Professional Documents
Culture Documents
BAB I PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG Bali sudah sangat terkenal di dunia, sehingga mengundang kedatangan para wisatawan yang jumlahnya terus meningkat. Potensi yang dimiliki Bali sebagai daya tarik selain keindahan alam adalah budaya masyarakat dalam berbagai bentuk. Ada yang berbentuk non fisik (aktivitas, adat istiadat, dan lain sebagainya), maupun fisik (hasil karya berupa benda seni, maupun benda kebutuhan hidup). Salah satunya adalah wadah tempat tinggal yang umum disebut permukiman. Permukiman di Bali dalam bentuk satu kesatuan tertentu adalah desa, lebih khusus lagi desa adat. Perwujudan desa adat di Bali merupakan kekayaan tersendiri. Bentuk-bentuk bangunan, pola desa, kekayaan jenis bangunan yang beragam, merupakan potensi yang besar untuk ditampilkan sebagai identitas yang kuat. Selain sebagai identitas, keberadaan desa adat adalah sebuah kekayaan ilmiah yang merupakan sumber untuk terus dipelajari guna peningkatan pengetahuan. Banyak hal yang dapat dipelajari. Apalagi makin lama, perkembangan semua aspek kehidupan semakin cepat. Oleh karena itu kita perlu melestarikan kebudayaan bangsa dengan kreativitas serta mengembangkannya mengikuti kemajuan. Dengan ini kebudayaan bangsa berkembang dan berkelanjutan tanpa kehilangan akarnya. Desa dalam pengertian desa adat, mengacu kepada kelompok tradisional dengan dasar ikatan adat istiadat, dan terikat oleh adanya tiga pura utama yang disebut Kahyangan Tiga atau pura lain yang berfungsi seperti itu, yang disebut Kahyangan Desa. Desa adat merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan agama Hindu, dan merupakan satu kesatuan wilayah dimana para anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan keagamaan yang ditata oleh suatu sistem budaya. Salah satu desa adat yang masih terpelihara keasliannya adalah Desa adat Penglipuran. Berbagai tatanan sosial dan budaya masih terlihat di berbagai sudut desa ini sehingga nuansa Bali masa lalu tampak jelas. Perbedaan desa adat Penglipuran dengan
D.1
I.2 TUJUAN Studi ini bertujuan untuk mengenali, mengidentifikasi dan mendeskripsikan Desa adat Penglipuran. Mulai dari tatanan ruang hingga pola hidup kemasyarakatan yang ada.
I.3 MANFAAT Manfaat yang diperoleh : 1) Manfaat subyektif Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan, semester 7 pada Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. 2) Manfaat obyektif Menambah wawasan dan pengetahuan kita mengenai keberadaan Desa adat Penglipuran sebagai salah satu Desa adat yang ada di Bali. Memahami tatanan ruang dari sebuah Desa adat Bali. I.4 LINGKUP PEMBAHASAN Lingkup pembahasan adalah Desa adat Bali yangdibatasi hanya pada kawasan Desa adat Penglipuran.
D.2
D.3
II.1 LOKASI OBJEK Desa adat Penglipuran berada di bawah administrasi Kelurahan Kubu, Kecamatan bangli, Kabupaten Bangli, yang berjarak 45 km dari kota Denpasar. Letaknya berada di daerah dataran tinggi di sekitar kaki Gunung Batur. Berdasarkan data tahun 2001 yang dihimpun pemerintah, Desa Adat Penglipuran memiliki luas wilayah sekitar 112 Ha.
Untuk menuju desa ini dapat dicapai melalui sisi timur Desa Bangli, yakni Jalan Raya Bangli Kintamani, maupun dari sisi utara desa, yakni Jalan Kintamani Kayuambua Bangli.
D.4
Desa Penglipuran resmi ditunjuk oleh Pemerintah Daerah Bali menjadi desa adat tradisional yang menjadi tujuan pariwisata sejak tahun 1992.
II.2 KONDISI FISIK Desa ini merupakan salah satu kawasan pedesaan di Bali yang memiliki tatanan yang teratur dari struktur desa tradisional, perpaduan tatanan tradisional dengan banyak ruang terbuka pertamanan yang asri membuat desa ini membuat kita merasakan nuansa Bali pada dahulu kala. Penataan fisik dan struktur desa tersebut tidak lepas dari budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat Adat Penglipuran dan budaya masyarakatnya juga sudah berlaku turun temurun. Keunggulan dari desa adat penglipuran ini dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Bali adalah bagian depan rumah serupa dan seragam dari ujung utama desa sampai bagian hilir desa. Desa tersusun sedemikian rapinya yang mana daerah utamanya terletak lebih tinggi dan semakin menurun sampai kedaerah hilir. Selain bentuk depan yang sama, adanya juga keseragaman bentuk dari bahan untuk membuat rumah tersebut. Seperti bahan tanah untuk tembok dan untuk bagian atap terbuat dari penyengker dan bambu untuk bangunan diseluruh desa. Lokasi dari desa Penglipuran ini pada daerah dataran tinggi merupakan salah satu lingkup dari kaki Gunung Batur, kabupaten Bangli, Bali.
D.5
Hal tersebut menyebabkan keadaan topografi pada Desa Penglipuran berkontur, tidak rata dan mempunyai hirarki yang tertinggi yang dimanfaatkan sebagai pura, yaitu tempat bersembahyang dan pelaksaan upacara adat di desa tersebut. Semakin kearah utara topografi tanah semakin tinggi hingga didapatkan suatu hirarki tertinggi pada pura panataran dan pura puseh yang digunakan untuk sembahyang umat Hindu di daerah tersebut dan upacara rutin tiap enam bulan sekali. Semakin ke arah selatan topografi tanah semakin rendah yang digunakan untuk kuburan umat Hindu di daerah tersebut.
Gambar 3. Kontur tanah semakin ke selatan semakin turun Sumber: Dokumen Pribadi, 2010 D.6
Gambar 4. Material bambu banyak digunakan sebagai gedek, usuk, plafon bagi rumah warga Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
II.3 KONDISI SOSIAL II.3.1 ARTI KATA PENGLIPURAN Kata Penglipuran berasal dari kata penglipur, yang memiliki arti pelipur hati (penghibur hati). Nama ini diberikan oleh Raja Bangli ketika mengungsi di desa ini bersama keluarga kerajaan dan pengawalnya. Pada masa itu, kerajaan Bangli diserang oleh kerajaan lain sehingga Raja beserta keluarga terpaksa mengungsi. Saat Raja berada di desa ini, masyarakat menyambut dengan gembira dan membantu serta menghibur hati Raja dengan melayani segala kebutuhan Raja di dalam pengungsian. Banyak hal dilakukan oleh penduduk untuk menghilangkan kesedihan Raja, seperti
D.7
II.3.3 LEMBAGA PEMERINTAHAN Pimpinan tertinggi di Desa Penglipuran dipegang oleh seorang kepala adat yang diberi gelar I Wayan Supat dan memiliki masa jabatan yang ditentukan. Masa Jabatan I Wayan Supat yang masih aktif sekarang ini (2010) akan berakhir pada tahun 2012. Di dalam mengelola pemerintahan di dalam desa, I Wayan Supat dibantu sebuah lembaga pemerintahan (perangkat desa) yang bersifat informal otonom, yakni tidak berada di bawah pejabat pemerintahan Indonesia. Namun, antara lembaga ini tetap melakukan hubungan korrdinasi dengan pemerintahan Propinsi Bali. Keberadaan lembaga pemerintahan Desa Adat Penglipuran tersebut diatur dalam Perda Bali No. 3 Tahun 2001.
D.9
II.3.4 SISTEM PERKAWINAN Penduduk Desa Penglipuran menganut sistem patrilineal, yakni sebuah keturunan berdasarkan dari laki-laki. Beberapa penerapan sistem ini adalah bahwa seorang wanita yang menikah harus ikut ke rumah suaminya dan warisan berupa harta tak bergerak (tanah) diberikan kepada anak laki-laki di dalam keluarga. Di dalam kepercayaan yang dianut warganya yang kemudian menjadi hukum tak tertulis Desa Adat Penglipuran, seorang laki-laki hanya diperbolehkan memiliki satu orang istri, begitu juga sebaliknya (menganut monogami). Paham poligami ataupun poliandri dilarang keras dijalani oleh penduduk Desa. Jika terdapat seorang warga yang melakukan tidak poligami atau poliandri, maka dilakukan sebuah hukuman sosial bagi pelaku beserta keluarganya. Hukuman ini berupa pelanggar besera keluarga ditempatkan di sebuah pekarangan yang terletak di luar ketiga zona Tri Mandala, yakni di sebuah zona khusus yang status nilainya lebih rendah daripada Nista Mandala. Mereka dilarang memasuki tempat suci desa (dalam hal ini Pura, sebagai tempat peribadatan). Hukuman ini berlaku hingga anak cucu pelanggar hukum tersebut.
D.10
D.11
II.4.2 SISTEM TATA RUANG DESA ADAT PENGLIPURAN Di dalam Desa Penglipuran, ada sebuah kaidah arsitektur yang disebut dengan nama awik-awik untuk mengatur semua tata cara pembangunan. Dalam pembagian peruntukan lahan (tata ruang), Desa Penglipuran menganut sistem Tri Mandala, yakni sebuah sistem penataan ruang yang dibagi menjadi tiga zona peruntukan. Istilah tersebut berasal dari dua kata, yakni Tri dan Mandala. Tri memiliki arti tiga, sedangkan Mandala memiliki arti ruang. Sehingga pengertian etimologis dapat diperoleh dari kedua arti kata tersebut, yakni Tiga Ruang. Atau dalam penjabarannya, Tri Mandala adalah pembagian tata ruang kawasan menjadi tiga zona
D.12
D.13
Keterangan: 1. Utama Mandala (pura) 2. Madya Mandala (Rumah tinggal) 3. Nista Mandala (Makam)
D.14
II.4.2.2 MADYA MANDALA Zona ini merupakan tempat dengan nilai tengah, antara Utama dan nista. Dan digunakan sebagai tempat tinggal warga. Rumah utama yang berada di Desa Penglipuran berjumlah 76 rumah yang dibagi menjadi oleh jalan utama menjadi 32 rumah di tiap sisi jalan. Penomoran rumah menggunakan sistem modern, yakni nomor ganjil berada di satu sisi dan nomor genap berada di sisi lain. Rumah dengan nomor ganjil berada di sisi timur jalan, sedangkan rumah dengan nomor genap berada di sisi barat jalan.
D.15
Gambar 8. Nomor rumah dan data anggota keluarga Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Setiap tapak rumah warga, di dalamnya terdapat beberapa bangunan yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri dengan penempatan tiap bangunan disesuaikan dengan peraturan Tri Mandala. Beberapa bangunan tersebut adalah, tempat tidur orang tua (berada di bagian utara), tempat tidur anak (berada di bagian barat), tempat memotong gigi (metatah) dan nagaben (berada di bagian selatan) serta kandang dan toilet (berada di bagian timur). Perletakan ini sesuai dengan peraturan dalam Tri Mandala, yakni bagian utara adalah zona Utama dan bagian timur tapak adalah zona Nista. Perletakan satu rumah warga dengan rumah warga yang lain, saling bergandengan tanpa dipisahkan oleh pagar pembatas dan ada sebuah jalur yang menghubungkan antar-rumah tersbut. Hal ini dilakukan agar warga dengan tetangga sekitar dapat melukakan hubungan yang langsung sehingga tetap terjaga keharmonisan hubungan antar-warga. Pengaruh arsitektur dari luar Desa Penglipuran mulai dirasakan sejak tahun 1960-an, yakni berupa bahan bangunan, interior, dan perabotan modern digunakan dalam pembangunan, tetapi ciri khas arsitektur tradisional harus tetap terjaga. Salah satu ciri tersebut adalah bentuk gerbang rumah, tata letak bangunan di dalam rumah, dan tidak boleh dibangun bangunan bertingkat.
D.16
Karena setiap rumah memiliki luas lahan yang sama sehingga untuk mengadakan hajatan besar diadakan di Bale Banjar yang terletak di dekat gapura desa. Selain itu Bale Banjar juga berfungsi sebagai tempat berkumpul penduduk ketika rapat, pemilihian kepala desa, imunisasi, dan lain-lain.
D.17
Pengaturan rumah penduduk pada desa Penglipuran, dengan lebih mengutamakan letak sanggah yaitu sebelah timur, paon meten bagian utara dari bale upacara, sedangkan bagian barat laji dan lumbung. Pada Sangah terdapat 3 rong sebagai tempat sesembahan kepada tiga dewa utama kehidupan. Sedangkan pada bagian Paon meten merupakan tempat tinggal, mulai dari dapur, tempat tidur dan tempat air.
D.18
Gambar 11. Sanggah tempat persembahyangan kepada tiga dewa kehidupan Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Gambar 12. Paon meten: tempat tidur, dapur, tempat air/mandi Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
D.19
Gambar 13. Sistem Knock Down pada bagian antara badan dan kaki Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Di dalam ilmu kostruksi kita mendapati bahwa suatu bangunan dibagi mejadi tiga bagian yaitu kepala, badan dan kaki. Gaya disalurkan melewati ketiga bagian tersebut. Begitupun juga apabila kita kaji bangunan-bangunan yang ada di Bali. Hal tersebut umumnya berlaku pada bangunan candi sebagai tempat peribadatan.
D.20
D.22
Gambar 14. Bebaturan atau pondasi tiang Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Bahan bangunan yang dipakai untuk bebaturan sesuai dengan tingkatan sederhana, madya, dan utama. Jongkok asu sebagai pondasi alas tiang disusun dari pasangan batu alam atau batu buatan perekat lempung pasir kapur atau pasir semen. Biasanya dipakai bahan-bahan local yang mudah didapat. Untuk desa Penglipuran kemungkinan bahan batu alam berasal dari batu lava karena terletak di daerah pegunungan.
Dinding Untuk bangunan yang sederhana bidang-bidang pembatas sisi dipakai dinding gedeg anyman bambu atau anyman daun kelapa yang disusun dengan rangka terampa uger-uger. Daun kelapa dapat dianyam pada kedua belah sisi pelepah dengan helai daun terbuka disebut teratub. Dilipat dari sebelah sisi untuk anyaman pada sisi sebelah sehingga mendapatkan anyaman yang lebih tebal dan lebih kokoh dari teratub yang disebut kelangsah. Pemasangan penutup dinding pada rangka dinding diikat dengan tali bambu atau tali ijuk dalam satu komposisi yang serasi.
D.23
Tembok Tembok dan pilar-pilarnya dibangun dengan pola kepala-badan-kaki, dihiasi dengan pepalihan dan ornament bagian-bagian tertentu. Tembok tradisional dibangun terlepas tanpa ikatan dengan konstruksi rangka bangunan. Dipertegas dengan celah antara kepala tembok dan sisi bawah atap sehingga tembok bebas tidak memikul. Dengan konstruksi tembok bebas beban diharapkan terhindar dari bahaya gempa yang terjadi.
Sesaka atau kolom Elemen konstruksi utama dalam bangunan tradisional adalah tiang modul dasar sesungguhnya adalah tiang yang disebut sesaka. Jarak tiang ke tiang ke arah panjang adalah sepanjang tiang ditambah pengurip. Jarak tiang ke tiang ke arah lebar 2/3 panjang tiang ditambah pengurip atau bervariasi dari bawah lambing sampai ke atas slimar atau sunduk dawa atau sunduk bawak dan bagian-bagiannya. Masing-masing juga dengan penguripnya. (pengurip=pelebih) Bahan yang dipakaiuntuk sesaka adalah kayu-kayu dengan kualitas dari kelompok-kelompok tertentu seperti raja kayu ketewel, patih kayu jati. Selain itu digunakan pula raja kayu cendana, patih kayu menengen.
D.24
Bangunan-bangunan tradisional yang dibangun dengan konstruksi rangka, sesaka dan bagian-bagian rangka lainnya hubungan elemen-elemen strukturnya dikerjakan dengan sistem lait, baji, dan ikatan tali temali. Struktur dan konstruksi serupa itu merupakan struktur dan konstruksi yang tahan gempa, yang diperlukan untuk bangunan-bangunan di daerah yang sering terjadi gempa. Pementang Balok belandar sekeliling rangkaian tiang-tiang tepi, dalam bangunan tradisional disebut lambang. Lambing rangkap yang disatukan, balok rangkaian yang dibawah disebut lambang dan yang di atas disebut sineb. Balok tarik yang membentang di tengah-tengah mengikat jajaran tiang tengah disebut pementang.
D.25
Gambar 17. Bagian atap bangunan bale banjar Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Iga-iga Usuk-usuk bangunan tradisional Bali disebut iga-iga. Pangkal iga-iga dirangkai dengan kolong atau dedalas yang merupakan bingkai tepi luar atap. Ujung atasnya menyatu dengan puncak atap. Batang simpul menyatu di puncak disebut petaka untuk atap berpuncak satu titik dan dedeleg untuk puncak memanjang. Disebut langit-langit untuk atap dengan konstruksi kampiyah yang bukan limasan.
Gambar 18. Iga-iga atau usuk Sumber: Dokumen Pribadi, 2010 D.26
Gambar 19. Atap terbuat dari bahan alami sirap Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Walaupun desa ini masih sangat tradisional akan tetapi setiap rumah sudah menggunakan listrik sebagai penerangan utamanya. Listrik pada desa penglipuran ini bersumber pada PLN dan juga memanfaatkan jendela dan lubang dinding lainnya sebagai media penerangan pada siang harinya dari sinar matahari atau terang langit.
D.27
Makam desa Penglipuran terletak pada bagian paling selatan dari desa ini. Penempatan ini berdasarkan kepada kepercayaan masyarakat tentang orientasi kaja (utara/gunung) dan kelod (selatan/laut). Bangunan-bangunan di desa adat Penglipuran penempatannya diatur mulai dari utara yang merupakan area paling suci, biasanya di fungsikan sebagai pura, hingga ke selatan yang merupakan area yang paling tidak suci. Area yang tidak suci ditempati oleh orang-orang yang melanggar peraturan adat (awigawig); misalnya, laki-laki yang memiliki isteri lebih dari satu berarti melanggar awig-awig pada bab perkawinan (pawos pawiwahan). Dalam pandangan masyarakat, pemakaman juga digolongkan sebagai tempat yang paling tidak suci. Kompleks pemakaman di desa Penglipuran tidak sama dengan makam pada umumnya di wilayah lain. Di kompleks pemakaman ini tidak ditemui makam-makam yang berderet dan berjumlah banyak karena pada dasarnya kepercayaan dalam agama Hindu
D.28
D.29
Bale Bengong Berfungsi sebagai tempat pertemuan bagi masyarakat desa ketika merencanakan untuk mengadakan upacara adat tertentu.
D.31
7
Gambar 26. Denah zona nista manggala Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
D.33
Gambar 27. Jenis penampungan sampah sementara yang berada pada masing-masing rumah di Penglipuran Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
II.5.2 JARIANGAN AIR KOTOR (DRAINASE) Air kotor pada Desa Penglipuran yang dihasilkan dari masing-masing RT langsung di tamping ke septic tank (limbah padat). Sedangkan untuk limbah cair di buang ke selokan yang dihubungkan melalui pipa-pipa. Pada umumnya warga menggunakan closet jongkok di WC nya.
D.34
Gambar 28. Selokan sebagai aliran air kotor menuju pembuangan saluran desa Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
II.5.3 JARINGAN AIR BERSIH Air bersih yang digunakan untuk mencukupi konsumsi air bersih pada Desa Penglipuran berasal dari PDAM.
Gambar 29. PAM sebagai konsumsi air bersih warga Sumber: Dokumen Pribadi, 2010 D.35
Gambar 29. Penghawaan alami berupa jendela juga berfungsi sebagai pencahayaan alami pada saat siang hari. Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
D.36
III.1 KESIMPULAN Desa adat Penglipuran masih mempertahankan pola tata ruang aslinya sehingga terlihat keteraturan dalam tatanan ruang yang ada. Hal ini tidak lain karena usaha dari warga desa adat penglipuran yang mejunjung tinggi adat istiadat setempat.
III.2 SARAN Semoga semua desa adat yang berada di Bali tetap menjaga keaslian sesuai dengan konsep yang ada, tidak terpengaruh arus globalisasi.
D.37