You are on page 1of 18

FILSAFAT POSITIVISME (Tinjauan Aspek Ontologis, Epistemologis, Aksiologis) Oleh Erwin Dwi Edi Wibowo

PENDAHULUAN Positivisme pertama kali digagas oleh seorang berkebangsaan Perancis yang bernama Augus Comte yang hidup pada tahun 1798 1857. Comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai 'hukum tiga fase'. Melalui hukumnya ia mulai dikenal di seluruh wilayah berbahasa Inggris (English-speaking world); menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut tahap ilmiah). Ia kemudian dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metoda ilmiah dalam ilmu sosial. Untuk memahami pemikiran Auguste Comte, kita harus mengkaitkan dia dengan faktor lingkungan kebudayaan dan lingkungan intelektual Perancis. Comte hidup pada masa revolusi Perancis yang telah menimbulkan perubahan yang sangat besar pada semua aspek kehidupan masyarakat Perancis. Revolusi ini telah melahirkan dua sikap yang saling berlawanan yaitu sikap optimis akan masa depan yang lebih baik dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebaliknya sikap konservatif atau skeptis terhadap perubahan yang menimbulkan anarki dan sikap individualis. Lingkungan intelektual Perancis diwarnai oleh dua kelompok intelektual yaitu para peminat filsafat sejarah yang memberi bentuk pada gagasan tentang kemajuan dan para penulis yang lebih berminat kepada masalah-masalah penataan masyarakat. Para peminat filsafat sejarah menaruh perhatian besar pada pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah sejarah memiliki tujuan, apakah dalam proses historis diungkapkan suatu rencana yang dapat

diketahui berkat wahyu atau akal pikiran manusia, apakah sejarah memiliki makna atau hanyalah merupakan serangkaian kejadian yang kebetulan Dalam karya besarnya, Comte mengklaim bahwa dari hasil studi tentang perkembangan intelektual manusia sepanjang sejarah kita bisa menemukan hukum yang mendasarinya. Hukum ini, yang kemudian dikenal sebagai Law of Three Stages, yang setiap konsepsi dan pengetahuan manusiawi pasti melewatinya, secara berurutan adalah kondisi teologi yang bercorak fiktif, kondisi metafisis yang bercorak abstrak, dan saintifik atau positive. Bagi Comte, pikiran manusia berkembang dengan melewati tiga tahap filsafati, yang berbeda dan berlawanan. Dari tiga tahap pemikiran manusia ini, yang pertama mestilah menjadi titik awal pemahaman manusia dalam memahami dunia. Tahap kedua hanyalah menjadi tahap transisi saja. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap akhir dan definitif dari intelektualitas manusia. Pengaruh terhadap pemikiran Comte tentang Hukum Tiga Tahap bisa dilacak pada iklim intelektual abad delapan belas dimana banyak ilmuan sampai pada simpulan tentang tahapan-tahapan sejarah. Beberapa diantara pemikir yang berpengaruh adalah Turgot, Quesnay, Condorcet, dan Robertson yang berpandangan tentang multi-tahap perkembangan ekonomi dalam sejarah manusia. Menjelang penemuan Hukum Tiga Tahap, Comte telah akrab dengan skema yang mirip yang diadopsi oleh Condorcet dari karya Turgot Second Discourse on Universal History, dan oleh Saint-Simon dari Condorcet. Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte di abad kesembilanbelas.

Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte. Kata ini telah umum digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada paruh kedua. Namun Comte adalah orang yang bertanggung jawab atas penerapan positivisme pada filsafat. Filsafat positivistik ini dibangun berdasarkan dua hal, yaitu filsafat kuno dan sains modern. Dari filsafat kuno, Comte meminjam pengertian Aristoteles tentang filsafat, yaitu konsep-konsep teoritis yang saling berkaitan satu sama lain dan teratur. Dari sains modern, Comte menggunakan ide positivistik a la Newton, yakni metode filsafati yang terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki tujuan mengorganisasikan realitas yang tampak. Sebagaimana diakui Comte sendiri, ada kemiripan antara antara filsafat positivistik (philosophie positive) dan filsafat alam (natural philosophy) di Inggris. Pemilihan terhadap filsafat positivistik sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya karena filsafat positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari sebab-sebab sebuah fenomena dan menghubungkannya satu sama lain.

PEMBAHASAN Positivisme sebagai aliran filsafat Positivisme adalah paham atau aliran filsafat ilmu pengetahuan modern yang memicu pesatnya perkembangan sains di satu sisi dan menandai krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat di sisi lain. Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Paham ini memandang bahwa paradigma positivisme adalah satu-satunya paradigma yang diterapkan untuk menyatakan kesahihan ilmu pengetahuan. Maka dari itu segala sesuatu yang dinyatakan oleh para ilmuwan dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan jika mengikuti paradigma tersebut. Suatu pernyataan dapat dikatakan ilmu pengetahuan apabila kebenarannya dapat dibuktikan secara empiris. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk

memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segisegi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Aliran positivisme walaupun dalam beberapa segi mengandung beberapa kebaruan namun sebenarnya ia tidak benar-benar baru, karena sebelumnya telah berkembang paham empirisme yang dalam beberapa segi memiliki kesamaan dengannya dimana keduanya sama-sama memberikan tekanan pada pengalaman. Hanya saja paham positivisme membatasi pengalaman pada hal-hal objektif saja sementara paham empirisme menerima pengalaman subjektif atau batiniah. Aliran ini ditandai oleh penilaiannya yang sangat positif terhadap ilmu pengetahuan dan peran nilai-nilai humanism dalam pengembangan masyarakat dan kebudayaan yang diidamkan. fakta positivis adalah adalah fakta real atau fakta nyata. Hal positif adalah sesuatu yang dapat dibenarkan oleh setiap orang yang mau membuktikannya.

Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut aliran ini ilmu hendaknya dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisiproposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi. Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas filsafat di atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah diartikan sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu adalah memberi tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam dan

sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dan karena semua obyek pengetahuan baik yang berhubungan dengan alam maupun yang berhubungan dengan manusia sudah ditafsirkan oleh masing-masing ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa filsafat bukanlah ilmu. Positivisme yang memegang teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivus percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusiinstitusi masyarakat dengan hukum-hukum itu. Positivisme juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organis yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Dan untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris, yang dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Terdapat 3 metode penelitian empiris yang biasa juga digunakan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu :
1. Pengamatan, dimana dalam metode ini peneliti mengadakan suatu

pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja.
2. Eksperimen, metode ini bisa dilakukan secara terlibat atau pun tidak dan

metode ini memang sulit untuk dilakukan.


3. Perbandingan, tentunya metode ini memperbandingkan satu keadaan

dengan keadaan yang lainnya. Dengan menggunakan metode-metode diatas menurut Augus Comte positivisme berusaha merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu :

1. Tahap Teologis, Pada tahap ini manusia mencari sebab pertama dan tujuan akhir dari segala sesuatu. Dalam semua peristiwa alam diyakini bahwa ada kekeuatan supernatural yang mengatur dan menyebabkan semua gejala alam. Semua permasalahan dan jawaban terhadap fenomena alam dikembalikan kepada kepercayaan teologis. Tahap ini merupakan periode paling lama

dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu : a. Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. b. Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya atau gejala alam.
c. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang

tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.


2. Tahap Metafisik, Pada tahap ini manusia merumuskan jawaban atas

fenomena alam dengan mencari sebab-sebab pertama dan tujuan akhir. Penjelasan rasional berupa abstraksi adalah metode yang diandalkan untuk menemukan hakekat dari segala sesuatu yang metafisis itu. Tahap ini kehidupan manusia sudah mengalami kemajuan disbanding pada tahap sebelumnya. Tahap ini merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukumhukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi.
3. Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber

pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas. Tahap ini
merupakan tahap berfikir real, faktual dan nyata sebagai dasar pengetahuan, yang menurut Comte merupakan puncak dari perkembangan pemikiran manusia.

Disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain sutau masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial. Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa nasionalisme/ kebangsaan) menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industri dimana yang dipentingkan disini adalah sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam masyarakat positif ini). Sifat dasar dari suatu organisasi sosial suatu masyarakat sangat tergantung pada pola-pola berfikir yang dominan serta gaya intelektual masyarakat itu. Dalam perspektif positivisme struktur sosial sangat mencerminkan epistemologi yang dominan, dan kaum positivis percaya bahwa begitu intelektual dan pengetahuan kita tumbuh maka masyarakat secara otomatis akan ikut bertumbuh pula. Diantara ajaran dasar positivisme adalah berikut ini : a). Di dalam alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui b). Penyebab adanya benda-benda dalam alam tidak diketahui c). Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta tidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal d) Hanya hubungan fakta-fakta saja yang dapat diketahui e) Perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan sosial. Dari kelima prinsip dasar di atas dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang dapat dilihat oleh indra manusia memungkinkan untuk dipelajari dan dikaji menjadi

sebuah ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah yang disepakati oleh para ilmuwan sehingga menghasilkan hukum-hukum yang memberikan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Hukum-hukum yang dihasilkan oleh para intelektual melalui pengkajian-pengkajian terhadap gejala-gejala alam yang terlihat oleh indra manusia itulah yang menjadi sebab utama adanya perubahanperubahan yang terjadi pada manusia. Perkembangan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan

perkembangan yang lainnya selalu mengikuti hukum alam yang empiris sifatnya dimana Augus Comte merumuskan ke dalam 3 tahapan yaitu tahap Teologis, Metafisik dan Positif. Dimana dalam tahap teologis pengetahuan absolut mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan dari tindakan langsung dari hal-hal supranatural. Tahap metafisik mulai ada perubahan bukan kekuatan supranatural yang menentukan tetapi kekuatan abstrak, hal yang nyata melekat pada semua benda. Dan fase positif, sudah meninggalkan apa-apa yang dipikirkan dalam dua tahap sebelumnya dan lebih memusatkan perhatiannya pada hukum-hukum alam. Jika ditilik dari penjelasan diatas maka bentuk dari perkembnagan sejarah positivisme sulit untuk dipastikan apak mengikuti alur linier atau mengikuti alur spiral tetapi yang jelas positivisme tidak terlalu murni menggunakan kedua alur tersebut, yang pasti ia mengarah pada progresifitas dimana masyarakat positif merupakan cita-cita akhirnya yang sebelum nya harus melalui 2 tahapan dibawahnya, yaitu tahap Teologis dan Metafisik. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kemajuan manusia menurut paham positivisme disebabkan oleh kepercayaan manusia terhadap akal budi dengan kemampuan berpikirnya secara real dan factual serta meninggalkan dogma-dogma teologi agama yang bersifat abstrak bahkan fiktif yang kebenarannya tidak dapat diuji oleh bukti-bukti empiris. Melalui pemahaman tersebut di atas maka manusia terutama kaum intelektual berupaya melakukan eksploitasi terhadap alam sebagai objek penelitian dan pengkajian sehingga pada tahap tertentu hal itu dapat merugikan manusia itu sendiri sebagai subjek. Dalam arti di satu sisi manusia mengalami kemajuan di bidang sains dan teknologi

namun di sisi lain terjadi kegersangan rohani mentalitas manusia bahkan berani meninggalkan keyakinan adanya Tuhan yang maha pencipta, seolah-olah akal budi manusia lah yang menjadikan segala-galanya.

Perkembangan positivisme Ada tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:


1. Tahap pertama dalam positivisme

diberikan pada Sosiologi, walaupun

perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokohtokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Tahap kedua dalam positivisme empirio-positivisme berawal pada

tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme. 3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain. Dalam perkembangannya positivisme mengalami perombakan pada beberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis. Istilah lain untuk Positivisme logis adalah empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme. Positivisme logis adalah sebuah filsafat yang berasal dari lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Dimana ia berpendapat bahwa filsafat

harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali. Positivisme logis merupakan aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan. Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan kesatuan ilmu yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal. Istilah positivism logis muncul dari diskusi-diskusi sekelompok filsuf dan ilmuwan radikal yang menamakan kelompoknya dengan Der wiener kreis atau lingkaran wina. Buku Language, Truth and logic yang dikarang oleh Alfred Jules Ayer seorang filsuf kelahiran London adalah salah satu yang menjadi dasar bagi keyakinan positivistic lingkaran Wina. Beberapa arah pemikiran yang memberi pengaruh terhadap lahirnya positivism logis adalah :
1. Empirisme dan positivisme 2. Metode ilmu-ilmu empiris 3. Perkembangan logika simbolik dan analisa bahasa

Empirisme yang menjadi salah satu dasar positivism logis adalah bahwa obsevasi dijadikan sebagai satu-satunya sumber yang terpercaya bagi ilmu pengetahuan. Hanya ada satu bentuk pengetahuan, yaitu yang didasarkan kepada pengalaman dan dapat ditemukan dalam bahasa logis dan matematis. Salah satu teori Positivisme Logis yang paling populer antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika. Ada beberapa pokok pemikiran positivisme bahasa ideal, diantaranya sebagai berikut: khususnya mengenai

a. Filsafat merupakan analisis logis terhadap konsep dan pernyataan ilmu pengetahuan. b. Pemikiran seseorang dapat diuji melalui bahasa, selama pemikiran itu diungkapakan memalui bahasa. Hanya bahasa yang sempurna , bersifat universal dan logislah yang disebut sebagai bahasa ilmiah.
c. Bahasa sehari-hari menyesatkan, karena itu bahasa sehari-hari harus

direduksi (diterjemahkan) ke dalam bahasa atifisial atau bahasa ideal/formal.


d. Tugas utama filsafat adalah memeperbaiki bahasa dengan menjadikan

bentuk gramatika dan sintaksisnya sesuai dengan fungsi logika aktualnya. e. Metafisika didasarkan pada kepercayaan entitas non empiris dan relasi internal ditolak (tidak dapat diverifikasi). Realitas yang dapat diterima adalah realitas dan relasi eksternal, dapat diobservasi dan/atau merupakan entitas logis.
f. Definisi haruslah bersifat operasional.

Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. Beberapa asumsi yang terkandung dalam positivisme logis, diantaranya: 1. Naturalisme, artinya positivis komit pada kesamaan fenomena alam; karena metode ilmu alama dapat diterapkan pada ilmu social buadaya. Maka implikasinya adalah ilmu hanya bertolak dari tingkah laku, dan institusi masyarakat yang teramati. Dalam cara yang sama manusia dapat diteliti sebagai proses kimia atau biologi. Ilmu alam menjadi model untuk penelitian social budaya. 2. Fenomenalisme,,artinya Ilmu pengetahuan hanya bersumber dari fenomena yang dapat diamati, hal yang abstrak dan metafisik di luar ilmu

pengetahuan. Maka implikasinya adalah relaitas dibatasi pada yang dapat dilihat, diraba, ddisentuh, didengar dan dicium saja. Kesadaran, motivasi, tujuan hidup/kebahagiaan adalah hal yang subjektif 9ada dalam pikiran saja). 3. Nominalisme adalah konsep universal sebagai gambaran murni sulit diterima karena hanya didasarkan pada fakta individual. Konsep adalah suatu nama/sebutan kebahasaa yang disepakati. Maka implikasinya adalah semua konsep dan ide yang tidak didasarkan atas pengamatan langsung tidak bernakna. Konsep: kesadaran, keadilan, jiwa, makna/tujuan hidup dinyatakan tidak bermakna. 4. Atomisme adalah pendekatan khusus untuk mendefinisikan objek studi. Objek yang diteliti dapat dipecah dalam bagian-bagian kecil. Objek merupakan jumlah total dari komponen atomiknya. Maka implikasinya adalah unit terkecil yang dapat diobservasi menjadi fokus riset. Dalam penelitian sosiologi ia bertolak dari individu; masyarakat dipandang tidak lain dari kumpulan individu-individu.
5. Tujuan ilmu pengetahuan adalah menemukan hukum-hukum ilmiah.

Bertolak dari observasi terhadap fenomena alam dicari empiricalregularity. Hukum ilmiah adalah pernyataan umum yang dapat menjelaskan keberaturan pengalaman pada tempat dan waktu yang berbeda. Maka implikasinya adalah pencarian hukum ilmiah diadopsi oleh ilmuwan social dengan asumsi keteraturan empiris, misalnya: merokok menyebabkan kanker paru-paru. Biasanya dirumuskan: jika p maka q. 6. Fakta dan nilai dilihat sebagai dua hal yang berbeda/terpisah. Fakta dapat diobservasi, diukur dan diverifikasi. Nilai-nilai termasuk penilaian subjektif, tuntutan tentang apa yang seharusnya tidak boleh masuk dalam wilayah ilmu pengetahuan. Maka implikasinya adalah para ilmu social budaya yang menerima asumsi ini menyatakan bahwa proposisi ilmiah bebas dari nilai Kajian Filsafati Positivisme

A. Kajian Ontologis Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi. Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. Di dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan dilihat dari validitas metodenya. Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu-ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap tidak memadai. Jika berbicara tentang kajian ontologis, maka yang ingin dibahas adalah mengenai hal-hal apa saja yang dikaji oleh suatu ilmu, dengan kata lain, apa yang menjadi objek dari ilmu tersebut dan apa saja ruang lingkupnya. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Sehingga untuk mengkaji positivisme dari aspek ontologis maka harus dilakukan diprioritaskan pada obyek dan ruang lingkup positivisme itu sendiri. Bila dipandang dari aspek obyek dan ruang lingkupnya, maka positivisme akan dapat menghasilkan asumsi-asumsi sebagai berikut :
a. Di dalam pandangan positivisme segala sesuatu adalah riil (real) atau

nyata, sehingga di dalam fenomena/gejala sosial segala sesuatu yang tidak nyata dianggap bukan fenomena/gejala sosial.
b. Positivisme

memandang benda-benda yang ada disekitar kita

merupakan sebuah obyek, sedangkan yang hanya ada di dalam pikiran kita bukanlah obyek.

c. Menurut pandangan positivisme, segala sesuatu memiliki pola yang

bersifat Universal. Ada realitas yang. nyata yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal. Kebenaran tentang ini hanya dapat dicapai dengan asas probabilistik. Oleh sebab itu di dalam penelitian kuantitatif yang mengedepankan rsionalistik dan berasaskan positivisme, semua yang diteliti (obyek penelitian) dijelaskan dalam angka dan jumlah, bukan dari kata-kata dan bahasa sehingga apa yang diteliti tersebut mendapatkan bukti yang otentik bahwa obyek tersebut adalah nyata dan dapat diukur melalui angka. Bila tidak dapat diukur melalui angka, maka dalam penelitian kuantitatif obyek tersebut dinyatakan tidak ada atau tidak real. Mengingat hasil penelitian kuantitatif berupa angka atau jumlah maka hasil tersebut dapat digeneralisasikan. Positivisme memandang ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Sehingga obyek positivisme adalah ilmu pengetahuan. Sedangkan ruang lingkup positivisme menyangkut esensi dari ilmu pengetahuan itu sendiri.

B. Kajian Epistemologis. Epistemologi merupakan bagian ilmu filsafat yang membahas masalah-masalah yang bersifat menyeluruh dan mendasar mengenai pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Obyek material filsafat ilmu adalah pengetahuan dan obyek formal atau sisi tinjauannya adalah menangkap, menemukan ciri-ciri umum pengetahuan, dan bagaimana proses manusia dapat memperoleh pengetahuan serta bagaimana kebenaran pengetahuan manusia dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Dengan kalimat

sederhana epistemologi dapat diartikan sebagai bagaimana membangun suatu pemikiran. Melalui kajian epistemologis terhadap positivisme dengan

mengaitkannya ke dalam pendekatan kuantitatif, maka dapat dikemukakan beberapa asumsi berikut :
a. Dalam pendekatan positivisme, individu adalah seseorang yang bebas

nilai. Individu tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melekat pada individu lain. Oleh karena individu bebas nilai, maka individu tersebut dapat melihat fenomena atau gejala secara obyektif dengan menggunakan kreteria-kreteria universal.
b. Positivisme memandang ilmu pengetahuan adalah cara terbaik yang

dimiliki manusia untuk memperoleh pengatahuan, dan karena konsep ilmu pengetahuan dilandasi oleh adanya fakta atas fenomena yang terjadi maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat menggantikan akal sehat.
c. Pendekatan

kuantitatif

yang

merupakan

cerminan

positivisme

mengaganggap bahwa segala sesuatu adalah nyata dan bisa dipelajari, karenanya dalam penelitian kuantitatif obyek yang akan diteliti harus bisa dikatakan dengan jumlah dan angka, maka untuk memperoleh obyek yang dapat dihitung maka obyek tersebut harus nyata (real). Selain itu pendekatan kuantitatif juaga bersifat universal, sehingga pendekatan ini menggunakan pola universal yang ketat agar hasil penelitian dapat diakui secara universal.
d. Pola pendekatan kuantitatif bersifat baku, linier, dan bertahap. Dalam

hal ini penelitian kuantutatif mamandang bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan bersifat baku atau obyektif bukan subyektif.

e. Proses penelitian kuantitatif bersifat deduktif, yaitu berangkat dari sebuah konsep yang bersifat umum ke hal-hal yang khusus, dan menerapkan prinsip nomotik yaitu hanya mengambil gejala inti saja, dengan mengabaikan gajala yang lainnya. Dari tinjauan aspek epistemologis terhadap positivisme, dijumpai adanya realitas obyektif sebagai suatu realitas yang eksternal di luar

peneliti. Peneliti harus sejauh mungkin membuat jarak dengan obyek penelitiannya. Sejumlah pemikiran tersebut diatas kemudian digunakan untuk membangun konsep positivisme yang mengedepankan realitas dan mengandalkan logika.

C. Kajian Aksiologis Positivisme Aksiologi merupakan bagian filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya, sehingga dengan bahasa sederhana dapat diartikan bahwa aspek aksiologi mengarah kepada kemanfaatan suatu ilmu pengetahuan. Dalam kajian aksiologis terhadap positivisme, dapat dikemukakan asumsi bahwa pendekatan positivisme selalu mencari penjelasan mengapa sebuah fenomena atau gejala terjadi di dalam pola-pola yang sudah ada. Apabila pola dari kejadian yang sudah ada itu bisa dijelaskan, maka pola tersebut semakin meyakinkan dan tak terbantahkan. Sebaliknya bila pola yang sudah ada tidak dapat digunakan untuk menjelaskan gejala yang sudah ada, maka dicari pola baru yang lebih universal, sehingga bisa dipakai untuk menjelaskan gejala tersebut. Inilah yang imaksud dengan manfaat dari sebuah pengetahuan.

KESIMPULAN Positivisme merupakan salah satu aliran filsafat ilmu pengetahuan yang memandang bahwa suatu pernyataan seorang ilmuwan dapat dikatakan sebagai

ilmu pengetahuan apabila dapat dibuktikan secara empiris. Tokohnya yang paling popular adalah Augus Comte (1798-1857) Ajaran utama dari positivisme diantaranya: a. Di dalam alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui, b. Penyebab adanya benda-benda dalam alam tidak diketahui, c. setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta tidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal, d. hanya hubungan fakta-fakta saja yang dapat diketahui, e .perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan sosial. Dalam perkembangannya positivisme mengalami perombakan pada beberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis. Istilah lain untuk Positivisme logis adalah empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neopositivisme. Paradigma positivisme banyak mempengaruhi dunia ilmu pengetahuan yang di satu sisi paham ini memicu kemajuan industri dan teknologi namun di sisi lain ia memiliki kelemahan-kelemahan dan mendapatkan kritikan dari para filsuf dan ilmuwan baru.

DAFTAR PUSTAKA Ankersmit, F.R., 1997, Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.3, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Angel, Richard B, 1964, Reasoning and Logic, Century Crafts, New York, diterjemahkan oleh J. Drost. PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003 Hardiman, F Budi, 2007, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, cetakan 2, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Jujun S. Suriasumantri (ed.). 2003. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Penerbit Sinar Harapan. Jakarta.

Mill, John Stuart, 1866, Auguste Comte and Positivism, Reprinted from The Westminster Review, Second edition-rebised, N Trubner & Co, London Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas, Positivisme, http//www.wikipedia.org/ wiki/positivisme

You might also like