You are on page 1of 20

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR TIBIA A. Konsep Medik 1.

Definisi Fraktur tibia adalah terjadinya trauma, akibat pukulan langsung jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi atau gerakan memuntir yang keras ( Brunner and suddart th 2000 hal 2386 ) 2. Anatomi Fisiologi Tulang tibia merupakan tulang besar dan utama pada tungkai bawah. Ia mempunyai kondilus besar tempat berartikulasi. Pada sisi depan tulang hanya terbungkus kulit dan periosteum yang sangat nyeri jika terbentur. Pada pangkal proksimal berartikulasi dengan tulang femur pada sendi lutut. Bagian distal berbentuk agak pipih untuk berartikulasi dengan tulang tarsal. Pada tepi luar terdapat perlekatan dengan tulang fibula. Pada ujung medial terdapat maleolus medialis. Tulang fibula merupakan tulang panjang dan kecil dengan kepala tumpul tulang fibula tidak berartikulasi dengan tulang femur ( tidak ikut sendi lutut ) pada ujung distalnya terdapat maleolus lateralis. Tulang tibia bersama-sama dengan otot-otot yang ada di sekitarnya berfungsi menyangga seluruh tubuh dari paha ke atas, mengatur pergerakan untuk menjaga keseimbangan tubuh pada saat berdiri. Dan beraktivitas lain disamping itu tulang tibia juga merupakan tempat deposit mineral ( kalsium, fosfor dan hematopoisis). Fungsi tulang adalah sebagai berikut, yaitu : a. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh b. Melindungi organ-organ tubuh ( contoh, tengkorak melindungi otak ) c. Untuk pergerakan ( otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan bergerak. d. Merupakan gudang untuk menyimpan mineral ( contoh, kalsium ) e. Hematopoeisis ( tempat pembuatan sel darah merah dalam sum-sum tulang )

Malleolus medialis Tuberositas tibia

Caput fibulae

Malleolus Lateralis

Malleolus Malleolus medialis

Gambar Tulang Tibia dan Fibulae (Andy Santosa Augustinus, dr., 1994)

3. Etiologi Penyebab paling utama fraktur tibia biasa disebabkan oleh : A. Benturan / trauma langsung pada tulang, antara lain kecelakaan lalu lintas atau jatuh. B. Kelemahan / kerapuhan struktur tulang, akibat gangguan atau penyakit primer seperti osteoporosis atau kanker tulang metastase C. Olah raga / latihan yang terlalu berat , masukan nutrisi yang kurang

4. Patofisiologi jika tulang patah maka periosteum dan pembuluh darah pada kortek, sum-sum dan jaringan lunak sekitarnya mengalami gangguan / kerusakan. Perdarahan terjadi dari ujung tulang yang rusak dan dari jaringan lunak (otot) yang ada disekitarnya. Hematoma terbentuk pada kannal medullary antara ujung fraktur tulang dan bagian bawah periosteum. Jaringan nekrotik ini menstimulasi respon inflamasi yang kuat yang dicirikan oleh vasodilasi, eksudasi plasma dan lekosit , dan infiltrasi oleh sel darah putih lainnya. Kerusakan pada periosteum dan sum-sum tulang dapat mengakibatkan keluarnya sum-sum tulang terutama pada tulang panjang, sum-sum kuning yang keluar akibat fraktur masuk ke dalam pembuluh darah dan mengikuti aliran darah sehingga mengakibatkan terjadi emboli lemak apabila emboli lemak ini sampai pada pembuluh darah kecil, sempit, dimana diameter emboli lebih besar dari pada diameter pembuluh darah maka akan terjadi hambatan aliran-aliran darah yang mengakibatkan perubahan perfusi jaringan. Emboli lemak dapat berakibat fatal apabila mengenai organ-organ vital seperti otak, jantung, dan paru-paru. Kerusakan pada otot dan jaringan lunak dapat menimbulkan nyeri yang hebat karena adanya spasme otot di sekitarnya. Sedangkan kerusakan pada tulang itu sendiri mengakibatkan terjadinya perubahan ketidakseimbangan dimana tulang dapat menekan persyarafan pada daerah yang terkena fraktur sehingga dapat menimbulkan fungsi syaraf, yang ditandai dengan kesemutan, rasa baal dan kelemahan. Selain itu apabila perubahan susunan tulang dalam keadaan stabil atau benturan akan lebih mudah terjadi proses penyembuhan fraktur dapat dikembalikan sesuai dengan anatominya

KLASIFIKASI PATAH TULANG KLASIFIKASI MENURUT BENTUK PANTAH TULANG A. faktur complete, pemisahan komplit dari tulang menjadi dua fragmen B. fraktur incomplete, patah sebagian dari tulang tanpa pemisahan

C. simple atau closed fraktur, tulang patah, kulit utuh D. fraktur complikata, tulang yang patah menusuk kulit, tulang terlihat E. fraktur tanpa perubahan posisi, tulang patah, posisi pada tempat pada tempat yang normal F. fraktur dengan perubahan posisi, ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat patah G. commuited fraktur, tulang patah menjadi beberapa fragmen H. impacted (telescoped) fraktura, salah satu ujung tulang yang patah menancap pada yang lain.

KLASIFIKASI MENURUT GARIS YANG PATAH A. Greenstick, retak pada sebelah sisi dari tulang ( sering terjadi pada anak dengan tulang yang lembek ). B. Transverse, patah menyilang. C. Obligue, garis patah miring. D. Spiral, patah tulang melingkari tulang.

Gambar Klafikasi fraktur. A. Greenstik B,Transversal. C, Oblik, D. Spiral.

Fase-fase penyembuhan patah tulang, yaitu : 1. Hematon segera setelah cedera Dalam 72 jam, darah akan menjadi beku pada tempatnya adanya fraktur. Tidak seperti hematon lainnya, hematon akan terjadi di sekitar fraktur yang tidak melakukan absorbsi selama proses penyembuhan. 2. Pembentukan fibrocartilago Bagian ini akan terjadi lebih dari 3 hari sampai 2 minggu. Pada periosteum, endosteum dan tulang mendapat supply, dimana akan mengadakan proliferasi ke dalam fibrokartilago. 3. Pembentukan kalus Terjadi 3-10 hari sesudah injury, mengubah jaringan granulasi dan callus . 4. Penyatuan tulang Kalus fibrosa menjadi kalus tulang. Pada foto Rontgen proses ini terlihat sebagai bayangan tetapi bayangan garis patah tulang masih terlihat. 5. Konsolidasi Terjadinya penggantian sel tulang secara berangsur-angsur oleh sel tulang yang mengatur diri sesuai dengan garis tekanan dan tarikan yang bekerja pada tulang. Akhirnya sel tulang ini mengatur diri secara lamellar seperti sel tulang normal. Kekuatan kalus ini sama dengan kekuatan tulang biasa. 5. Tanda Dan Gejala a. Nyeri hebat pada daerah fraktur. Nyeri bertambah hebat jika ditekan/raba. b. Tak mampu menggerakkan kaki. c. Terjadi pemendekan karena kontraksi/spamus otot-otot. d. Adanya rotasi pada tungkai tersebut. e. Perubahan bentuk/posisi berlebihan bila dibandingkan dengan keadaan normal. f. Ada/tidak kulit yang terluka/terbuka di daerah fraktur. g. Teraba panas pada jaringan yang sakit karena peningkatan vaskularisasi di daerah tersebut. h. Pulsa/nadi pada daerah distal melemah/berkurang. i. Kehilangan sensasi pada daerah distal karena jepitan saraf oleh fragmen tulang. j. Krepitasi jika digerakkan (jangan melakukan pembuktian lebih lanjut jika sudah pasti ada fraktur). k. Pendarahan. l. Hematoma, edema karena ekstravasasi darah dan cairan jaringan.

m. Tanda-tanda shock akibat cedera berat, kehilangan darah, atau akibat nyeri hebat. n. Keterbatasan mobilisasi. o. Terbukti fraktur lewat foto rontgen.

6. Pemeriksaan Diagnostik 1. 2. a. Foto rontgen pada daerah yang dicurigai fraktur. Pemeriksaan lainnya yang juga merupakan persiapan Darah lengkap.

Dapat menunjukan tingkat kehilangan darah hingga cedera (pemeriksaan Hb dan Ht). Nilai leukosit meningkat sesuai respon tubuh terhadap cedera. b. Golongan darah .

Dilakukan sebagai persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah yang bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan. c. Pemeriksaan kimia darah.

Mengkaji ketidakseimbangan yang dapat menimbulkan masalah pada saat operasi.

7. Terapi Pengelolaan Medik Pemilihan jenis tindakan lokasi fraktur, potensial nekrosis, pilihan pasien, dan kesukaan dokter yang merawat. Jenis tindakan untuk fraktur antara lain : 1. Pemakaian traksi untuk mencapai alignment dengan memberi beban seminimal mungkin pad daerah distal. 2. Manipulasi dengan Closed reduction and external fixation (reduksi tertutup + fiksasi eksternal), digunakan gips sebagai fiksasi eksternal, dilakukan jika kondisi umum pasien tidak mengijinkan untuk menjalani pembedahan. 3. Prosedur operasi dengan open reduction and internal fixation (ORIF). Dilakukan pembedahan dan dipasang fiksasi internal untuk mempertahankan posisi tulang (misalnya: sekrup, plat, kawat, paku). Alat ini bisa dipasang di sisi maupun di dalam tulang, digunakan jenis yang sama antara plate dan sekrup untuk menghindari terjadinya reaksi kimia. Jika keadaan luka sangat parah dan tidak beraturan maka kadang dilakukan juga debridement untuk memperbaiki keadaan jaringan lunak di sekitar fraktur.

8. Komplikasi 1. Shock dan pendarahan. Pada saat terjadinya cedera atau segera dioperasi. 2. Infeksi karena keadaan luka atau luka post pembedahan 3. Komplikasi immobilitas. Terutama pada usia lanjut, antara lain : a. Pneumonia b. Thromboplebitis c. Emboli pulmonal 4. Non-union , penyembuhan terlambat. Sering pada fraktur tibia maupun fraktur lainnya sembuh lebih lambat bila terdapat kerusakan jaringan vascular luas yang memberikan suplai darah ke daerah fraktur. 5. Masalah post operatif dengan alat-alat fiksasi internal. Fiksasi internal bisa melemah, patah, atau pindah tempat yang menyebabkan kerusakan jaringan lunak. Untuk ini perlu pembedahan ulang. 6. Osteomyelitis, terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun sesudah faktur (biasanya fraktur terbuka)

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan Kebiasaan beraktivitas tanpa pengamanan memadai. Adanya kegiatan yang berisiko cidera. Adanya riwayat penyakit yang bisa menyebabkan jatuh. b. Pola nutrisi Adanya gangguan nafsu makan karena nyeri. c. Pola eliminasi Obstipasi karena imobilitas. d. Pola aktivitas dan latihan Ada riwayat jatuh/terbentur ketika sedang beraktivitas atau kecelakaan lain. Tidak kuat berdiri/menahan beban. Ada perubahan bentuk atau pemendekan pada bagian betis/tungkai bawah. e. Pola tidur dan istirahat Pola tidur berubah/terganggu karena adanya nyeri pada daerah cidera.

f. Pola persepsi kognitif Biasanya mengeluh nyeri hebat pada lokasi tungkai yang terkena. Mengeluh kesemutan atau baal pada lokasi tungkai yang terkena. Kurang pemahaman tentang keadaan luka dan prosedur tindakan. g. Pola konsep diri dan persepsi diri Adanya ungkapan ketidakberdayaan karena keadaan cidera. Rasa khawatir dirinya tidak mampu beraktivitas seperti sebelumnya. h. Pola hubungan-peran Kecemasan akan tidak mampu menjalankan kewajiban memenuhi kebutuhan keluarga dan melindungi. Merasa tidak berdaya. i. Pola seksual dan reproduksi Merasa khawatir tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap pasangan. j. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres Ekspresi wajah sedih. Tidak bergairah. Merasa terasing di rumah sakit.

10

PATOFISIOLOGI DAN PENYIMPANGAN KDM FRAKTUR

Trauma

Fraktur

- Gangguan mobilisasi fisik - Resiko cedera

Kerusakan periosteum, pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan sekitar. - kerusakan integritas kulit dan jaringan - gangguan rasa nyaman Nyeri

perdarahan , kerusakan jaringan diujung Tulang dan spasme otot Hematoma dikanal dan medula resiko tinggi penurunan perfusi jaringan perifer

Terjadi peradangan, vasodilatasi, pengeluaran plasma, lekosit dan inflamasi nekrosis jaringan sekitar udema pemasangan gips atau traksi - gangguan rasa nyaman nyeri - resiko tinggi infeksi

11

2. Diagnosa Keperawatan Pre Operasi 1. Nyeri berhubungan dengan patah tulang, spasme otot, edema dan kerusakan jaringan lunak. 2. Risiko tinggi terjadinya perubahan neurovaskuler perifer berhubungan dengan menurunnya aliran darah akibat cidera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus, hipovolemia. 3. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, kerusakan pada jaringan lunak. 4. Kecemasan berhubungan dengan nyeri, ketidakmampuan dan gangguan mobilisasi. 5. Regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit, tanda dan gejala, pengobatan dan pencegahannya.

Post Operasi 1. Nyeri berhubungan dengan pemasangan pen, sekrup, drain dan adanya luka operasi. 2. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi. 3. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri dan terapi fraktur, pemasangan traksi, gips dan fiksasi. 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan bertambahnya metabolisme untuk penyembuhan tulang dan jaringan. 5. Regimen terapeutik in efektif berhubungan dengan kurang informasi mengenai penyakit, tanda dan gejala, pengobatan dan pencegahannya. 6. Risiko tinggi terjadinya komplikasi post operasi b.d. imobilisasi.

3. Perencanaan Pre Operasi 1. Nyeri berhubungan dengan patah tulang, spasme otot, edema dan kerusakan jaringan lunak.

12

HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan: klien mengatakan nyeri berkurang/hilang, ekspresi wajah santai, dapat menikmati waktu istirahat dengan tepat, dan mampu melakukan teknik relaksasi dan aktivitas sesuai dengan kondisinya. Intervensi: 1. Kaji tingkat nyeri klien R/ Mengetahui rentang respon klien tentang nyeri. 2. Tinggikan dan sokong ekstremitas yang sakit. R/ Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri. 3. Pertahankan bidai pada posisi yang sudah ditetapkan. R/ Mengurangi kerusakan yang lebih parah pada daerah fraktur. 4. Mempertahankan tirah baring sampai tindakan operasi. R/ Mempertahankan kerusakan yang lebih parah pada daerah fraktur. 5. Dengarkan keluhan klien. R/ Mengetahui tingkat nyeri klien. 6. Ajarkan teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri (latihan nafas dalam). R/ Meningkatkan kemampuan koping dalam menangani nyeri. 7. Kolaborasikan dengan dokter mengenai masalah nyeri. R/ Intervensi tepat mengatasi nyeri.

2. Risiko tinggi terjadinya perubahan neurovaskuler perifer berhubungan dengan menurunnya aliran darah akibat cidera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus, hipovolemia. HYD: Perfusi jaringan perifer memadai ditandai dengan terabanya nadi, kulit hangat/kering, sensasi dan sensori normal, TTV dalam batas normal dalam waktu 2-3 hari. Intervensi: 1. Observasi TTV tiap 3-4 jam. R/ Ketidakefektifan volume sirkulasi mempengaruhi tanda-tanda vital. 2. Kaji aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan bagian distal fraktur. R/ Warna kulit pucat merupakan tanda gangguan sirkulasi.

13

3. Lakukan pengkajian neuromuskuler, perhatikan perubahan fungsi motorik/sensorik. R/ Rasa baal, kesemutan, peningkatan nyeri dapat terjadi bila sirkulasi pada saraf tidak adekuat atau syaraf rusak. 4. Identifikasi tanda iskemia ekstremitas tiba-tiba. R/ Dislokasi fraktur dapat menyebabkan kerusakan arteri yang berdekatan. 5. Monitor hasil laboratorium melalui kolaborasi dengan dokter (mppp, Hb, Ht). R/ Mengidentifikasi tanda-tanda kelainan darah. 6. Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit. R/ Dapat membendung sirkulasi bila terjadi edema. 7. Kolaborasi dengan dokter untuk menyiapkan klien intervensi pembedahan. R/ Intervensi tepat dan cepat dapat mencegah kerusakan yang lebih parah.

3. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, kerusakan pada jaringan lunak. HYD: Tidak terjadi infeksi dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan tandatanda vital dalam batas normal dan pemeriksaan laboratorium normal. Intervensi: 1. Kaji tanda-tanda vital tiap 3-4 jam. R/ Infeksi yang terjadi dapat meningkatkan suhu tubuh. 2. Monitor hasil laboratorium (leukosit). R/ Mengidentifikasi tanda-tanda infeksi. 3. Rawat luka secara steril. R/ Mengurangi risiko terjadinya infeksi. 4. Beri diet tinggi kalori dan tinggi protein. R/ Makanan yang bergizi akan membantu meningkatkan pertahanan tubuh. 5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi. R/ Mengidentifikasi supaya infeksi tidak terjadi.

14

4. Kecemasan berhubungan dengan nyeri, ketidakmampuan dan gangguan mobilisasi. HYD: Kecemasan tidak terjadi dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan klien tidak mengeluh nyeri, mampu melakukan aktivitas sebagaimana mestinya, dan mengungkapkan perasaan lebih santai, ekspresi wajah rileks. Intervensi: 1. Kaji tingkat kecemasan klien. R/ Menentukan intervensi yang tepat. 2. Beri dan luangkan waktu bagi klien untuk mengungkapkan perasaannya. R/ Mengetahui tingkat kecemasan klien dan memenuhi kebutuhan untuk didengarkan. 3. Ajarkan dan bantu klien untuk melakukan teknik-teknik mengatasi kecemasan. R/ Mengurangi kecemasan klien. 4. Kaji perilaku koping yang ada dan anjurkan penggunaan perilaku yang telah berhasil digunakan untuk mengatasi kecemasan yang lain. R/ Klien tampak lebih rileks dan tidak terlalu memikirkan hal-hal yang menimbulkan kecemasan. 5. Berikan dukungan kepada klien untuk berinteraksi dengan keluarga, orang tua terdekat. R/ Orang terdekat merupakan pemberi support sistem yang paling tepat. 6. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi untuk mengurangi kecemasan klien. R/ dapat memulihkan klien ke tingkat awal.

5. Regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit, tanda dan gejala, pengobatan dan pencegahannya. HYD: Klien dapat mengetahui tentang penyakit, penyebab, tanda gejala, pengobatan, pencegahan serta tindakan operasi dalam waktu 2-3 hari. Intervensi:

15

1. Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai penyakitnya, penyebab, tanda gejala, pengobatan, pencegahan dan prosedur operasi. R/ Meningkatkan pengetahuan klien mengenai penyakit yang sedang dialaminya. 2. Jalin hubungan saling percaya. R/ Mempercepat proses penerimaan diri. 3. Jelaskan tentang rencana operasi dan post operasi. R/ Meningkatkan pengetahuan klien. 4. Beri kesempatan pada klien untuk bertanya. R/ Meningkatkan pengetahuan dan kerjasama klien. 5. Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi di atas dan di bawah fraktur. R/ Mencegah kekakuan sendi, kontraktur, dan kelemahan otot, meningkatkan kembalinya aktivitas sehari-hari. 6. Anjurkan penggunaan back pack. R/ Untuk memanipulasi kruk atau dapat mencegah kelelahan otot yang tidak perlu bila satu tangan digips. 7. Kaji ulang perawatan pen/luka yang tepat. R/ Menurunkan risiko trauma tulang/jaringan dan infeksi yang dapat berlanjut melalui osteomielitis.

Post Operasi 1. Nyeri berhubungan dengan pemasangan pen, sekrup, drain dan adanya luka operasi. HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan: ekspresi wajah tenang, klien mengungkapkan nyeri berkurang. Intervensi: 1. Observasi TTV tiap 4 jam. R/ Peningkatan tanda-tanda vital menunjukkan adanya nyeri. 2. Kaji keluhan, lokasi, intensitas dan karakteristik nyeri. R/ Menentukan tindakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasien. 3. Anjurkan teknik relaksasi napas dalam. R/ Napas dalam dapat mengendorkan ketegangan, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.

16

4. Berikan posisi yang nyaman pada tulang yang fraktur sesuai anatominya. R/ Posisi anatomi memberikan rasa nyaman dan melancarkan sirkulasi darah. 5. Berikan terapi analgetik sesuai dengan program medik. R/ Analgesik akan menghambat dan menekan rangsang nyeri ke otak.

2. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi. HYD: Tidak terjadi infeksi dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan kulit bersih, pasien tidak mengalami infeksi tulang. Intervensi: 1. Observasi tanda-tanda vital (TD, S, N, P) tiap 4 jam. R/ Peningkatan TTV dapat menunjukkan adanya infeksi. 2. Rawat luka operasi dengan baik dengan tehnik antiseptik. R/ Mencegah dan menghambat berkembangnya bakteri. 3. Tutup luka operasi dengan kasa steril. R/ Kasa steril dapat menghambat masuknya kuman ke dalam luka. 4. Jaga daerah luka tetap bersih dan kering. R/ Luka yang kotor dan basah menjadi media yang baik bagi perkembangbiakan bakteri. 5. Berikan terapi antibiotik sesuai dengan program medik. R/ Antibiotik akan menghambat hidup dan berkembangnya bakteri.

3. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri dan terapi fraktur, pemasangan traksi, gips dan fiksasi. HYD: Klien dapat mobilisasi seperti biasanya dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan klien dapat mobilisasi sendiri, dapat melakukan aktivitas sendiri tanpa bantuan orang lain. Intervensi: 1. Observasi TTV (S, TD, N, P) tiap 4 jam. R/ Sebagai data dasar untuk menentukan tindakan keperawatan. 2. Kaji tingkat kemampuan pasien dalam beraktivitas, mobilisasi secara mandiri. R/ Menentukan tingkat keperawatan sesuai kondisi pasien.

17

3. Bantu pasien dalam pemenuhan higiene, nutrisi, eliminasi yang tidak dapat dilakukan sendiri. R/ Kerjasama antara perawat dengan pasien yang baik

mengefektifkan pencapaian hasil dari tindakan keperawatan yang dilakukan. 4. Dekatkan alat-alat dan bel yang dibutuhkan klien. R/ Klien dapat segera memenuhi kebutuhan yang dapat dilakukan. 5. Libatkan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pasien. R/ Kerjasama antara perawat dan keluarga akan membantu dalam mencapai tujuan yang diinginkan. 6. Anjurkan dan bantu klien untuk mobilisasi fisik secara bertahap sesuai kemampuan pasien dan sesuai program medik. R/ Mobilisasi dini secara bertahap membantu dalam proses

penyembuhan.

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan bertambahnya metabolisme untuk penyembuhan tulang dan jaringan. HYD: Perubahan nutrisi tidak terjadi dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan penyembuhan tulang dan jaringan dapat kembali secara bertahap sempurna seperti normalnya. Intervensi: 1. Kaji abdomen, catat adanya bising usus, distensi abdomen dan keluhan mual. R/ Distensi abdomen dan atoni usus sering terjadi, mengakibatkan penurunan tak adanya bising usus untuk mencerna makanan. 2. Berikan perawatan oral. R/ Menurunkan rangsangan muntah dan inflamasi/iritasi, mukosa membran kering. 3. Bantu pasien dalam pemilihan makanan/cairan yang memenuhi kebutuhan nutrisi tinggi kalsium. R/ Kebiasaan diet sebelumnya mungkin tidak memuaskan pada pemenuhan kebutuhan saat ini untuk regenerasi jaringan dan penyembuhan. 4. Kaji adanya peningkatan haus dan berkemih atau perubahan mental dan ketajaman visual.

18

R/ Mewaspadai

terjadinya

hiperglikemia

karena

peningkatan

pengeluaran glukagon dan penurunan pengeluaran insulin. 5. Menganjurkan klien untuk banyak mengkonsumsi buah dan sayursayuran. R/ Konsumsi buah dan sayur-sayuran dapat meningkatkan proses penyembuhan tulang. 6. Kolaborasi dengan ahli diet. R/ Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien.

5. Risiko tinggi terjadinya komplikasi post operasi b.d. imobilisasi. HYD: Tidak terjadi komplikasi post operasi dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan tidak ada perasaan nyeri, sesak, mati rasa dll. Intervensi: 1. Kaji keluhan pasien. R/ Mengetahui masalah pasien. 2. Observasi TTV (S, T, N, P) tiap 4 jam. R/ Untuk mendeteksi adanya tanda-tanda awal dari komplikasi. 3. Anjurkan dan ajarkan latihan aktif dan pasif. R/ Meningkatkan pergerakan sehingga dapat melancarkan aliran darah. 4. Kolaborasi dengan dokter. R/ Mengetahui dan mendapatkan penanganan yang tepat.

6. Regimen terapeutik in efektif berhubungan dengan kurang informasi mengenai penyakit, tanda dan gejala, pengobatan dan pencegahannya dan prosedur pembedahan. HYD: Regimen terapeutik menjadi efektif dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan klien dapat mengetahui penyakit, tanda dan gejala, pengobatan, pencegahan dan prosedur operasi. Intervensi: 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien mengenai penyakit, tanda gejala, pengobatan, pencegahan dan prosedur operasi. R/ Untuk mengukur sejauh mana pengetahuan pasien tentang penyakit. 2. Ajarkan dan anjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif secara teratur.

19

R/ Dengan latihan aktif dan pasif diharapkan dapat mencegah terjadinya kontraktur pada tulang. 3. Berikan kesempatan pada pasien untuk bertanya. R/ Hal kurang jelas dapat diklarifikasi kembali. 4. Anjurkan pasien untuk menaati terapi dan kontrol tepat waktu. R/ Mencegah keadaan yang dapat memperburuk keadaan fraktur. 5. Anjurkan pasien untuk tidak mengangkat beban berat pada tangan yang fraktur. R/ Mencegah stres pada tulang.

4. Discharge Planning

diperoleh selama pasien dirawat di RS.

tinggi kalsium, tinggi vitamin untuk penyembuhan tulang. -3 liter per hari bila tidak ada kontraindikasi.

-tanda komplikasi seperti nyeri pada keadaan istirahat, denyut nadi hilang, lemah, pucat, parastesia, jika tanda-tanda ini muncul cepat hubungi tenaga kesehatan.

20

DAFTAR PUSTAKA

Andy Santosa Augustinus, (1994). Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia. Jakarta : Akademi Perawatan Sint Carolus.

Brunner and Suddarth (2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Donna. D. Ignatavicius, Marylinn V.B. (1991). Medical Surgical Nursing. A Nursing Proses Approach. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

John Luckman, RN. M.A. Karen C. Sorensen, R.N. M.N (1997). Medical Surgical Nursing: A Psychophysiological Approach. Philadelphia, N.B.: Saunders Company.

Marilynn

E.

Doengoes,

Mary F.

Moorhouse

(1994). Rencana

Asuhan

Keperawatan, Edisi 3: Penerbit Buku Kedokteran: EGC.

Price, Sylvia A. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.

21

You might also like