You are on page 1of 18

REAKSI PERADANGAN DAN KESEIMBANGAN CAIRAN ELEKTROLIT DAN ASAM BASA

TUGAS TERSRUKTUR ILMU DASAR KEPERAWATAN 1A disusun guna melaksanakan tugas mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan 1A Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember

oleh:

Sofiatul Ma`fuah (122310101042)

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2011

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia terdapat berbagai macam sistem. Setiap sistem tersebut memiliki organ masing-masing yang berperan dalam melakukan reaksi atau kontrol untuk menjaga keseimbangan tubuh. Salah satu reaksi yang terjadi dalam tubuh manusia adalah reaksi peradangan. Reaksi peradangan merupakan reaksi pertahanan (defensif) yang dilakukan oleh sistem imun untuk mempoliferasi sel-sel luka (nekrosis). Sedangkan kontrol yang dilakukan tubuh adalah adanya sistem homeostatis/ keseimbangan cairan (elektrolit) dan asam basa. Kedua sistem tersebut merupakan pokok bahasan dalam Ilmu Dasar Keperawatan 1 A, yang merupakan salah satu mata kuliah di Program Studi Universitas Jember. Oleh karena itulah, kami menyusun makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud reaksi peradangan? 2. Apa saja jenis-jenis peradangan? 3. Bagaimana gejala peradangan? 4. Apa saja macam-macam perangan 5. Apa peran dan fungsi reaksi peradangan? 6. Bagaimana pengaturan keseimbangan elektrolit dan asam basa? 7. Gangguan apa saja yang dapat terjadi akibat ketidakseimbangan asam basa?

1.3 Tujuan 1. Mengetahuai definisi reaksi peradangan 2. Mengetahui jenis- jenis peradangan 3. Mengetahui gejala peradangan 4. Mengetahui macam-macam peradangan 5. Mengetahui peran dan fungsi reksi peradangan 6. Mengetahui pengaturan keseimbangan elektrolit dan asam basa dalam tubuh 7. Mengetahui gangguan yang mungkin terjadi karena ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa dalam tubuh

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Definisi Reaksi Peradangan Peradangan adalah respon dari pertama sistem imun terhadap infeksi. Gejala yang paling umum adalah adanya kemerahan dan bengkak yang diakibatkan oleh peningkatan aliran darah ke jaringan, peradangan diproduksi oleh eikosanoid dan sitokin, yang dikeluarkan oleh sel yang terinfeksi atau terluka.

1.2 Jenis-jenis Peradangan a. Radang Akut Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera. b. Radang Kronis Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (bermingguminggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan.

Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi.
c. Radang Kronis Eksaserbasi Akut

Radang kronis eksaserbasi akut adalah radang yang merupakan peningkatan keparahan dari suatu gejala penyakit. Tanda-tanda klinis radang akut kembali timbul pada radang ini, seperti rubor, kalor, tumor, dolor, functio laesa.

1.3 Gejala Radang

Rubor : Warna merah Rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yangmengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalirke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengandarah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut.

Kalor : Panas Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memilikisuhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyakdaripada ke daerah normal.

Tumor : Pembengkakan

Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan olehpengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial.Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang.

Dolor : Rasa nyeri Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsangujungujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya

dapatmerangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibatpembengkakan jaringan yang meradang.

Functiolaesa : Gangguan fungsi Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002).Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belumdiketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang.

Fever/Demam Yang merupakan akibat dari pelepasan zat pirogen endogen yang berasal dari

neutrofil dan makrofag. Selanjutnya zat tersebut akan memacu pusat pengendali suhu tubuh yang ada dihypothalamus, disebabkan : bacteriamia, efek prostaglandin E 2, karena lepasnya endotoksin bakteri yang disebut interleukin-1 ( IL-1).

Perubahan hematologis. Rangsangan yang berasal dari pusat peradangan mempengaruhi proses maturasi dan

pengeluaran leukosit dari sumsum tulang yang mengakibatkan kenaikan suatu jenis leukosit, kenaikan ini disebut leukositosis. Perubahan protein darah tertentu juga terjadi bersamaan dengan perubahan apa yang dinamakan laju endap darah.

Gejala konstitusional. Pada cedera yang hebat, terjadi perubahan metabolisme dan endokrin yang menyolok.

Akhirnya reaksi peradangan local sering diiringi oleh berbagai gejala konstitusional yang berupa malaise, anoreksia atau tidak ada nafsu makan dan ketidakmampuan melakukan sesuatu yang beratnya berbeda-beda bahkan sampai tidak berdaya melakukan apapun.

Leukositosis

Jumlah leukosit dalam darah bertambah, kadang-kadang sangat banyak bisa 50.000 per mm3 . tidak semua radang member leukositosis, misalnya : lymkphositosis (infections mononucleosis, batuk rejan, mumps), eosinofilia (terutama penyakit alergi seperti : asthma, bronchiale, hay-fever, infeksi parasit), leucopenia : jumlah lekosit , dari pada normal. missal : infeksi karena virus atau salmonella dan lain-lain seperti : pusing, malise, tidak nafsu makan, berat badan berkurang.

1.6. Macam-macam Radang

Radang Tenggorokan Penyakit ini ditandai dengan rasa nyeri di tenggorokan sehingga si penderita susah

sekali saat menelan makanan. Radang tenggorokan atau faringitis akut sering diikuti dengan gejala flu seperti demam, sakit kepala, pilek, dan batuk. Disebarkan oleh virus EBV atau kuman Strep. Pyogenes, radang tenggorokan mudah dikenali dengan memeriksakannya ke dokter THT. Jika daerah faring ditemukan peradangan dengan tanda berupa kemerahan serta terjadi pembesaran pada kelenjar limfe regional di sekitarnya, bisa dikatakan orang tersebut menderita radang tenggorokan. Pada kasus yang sudah berat, di tenggorokan akan dijumpai nanah atau eksudat. Dalam beberapa kejadian, penyakit radang tenggorokan tidak bersifat serius. Sebagian besar penderita akan sembuh setelah tiga sampai dengan sepuluh hari tanpa terapi yang biasanya menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Memang masalah utama seorang penderita radang tenggorokan adalah rasa tidak nyaman dan tidak bisa bernapas secara wajar. Untuk radang tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri streptococcal, antibiotik bisa diberikan kepada si pasien agar komplikasi seperti demam rematik bisa dihindari. Jika hal ini tidak segera ditangani, ancaman diptheria mengintai kesehatan si penderita. Gejala-gejala seorang penderita radang tenggorokan: bengkak, berwarna merah pada tenggorokan, susah (berbicara, menelan, dan bernapas), biasanya terjadi benjolan di sekitar leher, demam tinggi, sakit kepala yang luar biasa,telinga pekak.

Radang Usus Buntu Radang usus buntu merupakan peradangan pada usus buntu, yaitu sebuah usus kecil

yang berbentuk jari yang melekat pada usus besar di sebelah kanan bawah rongga perut. Usus

buntu yang mengalami peradangan kadang-kadang pecah terbuka, yang menyebabkan peradangan selaput perut(peritonitis). Peradangan selaput perut adalah peradangan yang gawat dan mendadak pada selaput yang melapisi dinding dalam rongga perut atau pada kantong yang membungkus usus. Peradangan ini terjadi kalau usus lainnya pecah atau robek. Penyebab umum adalah adanya benda kecil atau keras (faecaliths) yang berada di appendix dan tidak bisa keluar. Tanda-tanda appendicitis: Tanda yang utama ialah keluha nyeri yang menetap pada perut dan semakin lama semakin memburu, rasa nyeri mulai terjadi di sekitar pusar, tetapi segera nyeri tersebut berpindah kesisi kanan bawah, mungkin selera makan menghilang, muntah, sembelit atau terdapat panas yang ringan.

Radang Kulit Radang kulit, dermatitis, merupakan suatu gejala pada kulit saat jaringan terinfeksi

oleh bakteri atau virus. Ada beberapa tipe radang kulit, yaitu: 1.sebhorrheic dermatitits 2.atopic dermatitis (eczema) Kedua tipe tersebut sangat bervariasi tergantung dari penyebab dan gejala yang terjadi. Sesungguhnya penyakit ini tidak merupakan penyakit seumur hidup. Ia hanya akan menimbulkan rasa yang tidak nyaman dan mengurangi penampilan diri. Kombinasi antara perawatan kesehatan mandiri dan pengobatan medis akan menghilangkan radang kulit.

1.5 Fungsi dan Peran Reaksi Peradangan Fungsi reaksi peradangan antara lain: a. Melokalisasi dan mengisolasi jaringan yang mengalami jejas melindungi jaringan sekitar

yang sehat b. Menetralisasi dan inaktifasi zat-zat toksis yang dihasilkan oleh faktor humoral dan enzim c. Merusak dan membatasi pertumbuhan mikroorganisme yang menginfeksi

d. Mempersiapkan daerah yang sakit untuk penyembuhan dan perbaikan.

Peran Reaksi Peradangan: Radang mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi, yaitu: a. memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi infeksi untuk meningkatkan performa makrofaga b. menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi c. mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak.

b. Pengaturan Keseimbangan Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa Manusia sebagai organisme multiseluler dikelilingi oleh lingkungan luar (milieu exterior) dan sel-selnya pun hidup dalam milieu interior yang berupa darah dan cairan tubuh lainnya. Cairan dalam tubuh, termasuk darah, meliputi lebih kurang 60% dari total berat badan laki-laki dewasa. Dalam cairan tubuh terlarut zat-zat makanan dan ion-ion yang diperlukan oleh sel untuk hidup, berkembang dan menjalankan tugasnya. Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Semua pengaturan fisiologis untuk mempertahankan keadaan normal disebut homeostasis. Homeostasis ini bergantung pada kemampuan tubuh mempertahankan keseimbangan antara subtansi-subtansi yang ada di milieu interior. a. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan

keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut. 1. Pengaturan volume cairan ekstrasel. Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma.

Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.

Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake dan output) air. Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam: 1. eksternal fluid

exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar; dan 2. Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi dan reabsorpsi di kapiler ginjal.

Memperhatikan

keseimbangan

garam.

Seperti

halnya

keseimbangan

air,

keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah

memeperhatikan jumlah garam yang ia konsumsi agar sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya dan cenderung lebih dari kebutuhan. Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urine untuk mempertahankan keseimbangan garam. ginjal mengontrol jumlah garam yang dieksresi dengan cara: mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR), mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal. Jumlah Na+ yang direasorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri.Selain sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi leh sel atrium jantung jika mengalami distensi peningkatan volume plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan eksresi urine sehingga mengembalikan volume darah kembali normal. 2. Pengaturan Osmolaritas cairan ekstrasel.

Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan. semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah). Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium menrupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menetukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini. Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui:

Perubahan osmolaritas di nefron Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas

yang pada akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di dukstus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isoosmotik di tubulus proksimal (300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik. Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi

hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH).

Mekanisme haus dan peranan vasopresin (antidiuretic hormone/ADH) Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (>280 mOsm) akan merangsang

osmoreseptor di hypotalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypotalamus yang

mensintesis vasopresin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. Ikatan vasopresin dengan reseptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membran bagian apeks duktus koligen. Pembentukkan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urine yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dipertahankan. Selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypotalamus akibat peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypotalamus sehingga terbentuk perilaku untuk membatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal. Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Pengaturan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh system sarafdan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melalui baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di hypotalamus, dan volume reseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ADH dengan meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka hormon atriopeptin (ANP) akan meningkatkan eksresi volume natrium dan air. Perubahan volume dan osmolaritas cairan juga dapat terjadi karena beberapa faktor yang antara lain: umur, suhu lingkungan, diet, stres, dan penyakit. b. Keseimbangan Asam-Basa Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan konsentrasi ion H bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4; pH darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35. Jika pH <7,35 dikatakan asidosis, dan jika pH darah >7,45 dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu: 1. pembentukkan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H dan bikarbonat. 2. katabolisme zat organik

3. disosiasi asam organik pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan berdisosiasi melepaskan ion H.

Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain: 1. perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas. 2. mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh 3. mempengaruhi konsentrasi ion K Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H, maka tubuh berusaha mempertahankan ion H seperti nilai semula dengan cara: 1. mengaktifkan sistem dapar kimia 2. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernafasan 3. mekasnisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan Ada 4 sistem dapar: 1. Dapar bikarbonat: sistem dapar di cairan ekstrasel terutama untuk perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat; 2. Dapar protein: sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel 3. Dapar hemoglobin: sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam karbonat 4. Dapar fosfat: sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel. Sistem dapar kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementara. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akinat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal

mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan amonia.

1.7 Gangguan Karena Ketidakseimbangan Elektrolit dan Asam Basa

a.Gangguan Ketidakseimbangan Elektrolit

1. Ketidakseimbangan Natrium. Kelebihan dan kekurangan natrium mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan gangguan cairan osmolar. Hiponatremia adalah suatu kondisi dengan nilai konsentrasi natrium di dalam darah rendah dari normal, yang dapat terjadi saat kehilangan total natrium atau kelebihan air. Hiponatremia menyebabkan penurunan osmolalitas plasma dan cairan ekstrasel. Ketika terjadi kehilangan natrium, tubuh mula-mula beradaptasi dengan menurunkan ekskresi air untuk mempertahankan osmolalitas serum berada didalam kadar yang mendekati normal, jika kehilangan berlanjut, maka tubuh akan berupaya untuk mempertahankan volume darah. Akibatnya, proporsi natrium didalam cairan ekstrasel berkurang. Namun, hiponatremia yang disebabkan oleh kehilangan natrium dapat menyebabkan kolaps pada pembuluh darah dan shock. Apabila kekurangan cairan yang terjadi hanya kekurangan natrium, maka kehilangan volume cairan ekstrsel akan bermakna. Suatu kondisi yang berbeda dari hiponatremia, yaitu berhubungan dengan peningkatan atau normalnya volume cairan ekstrasel. Hiponatremai berat pada kadar natrium serum 120 mEq/L dapat menyebabkan perubahan neorulogis dan pada kadar natrium serum 110 mEq/L akan menyebabkan perubahan neorulogis yang tidak dapat pulih kembali bahkan dapat menyebabkan kematian. Hipernatremia adalah suatu kondisi dengan nilai konsentrasi natrium lebih tinggi dari konsentrasi normal di dalam cairan ekstrasel yang dapat disebabkan oleh kehilangan air yang ekstrem atau kelebihan natrium total. Jika penyebab hipernatremia adalah peningkatan sekresi aldosteron, maka natrium dipertahankan dan kalium diekskresi. Ketika terjadi hipernatremia, tubuh berupaya mempertahankan air sebanyak mungkin melalui reabsorbsi air di ginjal. Tekanan osmotik intertisial meningkat dan cairan berpindah

dari sel ke dalam cairan ekstrasel sehingga menyebabkan sel-sel menyusut (krenasi) dan mengganggu sebagian besar proses fisiologis selular. 2. Ketidakseimbangan Kalium. Hipokalemia merupakan kondisi ketika jumlah kalium yang bersirkulasi didalam cairan ekstrasel tidak adekuat/ memadai. Apabila parah, hipokalemia dapat mempengaruhi kondoksi jantung dengan meyebabkan ketidakteraturan yang berbahaya bagi jantung. Karena rentang normal kalium terlalu pendek, maka toleransi terhadap terjadinya fluktuasi dalam kadar kalium serum juga kecil. Hipokalemia dapat diakibatkan dari beberapa kondisi seperti penggunaan diuretik yang membuang kalium, seperti tiazed dan loop diuretic. Hal ini menjadi masalah khusus jika klien juga menggunakan preparat digitalis karena hipokalemia merupakan penyebab utama terjadinya keracunan digitalis ( pencernaan ). Hiperkalemia merupakan kondisi tentang lebih besarnya jumlah kalium daripada nilai normal kalium didalam darah. Penyebab utama hiperkalemia adalah gagal ginjal, tetapi penyakit lain juga dapat menyebabkan peningkatan kalium. Adanya penurunan fungsi ginjal akan mengurangi jumlah ekskresi kalium oleh ginjal.

3. Ketidakseimbangan Kalsium. Hipokalsemia mencerminkan penurunan kadar kalsium dalam serum dan penurunan kalsium yang terionisasi serta dapat menyebabkan beberapa penyakit, dan mempengaruhi kelenjar tiroid dan paratiroid. Tanda dan gejala hipokalsemia berhubungan secara langsung dengan peran fisiologis kalsium serum pada fungsi neoromuskolar. Hiperkalsemia adalah peningkatan konsentrasi total kalsium dalam serum dan peningkatan kalsium yang terionisasi. Seringkali, hiperkalsemia merupakan suatu gejala dari penyakit pokok yang menyebabkan resobsi tulang berlebihan disertai pelepasan kalsium. 4. Ketidakseimbangan Magnesium. Hipomagnesemia terjadi ketika kadar konsentrasi serum turun sampai dibawah 1,5 mEq/L. Penyebabnya adalah asupan yang tidak adekuat seperti pada malnutrisi dan alkoholisme, absorbsi yang tidak adekuat seperti diare, muntah, hipoparatiroidisme, kelebihan aldosteron dan poliuri menyebabkan gejala yang mirip dengan hipokalsemia. Magnesium bekerja langsung pada sambungan neoromuskular.

Hipermagnesimia terjadi ketika konsentrasi magnesium serum meningkat sampai diatas 2,5 mEq/L, penyebabnya adalah gagal ginjal dan pemberian asupan magnesium parentral yang berlebihan. Hipermagnesiemia menurunkan eksitabilitas sel-sel otot.

4. Ketidakseimbangan Klorida. Hipokloremia terjadi jika kadar klorida serum turun sampai dibawah 100 mEq/L. Penyebab adalah muntah atau drainase nasogastrik. Bayi baru lahir yang menderita diare dapat mengalami hipokalemia dengan cepat, beberapa oabat-obatan diurteik juga menyebabkan peningkatan ekskrsi klorida. Ketika kadar klorida serum menurun, tubuh beradaptasi dengan meningkatkan reabsorbsi ion bikarbonat sehingga mempengaruhi keseimbangan asam basa. Hiperkloremia terjadi jika kadar klorida serum meningkat sampai diatas 106 mEq/L , menyebabkan penurunan nilai bikarbonat serum. Hipokloremia dan hiperkloremia jarang terjadi sebagai proses penyakit yang tunggal, tetapi berhubungan dengan ketidakseimbangan asam-basa. B. Ketidakseimbangan Asam Basa. 1. Asidosis Respiratorik. Asidosis Respiratorik ditandai dengan peningkatan konsentrasi karbon dioksida, kelebihan asam karbonat, dan peningkatan konsentrasi ion hydrogen (penurunan pH). Penyebabnya adalah hipoventilasi atau suatu kondisi yang menekan ventilasi. Penurunan ventilasi dapat dimulai pada sistem pernafasan ( gagal nafas ) atau diluar sistem pernafasan (overdosis obat). Pada klien yang mengalami asidosis respiratorik, cairan serebrospinal dan sel-sel otaknya menjadi asam, menyebabkan perubahan neorologis. Hipoksemia ( penurunan kadar oksigen ) terjadi karena depresi pernafasan , menyebabkan kerusakan neorologisyang lebih jauh. Perubahan elektrolit seperti hiperkalemia dapat menyertai asidosis.

2. Alkalosis Respiratorik. Gangguan ini ditandai dengan penurunan PACO2 dan penurunan konsentrasi ion hydrogen (peningkatan pH). Alkalosis Respiratorik diakibatkan oleh penghembusan CO2 yang berlebihan (pada waktu mengeluarkan nafas) atau hiperventilasi. Seperti halnya asidosis

respiratorik, alkalosisi respiratorik dapat dimulai dari luar sistem pernafasan (ansietas) atau dari dalam sistem pernafasan seperti fase awal serangan asma.

3. Asidosis Metabolik. Asidosis Metabolik diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi ion hidrogen ( penurunan pH ) didalam cairan ekstrasel, yang disebabkan oleh banyak kondisi. Tipe asidosis metabolik, normokloremik dan hiperkloremik, diklasifikasikan menurut konsentrasi klorida plasma yang dimilki klien.

4. Alkalosis Metabolik. Gangguan ini ditandai dengan banyaknya kehilangan asam dari tubuh atau dengan meningkatnya kadar bikarbonat. Penyebab umumnya adalah muntah pada klien yang mengalami gangguan asam lambung atau menelan bikarbonat dalam jumlah besar.

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan: Reaksi peradangan merupakan reaksi defensif terhadap bekteri yang menyerang bagian yang luka (nekrosis) Ketidakseimbangan cairan elektrolit dan asam basa menyebabkan gangguan/ penyakit pada tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

A.Potter, Anne Griffin Perry, 2005. Fundamental Keperawatan Vol.2. Jakarta:EGC


http://muel-muel.blogspot.com/2008/12/reaksi-peradangan-lokal-dansistemik.htmlhttps://sites.google.com/site/asidosis/Home/keseimbangan-cairan-elektrolit

You might also like