You are on page 1of 11

Artikel Asli: Inpatient management of atopic dermatitis 1. ShelleyD Cathcart, 2.

Amy Theos Dermatologic Therapy, Volume 24, Issue 2, pages 249255, March/April 2011 Pengelolaan Rawat Inap Dermatitis Atopik

Abstrak Dermatitis atopik (AD) adalah peradangan kulit kronis yang umumnya dikelola secara rawat jalan. Namun demikian persentase pasien yang mengembangkan komplikasi cukup parah adalah signifikan dan membutuhkan rawat inap. Komplikasi AD yang paling umum dan mungkin membutuhkan rawat inap yaitu eritroderma, herpeticum eksim, dan infeksi bakteri sistemik. Rawat inap juga dapat berguna untuk penyakit kronis dan parah yang tidak merespon terapi standar atau dalam situasi di mana dicurigai ada ketidakpatuhan sebagai penyebab kegagalan pengobatan. Di kasus ini, pengobatan rawat inap dapat menawarkan kesempatan bagi para pengampu pendidikan dan memungkinkan untuk mengevaluasi respon pasien terhadap rencana perawatan yang terstruktur. Artikel ini akan meninjau indikasi manajemen rawat inap AD dan terapi yang dapat digunakan untuk mengelola keparahan penyakit dan komplikasi yang terkait. KATA KUNCI: dermatitis atopik, eksim herpeticum, eritroderma, pasien rawat inap, wet wrap therapy PENDAHULUAN Dermatitis atopik (AD) adalah penyakit peradangan kulit kronis yang mempengaruhi sekitar 17% anak dan 1-3% orang dewasa (1). Terapi tradisional yang terdiri dari emolien, potensi kortikosteroid topikal ringan sampai moderat, atau inhibitor kalsineurin topikal, ditujukan untuk mencegah iritasi dan alergen. Meskipun strategi pengobatan menunjukkan peningkatan terhadap hasil yang signifikan pada sebagian besar pasien, namun sebagian kecil tetap membutuhkan terapi yang lebih intensif. Komplikasi AD yang paling umum memerlukan manajemen rawat inap adalah eritroderma, herpeticum eksim, dan infeksi bakteri sistemik atau parah. Rawat inap juga dapat memberikan keuntungan terhadap jenis penyakit kronis dan parah akibat tidak merespon terapi standar atau akibat kecurigaan ketidakpatuhan yang berefek pada kegagalan pengobatan. Dalam kasus ini, pengobatan rawat inap dapat menawarkan kesempatan bagi pengurus

pendidikan dan memungkinkan evaluasi obyektif pada respon pasien terhadap rencana pengobatan yang terstruktur. Artikel ini akan meninjau indikasi manajemen rawat inap AD dan terapi yang dapat digunakan untuk mengelola keparahan penyakit dan komplikasi yang terkait. Eritroderma Dekompensasi akut AD dari sedang sampai parah dapat menyebabkan eritroderma, yang didefinisikan sebagai adanya eritema dan kerak meluas hingga lebih dari 80% dari luas permukaan tubuh. AD adalah salah satu penyebab yang lebih umum dari eritroderma, meskipun ada penyebab lain (Tabel 1). Terlepas dari penyakit yang mendasari, komplikasi eritroderma dapat mengancam jiwa dan dapat berupa ketidakstabilan suhu, hypoproteinemia, hipovolemia, hipernatremia, dan tingginya output gagal jantung kongestif. Manajemen rawat inap eritroderma sering diperlukan. Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami eritroderma adalah pemeriksaan menyeluruh untuk mengidentifikasi etiologi yang

mendasarinya. Riwayat penyakit secara hati-hati harus diambil pada saat presentasi, memberikan perhatian khusus pada penyakit sebelumnya, demam terakhir, obat baru, dan obat relevan sebelumnya serta riwayat keluarga. Pemeriksaan fisik harus mencakup evaluasi dari permukaan mukosa, pengujian tanda positive Nikolsky (peluruhan epidermis dengan gesekan lateral mengkilat pada permukaan kulit), dan palpasi kelenjar getah bening. Evaluasi laboratorium dasar harus terdiri dari tes fungsi hati, panel kimia, dan hitung darah lengkap. Keberadaan lesi dermatitic, pruritus yang parah, lichenifikasi, riwayat atopi pribadi atau keluarga, kadar serum imunoglobulin E, atau eosinofilia merupakan fitur-fitur yang bermanfaat untuk mendukung diagnosis AD. Petunjuk lain yang berguna adalah hasil pemeriksaan histologi meliputi acanthosis dan spongiosis ringan sampai sedang, eosinofil dermal, dan parakeratosis. Meskipun pengobatan definitif eritroderma tergantung pada penyebab yang mendasari, semua pasien harus dikelola atas kehilangan cairan, kelainan elektrolit, dan ketidakstabilan suhu. Dukungan nutrisi juga penting. Rasio lebar permukaan tubuh terhadap massa tubuh pada anak-anak dikombinasikan dengan gangguan

barrier kulit dan vasodilatasi kulit menyebabkan anak-anak sangat rentan terhadap dehidrasi hypernatremic, output tinggi gagal jantung dan hipotermia (3). Infeksi bakteri sekunder dengan Staphylococcus stafilokokus umum terjadi pada pasien eritroderma atopik dan harus dikenali dan ditangani dengan segera. Setelah penyebab eritroderma ditetapkan, pengobatan yang tepat dari kondisi yang mendasari dapat dimulai. Dalam kasus AD, wet wrap therapy dapat mencapai peningkatan yang cepat.

Tabel 1. Diagnosis diferensial penyebab umum eritroderma penyakit Dermatitis atopik karakteristik klinis pruritus parah, lichenifikasi, riwayat atopi pribadi atau keluarga, imunoglobulin E tinggi, eosinofilia Seborrheic dermatitis bayi kerak kuning berminyak, melibatkan daerah diaper Psoriasis Kerak keperakan, sudah ada lesi psoriasis sebelumnya, perubahan kuku, riwayat psoriasis keluarga Sindrom kulit terbakar karena Bayi dan anak-anak, lecet dangkal, tanda Stafilokokus Nikolsky, lipatan kulit dan aksentuasi perioral, sangat nyeri Ichthyosis kongenital, bisa juga di membran collodion Sindrom Netherton Onset pada masa bayi, rambut tipis (trichorrhexis invaginata), gagal tumbuh, atopi Imunodefisiensi Onset awal, alopecia, gagal tumbuh, infeksi berulang Obat Riwayat asupan obat Cutaneous limfoma sel T Dewasa, pruritus berat, keratoderma Pityriasis rubra pilaris Keratoderma, pulau sparing, eritema warna salmon Wet wrap therapy Wet wrap therapy didefinisikan sebagai pengobatan yang terdiri dari penerapan agen topikal dengan perban atau kasa lapisan ganda, lapisan pertama lembab dan kemudian lapisan kedua kering. Efektivitas wet wrap therapy pada AD dianggap multifaktorial. Wet wrap telah terbukti menyembuhkan gangguan barier kulit pada

pasien AD, memperbaiki struktur pipih lipid antarsel, dan mengurangi kehilangan air transepidermal (4). Wet wrap juga direkomendasikan agar pembalut dapat menjadi penghalang isik terhadap goresan, yang memungkinkan kulit bisa sembuh selain dapat menjaga kondisi kulit tetap lembab di mana obat topikal akan lebih mudah diserap (5). Meskipun sebagian besar rejimen mencakup penggunaan kortikosteroid topikal, ada juga yang melaporkan tentang perbaikan AD hanya dengan emolien saja. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Schnopp dkk. membandingkan wet wrap therapy dengan furoate atau emolien tawar menunjukkan perbaikan yang signifikan pada kedua kelompok penelitian, namun, efeknya secara signifikan lebih baik pada kelompok yang diobati dengan mometasone (6). Efektivitas perawatan steroid bebas yang dilakukan, telah memberikan dukungan bahwa peningkatan penetrasi obat topikal hanya dari satu segi dibandingkan dengan efektivitas wet wrap therapy. Mengenai rincian praktis dari wet wrap therapy, sebuah protokol dasar yang mencakup beberapa fitur umum dari rejimen wet wrap disajikan pada Tabel 2. Variasi di mana lapisan pertama direndam dalam krim steroid hangat sebagai pengganti air juga telah dilaporkan efektif, dalam variasi ini, lapisan basah yang direndam dalam steroid menggantikan penerapan steroid topikal (7). Pilihan steroid serta frekuensi aplikasi wet wrap juga bervariasi menurut institusi pembuat. Tabel 3 menunjukkan beberapa steroid topikal dan frekuensi aplikasi yang telah dilaporkan efektif. Mengenai durasi terapi, semua penelitian menunjukkan perbaikan AD yang signifikan setelah 1 minggu wet wrap therapy, dengan peningkatan kurang terlihat pada minggu kedua dan selanjutnya (6-0). Oleh karena itu, saat ini penulis merekomendasikan jangka waktu pengobatan tidak lebih dari 7 hari untuk menyeimbangkan risiko efek samping sambil mencapai manfaat maksimal dari terapi ini. Risiko utama dari wet wrap therapy adalah penekanan pada sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Beberapa studi telah menunjukkan bahwa wet wrap therapy dapat menyebabkan penurunan kadar serum kortisol di pagi hari (7,8). Namun, kadar kortisol kembali normal dalam 2 minggu penghentian terapi, dan tidak ada efek samping yang terjadi dalam penelitian sebagai akibat dari

penekanan pada HPA. Beberapa peneliti telah meneliti efek dari cairan steroid dengan emolien untuk mengurangi jumlah total steroid yang diterima kulit dan telah menemukan bahwa tidak ada perbedaan keberhasilan antara berbagai pengenceran fluticason. Wolkerstorfer dkk. juga memeriksa apakah penekanan sumbu HPA dapat diminimalkan jika krim steroid yang lebih encer diterapkan (9). Mereka menemukan bahwa penekanan sumbu HPA lebih banyak terjadi pada pasien yang diobati dengan konsentrasi steroid yang lebih tinggi. Oleh karena itu, meningkatkan cairan steroid poten tampaknya berakibat pada rendahnya risiko penekanan axis HPA dengan tetap menjaga efektivitas konsentrasi steroid yang lebih tinggi. Dua efek samping paling umum terkait dengan perawatan wet wrap therapy adalah proses toleransi yang lemah dan folikulitis sekunder sampai oklusi. Penggunaan krim sebagai ganti dari salep dapat mengurangi kejadian folikulitis. Peningkatan risiko infeksi bakteri atau herpes dengan wet wrap therapy adalah kontroversial tetapi tampaknya langka. Meskipun beberapa penelitian melaporkan peningkatan kejadian infeksi bakteri sekunder, namun penelitian lainnya benarbenar melaporkan penurunan kolonisasi S. aureus pada kulit pasien AD setelah perawatan wet wrap (6,8). Para penulis menyarankan agar wet wrap tidak diterapkan pada setiap daerah yang jelas terinfeksi sampai pengobatan antimikroba yang tepat telah dimulai dan terlihat ada perbaikan. Table 2. Protokol Wet wrap Protokol umum wet wrap Gunakan pembalut tubular, potong dengan ukuran yang sesuai untuk menutupi lengan, badan, kaki, dan (jika diperlukan) penutup wajah. Harus cukup untuk dua lapisan. Siram kulit pelan-pelan dengan air hangat selama 5-10 menit. Keringkan dengan pad lembut. Oleskan krim atau salep steroid pada kulit. Rendam perban lapisan pertama dalam air hangat, peras, dan gunakan untuk membungkus ekstremitas dan badan. Terapkan perban lapisan kedua yang kering. Diamkan minimal 2 jam dan ulangi setiap 12 jam. Anak-anak bisa tidur semalam dengan pembalut ini jika ditoleransi. Eksim herpeticum (EH)

EH terjadi ketika sebelumnya kulit terkena dampak dari AD menjadi terinfeksi sekunder dengan virus herpes simpleks (herpes simplex virus = HSV). EH dapat mengakibatkan komplikasi serius dan bahkan fatal, terutama dalam kasus penyebaran viremia dan keterlibatan multiorgan (11,12). Untuk alasan ini, EH adalah komplikasi lain dari AD yang memerlukan manajemen rawat inap. Penyebaran virus herpes pada pasien dengan AD dianggap sebagai akibat gangguan barier kulit, yang memfasilitasi invasi virus dan mengikat pada reseptor seluler (13). Anak-anak yang terkena dampak EH akan sering memiliki riwayat penyakit yang lebih parah, onset AD lebih awal, dan tingkat alergi makanan lebih tinggi atau asma (14). Peningkatan serum imunoglobulin E juga telah terlibat sebagai faktor risiko untuk EH (15). Meskipun kortikosteroid topikal merupakan penyebab poten dari komplikasi ini, penelitian lebih lanjut telah membantah pernyataan ini (15). EH muncul sebagai vesikula umbilicated yang berkembang menekan-keluar ulcer kulit terjadi terutama pada kulit yang terkena AD (Gambar 1). Kepala dan leher terlibat secara khusus. Infeksi dapat sebagai hasil dari penyebaran HSV berulang atau hasil inokulasi dari orang yang terinfeksi (15). Lesi kulit dapat terasa sangat nyeri dan beresiko pada infeksi bakteri sekunder. Lesi baru biasanya muncul pada 7-10 hari pertama, dan lesi biasanya akan hilang dalam 2-6 minggu (16). Episode primer seringkali dikaitkan dengan demam, limfadenopati dan malaise. Viremia sistemik dapat menyebabkan keterlibatan multiorgan, yang paling sering adalah hati, paru-paru, sistem saraf pusat, dan kelenjar adrenal. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan perubahan virus yang terlihat pada biopsi kulit, pewarnaan fluoresen antibodi langsung (direct fluorescent antibody = DFA), kultur virus, atau polymerase chain reaction DNA virus pada Pap atau sampel jaringan. Diagnosis juga dapat dilakukan melalui tes Tzanck. Tes Tzanck mengacu pada prosedur dimana dasar vesikel baru unroofed dikerik dan sel-sel dioleskan ke slide kaca. Setelah pewarnaan dengan Wright slide atau Giemsa, terlihat sel-sel multinuclear virus atau sel balon dengan perubahan sitopatik virus yang khas, seperti nuclear molding dan kromatin kental, pertegas diagnosis (17). Pewarnaan DFA adalah tes yang paling cepat dan handal jika tersedia di

laboratorium rumah sakit setempat. DFA juga memerlukan kerokan dasar lesi dan olesan pada slide kaca dalam enam sampai delapan sumuran yang berbeda bagi para teknisi DFA untuk menguji dengan reagen HSV dan virus varicella zoster. Dasar terapi EH adalah pengobatan antivirus (Tabel 4). Asiklovir intravena lebih disukai untuk EH karena bioavailabilitas asiklovir oral yang rendah (1530%) (13)..Oleh karena itu, oral asiklovir harus dibatasi pada pengobatan penyakit ringan. Untuk anak-anak lebih dari 12 tahun, dosis intravena yang dianjurkan adalah 750 mg/m2 diberikan tiga kali sehari. Untuk anak yang lebih tua dan orang dewasa, rejimen yang dianjurkan adalah asiklovir intravena 5-10 mg / kg / dosis diberikan tiga kali sehari. Meskipun tidak ada penelitian yang dilakukan pada lama terapi intravena yang tepat sebelum berpindah ke antiviral oral, terapi intravena 3-7 hari adalah umum (13). Untuk penyakit ringan, obat antivirus oral (acyclovir, valacyclovir, dan famciclovir) dapat digunakan (18). Regimen dosis oral untuk obat selain acyclovir tidak sesuai untuk populasi anak. Dosis yang dianjurkan untuk asiklovir pada anak adalah 20 mg / kg / dosis empat kali sehari. Dosis maksimum adalah 800 mg empat kali sehari. Dosis dewasa yang direkomendasikan adalah asiklovir 800 mg lima kali sehari, valacyclovir 1 g tiga kali sehari, dan famciclovir 500 mg tiga kali sehari (18). Semua obat digunakan selama 7-10 hari atau sampai terdapat bukti penyembuhan. Terapi ajuvan untuk EH terdiri dari kontrol nyeri, pengobatan infeksi bakteri sekunder, dan pencegahan terhadap kortikosteroid sistemik atau topikal dan inhibitor kalsineurin topikal selama penyakit akut. Analgesik opioid mungkin diperlukan dalam beberapa kasus. Infeksi bakteri sekunder adalah umum dan terapi antibiotik sebelumnya adalah penyebab umum kematian pada EH. Setiap daerah yang berpotensi terinfeksi harus dikultur, dan antibiotik terapi yang sesuai harus segera diterapkan. Infeksi S. aureus, streptokokus beta hemolitik grup A, atau Pseudomonas aerugionosa adalah yang paling umum. Kompres salin normal atau aluminium asetat (1: 40) bisa digunakan. Emolien Bland dapat diterapkan pada erosi, tetapi immunosupresif topikal atau sistemik harus dihindari sampai fase akut telah teratasi. Komplikasi lain yang jarang terjadi tetapi berpotensi serius

EH adalah keratoconjunctivitis (19). Pasien harus menerima pemeriksaan ophthalmologic, terutama jika terkena pada wajah.

Tabel 3. Topical steroid dan frekuensi aplikasi steroid pada beberapa rejimen yang dilaporkan Referensi Steroid topikal Frekuensi durasi aplikasi wet wrap therapy (jam) Lama pengobatan (minggu) UAB Department Krim Triamcinolone Dua kali sehari of Dermatology 0.1% untuk badan Dua jam per bungkus Krim Desonide untuk Untuk 1 minggu wajah Devillers et al. Krim Fluticasone Sekali sehari proprionate 0.05% Dua puluh empat jam per 5% pengenceran untuk bungkus, dibasahi lagi wajah setiap 2-3 jam dengan Dewasa: 10 atau 25% uap air pengenceran untuk badan untuk 1 minggu Anak-anak: 5 atau 10% pengenceran untuk badan Wolkerstorfer et al. Krim Fluticasone Sekali sehari proprionate 0.05% Dua puluh empat jam per 0, 10, 25, atau 50% bungkus, dibasahi lagi pengenceran untuk badan setiap 2 jam dengan uap air untuk 2 minggu Goodyear et al. Krim hydrocortisone Dua kali sehari 0.5% jika < 2 tahun Dua belas jam per 10% pengenceran dari bungkus krim betamethasone Untuk 2-5 hari valerate 0.01% jika <2 thn Schnopp et al. mometasone furoate 0.1% Dua kali sehari Durasi pembungkusan tidak ada Untuk 5 hari Pei et al. mometasone furoate 0.1% Sekali sehari diencerkan menjadi 10% Durasi pembungkusan 8 0.005% fluticasone jam proprionate diencerkan Untuk 2 minggu menjadi 10%

Gambar 1. Eksim herpeticum. Umbilicated vesikel dan papula kulit berdarah sebagai karakteristik herpeticum eksim. Perhatikan edema periorbital yang signifikan. Gambar 2. Dermatitis atopi dan infeksi bakteri sekunder. Erosi dan papula kulit melapis melewati plak eczematous lichenified. Tabel 4. Pengelolaan herpeticum eksim Pengobatan Antiviral (a) Acyclovir intravena dosis setiap 8 jam 10 mg/kg/ dosis setiap 8 jam Acyclovir Oral (b) anak-anak: 20 mg/kg/dose dosis setiap 6 jam (dosis maksimum 800 mg) dewasa: 800 mg lima kali sehari (pemberian pada anak seperti pada dewasa ketika digunakan dosis mg/kg dalam 800 mg) Antiviral lainnya (penjadwalan dosis tidak diperuntukkan pada pasien pediatrik) Valacyclovir 1 g tiga kali sehari Famciclovir 500 mg tiga kali sehari Pengobatan adjuvan Pengontrol rasa nyeri Menghindari kortikosteroid topikal dan inhibitor kalsineurin topikal ke daerah aktif dari infeksi Menghindari immunosupresif sistemik selama infeksi akut Mengidentifikasi dan mengobati infeksi bakteri sekunder Normal saline atau kompres Burrow dua kali sehari Emolien bland Berkonsultasi dengan ophthalmologic jika ada keterlibatan wajah Keterangan: a.Semua pengobatan diberikan selama minimal 7-10 hari, b. intravena asiklovir lebih disukai kecuali dalam kasus penyakit ringan. Infeksi bakterial Kolonisasi bakteri adalah komplikasi umum dari AD (gambar 2). Studi yang dilakukan Leyden dkk. menunjukkan bahwa 90% pasien dengan AD memiliki kolonisasi S. aureus pada kulit yang sakit (20). Bila dibandingkan dengan plak Psoriatic, S. aureus mengkoloni hanya 50% dari waktu dalam studi serupa. Tingkat kolonisasi dapat menunjukkan kerentanan spesifik kulit atopi untuk kolonisasi bakteri (21). Meskipun alasan untuk ini tidak sepenuhnya dipahami, penurunan ekspresi peptida antimikroba endogen pada kulit atopi dapat

menyebabkan immunodeficiency lokal pada kulit atopi (22). Kolonisasi kronis dengan S. aureus dapat memperburuk penyakit dan memicu penyakit yang lebih sulit. Pengobatan dengan antibiotik antistaphylococcal topikal atau oral dapat membantu pemulihan (23). Menariknya, dibandingkan dengan populasi umum, pasien dengan AD tidak tampak lebih mungkin sebagai pembawa strain S. aureus yang resisten (23). Selain kolonisasi, S. aureus, dan streptokokus lain yang kurang umum, juga dapat menyebabkan infeksi klinis. Infeksi aktif bermanifestasi sebagai pustula, papula honeycrusted, abses, atau selulitis. Pasien dengan AD juga berisiko terhadap infeksi serius seperti sepsis, endokarditis, arthritis septik, dan osteomielitis (24). Tidak mengherankan, jika pasien dengan AD yang lebih berat memiliki risiko bakteremia yang lebih besar. Invasi infeksi S. aureus harus dipertimbangkan pada semua pasien atopi yang menyajikan kesakitan febril atau demam dan nyeri lokal. Dalam kasus tersebut, pengenalan dini dan pengobatan dengan antibiotik yang tepat dapat menyelamatkan nyawa seseorang. Antibiotik oral dapat digunakan untuk sebagian besar kasus infeksi aktif. Prevalensi S. aureus resisten methicillin / methicillin resistant S. aureus (MRSA) bervariasi menurut masyarakat dan membuat pelaksanaan rekomendasi perawatan umum menjadi sulit. Terapi empirik harus didasarkan pada pola lokal resistensi antibiotik. Perawatan harus dilakukan untuk mengidentifikasi daerah yang berfluktuasi terhadap kebutuhan drainase bedah. Selulitis yang mengagalkan pengobatan oral harus diperlakukan dengan rawat inap dan antibiotik intravena. Tujuan pemulangan termasuk penurunan ukuran, kemerahan, dan nyeri pada daerah yang terkena. Kultur harus diperoleh bila memungkinkan untuk membantu penerapan terapi antibiotik. Tergantung pada hasil kultur, pasien dapat dipulangkan dengan antibiotik oral atau dipertahankan dengan penggunaan infus rumah untuk praktek pengobatan penuh dengan antibiotik yang sesuai. Infeksi yang lebih serius membutuhkan rawat inap dan pengobatan dengan antibiotik intravena. Konsultasi dengan spesialis penyakit infeksi bisa bermanfaat. Terapi empirik antibiotik harus memberikan perlindungan terhadap MRSA sampai terdapat kultur dan sensitivitas. MRSA menyebabkan infeksi yang lebih serius

dan virulen dibandingkan dengan S. aureus sensitif terhadap methicillin (methicillinsensitive S. aureus = MSSA). Pasien yang memerlukan rawat inap untuk infeksi staphylococcal ditemukan lebih mungkin mengembangkan MRSA daripada MSSA (25).

KESIMPULAN Pengobatan rawat inap AD dapat sangat membantu dan menjadi bagian penting dalam pengelolaan jangka panjang pasien dengan kondisi kronis ini. Eritroderma dapat menjadi komplikasi yang mengancam jiwa dan membutuhkan perhatian pada status cairan dan koreksi yang cepat dari dermatitis yang mendasarinya. Meskipun ada banyak protokol wet wrap therapy, struktur dasar dari aplikasi steroid basah dan pembalut kering telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian yang mengarah pada perbaikan AD yang lebih cepat. EH adalah komplikasi serius lain dari AD kronis yang dalam banyak kasus membutuhkan obat antivirus intravena dan pemantauan rawat inap pada komplikasi potensial. Kesadaran masyarakat tentang MRSA yang didapat juga penting diperhatikan ketika

merawat pasien AD. Meskipun kolonisasi S. aureus pada kulit atopik merupakan kejadian umum, keberadaan strain patogen penyebab infeksi yang lebih parah yang juga resisten terhadap terapi tradisional menyebabkan pengelolaan pada pasien menjadi lebih rumit. Terapi intravena harus dipertimbangkan pada setiap pasien AD dengan infeksi kulit bakterial parah yang resisten terhadap antibiotik oral. Meskipun sebagian besar pasien AD tidak membutuhkan terapi rawat inap akut, penting untuk mengenali bahwa ada subset dari populasi AD dalam penelitian kami yang mungkin mendapatkan keuntungan besar dari terapi rawat inap akut tersebut. Pengenalan awal pasien dan institusi terapi yang sesuai dapat meningkatkan outcome pasien dan mencegah komplikasi yang lebih serius.

You might also like