Silahkan download e-book ini di halaman download pada situs
www.tinyurl.com/syariah
Judul : Bunga Bank... Antara Keharaman dan Kebolehan (1)
(Fatwa bungan Bank dari Dr. Thanthawi ke Majma’ al-Buhuts) Judul asli : Fawa’id al-Bunuk… Sajalatu at-Tahrim wa al-Ibahah Penulis : Muhammad al-Bana dan Wisam Fuad Sumber : Web site Islam online (20/12/2002). Penerjemah : Tim Pakeis
Bulan Oktober tahun 2002, legalitas bunga bank konvenaional mencuat
kembali. Sebelumnya masalah ini sudah ditetapkan setelah para fuqaha dan Ekonom Muslim setelah berturut-turut memberikan jawaban dan sanggahan terhadap Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi ini. Ketika itu –setelah banyaknya tanggapan terhadap beliau- beliau nampaknya meralat kembali fatwa tersebut setelah menulis bukunya yang terkenal “Mu’amalatul bunuk wa ahkaamuha al- syar’iyyah”. Mungkin alasan berubahnya fatwa beliau kembali pada kaidah bahwa siapa yang berijtihad kemudian benar dalam ijtihadnya maka ia mendapatkan dua pahala dan barang siapa yang berijitihad kemudian salah dalam ijtihadnya maka ia mendapatkan satu pahala. Kemudian masalah hukum bunga bank ini muncul kembali ketika pada tanggal 22 Oktober 2003 Dr. Hasan ‘Abbas Zakki salah seorang anggota Majma’ al- Buhust al-Islamiyah (lembaga Riset Islam al-Azhar), juga mantan menteri ekonomi yang kini menjabat menjadi Direktur Bank syarikah al- mashrifiyah al-dauliyahl al-‘arabyah mengirimkan surat kepada Dr. Thanthawi menanyakan kembali hukum Islam tentang investasi uang di bank dengan pembatasan keuntungan di muka. Menanggapi pertanyaan tersebut, Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi mengajukan masalah ini ke Majlis Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah yang kemudian membicarakannya dalam sidangnya pada hari kamis tanggal 31 Agustus 2002 bertepatan tanggal 25 Sya’ban 1423. Setelah dialog yang panjang, tepatnya tanggal 28 November 2002 bertepatan dengan tanggal 23 Ramadlan 1423, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah mengeluarkan fatwa bahwa menginvestasikan uang di bank dengan menetapkan keuntungan di muka hukumnya boleh dan tidak bertentangan dengan agama Islam. Fatwa ini ditanda tangani oleh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi.
Dari Fatwa Majma’ al-Buhuts ke Fatwa Sekh al-Azhar
Meskipun fatwa yang menjadi bahan kajian dalam makalah ini adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Majma’ al-Buhust al–Islamiyah, dan kedudukan Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi sebagai anggota Majma’ tersebut, namun fatwa ini tidak menjelaskan seluruh dalil-dalil yang bisa di jadikan sandaran dalam menghukumi kebolehan bunga bank. . Oleh kaena itu, buku yang ditulis oleh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi menjadi refrensi utama dalam fatwa ini, karena buku ini lebih mendalam dan mencakup seluruh dalil-dalil yang mendukung pendapat ini. Karenanya, kami melihat bahwa ada baiknya kita menganalisa kembali dalil- dalil yang di gunakan oleh beliau dalam bukunya “Mu’amalatul bunuk wa ahkaamuha al- syar’iyyah” untuk mengkaji ulang pendapat ini dan tanggapan para ulama terhadap dalil-dalil fatwa ini. Menurut beliu, hukumnya boleh melakukan transakasi dengan bank yang menetapkan keuntungan di muka. Ia mengatakan : “Kami tidak menemukan nash syar’i ataupun qiyas yang melarang menentukan keuntungan di muka, selama penetapan keuntungan ini atas dasar ridha kedua pihak. Oleh karena itu hukumnya boleh bagi orang yang ingin berinteraksi dengan bank konvensional. Karena yang menjadi standar haram dan tidaknya suatu transaksi itu bukan di sebabkan adanya penentuan atau tidaknya, akan tetapi karena tidak adanya unsur penipuan, riba, kedzaliman dan sifat-sifat tercela yang dilarang syari’at Islam.
Dalil Fatwa Syekh al-Azhar
Beliau berdalil dengan beberapa hal yang kami ringkas dalam poin-poin berikut ini : 1. bahwa permasalahan penentuan keuntungan di muka itu termasuk masalah ekonomi di mana dasarnya adalah suka sama suka, dan bukan masalah akidah atau ibadah yang tidak boleh dirubah. 2. Bahwa di terapkanya syariah Islam itu demi menjaga kemashlahatan manusia di setiap masa dan tempat. Terkadang mashlahat ini nampak sekilas bertentangan dengan sebagian nash dari Rasulullah saw. Beliau berdalil dengan hadits tas’ir yang diriwayatkan oleh sahabat Anas ra. قال الناس يا رسول ال غل السعر فسعر لنا فقال ص إن ال هو المسعر القايض الباسط الرازق وإني لرجو أن ألقى: قال .ال وليس أحد منكم يطالبني بمظلمة في دم أو مال Artinya : Anas ra berkata : orang-orang berkata, wahai Rasulullah saw harga menaik, maka batasilah harga kepada kami. Rasulullah saw menjawab : Sesungguhnya Allah yang membatasi harga, yangmengenggam, pemberi rizqi dan aku berharap menemui Allah swt tanpa ada satu orangpun yang menuntut kedzaliman yang dilakukan olehku dalam jiwa atau harta. Kemudian Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi mengomentari hadits ini : “walaupun Rasulullah saw tidak memenuhi permintaan mereka unutk membatasi harga barang –karena yangmenjadi ashl itu tidak boleh tas’ir- kita banyak mendapatkan para fuqaha membolehkan pemerintah untuk menetapkan harga suatu barang ketika para peagang telah menimbun barang yang sangat dibutuhkan masyarakat atau naiknya harga barang. Beliau kemudian mengambil konklusi dengan sebuah qias yang aneh ia mengatakan : Dengan menganalogikan penentuan bunga bank dengan tas’ir, maka jika pemerintah melihat -setelah konsultasi dengan orang yang berkompeten dalam masalah ini- bahwa penentuan keuntungan uang di muka itu mendatangkan banyak maslahat dan mampu menjamim keselamatan harta nasabah, mencegah terjadinya perselisihan antara bank dengan para nasabahnya, maka pemerntah berhak melakukan penetapan itu. 3. Boleh menurut syara’ bank sebaga pengelola modal untuk menentukan keuntungan di muka dalam akad mudlarabah antara bank dengan pemilik modal yang menitip uangnya di bank dengan niat investasi. 4. Bank pada dasarnya tidak menetapkan keuntungan tertentu untuk nasabah, kecuali setelah melakukan pengkajian yang mendalam dan terperinci terhadap pasar dunia dan berdasarkan intruksi dari bank central yang berfungsi sebagai pengambil keputusan antara bank dengan para nasabah. 5. Penetapan keuntungan di muka juga menguntungkan para pemilik modal dan pengusaha. Karena pemilik modal akan benar-benar tahu seberapa keuntungan yang akan ia dapatkan, dan pengusaha tertuntut untuk lebih bersungguh-sungguh dalam pekerjaanya. 6. Penetapan keuntungan di muka tidak bertentangan dengan kemungkinan terjadinya kerugian yang dialami pengelola yaitu bank atau pihak lain karena sudah maklum bahwa seluruh proyek uasaha yang bermacam-macam itu jika mengalami kerugian dalam satu usaha tapi mengalami keuntungan dalam usaha yang lain. 7. Khorrob dzimam (hilangnya tanggung jawab) yang membuat pemilik modal mendapat dispensasi dari pengelola yaitu bank atau pihak laian yang mungkin tidak amin (tidak terpercaya) mengatakan : saya tidak untung, padahal usahanya beruntung banyak. hal ini yang menyebabkan terjadinya kedzaliman yang dilarang oleh syari’at. 8. Sebagaimana para fuqaha dan negara intervensi dalam melakukan penjaminan terhadap shunna’ (para pembuat barang) terhadap kerusakan barang yang ada di tangan mereka karena kelalaian. Maka negara berhak intervensi dalam akad mudharabah untuk menntukan prsentase kuntungan di muka dan modal di jamin. Ini termasuk mashlaat mursalah. 9. Tidak ada seorang ulama yang mengatakan bahwa penetapan keuntungan di muka dalam akad mudharabah termasuk transaksi riba yang mengharamkan keuntungan yang dihasilkan dari modal yang diinvestsikan tersebut. Inilah beberapa argumen yeng digunakan oleh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi ini sebagai sandaran yang membolehkan bunga bank yang ianamakan keuntungan.