You are on page 1of 13

TUGAS

Rangkuman Bab 7 STUDI KASUS DI KAMPUNG NAGA

Nama NRP Kelas

: Hendry Dwipayana : 09. 3030106 : Kayawan

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG

7.1 Tabu dalam Kehidupan Masyarakat Kampung Naga. 7.1.1 Pengertian Tabu Sigmund Freud (2003:31) kata dalam bahasa polinesia yang sulit diterjemahkan karena berkonotasikan gagasan yang tidak lagi kita punyai. Demikian halnya di Indonesia kata tabu sama dengan pantangan yang merupakan suatu perbuatan yang terlarang baik dalam hal perkataan, perbuatan, atau yang berhubungan dengan wujud fisik. Pada dasarnya kehidupan masyarakat tersebut sangan kuat dalam menjalankan adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur masyarakat tersebut. Sigmund Freud lebih menegaskan bahwa makna tabu mencabang ke dua arah yang berlawanan. Di satu sisi ia berarti kudus, suci; tetapi di sisi lain ia berarti aneh, berbahaya, terlarang, dan kotor. Tabu dalam arti kudus/suci mengandung makna suatu larangan yang ditujukan kepada anggota masyarakat dalam suatu masyarakat untuk melindungi sesuatu yang dikuduskan atau disucikan. Tabu dalam arti kotor mengandung makna suatu larangan yang ditujukan kepada suatu masyarakat terhadap suatu perbuatan, perkataan, atau sesuatu yang berwujud fisik yang pantang dilakukan oleh leluhur mereka. Nortcote W. Thomas (Sigmund Freud; 2001 : 33) menerangkan tabu dalam pengertian yang luas, yang bia digolongkan ke dalam berbagai kelas, yaitu: 1. Tabu alami atau langsung, akibat dari kekuatan yang inheren dalam diri orang atau benda. Suatu pantangan seperti halnya seorang supir yang selalu sial saat berkendara, walaupun ia telah baik dalam mengendarai mobilnya, dan pada suatu saat dia tidak akan mengendarai mobil lagi, maka hal tersebut bagi dirinya merupakan tabu. 2. Tabu terhubungkan (tak langsung), merupakan akibat(dari suatu yang misterius) yang didapat atau ditimpakan secara paksa oleh seorang pendeta, kepala suku atau orang lain. Tabu tersebut lahir sebagai amanat leluhur yang harus ditaati dan dilaksanakan sebaikbaiknya. Bagi masyarakat kampung naga contohnya tidak boleh mengucapkan kata garing yang berarti kering. 3. Tabu tengahan, hal ini ada ketika kedua faktor diatas ada, seperti dalam kasus dipisahkannya seorang istri dari suaminya yang dikarenakan beda latar belakang keluaraga. Tabu ini muncul dikarenakan tabu alami dan tabu tak langsung itu ada, sehingga menjadi sesuatu kekuatan pada diri individu tersebut dalam menjaga dan melaksanakan bentuk tabu tersebut. 7.1.2 Sumber Tabu Di dalam kehidupan masyarakat yang masih tradisional tabu menjadi salah satu aturan hidup bermasyarakat yang harus ditaati dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Wundt (Sigmund Freud; 2003 : 1) tidak ada suatu bangsa atau suatu taraf kebudayaan yang bisa lolos dari efek tabu. Dengan kata lain bahwa suatu masyarakat yang ada di dunia ini pernah mengalami kehidupan yang dihadapkan pada suatu bentuk tabu.

Menurut Northcote W. Thomas (Sigmund Freud; 2001 : 35) sumber tabu adalah : suatu daya yang terkandung dalam diri orang atau roh-roh yang bisa disalurkan ke benda-benda mati. Menurut Wundt (Sigmund Freud; 2001 : 39) mengatakan bahwa : gagasan tabu mencakup semua adat istiadat yang mengekspresikan kekuatan terhadap benda-benda tertentu yang terkait dengan gagasan sistem pemujaan atau terkait dengan tindakan yang merujuk kepadanya. Demikian halnya tabu dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga merupakan amanat yang diwariskan oleh leluhur mereka Sembah Dalem Singaparna dan harus ditaati dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan agar senantiasa mendapatkan keselamatan dan ketenangan jiwa dalam hidup bermasyarakat. Tabu ini merupakan tabu langsung yang didapat oleh seseorang secara langsung dari kekuatan yang misterius. Sedangkan tabu tak langsung adalah tabu yang didapat atau ditimpakan oleh kepala adat atau leluhur Kampung Naga untuk ditaati dan dilaksanakan dengan baik, apabila dilanggar akan mendapatkan malapetaka yang menimpa seluruh warga masyarakat Kampung Naga. 7.1.3 Bentuk Tabu Northcote W. Thomas (Sigmund Freud; 2001: 36) menyatakan bahwa tabu itu ada tabu permanen dan ada tabu sementara. Tabu permanen terdapat pada pendeta, kepala suku, dan orang mati. Tabu sementara melekat pada kondisi-kondisi tertentu seperti menstruasi dan nifas. Tabu permanen adalah tabu yang kuat dan menetap yang tak bisa berubah dan senantiasa harus ditaati selamanya. Tabu sementara adalah tabu yan sifatnya sewaktu-waktu dan tidak mengikat apabila diluar waktu yang telah ditentukan. Menurut Ade Suherlin kepala adat Kampung Naga, terbagi dalam tiga hukum adat : 1. Pamali (matak kabadi) yang artinya bahwa sesuatu dan seluruh masyarakat Kampung Naga. 2. Tau hade (matak paeh) yang artinya bahwa sesuatu yang tabukan tidak boleh dilanggar, bila dilanggar akan menimbulkan kematian pada yang melanggar. Kematian disini mengandung banyak arti, yaitu: mati hati, mati perasaan, mati akal atau pikiran, yang menyebabkan hidupnya tidak berguna. 3. Cadu (matak tumpur), bahwa sesuatu yang ditabukan tidak boleh dilanggar, apabila dilanggar akan hacur kehidupan pelanggar beserta keluarganya. 7.2 Masyarakat dan Kebudayaan 7.2.1 Pengertian Masyarakat dan Kebudayaan Masyarakat dan kebudayaan merupakan dua kata yang tak dapat dipisahkan, karena terdapat hubungan yang sangat erat diantara keduanya. Menurut Linton (Harjoso; 1999 : 126) masyarakat adalah setiapkelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan yang ditabukan tidak boleh dilanggar, karena apabila dilanggar akan menimbulkan malapetaka bagi yang melanggar

berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan dengan batas-batas tertentu. Kelompok yang dimaksup disini adalah setiap kumpulan manusia yang mengadakan interaksi sosial antara satu dengan yang lainnya. Yang paling penting dalam pembentukan suatu masyarakat dari kelompok individu itu, yaitu faktor waktu, sebab waktu inilah yang meberikan kesempatan pada individu untuk dapat bekerja sama dan menetukan pola tingkah laku dan sikap yang bersifat timbal balik, dan menemukan teknik untuk hidup bersama. Dengan adanya waktu yang cukup lama maka timbulah syarat yang selalu ingin dimiliki oleh tiap-tiap masyarakat yaitu adanya proses adaptasi dan organisasi dan kelakuan para anggota kelompok, dan disamping itu timbulah kesadaran untuk berkrlompok. Seperangkat cara bertinglah laku manusia dalam dalam suatu masyarakat merupakan suatu budaya yang lahir dari suatu masyarakat tersebut seperti halnya yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat tentang tujuh unsur budaya(1992:2) yaitu : 1. Sistem religi dan upacara keagamaan; 2. Sistem sosial dan organisasi kemasyarakatan; 3. Sistem pengetahuan; 4. Bahasa ; 5. Kesenian; 6. Sistem mata pencaharian hidup; 7. Sistem teknologi dan peralatan Lebih lanjut Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan merupakan seluruh totalitas dari pikiran manusia yang tidak berakar pada nalurinya dan karena itu hanya bisa dicetuskan manusia setelah melalui proses belajar yang meliputi hampir seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Menurut Edward Burnett Tylor mengemukakan (Harjoso; 1999 : 92) bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, keagamaan, adat istiadat, dan berbagai kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat Seperti halnya masyarakat Kampung Naga merupakan kelompok individu yang menetap dalam suatu lingkungan sosial masyarakat serta terorganisir, dan bertingkah laku sesuai dengan kebiasaan yang telah ada sebelumnya dan adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur mereka. Budaya masyarakat Kampung Naga akan terlihat dari cara tingkah laku yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-harinya, baik dilihat secara adat istiadat maupun sosial kemasyarakatan serta pola pemukiman dan bentuk bangunan rumah yang khas, yang merupakan warisan dari leluhur mereka yang harus ditaati dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. 7.2.2 Fungsi Kebudayaan Soerjono Soekanto (2000:199) Fungsi kebudayaan sangat besar bagi manusia, yaitu untuk melindungi diri dari alam, mengatur hubungan antar manusia dan sebagai wadah segenap perasaan

manusia. Funsi kebudayaan tersebut dapat diuraukan debagai berikut : 1) Untuk melindungi diri terhadap alam Memberikan kemungkinan yang sangat luas untuk memanfaatkan hasil-hasil alam seperti halnya masyarakat dalam menghasilkan teknologi atau kebudayaan kebendaan, termasuk makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, perabotan rumah tangga, alat pertanian dan senjata. 2) Mengatur hubungan antar manusia. Untuk mengahdapi kekuatan yang buruk manusia perlu melindungi diri dengan cara menciptakan kaidah-kaidah yang pada hakekatnya merupakan petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan bertingkah laku di dalam pergaulan hidup. 3) Sebagai wadah segenap perasaan manusia. Merupakan keinginan manusia untuk menciptakan sesuatu yang berbentuk ungkapan perasaan dan keinginannya kepada orang lain. Dengan kata lain ungkapan perasaan dari seseorang terhadap apa yang dilihat, dirasa dan didengarnya dari lingkungan yang ada disekelilingnya sehingga menjadi suatu karya nyata bagi manusia yang sering kita sebut dengan kebudayaan. Denga demikian ungkapan perasaan manusia ini akan berhubungan dengan bentuk kebudayaan materil dan non-materil. 7.3 Perubahan Kebudayaan. 7.3.1 Masalah Perubahan Kebudayaan Gillin and Gillin (Harsojo; 1999:153) meyatakan bahwa perubahan sosial/kebudayaan adalah variasi dari cara hidup yang telah diterima dan berlaku, yang disebabkan oleh kondisi geografis, hasil kebudayaan yang berupa alat yang mempertinggi taraf kehidupan, komposisi penduduk atau ideologi yang berasal dari luar dengan jalan pemisahan/perpecahan yang berhasil dari dalam masyarakat sendiri karena adanya penemuan. Judistira K. Garna (1992:1) mengatakan bahwa perubahan budaya adalah perubahan yang menyangkut kehidupan manusia, atau terkait dengan lingkungan kehidupannya yang berupa fisik, alami dan sosial. Perubahan sosial tidak selalu berupa perubahan budaya, atau perubahan atau perubahan kebudayaan, kedua istilah ilmiah tersebut mempunyai makna tertentu, walaupun kedua perubahan itu mungkin berlaku bersamaan. Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial itu terjadi salah satunya karena disebabkan oleh faktor perpecahan dan penemuan, baik berupa perubahan fisikal yang disebabkan oleh proses alami dan berupa proses kehidupan manusia uang disebabkan oleh dinamika kehidupan manusia itu sendiri. Faktor Perpecahan yaitu suatu proses penyebaran unsur kebudayaan dari satu individu ke individu yang lainnya melalui suatu interaksi individu sebagai anggota masyarakat. Faktor Penemuan disini merupakan suatu penerapan baru dari pengetahuan yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat terhadap pembaharuan yang dapat menguntungkan bagi masyarakat tersebut pada masa yang akan datang. Dalam masalah perubahan kebudayaan perlu

kita sadari, bahwa perubahan itu berjalan terus-menerus, dan yang membedakan adalah adanya perubahan kebudayaan yang lambat dan perubahan kebudayaan yang lambat. 7.3.2 Faktor Faktor Yang Mendorong Terjadinya Proses Perubahan. Terjadinya perubahan dalam suatu masyarakat merupakan suatu hal yang wajar dan pasti akan terjadi, baik secara cepat ataupun lambat. Dan tentunya tidak ada suatu kebudayaanpun di dunia ini yang tidak mengalami perubahan, bagaimanapun manusia mempertahankan suatu kebudayaan tertentu suatu saat akan mengalami suatu perubahan sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan hidup manusia yang bersangkutan. Soerjono Soekanto (2000 : 361) mengemukakan bahwa : faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan antara lain disebabkan oleh : 1. Kontak dengan budaya lain, 2. Sistem pendidikan formal yang maju, 3. Sikap menghargai karya seseorang dan keinginan untuk maju, 4. Toleransi, 5. Sistem terbuka, 6. Penduduk yang beheterogen, 7. Ketidak puasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, 8. Orientasi ke masa depan, 9. Nilai. Masyarakat Kampung Naga dapat dilihat dari kesembilan faktor yang mendorong jalannya proses perubahan tersebut sebagai berikut : 1. Kontak dengan kebudayaan lain Salah satu proses yang menyangkut hal-hal ini adalah perpecahan, perpecahan disini yang dimaksud adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu ke individu lain. Dengan proses tersebut manusia mampu untuk menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah dihasilkan. Proses tersebut merupakan pendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan-kebudayaan masyarakat manusia. Masyarakat Kampung Naga pada dasarnya tidak menutup diri dan menerima kontak atau hubungan dengan masyarakat luar yang salah satunya melalui proses perpecahan. 2. Sistem pendidikan formal yang maju Dalam hal pendidikan masyarakat Kampung Naga memberikan suatu perhatian yang penuh terhadap anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak-anak yang lain yang berada diluar Kampung Naga. Pendidikan masyarakat Kampung Naga adalah tamat sekolah dasar (SD) dan ada beberapa orang lulusan SMTP dan SMTA, malahan ada yang lulusan perguruan tinggi. Kendala masyarakat Kampung Naga adalah masalah biaya pendidikan yang cukup mahal sehingga mereka mengalami kesulitan menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih

tinggi. 3. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju Masyarakat Kampung Naga memiliki sikap menghargai karya seseorang, baik dari hasil karya yang berasal dari dalam masyarakat Kampung Naga sendiri maupun dari luar masyarakat Kampung Naga. Keinginan untuk maju dalam masyarakat Kampung Naga terihat dari banyaknya masyarakat Kampung Naga yang bekerja diluar Kampung Naga, baik itu berjualan, bekerja buruh, maupun sebagai pegawai negri sipil. 4. Toleransi Merupakan suatu sikap individu atau masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang, yang dilakukan oleh individu atau masyarakat luar terhadap aturan ada yang berlaku dalam suatu masyarakat tersebut. Apabila ada pengunjung yang melanggar terhadap ketentuan adat Kampung Naga hanya diberikan peringatan saja tanpa ada embel-embel lainnya. Sedangkan bagi pelanggar yang berasal dari masyarakat Kampung Naga itu sendiri tidak ada toleransi dan harus diproses secara hukum adat mereka. 5. Sistem terbuka Memungkinkan adanya gerak sosial yang luas atau berarti memberi kesempatan kepada individu untuk maju atau dasar kemampuan sendiri. Sistem terbuka ini ada pada masyarakat Kampung Naga bahwa anggota masyarakat Kampung Naga diberikan suatu kebebasan untuk memilih tinggal di Kampung Naga atau mencari kehidupan diluar Kampung Naga yang tidak terikan oleh adat sesuai dengan kemampuan hidupnya. 6. Penduduk yang heterogen Masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda, ras yang berbeda, ideologi yang berbeda, dan lain sebagainya, akan mengundang perpecahan dalam masyarakat. Keadaan demikian menjadi pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat. Keberadaan masyarakat Kampung Naga yang memberikan kebebasan kepada anggota masyarakatnya untuk melakukan hubungan dengan masyarakat luar, ternasuk perkawinan antara masyarakat Kampung Naga dengan masyarakat luar dan boleh tinggal di dalam masyarakat Kampung Naga atau diluar Kampung Naga. 7. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu. Ketidakpuasan individu atau masyarakat yang berlangsung terlalu lama berkemungkinan besar akan mendatangkan revolusi, berontak dan merubah sistem yang ada. Dalam kehisupan masyarakat Kampung Naga hal ini hampir tidak ada, dikarenakan kepala adat memberikan keleluasaan kepada seluruh anggota masyarakat menentukan hidupnya dan setiap ada masalah selalu di musyawarahkan dengan bersama-sama dalam memutuskan keputusan tersebut, kecuali dalam hal hukum adat. 8. Orientasi ke masa depan Masyarakat Kampung Naga yang memiliki orientasi ke masa depan keluar dari Kampung

Naga, karena setelah mereka keluar tidak terikat lagi dengan ketentuan adat yang mengikat dalam kehidupan seperti dalam Kampung Naga tersebut. 9. Nilai Nilai dapat mengacu kepada kewajiban agama, kebutuhan, kemauan, hasrat, keengganan, minat, kesukaan, pilihan, tugas, atraksi (daya tarik), dan hal-hal lain yang berhubungan dengan perasaan dari orientasi seleksinya. Hal ini tentunya berlaku pada seluruh manusia termasuk pada masyarakat Kampung Naga. Merrka berusaha untuk berikhtiar dalam memperbaiki hidupnya dengan cara bekerja atau mencari nafkah diluar masyarakat Kampung Naga. 7.3.3 Faktor-Faktor Yang Menghambat Terjadinya Proses Perubahan Menurut Soejono Soekanto ( 2000 : 365 ) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perubahan adalah : 1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat luar, 2. Perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat, 3. Sikap masyarakat yang tradisional, 4. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interest, 5. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan, 6. Prasangka terhadap hal baru atau asing atau sikap yang tertutup, 7. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, 8. Adat atau kebiasaan, 9. Nilai bahwa hidup ini pada hakekatnya buruk dan tidak bisa diperbaiki. 1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain Kehidupan terasing menyebabkan sebuah masyarakat tidak mengetahui perkembanganperkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain yang mungkin akan memperkaya kebudayaan sendiri. Hal itu juga menyebabkan bahwa para warga masyarakat terkungkung pula pemikirannya oleh tradisi. Masyarakat Kampung Naga saat ini tidak menutup diri dalam melakukan hubungan dengan masyarakat luar. Hal ini ditandai dengan banyaknya masyarkat Kampung Naga yang menikah dengan masyarakat luar Kampung Naga dan berdomisili di Kampung Naga, tetapi tidak melepaskan adat istiadat yang biasa dilakukan. 2. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat Kampung Naga pada dasarnya tidak termasuk kedalam perkembangan yang terlambat, karena sudah mengenal pendidikan formal.

3. Sikap masyarakat yang tradisional Suatu sikap yang mengagung-agungkan tradisi dan masa lampau sehingga kehidupan mereka senantiasa mengikuti apa yang telah dilakukan dan digariskan oleh leluhur mereka, menghambat jalanya proses perubahan. Masyarakat Kampung Naga merupakan suatu masyarakat tradisional yang taat dalam menjalankan adat istiadat dan talari paranti karuhun. 4. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interest. Seperti halnya ada upaya dari departemen pariwisata kabupaten DT II Tasikmaaya mengenai Kampung Naga dijadikan aset pariwisata daerah yang harus tetap dijaga dan dipertahankan kelestarian budayanya, sehingga sulit bagi masyarakat Kampung Naga untuk mengalami terjadinya perubahan sosial budaya. 5. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada itegrasi kebudayaan Dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga rasa takut tersebut diatas tidak akan ada, karena pada dasarnya masyarakat Kampung Naga memiliki suatu keyakinan jawadah tutung biritna sacarana-sacarana yang artinya setiap bangsa memiliki cara dan kebiasaan masingmasing dalam kehidupannya. Jadi walaupun ada pengaruh kebudayaan luar yang masuk ke dalam masyarakat Kampung Naga akan sangat selektif sekali untuk diadopsi oleh masyarakat Kampung Naga yang tidak bertentangan dengan adat istiadat mereka. 6. Prasangka terhadap hal-hal baru/asing atau sikap yang tertutup Dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga prasangka dan sikap tertutup itu tidak ada, mereka sangat terbuka dengan hal-hal yang baru yang masuk ke Kampung Naga. Akan tetapi mereka mempunyai pendirian sikap yang tegas asalakan semua itu tidak betentangan dengan adat istiadat mereka. 7. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologi Masyarakat Kampung Naga memiliki pandangan hidup yang harus dilaksanakan dan ditaati dalam kehidupan sehari-hari agar senantiasa mendapatkan keselamatan lahir maupun batin yang diamanatkan oleh leluhur mereka Sembah Dalem Singaparna parentah gancang lakonan, panyaur geura temonan, pamundut geura caosan, yang artinya perintah cepat lakukan/laksanakan, panggilan cepat temui, permohonan sepat penuhi. 8. Adat atau kebiasaan Kehidupan masyarakat Kampung Naga adat dijadikan suatu pegangan hidup yang tak boleh dilanggar karena apabila terjadi pelanggaran adat maka, akan terjadi malapetaka terhadap seluruh masyarakat Kampung Naga.

9. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatna buruk dan tidak bisa diperbaiki Dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga nilai ini ada dan tertuang dalam pandangan hidup ulah bogoh ku ledokna, ulah kabita ku datarna, makaya dina luhur batu awuran taneuh, moal luput akaran, legana saukuran tapak munding sok mun eling moal luput mahi. Yang artinya jangan tergiur oleh suburnya, jangan tergoda oleh ratanya, bercocok tanam diatas batu ditimbun tanah pasti jadi, walaupun luasnya setelapak kerbau, kalau kita ingat pasti akan cukup. Ungkapan ini menujukan nilai yang sangat tinggi dari sikap kehidupan masyarakat Kampung Naga. Ungkapan tersebut juga mengandung makna, jangan tergiur dengan semua hal duniawi, jika kita berusaha walaupun kita hanya memiliki sedikit harta tetapi kita ingat kepada Yang Maha Kuasa pasti kita akan merasa kaya/tercukupi. 7.4 Deskripisi Daerah Penelitian 7.4.1 Lokasi dan Keadaan Alam Kampung Naga secara administratif berada di wilayah desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga yang berada pada ketinggian 448m diatas permukaan laut, diapit perbukitan, membujur dari timur ke barat dengan tingkat kemiringan dari jalan raya kira kira 45 derajat. Permukaan tanahnya termasuk curam, sehingga untuk mencegah longsor, masyarakat setempat membuat semacam penahan tanah yang terdiri dari susunan batu yang tersusun rapi dan sebagai perekatnya adalah tanah. Luas perkampungan Kampung Naga hanya 1,5 hentar ini disebelah utara dibatasi oleh sungai ciwulan, disebelah timur oleh sungai ciwulan, di sebelah selatan oleh pesawahan, dan disebelah barat oleh perbukitan. Area kampung terbatas, tidak dapat diperluas lagi untuk pemukiman penduduk. 7.4.2 Sejarah Kampung Naga Karuhun atau leluhur masyarakat Kampung Naga, yakni tokoh yang mendirikan Kampung Naga oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Sembah Dalem Singaparna. Makamnya terletak di sebelah barat Kampung Naga dan hingga saat ini dikeramatkan. Sembah Dalem Singaparna merupakan keturunan Raja Galunggung yang terakhir (teureuh galunggung). Pernyataan tersebut tercatat di sejarah Kerajaan Galunggung. Diantara catatan tertulis yang dimaksud adalah naskah kuno Amanat dari Galunggung atau Koprak 632 dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut dan prasasti Geger Hanjuang, ada pula yang menyebutnya naskah Brandes(yang berhasil mengumpulkan naskah-naskah tersebut). Naskah ini mula-mula di garap oleh Holle hingga lembar IV, lalu Pleyte dan Poerbatjaraka hingga lembar VI, tetapi terjemahannya hanya sampai baris pertama lembar III. Darmasiksa mengungkapkan bahwa ajaran yang disampaikannya itu adalah agama nu nyusukna Galunggung (ajaran dari yang membuat parit di Galunggung). Bukti sejarah tentang adanya tokoh nu nyusuk na Galunggung, tersimpan di museum pusat berupa prasati batu yang diberi nomor D 26. Prasasti ini ditemukan disebuah kabuyutan pada

kompleks Bukit Gegerhanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya, pada lereng selatan Gunung Galunggung. Holle pernah mentranskripsikannya pada tahun 1877, tetapi ia tidak berhasil memecahkan isi baris kedua. Kemudian Pleyte (1911) atas bantuan Prof. Kern, mengumumkan hasil bacaannya. Ternyata, ia kehilangan satu huruf, dan salah baca lima huruf. Tetapi kedua cendikiawan itu sepakat bahwa prasasti tersebut dibuat dalam tahun 1033 saka (1111 masehi). Isi prasasti hanya tiga baris; ditulis dalam huruf dan bahasa sunda. Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya Tra ba i gu ne a pu y na Sta go ma ti sa ka ka la ru ma ta K di su su ku ba ta ri hyang pu n Tra ba i gune nasta gomati sasakala rumatak disusu (k) ku batari hyangpun. Tra (tanggal ) (trayodasi) artinya ke-13. Ba (bulan) Badra (agustus/september). Kata-kata yang menjadi angka tahun adalah: gune (3), apuy (3), nasta (0), gomati (1). Angka tahunnya 1033 saka atau sama dengan tahun 1111M. Menurut hasil penelitian panitia hari jadi kabupaten tasikmalaya yang dipimpin oleh R. U. Sunardjo,SH., rumantak adalah bekas ibu kota kerjaan Galunggung. Dengan demikian isi prasasti dapat diterjrmahkan sebagai berikut: pada tanggal 13 bulang Badra tahun 1033saka, ruma(n)tak disusun oleh batari hyang. Kata disusun dalam hal ini brarti dikelilingi dengan parit pertahanan, sama halnya dengan berita prasasti batutulis tentang Sri Baduga nyusuk na pakuan. Secara rinci isi prasasti yang diluruskan bacaan prasastinya oleh Saleh Danasasmita(Yoseph Iskandar; 1997:225) sebagai berikut: OO wang na pun ini sasakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diya dingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakuan padjajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakuan diya anak rahyang dewa niskala sa(ng) sidamokta ka nusa larang, ya siya nu nyiyan sakakala gugunungan balabay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siya pun OO i saka, panca pandawa (m)ban bumi OO. Terjemahannya adalah: Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Padjajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit(pertahanan) di pakuan. Dia anak Rahyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatika, cucu Rahyang Niskala Wastu Kencana yang mendiang ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutah) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (dibuat) dalam (tahun) saka 1455. Jika dihitung dengan penanggalan Masehi, prasati itu kira-kira dibuat pada tanggal 21 agustus 1111M. Mungkin sebagai peringatan selesainya karya penyusukan tersebut oleh Batari

Hyang sebagai penguasa Galunggung pada saat itu. Hingga kini 21 Agustus dianggap sebagai hari jadi Kabupaten Tasikmalaya. Kisah awal kerajaan Galinggung dimulai oleh Sempakwaja, (Kisah Kerajaan Galuh; Depdikbud Ciamis; 1997: 5): Sempakwaja putra sulung Wretikandayun Raja Galuh yang pertama (612M). Mandiminyak, adik bungsu Sempakwaja mendalami agama, dan oleh ayahnya dijadikan Batara Dangiang Guru di Galunggung dengan 13 Kerajaan kecil sebagai bawahannya, karena beralih ke masa kerajaan. Setelah Sempakwaja hanya berlangsung empat kali pergantian raja yaitu, Batari Kemengputih, Batari Kawindu, Batara Wastahayu, dan Batara Hyang, yang merupakan batara yang terakhir dan Raja Kerajaan Galunggung yang pertama. Batari Hyang. Raja pertama kerajaan Galunggung amat memperhatikan Hankamnas, terbukti dengan usaha memperkuat ibu kota kerajaan(Rumantak) dengan membuat parit pertahan (nyusuk) sehingga pada masa pemerintahannya kerajaan Galunggung menjadi kerajaan yang kuat dan disegani. Raja yang memerintah kerajaan Galunggung setelah Batari Hyang adalah Rakean Darmasiksa, yang disebutkan sebagai penutur agama nu nyusuk na Galunggung. Ia naik tahta pada tahun 1175M. Rakean Darmasiksa adalah Ratu Ragasuci, Ratu Gulang Sakti, Ratu Sembah Gelek, Ratu Panyosogan, dan yang terakhir adalah Prabu Rajadipuntang(yang berasal dari daerah Puntang). Prabu Rajadipuntang merupakan Raja yang agak lengah dalam masalah Hankamnas, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh raja daerah secara tiba-tiba. Peristiwa seperti yang menimpa Prabu Darmawangsa pada peristiwa pamalayu. Prabu Darmawangsa menemui ajalnya, sedangkan dalam pemberontakan ini Prabu Rajadipuntang berhasil meloloskan diri. (arah selatan pusat kerajaan Galunggung). Cikole ke sungai Cihanjatan sekarang berada di wilayah Desa Pusparaja, Kecamat Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya. Raja mengungkapkan isi hatinya dan menyatakan kepada anaknya yang sulung, sebutan Raden Kagok Katalayah Nu Leucing Sang Seda Sakti, Baginda Raja membekali kawedukan (kekebalan tubuh dari senjata tajam).Beliau dimakamkan di daerah Taraju, Tasikmalaya. Anaknya yang kedua sebutan Ratu Kuncung Kudratullah dikenal pula dengan sebutan Eyang Mudik Batara Karang, baginda raja membekali kebedasan (kekuatan fisik). Beliau dimakamkan di daerah Karangnunggal, Tasikmalaya. Anaknya yang ketiga, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Pangeran Mangkubawang, baginda raja membekali kepercayaan keduniawian(kekayaan harta benda). Beliau dimakamkan di Mataram, Yogyakarta. Anaknya yang ke empat, yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati Kalijaga. Baginda membekali pengetahuan pertanian, beliau dimakamkan di daerah Cirebon. Kepada anaknya yang ke lima, yang kemudian hari dikenal dengan Sunan Gunung Komara, baginda membekali kepintaran(ilmu), beliau dimakamkan di daerah Banten. Pada anaknya yang ke enam, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Pangeran Kudratullah, baginda raja membekali pengetahuan agama, beliau dimakamkan di daerah Godog, Garut. Sedangkan kepada anaknya yang

Bungsu yang bernama Singaparna, baginda raja memberik tugas untuk menjaga Pusaka Kerajaan agar tidak jatuh ke tangan musuh. Untuk melaksakan tugas berat tersebut oleh ayahandanya dibeklai kebodohan (kesahajaan hidup), nyumput buni dinu caang (bersembunyi di tempat yang terang). Setelah selesai menyampaikan amanat, baginada raja pamitan lalu pergi ke sebuah bukit kecil dan tilem disana. Bulit kecil itu sekarang dikenal dengan nama Gunung Raja, yang berada di Wilayah Desa Pusparaja sekarang. Singaparna yang mengemban tugas untuk menjaga dan mengamankan Pusaka Kerajaan setelah menempuh perjalanan jauh akhirnya sampai ke suatu tempat yang dianggap aman, yaitu suatu tempat di sebuah lembah dipinggir Sungai Ciwulan, dikelilingi perbukitan yang sunyi senyap. Di tempat itulah, lokasi Kampung Naga sekarang, ia bersama pengikutnya bermukim. Masyarakat setempat menamai dengan sebutan tanah depok (letak dipinggir sebelah timur kampung. Nama depok diduga diambil dari nama padepokan, yaitu bangunan tempat berguru, yakni bangunan pertama yang dibangun Singaparna bersama pengikutnya). Lokasi tersebut bisa dibilang nyingkur (tersembunyi), nama naga sendiri, yang dipergunakan bagi nama diri mereka diduga merupakan personifikasi sebagai seekor naga yang sedang ngumpi (bersembunyi) menghindari kontak dengan dunia luar. Perwujudan konsep tersebut dalam perilaku sehari-hari nyata benar manakala kita menyelami pola kehidupan mereka yang amat sederhana (bersahaja atau lugu), bahkan menjurus ke sifat yang fatalistik. Memang ibarat seekor naga yang sedang bertapa di lembah yang sunyi sepi. Akan tetapi tentunya hal ini, menurut kuncen Kampung Naga tidak memiliki arti yang demikian, dikarenakan bukti sejarah tentang Kampung Naga banyak yang hilang diantaranya diambil oleh pemerintah Belanda pada tahun 1927 ke batavia, yang sampai sekarang tidak ada beritanya. Dan pada tahun 1956 Kampung Naga dibakar oleh gerombolan DI TII. Dengan demikian masyarakat Kampung Naga sendiri pareumeun obor, dan yang ada saat ini adalah yang terselamatkan oleh sesepuh Kampung Naga pada saat itu.

You might also like