Professional Documents
Culture Documents
www.tinyurl.com/syariah
Wadi’ah/Titipan/Depository
sebagai Mobilisasi Dana Bank Islam
(Studi Komparatif dengan bank konvensional)
Oleh: Oni Sahroni Lc.
1() Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy-Syuruq, 1983) hal 23 – 31.
2() Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 85.
2
Ayat ini secara tegas menyuruh untuk menunaikan setiap amanat termasuk
di dalamnya menjaga titipan orang lain.
B.2 As-Sunnah
عن أبي هريرة رضي ال عنه قال النبي ص أد المانة من ائتمنك ول تخن من خانك
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rosulullah saw bersabda, “sampaikanlah
(tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat
kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (H.R Abu Dawud dan menurut Tirmidzi
hadits ini hasan, sedangkan Imam Hakim mengkategorikannya shohih).
وروي عنه عليه السلم إنه كان عنده ودائع فلما أراد الهجرة أودعها عند أم أيمن وأمر
عليا ان يردها إلى اهلها
Dan diriwayatkan dari Rosulullah saw, bahwa ia mempunyai (tanggung jawab,pen)
titipan, ketika ia akan berangkat hijrah ia menyerahkannya kepada Ummu Aiman dan ia
(Ummu Aiman. Pen.) menyuruh Ali Bin Abi Tholib untuk menyerahkannya kepada yang
berhak.
B.3. Ijma
Para ulama sudah sepakat bahwa wadî’ah (titipan) itu dibolehkan baik
menitipkan barang atau menerima titipan. Hal ini sesuai dengan tuntutan kehidupan
manusia yang tidak bisa menjaga sendiri seluruh harta miliknya, pada sa’at-sa’at
tertentu ia membutuhkan orang lain untuk menitipkan hartanya.(1)
a. As-Sunnah
عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده أن النبي ص قال ليس على المستودع ضمان
1() - Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy Syuruq, 1983) hal 33 dan 34.
- Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 85 dan 86.
3
Walaupun begitu mudi’ (penitip) bisa memberikan upah atau bonus kepada
wadî (penerima titipan) yang kadarnya diserahkan kepada mudi’ (penitip).
1() - Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy Syuruq, 1983) hal 42 dan 43.
- Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 86.
4
2. Iddikor (menabung)
Iddikhor atau dikenal dengan istilah menabung artinya “Menyisihkan sebagian
dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan untuk diinvestasikan”.(1)
Iddikhor (menabung) mempunyai kesamaan dengan wadi’ah (titipan), kedua-
duanya harta yang disimpan. Yang pertama tabungan baik disimpan oleh pemiliknya
ataupun diserahkan kepada orang lain, tetapi wadi’ah (titipan) menyerahkan harta
kepada orang lain untuk menjaganya. Dan jika seseorang menyerahkan titipan kepada
orang lain untuk menjaganya itu berarti ada akad wadi’ah dengan tujuan iddikhor
(menabung). Oleh karena dalam muamalat iddikhor (menabung) bukan sebuah akad
karena tidak berhubungan dengan iltizamat (tanggung jawab) antara kedua belah
pihak akad.
E. Tanggung jawab Mudi’ (penitip) dan wadi’ (penerima titipan) dan pelanggaran
amanat.
E.1 Tangung jawab
Sebagai transaksi yang mengikat kedua belah pihak, keduanya mempunyai
tanggung jawab yang harus dilaksanakan juga berkaitan dengan pelanggaran
terhadap hal-hal yang bertentangan dengan substansi akad wadî’ah (titipan).
Tanggung jawab mudi’ (penitip) akan lebih dahulu dijelaskan karena pada dasarnya
ia yang menyerahkan tanggung jawab kepada wadî’ (penerima titipan), oleh karena
itu praktis menjaga titipan menjadi tanggung jawab wadî’ (penerima titipan).
1() Dr. Qutub Mushtofha Sano, al-Muddakhorôt (Yordania Dar an-Nafâ’is 2001)
5
2.b Pelanggarannya,
i. Taqshir.
Bentuk-bentuk taqshir dari pihak wadî’ (penerima titipan) bermacam-macam,
namun yang akan disebutkan di sini sebab-sebab yang berhubungan erat dengan
muamalah kontemporer khususnya perbankan, begitu juga dengan penjelasannya
disesuaikan dengan keterkaitan sebab tersebut dengan aktualitasnya. Diantara
sebab-sebab tersebut adalah
1. Menjaganya tidak sesuai dengan amanat.
Dalam akad wadî’ah (titipan), pihak mudi’ (penitip) ada kalanya menyerahkan
sepenuhnya kepada wadî’ (penerima titipan) untuk menjaganya tanpa ada batasan
apapun.
Dan adakalanya pihak mudi’ (penitip) memberikan batasan-batasan tertentu
yang harus dipatuhi oleh wadî’ (penerima titipan). Oleh karena itu jika wadî’
(penerima titipan) melanggar aturan ini, maka ia menjamin titipan tersebut. Seperti
jika mudi’(penitip) meminta dalam akad agar uang titipannya disimpan di bank
1 () Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy Syuruq, 1983) hal 169 dan 170 dengan tambahan
keterangan dari penulis.
2() Opcit hal. 84 - 87
6
ii. Ta’addi.
Perbedaan antara taqshir dengan ta’addi, yang pertama kelalaian wadî’
(penerima titipan) karena ia tidak mematuhi akad wadî’ah (titipan), sedangkan
ta’addi adalah setiap prilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang tersebuut.
Di antara bentuk taqshir tersebut menghilangkannya dengan sengaja. Maksudnya
adalah ketika wadî’ (penerima titipan) melakukan hal-hal yang menyebabkan titipan
tersebut hilang atau rusak, maka ia harus menggantinya.
Di samping itu memanfaatkan barang titipan, pelanggaran ini sebenarnya
yang banyak terjadi pada muamalah kontemporer terutama perbankan. Ada tiga
bentuk pemanfaatan titipan tersebut, yaitu ;
1. Mengkonsumsi titipan
Dengan mengkonsumsi titipan tersebut ia menjamin jika habis atau rusak
karena dikonsumsi, atau jika dipakainya dan barang tetap utuh, wadî’ (penerima
titipan) tetap harus menggantinya dengan upah berupa ujrotu al mitsl (upah seperti
barang tersebut).
2. Menyewakannya.
Jika wadî’ (penerima titipan) menyewakan titipan tersebut untuk
mendapatkan keuntungan dari hasil penyewaan tersebut, maka itu adalah ta’addi,
yang mewajibkannya untuk menjamin titipan tersebut.
3. Meminjamkannya.
Jika memanfa’atkan dan menyewakannya termasuk ta’addi terhadap amanah,
terlebih lagi meminjamnya karena dengan meminjamnya wadî’ (penerima titipan)
memiliki manfaat barang dan menjadi dzimmahnya (tanggung jawab) tersebut. Oleh
karena itu tanggung jawab wadî’ (penerima titipan) bukan lagi yad amanah (tidak
menjamin) tetapi yad dhoman (tangan penjamin) seperti yang telah dijelaskan di
muka.
Seperti halnya bank meminjam titipan setiap nasabah dan menyerahkannya
kepada para pemanfaat dana dan bank menjamin uang yang dipinjamkan tersebut.
3. Menginvestasikanya.
Wadî’ (penerima titipan) juga tidak dibolehkan untuk menginvestasikannya
seperti halnya meminjamkannya, karena kedua-duanya telah mengambil
kepemilikan manfaat barang tersebut dalam dzimmahnya (tanggung jawab).
Menginvestasikan modal tersebut tanpa seidzin mudi’ (penitip) hukumnya
haram. Di samping itu wadî’ (penerima titipan) menjamin titipan yang
diinvestasikan tersebut baik atas idzin dari mudi’ (penitip) ataupun tidak, baik wadî’
(penerima titipan) dalam kondisi mu’sir (kesulitan) atau musir (berkecukupan).
Jika investasi tersebut menghasilkan keuntungan, para ulama berbeda
pendapat mengenai hak milik keuntungan ini,
Pertama, Menurut madzhab Maliki, Laits, Abu Sufyan dan Abu Yusuf, keuntungan
tersebut milik wadî’ (penerima titipan)’ dengan dalil;
1. Karena wadî’ (penerima titipan) yang menjamin titipan tersebat sampai
dikembalikan kepada pemiliknya.
2. Sesuai dengan kaidah al gunmu bi al gurmi (keuntungan sesuai dengan resiko
kerugian).
Kedua, Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, keuntungan tersebut harus
disedekahkan oleh wadî’ (penerima titipan) dan tidak boleh dimanfaatkan karena
keuntungan tersebut hasil usaha yang dilarang yaitu investasi titipan, dan
penyaluran keuntungan tersebut melalui sedekah sebagaimana perkataan
Rosulullah saw kepada para pedagang di pasar.
8
يا معشر التجار إن تجارتكم هذه يحضرها اللغو والكذب فشوبوها باالصدقة
Sesungguhnya tijaroh kamu ini ada lagh (main-main) dan kebohongan, maka
bersihkanlah dengan shodakoh.
Tetapi dalil ini seperti yang dikatakan Dr. Amin Abdullah menunjukan
perintah kepada para pedagang untuk memperbanyak sedekah sebagai penghapus
dosa-dosa dalam usaha mereka. Disamping itu jika penafsiran madzhab Hanafi ini
diterapkan, maka orang enggan melakukan investasi karena tidak mendapatkan
keuntungan.
Ketiga, Keuntungan di bagi antar wadî’ (penerima titipan) dengan mudi’ (penitip)
sesuai dengan akad mudhorobah (transaksi bagi hasil).
Dalilnya adalah Ketika Abu Musa al Asy’ari menitip uang kepada abdullah dan
Ubaidillah ; putra Umar bin Khottob untuk diserahkankepada Umar dan menyuruhnya
untuk menginvestasikannya, kemudian modalnya diserahkan kepada Umar dan sebagian
keuntungannya diambil oleh Abdullah dan Ubaidillah.
Syekh az Zarqoni mengomentari kisah ini, bahwa sebagian keuntungan saja
yang dikembalikan oleh Umar kepada kedua anaknya itu hanya menunjukan
kewara’an Umar karena ia hawatir pemberian itu disebabkan Abu Musa
mengutamakan kedua anaknya dari anggota pasukan yang lain. Jika anggota
pasukan lain yang melakukan hal tersebut pasti seluruh keuntungannya diberikan
kepada mereka (wadî’/penerima titipan’). (1)
1 () Lihat Dr. Hasan Abdullah Amin, , al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy Syuruq, 1983) dari hal 90 - 143 dengan tambahan
dari penulis berupa kesimpulan dan keterangan.
9
1. Setor modal
Investor Bank
Shohibul sahm Musyarik
(pemegang (parter)
saham)
4. Bagi deviden
2. Pemanfa’at
3. Bagi hasil
dana
User
Keterangan
Salah satu sumber dana bank berasal dari pemegang saham dengan setoran
modal, kemudian disalurkan menjadi pembiayaan. Dalam satu periode pembukuan,
sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham, investor akan mendapatkan hasil dalam
bentuk deviden.(1)
b. Wadî’ah (titipan) sebagai modal bank terbesar bank islam meliputi dua yaitu
Pertama, Titipan.
Ada dua kategori titipan dalam bank islam yaitu,
i. Wadi’ah jariyah (tahta tholab) yaitu suatu titipan, di mana penyimpan
berhak mengambilnya kapan saja baik cash ataupun dengan cek
atapun melalui nasabah pihak ketiga.
ii. Wadi’ah Iddikhoriyah (at taufir), Ciri-ciri simpanan ini adalah
kecinya simpanan dan banyaknya jumlah nasabah penyimpan
dan bank menyalurkannya untuk investasi dengan akad
mudhorobah muthlaqoh.
Dua jenis simpanan ini pada prakteknya, bank memanfaatkannya untuk
keperluan investasi dan mengembalikan simpanan. Berbeda dengan konsep wadi’ah
dalam fiqh di mana wadî’ (penerima titipan) harus mengembalikan barang
simpanan tersebut. Maka dengan begitu yad (kepemilikan) bank islam terhadap
simpanan tersebut adalah yad dhoman/guarantee Depository (penjamin).(2)
Lebih lanjut Syafi’i Antonio menjelaskan karakteristik kedua jenis simpanan
ini yaitu:
1() Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 146 dan 147.
2() Muh. Jalal Sualiman, al-Wadâi’ al-istitsmâriyah fi al-bunûk al-islâmiyah, (Kairo, IIIT 1996) hal. 22 dan 23.
10
1. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang
menerima titipan.
2. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. sekalipun demikian tidak ada keharusan bagi
penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
3. Produk perbankan yang sesuai dengan akad in adalah yaitu giro dan
tabungan.
4. Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung
berdasarkan presentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syari’ah,
pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak
ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak
sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
5. Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen
bank syari’ah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah
titipan.
6. Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi'âh (titipan) karena
pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa
diambil setiap saat. Perbedaanya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek
atau alat lain yang dipersamakan.
Mekanisme wadî’ah yad ad dhomân (titipan yang dijamin) dapat digambarkan
dalam skema sebagai berikut,
1. Titip dana
Nasabah Bank
(penitip) Mustawda’
(penyimpan)
4. Beri bonus
User of Fund
(Nasabah
pengguna
dana)
Jasa Giro
No. Bonus (‘Athoya)
1. Diperjanjikan Tidak diperjanjikan
2. Disebutkan dalam akad Benar-benar merupakan budi baik ban
Ditentukan sesuai dengan keuntungan
3. Ditentukan dalam presentase tetap
riil bank
1() Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 149 - 150
11
2. Pemanfaat
1. Titip dana dana
Penabung Dunia
/ Bank usaha
1. Proyek tertentu
Special Bank
Project Mudhorib
4. Penyaluran dana
5. Bagi hasil
3. 2. Hubungai
Investd investor
6. Bagi hasil
ana
Investor
Shohibul mal
Pemilik modal
Dari skema ini jelas, bahwa dalam aplikasi bentuk ini, bank mencari
proyek investasi terlebih dahulu kemudian menawarkannya kepada penitip dana.(2)
2 Bank konvensional
Sebagai perbandingan berikut ini akas dijelaskan bentuk – bentuk simpanan
yang dipraktekan oleh bank-bank konvensional di Indonesia.
Idealnya, dana yang berasal dari masyarakat ini, merupkan suatu tulang
punggung (basic) dari dana yang harus dikelola oleh bank untuk memperoleh
keuntungan. Dalam dunia perbankan, dana yang berasal dari masyarakat luas ini
secara tradisional terdiri dari:
1() Dr. Muh. mun’im Abd. Zaid, Nahwa tathwîr nidhôm al-mudhôrobah fi al-mashôrif al-islâmiyah, (Kairo IIIT 2000) hal 209.
2()- Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 152.
Dr. Muh. mun’im Abd. Zaid, Nahwa tathwîr nidhôm al-mudhôrobah fi al-mashôrif al-islâmiyah, (Kairo IIIT 2000) hal 199.
13
1() Tim STIE-Perbanas, Kelembagaan perbankannasional, Jakarta Gramedia 1999 (hal 33-48)
14
b. Perbandingan (1)
Bank syariah Bak Konvensonal
Besar-kecilnya bagi hasil yang diperoleh Besar-kecilnya bunga yang diperoleh
deposan bergantung pada: deposan bergantung pada:
a. Pendapatan bank a. Tingkat bunga yang berlaku
b. Nisbah bagi hasil antara nasabah b. Nominal deposito
dan bank c. Jangka waktu deposito
c. Nominal deposito nasabah
d. Rata-rata saldo deposito untuk
jangka waktu tertentu yang ada
pada bank.
e. Jangka waktu deposito
berpengaruh pada lamanya
investasi
1() Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 144 – 145.
15
Daftar Referensi:
1. Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyyah wa istitsmâriha fi al-islâm
(Jeddah dar asy-Syurûq, 1983)
2. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal. 85.
3. Dr. Qutub Mushtofa Sano, al-Muddakhorôt (Yordania dar an-Nafâ’is 2001)
4. Muh. Jalal Sulaiman, al-Wadâ’i al-istitsmâriyah fi al-bunûk al-islâmiyah, (Kairo IIIT 1996).
5. Dr. Mun’im Abd. Zaid, Nahwa tathwir nidhôm al-mudhôrobah fi al-mashôrif al-islâmiyah, (Kairo
IIIT 2000)
6. Tim STIE – Perbanas, Kelembagaan perbankan nasional, Jakarta Gramedia 1999.