You are on page 1of 12

Silahkan download e-book ini di halaman download pada situs

www.tinyurl.com/syariah

Riba .. antara Keharaman dan Kebolehan (2)


(Mengkaji tulisan Dr. Muh. Sayyid Thanthawi)
Oleh : Muhammada al-Banna
Sumber : Web site Islam online (20/12/2002).
Penerjemah : Tim Pakeis

Ada beberapa motivasi yang mendorong saya untuk menjawab tulisan


Syekh al-Azhar.. karena tulisan tersebut memuat dalil-dalil yang menjadi sandaran
fatwa Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Riset Islam).
Dalil-dalil yang dipakai oleh Dr. Sayyid Thantawi lebih lengkap, maka
tulisannya yang menjadi bahan kajian ini karena dengan mengkajianya berarti telah
mengkaji fatwa Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Riset Islam). Adapun dalil-
dalil tesebut sebagai berikut :

Dalil Pertama : “Masalah keuntungan ditentukan di muka ataupun tidak bukan


masalah-masalah ibadah atau akidah yang tidak bisa dirubah-rubah, tetapi
masalah ini termasuk muamalat (ekonomi) yang berlandaskan kerelaan kedua
belah pihak dalam akad.”
Jika masalah penentuan keuntungan di muka termasuk muamalat
(ekonomi) yang bisa berubah-rubah, maka ada beberapa point dalam dalil ini yang
harus dijelaskan yaitu :
1. Maksud penentuan keuntungan di muka.
2. Muamalat yang bisa berubah-rubah.
3. Kerelaan kedua belah pihak dalam akad.

1. Maksud penentuan keuntungan di muka.


Jika yang dimaksud oleh Dr. Thanthawi adalah penentuan keuntungan
dalam akad mudharabah atau qiradh artinya menentukan keuntungan seperti
setengah atau sepertiga sesuai dengan kesepakatan, maka itu saya setuju.
Jika yang dimaksud adalah presentase seperti 10% atau 15% atau lebih besar
atau lebih sedikit yang diambil dari individu atau bank atau negara atau yang
lainnya dengan menjamin modalnya, maka tambahan ini berarti tanpa ada imbalan
dan jaminan1. Ini termasuk pinjaman yang diambil manfaatnya (qardun jarro naf’an)
dengan disyaratkan pada waktu akad yaitu riba dengan alasan bahwa peminjam
(muqridh) tidak pernah berpikir dalam usaha apa dananya diinvestasikan? tapi yang
terpenting baginya adalah dalam setiap tahun atau dalam waktu tertentu ia akan
mengambil bunganya dalam jumlah tertentu baik dana yang diinvestasikan itu
untung ataupun rugi. Oleh karena itu penentuan keuntungan seperti ini termasuk
riba.
Dalil yang menunjukan bahwa tambahan –yang ada dari penentuan
keuntungan di muka- yang disyaratkan antara peminjam dengan kreditor itu riba
banyak sekali diantaranya :
a. Frman Allah swt :
2
.‫فإنلم تفعلوا فأذنوا بحرب من ال ورسوله وإن تيتم فلكم رؤس أموالكم لتظلمون ول تظلمون‬
Yang artinya : Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah
bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS.
2:279)
Maksudnya kamu hanya berhak mendapatkan modal tanpa ada tambahan
baik disyaratkan ataupun tidak. Hal ini dikatakan oleh al-Imam al-jashash dalam
tafsir Ahkamu al-Qur’an : “Sudah maklum bahwa riba jahiliyah adalah pinjaman jatuh
tempo dengan bunga yang disyaratkan, maka bunga tersebut sebagai imbalan dari tempo
yang diberikan maka Allah swt melarangnya”.3
Di samping itu ia juga mengatakan : “riba jahiliyah adalah pinjaman yang
disyaratkan ada tempo dan bunga terhadap peminjam”.4
Ibnu Qudamah menukil dalam kitabnya al-Mughni ijma’ ulama tentang
keharaman tambahan yang disyaratkan, ia mengatakan : “Setiap pinjaman yang
disyaratkan ada tambahannya itu haram tanpa ada perbedaan di antara para ulama.”5
Ibnu al-Mundzir mengatakan : “Para ulama telah ijma’ jika kreditor
mensyaratkan kepada peminjam berupa tambahan atau hadiah kemudian atas dasar itu ia
meminjamkan, maka jika ia mengambilnya itu termasuk riba”.
Hal ini menunjukan bahwa penentuan bunga dimuka berarti kreditor
mensyaratkan kepada peminjam bunga dari modal dalam masa tertentu seperti
beberapa hari atau beberap tahun dengan jumlah presentase tertentu itu adalah riba
yang diharamkan oleh syara’.

Muamalat yang bisa berubah-rubah.


Yaitu setiap bentuk muamalat yang tidak pernah dijelaskan hukum baik
keharamannya atau kebolehannya. Dalam hal ini saya sependapat dengan Dr.
Thanthawi selama hal itu tidak keluar dari ruh syari’ah artinya setiap muamalat
yang tidak tercampuri dengan penipuan, kedzoliman, pencurian, riba dan hal-hal
lain yang diharamkan oleh Allah swt.

Kerelaan kedua belah pihak dalam akad.


Ini adalah batasan yang diberikan oleh beliau agar bentuk-bentuk transaksi
ekonomi sah. Saya ingin bertanya : apakah setiap muamalat yang ridha kedua belah
pihak dalam akad itu dibolehkan oleh syara’? apakah setiap bentuk transaksi yang
menjadi keridhoan pihak akad itu berati boleh?. Tentu saja jawabannya tidak.
Sesungguhnya syari’ah ini juga menjelaskan hukum akadnya. Dr. Qardhawi
telah memberikan permisalan yang tepat yaitu kesepakatan itu sangat penting sekali
menurut syari’ah, ia mengatakan : “Jika seorang laki-laki berkata kepada seseorang
didepan orang banyak dengan mengatakan: ambillah uang ini dan izinkan saya berzina
dengan anak perempuanmu, kemudian anak perempuannya menerimanya maka keduanya
telah melakukan perbuatan yang paling keji. Tetapi jika yang dikatakan : Nikahkan saya
dengan anak perempuanmu dengan uang ini sebagai mahar kemudian orang itu
menerimanya dan kemudian anak perempuannya menerimanya pula maka ketiga-tiganya
telah berbuat baik.”6
Bagi yang meneliti definisi-definisi para ulama tentang riba, nampak bahwa
ridha dengan tambahan dari modal tidak merubah substansi riba.
Imam al-Jashash mengatakan : riba yang diketahui dan dilakukan oleh bangsa
arab menghutangi beberapa dirham dan dinar dengan atas dasar saling ridha diantara
mereka.7
Apakah kesepakatan dengan bank untuk untuk menaruh uang didalamnya
dengan bunga dalam jumlah tertentu pada waktu tertentu sebagai tambahan dari
modal itu telah keluar dari riba?
Jika beliau mengkhususkan saling ridha ini dalam batas-batas syariat Islam untuk
menjaga kemashlahatan hamba.8 Maka apakah syari’at membolehkan muamalah ini
walaupun dengan saling ridha?, Dan beliau sendiri telah menyebutkan perkataan
Imam al-Jashsash dalam kitabnya ahkamu al-Qur’an9 seperti halnya ia menukil dari
buku ar-Riba wa al-Mua’amalat fi al-Islam karangan Muhammad Rasyid Ridha
sebagai dalil bahwa ini adalah riba jahiliyah.
Bukankah ungakapan yang dinukil ini menunjukan bahwa peminjam
meminjam sampai masa tertentu dengan bunga pinjaman dengan keridhaan itu
riba? dan ini yang dilakukan oleh bank-bank ribawi.

Dalil yang kedua : Beliau mengqiaskan penentuan keuntungan di muka atas


perintah pemerintah dengan pematokan harga (tas’ir), jika mashlahat menuntut hal
tersebut, juga menjaga harta masyarakat dan hak-hak mereka serta menghindari
terjadinya persengketaan antar bank-bank dan para nasabahnya.10
Beliau memulai penjelasan dalil ini dengan pernyataan yang aksioma bahwa
syari’ah ini diturunkan untuk kemaslahatan manusia dalam setiap waktu dan
tempat,11walaupun nampak secara sekilas mashlahat ini dzohir menyalahi nash-nash
dari Nabi asaw.
Beliau berdalil dengan hadits tas’ir yaitu Rosulullah saw mematok harga
barang, kemudian dengan tuntutan mashlahat bagi manusia dan menghilangkan
mafsadat para pedagang, maka para fuqaha membolehkannya.
Ini adalah penjelasan yang baik, tetapi jika sudah sampai pada penentuan
keuntungan dalam presentase tertentu sebagai keuntungan modal atas perintah
negara dengan mengqiaskan pendapat para puqaha, ini adalah qiyas yang salah
karena maqis ‘alaih (yang diqiaskan) bukan termasuk al-Qur’an ataupun as-Sunnah.
Dan Qiyas yang diperlonggar itu dibatasi jika maqis ‘alaih (yang diqiyaskan)
termasuk al-Qur’an atau as-Sunnah.
Adapun maqis (yang diqiyaskan) diqiyaskan dengan maqis ‘alaih (yang
diqiyaskan) dengan tanpa ‘illat yang sama (al illat al jami’ah)12 kemudian maqis ini
menjadi maqis ‘alaih karena diqiyaskan dengan masalah lain (maqis) dengan tanpa
‘illat yang sama (al illat al jami’ah) juga tetapi hanya punya kesamaan dalam beberapa
hal antara maqis yang kedua dengan maqis ‘alaih yang pertama.13
Jika kita menerapkan rukun-rukum qiyas dalam masalah ini, kita akan
menemukan bahwa yang menjadi ashl qiyas –menurut beliau- adalah pendapat
para fuqaha tentang bolehnya membatasi penentuan harga untuk menghilangkan
kesewenang-wengan. Dan yang menjadi far’un (cabang) adalah negara membatasi
keuntungan bank sedangakan yang menjadi illat adalah -seperti yang ia katakan-
adalah menghilangkan kedzoliman dan hukumnya adalah ibahah (boleh).
Jika kita melihat rukun yang ketiga yaitu ‘illat, kita akan menemukan
masalah ini masih diperdebatkan. Dr. Muhammad Baltaji Hasan mengatakan :
”betapapun kita merenungi ayat-ayat riba dalam al-Qur’an dan hadits-hadits beserta
asbab an-nuzul yang berkenaan dengannya, kita tidak akan menemukan walaupun
tersirat bahwa Allah swt mengharamkan riba jahiliyah itu karena mengandung
mengeksploitasi fakir dan mendzoliminya.
Akal manusi boleh jadi melihat bahwa ini termasuk maksud diharamkannya
riba ini, tetapi tidak ada seorangpun yang memastikan bahwa illat keharamannya
riba adalah mencegah mengeksploitasi fakir dan mendzoliminya. Dan yang
mengkaji kitab-kitab tafsir akan menemukan bahwa kedzaliman yang dimaksud
dalam ayat adalah tambahan dari hak (modal) terlepas dari kondisi kreditor dan
peminjam dan mashlahatnya dalam akad ribawi, -dan menegaskan hal sebelemnya-
bahwa kedzaliman ada pada tambahan dari hak (modal) dengan imbalan tempo.14
Dr. Fathi Lasyin (Mantan mustasyar di pengadilan negara Mesir)
mengatakan : “Perbuatan riba adalah lebihan yang dilahirkan dari pinjaman, dan
karakteristik pinjaman itu adalah sifat dalam tanggung jawabnya dan dalam
jaminannya untuk dikembalikan barang sejenisnya.15
Sudah jelas ‘illat eksploitasi (istighlal) dan kedzaliman (dzulm) yang dipakai
oleh Dr. Thantawi untuk mengqiyaskan antara menerapkan penentuan keuntungan
di muka atas perintah waliyyu al-amri dengan kebolehan tas’ir atas pendapat para
fuqaha itu berbeda.
Di antara syarat illat yang di terima illat yang ada dalam ashl itu juga illat
yang ada dalam far’. Oleh karena itu harus ada kesamaan illat dalam ashl yang
hukumnya berlandaskan nash atau ijma’ dengan illat dalam far’, jika tidak sama
maka qiyasnya tidak sah menurut mayoritas ulama bahkan ashhab ar-ro’yu
mensyaratkan adanya kesamaan dalam illat.16
Dengan penjelasan ini, kita bisa menilai qiyas yang dipakai oleh Dr.
Thanthawi itu tidak benar atau dalam ungkapan para ahli ilmu ushul qiyas la yunqas
(qiyas yang tidak benar).
Di samping itu dharurat dalam permasalahan tas’ir itu nampak jelas dan
mendesak sekali karena monopli dan meningkatnya harga barang itu berhubungan
dengan kebotohan pokok manusia. Oleh karena itu para fuqaha membolehkan tas’ir
untuk menghindari dharar yang kan menimpa manusia.
Maka di mana letak dharuratnya jika seseorang menyimpan uangnya di
sebuah bank untuk mendapatkan keuntungan dengan ada jaminan kerugian?

Menjaga mashlahat manusia


Dalam ungkapan beliau : “jika pemerintah memandang –setelah bermusyawarah
dengan para ahli- bahwa ada kemashlahatan yang menuntut bank-bank untuk menentukan
keuntungan di muka bagi para nasabahnya, maka merka boleh melakukannya...”17
Pendapat ini mengarah pada pendapatnya muktazilah yang mengedepankan
akal dari syara’. Tidak boleh menghukumi syari’ah dengan pengalaman dan ilmu
manusia tetapi syari’ah yang menghukumi sah atau tidaknya mereka.
Tidak boleh beralasan dengan pendapat para ahli ekonomi bahwa riba harus
dilakukan untuk meningkatkan perdagangan. Dan jika ini dilakukan maka berarti
menghukumi syari’ah dengan pengalaman dan ilmu manusia, dan karena
mashlahat adalah bagian dari agama yang menjadi standar keeradaannya.18
Betapapun manusia mengira kemashlahatan satu masalah, tetapi ia harus
mengmbalikannya kepada nash-nash syariah dan maqashidnya, jika sesuai maka
diambil jika tidak maka sebaliknya.
Tetapi ini tidak berarti syari’ah merintangi mashlahat manusia dalam ilmu
dan pengalamannya. Tetapi sebaliknya nash-nash syari’ah banyak mengajak
manusia untuk memiliki ilmu dan berpikir. Di samping itu Allah swt. mengetahui
apa yang tidak kita ketahui. Mungkin para ulama mengira sesuatu itu ada mashlahat
manusia dalam satu perkara tetapi Allah swt mengetahui sebaliknya dan
melarangnya karena menjaga kemashlahatan manusia. Kita tidak
mempermasalahkan nash tetapi yang kita permasaahkan adalah pemahaman
manusia terhadap nash tersebut yang dalam banyak kondisi berdasarkan kepada
hawa nafsu dan pandangan parsial tidak menyeluruh.
Dalil ketiga
Dr. Thantawi mengatakan: “Tidak ada satu nashpun yang melarang pihak akad
untuk menentukan keuntungan di muka dalam akad mudharabah. Maka bank sebagai
penanam modal boleh menentukan keuntungan di muka dalam akad mudharabah dengan
para nasabahnya yang menyimpan uangnya di bank dengan maksud investasi dalam usaha-
usaha yang dihalalkan oleh Allah swt”.19
Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa transaksi antara bank dengan
nashabah bukan akad mudharabah. Karena prinsip mudharabah berbeda dengan
prinsip qardh (pinjaman) yang terjadi antara bank dengan nasabah. Bank berinteraksi
dengan riba dengan kredit berbunga sedangkan mudharabah berbeda dengan
praktek riba. Supaya gambaranmasalahnya jelas, saya akan menjelaskan perbedaan
antara qardh dengan mudharabah.
Perbeda’an dalam substansi
Dalam pinjaman ditentukan bunga sesuai dengan jumlah pinjaman dan
masanya seperti 10% atau sedikit atau lebih banyak dalam pertahun, terlepas apakah
pinjaman ini untung atau rugi, dan ini yang dilakukan oleh bank.
Adapun dalam mudharabah keuntungan riil dibagi antara pemilik modal
dengan mudharib (pengelola) sesuai dengan presentase yang telah disepakati
bersama. Sedangkan kerugian diambil dari modal dan mudharib tidak menanggung
kerugian.
Perbeda’an dalam hubungan antara kedua belah pihak
Dalam qardh hubungan antara kreditor dan peminjam bukan akad syirkah,
karena kreditor yang memiliki sejumlah uang dan ia berkepentingan dengan usaha
peminjam, begitu pula dengan peminjam ia menginvestasikannya untuk
keperluannya sendiri, ia memiliki harta dan menjamin untuk mengembalikannya
beserta bunganya, jika untung maka hasilnya untuk dirinya dan jika rugi maka ia
menanggung sendiri kerugian tersebut.
Adapun mudharabah adalah sebuah syirkah dimana keuntungan dan
kerugian ditanggung oleh kedua belah pihak. Pengelola tidak memiliki modal tetapi
hanya mengelolanya saja sebagai wakil dari pemilik modal. Dan keuntungan –
berapapun besarnya- dibagikan diantara mereka sesuai dengan kesepakatan. Dan
ketika kerugian pemilik modal menanggung kerugian modal dan pengelola
menanggung kerugian tenaga 20dan ia tidak menanggung kerugian kecuali jika
disebabkan oleh kelalaiannya.
Dalil yang disebutkan oleh Dr. Thanthawi bisa dijawab dalam 2 point :
1. Bahwa syara’ tidak melarang penentuan keuntungan di muka dalam akad
mudharabah.
2. Para nasab h menyimpan uangnya di bank dengan tujuan investasi.
Point pertama bahwa syara’ tidak melarang penentuan keuntungan di muka dalam
akad mudharabah.
Banyak para fuqaha menyebutkan ketidak bolehan menentukan atau
mensyaratkan keuntungan tertentu dalam akad mudharabah. Bahkan Ibn al-
Mundzir menyebutkan ijma’ ulama tentang mudharabahnya menjadi bathil jika
salah satu atau setiap pihak akad mensyaratkan kepada seseorang bagian
keuntungan tanpa melibatkan yang lain. Ia mengatakan : Para ulama yang saya
hapal telah ijma’ batalnya qiradh jika salah satu atau setiap pihak akad mensyaratkan
untuk dirinya beberapa dirham.21 Ijma ‘ bisa kita temukan dalam penejelasan para
fuqaha seperti yang dikemukakan oleh Imam Malik22 dan Imam Syafi’i.23
Paont yang kedua, Apapun nama yang mengikatkan antara bank dengan nasabah
dengan bunga, imbalan tempo termasuk riba. Karena illat keharamannya adalah
tambahan yang ditentukan dimuka dengan tempo pinjaman baik akadnya berupa
pinjaman ataupun jual beli, selama ada tambahan yang ditentukan dengan tempo
itu adalah riba terlepas dari jenis transaksinya dan tambahan itu ditentukan dari
awal akad atau ditentukan ketika peminjam tidak mampu membayar pinjaman pada
waktunya.24 Perubahan niat itu tidak merubah hukum selama illatnya adalah
tambahan yang ditentukan dimuka itu ada.

Dalil yang keempat


Dalam dalil-dalilnya Dr. Thanthawi melihat bahwa bank –sebagai pihak
yang membayar bunga yang menjadi tanggung jawabnya- tidak menentukan
kuntungan di muka kecuali setelah pengkajiaan yang teliti terhadap kondisi pasar
dunia dan pasar setempat serta kondisi ekonomi di masyarakat dan kondisi setiap
transaksi dan keuntungan umummnya….dst.
Selain itu penentuan ini juga berdasarkan intruksi dari bank central yang
merupakan pemegang kebijakan antara bank dengan nasabahnya.25
Pengkajiaan yang teliti untuk menentukan keuntungan di muka ini di mana
pemilik modal mengambil bunga dan tidak menanggung kerugian sedikitpun, ini
adalah pendapat yang tidak sesuai dengan realita. Bank central sendiri yang
memberik intruksi jumlah presentase bunga ini tidak bisa membayar deposito bank
seluruhnya ketika bank mengalami pailit.
Sudah maklum bahwa bank central melarang untuk melakukan investasi
langsung kecuali dibeberapa negara dan itupun dalam jumlah yang sedikit sekali.
Bank central mengmbil dana cadangan sebesar 25%. Maka dari mana bank centrak
bisa membayar seluruh deposito bank jika terjadi pailit?.
Realitanya sendiri mendukung hal ini, bahkan di Amerika sendiri sebagai
pusat sistem kapitalis yang berlandaskan pada riba. Bank central menyususn
langkah-langkah dan menentukan bunga dan tidak bisa menutupi kerugian satu
bankpun, karena undang-undang yang melarangnya untuk melakukan investasi
langsung. Di samping itu keberadaan bank sebagai perantara dan mengandalkan
2,5% dana cadangan di bank lain. Jika bank central tidak bisa menutupi kerugian
satu bankpun, bagaimana kita bisa percaya dengan kemampuan dan intruksinya!
Kemudian apakah intruksi dan pengkajian yang teliti ini –yang menjamin
keuntungan- apakah merubah bentuk muamalat dan transaksi riba? Juga kajian ini
tidak selamanya teliti, terbukti banyak sekali bank ribawi yang tidak bisa menjamin
deposito beserta keuntungan. Diantara contohnya :

No Jumlah bank yang pailit Tahun


1. 4000 bank 1933
2. 77 bank 1983
3. 19 bank 1984
4. 120 bank 1985
5. 131 bank 1986
6. 141 bank 1987

Adapun jumlah kerugian beberap bank-bank di Amerika pada tahun 1987


sbb:
No Nama bank Jumlah kerugian
1. Stero Coorporation 3 Milyar $
2. Bank Amerika 1,1 Milyar $
3. CIS 1,6 Milyar $
4. Manhattan 1,7 Milyar $
5. Manufacture Hanofer 3 Milyar $
6. City Coorp 3 Milyar $
Ini terjadi pada paruh awal tahun 1987.26
Di negara Mesir sendiri banyak bank-bank yang mengalami kerugian, di
antaranya yang terkenal yang dialami oleh mashrif tanmiyah wa at tijarah pada
tahun 1995. Dari sini jelas bahwa alasan bahwa keuntungan itu di jamin karena bank
melakukan pengkajian seperti yang dikemukakan oleh Dr. Thanthawi adalah alasan
yang tidak relistis.
Di sisi lain, ada pertentangan antar dalil ini dengan dalil yang keenam. Di
sini beliau mengatakan bahwa kajian yang teliti ini telah menjamin keuntungan
yang lebih besar karena tidak ada kerugian, ini dipahami dari perkataannya.
Sedangkan pada dalil yang ke enam ia mengatakan bahwa penentuan keuntungan
tidak bertentangan dengan kemungkinan kerugian.
Dalil yang kelima
Dr. Thanthawi melihat pada saat ini penentuan keuntungan di muka
memberi manfaat terhadap pemilik modal juga pengelola.
Bagi pemilik modal ia akan mengetahui haknya dengan pasti tanpa ada
kebohongan, dengan begitu ia bisa mengatur kehidupannya.
Dan bagi pengelola, ini menuntutnya untuk bekerja dengan sungguh-
sungguh supaya berhasail mendapatkan keuntungan melebihi jumlah yang
ditentukan untuk pemilik modal. Juga agar sisa keuntungan yang diberikan kepada
pemilik modal itu menjadi bagian murni keuntungannya sebagai balasan dari tenaga
dan kesunguhannya.27
Jika penentuan yang dimaksud oleh beliau adalah penentuan presentase
keuntungan bersih dalam akad mudharabah, maka itu tidak ada masalah. Tetapi
nampaknya yang beliau maksud adalah penentuan presentase keuntungan tertentu
yang diambil oleh nasabah dari bank setelah beberapa waktu sebagai bunga dari
modal, dan ini adalah riba.
Kemudian ia mengatakan bahwa ini ada manfaatnya bagi pemilik modal dan
pengelola, tapi apakah setiap mashlahat itu menurut pandangan manusia itu
dibolehkan oleh syara’.
Kenyataannya, syara’ banyak menyebutkan hal-hal yang memiliki manfa’at
tetapi diharamkannya seperti khamr dan maisir (judi). Allah swt. berfirman :
‫يسئلونك عن الخمر والميسر قل فبهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما‬
Yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah:"Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (QS. 2:219)
Firman Allah swt. ‫ ومنافع للناس‬menunjukan bahwa ada manfaat yang bisa
mereka dapatkan, tetapi tidk ada seorangpun yang bisa mengatakan bahwa khomr
dan maisir itu halal.
Kemudian Dr. Thantawi mengatakan : dengan penentuan ini, pemilik modal
mengetahui bagiannya.
Apakah riba menjadi bagiannya dan sumber kehidupannya dan mata
pencahariannya ?.
Dalil keenam
Dr. Thanthawi memandang bahwa penentuan keuntungan di muka yang
tidak bertentangan dengan kerugian yang mungkin terjadi oleh pihak pengelola,
bank atau yang lainnya. Sudah menjadi kelaziman bahwa dalam proyek-proyek
perdagangan yang bermacam-macam jika salah seorang mengalami kerugian dalam
salah satu proyeknya dan memperoleh keuntungan dalam proyek yang lain, maka
keuntungan tersebut akan menutupi kerugian yang ada.
Beliau berdalil dengan perkataan Ibnu Quddamah dalam kitabnya al-Mughni
: seorang pengelola dalam mudharabah jika membeli dua barang kemudian untung
dalam salah satu barang dan rugi dalam barang yang lain, maka kerugian ditutupi
dengan keuntungan.28
Dalil ini bertentangan dengan dalil yang ke empat. Di samping itu alasan
keenam ini berarti dana yang disimpan di bank itu bercampur, Nasabah yang
menyerahkan jumlah dana yang besar disamakan dengan yang menyerahkan
dengan jumlah kecil dalam presentase keuntungan. Apa kesalahan orang yang
beruntung modalnya hingga bagian dari keuntungannya harus menutupi kerugian
orang lain?.
Dalam kajian ekonomi sudah menjadi kelaziman bahwa tidak ada hubungan
antara harga bunga dengan keuntungan peminjam dan kerugiannya, antara harga
bunga dengan invlasi, bahkan bunga menjadi sebab terjadinya invlasi.29
Harga bunga ini tidak dipengaruhi oleh presentase keuntungan atau
kerugian, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Undang-undang negara.
2. Kepentingan pemilik bank dan lembaga keungan.
3. Para penjual valas di pasar modal yang mempengaruhi harga di pasar.
4. Kondisi keuntungan dan pailit.
5. Kondisi penawaran dan permintaan30
Maka bunga tidak dipengaruhi oleh kondisi dana kreditor baik untung
ataupun rugi tetapi dipengaruhi oleh undang-undang negara, kepentingan pemilik
bank dan lembaga keungan dll. Boleh jadi bagian presentase seseorang tinggi
sedangkan yang lainnya rendah sesuai dengan faktor-faktor di atas.
Jika semua harta di simpan dalam satu bank misalnya, apakah mereka
memisahkan setiap deposito atau mencampurkannya?. Sebenarnya bank menerima
deposito dan mencampurnya dalam satu proyek usaha atau meminjamkan kepada
pihak lain.
Sekarang ada pertanyaan apakah boleh mencampur dana yang kelola oleh
dua orang dengan keuntungan yang berbeda?. Menurut para fuqaha muamalah ini
tidak sah kecuali modal, pihak usaha, dan bidang usaha diketahui dengan jelas.31
Maka hendaknya diketahui bahwa harta yan dikelola dalam bidang usaha
tertentu ini miliki seseorang dan keuntungan tertentu pula sesuai dengan
kesepakatan, begitu pula dengan harta-harta lain yang dalam bidang usaha tertentu.
juga harus membedakan antara dua usaha, tidak mencampur harta mudharabah
dengan hartanya sendiri, jika itu terjadi maka ia menjaminnya.32
Perkataan Ibnu Quddamah yang dijadikan dalil oleh Dr. Thanthawi
berkaitan dengan masalah mudharabah antara seorang pemilik modal dan seorang
mudharib.
Adapaun masalah dalam makalah ini dijelaskan oleh Ibnu Quddamah dalam
judul wal-wadi’ah ‘ala qadri al-mal (kerugian disesuaikan dengan jumlah modal) ia
mengatakan : “Jadi kerugian ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai dengan
jumlah modal yang milikinya, jika modal keduanya sama maka kerugian dibagi dua,
jika modalnya keduanya 3/3 maka kerugian yang ditanggung juga 3/3, kami tidak
mengetahui perbedaan dalam masalah ini.33
Hukum ini lebih tepat untuk perbankan dan jika sudah terbukti bahwa dana
yang terkumpul dibank itu tidak jelas di kelola dalam investasi apa,34 karena
keuntungan tidak dibagi antara pihak akad tetapi mereka pasti mendapatkan
peresentase keuntungan baik uasaha tersebut untung ataupun rugi. Jika masalahnya
seperti ini maka maka mudharabahnya fasid (tidak sah).
Dalil ke tujuh
Dr. Thanthawi mengatakan : Hilangnya sadar tanggung jawab (khorrob dzimam)
mengakibatkan pemilik modal mendapatkan perhatian khusus dari pengelola yaitu bank atau
yang lainnya yang mungkin tidak terpercaya (ghairu amin). Ia menyatakan misalnya : saya
tidak untung sedikitpun.., padahal ia beruntung banyak yang menyebabkan kedzaliman
yang dilarang oleh syari’ah.35
Alasan ini bisa dijelaskan dalam dua hal :
1. Kaidah fikih menyebut al-ashlu bara’atu adz-dzimmah36 (asalnya setiap orang
bebas taggung jawab), kalau memang begitu mengapa kita memperkirakan
sebaliknya.
2. Jika –misalnya- bank ghairu amin, mana yang lebih baik tidak investasi di
bank atau sebaliknya?.
Dalil ke delapan
Dr. Thanthawi mengatakan : “Negara dan para fuqaha bisa intervensi kepada para
shunna’ (para pembuat barang) agar menjamin barang yang ada pada mereka dari setiap
kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian mereka. Begitu pula negara boleh intervensi dalam
akad mudharabah untuk menentukan presentasi keuntungan di muka, dan modal dijamin
yang masuk dalam kategori mashalih mursalah”.37
Betul bahwa para fuqaha intervensi kepada para shunna’ (para pembuat
barang) agar menjamin barang yang ada pada mereka dengan illat ihmal (kelalaian).
Ini adalah jaminan bagi para pemilik modal dari orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Di sisi lain shunna’ bekerja dengan sungguh-sungguh dan
menjaga barang yang ada padanya dengan amanah. Dan jika terjadi kerusakan di
luar kemampuannya, maka di luar bertanggung jawabnya.38
Dan hal ini berbeda dengan deposito di bank, di mana bank menentukan
keuntungan di muka, menjamin seluruh modal dari kerugian, dan deposan sangat
yakin bahwa ia akan mengambil bunga sesuai dengan kesepakatan.
Bentuk ini walaupun ada mashlahatnya tetapi bertentangan dengan al-
Qur’an yang qothiyyu ats-tsubut qoth’iyyu ad-dilalah yaitu firman Allah swt :
‫وإنتبتم فلكم رؤوس أموالكم لتظلمون ول تظلمون‬
39

yang artinya : Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS.
2:279(
Allah swt. berfirman :‫ فلكم رؤوس أموالكم لتظلمون‬maksudnya dengan mengambil
tambahan dan ‫ ول تظلمون‬dengan menitip modal juga, bahkan kamu mendapatkan
hasil dari usaha dan kerjamu tanpa ada kelebihan ataupun ada kekurangan.40
Sedangkan Dr. Thanthawi mengatakan boleh menentukan keuntungan di
muka sebagai tambahan dari modal yang dijamin. Pendapat mana yang kita ambil,
perkataan al-Qur’an atau pendapat Dr. Thanthawi?.
Dr. Thanthawi mengkategorikan ini sebagai mashlahat mursalah. Sudah
maklum bahwa jika nash al-Qur’an dan as-Sunnah berupa qoth’iyyu ad-dilalah maka
persepsi adanya mashlahat mursalah hilang pula walaupun maslahat tersebut
dengan landasan qiyas.41 Tetapi qiyas bertentangan dengan nash qothiyyu ats-tsubut
qoth’iyyu ad-dilalah, maka mashlahat tidak bisa dijadikan landasan lagi.
Yang menjadi ashl dalam ‘illat ini adalah para shunna’ (para pembuat
barang) yang menjamin barang yang ada pada mereka dari setiap kerusakan yang
disebabkan oleh kelalaian. Kemudian saat ini hilangnya sadar tanggung jawab
(khorrob dzimam) diqiyaskan dengan ihmal (kelalaian). Apakah ada kesamaan
anatara ‘illat khorrob dzimam dengan ‘illat ihmal dari setap sisi?.
Tentu saja jawabannya tidak, disamping itu sesuai dengan kaidah al-ashlu
bara’atu adz-dzimmah (asalnya setiap orang bebas taggung jawab) bukan sebaliknya.
Jika kita mengkaji syarat-syarat ‘illat, kita akan menemukan bahwa ‘illat ini
berbeda dengan teori syarat-syarat ‘illat yang dikaji oleh para ulama. Diantaranya
syarat : tidak ada mu’arid ar-rajih (dalil rajih yang menentang) terhadap illat ini.
Sedangkan illat ini bertentangan dengan nash dan ijma’.42
Tidak ada nash yang lebih jelas selain nash al-Qura’an yang mengatakan :
‫وإنتبتم فلكم رؤوس أموالكم لتظلمون ول تظلمون‬
43

yang artinya : Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS.
2:279(
Di samping itu juga kesepakat para ulama dalam lembaga kajian fikih.
Di antara syarat illat yang tidak ada adalah qiyas di atas adalah kesamaan
illat dalam ashl dan far’.44
Juga syarat illat yang tidak ada adalah qiyas di atas ‘illat yang ada dalam far’
tidak melahirkan hukum lain yang berbeda dengan hukum ashl.45 Hilangnya sadar
tanggung jawab (khorrob dzimam) yang ada pada bank menuntuk kita menunggu
sampai membaik dan stabil dan sesuai dengan syari’at. Adapun menjamin shunna’
(para pembuat barang) barang yang ada pada mereka dari setiap kerusakan yang
disebabkan oleh kelalaian tidak menuntut meninggalkan mereka, tetapi minimal
dengan menjamin mereka dengan cara yang baik. Berbeda dengan bank yang
mengambil harta bukan haknya bahkan berupa tambahan dari modal.
Di samping itu di antara syarat illat yang lain adalah kejelasan ‘illat (wudhuh
al-’illat) yang tidak ada dalam qiyas di atas, karena hilangnya sadar tanggung jawab
(khorrob dzimam) itu illat yang tidak jelas, Sedangkan ketentuannya ‘illat itu tertentu
dab jelas.46
Dalil ke sembilan
Dr. Thantawi mengatakan : Tidak ada seorang Imampun yang mengatakan bahwa
penentuan keuntungan di muka dalam akad mudharabah merubahnya menjadi akad ribawi
sekaligus keuntungan yang dihasilkan dari investasi menjadi haram. Tetapi para fuqaha
hanya ijma bahwa akad mudharabahnya fasid (tidak sah) karena penentuan keuntungan
tersebut.47
Jika para fuqaha sudah ijma bahwa akad mudharabahnya fasid (tidak sah),
apakah itu maksudnya akad tersebut harus dilanjutkan walaupun fasid. Karena akad
yang fasid itu menunjukan akad tersebut telah berakhir, oleh karena itu tidak ada
riba atau yang lainnya karena akad sudah selesai, karenannya mereka
menghukuminya setiap akad mudharabah yang salah satu pihak akadnya
mensyaratkan tambahan itu fasid.
Para fuqaha –sejauh pengetahuan kami- tidak pernah menyinggung akad itu
tetap berlangsung seperti ini, karena sudah jelas bahwa pendapat mereka adalah
hukum yang harus diamalkan. Tidak logis jika dilanggar karena pendapat mereka
berdasarkan syari’at.
Jika akadanya fasid, apakah kita membolehkannya kemudian menjadikannya
ashl dalam mengqiyaskan far’ ( menjamin keuntungan dan modal di bank)
kemudian menghukuminya dengan sah juga? Seharusnya minimal kita
menghukuminya dengan fasid dan mengharamkannya tidak dengan mengatakan
akad tersebut terus berlangsung dan mengqiyaskannya.
1 () Ustadz Sa’id Hawa mengatakan bahwa modal tidak menghasilkan keuntungan dengan sendirinya tetapi bagi yang lain itu menghasilkan keuntungan. Setelah itu modal tidak menghasilkan keuntungan
dengan kesiapannya dalam menanggung kerugian. Jadi sekedar modal hanya mengakibatkan berkurang dengan zakat dan tidak melahirkan keuntungan jika tanpa imbalan. Lihat al-Islam, Said Hawa juz I hal.

96, cet. Wahbah Kairo, Syawwal 1407/Juni 1987.


Lihat juga Haqo’iq wa Syubuhat haula Wada’i al Bunuk wa Syahadatu al Istitsmar wa Shonadiq at-Taufir , Syekh Muhammad Abdullah al-Khotib dan yang lainnya, hal. 53

2)) Surat al-Baqarah ayat 279.


3)) Ahkamu al-Qur’an, Abu Bakar Ahmad ar-Rozi al-Jashosh (wafat tahun 370 H) Jilid I hal. 637 – 638, cet. Dar al-Fikr 1313 H/1993 M.
4)) Opcit, hal 641.
5 )) al-Mughni dan Syarh al-Kabir Matn al-Muqni’ fi fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal karangan Muwaffiquddin Ibnu Quddamah dan Syamsuddin Ibnu Quddamah, jilid IV hal. 390, Cet. Dar al-Fikr al-Arabi

Beirut 1414 H/1994 M.


6 () Bai al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira kama Tujrihi al-Masharif al-Islamiyah fi Dhoui an-Nushush wa al-Qawaid asy-Syar’iyyah karangan Dr. Yusuf Qardhawi hal. 29, 111, Maktabatu wahbah cet. II

1407/1987.
7() Ahkamu al-Qur’an, Abu Bakar Ahmad ar-Rozi al-Jashosh (wafat tahun 370 H) Jilid I hal. 635, cet. Dar al-Fikr 1313 H/1993 M.

8() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syar’iyyah hal. 126.


9(( Opcit hal. 98.

10(( Lihat Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syar’iyyah hal. 137 - 138.


11() Lihat I’lamu al-Muqi’in karangan Ibnu al—Qayyim juz I hal. 14.
12() ‘Illat dalam tas’ir itu dzulm (kedzaliman) dan istighlal (eksploitasi), sedangkan dalam riba adalah tambahan dan dzulm (kedzaliman) dan istighlal (eksploitasi) adalah diantara hikmah diharamkannya riba.
13() al-Majmu’ syarh al-Muhadzab takmilatu asy-Syekh muhammad Najib Muthi’i juz XII hal. 359, cet. Makatabat al-Irsyad Jeddah Saudi Arabia tanpa tanggal.

14() ‘Uqud at-Ta’min, Prof. Dr. Muhammad Baltaji Hasan hal. 36


15() Haqa’iq wa asy-Syubuhat wada’i al-Bunuk karangan Syekh Khotib dan yang lainnya hal. 52, Dar al-Manar cet. II 1410/1990. Lihat juga Majalah Iqtishad al-Islami edisi 101 hal.63 Rabi’u ast-tsani

1410/Nopember 1989.
16() Lihat : al-Anwar as-Sathi’ah fi Thuruqi Itsbati al-‘Illat al-Jami’ah karangan Prof. Dr. Ramadhan Abdul Wadud Abdu at-Tawwab (Guru besar Ushul Fiqh Fakultas Syari’ah Qanun Univ. Al-Azhar) hal.51, dar-

Alhuda 1406/1986.
17() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syar’iyyah hal. 137.
18() Dhawabith al-Mashlahat fi asy-Syari’ah al-Islamiyah karangan Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi hal. 62,63, Mu’assasatu ar-Risalah, cet. VI 1412/1992.
19( (Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syar’iyyah hal. 138, 139.

20() Haqa’iq wa asy-Syubuhat wada’i al-Bunuk karangan Syekh Khotib dan yang lainnya hal. 84, Dar al-Manar cet. II 1410/1990. Lihat juga tulisan Syekh Muhammad Mushtafa Syalabi (Anggota Majma’ Buhuts
al-Islamiyah dan Guru besar Univ. Kairo) dalam majalah Iqtishad al-Islami edisi 101 hal. 38 Rabi’u ast-tsani 1410/Nopember 1989.
21() Fiqh as-Sunnah karangan Sayyid Sabiq Juz III hal. 213.
22() Al-Mudawwanah al-Kubra karangan Imam Malik juz XII hal 86, al-Bab al-Halabi –tanpa tanggal- dengan riwayat Imam Sahnun bin Sa’id at-Tunukhi dari Imam Abdurrahman bin Qasim dari Imam Malik r.a.

23() Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab karangan Asy-Syairazi takmilatu asy-Syekh muhammad Najib Muthi’i juz V hal. 160, cet. Makatabat al-Irsyad Jeddah Saudi Arabia tanpa tanggal. Lihat juga : Fath al-Qadir juz
VII hal.417 dalam kitab ibi diterangkan bahwa akad mudharabah menjadi fasid dengan disyaratkannya beberapa dirham kepada salah stu pihak akad.

24() ‘Uqud at-Ta’min, Prof. Dr. Muhammad Baltaji Hasan hal. 38 – 40.
25() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syar’iyyah hal. 138.
26() Lihat juga tulisan Sa’id Bin Ahmad al-Lutah (President Direktur Isamic Bank Dubai) dalam majalah Iqtishad al-Islami edisi 97 hal. 15 Dzulhijjah 1409/Nopember 1988.
27() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syar’iyyah hal. 139 - 138.

28() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syar’iyyah hal. 139.


29() Haqa’iq wa asy-Syubuhat wada’i al-Bunuk karangan Syekh Abdullah Khotib dan yang lainnya hal. 56, lihat juga Majalah Iqtishad al-Islami edisi 101 hal.66 Rabi’u ast-tsani 1410/Nopember 1989.
30() Haqa’iq wa asy-Syubuhat wada’i al-Bunuk karangan Syekh Abdullah Khotib dan yang lainnya hal. 56, lihat juga Majalah Iqtishad al-Islami edisi 101 hal.66 Rabi’u ast-tsani 1410/Nopember 1989.
31() al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab karangan Asy-Syairazi Takmilatu asy-Syekh Muhammad Najib Muthi’i juz XV hal. 156, cet. Makatabat al-Irsyad Jeddah Saudi Arabia tanpa tanggal

32() al-Mughni dan Syarh al-Kabir Matn al-Muqni’ fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal karangan Muwaffiquddin Ibnu Quddamah dan Syamsuddin Ibnu Quddamah, jilid V hal. 162 - 163, Cet. Dar al-Fikr al-
Arabi Beirut 1414 H/1994 M.

33() Opcit Juz V hal. 147.


34() Jika digunakan untuk keperluan ini bukan untuk kredit berbunga.

35() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syar’iyyah hal. 139 - 140.


36() Syar al-qawa’id al-Fiqhiyyah karangan Syekh Ahamad Bin Syekh Muhammad az-Zarqa hal. 105, dar Alqolam, cet. kedua 1409/1989.
37() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syar’iyyah hal. 140 – 141.
38() Lihat : Dhaman al-‘Udwan fi al-Fiqh al-Islami karangan Dr. Muhammad Ahmad Siraj hal.319, dar ats-Tsaqafah, cet pertama 1409/1989.

39() Surat al-Baqarah ayat 279.


40() Lihat : Tafsir Ibnu al-Katsir Juz I hal 355.

41() Dhawabith al-Mashlahat fi asy-Syari’ah al-Islamiyah karangan Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi hal. 120, Mu’assatu ar-Risalah, cet. VI 1412/1992.
42()Lihat : al-Anwar as-Sathi’ah fi Thuruqi Itsbati al-‘Illat al-Jami’ah karangan Prof. Dr. Ramadhan Abdul Wadud Abdu at-Tawwab (Guru Besar Ushul Fiqh Fakultas Syari’ah Qanun Univ. Al-Azhar hal. 43, dar-

Alhuda 1406/1986.
43() Surat al-Baqarah ayat 279

44((Lihat : al-Anwar as-Sathi’ah fi Thuruqi Itsbati al-‘Illat al-Jami’ah karangan Prof. Dr. Ramadhan Abdul Wadud Abdu at-Tawwab (Guru Besar Ushul Fiqh Fakultas Syari’ah Qanun Univ. Al-Azhar hal. 51, dar-
Alhuda 1406/1986.
45() Opcit hal. hal. 52
46() Opcit hal. 55.
47() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syar’iyyah hal. 142.

You might also like