You are on page 1of 36

Hukum Syirkah

Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fiil mdhi), yasyraku (fiil mudhri), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh al al-Madzhib alArbaah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah). Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146). Syirkah hukumnya jiz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni]. Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:

1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat; 2. Dua pihak yang berakad (qidni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta); 3. Obyek akad (mahal), disebut juga maqd alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (ml) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:


1. Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; 2. Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syark (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).

Macam-Macam Syirkah Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah inn;

(2) syirkah abdan; (3) syirkah mudhrabah; (4) syirkah wujh; dan (5) syirkah mufwadhah (An-Nabhani, 1990: 148). An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah. Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inn, abdan, mudhrabah, dan wujh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inn, abdan, dan mudhrabah. Menurut ulama Syafiiyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inn dan mudhrabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuhu, 4/795). Syirkah Inn Syirkah inn adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (amal) dan modal (ml). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh syirkah inn: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqd); sedangkan barang (urdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qmah al-urdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masingmasing mitra usaha (syark) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jmi, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah). (An-Nabhani, 1990: 151). Syirkah Abdan Syirkah abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (amal), tanpa konstribusi modal (ml). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya)

(An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah amal (Al-Jaziri, 1996: 67; AlKhayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (AnNabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syark). Syirkah abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Masud ra. pernah berkata, Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Saad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun. [HR. Abu Dawud dan al-Atsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrr beliau (An-Nabhani, 1990: 151). Syirkah Mudhrabah Syirkah mudhrabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (ml) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhrabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shhib al-ml/rabb al-ml) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (mil/mudhrib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong). Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhrabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhrabah (An-Nabhani, 1990: 152). Hukum syirkah mudhrabah adalah jiz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhrib/mil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.

Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhrabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarkt f asy-Syarah al-Islmiyyah, 2/66). Syirkah Wujh Syirkah wujh disebut juga syirkah ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarkt f asySyarah al-Islmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (ml). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhrabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhrabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154). Bentuk kedua syirkah wujh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah wujh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah abdan (An-Nabhani, 1990: 154). Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhrabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah abdan. Syirkah mudhrabah dan syirkah abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154). Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujh) yang dimaksud dalam syirkah wujh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mliyah), bukan sematasemata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki

kepercayaan finansial (tsiqah mliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156). Syirkah Mufwadhah Syirkah mufwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inn, abdan, mudhrabah, dan wujh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156). Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inn), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhrabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujh). Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhrabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inn di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufwadhah. Sumber :

Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57 An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti. Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.

~ oleh Abu Al Maira di/pada Juni 19, 2007. Ditulis dalam Muamalah

Bab Syirkah Fadly Tuesday, 15 May 2007 1. PENGERTIAN SYIRKAH Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur). Adapun menurut istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Terkadang syirkah ini terbentuk tanpa disengaja, misalnya berkaitan dengan harta warisan. (Fathul Bari V: 129). 2. PENSYARIATAN SYIRKAH

Allah swt berfirman: Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; dan amat sedikitlah mereka ini. (QS Shaad: 24). Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu. (QS An-Nisaa': 12) Dari Saib ra bahwa ia berkata kepada Nabi saw, Engkau pernah menjadi kongsiku pada (zaman) jahiliyah, (ketika itu) engkau adalah kongsiku yang paling baik. Engkau tidak menyelisihku, dan tidak berbantah-bantahan denganku. (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1853 dan Ibnu Majah II: 768 no: 2287). 3. SYIRKAH SYARIYAH (BENTUK KONGSI YANG DISYARATKAN)

Dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani rahimahullah menulis sebagai berikut, (Syirkah syariyah) terwujud (terealisasi) atas dasar sama-sama ridha di antara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-masing di antara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut. Namun manakala mereka semua sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara mereka, meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal itu boleh dan sah, walaupun saham sebagian mereka lebih sedikit sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syariat, hal seperti ini tidak mengapa, karena usaha bisnis itu yang terpenting didasarkan atas ridha sama ridha, toleransi dan lapang dada. Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah

Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 687 - 689. Terakhir kali diperbaharui ( Monday, 21 May 2007 )

Pengertian Syirkah Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fiil mdhi), yasyraku (fiil mudhri), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh al al-Madzhib al-Arbaah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah). Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. (An-Nabhani, 1990: 146). Hukum dan Rukun Syirkah Syirkah hukumnya jiz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi saw. membenarkannya. Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.: Allah Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni). Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu: (1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat; (2) dua pihak yang berakad (qidni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta); (3) obyek akad (mahal), disebut juga maqd alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (ml) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13). Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syark (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146). Macam-Macam Syirkah Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1)

syirkah inn; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudhrabah; (4) syirkah wujh; dan (5) syirkah mufwadhah (An-Nabhani, 1990: 148). An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah. Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inn, abdan, mudhrabah, dan wujh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inn, abdan, dan mudhrabah. Menurut ulama Syafiiyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inn dan mudhrabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuhu, 4/795). Syirkah Inn Syirkah inn adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (amal) dan modal (ml). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil As-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh syirkah inn: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqd); sedangkan barang (urdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qmah al-urdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syark) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jmi, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah). (An-Nabhani, 1990: 151.) Syirkah Abdan Syirkah abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masingmasing hanya memberikan konstribusi kerja (amal), tanpa konstribusi modal (ml). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).

Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syark). Syirkah abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil As-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Masud ra. pernah berkata (yang artinya), Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Saad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun. (HR Abu Dawud dan al-Atsram). Hal itu diketahui Rasulullah saw. dan beliau membenarkannya dengan taqrr beliau. (An-Nabhani, 1990: 151). Syirkah Mudhrabah Syirkah mudhrabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (ml). (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhrabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirdh. (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shhib al-ml/ rabb al-ml) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (mil/mudhrib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong). Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhrabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhrabah (An-Nabhani, 1990: 152). Hukum syirkah mudhrabah adalah jiz (boleh) berdasarkan dalil As-Sunnah (taqrr Nabi saw.) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhrib/mil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhrabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syaratsyarat yang ditetapkan oleh pemodal. (Al-Khayyath, Asy-Syarkt f asy-Syarah alIslmiyyah, 2/66). Syirkah Wujh Syirkah wujh disebut juga syirkah ala adz-dzimam (Al-Khayyath, AsySyarkt f asy-Syarah al-Islmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujh) seseorang di tengah

masyarakat. Syirkah wujh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (ml). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhrabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhrabah padanya. (An-Nabhani, 1990: 154). Bentuk kedua syirkah wujh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak. (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah wujh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah abdan (An-Nabhani, 1990: 154). Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhrabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah abdan. Syirkah mudhrabah dan syirkah abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154). Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujh) yang dimaksud dalam syirkah wujh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan. (An-Nabhani, 1990: 155-156). Syirkah Mufwadhah Syirkah mufwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inn, abdan, mudhrabah, dan wujh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. (An-Nabhani, 1990: 156). Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inn), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhrabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujh).

Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhrabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inn di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufwadhah.

Daftar Pustaka 1 An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhm al-Iqtishd f al-Islm. Cetakan IV. Beirut : Darul Ummah. Antonio, M. Syafii. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta : Bank Indonesia & Tazkia Institute. Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh al al-Madzhib al-Arbaah. Juz III. Cetakan I. Beirut : Darul Fikr. Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarkt f asy-Syarah al-Islmiyyah wa al-Qnn al-Wdhi. Beirut : Muassasah ar-Risalah. . 1989. Asy-Syarkt f Dhaw al-Islm. Cetakan I. T.Tp. :Darus Salam. Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr. Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa.

8 Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.

Syirkah
1. PENGERTIAN SYIRKAH Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur). Adapun menurut istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Terkadang syirkah ini terbentuk tanpa disengaja, misalnya berkaitan dengan harta warisan. (Fathul Bari V: 129). 2. PENSYARI"ATAN SYIRKAH Allah Subhaanahu Wata"aala berfirman: "Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; dan amat sedikitlah mereka ini." (QS Shaad: 24). "Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu." (QS An-Nisaa": 12) Dari Saib Radhiyallahu "Anhu bahwa ia berkata kepada Nabi saw, "Engkau pernah menjadi kongsiku pada (zaman) jahiliyah, (ketika itu) engkau adalah kongsiku yang paling baik. Engkau tidak menyelisihku, dan tidak berbantah-bantahan denganku." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1853 dan Ibnu Majah II: 768 no: 2287). 3. SYIRKAH SYAR"IYAH (BENTUK KONGSI YANG DISYARATKAN) Dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani rahimahullah menulis sebagai berikut, "(Syirkah syar"iyah) terwujud (terealisasi) atas dasar sama-sama ridha di antara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-masing di antara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut. Namun manakala mereka semua sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara mereka, meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal itu boleh dan sah, walaupun saham sebagian mereka lebih sedikit sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syari"at, hal seperti ini tidak mengapa, karena usaha bisnis itu yang terpenting didasarkan atas ridha sama ridha, toleransi dan lapang dada." Sumber: Diadaptasi dari "Abdul "Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil "Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur"an dan

As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma"ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 687 - 689. Sumber : http://alislamu.com/index.php? option=com_content&task=view&id=268&Itemid=22 Penjelasan Lebih Lengkap tentang SYIRKAH, baca : http://www.pengusahamuslim.com/modules/smartsection/item.php?itemid=63

Muzaraah dan Mukhabarah Selasa, 24 Juni 2008


Oleh: Yahya Abdurrahman Muzaraah secara bahasa merupakan bentuk mufaalah dari az-zaru, masdar dari zaraa. Ibn Sayidih dan Ibn Manzhur menyatakan, zaraa al-habb yazrauhu zaran artinya badzarahu (menyemainya). Az-Zaru lebih dominan digunakan untuk al-burr (gandum) dan asysyair (barley) dan bentuk jamaknya az-zuruu, Ibn Manzhur menambahkan, dikatakan az-zaru adalah semua tanaman yang ditanam. Dikatakan juga, az-zaru adalah menanam benih. Menurut Ibn Darid, az-zaru adalah apa yang Anda tanam berupa tanaman atau sayuran. Al-Laits yang dikutip oleh al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah menyatakan, bahwa az-zaru adalah segala macam tumbuhan yang ditanam. Al-Manawi menjelaskan bahwa az-zaru adalah apa yang ditanam dengan benih atau biji. Dengan demikian, az-ziraah (penanaman/pertanian) merupakan kegiatan bercocok tanam tanaman apa saja baik tanaman pangan, sayuran atau yang lain yang ditanam dengan benih atau biji. Aktivitas bercocok tanam (pertanian) itu kadang dilakukan oleh dua pihak: pihak pemilik tanah dengan pihak lain. Imam sarkhasi di dalam Al-Mabsuth menjelaskan yang terjadi di antara dua pihak untuk maksud itu (yakni aktivitas pertanian) disebut muzaraah, dan juga disebut mukhabarah berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra: Nabi Saw melarang Mukhabarah. Apakah Mukhabarah itu? Zaid menjawab, Muzaraah dengan sepertiga atau seperempat, (HR. Abu dawud). Secara syari, menurut as-Samarqandi, Alaudin al-

Opini Lainnya

Etika Dalam Bermazhab Semangat Menunaikan Ibadah Haji Seri Akhlak Ekonomi Islam: Time Value of Good Deeds Nyamuk Dan Petualangannya Tugas Pemimpin

Popular

AKAR KRISIS KEUANGAN GLOBAL : BUBBLE ECONOMY DAN FENOMENA RIBAWI ALIF, Leasing Syariah Pertama di Indonesia Ekonomi Islam Bukan Hanya Bank Syariah Metode Ijtihad Ibrahim Hosen Wakaf dan

Kasani dan Dr. Sadi Abu Habib, muzaraah adalah ungkapan tentang akad pertanian dengan imbalan sebagian dari hasilnya. Al-Manawi mengartikan muzaraah sebagai muamalah atas tanah dengan imbalan sebagai hasil tanamannya: misal sepertiga, seperempat dan bagian tertentu lainnya. Ibn Qudamah dan M. Ruwas Qalaji menjelaskan bahwa muzaraah adalah menyerahkan tanah kepada orang yang menanami atau menggarapnya dan hasilnya dibagi di antara keduanya (pemilik dan yang menanami/penggarap). Menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyah dan sebagian Syafiiyah, muzaraah sama dengan mukhabarah. Dasarnya adalah riwayat dari Zaid bin Tsabit di atas. Namun, sebagian ulama Syafiiyah yang lain membedakan keduanya. Menurut an-Nawawi, jika bibit berasal dari pemilik tanah maka itu muzaraah, sedangkan jika bibit dari penggarap maka itu mukhabarah. Dalam pengertian para ulama, muzaraah dan mukhabarah itu imbalannya adalah sebagian hasil pertaniannya. Menurut as-Sindi dan as-Samarqandi, muzaraah itu adalah penyewaan tanah as-Samarqandi menambahkan atau menyewa penggarap dengan imbalan sebagian dari hasilnya. Adapun jika tanah itu disewakan dengan pembayaran berupa dinar, dirham, uang atau harta lainnya maka itu merupakan penyewaan lahan (kira al-ardhi). Artinya, baik muzaraah, mukhabarah ataupun kira al-ardhi merupakan muamalah penyewaan lahan untuk pertanian. Hukum Penyewaan Lahan untuk Pertanian Jabir bin Abdullah ra. menuturkan: Rasulullah Saw melarang penyewaan tanah (lahan), (HR. Muslim, anNasai dan Ahmad). Rafi bin Khadij menuturkan dari pamannya bahwa Nabi Saw juga pernah bersabda: Siapa saja yang memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau menyerahkannya kepada saudaranya untuk ditatanami tanpa kompensasi dan jangan menyewakannya dengan sepertiga, seperempat dan jangan dengan makanan yang disepakati (jenis dan jumlahnya), (HR. Abu Dawud, an-Nasai dan Ibn Majah). Zhuhair bin Rafi bertutur: Nabi Saw pernah datang dan

Perwakafan di Indonesia

bertanya kepada kami, Apa yang kalian perbuat dengan lahan pertanian kalian? Aku menjawab, Kami menyewakannya atas seperempat dan atas beberapa wasq kurma dan barley. Beliau bersabda: Jangan kalian lakukan, tanamilah atau berikan kepada orang lain agar dia tanami tanpa kompensasi atau tahanlah, (HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan an-Nasai). Jabir bin Abdullah menuturkan, ia mendengar Nabi Saw pernah bersabda: Siapa saja yang tidak meninggalkan mukhabarah maka beritahukan bahwa Allah dan RasulNya menyatakan perang kepadanya, (HR. Abu Dawud) Rafi bin Khadij menuturkan bahwa ia pernah menanami tanah, lalu Nabi Saw lewat dan ia sedang menyirami tanamannya. Nabi Saw kemudian bertanya kepadanya, Milik siapa tanaman dan tanah itu? Ia menjawab, Tanamanku dengan benihku dan kerjaku. Bagiku separuh dan Bani Fulan separuh. Nabi Saw pun bersabda: kalian berdua telah melakukan riba. Kembalikan tanah itu kepada yang punya dan ambillah biaya yang engkau keluarkan, (HR. Abu Dawud). Jelas sekali nash-nash di atas (masih ada nash lainnya) bahwa Nabi Saw melarang penyewaan lahan untuk pertanian secara umum, dengan cara bagi hasil, atau dengan imbalan sejumlah makanan tertentu. Terdapat qarinah (indikasi) yang menunjukkan larangan ini bersifat tegas. Dengan demikian, penyewaan lahan untuk pertanian dengan imbalan (sewa) dalam bentuk apapun baik hasilnya, sejumlah makanan tertentu, atau harta lainnya, hukumnya haram. Indikasi itu adalah adanya penegasan Nabi Saw dalam riwayat an-Nasai dari Usaid bin Zhuhair: Nabi Saw melarang penyewaan tanah. Lalu kami berkata, Kalau begitu, kami sewakan dengan sejumlah biji-bijian. Beliau menjawab, jangan. Kami berkata, kami sewakan dengan jerami. Jawab Nabi Saw, jangan. Kami berkata, Kami sewakan dengan bagian dekat parit. Jawab Beliau, Jangan, tanamilah atau berikan kepada saudaramu. Indikasi lainnya adalah sabda Nabi Saw, Fal yadzan bi harb (in) min Allah wa rasuulihi (Beritahukan bahwa Allah dan Rasul-Nya menyatakan perang terhadapnya. (Zarinah yang sama digunakan dalam QS 2:279 untuk menegaskan haramnya riba). Nabi Saw juga bersabda kepada Rafi, Arbaytuma (Kalian telah melakukan riba). Artinya, jelas praktik yang dilakukan Rafi itu adalah

terlarang dan haram sebagaimana riba. Penyewaan atau menjualnya untuk beberapa waktu dengan harga berupa dinar, dirham atau uang maka hal itu juga dilarang. Jabir bin Abdullah menuturkan: Rasulullah Saw melarang menjual tanah pertanian dua atau tiga tahun, (HR Muslim). Menjual tanah dua atau tiga tahun adalah menyewakannya dua atau tiga tahun dengan uang. Menyewakan tanah dengan uang jelas tercakup dalam keumuman larangan menyewakan tanah di atas. Memang Rafi bin Khadij, ketika ditanya tentang penyewaan dengan pembayaran emas dan perak, ia menjawab, Tidak, melainkan Beliau melarang penyewaan dengan hasilnya. Adapun pembayaran emas atau perak maka tidak apa-apa. (HR. An-Nasai). Pernyataan tersebut merupakan pernyataan Rafi tidak bisa dijadikan hujjah. Apalgi penyewaan dengan emas dan perak (uang) itu belum dikenal pada masa Nabi Saw sebagaimana riwayat al-Bukhari dari Rafi bin Khadij, ia berkata, Adapun (penyewaan tanah dengan) emas dan wariq (perak) maka belum ada pada waktu itu (masa Nabi saw) Ini juga bertentangan dengan pernyataan Rafi sendiri yang menyatakan penyewaan lahan dengan dirham termasuk yang dilarang. Isa bin Sahal bin rafi bin Khadij menuturkan, Aku berhaji bersama kakekku Rafi bin Khadij. Lalu datang saudaraku, yaitu Imran bin Sahal bin Rafi bin Khadij. Ia berkata, Ya, kakek kami menyewakan tanah kami kepada fulanah dengan sewa dua ratus dirham. Rafi bin Khadij berkata, Anakku, tinggalkan itu. Allah akan memberikan rezeki yang lain kepadamu. Sesungguhnya Rasulullah Saw telah melarang penyewaan tanah. (HR. An-Nasai). Dengan demikian, menyewakan lahan untuk pertanian, baik dengan pembayaran sebagian dari hasilnya (dengan cara bagi hasil), sejumlah makanan tertentu, dinar, dirham, uang, pakaian, atau harta apapun hukumnya adalah haram.(zar) Wallaahu alam wa ahkam. Sumber: Majalah al-waie No.94 Tahun VIII 1-30 Juni 2008

Opini

Etika Dalam Bermazhab Semangat Menunaikan Ibadah Haji

Hikmah

Ekonomi Syariah Salah Satu Sarana Menuju Ridha Allah SwT Sabar dalam Mengembangkan Ekonomi syariah.

II. MUZARAAH DAN MUKHABARAH A. Pengertian Muzaraah dan Mukhabarah Muzaraah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Munculnya pengertian muzaraah dan mukhabarah dengan tarif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzaraah dan mukhabarah, yaitu Imam RafiI berdasar dhahir nash Imam Syafii. Sedangkan ulama yang menyamakan tarif muzaraah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi. B. Dasar Hukum Muzaraah Dan Mukhabaroh Artinya : Berkata Rafi bin Khadij: Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari) ) ) Artinya: Dari Ibnu Umar: Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah buahan maupun dari hasil pertahun (palawija) (H.R Muslim)

C. Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzaraah Dan Mukhabarah Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzaraah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzaraah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak. D. Zakat Muzaraah Dan Mukhabarah Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzaraah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi III. KESIMPULAN Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Dengan adanya praktek mukahbarah sangat menguntungkan kedua belah pihak. Baik pihak pemilik sawah atau ladang maupun pihak penggarap tanah. Pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani dapat meningkatkan tarap hidupnya DAFTAR PUSTAKA H. Sulaeman Rasyid, Fiqih Islam, PT. Sinar Baru Algensindo, Bnandung, 1994 Drs. Suparta dkk. Materi Pokok Fiqih I, Universitas terbuka, 1992 DR. (He) Drs. H.S Sholahuddin, Fiqhul Islam, Biro Penerbit Jurusan Syariah STAIN Cirebon, 2000 Diposkan oleh Wiji Supriyanto di 06:04 Memanfaatkan Tanah Pertanian

Apabila seorang muslim memiliki tanah pertanian, maka dia harus memanfaatkan tanah tersebut dengan bercocoktanam. Islam samasekali tidak menyukai dikosongkannya tanah pertanian itu, sebab hal tersebut berarti menghilangkan nikmat dan membuang-buang harta, sedang Rasulullah s.a.w. melarang keras disia-siakannya harta. "Rasulullah s.a.w. melarang membuang-buang harta." Pemilik tanah ini dapat memanfaatkannya dengan berbagai cara. 4.2.16.1 Cara Pemanfaatannya Cara pertama. Diurus sendiri dengan ditanaminya tumbuh-tumbuhan atau ditaburi benih kemudian disiram dan dipelihara. Begitulah sampai keluar hasilnya. Cara semacam ini adalah cara yang terpuji, di mana pemiliknya akan mendapat pahala dari Allah karena tanamannya itu bisa dimanfaatkan oleh manusia, burung dan binatang ternak. Kebanyakan sahabat Anshar adalah hidup bercocok-tanam. Mereka urus sendiri tanahtanah mereka itu, sebagaimana telah diterangkan terdahulu. Cara kedua. Kalau dia tidak mungkin dapat mengurus sendiri, maka dipinjamkannya tanahnya itu kepada orang lain yang mampu mengurusnya dengan bantuan alat, bibit ataupun binatang untuk mengolah tanah, sedang dia samasekali tidak mengambil hasilnya. Cara semacam ini sangat dituntut oleh Islam. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut: "Barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah atau berikan kepada kawannya." (Riwayat Bukhari dan Muslim) Dalam satu riwayat dikatakan demikian: "Dari Jabir ia berkata: Kami biasa menyewa tanah dengan mendapatkan sebagai dari hasil (mukhabarah), kemudian kami mendapat hasil tanah itu begini dan begini. Maka sabda Nabi: barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah sendiri atau suruhlah saudaranya untuk menanaminya, kalau tidak, tinggalkanlah." (Riwayat Ahmad dan Muslim) Berdasar dhahir hadis ini sementara ulama salaf berpendapat, bahwa pemanfaatan tanah hanya dapat ditempuh dengan salah satu dua cara: 1. Mungkin ditanaminya sendiri, atau 2. Mungkin diserahkan kepada orang lain untuk ditanami tanpa imbalan suatu apapun. Yakni pengawasan terhadap tanah dilakukan oleh pemiliknya sedang hasilnya diambil oleh yang mengerjakannya.

Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya sendiri sampai kepada al-Auza'i, bahwa ia berkata: "Atha', Makhul, Mujahid dan Hasan Basri semuanya berpendapat, bahwa tanah yang tidak ditanami, tidak boleh disewakan dengan dirham maupun dinar dan tidak juga dipekerjakan, melainkan harus ditanami oleh si pemiliknya sendiri atau diberikannya kepada orang lain." Diriwayatkan, bahwa Abdullah bin Abbas berpendapat, bahwa perintah memberi tanah dalam hadis-hadis di atas, bukan wajib tetapi hanya sunnat belaka. Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa 'Amr bin Dinar berkata: aku berkata kepada Thawus, salah seorang rekan Ibnu Abbas: kalau kamu tinggalkan mukhabarah, maka mereka akan beranggapan, bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata: orang yang lebih tahu, yakni Ibnu Abbas, pernah memberitahukan kepadaku, bahwa Rasulullah s.a.w. tidak melarangnya, cuma beliau bersabda demikian: "Sungguh salah seorang di antara kamu akan memberikan tanahnya kepada kawannya, lebih baik daripada dia mengambil atas tanahnya itu hasil yang ditentukan." (Riwayat Bukhari) Cara ketiga, ialah cara muzara'ah, yaitu pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya: 1/2, 1/3 atau kurang atau lebih menurut persetujuan bersama. Boleh juga si pemilik tanah itu membantu kepada yang hendak menaminya berupa bibit, alat atau hewan. Cara seperti ini disebut: muzara'ah, musagaat atau mukhabarah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim diterangkan, bahwa Rasulullah s.a.w. menyewakan tanah kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian separuh hasilnya untuk pemilik tanah. Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat, di antaranya: Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah. Hadis ini dijadikan alasan oleh orang yang membolehkan muzara'ah; dan mereka berkata: "Muzara'ah adalah perkara yang baik dan sudah biasa berlaku, yang juga dikerjakan oleh Rasulullah s,a.w. sampai beliau meninggal dunia, kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin sampai mereka meninggal dunia. Dan kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya. Sehingga tidak seorang pun ahli bait Nabi di Madinah yang tidak mengerjakan hal ini. Dan begitu juga isteri-isteri Nabi s.a.w. sepeninggal beliau." Cara seperti ini tidak boleh dianggap mansukh.19 Sebab terjadinya mansukh harus semasa hidup Rasulullah s.a.w. Adapun sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi sampai beliau meninggal dunia, dan kemudian disepakati oleh para khalifahnya dan mereka pun

mengerjakannya, dan tidak seorangpun yang menentangnya, maka bagaimana mungkin hal semacam ini dianggap mansukh? Kalau hal itu dimansukh semasa hidup Nabi, tetapi mengapa beliau sendiri mengerjakannya sesudah dimansukhnya hukum tersebut? Mengapa mansukhnya itu justru dirahasiakan sehingga tidak seorang khalifah pun yang menyampaikan hal itu, padahal kisah Khaibar ini sangat masyhur di kalangan mereka? Siapakah perawi mansukh ini, sehingga mereka tidak menyebut dan dia sendiri tidak menyampaikan hal itu kepada para sahabat yang lain? (sebelum, sesudah)

Halal dan Haram dalam Islam Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993

HUKUM ISLAM Deskripsi : suatu bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dan sebagai imbalannya si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen Sumber : bank syariah (dari teori ke praktik),muhammad syafi'i antonio,gema insan,jakarta,2001

PERANAN EKONOMI ISLAM DALAM TEORI EKONOMI MODERN DR.H.RIDJALUDDIN.FN.,M.Ag

1. AL QUR'AN & HADIST TENTANG EKONOMI ISLAM Sebelum mengamati bagaimana peranan ekonomi Islam dalam beberapa teori ekonomi modern perlu kiranya bagaimana al-Quran & Al-Hadits menyatakan tentang

hal-hal tersebut, umpamanya tentang permasalahan larangan Islam terhadap Riba: Tahap Pertama : Allah SWT dalam firmanNya menyatakan bahwa :

Artinya : "Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)"

Tahap kedua : Allah dalam firmanNya menyatakan :

Artinya: "Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir dl antara mereka itu siksa yang pedih. "

Tahap ketiga, Allah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan oleh Allah SWT dalam firmanNya menyatakan bahwa :

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. "

Tahap terakhir, Allah mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. dalam firman Allah SWT dinyatakan bahwa .

{275} 276} }

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual bell itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual bell dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni penghuni neraka; mereka kekal dl dalamnya (275). Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa"(276)

Terakhir dalam firman Allah SWT dinyatakan bahwa :

"Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. "

Syirkah ; Landasan firman Allah SWT menyatakan bahwa ;


Dan dalam firman Allah Rabbul Izzati menyatakan bahwa; ;

landasan Hadistnya, Nabi saw, bahwa beliau bersabda, Allah SWT berfirman dalam ayatNya :

Artinya; Maka apabila telah ditunaikan shalat, maka hendaklah kamu bertebaran di muka bumi dan carilah karuinia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.

Dalam firman Allah SWT menyatakan bahwa ;


Artinya : Tidaklah dosa bagi kamu untuk mencari karunia dari Tuhanmu.

Dalam hadist Rasulullah Saw dinyatakan : "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthallib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah la mensyaratkan agar dananya

tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, maka yang bersangkutan bertanggung ja wab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah dan Rasulullah pun membolehkannya. " ( H . R Thabrani).

Dari Shalih bin Suhaib bah wa Rasulullah bersabda: "Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dyual." ( HR Thabrani dan Ibnu Majah)

"Tiada seorang muslim pun yang menaburkan benih atau menanam tanaman, lalu seekor burung, atau seorang atau seekor binatang makan sebagian dari padanya, kecuali akan dinilai sebagai shadaqah."(HR.Bukhari Muslim) Carilah rizki dari tumbuh-tumbuhan bumi (HR. Tirmidzi) Dari ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW, telah melakukan mu'amalah dengan penduduk Khaibar dengan separoh hasil yang keluar dari buah atau biji-bijian. (HR. Bukhari dan Muslim). Dan pada satu riwayat bagi keduanya: "Mereka minta kepadanya (Rasul) supaya beliau membiarkan mereka dengannya (garapan), dengan syarat bahwa mereka akan menggarap tanah itu dengan mendapat separoh dari buahnya. Maka Rasulullah SAW berkata kepada mereka : Kami perkenankan kalian padanya menurut syarat itu selama kami kehendaki ". Maka mereka tetap padanya sampai Umar keluarkan mereka dari padanya. (HR Bukhari, Muslim) Muzara'ah yg Terlarang karena : Mengandung unsur penipuan dan spsekulasi ; riwayat dari Handhalah bin Qais menyatakan :

"Orang-orang di zaman Rasulullah SAW, menyewakan tanah dengan barang yang tumbuh di perjalanan dan yang tumbuh di pinggir pinggir selokan dan dengan beberapa macam dari tumbuh-tumbuhan, lalu binasa ini, selamat itu. Dan selamat Itu binasa ini, dan tidak ada bagi orang-orang sewa menyewa selain ini. Oleh sebab Itu Rasululah SAW, melarang padanya. Adapun sesuatu yang ma 'lum dan ditanggung, maka boleh (H R. Muslim) Khudaij memberitakan bahwa ; "Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzara ah, kami menyewakan tanah, satu bagian dari padanya diperuntukan bagi pemilik tanah, maka

kadang-kadang (garapan yang hasilnya diperuntukan bagi) si pemilik tanah itu ditimpa bencana, sedangkan tanah garapan yang lainnya selamat. Dan kadangkadang yang lain Itu ditimpa bencana, sedang yang lainnya selamat. Oleh karenanya kami dilarang ( H R. Bukhari ) Musaqah: Kerjasama untuk tanaman tahunan, dasar hukum dibolehkannya melakukan musaqah antara lain adalah hadis Rasulullah SAW:

Dari ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW, telah melakukan mu'amalah dengan penduduk Khaibar dengan separoh hasil yang keluar dari buah atau biji-bijian. (HR. Bukhari dan Muslim).

Mudharabah, berlandasan firman Allah SWT yang menyatakan bahwa :

Artinya : Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah

Dan dalam firman Allah SWT dinyatakan bahwa

Artinya :Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah kepada Allah sebanyak-banyaknya, mudahmudahan kamu berbahagia.

2. KEJAYAAN ISLAM TERHADAP TEORI EKONOMI

Banyak sekali teori teori ekonomi modern yang sekarang berkembang diseantero dunia dan dipelajari oleh bangsa-bangsa merupakan pencurian dari teori-teori yang ditulis oleh para ekonom Muslim pada zaman kejayaan Islam yaitu kejayaan Islam pada masa Daulat Umayyah dan Daulat Bani Abbasiyah. Hal ini tidak dapat dipungkiri, sebab para ekonom Barat yang melakukan jiplakan terhadap teori ekonomi Islam mereka tak menyebut sumber-sumber yang berasal dari kitab-kitab klasik Islam. Sewaktu negara-negara Muslim dijajah ditindas beratus tahun lamanya oleh penjajah Barat hingga keadaan perekonomian orang-orang Muslim jauh tertinggal, para pemikir Islam yang mendapat pendidikan Barat mulai terkesima akan kemajuan ekonomi Barat. Akibatnya mereka menjadikan Negara Barat sehagai sumber teori-teori ekonomi yang mereka anggap andal.' Mereka tidak mempunyai akses terhadap buku klasik Islam yang sebenarnya menjadi sumber rujukan bagi ekonomi Barat yang mereka kagumi, walaupun para ekonom Barat tersebut tidak pernah mau mengakui proses pencurian dan memboyongnya ke negerinya tersebut, Kemajuan Eropah (biasa disebut dengan Barat) memang bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan dan metode barpikir Islam yang rasional. Diantara saluran masuknya peradabaiv Islam ke Barat itu adalah Perang Salib, Sicilia, dan yang terpenting adalah Spanyol menjadi Islam. Eropah yang datang belajar kesana, kemudian menerjemahkan karya-karya ilmiah umat Islam. Hal ini dimulai sejak abad ke 12 M. Setelah mereka pulang kenegerinya masing-masing, mereka mendirikan universitas dengan meniru pola Islam dan mengajarkan ilmu ilmu yang dipelajari di universitas-universitas Islam itu. Dalam perkembangan berikutnya, keadaan ini melahirkan renaissance, reformasi, dan rasionalisme di Barat. Sebaliknya para pemikir Muslim yang mendapat pendidikan di pesantren tradisional yang mempunyai akses terhadap buku-buku klasik Islam (kitab Kuning orang Jawa menyebutnya) yang merupakan sumber pencurian para ekonom Barat, tidak menguasai metodologi ilmu ekonomi, sehingga mereka kurang dapat menghargai pemikiran cemerlang yang ada pada kitab kitab klasik tersebut sebagai suatu ilmu di dunia Barat sangat dikedepankan. Kelompok ketiga para pemikir Muslim adalah mereka yang mendapat pendidikan Barat namun mempunyai minat (Ghirah) Islam yang tinggi, sehingga mereka menolak teori-teori ekonomi Barat yang dianggap "Tidak Islami", tanpa mereka menyadari bahwa banyak dari teori-teori ekonomi Barat tersebut sebenarnya merupakan hasil pencurian dari kitab-kitab klasik Islam. Akibatnya, secara tidak sadar mereka menolak pemikiran ekonomi Islam itu sendiri. Mereka cenderung memposisikan diri untuk menolak seluruh yang datang dari para ekonom Barat 3. PERANAN EKONOMI ISLAM DALAM TEORI EKONOMI MODERN

Seorang sarjana Eropah bernama Josep Schumpeter mengatakan bahwa adanya jurang pemisah yang besar dalam sejarah pemikiran ekonomi selama kurang lebih lima ratus tahun yang lalu, yaitu masa yang dikenal sebagai masa kegelapan. Masa kegelapan kebodohan dan keterbelakangan Eropah tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan dan kejayaan Islam,yaitu pada masa Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani Abasiyah, Islam berkembang pesat sampai ke Spanyol oleh tokohnya yang terkenal Tariq bin Siyad. Suatu hal yang mereka sembunyikan oleh Eropah sebab pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada masa inilah yang kemudian banyak dicuri oleh para ahli ekonomi Barat dan diboyong ke negaranya ditelaah dan dikembangkannya. Para ahli ekonomi Muslim sendiri mengakui banyak membaca dan dipengaruhi oleh tulisan tokoh Yunani: Aristoteles sebagai filosuf yang banyak menulis masalah masalah ekonomi, namun tetap memegang teguh kepada al Qur'an dan al Hadits Rasulullah Saw sebagai sumber (rujukan) yang utama mereka dalam menulis teori-teori ekonomi yang Islam. Schumpeter menyebutkan dua kontribusi ekonom Scholastic, yaitu penemu kembali tulisan-tulisan Aristoteles dan Towering Achievement St Thomas Aquinas. Schumpeter hanya menufiskan tiga baris dalam catatan kakinya nama Ibnu Rusyd dalam kaitan proses transmisi pemikiran-pemikiran Aristoteles ke St Thomas Aquinas. Pemikiran-pemikiran St Thomas Aquinas tentang ekonomi sendiri banyak bertentangan dengan dogma-dogma gereja, sehingga kebanyakan sejarawan menduga bahwa St Thomas Aquinas mencuri ide-ide tersebut dari ekonom ekonom Islam. Proses pencurian ilmu ekonomi Islam oleh dunia Barat mengambil beberapa bentuk, yang antara lain dapat digambarkan sebagai berikut. Dalam abad ke 11 dan ke 1 2 , sejumlah pemikir Barat seperti Constantine the African, Adelard of Bath sengaja melakukan perjalanan ke Timur Tengah, belajar bahasa Arab, dan melakukan penggalian serta membawa ilmuilmu baru (Islam) ke Eropah. Misalnya, Leonardo Fibonacci belajar di Bougie, Aljazair pada abad ke 1 2 , belajar aritmatika dan matematikanya AlKhawarizmi dan sekembalinya menulis beberapa buku diantaranya Liber Abaci pada tahun 1202 Belakangan banyak mahasiswa dari Italia, Spanyol, dan Prancis Selatan yang belajar di Pusat Perkuliah Islam untuk belajar berbagai ilmu antara lain matematika, filsafat, kedokteran, kosmografi, dan menjadi kandidat guru besar di universitasuniversitas pertama di Barat yang menggunakan pola pengajaran di Pusat Perkuliah Islam, termasuk kurikulum, serta metodologi pemblajaranya. Universitas Naples, Padua, Salerno, Toulouse, Salamaca, Oxford, Montpelleir, dan Paris adalah beberapa Negara yang meniru Pusat-Pusat Perguruan Islam (Jamiah Islamiyah) di Timur Tengah. Sepulangnya Raymond Lily tahun 1223 -1315.M yang telah melakukan perjalanan jauh ke Negara-negara Arab, ia mampu berbahasa Arab, banyak menulis tentang kekayaan keilmuan Arab, the Council of Vienna di tahun 1311 Masehi

dengan bangga mendirikan lima universitas yang mengajarkan bahasa Arab, hingga banyak yang kemudian menerjemahkan karya ekonom Islam Beberapa penerjemah karya-karya Islam kedalam bahasa mereka antara lain ialah : Adelard of Bath, Constantine the African, Michael Scot, Herman the German, Dominic Gundislavi, John of Seville, Plato of Tivoli, William of Luna, Robert Chester, Gerard of Cremona, Theodorus of Antioch, Alferd of Sareshel, Berengar of Valencia, dan Mathew of Aquasparta. Beberapa penerjemah bangsa Yahudi adalah Jacob of Anatolio, Jacob ben Macher Ibn Tibbon, Kalanymus ben Kalonumus, Moses ben Solomon of Solon, Shem-Tob ben Isaac of Tortosa, Solomon ibn Ayyub Todros Todrosi, Zerahiah Gracian, Faraj ben Salim, Yaqub ben Abbon Marie. Sedangkan karya-karya ekonom Islam yang diterjemahkan oleh para ekonom Barat adalah karya-karya AI Kindi, AI Farabi, Ibnu Sina, Imam AI Ghazali, Ibnu Rusdy, AI Khawirizmi, Ibnu Haythan, Ibnu Hazn, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Bajja, dan Ar Razi. Beberapa lembaga ekonomi yang ditiru oteh Barat dari dunia Islam adalah syirkah (serikat dagang), suftaja (bills of exchange), hawala (letter of credit), funduq (specialized large scale commercial institutions and markets which developed into virtual stock axchanges. Funduq untuk biji-bijian dan tekstil ditiru dari Bagdad, Cordova, dan Damaskus. Dar-ut tiraz (pabrik yang didirikan dan dijalankan Negara) didirikan di Spanyol, Sicilia, Palerno. Mauna (sejenis private bank), yang dikenal di Barat sebagai Maona, di Tuiscany didirikan untuk membiayai usaha eksploitasi tambang besi dan perdagangan besi. Beberapa pemikiran ekonom Islam yang dicuri ekonom Barat tanpa pernah menyebut sumber kutipannya, antara lain Teori Pareto Optimum diambil dari kitab nahjul Balaghah karya Imam Ali; Bar Hebraeus, pendeta Syirac Jacobite Church, menjalin beberapa bab Ihya Ulumuddin karya AI Ghazali Greshan Law dan Oresme Treatise diambil dari kitab karya Ibnu Taimiyah; Pendeta Gereja Spanyol Ordo Diminican, Raymond Martini, menyalin banyak bab dari Tahafut al Falasifah, Maqasid ul Falasifa, Al Munqid, Mishkat ul Anwar, dan Ihya-nya AI Ghazali Ekonom St Thomas menjalin banyak bab dari Farabi (St Thomas yang belajar di Ordo Dominican mempelajari ide-ide Imam Al Ghazali dari Bar Hebraeus dan Martini ) ; Bahkan bapak Ekonomi Barat, Adam Smith pada tahun 1776. M, dengan bukunya The Wealth of Nation diduga banyak rriendapat inspirasi dari buku AlAmwaknya Abu Ubaid di tahun 838 ; M yang dalam bahasa Inggrisnya adalah persis judul bukunya Adam Smith, The Wealth. Demikianlah yang terjadi pada masa itu ternyata ilmu-ilmu Islam telah diboyong oleh ekonom Barat demikian banyaknya.

Bagaimana Ekonomi Islam periode kedua pada tahun 1058 1446 Masehi ?

Menurut catatan sejarah bahwa para ekonom Islam pada periode kedua antara lain ialah : Al Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Syamsuddin AI Sarakhsi, Nizamun Mulk Tusi, Ibnu Mas'ud AI Kasani , AI Shaizari, Fakhruddin AI Razi, Najmudin AI Razi; Ibnul Ukhuwa, Ibnu Qayyim, Muhamad bin Abdurrakhman al Habashi, Abu Ishaq al Shatibi, AI Maqrizi, AI Qushayri, AI-Hujwayri, Abdul Qadir Jailani, AI Attar, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rummi, Ibnu Baja, Ibnu Tufayl, Ibnu Rusdy. mereka itulah para ahli ekonomi Islam terbaik dimasa itu AI-Ghazali (Ekonom Islam yang terkenal nama lengkapnya Abu Hamid AlGhazali dilahirkan dl Thus, salah satu kota dl negeri Khurasan Persi, tahun 450 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1058 Masehi) menjelaskan bahwa kebutuhan dasar termasuk juga alat-alat untuk kebutuhan rumah tangga yang diperlukan, furniture, peralatan pernikahan, alat-alat untuk membesarkan keluarga, dan beberapa asset lainnya. AI-Ghazali juga memperkaya ekonomi Islam dengan topic pembagian kerja dan teori evolusi uang. AI-Ghazali juga mengecum penimbunan uang di bawah lantai atau bantal, karena uang diciptakan untuk memfasilitasi perdagangan, dan penimbunan uang di bawah lantai atau bantal akan mengeluarkan uang dari proses perdagangan ini. Tokoh ekonom Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan tugas kemasyarakatan meliputi manajemen uang, peraturan tera timbangan dan ukuran, control harga bila diperlukan, dan keadaan abnormal yang dapat dibolehkan memungut zakat di atas apa yang ditetapkan oleh syariah. Ibnu Taimiyah tidak saja berbicara tentang norma-norma ekonomi, namun juga menerangkan tentang hal-hal yang positif dalam ekonomi. Antara lain mekanisme penawaran dan permintaun dalam menentukan harga. Ibnu Taimiyah juga menjelaskan pajak tidask langsung dan bagaimana beban pajak tersebut dialihkan dari produsen kepada konsumen yang harus membayar harga yang lebih tinggi. Tokoh ekonomi Islam Ibnu Khaldun membahas tentang pembagian kerja, uang dan harga, produksi penyaluran barang, merek dagang yang mendunia, pembentukan modal dan pertumbuhan, trade cyclys, property and prosperity (kemakmuran), kependudukan, pertanian, industri & trade macro economic of taxation (pajak), dan public expenditure. Leffler, penasehat ekonomi mantan Presiden Ronaici Reagen dari Amerika, yang menemukan teori Laffler Curve, berterus terang mengatakan bahwa ia memang mengambil ide-ide Ibnu Khaidun. Tokoh ekonom Islam Ibnu Khaldun menawarkan konsep untuk mengatasi resesi dunia, yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah; "Pemerintah adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya, Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, maka adalah wajar bila pasar yang lain pun ikut menurun, bahkan dalam agregat yang lebih besar"

Bagaimana ekonomi Islam periode ketiga pada tahun 1446- 1931 Masehi ? Tokoh-tokohnya antara lain ialah : Shah Waliullah Al Delhi, Muhammad Abdul Wahab, Jamaluddin AI Afghani, Mufti Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Ibnu Nujaym, Ibnu Abidin, Syekh Ahmad Sirhindi. Tokoh ekonom Islam Shah Waliullah, menjelaskan pentingnya kerjasama sebagai dasar kegiatan ekonomi. Dilarang perjudian dan riba adalah sebab bertentangan dengan prinsip kerjasama tersebut. Semua tempat pada dasarnya adalah sperti mesjid atau tempat beristirahat untuk orang yang melakukan perjalanan. Mereka menggunakan secara bersama dengan dasar first come first served (yang datang duluan mendapat pelayanan duluan). Makna kepemilikan bagi manusia adalah ia lebih berhak untuk menggunakan untuk menggunakan dari yang lain. Shah Walilullah juga menjelaskan perlu adanya pemerintah yang memiliki pegawai untuk menjaga keamanan, hukum dan peraturan, peradilan dan lain sebagainya, serta untuk membangun jembatan, jalan, gedung dan lain sebagainya: Oleh karena itu, pajak diperlukan untuk memenuhi pengeluaran rutin dan perigeluaran pembangunan yang bila tidak dilakukan oleh pernerintah akan sulit untuk dilakukan oleh rakyat atau jauh di luar kemampuan rakyat untuk melakukannya.

4. EKONOMI MIKRO DALAM PRESPEKTIF EKONOMI ISLAM Berbeda dengan pemikiran ekonomi modern mengenai asumsi rasionalitas manusia sebagai homo economicus yang menunjukkan perilaku memaksimalkan keuntungan dan kepuasannya. Dalam konsepsi pemikiran ekonomi Islam mengenai manusia yang mendapat predikat yang khas yaitu "Ibaddurrahman" (hamba Allah Yang Pengasih)


Dan hamba-hamba yang Maha Pengasih ialah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka berkata (yang mengandung) keselamatan. QS 25:63, Surat Al Furqan ayat 63)

Perilaku seorang Ibadurrahman akan dipandang rasional bila dalam tingkah laku dan perbuatannya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Seperti: membalas ucapanucapan orang-orang j ahil dengan perkataan yang menyakitkan hati tetapi bila perlu membalasnya dengan ucapan yang baik. Perilaku manusia yang rasional manakala dia dapat memaksimalkan nilai-nilai konformitas sesuai dengan norma Islam. Jadi dalam

prespektif ekonomi Islam pengertian rasional tidak selalu sejalan dengan pengertian maksimisasi secara material (kebendaan). Rasionalitas dalam prespektif Islam manakala mencakup elemen-elemen dasar sebagai berikut; 1. Konsep sukses dalam Islam selalu dikaitkan dengan nilai-nilai moral. 2. Skala waktu dalam konsumsi 3. Konsep kekayaan. 4. Konsep barang 5. Konsep Etika. Penjelasan dari :konsep di atas menurut Siddiqi (Sarjana Muslim) adalah sebagai berikut:

l. Konsep sukses dalam Islam selalu dikaitkan dengan nilai-nilai moral: Manakala perilaku seseorang selalu dikaitkan dengan standar nilai yang baku semakin tinggi kualitas kebaikan (akhlak) nya semakin sukses orang tersebut. 2. Skala waktu bagi seorang muslim adalah kehidupan di dunia sampai akhirat. Keimanan akan kehidupan akhirat (wafil akhirati hasanah) menjadi pengendali dalam setiap perilakunya. Aspek ini berdampak pada perilaku (akhlak) konsumsi sebagai berikut. a. Hasil dari pilihan tindakan yang dilakukan terdiri atas dampak langsung di dunia (Man amila amalan shaalihan min dzakarin au unsaa wahuwa mukmin, fa ajruhu ala laahi) dan dampaknya nanti di akhirat. Sehingga kepuasan (Utilitas) yang diturunkan dari pilihan tersebut merupakan total nilai sekarang (present value) dari kedua dampak tersebut. b. Alternatif penggunaan pendapatan (dari hasil usahanya dengan jalan halal) akan bertambah dengan memasukkannya manfaat yang diperoleh di akhirat kelak (Fain khairan fa khairan wa in syarran fa syarran= apabila didapat dengan cara yang baik pahala di akhirat kelak tapi apabila yang didapat dengan j alan buruk (menipu) maka ganjaran siksaan yang pedih). Sehingga pendapatan yang diperoleh disamping untuk kebutuhan konsumsi yang disisihkan untuk membayar kewaj iban zakat, infak dan sadaqah. Seperti disebutkan dalam ayat suci alquran ;


Artinya :Dirikanlah salat dan bayarlah zakat hartamu.

Dan juga dinyatakan dalam Surat Nya bahwasanya :


Artinya: Ambillah dari harta mereka sedekah (zakat) untuk membersihkan mereka dan menghapuskan kesalahan mereka. " Juga dinyatakan dalam firman-Nya bahwasanya :

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan salat, dan menunauikan zakat, mereka mendapatkan pahala dari sisi Tuhannnya, Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati " Dalam hadits riwayat Ahmad dan Muslim dinyatakan :

Dari Abi Hurairah, "Rasulullah Saw, telah berkata, "Seseorang yang menyimpan hartanya, tidak dikeluarkan zakatnya, akan dibakar dalam neraka jahanam, baginya dibuatkan setrika dari api, kemudian disetrika ke lambung dan dahinya, dan seterusnya, '(hadits ini panjang)` (Innama shadaqatu lil fukaraai wal masakin, wab nissabil, sesungguhnya zakat itu untuk orangorang fakir dan orang-orang m iskin) . 3. Konsep kekayaan (al-Ghany) dalam Islam merupakan karunia dan pemberian dari Allah. Manusia sifatnya hanya memiliki `hak guna' amanat, atas kekayaan yang dimilikinya. Karena pemilik yang sebenarnya adalah Allah SWT. Implikasi yang ditimbulkan dari pandangan ini adalah dalam penggunaan semua bentuk kekayaan manusia selalu melakukan evaluasi apakah tindakannya sudah benar dengan syariat Islam atau belum. Perlu diingatkan pula bahwa harta (kekayaan) yang dimiliki tersebut adalah sebagai hiasan kehidupan manusia di dunia,seperti dinyatakan dalam frman Allah SWT


Artinya : Dan d~adikan indah bagi manusia mencintai bermacam-macam yang diingini, (diantaranya) kepada perempuan perempuan, anakanak, harta yang berlimpah dari jenis emas, perak, kuda yang bagus, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan pada sisi Allah adalah sebaik-baik tempat kembali.

4. Dalam pandangan Islam mengenai barang terutama barang konsumsi adalah semua barang (al-Maal) yang dikaitkan dengan aspek nilai moral. Jadi barang dalam perspektif

adalah semua bentuk materi yang dapat membawa manfaat, menguntungkan dan dapat dikansumsi sedemikian rupa sehingga membawa kesejahteraan bagi konsumsi baik secara material, moral maupun spiritual. Barang yang tidak membawa pada kebaikan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat bukan merupakaan barang clan tidak dapat dianggap sebagai bentuk kekayaan seperti barang haram, barang hasil KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) narkotika. Barang yang kita miliki ini bisa menjadi sumber bencana/fitnah bagi dirinya dan bagi masyarakat pada umumnya sebagai mana pernyataan Allah dalam firmanNya :

Artinya: Hanya sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu adalah cobaan. Dan di sisi Allah pahala yang besar.

6. Aspek etika (akhlak al karimah) dalam konsumsi menurut Islam, selalu dianjurkan untuk selalu berakhlak mulia sebagai mana terangkum dalam hadits Nabi Saw yang berbunyi : Innamal ummamu akhlaqu ba bakiat wain humu dzahabat akhlakuhu dahabuu: Sesungguhnya suatu kaum itu akan tetap jaya di kehidupan dunia bila tetap berakhlak yang mulia).

Dalam hal konsumsi Islam ini terangkum dalam beberapa hal yaitu:Menafkahkan harta dalam kebaikan dan menjauhkan sifat kikir, 2. Mengajarkan bersikap sederhana, yang mengandung lima dimensi yaitu keadilan, mencari rezki secara halal, kebersihan, kemurahan hati dan moralitas.

Daftar Kepustakaan

S.L Poerdisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu & Peradaban Dunia, (Jakarta: P3M, 1986.

Zainul Arifiin, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang,Tantangan dan Prospek, Alvabet, Jakarta, Desember 1999.

Crombie, Medieval and Early Modern Science, Vol 1 dan 11. Harvard University Press, Cambridge, 1963.

Sharif (ed), A History o f Muslim Philosophy, Vol 2, Otto Harrassowitz, Wiesbaden, 1966.

George Makdisi, Madrasa and Universitv in the Middle Age" Studi (Islamica 32. 1970.

Will Durant, The Age of Faith, Simon and Schuster. New York, 1950. Encyclopedia of l.slam, New Edition.

Durant, De Lacy, Arabic Thought and Its Pulce in History, Routledge and Kegan Paul Ltd, London, 1992;

Wolfson A, Studies in the History of Philosophy and Religion, vol I, Isadore Twersky and George William (ed), Harvard University Press, 1973;

Subhi Labib, Capitalism in Medieval Islam, Journal of Economic History, Vo1.29, 1969

Sharif, bicf, Giullaume, The Legacy of lslam, London, 1952

Hammond, The Philosophy of Al Farabi and Its Influence on Medieval Thought, New York, 1974

A1 Izzah Anis Muda, Ahmad, The Development of Figh Schools of Thought, makalah dalam Short Course on Figh for Economics, International Islamic University, Petaling Jaya, 30 Mei-Juni 1994

Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (terjemahan), Dana Bhakti Wakaf Yogyakarta, 1993

You might also like