You are on page 1of 7

Teori mengenai perkembangan dan factor yang yang mempengaruhi perkembangan oleh Jamridafrizal,S.Ag.S.S.M.Hum 1.

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Dalam mempelajari perkembangan manusia diperlukan adanya perhatian khusus mengenai hal- hal sebagai berikut: 1) proses pematangan, khususnya pematangan berfungsi kognotif ; 2) proses belajar ; 3) pembawaan atau bakat. Ketiga hal ini berkaitan erat satu sama lain dan saling berpengaruh dalam perkembangan kehidupan manusia tak terkecuali para siswa sebagai peserta didik kita. Apabila fungsi kognitif, bakat dan proses belajar seorang siswa dalam keadaan positif, hampir dapat dipastikan siswa tersebut akan mengalami proses perkembangan kehidupan secara mulus. Akan tetapi, asumsi yang menjanjikan seperti ini sebenarnya belum tentu terwujud, karena banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses perkembangan siswa dalam menuju cita-cita bahagianya. Adapun mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa, para ahli berbeda pendapat lantaran sudut pandang dan pendekatan mereka terhadap eksistensi siswa tidak sama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini penyusun paparkan aliran- aliran yang berhubungan dengan faktor- faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa. A. Aliran Nativisme Nativisme ( nativism ) adalah sebuah doktrin filosofis yang berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran ini bernama Arthur Schopenhauer ( 1788- 1860 ) seorang filosof jerman. Aliran filsafat nativisme konon dijuluki sebagai aliran pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam. Mengapa demikian ? Karena para ahli penganut aliran ini berkeyakinan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembaawaannyan, sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh apa- apa. Dalam ilmu pendidikan, pandangan seperti ini disebut pesimisme pedagogis . Sebagai contoh, jika sepasang orangtua ahli musik, maka anak- anak yang mereka lahirkan akan menjadi pemusik pula. Harimaupun hanya akan melahirkan harimau, tak akan pernah melahirkan domba. Jadi, pembawaan dan bakat orangtua selalu berpengaruh mutlak terhadap perkembangan kehidupan anak- anaknya selalu berpengaruh mutlak terhadap perkembangan kehidupan anak- anaknya. Benarkah postulat ( anggapan dasar ) ini dapat terus bertahan. Ambillah contoh, sepasang suami- istri yang memiliki keistimewaan di bidang politik, tentu anaknya menjadi politikus pula. Namun, apabila lingkungan, khususnya lingkungan pendidikannya tidak menunjang misalnya karena ia memasuki sekolah pertanian, sudah tentu ia tak akan pernah menjadi politisi tetapi petani. Aliran nativisme hinggga kini masih cukup berpengaruh di kalangan beberapa orang ahli, tetapi sudah tidak semutlak dulu lagi. Di antara yang dipandang sebagai nativis ialah Noam A.Chomsky kelahiran 1928, seorang ahli linguistik yang sangat terkenal saat ini. Chomsky menganggap bahwa perkembangan penguasan bahasa pada manusia tidak dapat dijelaskan sematamata oleh proses belajar, tetapi juga ( yang lebih penting ) oleh adanya biological predisposition ( kecenderungan biologis ) yang dibawa sejak lahir. Namun demikian, Chomsky tidak menafikan sama sekali peranan belajar dan pengalaman berbahasa, juga lingkungan. Baginya, semua ini ada pengaruhnya, tetapi pengaruh pembawaan bertata bahasa jauh lebih besar lagi bagi perkembangan bahasa manusia ( Bruno, 1928 ) B. Aliran Empirisisme Kebalikan dari aliran nativisme adalah aliran empirisisme ( empiricism ) dengan tokoh utama John Locke ( 1632- 1704 ). Namun asli aliran ini adalah The school of Britis Empiricism ( aliran empiricisme Inggris ). Namun aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir Amerika Serikat sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama environmental psychology ( psikologi lingkungan ) yang relatif masih baru ( Reber, 1988 ).

Doktrin aliran empirisisme yang amat mashyur adalah tabula rasa , sebuah istilah bahasa latin yang berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong ( blank slate / blank tablet ). Doktrin `tabula rasa menekankan arti penting pengalaman, lingkungan, dan pendidikan dalam arti perkembangan manusia itu semata- mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ini, para penganutempirisisme ( bukan empirisme ) menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa- apa. Hendak menjadi apa sorang anak kelak bergantung pada pengalaman / lingkungan yang mendidiknya. Jika seorang siswa memperoleh kesempatan yang memadai untuk mempelajari ilmu politik, tentu kelak ia akan menjadi seorang politisi. Karena ia memiliki pengalaman belajar di bidang politik, ia tak akan pernah menjadi pemusik, walaupun orangtuanya pemusik sejati. Memang amat sukar dipungkiri bahwa lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap proses perkembangan dan masa depan siswa.Dalam hal ini, lingkungabn keluarga ( bukan bakat pembawaan dari keluarga ) dan lingkungan masyarakat sekitar telah terbukti menentukan tinggi rendahnya mutu perilaku dan masa depan seorang siswa. Kondisi sebuah kelompok masyarakat yang berdomisili di kawasan kumuh dengan kemampuan ekonomi di bawah garis ratr- rata dan tanpa fasilitas umum seperti mesjid, sekolah, serta lapangan olah raga telah terbukti menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan anak- anak nakal. Anak- anak di lingkungan seperti ini memang tak punya cukup alasan untuk tidak menjadi brutal, lebih- lebih apabila kedua orang tuanya kurang atau tidak berpendidikan. Faktor orangtua atau keluarga terutama sifat dan keadaan mereka sangat menentukan arah perkembangan masa depan para siswa yang mereka lahirkan. Sifat orangtua ( parental trait ) yang menyusun maksud ialah gaya khas dalam bersikap, memandang, memikirkan,dan memperlakukan anak. Contohnya ; kelahiran bayi yng tidak dikehendaki ( misalnya akibat pergaulan bebas ) akan menimbulkan sikap dan perlakuan orangtua yang bersifat menolak ( parental rejection ). Sebaliknya, sikap orangtua yang terlalu melindungi anak juga dapat mengganggu perkembangan anak.Perilaku memanjakan anak secara berlebihan ini, menurut hasil penelitian Chazen, et. Al ( 1983) ternyata berhubungan erat dengan penyimpangan perilaku dan ketidakmampuan sosial anak pada kemudian hari. Namun demikian, perlu pula penyusun kemukakan sebuah fakta yang ironis, yakni para siswa yang dijuluki nakal dan brutal khususnya di kota- kota ternyata cukup banyak yang muncul dari kalangan keluarga berada, terpelajar, dan bahkan taat beragama.Sebaliknya, tidak sedikit anak pintar dan berakhlak baik yang lahir dari keluarga bodoh dan miskin atau bahkan dari keluarga yang tidak harmonis di samping bodoh dan miskin, Jadi, sejauh manakah validitas doktrin empirisisme yang telah memunculkan optimisme pedagogis itu dapat bertahan ? C. Aliran Konvergensi Aliran konvergensi ( convergence ) merupakan gabungan antara aliran empirisme dengan aliran nativisme. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas ( pembawaan ) dengan lingkungan sebagai faktor- faktor yang berpengaruh dalam perkembangan mabnusia.tokoh utama konvergensi bernama Louis William Stern ( 1871- 1938 ), seorang filosof dan psikolog Jerman. Aliran filsafat yang dipeloporinya disebut personalisme, sebuah pemikiran filosofos yang sangat berpengaruh terhadap disiplin- disiplin ilmu yang berkaitan dengan manusia. Di antara disiplin ilmu yang menggunakan asas personalisme adalah personologi yang mengembangkan teori yang komprehensif ( luas dan lengkap ) mengenai kepribadian manusia ( Reber, 1988 ). Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia, Stern dan para ahli yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada lingkungan / pengalaman juga tidak berpegang pada pembawaan saja, tetapi berpegang pada kedua faktor yang sama pentingnya itu. Faktor pembawaaan tidak berarti apa- apa jika tanpa faktor pengalaman. Demikian pula sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor bakat pembawaan tidak mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan. Para penganut aliran konvergensi berkeyakinan bahwa baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan andilnya sama besar dalam menentukan masa depan seseorang. Jadi, seorang siswa yang lahir dari keluarga santri atau kiai, umpamanya,kelak ia akan menjadi ahli agama apabila ia dididik di lingkungan pendidikan keagaamaan.

Untuk lebih konkretnya, marilah kita ambil sebuah contoh lagi. Seorang anak yang normal pasti memiliki bakat atau berdiri tegak di atas kedua kakinya.tetapi apabila anak tersebut tidak hidup di lingkungan masyarakat manusia, misalnya kalau dia dibuang ke tengah hutan belantara dan tinggfal bersama hewan, maka bakat beerdiri yang ia memiliki secara turun- temurun darin orangtuanya itu, akan sulit diwujudkan. Jika anak tersebut diasuh sekelompok srigala, tentu ia akan berjalan di atas kedua kaki dan tanganya. Dia akan merangkak seperti srigala pula.Jadi, bakat dan pembawaan dalam hal ini jelas tidak ada pengaruhnya apabila lingkungan atau pengalaman tidak mengembangkannya. Sampai sejauh manakah pengaruh pembawaan jika di bandingkan dengan lingkungan terhadap perkembangan masa depan seseorang ? Jawabanya mungkin berbeda antara orang per orang. Sebagian orang mungkin lebih banyak ditentukan oleh faktor lingkungannya.Namun dalam hal pembawaan yang bersifat jasmaniah hampir dapat di pastikan bahwa semua orang sama,yakni akan berbentuk badan, berambut, dan bermata sama dengan kedua orangtuanya. Sebagai contoh, anak anak keturunan Barat umumnya berambut pirang, berkulit putih, bermata biru, dan berperewakan tinggi besar, karena memang warisan orangtua dan nenek moyangnya demikian. Akan tetapi, dalam hal pembawaan yang bersifat rohaniah sangat sulit kita kenali. Banyak orang yang ahli di bidang X tetapi anaknya ahli di bidang Y . Anak ini sudah di usahakan agar mempelajari di bidang X supaya sama dengan orangtuanya, tetapi ia menolak dan menunjukan kecenderungan bakat Y . Ternyata setelah mengikuti pengajaran bidang Y , anak yang berasal dari keturunan yang ahli di bidang X itu benar- benar ahli di bidang Y bukan bidang X . Apakah anak tersebut telah menyalahi bakat dan pembawaan keturunannya? Banyak bukti yang menunjukan, bahwa watak dan bakat seseorang yang tidak sama dengan orangtuanya itu, setelah ditelusuri ternyata watak dan watak orang tersebut sama dengan kakek atau ayah / ibu kakeknya. Dengan demikian, tidak semua bakat dan watak seseorang dapat diturunkan langsung kepada anak- anaknya, tetapi mungkin kepada cucunya atau anak- anak cucunya.Alhasil, bakat dan watak dapat tersembunyi sampai beberapa generasi. Apakah aliran konvergensi sebagaimana tersebut di atas dapat kita jadikan pedoman dalam arti bahwa perkembamgan seorang siswa pasti bergantung pada pembawaan dan lingkungan pendidikannya ? sampai batas tertentu aliran ini dapat kita terima,tetapi tidak secara mutlak. Sebab masih ada satu hal lagi yang perlu kita ingat yakni potensi psikologis tertentu yang juga tersimpan rapi dalam diri setiap siswa dan sulit diidentifikasi. Hasil proses perkembangan seorang siswa tidak dapat dijelaskan hanya menyebutkan pembawaan dan lingkungan. Artinya, keberhasilan seorang siswa bukan karena pembawaan dan lingkungan saja, karena siswa tersebut tidak hanya di kembangkan oleh pembawa dan lingkungan tetapi juga oleh diri siswa itu sendiri.Setiap orang, termasuk siswa tersebut,memiliki potensi selfdirection dan self- discipline yang memungkinkan dirinya bebas memilih antara mengikuti atau menolak sesuatu ( aturan atau stimulus ) lingkungan tertentu yang hendak mengembangkan dirinya. Alhasil, siswa itu sendiri memiliki potensi psiklogis tersendiri untuk mengembang bakat dan pembawaanya dalam konteks lingkungan tertentu. Berdasarkan uraian mengenai aliran- aliran doktrin filosofis yang berhubungan dengan proses perkembangan di atas, penyusun berkesimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi tingggirendahnya mutu hasil perkembangan siswa pada dasarnya terdiri atas dua macam. 1. Faktor intern, yaitu faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi pembawaab dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri. 2. faktor eksternal, yaitu hal- hal yang datang atau ada di luar diri siswa yang meliputi lingkungan ( khususnya pendidikan ) dan pengalaman berinteraksi siswa tersebut dengan lingkungannya.

B.

RELEVANSI PENELUSURAN MINAT DAN KEBERHASILAN BELAJAR. Bakat merupakan suatu potensi yang berisi sejumlah kemungkinan dalam diri individu (siswa) untuk berkembang ke satu arah, misalnya program studi atau bidang pekerjaan tertentu. Sebagian besar orang berkeyakinan bahwa bakat sebagai sebuah potensi dasar, hasil bawaan ketika indivisu (siswa) dilahirkan. Bakat seseorang akan dapat diketahui melalui penelusuran atau penjagaan dengan prosedur tertentu. Salah satu alat yang digunakan dalam prosedur tersebut adalah test bakat. Para ahli psikologi telah berusaha dan melakukan pnyempurnaan terhadap kebakuan tes tersebut. Dari kajian teori dijelaskan bahwa bakat memerlukan media untuk pengembangannya. Lingkungan yang dipandang sebagai media yang memenuhi syarat untuk hal ini adalah lingkungan pendidika, terutama lembaga pendidikan formal, Madrasah Aliyah misalnya, dilingkungan Departemen Agama RI. Salah satu alasannya adalah bahwa Madrasah mempunyai sistem penyelenggaraan yang handal. Untuk mengetahui akan kecerdasan anak perlunya tes psikotes karena intelegensi merupakan salah satu konsep yang paling populer sudah sejak lama orang berpendapat bahwa dengan intelegensi yang tinggi seseorang akan meraih keberhasilan dalam hidupnya anak-anak yang mempunyai IQ tinggi atau cerdas akan diterima di Sekolah unggul dan akan memperoleh prestasi yang baik. Dan kelak pada masa dewasanya akan lebih mudah memperoleh pekerjaan dan sukses. Demikian pandangan banyak orang selama ini. Bahkana da orang tua yang kecewa dan putus asa karena hasil tes IQ anaknya rendah. IQ seolah menjanjikan harapan dan menjadi bekal utama untuk meraih keberhasilan dalam bidang kehidupan kita. Aturan kerja kini tengah berubah. Kita dinilai berdasarkan tolok ukur baru tidak hanya berdasarkan tingkat kepandaian atau berdasarkan pelatihan dan pengalaman, tetapi juga berdasarkan seberapa baik kita mengelola duru sendiri dan berhubungan dengan orang lain. (Goleman, 1999 : 3-4) Alat ukur baru ini, tulis Goleman selanjutnya, memusatkan perhatian pada kualitas pribadi seperti inisiatif dan empati, adaptabilitas dan kemampuan persuasi, yang kini populer dengan istilah emotional intelegence atau kecerdasan emosional (KE). Konsep kecerdasan emosional (emosional intelegence), pada mulanya diperkenalkan oleh Psikolog Jhon Meyer dari University of New Hampshire dan Peter Salovery dari Harvard University pada tahun 1990. Jhon Meyer dan Peter Solovery mengemukakan adanya empat pilar utama dalam kcerdasan emosional, yaitu : Pilar Pertama, Kemampuan yang tepat dalam persepsi, penilaian, dan pengekspresian emosi. Pilar Kedua, Kemampuan mengakses atau menggerakan perasaan sesuai kbutuhan untuk dapat memanifestasi pemahaman terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Pilar keempat, Kemampuan mengatur berbagai emosi untuk keperluan pengembangan emosi dan intelektual yang lebih baik. Emosi dan Pengelompokkannya Emosi itu penting. Menurut berbagai bukti perasaan adalah, sumber daya terkuat yang kita miliki. eMosi adalah garis-garis kehidupan untuk kesadaran diri yang menghubungkan kita dan orang lain dengan kuat pada alam dan kosmos (Segal, 1999 : ix). Untuk memahami lebih jauh kita perlu lebih dahulu mengetahui apa sebenarnya emosi itu. Dala kamus lngkap psikologi, emosi dirumuskan sebagai berikut > Suatu keadaan yang terangsang dari organisme, mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. (JP. Chaplin, 1997 : 163), sedangkan Daniel Goleman dalam bukunya Emosional Intelegence (1995) melihat emosi sebagai suatu perasaan dan perbedaan cara berfikir, keadaan psikologis dan biologis, dengan rentang kecenderungannya untuk berbuat. (Bahaudin, 1998 : 182). Dari kedua definisi diatas tampak bahwa emosi yang kita alami dalam batin kita merupakan tenggapan terhadap kejadian-kejadian dalam hidup kita, misalnya lulus testing masuk UMPTN si A merasa amat senang. Si A juga bisa marah, sedih, rindu, benci dan sebagainya pada kejadian-kejadian lain yang dialaminya. Artinya, dalam kehidupan ini kita sanggup mengalami begitu banyak emosi. Kita mengetahui bahwa dalam setiap diri manusia terdapat banyak ragam emosi dengan berbagai variasi dan kombinasinya, bila dikelompokkan terdapat delapan kelompok sebagai berikut :

1. Kemarahan, Meliputi kemarahan, kekejaman, dendam, kutukan, kejengkelan, naik pitam, kekesalan, kesengitan, kebencian, gangguan, cepat marah, permusuhan dan mungkin pada keadaan ekstrim kekejaman dan kebencian secara ptologis. 2. Kesedihan, Meliputi sedih, tidak ceria, murung, melankoli, menyesali diri sendiri, kesepian secara patologis berupa depresi dan lainnya. 3. Ketakutan, meliputi kecemasan, gugup, prihatin, kekhawatiran, panik dan sebagainya. 4. Kesenangan, meliputi kebahagiaan, kegembiraan, kebebasan, kepuasan, hiburan, kebanggan, kenikmatan sensual, penghargaan, rasa hebat, dan sebagainya termasuk maniak. 5. Cinta, Meliputi penerimaan persahabatan, percaya, kebaikan, pnyerahan, kekaguman, dan sebagainya. 6. Kejutan, mliputi sentakan, keheranan, kekaguman dan sebagainya. 7. Kemuakan, Meliputi penghinaan, kebencian, penghindaran dan sebgaainya. 8. Malu, meliputi : rasa bersalah, kecewa, menyesal, perendahan, tercela/aib dan sebagainya (Bahaudin, 1999 : 183-184). Berbagai penelitian menunjukan adanya keterkaitan antara kognisi dengan emosi dan juga ditemukan adanya hubungan yang erat antara belajar dan emosi. Selanjutnya menurut Goleman untuk memahami teori ini terdapat lima dasar kecakapan emosi dan sosial, yaitu : 1. Kesadaran diri, Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengembalian keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. 2. Pngaturan diri, mengenai emosi kita sedemikian sehingga dampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi. 3. Motivasi, mengemukakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, dan untuk bertahan menghadpi kegagalan dan fristrasi. 4. Empati, Merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. 5. Keterampilan sosial, menengani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, Berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama dengan tim. (Goleman, 1999 : 513-514). Kecerdasan emosi, tulis Goleman selanjutnya, mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (Akademic Intelegence) yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Kecerdasan Emosional : Aplikasinya Dalam Pendidikan Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu proses panjang untuk memuliakan manusia. Proses tersebut haruslah merupakan upaya mengangkat harkat dan martabat manusia melalui pngembangan semua potensi yang dimilikinya. Pendidikan dapat berlangsung di rumah tangga atau dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. A. Lingkungan Keluarga Keluarga adalah lingkungan pertama tempat anak dibesarkan pada masa bayi dan kanak-kanak, tumbuh berkembang anak banyak dipengaruhi oleh interaksinya dengan anggota keluarga. Proses palatihan emosi ini menurut Gottman dan De Claire terjadi dalam lima langkah, yaitu orang tua : Menyadari emosi anaknya, Penelitian Gottman dan De Claire mnyebutkan bahwa agar orang tua merasakan apa yang dirasakan oleh anak-anak mereka, mereka harus menyadari emosiemosi, pertama dalam diri mereka sendiri kemudian dalam diri anak-anak mereka. Kesadaran emosional berarti anda mengenali kapan anda merakan suatu emosi. Anda dapat mengidentifikasi perasaan-perasaan anda. Dan anda peka terhadap hadrnya emosi-emosi dalam diri orang lain. Orang tua hendaknya dapat meluangkan waktu bersama anaknya yang sedang mengais atau rewel, mendengarkan kecemasan-kecemasan mereka, berempati dengan mereka, membiarkan mereka mengungkapkan amarahnya, atau sekedar menangis sampai habis. Mengenal emosi itu sebagai peluang untuk kedekatan dan megejar. Pada saat anak merasa sedih, marah atau takut misalnya, adalah kesempatan yang baik bagi orang tua untuk

1.

2.

3.

4.

5.

memeluknya dan berbifara kepadanya, dan membiarkannya mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Karena dalam keadaan tersebut anak-anak paling membutuhkan orang tuanya. Orang tua mencoba untuk mengidentifikasi perasaan-perasaannya dan berbicara apa yang perlu dilakukan lain kali. Bagaimana mengatasi ini atau itu. Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak tersebut. Dalam konteks ini, mendengarkan berarti jauh lebih banyak daripada mengumpulkan data dengan telinga. Yang paling penting adalah agar orang tua menggunakan hati mereka untuk merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak-anak mereka. Menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi yang sedang dialaminya. Anak-anak juga mengalami rasa cemas, tegang, cemburu dan sebagainya, orang tua hendaknya menolong memberi nama emosi-emosi yang sedang dialamai anak-anaknya. Apabila anak sedang marah misalnya, mungkin juga ia merasa bingung atau cemburu. Dalam situasi semacam itu orang tua dapat membimbing anak menjajaki rangkaian emosinya dan meyakinkan bahwa wajar-wajar saja merasakan dua perasaan sekaligus. Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah yang dihadapi, Orang tua hendaknya dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Membatasi jenis-jenis tingkah laku mana yang dikehendaki, mana yang dapat ditenggang dan mana pula yang dilarang (berbaya terhadap kesejehteraan anak). Orang tua membimbing anak untuk memikirkan cara-cara yang lebih tepat untuk mengatasi perasaan-perasaan negatif. (Gottman da De Claire, 1999 : 73-106).

Gottman dan De Claire berdasarkan hasil penelitian mereka lebih lanjut mengemukakan gaya orang tua Pelatih Emosi itu sebagai berikut : 1. Menghargai emosi-emosi negatif anak sebagai sebuah kesempatan untuk semakin akrab. 2. Sabar menghabiskan waktu dengan seorang anak yang sedih, marah atau ketakutan, tidak menjadi berang menghadapi emosi itu. 3. Sadar dan menghargai emosi-emosinya sendiri. 4. Melihat dunia emosi negatif sebagai arena yang paling penting dalam mengasuh anak. 5. Peka terhadap keadaan emosional anak, bahkan bila keadaan emosionalnya itu tidak terlalu kelihatan. 6. Tidak bingung atau cemas mengdapai ungkapan-ungkapan emosional anak, mengetahui apa yang perlu dilakukan. 7. Menghormati emosi-emosi anak. 8. Tidak menganggap lucu atau meremehkan perasaan negatif anak. 9. Tidak memerintahkan apa yang harus dirasakan oleh anak. 10. Tidak merasa bahwa ia harus membereskan segala masalah bagi anak. 11. Menggunakan saat-saat emosional sebagai saat untuk : Mendengarkan anak Berempati dengan kata-kata yang menyejukkan dan kemesraan. Menolong anak memberi nama emosi yang sedang dirasakannya Menawarkan petunjuk tentang mengatur emosi. Menentukan batas-batas dan mengajar ungkapan-ungkapan emosi yang dapat diterima. Mengerjakan keterampilan-keterampilan untuk menyelesaikan masalah. Akibat gaya ini terhadap anak-anak : Mereka belajar mempercayai perasaan-perasaan mereka, mengatur emosi-emosi mereka sendiri, dan menyelesaikan masalah-masalahnya. Mereka mempunyai harga diri yang tinggi, belajar dengan baik, dan bergaul dengan orang lain secara baikbaik (Gottman, 1999 : 43). Untuk membina pertumbuhan siswa sangat tergantung kepada upaya guru untuk menerapkan prinsip-prinsip KE dalam interaksinya dengan siswa. Dan kemampuan untuk melakukan itu semua tergantung pada kualitas KE yang dimiliki guru. Goleman berpendapat bahwa para ahli psikologi sepakat bahwa IQ hanya menyumbangkan 20% faktor-faktor yang menentukan keberhasilan. Dan 80% berasal dari faktor lain, termasuk KE gurus harus menyadari ini agar perkembangan siswa tidak semata-mata ditunjukan kepeda kecerdasan intelektual (IQ). Jhon F. Kennedy yang dikenal sebagai negarawan yang memimpin. Amerika lebih banyak dengan hatinya ketimbang dengan kepalanya (Shaprio, 1999 : 9). Para peneliti yang mempelajari reaksi orang tua terhadap anak-anaknya menemukan bahwa ada tiga gaya yang umum bagaimana orang tua menjalankan peranannya sebagai orang tua, yaitu : gaya otoriter, permisif, dan otoritatif, (Shaprio, 1999 : 27). Orang tua dengan gaya otoriter biasanya memberlakukan peraturan-peraturan yang ketat dan menuntut agar memathu petauran tersebut tanpa memberi penjelasan kepada anak-anak.

DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4. 5.

Abu Ahmadi, Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Anna Craft,Membangun kreativitas anak,Jakarta: Inisiasi Press,2002 S.C.Utami Munandar, Kreativitas dan Keberbakatan, Jakarta: Gramedia, 2002 G.Petty,Creativity, Jakarta:Elek Mesia Komputindo,2002 Sardiman .A.m,Interaksi dan motivasi belajar mengajar,Rajawali,84

You might also like