You are on page 1of 3

Kegagalan mengurai akar masalah industri migas

Benny Lubiantara*) Kalau kita cermati Industri migas mancanegara, tata kelola sektor migas terdiri dari tiga fungsi, yaitu: kebijakan (policy), regulasi (regulatory) dan komersial (commercial). Perbedaannya hanya pada bagaimana negara tersebut memisahkan atau tidak memisahkan fungsi tersebut. Mark Thurber dan kawan kawan dari Universitas Stanford (2011) mengkaji sejauh mana pengaruh pengaturan fungsi tersebut terhadap kinerja sektor hulu migas. Ada negara yang secara tegas memisahkan tiga fungsi tersebut, seperti: Norwegia, Brazil, Aljazair, Meksiko dan Nigeria. Ada negara yang tidak memisahkan fungsi tersebut, dalam arti fungsi regulasi dirangkap dengan fungsi komersial, atau fungsi regulasi jadi satu dengan fungsi kebijakan. Arab Saudi, Malaysia, Angola, Russia, dan Venezuela termasuk negara yang tidak secara tegas memisahkan fungsi fungsi tersebut. Terlepas apakah tiga fungsi tersebut secara tegas dipisahkan atau tidak, fungsi komersial selalu dilakukan oleh Perusahaan migas milik negara (state-owned NOC). Untuk negara maju, seperti UK, USA, Australia, Kanada dan lain lain, karena NOC sudah tidak ada lagi karena sebelumnya sudah di privatisasi, maka fungsi komersial dilakukan oleh pihak swasta atau perusahaan minyak internasional (IOC). Dalam hal ini jelas bahwa fungsi komersial, artinya keterlibatan langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas hanya bisa dilakukan oleh perusahaan (NOC) dan atau bersama sama dengan IOC. Di Indonesia, fungsi komersial, dalam konteks keterlibatan langsung pemerintah dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas jelas hanya dapat dilakukan oleh Pertamina. Timbulnya permasalahan migas di tanah air ini, menurut pendapat penulis lebih disebabkan oleh fakta bahwa Pertamina sebagai NOC sejauh ini memiliki kontribusi produksi terhadap produksi nasional yang relatif kecil dibandingkan NOC di negara lain. Kecilnya bagian produksi Pertamina kemudian memberikan kesan bahwa NOC kita inferior di negeri sendiri, dalam bahasa pengamat kedaulatan migas jatuh ke tangan asing. Kenapa hal ini dapat terjadi?, bisa jadi selama beberapa dekade industri migas, Pemerintah sudah merasa nyaman menikmati posisi sebagai juragan yang hanya menerima bagi hasil dari kontraktor (IOC) tanpa mau terlibat langsung dalam arti ikut berinvestasi besar besaran di sektor migas melalui NOC (Pertamina). Ikut berinvestasi di sektor hulu migas ini yang dilakukan di semua negara produsen migas di dunia, sehingga bagian produksi NOC mereka menjadi sangat besar. Jadi disini kata kuncinya adalah investasi atau terlibat langsung, bukan dengan mengutak atik pilihan untuk memisahkan atau menggabungkan fungsi tersebut. Sejak UU 8/1971, Pertamina pernah merangkap peran
1

komersial dan regulasi/supervisi, kenyataan menunjukkan bagian produksinya sangat kecil terhadap produksi nasional. Kenapa? karena pemerintah kelihatannya tidak berniat untuk investasi langsung di sektor hulu (penerimaan hasil migas tidak di investasikan kembali secara signifikan ke sektor hulu migas melalui Pertamina atau dikenal dengan istilah plough back). Sejak UU migas 22/2001 sebenarnya ada peningkatan bagian produksi Pertamina terhadap total produksi migas nasional, namun masih belum cukup besar. Sejarah menunjukkan, Pertamina sudah pernah memainkan kedua peran tersebut (yang sering disebut wasit merangkap pemain melalui UU 8/1971) dan peran pemisahan (UU 22/2001). Sekarang kita akan membuat UU Migas baru (merevisi UU lama?). Percayalah permasalahan akan terulang kalau hanya bertujuan agar NOC sebagai pihak yang berkontrak langsung dengan IOC tanpa ada niat Pemerintah untuk meningkatkan investasi sektor hulu. Tentu kurang fair membandingkan dengan Petronas yang didukung penuh oleh Pemerintah untuk melakukan ekspansi di sektor hulu migas. Apabila selama ini, investasi hulu migas Pertamina didukung penuh khususnya dari aspek finansial oleh Pemerintah, saya kira kesan awam bahwa industri migas nasional dijajah asing tidak akan terjadi. Terkait ribut ribut apakah kontrak Business to Business (B2B) atau Business to Government (B2G). Pada dasarnya dua hal tersebut bisa saja dilakukan. PSC di India, Oman, Yaman dan Jordania yang berkontrak adalah Pemerintah (Kementrian) dengan perusahaan migas internasional (B2G), di Malaysia yang berkontrak Petronas dan IOC (B2B), di Brazil yang berkontrak Pemerintah (diwakili ANP yang berada dibawah Kementrian) dengan perusahaan migas (B2G). Kontrak kesepakatan LNG Papua Nugini berlangsung antara Pemerintah dengan Perusahaan migas Esso (B2G) dan lain lain. Apakah betul negara tersebut merasa posisinya jatuh karena berkontrak langsung dengan Perusahaan asing? Apakah betul IOC tidak mau berkontrak dengan Badan pemerintah yang tidak punya aset? Apakah kalau B2B menjamin bahwa Pemerintah kebal dari tuntutan investor asing?. Investor asing itu tentu saja tidak bodoh, mereka punya proteksi berlapis, tidak hanya melalui dokumen kontrak (concession agremeent maupun production sharing agreement). Katakanlah kontraknya adalah B2B, ketika ada sengketa diantara pihak yang berkontrak, disamping menuntut BUMN yang berkontrak dengan mereka, investor asing juga bisa menyeret Pemerintah yang bersangkutan ke arbitrase internasional melalui jalur lain, dalam ini Bilateral Investment Treaty (BIT). Hal ini terjadi dalam kasus ExxonMobil vs. PDVSA (NOC milik Pemerintah Venezuela), mereka berdua yang berkontrak (B2B), namun ketika terjadi sengketa, oleh ExxonMobil, Pemerintah Venezuela pun diseret ke arbitrase internasional (ICSID, International Centre for Settlement of Investment Disputes) melalui mekanisme BIT tersebut. Dengan demikian, tidak tepat saat ini kalau ada yang mengatakan bahwa Pemerintah akan bebas dari tuntutan ke arbitrase internasional dengan pilihan B2B. Apapun pilihannya, selama itu melibatkan investor asing, resiko ini tetap terbuka. Jangan sampai nanti masyarakat awam kecewa dan terheran heran ketika suatu saat Pemerintah dituntut oleh investor asing ke arbitrase internasional sementara bisnisnya menggunakan B2B.
2

Mari kita kawal agar UU Migas baru ini merupakan bagian dari solusi terhadap akar permasalahan (bukan produk trial & error), dan bukan pula hanya mendengarkan opini segelintir pengamat yang senang membungkusnya dengan embel embel kemakmuran rakyat. *) Analis Kebijakan fiskal migas OPEC, Penulis Buku: Ekonomi Migas

You might also like