You are on page 1of 6

ADVOKASI RAKYAT

Selama satu dekade terakhir ini, advokasi telah menjadi kamus perjuangan baru bagi kalangan organisasi civil society atau kalangan pendamping lapangan. Hampir semua organisasi non pemerintah selalu menjadikan advokasi sebagai salah satu agenda yang ingin mereka lakukan. Bahkan ada sejumlah organisasi yang menjadikan advokasi sebagai kegiatan utamanya dan memiliki keyakinan advokasi sebagai satu cara yang akan membawa perubahan sosial, setelah mengalami kekecewaan dengan sedikitnya perubahan sosial yang bisa dicapai dengan pendekatan pengembangan masyarakat. Persoalannya, lantas, banyak sekali kegiatan yang dinamakan advokasi, sehingga pengertian advokasi itu sendiri menjadi kabur dan tak jelas lagi juntrungnya. Dengan pemahaman seperti inilah menjadi penting untuk memahami apa sesungguhnya yang disebut advokasi ini. Dari berbagai diskusi dan pengalaman orgnasisasi non pemerintah tentang apa yang disebut dengan kegiatan advokasi selama ini ternyata memiliki berbagai pengertian, konsep atau pengertian advokasi. Sebagian memaknai advokasi sebagai alat melakukan perubahan sosial, sementara sebagian lain melihat alat pemberdayaan. Tetapi ada juga yang memaknai advokasi sebagai sarana edukasi (pendidikan), sebagai media revolusi, meskipun ada juga yang hanya menganggap advokasi sebagai media unjuk rasa atau demonstrasi. Salah satu pengertian yang diajukan dari berbagai anggapan itu adalah advokasi dipahami sebagai berteriak, menarik perhatian suatu isu dan untuk mendapatkan pendukung masyarakat untuk suatu perubahan. Pengertian lain juga diajukan, yaitu sebagai suatu proses yang mempengaruhi keputusan kebijakan pada tingkat nasional dan internasional. Gerakan ini dimulai dari masyarakat/warga dan ditujukan pada perubahan minat/kepentingan/kebutuhan/keinginan warga/masyarakat akan kebijakan, praktek, dan hak-hak yang terdefinisikan dengan jelas. Tetapi pengertian yang banyak dianut oleh banyak aktivis atau pendamping lapangan, advokasi diberi pengertian sebagai suatu usaha yang dilakukan secara sistematik dan terorganisasi untuk melakukan tindakan dengan target untuk: terbentuknya atau terciptanya kebijakan atau praktek baru; atau perubahan kebijakan, serta implementasi terhadap suatu kebijakan, yang diharapkan akan menguntungkan kepentingan dan perjuangan pihak yang melakukan advokasi. Advokasi adalah sebuah seni berpolitik Pengertian lain yang bisa dianggap serupa adalah suatu usaha untuk mempengaruhi pengambil keputusan untuk mengadopsi atau mengubah kebijakan dan praktek kegiatan untuk memperlancar usaha pelaku advokasi untuk mencapai visi dan misinya. Dengan pengertianpengertian yang ditawarkan, satu hal yang jelas-jelas memiliki kesamaan adalah, bahwa advokasi merupakan usaha untuk mempengaruhi pengambil kebijakan atau mempengaruhi kebijakan. Lantas advokasi dimaknai sebagai seluruh aktivitas yang terintegratif dengan berbagai tindakan yang tampaknya sama-sama dilakukan untuk mempengaruhi. Sebut saja misalnya, lobby, negosiasi, pembentukan pendapat umum melalui media massa, aksi massa, kampanye dan pendidikan massa.

Dalam pemahaman advokasi yang terintegrasi ini, maka seluruh tindakan di atas, merupakan komponen-komponen yang saling mendukung dan tak terpisahkan dari sebuah proses advokasi. Semuanya dilakukan dengan tujuan untuk memenangkan proses advokasi, karena advokasi memang menjadi persoalan kalah menang. Masing-masing tindakan memiliki tugas yang berbeda namun dalam kerangkan membentuk tindakan advokasi yang efektif. Lobby, misalnya, lebih dimaksudkan untuk mempengaruhi orang-perorang atau organisasi yang dianggap memiliki kepedulian yang sama tentang sesuatu yang sedang diperjuangkan, dan orang atau organisasi tersebut memiliki kekuasaan yang berpengaruh dalam proses pengambilan kebijakan. Aliansi yang kuat, salah satunya akan bisa terbentuk dalam proses lobby ini. Sementara itu, kampanye, merupakan kegiatan yang dilakukan untuk pembentukan pendapat umum dan menggunakannya untuk mempengaruhi orang yang berkuasa. Sedangkan aksi massa atau unjuk rasa, merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk menunjukkan kepada pengambmil keputusan tentang dukungan yang harus mereka perhitungkan dalam pengambilan keputusan. Dengan konsepsi seperti itu, sesungguhnya advokasi merupakan usaha politik untuk mendesakkan kepentingan dengan jalan mempengaruhi perubahan kebijakan. Oleh karena itu, yang selama ini diuntungkan dari kebijakan dan peraturan negara adalah mereka yang mampu melakukan lobby dan membentuk pendapat umum melalui media massa serta kolusi bisnis, sehingga banyak kebijakan negara menguntungkan pihak-pihak yang dominan dalam masyarakat seperti asosiasi bisnis, para industrialis dan kapitalis. Kepentingan mereka berhadapan dengan kepentingan kelompok-kelompok yang berjuang untuk keadilan dan kerakyatan. Advokasi mereka ini sering dilakukan oleh pihak yang secara ekonomi dan politik dominan. Dengan demikian sekali lagi, advokasi adalah urusan kalah dan menang. Artinya, meskipun yang diperjuangkan pendamping lapangan adalah masalah yang sangat benar dan bisa dibuktikan secara empirik, namun jika advokasi mereka dikalahkan oleh kekuasaan dari pihak-pihak yang menentangnya atau dominan, maka kebijaksanaan atau aturan yang merugikan tersebut tidak berubah. Dengan demikian, kebijakan tidak memihak pada kebenaran melainkan memihak kepada kepentingan yang memenangkannya. Mengapa Advokasi? Advokasi dewasa ini telah menjadi media baru tentang perubahan sosial. Meskipun kenyataannya tidak serta merta kemenangan advokasi membawa pada perubahan sosial. Sebagai salah satu model pendekatan perubahan sosial, advokasi dipercaya mampu membawa pada perubahan sosial. Ada banyak alasan, mengapa aktivis dan pendamping lapangan banyak yang meyakini dan menggunakan advokasi sebagai proses perubahan sosial. Pertama, banyak mereka mulai menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini, yakni berbagai program pengembangan masyarakat dan berbagai program pengembangan lapangan tidak membawa perubahan sosial yang substansial. Bahkan semakin banyak yang menyadari, dengan mengembangkan program pengembangan masyarakat justru melanggengkan ketidakadilan, kemiskinan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Karena itu, advokasi merupakan indikator perpindahan analisis tentang penyebab masalah dari menyalahkan korban (blaming the victims) ke analisis struktural. Perpindahan ini memerlukan beberapa pemikiran yang menyangkut bahwa sistem dan struktur berpengaruh kuat terhadap nasib kaum marginal,

dan oleh karena itu mengubah atau mempengaruhi aturan atau kebijakan menjadi bagian penting dari strategi perubahan sosial. Akan tetapi memang harus diingat bahwa berubahnya kebijakan dan aturan tidak serta merta mempengaruhi perubahan struktur menyeluruh. Oleh karena itu memang bukan tugas advokasi untuk mengubah struktur dan sistem. Advokasi hanya mempengaruhi perbaikan dari bagian-bagian dari sistem yang ada yang dianggap sangat merugikan bagi yang kita bela. Kedua, advokasi dilakukan oleh organisasi non pemerintah, selain karena perubahan paradigma dan analisis dari menyalahkan korban (blaming the victims) menuju lebih melihat struktur, yaitu karena lemahnya posisi mereka dihadapan kekuasaan pengambil kebijakan. Artinya, advokasi memang alat bagi mereka yang memiliki posisi lemah dan memiliki risiko yang rendah. Mereka yang memiliki kekuatan dan basis massa, tidak akan memilih pendekatan advokasi, karena cara ini oleh golongan yang kuat tidak dianggap paling strategis untuk melakukan atau mendesakkan perubahan, melainkan dengan cara adu kekuatan atau pertunjukkan kekuatan. Demikian halnya bagi mereka yang berkuasa, tentu untuk mendesakkan kemauannya tidak dengan cara advokasi. Ketiga, advokasi dilakukan karena adanya keyakinan bahwa perubahan harus dilakukan tidak dengan cara kekerasan atau non-violence. Alasan ketiga ini selain berkaitan dengan lemahnya kekuatan (power) juga ada sangkut pautnya dengan rendahnya keberanian untuk ambil risiko. Oleh karena hakekat advokasi adalah bagaimana mempengaruhi, memikat dan menjual pandangan secara terorganisasi, sistematik dan tidak dengan cara makar kepada pihak lain yang lebih berkuasa, maka advokasi lebih menunjukkan cara non-konflik. Dengan demikian risiko advokasi dianggap lebih rendah dibanding dengan pendekatan perubahan adu kekuatan atau cara-cara yang lain. Keempat, adanya keinginan dan tuntutan untuk mengintegrasikan program-program praktis jangka pendek seperti program pengembangan dan pendidikan masayarakat selama ini dengan program strategis, yakni program jangka panjang, menyangkut peperangan ideologi dan keyakinan serta implikasi ideologi terhadap sistem aturan dan norma masyarakat. Meskipun pengintegrasian antara program-program parektis dengan program-program strategis tidak hanya bisa dilakukan dengan advokasi dan tidak serta merta advokasi bersifat perubahan sistemik dan struktural, namun cara advokasi dinilai bisa membawa pada perubahan strategis. Kelima, adanya kesadaran baru di kalangan Ornop dan pendamping lapangan bahwa program pengembangan masyarakat yang selama ini dilakukan karena tidak dikaitkan dengan kesadaran struktural akan isu ketidakadilan, maka mereka merasa lebih berperan sebagai pekerja sosial yakni sebagai pembersih sampah persoalan yang diciptakan oleh pembangunan. Atau adanya kesadaran bahwa Ornop hanya sekedar sebagai safety net dari korban-korban ketidakadilan pembangunan dan sistem kapitalisme. Tanpa mengkaitkan apa yang dilakukan di lapangan dengan sistem dan struktur yang mengakibatkan marginalisasi masyarakat, akan melahirkan frustasi bagi kalangan ornop. Oleh karena itu, dengan menambahkan dimensi advokasi pada kegiatan yang ada, selain memberi makna baru bagi aktivitas mereka juga memberi harapan baru.

Advokasi dengan begitu tidak bisa dilakukan secara berdiri sendiri. Artinya ia semestinya merupakan bagian dari strategic thinking and planning dari suatu organisasi. Selain itu, advokasi hendaknya juga dilakukan dengan mempertimbangkan atau mengacu pada misi, mandat dan visi organisasi dan isu-isu yang ditetapkan organisasi sebagai isu strategis. Tanpa kejelasan visi dan misi dan kaitannya dengan apa yang ditetapkan sebagai isu strategis, maka advokasi hanyalah menjadi kegiatan yang tidak jelas posisinya. Dengan demikian, advokasi memang salah satu sisi mata uang dari kegiatan pengembangan yang selama ini telah dilakukan. Advokasi yang dilakukan secara terpisah dari kegiatan lapangan tidak saja mengakibatkan teralienasinya kegiatan advokasi dari akar permasalahan, namun advokasi kemudian menjadi kegiatan yang sangat elitis, yakni suatu kegiatan atas nama masyarakat. Kegiatan yang mengatasnamakan masyarakat, tanpa melibatkan mereka adalah masalah tersendiri. Dengan demikian, advokasi yang dilakukan tanpa mengintegrasikan dengan kegiatan masyarakat adalah bagian dari ketidakadilan dan anti demokrasi. Apa yang mesti dilakukan? Pertama yang harus dilakukan dalam mengembangkan kegiatan advokasi adalah merumuskan isu strategis. Isu stretagis adalah isu-isu yang dipilih oleh sebuah organisasi dengan parameter tertentu sebagaimana disepakati, misalnya isu itu mendesak untuk dipecahkan. Tanpa upayaupaya penyelesaian maka korban akan bertambah terus dan semakin banyak berjatuhan. Isu strategis dirumuskan berdasarkan sebuah refleksi dalam suatu organisasi, dengan melakukan analisa terhadap visi dan misi organisasi, termasuk kekuatan dan kelemahan, peluang dan hambatan yang dihadapi organisasi. Dengan demikian isu strategis ketika diturunkan ke dalam bentuk-bentuk kegiatan, organisasi memiliki kemampuan untuk memecahkannya. Berdasarkan isu stretagis yang ada, mulailah dilakukan perumusan tujuan advokasi. Sebab tujuan advokasi yang strategis akan memungkinkan sebuah advokasi yang dilakukan oleh suatu kelompok akan memenangkan perang kepentingan itu. Kemungkinan kemenangan itu semakin tinggi, manakala terumuskan pula secara jelas strategi advokasi tersebut. Strategi advokasi dimaknai sebagai suatu proses penyajian pemecahan suatu masalah yang dipersiapkan dari salah satu persoalan yang muncul dalam sebuah kebijakan atau hukum yang ditetapkan dalam suatu negara atau pemerintahan. Ada tiga wilayah yang harus diubah dalam strategi advokasi, yaitu substansi/isi: yang dinyatakan oleh kebijakan atau hukum (content of law); penegakan/penerapan: bagaimana negara menerapkan kebijakan/hukum itu (structure of law), termasuk di dalamnya adalah kepolisian, kejaksaan dan kehakiman serta pengacara; dan sikap/perilaku (sulture of law), bagaimana masyarakat memandang hukum atau kebijakan itu. Dengan kata lain, untuk mengubah suatu kebijakan yang merugikan rakyat banyak, advokasi memilih strategi untuk mengubah tiga komponen kebijakan atau hukum tersebut. Karena dari situlah sebuah hukum atau kebijakan akan tampak merugikan dan atau tidak adil dan anti demokrasi. Perumusan misi advokasi juga merupakan kerja-kerja yang serius dan tidak kalah pentingnya dari komponen advokasi yang lain. Perumusan misi advokasi bisa dimulai dari pengajuan pertanyaan-pertanyaan kritis (1) problem sosial apa yang membuat kelompok anda muncul?; (2)

Apa akibatnya jika problem tersebut tidak ditangani; dan (3) apa uniknya kelompok anda tersebut. Jawaban-jawaban ini sungguh menjadi penting karena akan memandu penglihatan terhadap berbagai persoalan atau isu yang ada dalam masyarakat. Dengan pertanyaan itu pula, rumusan yang muncul tidak berangkat dari otak pendamping lapangan, tetapi tetapi realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Advokasi tidak akan tercerabut dari akar rumputnya. Risiko, kenapa tidak? Kerja-kerja advokasi adalah kerja-kerja untuk melakukan perubahan sosial, dari ketidakadilan menuju ke situasi yang adil, dari otoriter menuju ke demokrasi dan seterusnya. Karena itu, advokasi menjadi satu proses mengalahkan sebuah suatu kekuasaan yang melanggengkan ketidakadilan dalam masyarakat. Dengan seluruh perangkat kerjanya, advokasi akan melakukan perubahan itu. Dengan demikian, harus disadari oleh setiap orang yang melakukan advokasi, bahwa kerja-kerja itu tentu saja mengandung resiko, terutama resiko politis yang dimunculkan oleh kelompok kepentingan kekuasaan. Kendala dan resiko akan semakin berat, manakala kerjakerja advokasi dilakukan dalam suatu sistem kekuasaan yang anti demokrasi. Untuk melihat dan memperkirakan suatu resiko, maka dalam melakukan advokasi perlu melihat bagaimana sistem politik suatu kekuasaan bekerja, peluang yang mungkin ada dan apa resiko yang muncul. Simpulan? Mencermati bahasan sederhan ini, kita bisa sedikit menyadari bahwa advokasi merupakan salah satu pendekatan untuk perubahan sosial, untuk transformasi sosial. Akan tetapi advokasi sangatlah terbatas pada perubahan hukum, kebijakan maupun aturan. Advokasi bukanlah alat untuk perubahan sosial, jika tanpa diletakkan dalam proses perjuangan strategis jangka panjang. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu dicatat untuk meletakkan advokasi dalam proporsinya secara wajar. Pertama, advokasi tidak boleh dipisahkan dalam proses panjang transformasi sosial. Kedua, advokasi tidak dilakukan secara terpisah dari rakyat atau dengan mengatasnamakan rakyat. Pemisahan ini sendiri adalah masalah. Dengan kata lain, yang diperlukan adalah bagaimana meletakkan rakyat justru juga sebagai subyek advokasi. Pendidikan masyarakat dan kampanye mempunyai makna yang tinggi dalam proses advokasi. Tingginya nilai pendidikan dan penyadaran serta kampanye dalam proses advokasi justru menjadi penilaian berhasil atau gagalnya advokasi itu sendiri. Akhirnya, advokasi mampu menjembatani problem yang dihadapi oleh ornop dan pendamping lapangan antara menjadi pengrajin sosial mengerjakan kegiatan sosial dengan program strategis jangka panjang untuk tujuan transformasi sosial. Menjembatani antara kegiatan teknis dan praktis dengan kegiatan yang bersifat pendidikan, penyadaran dan peperangan ideologi. Advokasilah yang akan membantu ornop dan pendamping lapangan untuk tetap relevan dengan situasi sosial politik yang ada dan akan terus berkembang, sambil secara sadar meyakinkan, masyarakatlah sebagai aktor advokasi itu sendiri dan pendamping serta ORNOP-nya hanyalah semata-mata sebagai fasilitator dari proses panjang ini
pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Sungguh penting di sini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengamalan demokrasi. Friedman (1992)

menyatakan The empowerment approach, which is fundamental to an alternative development, places the emphasis on autonomy in the decision-marking of territorially organized communities, local self-reliance (but not autarchy), direct (participatory) democracy, and experiential social learning.

You might also like