarditis, dan gagal jantung kongestif.
7

Pankarditis

adalah peradangan aktif miokardium, perikardium dan endokardium.7 Miokarditis dan atau perikarditis tanpa bukti adanya endokarditis jarang disebabkan oleh penyakit jantung rematik. Kebanyakan kasus melibatkan

21

kerusakan pada katup mitral atau kombinasi dari katup mitral dan aorta. Kerusakan pada katup aorta saja atau kerusakan katup sebelah kanan sangat jarang. Sedangkan efek jangka panjang dari kerusakan jantung yang lebih berat merupakan akibat dari kerusakan katup ini. Pada beberapa anak dengan peradangan jantung tidak menunjukan adanya gejala klinis, dan riwayat peradangan sebelumnya baru diketahui bertahun-tahun kemudian saat kerusakan jantung telah terjadi. Beberapa anak akan merasakan jantungnya berdebar-debar. Sedangkan lainnya akan mengeluh nyeri pada dada yang disebabkan oleh peradangan selaput yang menyelimuti jantung (perikarditis). Kegagalan jantung dapat terjadi, dan menyebabkan anak tersebut menjadi cepat lelah dan sesak nafas, dengan mual, muntah, nyeri perut atau batuk kering.7 Rematik karditis akut biasanya ditandai dengan danya takikardia dan murmur jantung, dengan atau tanpa bukti danya keterlibatan miokardium atau perkardium. Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat. Bising pada demam rematik dapat berupa bising pansistol didaerah apeks (regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan bising mid-diastol pada apeks (bising CareyCoombs) yang timbul akibat adanya dilatasi ventrikel kiri. Selain itu, rematik karditis ringan hingga berat dapat menyebabkan kardiomegali dan penyakit jantung kongestif dengan hepatomegali dan edema perifer dan pulmonal. Penemuan ekokardiografi meliputi effusi perikardium,

penurunan kontraktilitas ventrikular, dan regurgitasi aorta dan atau mitral. Hasil ekokardiografi yang menunjukan adanya suatu regurgitasi katup tanpa diserta bukti auskultasi tidak cukup untuk memenuhi kriteria Jones untuk karditis.7 Karditis timbul pada 50-60% kasus demam reumatik akut. Serangan ulangan demam reumatik akut pada pasien yang sebelumnya

22

terkena karditis pada serangan pertama kemungkinan untuk terkena karditis lagi pada serangan ulangan sangat tinggi. Dampak utama dari rematik karditis adalah penyakit katup yang bersifat kronik progresif, khususnya stenosis katup, yang mungkin akan membutuhkan penggantian katup dan dapat merupakan suatu predisposisi timbulnya endokarditis terinfeksi.7

3. Korea Sydenhem Korea sydenham terjadi pada 10-15% pasien dengan demam rematik akut dan biasanya bermanifestasi sebagai suatu gangguan gerakan yang bersifat tiba-tiba, tidak disadari, tidak berirama, klonik dan tanpa tujuan serta perilaku neurologik yang terisolasi dan halus. Emosi yang labil, inkoordinasi, kinerja sekolah yang buruk, gerakan tak terkendali, dan wajah meringis, yang dicetuskan oleh stress dan hilang dengan tidur merupakan ciri-ciri dari kelainan ini.7 Gerakan tersentak-sentak dan tak terkendali ini mempunyai onset yang tersembunyi dan membahayakan, tetapi biasanya baru timbul setelah gejala lainnya telah menghilang, dan menetap hingga berbulan-bulan (4-8 bulan) sebelum dikenali. Gerakan ini melibatkan seluruh otot-otot tubuh kecuali otot mata. Biasanya dimulai dengan ekstremitas atas lalu menyebar ke ekstremitas bawah dan wajah. Korea sering bersifat unilateral. Masa laten dari infeksi akut Streptococcus -hemolyticus Grup A menjadi korea lebih lama dibanding menjadi artritis atau karditis dan dapat mencapai berbulan-bulan. Pemeriksaan klinis yang dapat dilakukan untuk memperoleh ciri-ciri dari korea meliputi (1) demonstrasi dari milkmaids grip (pemeras susu) yaitu kontraksi irreguler dari otot-otot tangan sambil memeras jari pemeriksa, (2) gerakan menyendok dan pronasi dari tangan saat lengan penderita di ekstensikan, (3) gerakan seperti cacing dari lidah saat dijulurkan, (4) pemeriksaan tulisan tangan untuk menilai gerakan motorik halus. Diagnosis ditegakan berdasarkan temuan klinis dengan bukti yang mendukung adanya antibodi

23

Streptococcus -hemolyticus Grup A. Namun, pada pasien dengan periode laten yang lama dari sejak timbulnya infeksi Streptococcus -hemolyticus Grup A, kadar antibodi kemungkinan telah menurun hingga kadar normal. Meskipun penyakit akut ini menyedihkan, korea jarang, bahkan hampir tidak pernah terdapat gejala sisa yang permanen.6 Korea syndenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap sebagai petanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan kriteria lain.7

4. Eritema Marginatum. Eritema marginatum merupakan ruam yang jarang (<3% pasien dengan demam reumatik akut) namun khas pada demam reumatik akut. Ini meliputi lesi makular, eritematous dan serpiginous (menyebar, progresif) dengan bagian tengah yang pucat, namun tidak gatal. Terjadi terutama di bagian trunkus dan ekstremitas, tetapi tidak mengenai wajah.4,8 Kelainan ini dapat berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor ini hanya ditemukan pada kasus yang berat.7

5. Nodul Subkutan. Nodul subkutan sangat jarang terjadi (<1% pasien dengan demam reumatik akut) dan meliputi nodul-nodul keras berdiameter kurang lebih 1 cm sepanjang permukaan ekstensor dari tendon dekat prominen tulang, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis, tidak terasa nyeri dan mudah digerakan. Terdapat hubungan secara signifikan antara munculnya nodulnodul ini dengan penyakit jantung reumatik.7 Manifestasi Minor. 1) Riwayat demam rematik sebelumnya. Ini dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis

24

yang didasarkan pada kriteria objektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.7 2) Arthralgia. Arthralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Arthralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor.7 3) Demam. Demam pada demem rematik adalah ringan, meskipun ada kalanya mencapai 39C, terutapa jika terdapat artritis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan petanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna.7 4) Peningkatan kadar reaktan fase akut. Berupa kenaikan laju endap darahm kadar protein C-reaktif serta leukositosis merupakan indikator non spesifik dari peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C-reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan.7 5) Interval P-R yang memanjang. Biasanya menunjukan adanya

keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus arterioventrikel dan sering juga dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini

25

tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan pertanda yang memadai adanya karditis rematik.2 Bukti yang mendukung Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standard untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi streptokokus. Titer ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anakanak pada usia diatas 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70-80% kasus demam rematik akut. Infeksi streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan usapan tenggorokan. Biakan positif pada 50% kasus demam rematik akut. Bagaimanapun biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut.7

3.1.6. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Kultur tenggorokan. Pengambilan sampel dengan cara mengusap kedua tonsil dan laring bagian posterior kemudian dibiak dalam medium agar darah domba, untuk melihat adanya infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A. Koloni yang terbentuk pada medium biakan dapat diperiksa dengan latex agglutination, florescent antibody assay, koagulasi atau teknik presipitasi untuk membuktikan adanya infeksi Streptococcus hemolyticus grup A. kultur tenggorokan untuk Streptococcus hemolyticus grup A biasanya memberikan hasil negatif saat gejala dari demam reumatik atau penyakit jantung reumatik telah muncul. Usahakan untuk dapat mengisolasikan bakteri sebelum pemberian terapi antibiotik untuk membantu mengkonfirmasikan diagnosis faringitis oleh Streptococcus -hemolyticus grup A dan dapat ditentukan serotip jenis apa jika berhasil.7

26

Rapid antigen detection test. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen dari Streptococcus -hemolyticus grup A secara cepat, sehingga diagnosis dapat segera ditegakan dan terapi antibiotik dapat segera diberikan saat pasien masih berada dikamar pemeriksaan dokter. Spesifisitas dari pemeriksaan ini lebih dari 95%, namun sensitivitasnya hanya 60-90%. Oleh karena itu, pengambilan kultur tenggorokan dianjurkan.7

Antibodi antistreptokokus. Tanda-tanda klinik dari demam reumatik dimulai saat tingkat antibodi antistreptokokus mencapai puncaknya. Oleh karena itu, pemeriksaan ini berguna untuk mengkonfirmasi apakah sebelumnya pernah terinfeksi oleh Streptococcus -hemolyticus grup A. Antibodi antistreptokokus ini terutama berguna pada pasien dengan manifestasi klinis korea karena ini merupakan satu-satunya tanda diagnostik. Sensitifitas terhadap infeksi yang baru terjadi dapat ditingkatkan dengan memeriksa beberapa jenis antibodi. Untuk memeriksa apakah terjadi peningkatan titer antibodi maka pemeriksaan dilakukan dengan jarak 2 minggu. Antibodi antistreptokokus ekstraseluler yang paling sering diperiksa adalah antistreptolisin O (ASO) dan anti-Dnase B, antihialuronidase, antistreptokinase, antistreptokokal esterase, dan antinicotinamide adenine dinucleotide (anti-NAD). Tes antibodi terhadap komponen seluler antigen Streptococcus -hemolyticus grup Ameliputi antistreptococcal polusaccharide, antiteicholic acid antibody, dan anti-M protein antibody. Secara umum, antibodi terhadap antigen streptokokus ekstraseluler meningkat selama bulan pertama setelah infeksi dan membentuk gambaran plateau selama 3-6 bulan sebelum kembali ke kadar normal setelah 6-12 bulan. Saat titer ASO mencapai puncaknya (2-3 minggu setelah onset demam rematik), sensitifitas pemeriksaan ini sebesar 80-85%. Anti-Dnase B mempunyai sensitifitas sedikit lebih tinggi (90%) untuk memastikan demam rematik atau glomerulonefritis akut.

Antihialuronidase pada pasien demam reumatik dengan titer ASO yang

27

normal sering abnormal, dapat muncul terlebih dahulu, dan menetap lebih lama dibanding peningkatan titer ASO selama demam reumatik.7 Acute-phase reactants: C-reactive protein dan lanju endap darah meningkat pada penderita demam rematik oleh karena proses inflamasi dari penyakit tersebut. Kedua pemeriksaan ini memiliki sensitifitas yang tinggi namun spesifitas yang rendah terhadap demam rematik.7 Heart reactive antibodies: Tropomiosin meningkat pada penderita dengan demam rematik akut.7 Rapid detection test for D8/17: Teknik immunofluorescence ini dapat mengidentifikasi B-cell marker D8/17 bernilai positif 90% pada penderita demam rematik dan dapat berguna untuk mengidentifikasi seseorang yang beresiko terkena demam rematik.7 b. Pencitraan Foto thoraks Kardiomegali, kongesti pulmonal, dan temuan lainnya yang berkaitan dengan kegagalan jantung terlihat pada foto thoraks seseorang dengan demam rematik. Saat pasien tersebut demam dan menunjukan distres pernapasan, foto thoraks membantu membedakan antara gagal jantung kongestif dan rematik pneumonia.7 Ekokardiografi Pada penderita penyakit jantung reumatik akut, ekokardiografi mengidentifikasi dan menilai insufisiensi katup dan disfungsi ventrikel. 7 c. EKG Sinus takikardi sering ditemukan bersamaan dengan penyakit jantung rematik. Dapat juga disertai dengan blok jantung derajat I, II atau III. Pada penderita yang disertai perikarditis akut, akan ditemukan ST elevasi yang terlihat pada lead II, III, aVF dan V4-V6. Penyakit jantung rematik juga dapat menyebabkan flutter atrium, takikardi atrium

28

multifokal, atau fibrilasi atrium dari penyakit katup mitral kronik dan dilatasi atrium. Katerisasi jantung tidak diindikasikan untuk demam rematik akut. 7 d. Pemeriksaan Histologi Pemeriksaa patologi anatomi terhadap katup yang mengalami insufisiensi dapat ditemukan lesi verrucous pada garis penutupan. Ashcoff bodies (fokus perivaskuler yang merupakan kolagen eosinofil yang dikelilingi limfosit, sel plasma, dan makrofag) ditemukan di perikardium, regio perivaskular dari miokardium, dan endokardium. Ashcoff bodies tampak granulomatous dengan fokus sentral fibrinoid yang pada akhirnya akan digantikan oleh nodul-nodul jaringan parut. 7

3.1.7. Diagnosis Seperti yang telah dijelaskan diatas, diagnosis demam rematik lazim ditegakan berdasarkan kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya. 7

29

Kriteria Mayor Karditis Poliartritis Korea Eritema marginatum Nodulus subkutan Kriteria Minor Klinik Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya Artralgia Demam Laboratorium Peningkatan kadar reaktan fase akut (protein C reaktif, laju endap darah, leukositosis) Interval P-R yang memanjang Ditambah Tanda-tanda yang mendukung adanya infeksi streptokokus sebelumnya: kenaikan titer antistreptolisin O (ASTO) atau antibodi antistreptokokus lainnya, biakan usapan tenggorokan yang positif untuk streptokokus grup A atau baru menderita demam skarlatina. Tabel 1. Kriteria Jones (yang diperbaiki) untuk diagnosis demam reumatik Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa dukungan bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam reumatik dengan manifestasi mayor tunggal

30

berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika demam reumatik baru muncul setelah masa laten yang lama dari infeksi streptokokus. 7 Perlu diingat kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam reumatik. Kriteria ini bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis maupun underdiagnosis. 7 3.2. Gagal Jantung Kongestif 3.2.1. Definisi Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung. Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF) adalah kondisi dimana fungsi jantung sebagai pompa untuk menghantarkan darah yang kaya oksigen ke tubuh tidak cukup untuk memenuhi keperluan tubuh. Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas mengenai disfungsi ventrikel. Sebenarnya istilah gagal jantung menunjukkan berkurangnya kemampuan jantung untuk mempertahankan beban kerjanya.

3.2.2. Epidemiologi Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit

31

jantung akibat malnutrisi.

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit

jantung rematik, yaitu penyakit katup regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan. 7 Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut.8 Salah satu penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50 tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang berusia 85 tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, jumlah orang yang didiagnosis dengan kondisi ini akan terus meningkat. Di Amerika Serikat, hampir 5 juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Kondisi ini lebih umum di antara Amerika Afrika dari kulit putih.
2

Hal ini menunjukkan adanya

keterkaitan antara usia dan gagal jantung kongestif. Selain usia, insidensi gagal jantung kongestif juga dipengaruhi oleh faktor lain. Salah satunya, insidensi gagal jantung kongestif digolongkan berdasarkan jenis kelamin. Dari survei registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di rumah sakit, dengan angka kejadian 4.7% pada perempuan dan 5.1% pada lakilaki.2 Kualitas dan kelangsungan hidup penderita gagal jantung kongestif sangat dipengaruhi oleh diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Oleh karena itu, prognosis pada penderita gagal jantung kongestif bervariasi pada tiap penderita. Berdasarkan salah satu penelitian, angka kematian akibat gagal jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun. Sekitar setengah dari mereka dengan gagal jantung kongestif mati dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis mereka.6 Sumber lain

32

mengatakan bahwa seperdua dari pasien gagal jantung kongestif meninggal dalam waktu 4 tahun setelah didiagnosis, dan terdapat lebih dari 50% penderita gagal jantung kongestif berat meninggal dalam tahun pertama.1 3.3 Etiologi Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan, sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung7

Selain itu, berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung7

33

Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional yaitu dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan

(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel2,3,7. Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.7 Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi

34

(penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung. Manifestasi Klinis Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skeletal dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.

35

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin Angiotensin Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi .sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berlanjutan, dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.

36

Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial and brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan arteri pulmonal pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri. (Harbanu H.M, 2007)

Manifestasi Klinis Umum Sesak napas (juga disebut dyspnea)

Deskripsi Sesak napas selama melakukan aktivitas (paling sering), saat

Mekanisme Darah dikatakan backs up di pembuluh darah paru

37

istirahat, atau saat tidur, yang mungkin datang tiba-tiba dan membangunkan. Pasien sering mengalami kesulitan bernapas sambil berbaring datar dan mungkin perlu untuk menopang tubuh bagian atas dan kepala di dua bantal. Pasien sering mengeluh bangun lelah atau merasa cemas dan gelisah. Batuk atau mengi yang persisten Batuk yang menghasilkan lendir darah-diwarnai putih atau pink. Bengkak pada pergelangan kaki, kaki atau perut atau penambahan berat badan.

(pembuluh darah yang kembali dari paru ke jantung) karena jantung tidak dapat mengkompensasi suplai darah.Hal ini menyebabkan cairan bocor ke paru-paru.

Cairan menumpuk di paru-paru (lihat di atas).

Penumpukan kelebihan cairan dalam jaringan tubuh (edema)

Aliran darah dari jantung yang melambat tertahan dan menyebabkan cairan untuk menumpuk dalam jaringan. Ginjal kurang mampu membuang natrium dan air, juga menyebabkan retensi cairan di dalam jaringan. Jantung tidak dapat memompa cukup

Kelelahan

Perasaan lelah sepanjang waktu dan

38

kesulitan dengan kegiatan sehari-hari, seperti belanja, naik tangga, membawa belanjaan atau berjalan. Kurangnya nafsu makan dan mual Perasaan penuh atau sakit perut.

darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan tubuh.

Sistem pencernaan menerima darah yang kurang, menyebabkan masalah dengan pencernaan. Perubahan pada tingkat zat tertentu dalam darah, seperti sodium, dapat menyebabkan kebingungan. Untuk "menebus" kerugian dalam memompa kapasitas, jantung berdetak lebih cepat.

Kebingungan dan gangguan berpikir

Kehilangan memori dan perasaan menjadi disorientasi.

Peningkatan denyut jantung

Jantung berdebardebar, yang merasa seperti jantung Anda balap atau berdenyut.

( American Heart Association, 2011)

39

Gambar menunjukkan gambaran umum gejala klinis pada pasien CHF Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung Kongesti Diagnosis CHF membutuhkan adanya minimal 2 kriteria besar atau 1 kriteria utama dalam hubungannya dengan 2 kriteria minor. Kriteria Mayor: Paroksismal nocturnal dyspnea Distensi vena pada leher

40

Rales Kardiomegali (ukuran peningkatan jantung pada radiografi dada) Edema paru akut S3 ( Suara jantung ketiga ) Peningkatan tekanan vena sentral (> 16 cm H2O di atrium kanan) Hepatojugular refluks Berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari di tanggapan terhadap pengobatan

Kriteria Minor: Bilateral ankle edema Batuk nokturnal Dyspnea pada aktivitas biasa Hepatomegali Efusi pleura Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit.) Pada pasien ini didapatkan tiga kriteria mayor. Pertama terdapatnya paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil pemeriksaan fisik perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran jantung. Batas jantung kanan terdapat pada linea sternalis dekstra, batas kiri pada linea axillaris anterior sinistra, dan batas atas pada ICS II. Namun pada pemeriksaan fotothorax kardiomegali sulit dinilai. Ketiga terdapat peninggian tekanan vena jugularis yaitu (5+0) cmH2O. Keempat adanya efusi plura dextra dan sinistra yang menandakan adanya edema paru akut.

41

Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan bilateral angkle edema batuk malam hari. Kedua terdapatnya dispnea deffort yang didapatkan dari hasil anamnesis pasien mengeluh mudah lelah dengan aktifitas ringan. ketiga berdasarkan pemeriksaan rontgen thorax didapatkan pleural effusion. Oleh karena itu pada pasien ini kami simpulkan diagnosis fungsionalnya adalah CHF. Gagal Jantung Kongestif dan Penyakit Jantung Rematik Penyakit jantung rematik adalah gejala sisa dari demam rematik dan merupakan jenis penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada populasi anak-anak dan dewasa muda. Puncak insiden demam rematik terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun; penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. 9 Prevalensi demam rematik/penyakit jantung rematik yang diperoleh dan penelitian WHO mulai tahun 1984 di 16 negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Latin, Timur Jauh, Asia Tenggara dan Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai 12,6 per 1.000 anak sekolah, dengan prevalensi rata-rata sebesar 2,2 per 1.000. Prevalensi pada anak-anak sekolah di beberapa negara Asia pada tahun 1980-an berkisar 1 sampai 10 per 1.000. Dari suatu penelitian yang dilakukan di India Selatan diperoleh prevalensi sebesar 4,9 per 1.000 anak sekolah, sementara angka yang didapatkan di Thailand sebesar 1,2 sampai 2,1 per 1.000 anak seko1ah. Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa revalensi penyakit jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. 9 Kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih menjadi penyebab stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di

42

Amerika Serikat.1 Menurut Hudak dan Gallo (1997), adanya malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.2 Hubungan patogenik antara infeksi saluran napas bagian atas oleh Streptococcus -hemolyticus grup A dengan demam reumatik akut masih belum jelas. Salah satu rintangan terbesar dari usaha untuk memahami patogenesis demam rematik akut dan penyakit jantung rematik adalah tidak terdapatnya binatang percobaan. Banyak teori dari demam rematik akut dan penyakit jantung reumatik yang telah diusulkan, namun hanya 2 yang dapat dipertimbangkan yaitu the cytotoxicity theory dan teori imunologik.4 The cytotoxicity theory berpendapat bahwa suatu toxin dari Streptococcus -hemolyticus grup A terlibat dalam patogenesis demam rematik akut dan penyakit jantung reumatik. Toksin ini akan beredar melalui pembuluh darah dan mempengaruhi sistem tubuh lainnya. Streptococcus -hemolyticus grup A memproduksi berbagai enzim yang bersifat sitotoksik untuk sel jantung mamalia, seperti streptolisin O, yang mempunyai efek sitotoksik langsung terhadap sel mamalia dalam kultur jaringan. Pendukung terbanyak dari teori cytotoxicity berpusat pada enzim ini. Namun, salah satu masalah utama dari hipotesis ini adalah ketidakmampuannya untuk menjelaskan periode laten antara faringitis oleh Streptococcus -hemolyticus grup A dengan onset dari demam reumatik akut.4,6 Teori imunologik menyatakan adanya suatu immune-mediated patogenesis untuk demam rematik akut dan penyakit jantung rematik. Munculnya teori ini oleh karena adanya persamaan manifestasi klinik dari demam rematik akut dengan penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh proses imunopatogenik dan adanya periode laten antara infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A dengan demam

43

rematik akut.4 Teori ini menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh sistem imun tubuh yang bertindak tidak sesuai. Sel imun tubuh (antibody), yang dibuat secara spesifik untuk mengenali dan menghancurksn agen penyebab penyakit yang memasuki tubuh dalam hal ini, Streptococcus -hemolyticus grup A. Antibodi ini mampu mengenali bakteri ini karena bakteri ini mengandung marker spesifik sebagai tanda pengenal yang disebut antigen. Determinan antigenik antara komponen Streptococcus -hemolyticus Grup A (protein M, membran protoblas, karbohidrat dinding sel grup A, kapsul hialuronat) dan jaringan spesifik mamalia (jantung, otak, persendian) serupa. Sebagai contoh, beberapa M protein (M1, M5, M6, M19) berbagi epitop dengan tropomiosin dan miosin pada manusia. Oleh karena adanya persamaan antara antigen Streptococcus -hemolyticus grup A dan antigen sel-sel tubuh tertentu, maka antibodi tersebut dapat salah mengenali dan menyerang sel tubuh sendiri.1 Infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus -hemolyticus grup A adalah pencetus utama dari individu yang terpredisposisi. Usaha terakhir untuk menerangkan suspektabilitas pejamu terhadap kuman ini adalah gen respon imun yang ditemukan pada sekitar 15% seluruh populasi. Respon imun yang dicetuskan oleh kolonisasi Streptococcus -hemolyticus grup A di faring meliputi: (1) sensitisasi dari limfosit B oleh antigen streptokokus. (2) pembentukan antibodi antistreptokokus. (3) pembentukan kompleks imun yang mengalami reaksi silang dengan antigen sarkolema jantung. (4) respon inflamasi dari miokardium dan katup jantung.8

44

BAB IV ANALISIS KASUS

Gagal jantung merupakan sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung, dimana jantung tidak sanggup memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan. Gagal jantung ditandai oleh sesak (dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, cheyne-stokes respiration) dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas). Keluhan sesak disertai edema dapat berasal dari organ paru, jantung, ginjal, serta dari hati. Dari anamesis didapatkan sesak yang dipengaruhi aktivitas merupakan khas sesak yang disebabkan oleh organ jantung. Kemudian dilanjutkan dengan dilakukannya pemeriksan fisik serta pemeriksaan penunjang sehingga dapat dipastikan sesak pada penderita bukan berasal dari organ paru, ginjal atau pun hati. Ditinjau dari sudut klinis secara simtomatologis di kenal gambaran klinis berupa gagal jantung kiri dengan gejala badan lemah, cepat lelah, berdebar, sesak napas dan batuk. serta tanda objektif berupa takhikardia, dyspnea (dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, cheyne-stokes respiration), ronkhi basah halus di basal paru, bunyi jantung III, dan pembesaran jantung. Gagal jantung kanan dengan gejala edema tumit dan tungkai bawah, acites, bendungan vena jugularis dan Gagal jantung kongestif merupakan gabungan dari kedua bentuk klinik gagal jantung kiri dan kanan. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, cepat lelah, ronkhi basah halus di kedua basal paru, gejala edema tungkai bawah, bendungan vena jugularis sehingga memenuhi gejala gagal jantung kongesti.

45

Berdasarkan klasisfikasi New York Heart Asscociation sebagai 4 kelas (NYHA1-4) dimana dyspnea dan fatigue sebagai penilaian. Pada kelas 1 tidak ada keluhan, Kelas 2 symptom muncul pada pekerjaan biasa, Kelas 3 symptom muncul pada pekerjaan ringan serta kelas 4 symptom muncul pada saat istirahat Pada pasien ini tampak terjadi perburukan dari 3 minggu terakhir sampai 3 hari SMRS terdapat perubahan kelas 1 mulai dari sanggup beraktivitas seperti biasa, menjadi terbatas dalam bekerja, tidak bekerja sampai dypsnea saat istirahat (kelas 4). Berdasarkan kriteria Framingham minimal satu kriteria mayor dan dua kriteria minor yaitu: Kriteria mayor berupa paroksisimal nocturnal dispneu, distensi vena leher, ronki paru, kardiomegali, edema paru akut, Gallop s3, peninggian tekanan vena jugularis, Refluks hepatojugular. Dan kriteria minor berupa edema ekstremitas, batuk malam hari dispnea deffort, hepatomegali, Efusi pleura, penurunan kapasitas vital, takikardi ( >120 x/menit) Pada pasien ini didapatkan empat kriteria mayor. Pertama terdapatnya paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil pemeriksaan fisik perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran jantung. Batas jantung kanan terdapat pada linea sternalis dekstra, batas kiri pada linea axillaris anterior sinistra ICS VI, dan batas atas pada ICS II. Hal yang sama juga didapatkan dari hasil rontgen yang menyatakan bahwa pada pasien terdapat kardiomegali. Ketiga terdapat peninggian tekanan vena jugularis yaitu (5+2) cmH2O, keempat didapatkan ronki basah halus pada kedua basal paru. Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa berupa edema ekstremitas, batuk malam hari dispnea deffort. Oleh karena itu pada pasien ini kami simpulkan diagnosis fungsionalnya adalah Congestive Heart Failure (CHF).

46

Diagnosis anatomi ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik terdapat pembesaran dari jantung dan dikonfirmasi dengan ro thorax dengan kesan kardiomegali. Etiologi dari penyakit gagal jantung dapat berupa penyakit jantung bawaan, penyakit jantung rematik, penyakit jantung hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit jantung anemik, penyakit jantung tiroid, cardiomiopati, cor pulmonale serta kehamilan. Penyakit gagal jantung yang terjadi pada usia < 50 tahun, terbanyak adalah disebabkan oleh penyakit jantung reumatik dan penyakit jantung tiroid, dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda kelainan tiroid, melainkan yang didapat adalah riwayat sakit jantung reumatik yang pernah diderita sekitar 6 bulan yang lalu. Pada gambaran rontgen thorax didapatkan bentuk pinggang jantung yang sudah tidak tampak lagi, gambaran ini khas jika terjadi mitral stenosis yang merupakan kelainan katup yang paling sering ditemukan pada penyakit jantung reumatik. Namun untuk mendiagnosis pasti pada pasien ini diperlukan pemeriksaan penunjang yaitu, echocardiography. Patofisiologi munculnya gagal jantung berupa beban pengisian (preload) dan beban tahanan (afterload) pada ventricle yang mengalami dilatasi dan hipertropi memungkinkan daya kontraksi jantung yang lebih kuat sehingga terjadi kenaikan curah jantung. Disamping itu karena pembebanan jantung yang lebih besar akan membangkitkan reaksi hemostasis melalui peningkatan rangsangan simpatik. Perangsangan ini menyebabkan kadar katekolamin sehingga memacu terjadinya takikardia dengan tujuan meningkatnya curah jantung. Bila curah jantung menurun maka akan terjadi redistribusi cairan badan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar venous return. Dilatasi, hipertropi, takikardia, redistribusi cairan adalah mekanisme kompensasi jantung. Bila semua mekanisme ini telah digunakan namun kebutuhan belum terpenuhi, maka terjadi gagal jantung.

47

Mengingat pada pasien ini, terdapat riwayat sakit jantung rematik sejak 6 bulan yang lalu yang didahului demam tinggi dan nyeri pada sendi. Adanya malfungsi katup pada penyakit jantung rematik dapat menimbulkan kegagalan pompa, baik oleh kelebihan beban tekanan atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif. Penatalaksanaan pada gagal jantung tergantung etiologi, hemodinamik, gejala klinis serta beratnya gagal jantung. Pengobatan terdiri dari 5 komponen berupa penanganan secara umum, mengobati penyakit dasar, mencegah

kerusakan lebih lanjut pada jantung, dan mengendalikan derajat CHF. Secara umum Gagal jantung kelas 3 dan 4 perlu untuk membatasi aktivitas dengan istirahat di tempat tidur tetapi perlu untuk menghindari tidur lama, menghentikan kebiasan hidup yang meningkatkan munculnya penyakit jantung seperti merokok pada pasien, pembatasan kadar garam (Na) tetapi ini belum diperlukan oleh karena pemberian obat yang dipilih meningkatkan pengeluaran Na. Diet makanan pada penyakit jantung pada rumah sakit ini berupa diet jantung. Diet jantung terdiri dari diet jantung I berupa makanan cair, diet jantung II merupakan bubur saring, diet jantung III merupakan bubur, diet jantung IV berupa makanan nasi. Diet yang diberikan pada pasien ini berupa diet jantung III karena pasien masih sadar dan tidak boleh terlalu banyak melakukan aktivitas. Pengobatan berdasarkan gejala berupa pembatasan asupan cairan karena cairan yang banyak akan diabsorpsi oleh tubuh dan menambah jumlah cairan pada tubuh sehingga memperberat kerja jantung. pemberian diuretik sangat diperlukan untuk mengeluarkan cairan yang ada dari tubuh dalam kasus ini di gunakan furosemide sebagai diuretik serta pemberian aspilet (asetil salilisat) untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit pada pembuluh darah koroner. Antacid diberikan untuk mengurangi efek samping dari aspilet yang merangsang asam

48

lambung, dan juga untuk mengatasi rasa nyeri di ulu hati pasien yang kemungkinan berasal dari lambung. Pada pasien ini telah terjadi atrial fibrilasi, pemberian digoxin sebagai golongan inotropik positif dapat dipertimbangkan pada tahap awal terapi untuk memperbaiki kemampuan jantung dalam memompakan darah serta mengontrol laju respon ventrikel, namun pemberian digoxin juga harus disertai dengan pengawasan dikarenakan efek samping obat ini dapat menyebabkan pasien menjadi aritmia, untuk mencegahnya dapat diberikan antidotum digoxin yaitu gelatin.. Prognosis ditegakkan berdasarkan dari kemampuan pompa jantung untuk kompensasi serta perbaikan gejala klinik setelah di terapi. Untuk melihat kelainan anatomi dari jantung maka pasien direncanakan pemeriksaan echochardiography. Secara klinis, pada pasien ini terdapat perbaikan sehingga prognosis quo ad vitam adalah dubia ad bonam. Tetapi secara fungsional, pada penyakit jantung rematik telah terjadi kerusakan katup yang permanen sehingga prognosis quo ad fungsionam adalah dubia ad malam.

49

DAFTAR PUSTAKA

1. Branch, William T., R. Wayna Alexande, Robert C. Schlant, and J. Wilis Hurst. 2000. Cardiology in Primary Care. Singapore : McGraw Hill. 2. Mahmud. Congestive Heart Failure. 2008. Available from URL: http://www.scribd.com/doc/3670294/Congestive-Heart-Failure. 3. Anonim. 7,6/100.000 Penduduk ASEAN Menderita Jantung Rematik. Available from : (http://web.pab-indonesia.com/content/view/11249/9/) 4. O'Brien, Terrence. Congestive Heart Failure. South Carolina: Medical University of South Carolina: 2006. Available from URL:

http://www.emedicinehealth.com/congestive_heart_failure/article_em.htm. 5. Weil-Olivier C. (2004). Rheumatic Fever. [internet]. Available from http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-RF.pdf 6. Kisworo. (1997). Demem Rematik. [internet]. Available from

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09DemamRematik116.pdf/09Dema mRematik116.pdf 7. Sudoyo. W. Aru, Buku Ajar penyakit Dalam. FKUI, Jakarta; 2006 8. Chin TK. (2010). Pediatric Rheumatic Fever. [internet]. Available from http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview 9. Behrman, Klegman, Arvin, Rheumatic Fever in: Nelson Text Book of Pediatrics, 17th edition, USA, 2006, 1140-1144

50

10. Mayo Clinic staff. (2011). Rheumatic Fever. [internet]. Available from http://www.mayoclinic.com/health/rheumatic-fever/DS00250

51

You might also like