You are on page 1of 18

BAB I LAPORAN KASUS

Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Umur Pekerjaan Alamat : Nn.N : Perempuan : 22 tahun : Karyawan : Moch. Toha

Anamnesis Keluhan Utama : nyeri menelan Pasien datang ke poli THT dengan keluhan nyeri menelan. Nyeri menelan ini dirasakan sejak 6 bulan lalu, hilang timbul. Namun dalam 1 bulan terakhir keluhan ini timbul lebih dari 3x. Pasien merasakan seperti ada yang mengganjal di tenggorokan, nyeri terutama saat menelan makanan. Keluhan ini disertai demam (+) hilang timbul (suhu tidak pernah diukur), suara serak, batuk (+), dan pada saat tidur, pasien sering mengorok. Pasien tidak merasakan mual, muntah, nyeri pada telinga, dan juga tidak ada pembengkakan di daerah kepala dan leher. Gejala ini timbul terutama bila pasien mengonsumsi minuman dingin, makanan pedas dan berminyak. RPD : 6 bulan lalu, pasien mengalami keluhan yang sama berobat ke dokter, dikatakan amandelnya membesar diberi antibiotik keluhan hilang timbul. Riwayat infeksi telinga (-). RPK : DM (-), asma (-) R.Alergi : (-) Usaha berobat : ke dokter diberi antibiotik dan penahan rasa sakit dan disarankan untuk operasi ke dokter spesialis THT.

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : sakit sedang Kesadaran Tanda Vital TD = 110/70 mmHg : compos mentis

Nadi Respirasi Suhu

= 80x/menit = 20x/menit = 38,5oC

Mata : conjunctiva anemis -/-, sclera icteric -/ Leher : KGB tidak teraba membesar Thorax : Bentuk dan pergerakan simetris Paru: VBS +/+, Rh -/-, Wh -/Cor: BJ I dan II, normal, murmur Abdomen : datar, soepel, BU + normal, NT Ekstremitas: tidak ada kelainan

Status Lokalis Telinga

Hidung

Mulut dan Tenggorok Mucosa Gigi Palatum : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan

Uvula Lidah

: tidak ada kelainan : tidak ada kelainan

DD Tonsilitis kronik eksaserbasi akut Adenotonsilitis kronik

Diagnosis Kerja Tonsilitis kronik eksaserbasi akut

Penatalaksanaan Non-medikamentosa : Hindari makan makanan pedas, asam, berminyak, dan minuman dingin Menjaga kebersihan mulut Saran : operasi

Medikamentosa Cefditoren pivoxil tab 2x1 Ultracet tab (Tramadol 37.5 mg, acetaminophen 325 mg) 3x1 prn Nutriflam tab 3x1

Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad functionam : ad malam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tonsil Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal.

Gambar 2.1 Anatomi Tonsil 2.1.1 Tonsil Palatina Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsillaris pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masingmasing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau kripta tonsila. Banyak limfonodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal.

Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: Lateral muskulus konstriktor faring superior Anterior muskulus palatoglosus Posterior muskulus palatofaringeus Superior palatum mole Inferior tonsil lingual.

Fossa tonsillaris dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glossofaringeal. Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada. Tonsil bagian bawah mendapat persarafan sensoris dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal). 2.1.2 Tonsil Faringeal (Adenoid) Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran

adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi sebelum usia 8 tahun. 2.1.3 Tonsil Lingual Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.

2.2 Fisiologi Tonsil Peranan tonsil dalam mekanisme pertahanan tubuh masih diragukan. Berdasarkan penelitian ternyata tonsil memegang peranan penting dalam fase-fase awal kehidupan. Sewaktu lahir, biasanya tonsil berbentuk kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid. Pada waktu pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses regresi. Terdapat 2 bentuk pertahanan tonsil yaitu pertahanan spesifik dan non spesifik. Mekanisme pertahanan non spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Kuman masuk ke dalam lapisan mukosa dengan cara opsonisasi. Setelah opsonisasi, sel fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara fagosom. Selanjutnya akan terjadi digesti di mana bakteri akan dimatikan. Bila fagosit kontak dengan bakteri makan membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan proses digesti. Mekanisme pertahanan spesifik merupakan mekanisme pertahanan yang penting dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen. Tonsil dan adenoid juga menghasilkan IgE yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mast. IgA mencegah antigen masuk ke dalam proses imunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, IgA mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu, IgA merupakan barier untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.

2.3 Tonsilitis 2.3.1 Definisi Tonsilitis atau sakit amandel (amandel = bahasa Belanda yang artinya tonsil) merupakan penyakit yang banyak diderita pada usia anak-anak. Dari istilahnya tonsilitis

berarti radang tonsil. Ada beberapa tonsil, namun bila disebut tonsilitis yang dimaksudkan adalah radang pada tonsila palatina, tonsil lain belum tentu ikut meradang. 2.3.2 Patofisiologi Radang tonsil / tonsilitis bisa disebabkan oleh bakteri, virus, maupun jamur. Bakteri penyebab umumnya streptokokus, pneumokokus, atau staphilokokus. Virus yang bisa menyebabkan radang tonsil antara lain virus influenza atau virus dengue. Radang bisa dicirikan dengan keadaan tonsil yang merah dan bengkak. Kadang-kadang pada tonsil ada bintik-bintik atau diselimuti lapisan putih. Penderita mengalami demam dan sulit menelan. Kondisi itu sering disertai gejala flu, sakit kepala, dan sakit perut. Pada tonsil yang membengkak sering terselip sisa makanan dan kuman sehingga menimbulkan bau mulut tidak enak. Pada anak-anak, pembesaran tonsil biasanya diikuti dengan pembesaran adenoid. Sedangkan pada orang dewasa, tonsil yang membengkak bisa menempel pada langit-langit lunak sehingga menutup jalan nafas. Akibatnya, penderita mengorok dan mengalami sleep apnea. Sleep apnea menyebabkan jumlah oksigen yang beredar dalam tubuh berkurang sehingga jantung bekerja lebih keras. Hal ini jika berlangsung berkepanjangan bisa memicu serangan jantung atau stroke. Selain itu, kekurangan oksigen menyebabkan penderita terus menerus mengantuk sehingga produktivitasnya menurun. Tonsil yang meradang bisa menjadi sumber infeksi pada organ lain.

2.4 Tonsilitis Akut 2.4.1 Etiologi Tonsilitis bakterial supurativa akut paling sering disebabkan oleh Grup A Streptococcus beta hemolitikus. Meskipun pneumokokus, stafilokokus dan Haemophilus influenzae juga virus patogen dapat dilibatkan. Kadang-kadang streptokokus non hemolitikus atau streptokokus viridans, ditemukan pada biakan, biasanya pada kasus-kasus berat. 2.4.2 Patologi Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya lekosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan lekosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kripta tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Perbedaan strain atau virulensi dari penyebab tonsilitis dapat menimbulkan variasi dalam fase patologi sebagai berikut: 1. Peradangan biasa pada area tonsil saja

2. Pembentukan eksudat 3. Selulitis pada tonsil dan daerah sekitarnya 4. Pembentukan abses peritonsilar 5. Nekrosis jaringan Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis, bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membrane semu (pseudomembran) yang menutupi tonsil.

Gambar 2.2 Tonsilitis Akut

2.4.3 Gejala Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan, nyeri waktu menelan dan pada kasus berat penderita menolak makan dan minum melalui mulut. Biasanya disertai demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa nyeri pada sendi-sendi, tidak nafsu makan dan nyeri pada telinga. Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui n. Glossofaringeus. Seringkali disertai adenopati servikalis disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna, atau tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan. 2.4.4 Pengobatan Pada umumnya penderita dengan tonsillitis akut serta demam sebaiknya tirah baring, pemberian cairan adekuat serta diet ringan. Analgetik oral efektif untuk mengurangi nyeri. Terapi antibiotik dikaitkan dengan biakan dan sensitivitas yang tepat. Penisilin masih merupakan obat pilihan, kecuali jika terdapat resistensi atau penderita sensitive terhadap penisilin. Pada kasus tersebut eritromisin atau antibiotik spesifik yang efektif melawan

organisme sebaiknya digunakan. Pengobatan sebaiknya diberikan selama lima sampai sepuluh hari. Jika hasil biakan didapatkan streptokokus beta hemolitikus terapi yang adekuat dipertahankan selama sepuluh hari untuk menurunkan kemungkinan komplikasi non supurativa seperti nefritis dan jantung rematik. Efektivitas obat kumur masih dipertanyakan, terutama apakah cairan dapat berkontak dengan dinding faring, karena dalam beberapa hal cairan ini tidak mengenai lebih dari tonsila palatina. Akan tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa dengan berkumur yang dilakukan secara rutin menambah rasa nyaman pada penderita dan mungkin mempengaruhi beberapa tingkat perjalanan penyakit. 2.4.5 Komplikasi Meskipun jarang,tonsilitis akut dapat menimbulkan komplikasi lokal yaitu abses peritonsiler, abses parafaring, dan otitis media akut. Komplikasi lain yang bersifat sistemik dapat timbul terutama oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus berupa sepsis dan infeksinya dapat tersebar ke organ lain seperti bronkus (bronkitis), ginjal (nefritis akut, GNA), jantung (miokarditis, endokarditis), sendi (artritis), dan vaskuler (plebitis).

2.5 Tonsilitis Kronis 2.5.1 Definisi Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejalagejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan. Anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik diperlukan untuk menegakkan diagnosa penyakit ini. Pada Tonsilitis Kronis tonsil dapat terlihat normal, namun ada tanda-tanda spesifik untuk menentukan diagnosa seperti plika anterior yang hiperemis, pembesaran kelenjar limfe, dan bertambahnya jumlah kripta pada tonsil. 2.5.2 Etiologi Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.

Pada pendera tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes. 2.5.3 Faktor Risiko Umur Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit tonsilitis kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita tonsilitis kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 %. Jenis Kelamin Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203 penderita tonsilitis kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita. 2.5.4 Patologi Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula. Tonsilitis kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi

medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil. 2.5.5 Gejala Klinis Gejala klinisnya yaitu: 1) Nyeri menelan, 2) Bau mulut (halitosis) yang disebabkan adanya pus pada kripta tonsil, 3) Sulit menelan dan sengau pada malam hari (bila tonsil membesar dan menyumbat jalan nafas), 4) Pembesaran kelenjar limfe pada leher, 5) Butiran putih pada tonsil. Pada umumnya terdapat dua gambaran yang termasuk dalam kategori tonsilitis kronis, yaitu: 1. Tonsilitis kronis hipertrofikans, yaitu ditandai pembesaran tonsil dengan hipertrofi dan pembentukan jaringan parut. Kripta mengalami stenosis, dapat disertai dengan eksudat, seringnya purulen keluar dari kripta tersebut. 2. Tonsilitis kronis atrofikans, Yaitu ditandai dengan tonsil yang kecil (atrofi), di sekelilingnya hiperemis dan pada kriptanya dapat keluar sejumlah kecil sekret purulen yang tipis. Dari hasil biakan tonsil, pada tonsilitis kronis didapatkan bakteri dengan virulensi rendah dan jarang ditemukan Streptococcus beta hemolitikus.

2.5.6 Pemeriksaan Dari pemeriksaan dapat dijumpai: Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat bertemu di tengah. Standar untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. o T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil o T1: <25% o T2: >25%<50% o T3:>50%<75% o T4: >75%.

Gambar 2.3 Ukuran Pembesaran Tonsil

Sedangkan menurut Thane dan Cody menbagi pembesaran tonsil atas o T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior uvula. T2: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula. o T3: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula. o T4: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai keju Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil Untuk menegakkan diagnosa penyakit Tonsilitis Kronis terutama didapatkan berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik yang didapatkan dari penderita. 2.5.7 Pemeriksaan penunjang Mikrobiologi Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi

organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. 2.5.8 Penatalaksanaan Antibotika spektrum luas, antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan. Pada keadaan dimana tonsilitis sangat sering timbul dan pasien merasa sangat terganggu, maka terapi pilihan adalah pengangkatan tonsil (tonsilektomi). Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada jaringan sekitarnya seperti uvula dan pilar. Indikasi absolut: 1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas yang kronis 2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apneu waktu tidur 3. Hipertofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan penyerta 4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma) 5. Abses perotinsiler yang berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya 6. Tonsilitis kronis walaupun tanpa eksaserbasi akut tapi merupakan fokal infeksi 7. Karier difteri 8. Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam. Indikasi relatif: 1. Serangan tonsilitis akut berulang (yang terjadi walau telah diberi penatalaksanaan medis yang adekuat). 2. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus yang menetap dan patogenik (karier). 3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional. 4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi mononukleosis. 5. Riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan tonsilitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotika yang buruk. 6. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respon terhadap

penatalaksanaan medis. 7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan nafas bagian atas.

8. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal persisten. Kontraindikasi absolut: 1. Penyakit darah: leukemia, anemia aplastik, hemofilia dan purpura 2. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol: diabetes melitus, penyakit jantung dan sebagainya. Kontraindikasi relatif: 1. Palatoschizis 2. Anemia (Hb <10 gr% atau HCT <30%) 3. Infeksi akut saluran nafas atau tonsil (tidak termasuk abses peritonsiler) 4. Poliomielitis epidemik 5. Usia di bawah 3 tahun (sebaiknya ditunggu sampai 5 tahun) Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi. Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan menggunakan senar untuk menggangkat tonsil. Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang. Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan
:

namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar. Laser tonsilektomi Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik diseksi 2.5.9 Komplikasi a) Abses peritonsil Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses. b) Abses parafaring Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.

c) Abses intratonsilar Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi. d) Tonsilolith (kalkulus tonsil) Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan. e) Kista tonsilar Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi. e) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis. 2.5.10 Prognosa Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.

BAB III PPEMBAHASAN

DAFTAR PUSTAKA Adam, George L. MD. 1997. Boies, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Ashae, R. 2005. What is Tonsilitis? http://www.kidsource.com Bailey J. Byron, Coffey Amy, R. 1996. Atlas of Head & Neck SurgeryOtolaryngology. Gates, G.A. 2005. Journal of Tonsilitis. http://www.nidcd.nih.gov Lee, K.J. MD. 2003. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. McGraw-Hill. Soepardi, Arsyad, SpTHT. 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

You might also like