You are on page 1of 84

EFEKTIFITAS DESINFEKTAN ALAMI DARI CHITOSAN SEBAGAI PEREDUKSI BAKTERI Escherichia coli DAN BEBERAPA BAKTERI LAIN YANG

TERIDENTIFIKASI PADA UDANG GALAH SEGAR

Oleh: Vika Indriyasari Kurnianingrum C34104080

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN VIKA INDRIYASARI KURNIANINGRUM. Efektifitas Desinfektan Alami dari Chitosan Sebagai Pereduksi Bakteri Escherichia coli dan Beberapa Bakteri Lain yang Teridentifikasi pada Udang Galah Segar. Dibimbing oleh PIPIH SUPTIJAH dan KOMARIAH TAMPUBOLON. Potensi perikanan Indonesia cukuplah besar dimana udang merupakan salah satu sektor andalan bagi ekspor pemerintah. Namun terjadi penurunan ekspor udang Indonesia pada tahun 2007 dikarenakan penolakan beberapa negara tujuan ekspor yang saat ini telah menerapkan zero tolerance terhadap bahanbahan kimia seperti klorin dan kloramfenikol pada produk udang impor. Berdasarkan permasalahan tersebut maka diperlukan sebuah alternatif desinfektan lain untuk mengganti klorin yang selama ini banyak digunakan dimana salah satunya adalah chitosan yang memiliki sifat aktif karakteristik desinfektan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis bakteri yang ditemukan pada air tambak dan udang galah segar dengan media chromocult, mengamati pengaruh konsentrasi chitosan dan waktu perendaman yang terbaik yang dapat diterapkan pada air pencuci udang dengan cara mengevaluasi keberadaan Escherichia coli dan bakteri lain yang terdapat pada udang dengan menggunakan media chromocult. Metodologi penelitian terdiri atas penelitian pendahuluan yang meliputi tahap identifikasi genus bakteri yang terdapat pada air tambak yang merupakan habitat hidup udang galah dan pada udang galah segar dengan metode biokimia.Penelitian utama terdiri atas beberapa tahap diantaranya adalah inokulasi E. coli pada udang dengan tujuan menseragamkan jumlah bakteri E. coli awal pada udang, perlakuan desinfektasi dengan menggunakan chitosan konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, dan 200 ppm, dengan waktu perendaman selama 3 menit dan 6 menit dan penggunaan kontrol asam 1%. Serta pengujian organoleptik terhadap tekstur, bau, dan penampakan udang. Bakteri yang teridentifikasi pada sampel air adalah Citrobacter, Enterobacter, Corynebacterium, dan Escherichia coli. Sedangkan bakteri yang teridentifikasi pada udang galah segar adalah Escherichia coli, Enterobacter, dan Pseudomonas. Proses desinfektasi udang galah segar dengan asam selama 3 menit mampu menurunkan jumlah Escherichia coli sebesar 1,36 Log10 CFU/gram, dan perendaman selama 6 menit mengurangi E.coli sebesar 1,47 Log10 CFU/gram. Perendaman dengan chitosan selama 3 menit dengan konsentrasi sebesar 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, dan 200 ppm mereduksi E. coli berturut-turut adalah 3,29 Log10 CFU/gram; 3,49 Log10 CFU/gram; dan 3,92 Log10 CFU/gram. Perendaman selama 6 menit mereduksi sebesar 2,75 Log10 CFU/gram, 3,06 Log10 CFU/gram, dan 4,28 Log10 CFU/gram. Chitosan juga dapat mereduksi bakteri lain yang teridentifikasi dalam media chromocult. Hasil pengujian organoleptik terhadap udang galah segar menunjukkan hasil pada parameter penampakan perlakuan perendaman udang dengan chitosan 150 ppm selama 3 menit menghasilkan udang yang lebih disukai panelis dengan nilai 7,28. Parameter bau, perlakuan dengan chitosan 100 ppm dan 150 ppm selama 3 menit memiliki nilai yang sama yaitu 7,43, sedangkan parameter tekstur menunjukkan bahwa perlakuan yang lebih disukai panelis adalah perlakuan dengan menggunakan chitosan 150 ppm selama 3 menit dengan nilai 7,77.

EFEKTIFITAS DESINFEKTAN ALAMI DARI CHITOSAN SEBAGAI PEREDUKSI BAKTERI Escherichia coli DAN BEBERAPA BAKTERI LAIN YANG TERIDENTIFIKASI PADA UDANG GALAH SEGAR

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Oleh : Vika Indriyasari Kurnianingrum C34104080

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul Skripsi

: EFEKTIFITAS DESINFEKTAN ALAMI DARI CHITOSAN SEBAGAI PEREDUKSI BAKTERI Escherichia Coli DAN BEBERAPA BAKTERI LAIN YANG TERIDENTIFIKASI PADA UDANG GALAH SEGAR : Vika Indriyasari Kurnianingrum : C34104080 : Teknologi Hasil Perikanan

Nama mahasiswa Nomor Pokok Program Studi

Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Dra.Pipih Suptijah, MBA NIP. 131 476 638

Ir. Komariah Tampubolon, MS. NIP. 130 355 555

Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Vika Indriyasari Kurnianingrum, dilahirkan di Temanggung pada tanggal 7 Juli 1985 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, putri dari pasangan Bapak Suharto dan Ibu Tutik Wuryaningsih. Penulis mengawali pendidikan di SDN Jampiroso I Temanggung dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1997. Pada tahun 1997 penulis diterima di SLTPN 2 Temanggung dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2000 kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Terpadu Krida Nusantara Bandung dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2003. Penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Teknologi Hasil Perikanan pada tahun 2004. Selama masa perkuliahan penulis aktif menjadi asisten pada mata kuliah Teknologi Pengolahan Chitin dan Chitosan (2007-2008), serta menjadi asisten dosen pada mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan (2007-2008). Penulis juga aktif dalam berbagai bidang penulisan ilmiah diantaranya adalah Finalis LKTM IPA tingkat IPB, Finalis LKTM Lingkungan Hidup Tingkat Nasional, Program Recognize and Mentoring Program The Lamelson Fondation dan menjadi delegasi IPB dalam Intensive Student Technopreneur Program, Penyaji Tingkat Nasional dalam PKM bidang penelitian pada Pekan Ilmiah Mahasiswa (PIMNAS) XXI di UNISULA Semarang 2008 dan mendapatkan medali setara perak. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul Efektifitas Desinfektan alami dari Chitosan sebagai Pereduksi Bakteri Escherichia coli dan Beberapa Bakteri Lain yang Teridentifikasi pada Udang Galah Segar dibawah bimbingan Dra. Pipih Suptijah, MBA dan Ir. Komariah Tampubolon, MS.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian berjudul Efektifitas Desinfektan Alami dari Chitosan sebagai Pereduksi beberapa Bakteri yang Teridentifikasi Pada Udang Galah Segar. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah mengantar umat manusia ke era penuh kemajuan dan ilmu pengetahuan. Dengan skripsi yang sederhana ini semoga menambah khazanah ilmu pengetahuan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, sehingga masukan dan perbaikan terus menerus dari pembaca sangatlah penulis harapkan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberi dukungan selama penelitian ini, diantaranya : 1. Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA dan Ibu Ir. Komariah Tampubolon, MS. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dengan penuh kesabaran serta telah mencurahkan perhatiannya secara penuh sehingga terselesaikan skripsi ini. 2. Ibu Ir. Iriani Setyaningsih, MS dan Ibu Dra. Ella Salamah, M.Si sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan berharga kepada penulis. 3. Bapak, Ibu, Papah, dan Umi tercinta yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, motivasi, dan doa yang tak terbatas. 4. Suamiku Arief Setiawan tercinta dan putriku Rasya Ar Adzra Zahra tersayang atas, pengertian, kesabaran, kasih sayang, dukungan, dan segala hal yang tidak mungkin penulis sebutkan, terimakasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis. 5. Keluarga besar tercinta Dika, Genta, Mbak Dini, Mas Firman, Lutfan dan Ilmi atas dukungan, pengertian dan doanya. 6. Bapak Bambang Riyanto, Spi, M.Si atas bimbingan, pembelajaran, motivasi, dan masukan berharga terhadap penulis. 7. Ibu Dr. Yanyanti, dan Ibu Rohmatussolihat serta seluruh Tim BioteknologiLIPI yang telah banyak membantu penulis menyelesaikan penelitiannya.

8. Teman, sahabat, dan saudaraku di Al-demi tersayang, Eceu, Entid, Amel, Didiye, Ranti, Masikah, Enifia, dan Ulfa terimakasih atas persahabatan kita selama ini. 9. Sahabatku Indri, Ami, Dian, Aini, Riska, Bogel, dan Megia atas waktu yang telah diluangkan untuk mendengar keluh kesahku. 10. Teman-teman THP 41 yang senantiasa memberikan doa dan dukungan, serta bantuannya selama ini Laler, Windika, Ari, Eka, Glory, Dila, Nuzul, Anang, Nia, Ika, Sereli, Racun, Dery, Dani, Andika, Vera, Rijal, Gilang, Yudha, Bojong, Sait, Fahmi, Dede, Rijan, Alim, Syeni, Agnes, Barlian, Yogi dan semuanya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. 11. Teman-teman THP 39 (terutama Mas Dzakir), 40 (terutama Richi, Liani, Angling, Lisda, dan Vije), 42, dan 43 (terutama Supri dan Reza) atas kebersamaan dan semangatnya. 12. Semua pihak yang telah membaca dan menggunakan karya ilmiah ini sebagai bahan acuan ataupun untuk kegunaan lainnya.

Bogor, Juli 2008

Penulis

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... 1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1.2. Tujuan Penelitian ............................................................................. 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2.1. Udang Galah .................................................................................... 2.3.1. Mikroorganisme udang ........................................................ 2.2. Proses Pengolahan Udang ................................................................ 2.3. Chitosan .......................................................................................... 2.3.1. 2.3.2. 2.3.3. 2.3.4. 2.3.5. 2.3.6. Pengertian chitosan .............................................................. Sumber chitosan ................................................................... Proses pembuatan ................................................................. Aplikasi chitosan.................................................................. Sifat fisika dan kimia chitosan ............................................ Karakteristik chitosan sebagai desinfektan alami ................ viii ix x 1 1 3 4 4 6 8 9 9 9 10 13 14 16 17 18 21 23 25 25 25 26 26 26 27 27 28 28 29 29 30

2.4. Bakteri .............................................................................................. 2.4.1. Identifikasi bakteri ............................................................... 2.4.2. Escherichia coli.................................................................... 2.5. Chromocult....................................................................................... 3. METODOLOGI ...................................................................................... 3.1. Waktu dan Tempat ........................................................................... 3.2. Bahan dan Alat ................................................................................. 3.3. Metode Penelitian ............................................................................ 3.3.1. Penelitian pendahuluan .......................................................... 3.3.1.1. Identifikasi bakteri dalam air tambak ....................... 3.3.1.2. Identifikasi bakteri dalam udang galah segar ........... 3.3.1.3. Identifikasi genus bakteri dengan uji biokimia......... a. Uji aktivitas enzim ekstraseluler ............................... b. Fermentasi karbohidrat.............................................. c. Uji triple sugar-iron (TSI) agar ................................. d. Uji IMViC ................................................................. e. Hydrogen sulfide test ................................................

f. Uji Urease dan Reduksi Nitrat ................................... g. Uji katalase dan oksidase .......................................... 3.3.2. Penelitian utama ..................................................................... 3.3.2.1. Konfirmasi biakan Escherichia coli NBRC 14237 . 3.3.2.2. Persiapan inokulasi bakteri Escherichia coli pada udang ........................................................................ 3.3.2.3. Evaluasi efektifitas chitosan .................................... 3.4. Analisis organoleptik (SNI 01-2346-2006)...................................... 3.5. Rancangan Percobaan ...................................................................... 3.5.1. Perlakuan ................................................................................ 3.5.2. Rancangan .............................................................................. 3.5.3. Hipotesis................................................................................. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 4.1. Penelitian Pendahuluan .................................................................... 4.1.1. Identifikasi bakteri dalam air tambak ..................................... 4.1.2. Identifikasi bakteri dalam udang galah segar ......................... 4.2. Penelitian Utama .............................................................................. 4.2.1. Konfirmasi biakan Escherichia coli NBRC 14237 ................ 4.2.2. Persiapan inokulasi bakteri Escherichia coli pada udang ...... 4.2.3. Evaluasi efektifitas chitosan dalam mereduksi Escherichia coli ......................................................................................... 4.2.4. Evaluasi efektifitas chitosan dalam mereduksi bakteri yang teridentifikasi pada media chromocult.......................... 4.3. Uji Organoleptik .............................................................................. 4.3.1. Penampakan ........................................................................... 4.3.2. Bau ......................................................................................... 4.3.3. Tekstur ................................................................................... 4. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 4.1. Kesimpulan ...................................................................................... 4.2. Saran................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

30 31 31 31 32 33 33 34 34 35 36 37 37 37 46 54 54 55 56 58 60 61 62 63 66 66 66 67

DAFTAR TABEL

Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Produksi udang Indonesia (2003-2007) ................................................. Komposisi kimia rata-rata daging udang ............................................... Persyaratan mutu mikrobiologi produk udang mentah beku ................. Syarat-syarat chitosan komersial ........................................................... Jumlah mikroorganisme pada sampel air tambak dalam media chromocult ............................................................................................. Penampakan koloni bakteri air tambak, reaksi Gram, katalase, dan oksidase dari koloni representatif .......................................................... Identifikasi genus dengan uji biokimia terhadap koloni representatif pada air tambak ...................................................................................... Jumlah koloni mikroorganisme pada sampel udang dengan media chromocult ............................................................................................. Penampakan koloni bakteri udang galah segar, reaksi Gram, katalase dan oksidase dari koloni representatif ................................................... Identifikasi genus dengan uji biokimia terhadap koloni representatif pada udang galah segar .......................................................................... Jumlah koloni inokulum E. coli pada media chromocult ......................

Halaman 1 6 6 15 37 38 40 47 48 51 55

DAFTAR GAMBAR

Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Halaman 4 10 12 13 24 38 39 48 50 56 59 59

Morfologi udang galah ............................................................................... Struktur kimia chitin dan chitosan ............................................................. Diagram cara pembuatan chitin dan chitosan, serta beberapa pemanfaatan dan penggunan chitin dan chitosan ..................................... Diagram beberapa segi pemanfaatan dari chitin dan chitosan yang potensial ..................................................................................................... Bakteri yang teridentifikasi pada media chromocult ................................. Amatan mikroskop pada bakteri air tambak yang dimurnikan ................. Uji biokimia terhadap koloni representatif pada air tambak ...................... Amatan mikroskop pada bakteri udang galah segar yang dimurnikan ...... Uji biokimia terhadap koloni representatif pada udang galah segar ....... Jumlah reduksi bakteri Escherichia coli setelah perlakuan dengan desinfektan .............................................................................................. Kurva reduksi jumlah bakteri Enterobacter dengan perlakuan desinfektan .............................................................................................. Kurva reduksi jumlah bakteri Pseudomonas dengan perlakuan desinfektan .............................................................................................. Diagram batang rata-rata penilaian panelis terhadap penampakan udang galah segar dengan berbagai perlakuan pencucian dengan konsentrasi chitosan yang berbeda.......................................................... Diagram batang rata-rata penilaian panelis terhadap bau udang galah segar dengan berbagai perlakuan pencucian dengan konsentrasi chitosan yang berbeda ............................................................................. Diagram batang rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur udang galah segar dengan berbagai perlakuan pencucian dengan konsentrasi chitosan yang berbeda .............................................................................

61

14.

63

15.

64

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Spesifikasi Chitosan yang Digunakan ................................................. Contoh perhitungan pembuatan larutan chitosan................................. Score sheet penilaian organoleptik terhadap udang galah ................... Data mentah jumlah pertumbuhan bakteri pada sampel air tambak dengan media chromocult .................................................................... Jumlah mikroorganisme pada sampel udang galah segar dalam media chromocult ................................................................................. Data mentah jumlah pertumbuhan bakteri Escherichia coli yang telah mendapatkan perlakuan desinfektan ........................................... Data mentah jumlah pertumbuhan bakteri Enterobacter yang telah mendapatkan perlakuan desinfektan .................................................... Data mentah jumlah pertumbuhan bakteri Pseudomonas yang telah mendapatkan perlakuan desinfektan .................................................... Contoh perhitungan jumlah koloni per forming unit (CFU) ................ Contoh perhitungan nilai reduksi bakteri ............................................. Rekapitulasi data organoleptik penampakan udang galah segar .......... Rekapitulasi data organoleptik bau udang galah segar ........................ Rekapitulasi data organoleptik tekstur udang galah segar ................... Uji statistik untuk penampakan ............................................................ Uji statistik untuk bau .......................................................................... Uji statistik untuk tekstur ..................................................................... Daftar bahan-bahan yang digunakan (Cappucino dan Sherman 1983) Sistem penarikan taksonomi berdasarkan Bergeys Manual (1974) ..... Gambar bahan-bahan yang digunakan ................................................. Gambar alat-alat yang digunakan ........................................................

Halaman 72 73 74 75 76 77 79 81 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 102 103

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia secara keseluruhan mencapai 65 juta ton yang terdiri dari 7,3 juta ton pada sektor perikanan tangkap dan 57,7 juta ton pada sektor perikanan budidaya (Dahuri 2004). Diantara potensi tersebut, udang merupakan sektor andalan bagi ekspor pemerintah. Produksi udang Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Produksi udang Indonesia tahun 2003-2007 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 Peningkatan Udang laut Udang tambak Udang tawar 135.969 197.114 221.010 234.859 249.242 17,3 412.935 430.017 454.710 473.128 501.977 5,9 177.622 214.393 222.790 254.625 281.262 12,3 Total 726.526 841.524 898.510 962.612 1.032.481 9,2 % 15,8 6,7 7,1 7,2 9,2

Sumber : DKP 2007

Hingga pertengahan tahun 2007 total ekspor udang sebanyak 92.647 ton atau senilai dengan US$ 920,5 juta atau Rp 8,3 triliun. Jumlah ini cenderung menurun jika dibandingkan dengan jumlah ekspor tahun 2006 dimana ekspor udang sebesar 169.329 ton atau senilai dengan total US$ 980,2 juta atau

Rp 8,8 triliun (DKP 2007). Penurunan jumlah nilai ekspor tersebut diatas terkait dengan penolakan udang yang berasal dari Indonesia pada sejumlah negara seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa sebagai tujuan ekspor udang Indonesia yang utama. Penolakan sejumlah udang yang berasal dari Indonesia ini terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh NFI (National Fisheries Institute) serta Uni Eropa yang sangat memperhatikan mutu produk udang yang mereka impor. Desinfektan biasa digunakan untuk mereduksi mikroorganisme penyebab foodborne disease. Jenis desinfektan yang banyak digunakan adalah klorin, karena beberapa kelebihan yang dimilikinya dimana diantaranya adalah harga yang murah, dan keefektifan dalam menginaktifkan bakteri hanya dengan waktu kontak

yang pendek (Kim et al. 2000). Namun penelitian terkini membuktikan bahwa klorin memiliki efek karsinogenik (Bets 2005), di lain pihak Henneberger et al. (2005) menyatakan bahwa klorin memiliki efek iritasi pada hidung, tenggorokan, dan saluran respirasi bagian atas. Klorin dengan konsentrasi 125 ppm berpotensi menyebabkan kerusakan saluran pernapasan yang fatal termasuk bronkitis dan pulmonary edema. Henneberger et al. (2005) di dalam kajiannya juga mengungkapkan bahwa orang yang berinteraksi dengan klorin dalam jangka waktu 24 bulan secara berturut-turut dapat menyebabkan penurunan fungsi kerja paru-paru secara permanen. Permasalahan tersebut juga ikut meningkatkan penolakan udang yang berasal dari Indonesia oleh pasar Uni Eropa dimana mereka telah menetapkan zero tolerance terhadap beberapa senyawa kimia seperti klorin dan kloramfenikol terhadap produk seafood impor (DKP 2007). Fenomena ini telah mendorong pada penelitian dan kebutuhan tentang suatu bentuk lain dari desinfektan yang dapat mengeliminasi bakteri serta menurunkan jumlah penyakit yang disebabkan oleh makanan, serta terbuat dari bahan yang lebih aman dan ramah lingkungan. Salah satu terobosan baru yang memungkinkan adalah penggunaan chitosan sebagai desinfektan alami yang diaplikasikan pada air pencuci udang. Hal ini cukup menarik mengingat chitosan berbahan dasar alami dan tidak meninggalkan residu yang berbahaya di dalam tubuh manusia, dimana saat ini sangat menarik bagi kalangan pelaku industri makanan di Jepang dan Amerika. Chitosan merupakan komponen glukosamin dan juga turunan chitin melalui proses deasetilasi dan banyak terkandung pada lapisan cangkang kepiting, crustacea dan juga terdapat pada serangga, alga, diatom, dan kapang (Rinaudo 2006). Chitosan banyak digunakan pada berbagai bidang diantaranya adalah pada pengolahan air limbah, sebagai agen anti tumor (Chaiyakosha et al. 2007), menurunkan kolestrol pada tubuh manusia pada konsentrasi 50 ppm (Kanauchi et al. 1995), selain itu chitosan juga dapat berfungsi sebagai agen anti mikroba (Sudarshan et al. 1992). Beberapa kajian yang pernah dilakukan terhadap chitosan didapatkan hasil yang menarik, dimana chitosan memiliki efekifitas yang cukup baik jika digunakan pada industri makanan sebagai pengawet makanan dan desinfektan alami karena chitosan dapat berfungsi dalam menghambat bakteri,

jamur, kapang dan khamir (No et al. 2002). Tsai et al. (2002) melakukan kajian tentang efek bakterisidal pada chitosan dimana chitosan mampu mereduksi bakteri foodborne gram positif dan gram negatif pada fillet ikan segar dan oyster, seperti Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Yersinia enterocolitica, Lysteria monocytogenes, Salmonella typhimurium, dan Vibrio cholerae. Adanya chitosan yang digunakan sebagai desinfektan alami yang diterapkan pada air pencuci udang dan dapat berfungsi sebagai pengganti klorin diharapkan dapat memperbaiki aplikasi baru bagi industri udang sehingga dapat memperbaiki mutu sesuai dengan permintaan pasar serta meningkatkan kembali tingkat ekspor udang Indonesia ke luar negeri. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan khusus dilakukannya penelitian mengenai pemanfaatan chitosan sebagai desinfektan alami dalam mereduksi beberapa bakteri yang teridentifikasi pada udang segar dengan menggunakan media chromocult yaitu: (1) Mengidentifikasi jenis bakteri yang ditemukan pada air tambak dan udang galah segar dengan media chromocult (2) Mengamati pengaruh konsentrasi chitosan, serta waktu perendaman yang terbaik yang dapat diterapkan pada air pencuci udang dengan mengevaluasi keberadaan Escherichia pencucian (3) Mengetahui efektifitas chitosan dalam mereduksi bakteri lain yang teridentifikasi pada udang galah segar dengan menggunakan media chromocult. coli pada udang setelah proses

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udang Galah Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) merupakan jenis udang air tawar paling besar ukurannya di Indonesia (LIPI 1977). Panjang tubuhnya dapat mencapai 15-25 cm dengan berat 100-300 gram (BPPT 2005). Udang jenis ini memiliki potensi yang besar untuk semakin dikembangkan dalam sistem budidaya air tawar, karena merupakan komoditas unggulan untuk diekspor (Daulay dan Djajadireja 1979). Houlthuis (1950) menyatakan bahwa di Indonesia udang galah banyak ditemukan di Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi. Berikut merupakan klasifikasi dari udang galah menurut Houlthis (1950). Filum Kelas Ordo Famili Sub Famili Genus Spesies : Arthropoda : Crustacea : Decapoda : Palaemonidae : Palaemoninae : Macrobrachium : Macrobrachium rosenbergii

Gambar 1. Morfologi udang galah (Sumber : FAO 2002) Jayachandran (2001) menyatakan bahwa udang galah mempunyai ciri khusus dibanding dengan jenis udang lainnya, yaitu kedua kakinya tumbuh dominan. Ciri khas lain yang dapat dikenali dengan mudah adalah kepala berbentuk kerucut, rostrum melebar pada bagian ujung dengan bentuk yang memanjang dan melengkung ke atas. Bagian atas terdapat gigi seperti gergaji

berjumlah 12 buah dan bagian bawah 11 buah. Sepasang mata bertangkai, terletak pada pangkal rostrum dengan jenis matanya termasuk mata majemuk atau mata faset (Murtidjo 1992), dan jika masih segar berwarna biru tua keunguan (LIPI 1977). Dalam siklus hidupnya udang galah menempati dua habitat (Murtidjo 1992). Pada saat dewasa dan matang gonad hingga telur menetas menjadi plankton atau larva stadium 11, udang galah biasa hidup di air payau, tetapi setelah menjadi juvenil sampai usia dewasa udang galah lebih senang hidup di air tawar (New 2002). Pada dasar badan udang dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian chepalothorax dan bagian abdomen. Chepalothorax merupakan gabungan dari kepala dan dada, sedangkan bagian abdomen merupakan bagian terbesar dari udang, yang ada di dalamnya dan terkandung sebagian besar daging yang dapat dimakan dan bagian ekor (telson). Bagian kepala merupakan 34-44 % dari seluruh berat badan, daging keseluruhan 24-41%, dan persentase kulit dan ekornya berkisar antara 17-23% (Chaiyakosha et al. 2007). Udang adalah salah satu produk perikanan dengan rasa yang khas dan kandungan nilai gizi yang tinggi. Daging udang mempunyai kelebihan dalam hal kandungan asam aminonya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan daging hewan darat. Daging udang memiliki jumlah asam amino tirosin, triptofan, dan sistein yang lebih tinggi, namun kandungan histidin yang lebih rendah jika dibandingkan dengan daging hewan darat. Di samping itu, daging udang mempunyai rasa lebih enak jika dibandingkan dengan daging hasil perikanan lain (Chaiyakosha et al. 2007). Adapun komposisi kimia rata-rata daging udang menurut Hadiwiyoto (1993) tercantum dalam Tabel 2. Dalam Standar Nasional Indonesia Udang Beku menurut Badan Standaridisasi Nasional (2007) tentang RSNI 01-2705-2005 dimana terdapat spesifikasi persyaratan mutu yang meliputi mutu organoleptik, fisika, dan mikrobiologi. Spesifikasi tentang persyaratan mutu mikrobiologi produk udang beku disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata daging udang Kandungan Kimia Air Protein Garam mineral Kalsium Fosfor Zat besi Natrium Kalium Senyawa nitrogen non protein
Sumber : Hadiwiyoto 1993

Jumlah 78,2 % 18,1% 1,4% 1145-320 mg / 100 gram 270-350 mg/100 gram 1,6 mg/100 gram 140 mg/100 gram 220 mg / 100 gram 0,81%

Tabel 3. Persyaratan mutu mikrobiologi produk udang mentah beku Jenis Uji Organoleptik Nilai minimal Mikrobiologi Jumlah bakteri TPC/gram maksimal E. Coli MPN/ gram maksimal Salmonella Vibrio cholerae Vibrio parahaemolyticus (MPN) Fisika Bobot tuntas Filth Suhu pusat maksimum Kimia Kloramfenikol (ppb) Nitrofuran (ppb) Tetrasiklin (ppb)
Sumber : RSNI 01-2705-2005

Persyaratan Mutu 7 5 x 105 Maksimal < 2 Negatif Negatif Maksimal < 3 Sesuai label Negatif -18C Maksimal 0 Maksimal 0 Maksimal 100

2.1.1. Mikroorganisme udang Salah satu faktor penting yang menentukan kualitas udang, atau bahan pangan pada umumnya, adalah kandungan mikroorganismenya. Bahan pangan menjadi tidak dapat diterima secara mikrobiologis apabila terdapat pertumbuhan

mikroba pembusuk maupun pathogen. Mikroba pembusuk berperan dalam menghasilkan perubahan dari kualitas sensori pangan. Sedangkan mikroba pathogen menjadikan pangan tersebut tidak aman untuk dikonsumsi (Walker dan Stringer 1990). Meskipun beberapa faktor yang berhubungan dengan sumber kontaminasi dan parameter-parameter yang mempengaruhi pertumbuhan relatif sama untuk keduanya, namun masalah keamanan pangan harus lebih diutamakan. Beberapa saat setelah ditangkap, udang akan segera mati dan mulai mengalami pembusukan. Proses dekomposisi udang merupakan hasil dari kombinasi antara pertumbuhan mikroba dan aktifitas enzim yang secara alami ada di dalam jaringan (Finne 1982). Proses tersebut menghasilkan senyawa-senyawa yang mengakibatkan perubahan warna, off odor, dan off flavor (Fieger dan Novak 1961). Mikroba yang terdapat pada udang mencerminkan karakteristik mikrobiologis dari air dimana udang tersebut berasal (Ayres et al. 1980). Jumlah mikroba yang terdapat pada udang utuh yang baru ditangkap berkisar antara 103 hingga 105 per gram. Umumnya bagian kepala mengandung kurang lebih tiga perempat bagian dari total mikroba yang ada (Ayres et al. 1980). Simmonds dan Lamprecht (1985) menyatakan bahwa pengaruh penanganan selama pengolahan terhadap populasi mikroba pada produk terdiri dari 2 bentuk, yaitu terjadinya peningkatan jumlah mikroba yang dapat disebabkan oleh kontaminasi dari luar dan peningkatan flora mikroba yang telah ada pada udang akibat denaturasi protein ataupun degradasi lemak pada tubuh udang itu sendiri. Hal tersebut dapat diminimalkan dengan menjaga suhu pada setiap tahapan serendah mungkin, meningkatkan kesadaran pekerja, dan melaksanakan prosedur pembersihan dan desinfeksi secara teratur. Usaha untuk mencegah penurunan mutu udang setidaknya meliputi dua masalah yang berbeda. Mempertahankan jumlah mikroorganisme dalam jumlah yang rendah dan mengontrol proses oksidasi senyawa phenol yang menghasilkan melanin. Reaksi ini dipicu oleh enzim phenolase yang secara alami terdapat di dalam jaringan menghasilkan penampakan bintik hitam (black spot) pada permukaan udang (Fieger dan Novak 1961).

2.2. Proses Pengolahan Udang Tahapan awal pengolahan udang dari keseluruhan proses produksi pada beberapa perusahaan adalah sebagai berikut, tahap pertama adalah penerimaan bahan baku. Bahan baku dari tambak diangkut ke perusahaan dengan menggunakan truk atau mobil bak terbuka. Selama pengangkutan, udang diletakkan dalam bak plastik (coolbox) yang diberi es balok dan es curai untuk menjaga kesegaran udang selama perjalanan. Klorin merupakan salah satu bahan utama yang digunakan dalam proses pencucian udang dalam skala industri. Dalam pengolahannya pencucian udang dengan menggunakan klorin dapat dilakukan hingga 4 kali dengan konsentrasi dan waktu penggunaan klorin yang berbeda-beda pada setiap perusahaan. Setelah sampai di perusahaan, bahan baku dibongkar dan dimasukkan ke dalam keranjang plastik untuk ditimbang. Udang yang telah ditimbang dicuci dengan air yang mengandung klorin dengan konsentrasi 100-200 ppm dan bervariasi pada setiap pabrik yang bertujuan untuk menghilangkan kotorankotoran yang melekat pada tubuh udang dan untuk mereduksi jumlah bakteri. Setelah pencucian tahap pertama, dilakukan pemotongan kepala dengan cara mematahkan kepala dari atas ke bawah mulai dari batas kaki jalan hingga kelopak penutup kepala dengan posisi punggung menghadap ke atas (Sulistia 2004). Udang kemudian dicuci dengan air yang mengandung klorin dengan konsentrasi 50-150 ppm dan biasanya bervariasi pada setiap pabrik. Setelah pencucian tahap kedua, dilakukan sortasi berdasarkan mutu, ukuran dan warna udang. Udang yang telah disortir lagi (sortasi final) untuk mengecek ketepatan dari hasil sortasi ukuran, kemudian dicuci dengan air yang mengandung klorin dengan konsentrasi 10-25 ppm dan biasanya bervariasi pada tiap pabrik. Setelah pencucian tahap ketiga, dilakukan penimbangan. Kemudian udang dicuci dengan air yang mengandung klorin 5-10 ppm dan bervariasi pada setiap pabrik. Setelah pencucian tahap keempat, udang disusun dalam inner pan yang sebelumnya telah dicuci dan dibersihkan. Untuk menjaga rantai dingin, dalam setiap tahapan proses meja selalu ditaburi dengan es keping.

Fadlihu (2003) menyatakan bahwa klorin biasa digunakan pada industri pengolahan udang. Klorin yang digunakan umumnya dalam bentuk kalsium hipoklorit (Ca(OCl)2) atau lebih dikenal dengan nama kaporit dimana konsentrasi yang digunakan berbeda-beda pada setiap tahap proses produksi. 2.3. Chitosan Chitosan merupakan produk dari proses deasetilasi chitin yang memiliki sifat unik sehingga dapat digunakan dalam berbagai keperluan. Hal ini menyebabkan chitosan memiliki potensi industri yang cukup besar, akan tetapi potensinya belum dimanfaatkan secara optimum di Indonesia. Chitosan juga merupakan produk alami yang tidak beracun dan polisakarida yang tidak larut air, yang diekstrak dari kulit udang. Disamping itu chitosan juga merupakan biopolimer kationik yang dapat didegradasi (Kofuji et al. 2005). 2.3.2. Sumber chitosan Chitin sebagai sumber awal chitosan merupakan biopolimer yang cukup melimpah di alam. Sebagian besar chitin dapat diperoleh dari krustasea laut seperti kepiting, udang, oyster, dan cumi-cumi (Yi et al. 2005). Sumber chitin dan chitosan yang cukup banyak dan terdapat dalam perairan Indonesia adalah limbah udang. Hal ini sejalan dengan munculnya udang yang telah menjadi salah satu komoditas primadona dalam industri pengolahan hasil perikanan, sejak diresmikannya program peningkatan devisa non migas terutama dari sub sektor perikanan (Suptijah et al. 1992 ). Suptijah et al. (1992) menyatakan bahwa sumber chitin dan chitosan yang merupakan limbah udang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis berdasarkan jenis pengolahannya yaitu kepala udang (biasanya merupakan hasil samping dari industri pembekuan udang tanpa kepala), kulit udang (biasanya merupakan hasil samping dari industri pembekuan udang atau industri pengalengan udang), dan campuran keduanya (biasanya berasal dari industri pengalengan udang).

2.3.1. Pengertian chitosan

10

2.3.3. Proses pembuatan Chitosan merupakan polimer linier yang tersusun oleh 2000-3000 monomer N-asetil D-glukosamin dalam ikatan (1-4), tidak toksik dengan LD50 setara dengan 16 g/kg BB dan mempunyai berat molekul 800 Kda. Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer chitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari chitosan (Tang et al. 2007). Adapun struktur chitosan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2.

Struktur kimia (a) chitin dan (Prashanth dan Tharanathan 2007).

(b)

chitosan

Kulit udang memiliki senyawa kimia yang disebut chitin, dengan rumus molekul (C8H13NO5)n. Chitosan didapatkan dari chitin melalui proses yang disebut dengan deasetilasi. Adapun chitin diperoleh dengan proses deproteinasi dan demineralisasi. Yang disebut dengan proses demineralisasi merupakan proses penghilangan mineral yang dikandung kulit udang. Pada tahap ini dilakukan dengan menambahkan larutan HCl 1,5 N dengan perbandingan 1 : 7 yaitu 1 kg kulit udang dan 7 liter larutan HCl 1,5 N, kemudian dipanaskan pada suhu 90C. Mineral utama kulit udang adalah CaCO3 dan sedikit Ca3(PO4)2. Saat didemineralisasi, senyawa kalsium akan bereaksi dengan HCl menghasilkan

11

kalsium klorida, asam karbonat dan asam fosfat yang larut air. Supaya proses demineralisasi dapat berlangsung sempurna, diusahakan agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin dan disertai pengadukan yang konstan. Pengadukan yang konstan menyebabkan asam konsentrasi rendah dapat bereaksi sempurna dengan bahan baku yang digunakan. Pada saat pencampuran dengan larutan HCl akan timbul buih yang menunjukkan adanya reaksi antara garam mineral dengan HCl menghasilkan garam-garam klorida (CaCl2) dan gas CO2 dimana garam mineral akan larut dalam HCl sehingga terpisahkan dari limbah udang. Setelah melalui proses demineralisasi dilanjutkan dengan tahap deproteinasi yaitu proses penghilangan protein dengan menggunakan larutan NaOH 3,5 N dengan perbandingan 1 : 10 pada suhu 90C selama satu jam. Protein yang terdapat dalam kulit udang terekstrak dalam bentuk Na-proteinat. Ion Na+ akan mengikat ujung rantai protein yang bermuatan (-) dan melarut dalam larutan pengekstrak. Pada tahap ini terbentuk chitin. Tahap terakhir adalah proses deasetilasi yaitu penghilangan gugus asetil dari chitin dengan menggunakan larutan NaOH 50% dengan perbandingan 1 : 10 pada suhu 140 C selama 1 jam. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil (COCH3) dari chitin. Penggunaan suhu tinggi dengan konsentrasi NaOH tinggi (50%) ini, berkaitan dengan ikatan kuat antara atom nitrogen pada gugus amin dengan gugus asetil, selain itu chitin termasuk salah satu polisakarida yang sangat sulit dihidrolisis dalam suasana asam atau basa. Setiap tahap selalu diikuti dengan proses pencucian dengan meggunakan aquades atau air bersih sampai netral (Suptijah et al. 1992). Chitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya. Hal ini menyebabkan chitosan bermuatan positif yang berlawanan dengan polisakarida lainnya (Rinaudo 2006). Chitosan merupakan polielektrolit netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, anion polisakarida, dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan chitosan membentuk ion netral.

12

Chitosan

merupakan

polisakarida

yang

masuk

ke

dalam

kelas

makromolekul, memiliki kecenderungan bioaktif dan umumnya dibuat dari bahanbahan alam dari hasil pertanian maupun berasal dari limbah udang, kerang-kerangan maupun kepiting (Prashanth dan Tharanathan 2007). Selulosa, pektin merupakan biopolimer turunan dari yang terdahulu, sedangkan chitin dan chitosan merupakan turunan akhir. Prashanth dan Tharanathan (2007) mengemukakan bahwa chitin juga dapat dibuat dari penggunaan jamur dan bakteria, hal ini dapat terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram cara pembuatan chitin dan chitosan, serta beberapa pemanfaatan dan penggunan chitin dan chitosan (Prashanth dan Tharanathan 2007) Chitin dan chitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofilik, memiliki reaktivitas kimia yang tinggi yang disebabkan oleh kandungan gugus OH dan gugus NH2 yang bebas, dan ligan yang bervariasi. Kumpulan gugus hidroksil (hidroksil pertama pada C-6 dan hidroksil yang kedua pada C-3) serta gugus amino yang sangat reaktif (C-2) atau N-asetil yang seluruhnya terdapat pada chitin (Prashanth dan Tharanathan 2007). Di samping itu, ketahanan kimia keduanya cukup baik yaitu chitosan larut dalam larutan

13

asam, tetapi tidak larut dalam basa dan posisi silang chitosan memiliki sifat yang sama baiknya dengan chitin, serta tidak larut dalam media campuran asam dan basa (Tang et al. 2007). 2.3.4. Aplikasi chitosan Penentuan kualitas chitosan tergantung pada pemakaiannya,misalnya pada proses pemurnian (non makanan) biasanya tidak memperdulikan mutunya. Namun untuk aplikasi lain terutama yang berhubungan dengan kesehatan kualitas sangat dibutuhkan (Tamura et al. 2002).

Chitin / chitosan

Substitusi

Asilasi Sulfasi Schiff base Substitusi enzim Pengikatan logam Crosslinking Graft copolymeritation Polimer network Asam : HCL, HNO2 Radikal bebas : H2O2, K2S2O8 Radiasi Ultrasound microwave perlakuan panas Chitinase, Chitosanase

Turunan

Pemanjangan rantai Depolimerisasi Kimia

Fisika

Enzim

Gambar 4.

Diagram beberapa segi pemanfaatan dari chitin dan chitosan yang potensial (Prashanth dan Tharanathan 2007)

Chitin dan chitosan ini telah diaplikasikan dengan sangat luas. Proses kationisasi mengarah kepada pembentukan grup yang fungsional dan reaktif (gugus 1 amino dan 2 hydroxyl setiap residu GlcN) di dalam molekul tersebut yang membuat chitosan terlihat seperti biomolekul. Gugus amino bebas yang terdapat pada setiap monomernya yang dihasilkan dari gugus amino, berdasarkan

14

pada proses protonasi, yang dilakukan pada media larutan asam. Beberapa dari turunan serta aplikasi pada dunia global seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4. Abdou et al (2007) menyatakan bahwa chitosan dapat dimanfaatkan pada berbagai bidang diantaranya adalah aplikasi pada bidang teknik dimana diantaranya pada industri tekstil dan kertas karena sifatnya yang biodegradable dan memiliki aktifitas antibakteri. Selain itu chitosan dapat dimanfaatkan dalam hal bioteknologi sebagai imobilisasi enzim, medium kultur tumbuhan, bidang obat-obatan dan kesehatan, bidang kecantikan, dan dalam bidang pangan. Aplikasi chitosan dalam bidang pangan, salah satunya adalah sebagai makanan berserat sehingga dapat meningkatkan masa feses, menurunkan respon glisenik dari makanan dan menurunkan kadar kolestrol (Abdou et al. 2007). 2.3.5. Sifat fisika dan kimia chitosan Chitosan larut dalam asam mempunyai keunikan yaitu membentuk gel yang stabil dan mempunyai dwi kutub, yaitu muatan negatif pada gugus karboksilat dan muatan positif pada gugus NH. Karakterisasi chitosan dapat ditentukan dari kelarutannya dalam asam lemah seperti asam asetat. Chitosan lebih mudah larut dalam asam asetat 1-2 % dan akan membentuk suatu garam ammonium asetat (Tang et al. 2007). Chitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya. Hal ini menyebabkan chitosan bermuatan positif yang berlawanan dengan polisakarida yang lainnya (Whang et al. 2005). Chitosan merupakan polielektrolit netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, anion polisakarida, dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan chitosan membentuk ion netral (Qin et al. 2005). Chitosan mengandung cukup banyak gugus polisakarida setelah selulosa. Berat molekul chitosan 1,036 x 105 dalton. Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer chitin, maka semakin kuat interaksi interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dan peroksida dari chitosan (Tamura et al. 2002). Chitin dan chitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofilik, memiliki reaktifitas kimia yang tinggi (karena mengandung gugus OH dan gugus NH2) untuk ligan yang bervariasi (sebagai bahan pewarna dan penukar

15

ion). Disamping itu ketahanan kimia keduanya cukup baik, yaitu chitosan larut dalam larutan asam tetapi tidak dalam larutan basa dan posisi silang chitosan memiliki sifat yang sama baiknya dengan chitin, serta tidak larut dalam media campuran asam dan basa (Prashanth dan Tharanathan 2007). Pada umumnya, mutu chitosan ditentukan oleh beberapa parameter yaitu bobot molekul, kadar air, kadar abu, kelarutan, warna dan derajat deasetilasi. Standar mutu yang didasarkan pada spesifikasi dari PT. Vitalhouse, salah satu distributor chitin dan chitosan terbesar di Indonesia, untuk beberapa penerapan dan aplikasi disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Syarat-syarat chitosan komersial Spesifikasi Penampakan Granula Derajat deasetilasi Viskositas dalam asam asetat 1% (Cps) Berat molekul Kandungan kelembaban Kandungan abu Ketidaklarutan pH(1%) Logam berat Total Plate Count Coliform / bakteri E.coli Kapang dan jamur Edible chitosan Putih Bubuk atau serpihan 80%; 85%; 90%; 95% 30-1000 10.000 2.500.000 10% 1,0% 1,0% 7-9 < 10 ppm < 10/g Tidak ada Tidak ada Chitosan komersial Putih, abu-abu, atau kuning Bubuk atau serpihan 80%; 85%; 90% ; 95% 30-2000 10.000 2.500.000 10% 2,0% 2,0% 7-9 -

Sumber : Fu Zhou Corona Science & Technology Development Co., Ltd., 2007

Chitosan yang memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi menyebabkan chitosan mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar dan non polar yang dikandungnya. Karena kemampuan tersebut, chitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik, sebagai pengikat, penstabil, dan pembentuk tekstur. Chitosan memiliki

16

kemampuan yang sama dengan bahan pembentuk tekstur lain seperti CMC (Karboksi Metil Selulosa) dan MC (Metil Selulosa) yang dapat memperbaiki penampakan dan tekstur suatu produk karena memiliki daya pengikat air dan minyak yang kuat dan tahan panas (Tang et al. 2007). 2.3.6. Karakteristik chitosan sebagai desinfektan alami Chitosan digunakan sebagai desinfektan/antibakteri dikarenakan beberapa sifat yang dimiliki yaitu kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan kemampuannya dalam memberikan pelapisan terhadap produk sehingga meminimalkan interaksi antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja chitosan sebagai pengawet adalah afinitas yang dimiliki oleh chitosan yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesa protein (Hadwiger dan Loschke 1978 diacu dalam Hardjito 2006). Sifat aktifitas antimikroba dari chitosan dalam melawan bakteri tergantung dari berat molekul dan derajat deasetilasi. Berat molekul dan derajat deasetilasi yang lebih besar menunjukkan aktifitas antimikroba yang lebih besar (No et al. 2002). Chitosan sebagai polikationik amin akan berinteraksi dengan kutub negatif dari lapisan sel bakteri (Young dan Kauss 1983 diacu Chaiyakosha et al. 2007). Helander et al (2001) diacu Chaiyakosha et al.(2007) menyatakan bahwa reduksi sejumlah sel bakteri disebabkan oleh perubahan permukaan sel dan kehilangan fungsi pelindung dalam sel bakteri tersebut. Bakteri Gram negatif dengan lipopolisakarida dalam lapisan luarnya memiliki kutub negatif yang sangat sensitif terhadap chitosan. Dalam penelitiannya Tsai et al. (2002) menemukan bahwa chitosan dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli, adanya penghambatan ini disebabkan oleh adanya keelektronegatifan permukaan sel E. coli. Perubahan dalam potensial permukaan E.coli selama pertumbuhan, yaitu terjadinya peningkatan keelektronegatifan seiring dengan peningkatan umur sel, yaitu sampai pertumbuhan lambat, namun keelektronegatifan akan menurun setelah bakteri mencapai fase stasioner. Di lain pihak, Simpson (1997) diacu Suptijah (2006) menyatakan bahwa chitosan dapat digunakan sebagai antibakteri dengan mekanisme sebagai berikut:

17

chitosan dapat berikatan dengan membran sel, diantaranya dengan glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membran, terutama fosfatidil kolin (PC) sehingga menyebabkan permeabilitas inner membran (IM) jadi meningkat dan dengan meningkatnya permeabilitas IM memberi jalan yang mudah untuk keluarnya cairan sel. Khususnya pada E. coli setelah 60 menit komponen enzim -galaktosidase dapat terlepas, berarti dapat keluar dengan sitoplasma bahkan sambil membawa komponen metabolit yang lain, yang berarti terjadi lisis. Sehubungan dengan meningkatnya lisis maka tidak akan terjadi pembelahan sel (regenerasi), bahkan dapat sampai mati. Wang (1992) menemukan bahwa aktifitas bakterisidal dari chitosan telah diobservasi dapat melawan beberapa bakteri gram negatif diantaranya adalah Escherichia coli. Dalam penelitiannya Chaiyakosha et al. (2007) menemukan bahwa chitosan dengan konsentrasi 150 ppm dan lama perendaman selama 5 menit mampu mengurangi bakteri Vibrio parahaemolyticus sebesar 90%. 2.4. Bakteri Bakteri berasal dari kata latin bacterium yang berarti termasuk dalam kelompok besar dari organisme hidup. Bakteri berukuran sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan bersifat uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas. Bakteri termasuk ke dalam jenis prokariota. Pada umumnya bakteri memiliki ukuran dengan diameter antara 0,5 1 m (Kim et al. 2000). Berdasarkan komposisi dan dinding sel, bakteri dibedakan menjadi bakteri gram negatif dan bakteri gram positif. Bakteri gram positif memiliki struktur dinding sel yang tebal (15-20m) dan berlapis tunggal, dengan komposisi dinding sel terdiri atas lipid, peptidoglikan, dan asam tekoat. Kandungan lipid bakteri gram positif lebih rendah (1-4%). Peptidoglikan sebagai lapisan tunggal memiliki jumlah yang lebih dari 50% berat kering sel bakteri. Bakteri gram positif rentan terhadap penisilin, namun lebih resisten terhadap gangguan fisik. Persyaratan nutriennya relatif lebih rumit pada banyak spesies (Venkitanarayanan et al. 1999) Pada bakteri gram negatif, struktur dinding sel berlapis tiga dengan ketebalan yang tipis (10-15nm). Komposisi dinding sel terdiri atas lipid dan

18

peptidoglikan dengan jumlah sekitar 10% dari berat kering. Kandungan lipid pada bakteri gram negatif cukup tinggi, yaitu 11-22%. Bakteri gram negatif umumnya kurang rentan terhadap penisilin dan kurang resisten terhadap gangguan fisik. Persyaratan nutriennya relatif sederhana dibandingkan dengan bakteri gram positif. 2.4.1. Identifikasi bakteri Bakteri dapat diidentifikasi dengan berbagai metode, diantaranya adalah dengan menggunakan metode pengujian biokimia pada aktifitas mikroorganisme. Identifikasi dan pemisahan mikroorganisme dilakukan dengan berbagai alasan diantaranya adalah pengujian bakteri pathogen yang memungkinkan sebagai penyebab penyakit infeksi, seleksi dan isolasi dari strains mikroorganisme yang penting untuk beberapa industri, dan membandingkan aktifitas biokimia untuk tujuan mendapatkan taksonomi ( Cappuccino dan Sherman 2001). Karakterisasi merupakan tahap pendahuluan yang penting sebelum dilakukan identifikasi. Karakterisasi merupakan dasar dalam identifikasi mikroba secara sistematik yang terdiri dari tiga tahap penting yaitu (a) klasifikasi mengelompokkan mikroorganisme ke dalam grup; (b) nomenklatur : menetapkan nama ilmiah internasional yang tepat terhadap mikroorganisme dan (c) identifikasi penetapan organisme ke dalam klasifikasi yang diberi nama sesuai nomenklatur (Fardiaz 1989). Karakterisasi dapat dilakukan berdasarkan sifat sitologi (bentuk sel, gerak, sifat Gram, dan endospora), sifat pertumbuhan (morfologi, koloni, warna, bentuk dan penyebaran), serta sifat fisiologi (Prabaningtyas 2003). Pengujian lain yang banyak digunakan untuk identifikasi bakteri adalah pewarnaan Gram. Prinsip pewarnaan Gram adalah kemampuan dinding sel mengikat zat warna dasar (kristal violet) setelah pencucian dengan alkohol 96%. Hal ini berhubungan dengan komposisi senyawa penyusun dinding sel, yaitu pada bakteri Gram positif mengandung peptidoglikan lebih banyak daripada Gram negatif. Bakteri Gram positif terlihat berwarna ungu karena asam-asam ribonukleat pada sitoplasma selsel positif membentuk ikatan lebih kuat dengan kristal violet. Namun, sel-sel bakteri Gram negatif mempunyai kandungan lipid yang lebih tinggi dan umumnya

19

mudah larut oleh alkohol yang memperbesar pori-pori dinding sel. Dengan demikian pemucatan pada sel-sel Gram negatif lebih cepat (Hadioetomo 1985). Keseluruhan reaksi kimia didefinisikan sebagai metabolisme selular, dan transformasi biokimia yang dapat terjadi baik diluar maupun didalam sel, berjalan dengan adanya katalisis biologi yang disebut sebagai enzim. Eksoenzim berperan pada substrat di bagian luar sel. Biasanya substrat dengan berat molekul yang tinggi tidak dapat melewati membran sel dan harus didegradasi menjadi molekul dengan berat molekul (BM) yang kecil untuk dapat melewati sel. Oleh karena itu tes aktifitas enzim ekstraseluler menunjukkan kemampuan mikroorganisme mengekskresi enzim hidrolitik ekstraseluler yang dapat mendegradasi polisakarida pati, lemak, kasein, dan gelatin. Amilase merupakan enzim yang digunakan dalam menghidrolisis pati. Lipase digunakan oleh bakteri untuk memecah komponen lemak, dan enzim protease digunakan untuk menghidrolisis kasein, sedangkan gelatinase adalah enzim yang dapat menghidrolisis gelatin (Cappuccino dan Sherman 2001). Endoenzim memiliki fungsi bekerja di dalam sel dan bertanggung jawab dalam sintesis protoplasma yang dibutuhkan dalam memproduksi energi selular dari material yang diasimilasi. Kemampuan sel yang berperan sebagai substrat nutrisi dapat menjadikan membran sel dalam mengindikasi keberadaan endoenzim yang dapat mengubah substrat kimia spesifik menjadi material lain yang lebih penting. Sehingga berdasarkan sifat tersebut dapat diketahui jenis bakteri yang sedang diuji. Uji karakterisasi lain yang dapat digunakan untuk identifikasi bakteri adalah uji fisiologi. Uji fisiologi yang dapat dilakukan diantaranya uji hidrolisis pati, uji hidrolisis lemak, uji hidrolisis protein, uji fermentasi karbohidrat (laktosa, dekstrosa, dan sukrosa), uji fermentasi gula dan H2S, uji indole, uji methyl red, uji Voges-Proskauer, uji sitrat, uji urease, uji reaksi susu litmus, uji katalase, dan uji oksidase (Prabaningtyas 2003). Bakteri yang dapat menghidrolisis pati mempunyai aktifitas amilolitik yaitu menghasilkan enzim amilase yang menghidrolisis pati menjadi molekulmolekul maltosa, glukosa, dan dekstrin (Hadioetomo 1985). Jika bakteri dapat menghidrolisis pati, maka daerah sekeliling koloni akan menjadi bening kekuning-kuningan (Hartono 1995).

20

Bakteri yang dapat menghidrolisis protein adalah bakteri yang memproduksi enzim proteinase ekstraseluler. Semua bakteri mempunyai enzim proteinase di dalam sel namun tidak semua mempunyai enzim proteinase ekstraseluler. Selama fermentasi protein dihidrolisis menjadi turunannya seperti protease, pepton, peptide, dan asam amino (Winarno dan Fardiaz 1980). Bakteri yang mampu menghidrolisis lemak menjadi senyawa sederhana yaitu asam lemak dan gliserol. Keadaan ini yang akan mengakibatkan bau dan rasa yang khas (Buckle et al 1978). Uji fermentaasi karbohidrat digunakan untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi dan memfermentasi karbohidrat dengan memproduksi asam atau asam dan gas. Kebanyakan mikroorganisme memperoleh energi melalui reaksi enzimatis yang memacu bioksidasi dari substrat, terutama karbohidrat (Cappuccino dan Sherman 2001). Triple Sugar Agar (TSIA) merupakan medium yang digunakan untuk mengetahui pembentukan asam. TSIA adalah media agar yang mengandung tiga macam gula yaitu galaktosa, laktosa, sukrosa, indikator merah fenol, dan FeSO4. Konsentrasi glukosa adalah 1/10 dari konsentrasi laktosa atau sukrosa agar fermentasi glukosa saja yang dapat terlihat (Lay 1994). Jika glukosa dapat difermentasi maka kemungkinan terdapat fermentasi glukosa lain seperti monosakarida selain glukosa, disakarida (maltosa, laktosa, atau sukrosa dan lainnya) serta polisakarida. Untuk uji H2S juga digunakan media yang mengandung sulfur dan ion Fe2+. Pada saat bakteri ditumbuhkan dalam media yang kaya akan asam amino mengandung sulfur seperti TSIA maka terjadi desulfurase membentuk H2S.Fe2+, kemudian H2S.Fe2+ bereaksi dengan asam sulfide menghasilkan senyawa FeS yang berwarna hitam dan tidak larut air. Uji sitrat dapat menggunakan sitrat-Koser berupa medium cair atau medium sitrat-Simon berupa medium padat. Simon citrate Agar merupakan medium sintetik dengan Na-sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon, NH4+ sebagai sumber N dan brom thymol blue sebagai indikator pH, sedangkan medium sitrat-Koser tidak mengandung indikator. Bila mikroorganisme mampu menggunakan sitrat, maka asam akan dihilangkan dari medium biakan, sehingga menyebabkan peningkatan pH dan mengubah warna medium dari hijau menjadi

21

biru.

Perubahan

warna

dari

hijau

menjadi

biru

menunjukkan

bahwa

mikroorganisme mampu menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon (Cappucino dan Sherman 2001). Uji methyl red bertujuan untuk mengetahui konsentrasi asam yang diproduksi oleh mikroorganisme sebagai hasil akhir pada fermentasi glukosa. Heksosa monosakarida glukosa merupakan substrat utama yang dioksidasi oleh semua organisme enteric sebagai sumber energinya. Uji urease bertujuan untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi urea atau menghasilkan enzim urease. Enzim urease merupakan enzim hidrolisis yang memecah ikatan nitrogen dan karbon pada komponen amida seperti urea dan membentuk amonia yang menciptakan suasana basa (Lay 1994). 2.4.2. Escherichia coli Bakteri koliform dapat dibedakan atas dua grup, yaitu koliform fekal, misalnya Escherichia coli, dan koliform non fekal, misalnya Enterobacter aerogenes. Escherichia coli disebut sebagai koliform fekal karena hidup secara normal di dalam saluran pencernaan hewan dan manusia, sedangkan Enterobacter aerogenes biasanya pada hewan atau tanaman yang telah mati (Fardiaz 1992). Escherichia coli dikelompokkan ke dalam famili Enterobacteriaceae. Escherichia coli adalah suatu bakteri gram negatif berbentuk batang dengan ukuran 1,1 1,5 m x 2,0-6,0 m (Suhartono et al. 1995). Sel Escherichia coli terdapat dalam bentuk tunggal/berpasangan, bersifat motil dan flagella peritikrit atau nonmotil, tidak membentuk spora (Hariyadi 2003) dan bersifat anaerobik fakultatif (Fardiaz 1989). Sharma dan Demirci (2003) menyatakan bahwa Aktivitas air (Aw) minimal yang memungkinkan pertumbuhan Escherichia coli adalah 0,96, sedang pertumbuhan optimum dicapai pada Aw 0,995. Nilai pH optimum pertumbuhan Escherichia coli adalah 6,0-8,0; dengan pH minimum 4,3-4,4 dan pH maksimum 9,0-10; sedangkan suhu optimum untuk pertumbuhan Escherichia coli 37-41C, dengan suhu minimum 3-10C dan suhu maksimum 48-50C. bakteri ini relatif sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu pasteurisasi selama pemasakan.

22

Escherichia coli merupakan flora normal di usus. Meskipun demikian beberapa jenis Escherichia coli dapat bersifat pathogen, yaitu serotipe-serotipe yang masuk ke dalam golongan Escherichia coli enteropatogenik, Escherichia coli enteroinvasif dan Escherichia coli enterotoksigenik menimbulkan gangguan gastrointestinal (Fardiaz 1989). Mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai indikator sanitasi dalam pengolahan pangan adalah mikroorganisme yang umum terdapat dalam kotoran manusia maupun hewan. Mikroorganisme yang sering digunakan sebagai indikator sanitasi dalam makanan adalah bakteri koliform, terutama koliform fekal/koliform kotoran (Escherichia coli), Streptokoki fekal dan Clostridium perfringens. Adanya mikroorganisme indikator di dalam suatu makanan menunjukkan terjadi kontaminasi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik selama persiapan maupun pengolahannya (Fardiaz 1992). Bakteri yang paling banyak digunakan sebagai indikator sanitasi adalah Escherichia coli, karena bakteri ini adalah bakteri komensal yang terdapat pada usus dan umumnya merupakan bakteri pathogen penyebab penyakit (Hariyadi 2003). Miret et al. (2006) menyatakan bahwa adanya bakteri Escherichia coli di dalam makanan dan minuman menunjukkan kemungkinan adanya mikroorganisme yang bersifat enteropatogenik dan enterotoksigenik yang berbahaya bagi kesehatan. Menurut Hariyadi (2003) adanya Escherichia coli dalam air minum menunjukkan bahwa air minum itu pernah terkontaminasi kotoran manusia dan mungkin dapat mengandung pathogen usus. Sumber kontaminasi bakteri Escherichia coli kemungkinan besar berasal dari air yang digunakan pada proses pengolahan. Keracunan makanan yang disebabkan oleh Escherichia coli enteropatogenik (EPEC) biasanya disebabkan oleh konsumsi air atau makanan yang terkontaminasi oleh Escherichia coli penyebab enteritis. EPEC berbeda dari Escherichia coli yang secara normal terdapat di dalam usus besar. EPEC mempunyai antigen spesifik tertentu dan menyebabkan gastroenteritis akut dan enteritis seperti disentri pada manusia. Escherichia coli yang bersifat invasifit atau disebut juga EIEC (Enteroinvasif Escherichia coli), dan Escherichia coli enterotoksigenik (ETEC) termasuk ke dalam golongan EPEC. Enterotoksin yang

23

diproduksi oleh ETEC dapat dibedakan atas dua macam yaitu enterotoksin yang tahan panas (disebut ST yaitu Stabile Toxin) dan enterotoksin yang tidak tahan panas (disebut LT yaitu Labile Toxin). ST masih aktif setelah pemanasan pada suhu 100C selama 30 menit. Bakteri yang bersifat enterotoksigenik memproduksi salah satu atau kedua macam toksin tersebut (Fardiaz 1989). 2.5. Chromocult Chromocult merupakan agar selektif untuk deteksi total koliform dan Escherichia coli dalam sampel bahan. Dalam hal ini, interaksi antara pepton selektif, pyrufat, sorbitol dan buffer fosfat mendorong pertumbuhan koloni secara cepat, meskipun dapat melukai bakteri coliform namun bakteri ini tetap dapat tumbuh. Pertumbuhan bakteri gram positif dihambat oleh kandungan tergitol sehingga tidak dapat tumbuh sebaik bakteri gram negatif. Komposisi dari chromocult adalah pepton, sodium klorida, sodium dihidrogen fosfat, di-sodium hidrogen fosfat, sodium pirufat, triptofan, agar-agar, sorbitol, tergitol, dan campuran chromogenic (Merck 2002). Media chromocult menggunakan substrat X-glucuronida untuk identifikasi keberadaan bakteri Escherichia coli. Enzim D-galactosidase pada bakteri E. coli memiliki kemampuan dalam memotong substrat Salmon-GAL dan X-glucoronide menjadi h-glucoronidase, sehingga koloni yang positif dapat memiliki warna biru gelap hingga violet. Hal ini yang memudahkan membedakan Escherichia coli dengan bakteri koliform yang lainnya, dimana D-galactosidase pada bakteri koliform lainnya hanya memotong substrat Salmon-GAL sehingga membentuk h-galactosidase dan menyebabkan terbentuknya warna merah pada koloni koliform (Finney et al. 2003). Dalam kajiannya Finey et al. (2003) menginokulasikan medium dengan menggunakan metode cawan tuang dengan menyebarkan materi sampel dalam permukaan cawan, selanjutnya diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 35-37C. Keberadaan Escherichia coli dapat dideteksi dengan adanya warna biru gelap hingga ungu dikarenakan adanya reaksi Salmon-GAL dan reaksi X-glucuronide. Gambar bakteri yang terdeteksi dalam media chromocult dapat dilihat pada Gambar 5.

24

Gambar 5. Bakteri yang teridentifikasi pada media chromocult a. merah (Citrobacter freunii) b. biru (Escherichia coli) c. tak berwarna (Salmonella enteritidis)

25

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2008 sampai April 2008. Pelarutan chitosan dalam asam asetat, identifikasi jenis bakteri dan proses pengujian efektifitas desinfektan alami dari chitosan sebagai pereduksi bakteri Escherichia coli dan bakteri lainnya yang teridentifikasi pada media chromocult dilakukan di laboratorium Biologi Sel dan Jaringan Hewan 2, Departemen Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah chitosan dengan DA (degree of acetylation) 86,64 % dan berat molekul (Mw) sebesar 161 Dalton diperoleh dari PT. Vitalhouse Indonesia, dan asam asetat 2% yang digunakan untuk melarutkan chitosan, spesifikasi chitosan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dan sampel air tambak yang merupakan habitat hidup udang galah yang diperoleh dari tambak udang galah di Ciapus, Kabupaten Bogor. Selain itu, digunakan pula biakan Escherichia coli NBRC 14237 yang diperoleh dari Japan National Biotechnology Research Centre. Media yang digunakan dalam pengujian adalah chromocult, Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), starch agar, tributryn agar, milk agar, gelatin, phenol red lactose broth, phenole red dextrose, phenol red sucrose broth, triple sugar iron (TSI) agar, SIM agar, kovacs reagent, MR-V broth, methyl red indicator, Barritts reagen A dan B, Simmons citrate agar, urea broth, litmus milk broth, trypticase nitrate broth, sulfanilic acid, alphanapthylamine, minyak emersi. Alat-alat yang diperlukan antara lain becker plastik, aluminium foil, becker glas besar untuk merendam udang, tips steril, tabung durham, tabung gelas, pipet, jarum ose, cawan petri, disposable petri, bunsen api, vortex, shaker dengan suhu 37C, labu erlenmeyer, buret, labu takar, gelas ukur, tabung corning, pipet zinc powder, H2O2, p-aminodimethylaniline oxalate (Difco 0329-13-9), air steril, alkohol 70%, kristal violet, lugol, safranin, dan

26

mikro, gelas pengaduk, sudip, bulb, inkubator suhu 37 C, mikroskop, serta autoklaf yang digunakan untuk mensterilkan alat-alat tersebut. 3.3. Metode Penelitian Metode penelitian mencakup tahap penelitian pendahuluan dan tahap penelitian utama. Tahap penelitian pendahuluan meliputi tahap identifikasi bakteri pada sampel air tambak yang merupakan habitat udang galah, dan pada udang galah segar tanpa perlakuan dengan menggunakan media chromocult. Penelitian utama terdiri atas beberapa tahap diantaranya tahap pengamatan morfologi terhadap biakan Escherichia coli NBRC 14237 yang digunakan untuk mengkontaminasi udang galah segar, dilanjutkan dengan persiapan inokulasi, inokulasi E. coli pada udang yang bertujuan untuk menseragamkan jumlah bakteri E. coli awal pada udang, perlakuan desinfektasi dengan menggunakan chitosan pada berbagai konsentrasi dan lama perendaman, pengujian mikrobiologis, dan evaluasi efektifitas chitosan, serta uji organoleptik. 3.3.1. Penelitian Pendahuluan 3.3.1.1. Identifikasi bakteri dalam air tambak Air sampel diperoleh dari tambak udang, tempat sampel udang diambil. Air diambil dan diletakkan pada tabung yang tertutup rapat. Kemudian air dalam tabung diletakkan dalam kantung plastik yang telah diisi es. Tabung dipastikan dalam kondisi terendam oleh es sehingga meminimalkan pertumbuhan bakteri yang ada di dalamnya serta mencegah terjadinya kontaminasi bakteri yang lainnya. Air tersebut selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk mengetahui identifikasi bakteri yang terdapat didalamnya. Metode selanjutnya mengacu pada penelitian Finney et al. (2003) dimana sampel air tambak dipipet sebanyak 1 ml dan dilarutkan ke dalam 9 ml larutan aquades steril untuk mendapatkan pengenceran 10-1 kemudian dihomogenasi dengan menggunakan vortex, selanjutnya larutan dipipet kembali sebanyak 1 ml dan dilarutkan kembali ke dalam 9 ml larutan aquades steril sehingga didapatkan pengenceran 10-2. Proses ini terus diulang hingga didapatkan pengenceran 10-6. Pada setiap pengenceran, diambil 1 ml larutan dengan menggunakan pipet steril untuk kemudian dipupukkan pada media chromocult sebanyak 20 ml pada cawan

27

petri dan diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Semua proses dilakukan dalam keadaan aseptis dan steril. Tahap selanjutnya yang merupakan tahap identifikasi bakteri mengacu pada Cappucino dan Sherman (2001) diawali dengan mengisolasi koloni bakteri dengan berbagai warna yang tumbuh pada media chromocult untuk kemudian diuji reaksi biokimianya sehingga didapatkan identifikasi bakteri hingga level genus. Uji yang dilakukan adalah uji aktifitas enzim ekstraseluler (uji amilase, lipase, dan protease), uji fermentasi karbohidrat, uji triple sugar-iron (TSI) agar, uji IMVIC (uji produksi indole, uji methyl red, uji voges-proskaeur, uji citrate utilization, uji hydrogen sulfide, uji urease, uji reduksi nitrat, uji katalase dan oksidase. 3.3.1.2. Identifikasi bakteri dalam udang galah segar (Finney et al. (2003) Udang diambil dari tambak dengan sistem transportasi dingin untuk menjaga kesegaran udang. Udang dicuci dengan air steril dan ditimbang sebanyak 5 gram kemudian dihancurkan dengan menggunakan blender steril dengan penambahan 50 ml air steril (pengenceran desimal 10-1) dan dilakukan pengenceran desimal hingga 10-6 dengan cara pada pengenceran 10-1 dipipet sebanyak 1 ml larutan dan dimasukkan pada 9 ml larutan akuades steril. Setiap pengenceran desimal dipipet 1 ml larutan dengan menggunakan pipet steril untuk dipupukkan pada 20 ml media chromocult dalam cawan petri dan diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Beberapa bakteri yang tumbuh pada media chromocult dihitung jumlahnya dan diidentifikasi untuk mengetahui jenis bakteri hingga level genus secara biokimia. 3.3.1.3. Identifikasi genus bakteri dengan uji biokimia (Cappucino dan Sherman 2001) Beberapa uji yang dilakukan adalah uji aktifitas enzim ekstraseluler (uji amilase, lipase, dan protease), uji fermentasi karbohidrat, uji Triple Sugar-Iron (TSI) agar, uji IMVIC (uji produksi indole, uji Methyl Red, uji Voges-Proskaeur, uji Citrate Utilization), uji Hydrogen Sulfide, uji urease, uji reaksi Litmus Milk, uji reduksi nitrat,uji katalase dan oksidase. Setelah dilakukan karakteristik bakteri

28

maka didapatkan identifikasi genus bakteri yang mengacu pada sistem penarikan taksonomi menurut Bergeys manual (1974). a. Uji aktivitas enzim ekstraseluler Uji aktivitas enzim ekstraseluler terdiri atas empat uji dimana diantaranya adalah uji amilase ( menghidrolisa pati), uji lipase (menghidrolisa lemak), dan uji protease (menghidrolisa protein). Uji amilase dilakukan dengan cara menumbuhkan mikroorganisme yang akan diuji pada medium cair trypticase soy selama 24-48 jam. Kemudian sebanyak 1 ose mikroorganisme tes digoreskan pada medium starch agar, dan diinkubasi dengan posisi terbalik selama 24-48 jam pada 37C. Setelah itu larutan iodine dituangkan pada petri dan dibiarkan selama 30 detik dan sisa larutan yang masih ada dibuang. Jika hasil akhir menunjukkan pembentukan zona bening didekat daerah pertumbuhan bakteri maka bakteri tersebut positif memiliki enzim amilase. Pengujian ada tidaknya enzim lipase yang digunakan oleh bakteri dalam menghidrolisa lemak dilakukan dengan cara 1 ose mikroorganisme yang telah ditumbuhkan dalam medium cair trypticase soy selama 24-48 jam digoreskan pada medium tributyrin agar, dan diinkubasi dengan posisi terbalik selama 24-48 jam pada 37oC. Zona yang terbentuk diamati apakah terbentuk zona terang atau zona dari lipolisis di sekitar pertumbuhan mikroorganisme. Pengujian selanjutnya pada keberadaan enzim ekstraseluler ini adalah uji keberadaan enzim protease yang digunakan oleh bakteri dalam menghidrolisis protein. Pengujian ini dilakukan dengan cara 1 ose mikroorganisme yang telah ditumbuhkan dalam medium cair trypticase soy selama 24-48 jam digoreskan pada medium milk agar dan diinkubasi pada posisi terbalik selama 24-48 jam dengan suhu 37C. Selanjutnya diamati adanya zona terang atau zona dari proteolisis sekitar pertumbuhan mikroorganisme yang menunjukkan bahwa bakteri tersebut positif memiliki enzim protease. b. Fermentasi karbohidrat Uji fermentasi karbohidrat ini dilakukan dengan cara 1 ose mikroorganisme yang telah ditumbuhkan dalam medium cair trypticase soy

29

selama 24-48 jam diinokulasikan pada masing-masing medium cair yang diletakkan dalam tabung durham yaitu phenol red lactose broth, phenol red dextrose atau glucose broth,dan phenol red sucrose broth dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37C, kemudian diamati perubahan warna dan ada tidaknya gas. c. Uji triple sugar-iron (TSI) agar Pengujian ini dilakukan dengan cara 1 ose mikroorganisme yang telah ditumbuhkan dalam medium cair trypticase soy selama 24-48 jam diinokulasikan pada medium TSI agar miring dengan cara slab dan digores. Tabung kemudian ditutup setengah rapat dan diinkubasi selama 19-24 jam pada 37C. Selanjutnya diamati perubahan warna pada permukaan dan dalam medium. Kemudian dideterminasi tipe reaksi apakah asam, basa, atau tidak bereaksi serta jenis karbohidrat yang difermentasikan (dekstrosa, laktosa, sukrosa). Selain itu diamati pula adanya endapan hitam yang merupakan akumulasi H2S pada medium. d. Uji IMViC Pengujian ini terdiri atas uji indole production test, methyl red test, VogesProskaeuer test, dan citrate utilization test. Indole production test dilakukan dengan cara 1 ose mikroorganisme yang telah ditumbuhkan dalam medium cair trypticase soy selama 24-48 jam diinokulasikan pada SIM agar deep tube, dan diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu 37C. Kemudian hasil yang didapatkan ditambahkan dengan 10 tetes Kovacs reagen ke dalam tabung kultur dan dikocok secara perlahan dan diamati perubahan warna reagen dan dianalisa apakah mikroorganisme tes berkemampuan menghidrolisa tryptofan. Methyl red test dilakukan dengan cara 1 ose mikroorganisme yang telah ditumbuhkan dalam medium cair trypticase soy selama 24-48 jam diinokulasikan pada MR-V broth dan diinkubasi selama 24-48 jam pada 37C. Selanjutnya sepertiga kultur dipindahkan ke tabung baru untuk pengujian Voges-Proskaeur test dan sisa kultur ditambahkan dengan 5 tetes indikator methyl red. Sepertiga kultur pada methyl red test yang digunakan untuk VogesProskaeur test kemudian ditambahkan 1 tetes Barritts reagent A dan dicampur, selanjutnya ditambahkan kembali dengan 10 tetes Barritts reagent B dan

30

dicampur setiap 3-4 menit selama 15 menit. Pertumbuhan dan warna pada medium diamati dan dicatat hasilnya apakah bakteri memiliki kemampuan untuk memfermentasi glukosa dengan memproduksi acetylmethylcarbinol. Uji selanjutnya adalah citrate utilization test yang dilakukan dengan menginokulasikan 1 ose mikroorganisme tes yang telah ditumbuhkan dalam medium cair trypticase soy selama 24-48 jam dengan cara stab dan digores pada Simmons citrate agar miring, kemudian kultur diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37C. Dan diamati pertumbuhan dan warna pada medium apakah bakteri memiliki kemampuan menggunakan sitrat sebagai sumber karbon tunggal. e. Uji hidrogen sulfida Metode pengujian hidrogen sulfida adalah dengan cara 1 ose mikroorganisme yang telah ditumbuhkan dalam medium cair trypticase soy selama 24-48 jam diinokulasikan pada SIM agar deep tube dan dinkubasi selama 24-48 jam pada 37C. Selanjutnya dilakukan pengamatan ada tidaknya warna hitam sepanjang garis stab inokulasi, dicatat pengamatan apakah mikroorganisme tersebut memiliki kemampuan dalam memproduksi H2S. Selain itu diamati pula ada tidaknya motilitas bakteri sepanjang garis inokulasi. f. Uji urease dan reduksi nitrat Uji keberadaan enzim urease dilakukan dengan diinokulasikannya 1 ose mikroorganisme yang telah ditumbuhkan dalam medium cair trypticase soy selama 24-48 jam pada urea broth, dan diinkubasi kembali pada suhu 37C selama 24-48 jam, selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap warna medium, dan dicatat apakah mikroorganisme tes dapat menghidrolisa substrat urea atau tidak. Pengujian terhadap kemampuan bakteri dalam mereduksi nitrat dilakukan dengan cara menginokulasikan mikroorganisme yang telah ditumbuhkan dalam medium cair trypticase soy selama 24-48 jam pada trypticase nitrate broth, dan diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37C. Kemudian ditambahkan 5 tetes larutan A dan larutan B, dan diamati apakah terjadi perubahan menjadi warna merah. Hasil akhir yang tidak membentuk warna merah ditambahkan sedikit zinc

31

powder dan diamati terbentuknya warna merah yang mengindikasikan produk akhir yang berupa NO2- atau NH3+ (N2). g. Uji katalase dan oksidase Uji katalase bakteri dilakukan dengan diinokulasikannya 1 ose mikroorganisme test pada trypticase soy agar miring, dan diinkubasi selama 24-48 jam pada 37oC. Selanjutnya diteteskan dengan 3-4 tetes 30% H2O2 pada permukaan kultur, dan diamati terjadinya gelembung. Pengujian oksidase dilakukan dengan cara 1 ose mikroorganisme tes digoreskan pada Trypticase soy agar plate dan diinkubasi selama 24-48 jam pada 37C, dan diambil 1 ose mikroorganisme untuk digoreskan pada kertas pengujian oksidase. Selanjutnya diamati adanya perubahan warna dari putih menjadi ungu yang menunjukkan hasil oksidase positif. 3.3.2. Penelitian Utama Penelitian utama didahului dengan melarutkan chitosan dengan menggunakan asam asetat 1% dengan perbandingan 1:10 yaitu 1 gram chitosan dilarutkan dalam 10 ml asam asetat 1% sehingga didapatkan chitosan dalam bentuk gel. Hal ini dilakukan mengingat chitosan merupakan polisakarida yang hanya larut dalam asam (Rinaudo 2006). Chitosan tersebut diencerkan dengan air akuades steril sehingga didapatkan konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm dan 200 ppm. Contoh perhitungan pembuatan larutan chitosan dapat dilihat pada Lampiran 2. 3.3.2.1. Konfirmasi biakan Escherichia coli NBRC (Japan National Resources Reseach Center) 14237 Biakan bakteri Escherichia coli NBRC (Japan National Resources Reseach Center) 14237 terlebih dahulu diperiksa morfologinya dengan melakukan pewarnaan Gram. Biakan Escherichia coli NBRC 14237 pada media agar miring diambil dengan menggunakan jarum ose steril dan digoreskan pada Natrium Agar empat kuadran. Kemudian diinkubasi pada suhu 37C selama 18-24 jam, dilanjutkan dengan pengujian pewarnaan Gram serta pengamatan morfologi bakteri dengan menggunakan mikroskop

32

Tahap selanjutnya merupakan tahap preculture yang bertujuan untuk mengkondisikan bakteri Escherichia coli agar dapat beradaptasi pada media Nutrient Broth. Biakan bakteri Escherichia coli murni pada agar miring diambil sebanyak 1 ose dan diinokulasikan pada 25 ml Nutrient Broth dalam tabung erlenmeyer. Biakan tersebut diinkubasi dengan menggunakan shaker 37C selama 18-24 jam. Tahap selanjutnya, biakan tersebut diencerkan kembali dengan melarutkannya pada larutan Nutrient Broth dengan volume yang lebih besar yaitu 500 ml dan kembali dilakukan inkubasi shaker selama 18-24 jam dengan suhu 37C. Proses tersebut diikuti dengan plate count pada media chromocult dengan tujuan menghitung jumlah pertumbuhan koloni per unit yang dilakukan bersamaan ketika biakan akan digunakan untuk mengkontaminasi udang. 3.3.2.2. Persiapan inokulasi bakteri (Chaiyakosha et al. 2007) Escherichia coli pada udang

Udang dipilih beberapa ekor dengan ukuran yang seragam yaitu dengan berat rata-rata 5 gram, kemudian dicuci sebanyak dua kali dengan menggunakan air steril. Selanjutnya, tiap udang diinokulasi dengan biakan Escherichia coli sebanyak 50 ml selama 2 jam, kemudian udang ditiriskan. Semua proses dilakukan secara steril dan aseptis di dalam cleaning bens. sebelum biakan Escherichia coli tersebut diinokulasikan pada udang, sebanyak 1 ml biakan ditumbuhkan pada media chromocult untuk dihitung jumlah bakteri yang diinokulasikan pada udang. Proses selanjutnya setiap satu ekor udang dengan berat rata-rata 5 gram direndam dengan beberapa perlakuan, diantaranya adalah perendaman dengan menggunakan larutan chitosan dengan volume 50 ml untuk setiap udang dengan konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm dan 200 ppm, dan lama perendaman 3 menit dan 6 menit, dimana kontrol yang digunakan merupakan larutan asam asetat 1% sebanyak 50 ml. Selanjutnya udang dihancurkan menggunakan blender dengan penambahan air steril perbandingan 1:10 (1 gram udang menggunakan 10 ml air) sehingga didapatkan pengencerean 10-1, kemudian dilakukan pengenceran desimal hingga pengenceran 10-8. Setiap pengenceran dilanjutkan dengan proses plate count pada media chromocult dengan cara mempipet 1 ml larutan dan dipupukkan

33

pada 20 ml media chromocult yang telah dimasukkan ke dalam petri dish, dan diinkubasi dengan suhu 37C selama 24 jam. Setelah itu, dilakukan penghitungan jumlah koloni yang tumbuh pada meda tersebut. 3.3.2.3. Evaluasi efektifitas chitosan Jumlah koloni Escherichia coli pada media chromocult (ditandai dengan koloni berwarna biru) yang tumbuh pada udang dengan perlakuan desinfektan chitosan kemudian dibandingkan hasilnya dengan jumlah koloni Escherichia coli yang tumbuh pada kontrol (tanpa perlakuan chitosan). Perbandingan tersebut digunakan untuk mengetahui formula desinfektan terbaik dalam mereduksi bakteri Escherichia coli yang lebih tinggi (Selisih antara jumlah Escherichia coli sebelum perlakuan dengan jumlah Escherichia coli setelah perlakuan). 3.4. Analisis organoleptik (SNI 01-2346-2006) Uji organoleptik yaitu uji dengan menggunakan indera manusia, disebut juga dengan uji sensorik karena penilaiannya didasarkan pada rangsangan sensorik organ indra (Soekarto 1985). Analisis organoleptik dilakukan dengan metode uji skoring. Uji skoring dilakukan untuk meneliti penilaian panelis terhadap sifat organoleptik pada udang, khususnya penampakan, bau, dan tekstur udang. Uji dilakukan berdasarkan score sheet yang dapat dilihat pada Lampiran 3. Skor yang diterapkan adalah angka satu hingga sembilan. Semakin tinggi nilai maka akan semakin mendekati pada keadaan udang yang lebih baik. Hasil penilaian seluruh panelis selanjutnya diolah dengan t students menggunakan program SPSS 13.0 for Windows. Analisa nonparametrik menggunakan metode uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison (Stell dan Torie, 1993). Langkah-langkah metode pengujian Kruskal Wallis adalah sebagai berikut : a. Data dirangking dari yang terkecil hingga yang terbesar untuk seluruh perlakuan dalam satu parameter. b. Total rangking dihitung untuk setiap perlakuan dan dihitung pula rata-ratanya dengan menggunakan formula :

34

Keterangan: ni Ri t H Pembagi = = = = = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan. Jumlah rangking dalam perlakuan ke-i. Banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H terkoreksi 1-T(n-1)n(n+1) ; T = (t-1)t(t+1)

c. Jika hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji Multiple Comparison dengan rumus sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993) :

Keterangan: Ri Rj k N = rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i = rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j = banyaknya perlakuan = jumlah total data

3.5. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan dua kali ulangan percobaan. 3.5.1. Perlakuan Perlakuan yang diberikan terdiri atas dua perlakuan, yaitu media pencucian dan lama pencucian. Perlakuan media pencucian terdiri atas 5 taraf, yaitu K0 (pencucian udang dengan air tanpa penambahan chitosan/kontrol 1), K1

35

(perendaman udang dengan air dan penambahan asam asetat), K2 (perendaman udang dengan chitosan 50 ppm), K3 (perendaman udang dengan chitosan 100 ppm), K4 (perendaman udang dengan chitosan 150 ppm), K5 (perendaman udang dengan chitosan 200 ppm). Perlakuan lama perendaman terdiri dari 2 taraf, yaitu P0 (perendaman selama 3 menit), dan P1 (Perendaman selama 6 menit). 3.5.2. Rancangan Model rancangan (Steel dan Torrie 1993) yang digunakan adalah :

Yijk = + i + j + ()ij + ijk


Keterangan: Yijk = Nilai pengamatan pada suatu percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor dan taraf ke-j dari faktor . i j ()ij ijk = Nilai tengah populasi. = Pengaruh perlakuan media pencucian ke-i ( i = 1, 2, 3, 4, 5). = Pengaruh lama pencucian ke-j (j = 1, 2). = Pengaruh interaksi perlakan media pencucian ke-i, dengan lama pencucian ke-j. = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k (k =1, 2) yang memperoleh kombinasi perlakuan media pencucian ke-i dengan perlakuan lama pencucian ke-j. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis ragam. Jika analisisnya berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ). Formula uji BNJ (Steel dan Torrie 1993) yang digunakan adalah :

= q(p,fe)Sy
dimana : q = Ditentukan dari tabel. p = Jumlah perlakuan. fe = Derajat bebas galat

36

Sy = (KTG/r)
dimana : KTG = nilai kuadrat tengah galat r = jumlah ulangan

3.5.3. Hipotesis H0 : Konsentrasi berpengaruh segar. H1 : Konsentrasi chitosan dan waktu perendaman berpengaruh terhadap penilaian panelis pada nilai organoleptik (penampakan, warna, dan tekstur) udang galah segar. chitosan dan waktu perendaman tidak terhadap penilaian panelis pada nilai

organoleptik (penampakan, warna, dan tekstur) udang galah

37

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Pendahuluan 4.1.1. Identifikasi bakteri dalam air tambak Hasil pengukuran pH terhadap sampel air tambak adalah 7. Hasil uji Total Plate Count (TPC) terhadap sampel air tambak pada media chromocult yang diinkubasi pada suhu 37 C ditunjukkan pada Tabel 5, hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4 sedangkan contoh perhitungan jumlah koloni disajikan pada Lampiran 9. Tabel 5. Jumlah mikroorganisme pada sampel air tambak dalam media Chromocult Penampakan Koloni Bulatan berwarna merah Bulatan berwana biru Bulatan tak berwarna (krem dan kuning Jumlah Koloni (CFU/ml) 2,5 x 105 9,9 x 102 4,0 x 107 Log 10 CFU/ml 5,40 3,00 7,60

Hasil yang didapatkan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa di dalam perairan yang merupakan habitat hidup udang mengandung beberapa bakteri yang teridentifikasi dengan menggunakan media chromocult, dimana bakteri dengan warna koloni merah yang diduga merupakan jenis bakteri koliform sebanyak 5,40 Log10 CFU/ml, bakteri dengan warna koloni biru yang diduga merupakan bakteri Escherichia coli sebanyak 3 Log10 CFU / ml, dan koloni tak berwarna yang diduga merupakan jenis bakteri Gram negatif sebanyak 7,60 Log10 CFU/ml. Koloni representatif pada media chromocult tersebut dipindahkan ke media yang baru dengan tujuan mendapatkan isolat yang lebih murni untuk memastikan jenis bakteri dengan mengamati penampakan koloni representatif serta kemurniannya dengan mikroskop. Selain itu dilakukan pula pengujian reaksi Gram, pengujian katalase, dan pengujian oksidase. Hasil pengamatan koloni representatif yang ditumbuhkan pada media baru menunjukkan karakter seperti yang terdapat pada Tabel 6, sedangkan Gambar 6 menunjukkan hasil amatan bakteri yang telah dimurnikan dengan menggunakan mikroskop.

38

Tabel 6.
No

Penampakan koloni bakteri air tambak, reaksi Gram, katalase dan oksidase dari koloni representatif.
Penampakan morfologi sel (mikroskop) Batang pendek Batang pendek Batang pendek Batang pendek Penampakan koloni (media Chromocult) Merah Krem kuning Biru Reaksi Gram (pewarnaan) + Uji Katalase + + + + Uji Oksidase +

Isolat

1 2 3 4

AT.1 AT .2 AT .3 AT .4

(a)

(b)

(c) (d) Gambar 6. Amatan mikroskop pada bakteri air tambak (a) AT 1 (koloni berwarna merah pada media chromocult) (b) AT 2 (koloni berwarna krem pada media chromocult) (c) AT 3 (koloni berwarna kuning pada media chromocult) (d) AT 4 (koloni berwarna biru pada media chromocult) Hasil yang didapatkan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa isolat 1 dan 2 menujukkan reaksi Gram -, katalase + dan oksidase -, sedangkan pada isolat 4 menunjukkan reaksi Gram -, katalase +, dan oksidase +, dan isolat 3 menunjukkan reaksi Gram +, katalase + dan oksidase-. Berdasarkan hasil pengamatan morfologi sel dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000 kali didapatkan hasil bahwa kesemua bakteri berbentuk batang pendek.

39

Keempat isolat tersebut selanjutnya diidentifikasi secara biokimia untuk mengidentifikasi genus dengan menggunakan pengujian uji aktifitas enzim ekstraseluler (uji amilase, uji lipase, dan uji protease), pengujian fermentasi karbohidrat, uji Triple Sugar Iron (TSI) agar, uji IMViC, uji hydrogen sulfat, uji urease, uji reduksi nitrat, uji katalase, dan uji oksidase. Hasil dan gambar identifikasi genus serta nama genus bakteri yang diuji dengan cara pengujian aktifitas biokimia tersebut dapat dilihat pada Gambar 7 dan Tabel 7.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Gambar 7. Uji biokimia terhadap koloni reprenstatif pada air tambak (a) Blanko (b) AT 1 (koloni berwarna merah) (c) AT 2 (koloni berwarna krem) (d) AT 3 (koloni berwarna kuning) (e) AT 4 (koloni berwarna biru)

40

Tabel 7. Identifikasi genus dengan uji biokimia terhadap koloni representatif pada air tambak.
PENGUJIAN Morfologi sel Bentuk Penataan Reaksi Gram motilitas Ciri biakan Koloni pada chromocult / NA Persyaratan akan oksigen Tepian Elevasi Ukuran Ciri Fisiologis Aktifitas enzim ekstraseluler Hidrolisis pati Hidrolisis trybutrin Hidrolisis kasein Fermentasi Karbohidrat Laktosa Isolat AT.1 Bulat Anggur Negatif Motil Merah Aerob Halus Timbul 3 mm Tumbuh, Tumbuh, Tumbuh, Kuning / gas Asam & gas Dekstrosa Kuning / tanpa gas Asam Kuning / tanpa gas Asam Asam Lak/suk + Merah (+) Kuning (-) Kuning (-) Biru (+) Hitam (+) Violet (-) + Citrobacter AT.2 Batang Menyebar Negatif Non motil Krem Aerob Halus Datar 1 mm Tumbuh,+ Tumbuh, Tumbuh, Kuning / gas Asam & gas Kuning / tanpa gas Asam Kuning / gas Asam&gas Asam Lak/suk Kuning (-) Kuning (-) Kuning (-) Biru (+) Kuning (-) Violet (-) + Enterobacter AT.3 Bulat Menyebar Negatif Non motil Kuning Aerob Halus Datar 1 mm Tumbuh, + Tumbuh, Tumbuh, + Merah / tanpa gas Kuning/ tanpa gas Asam Kuning / tanpa gas Asam Asam Lak/suk Kuning (-) Merah (+) Merah (+) Hijau (-) Kuning (-) Violet (-) + Corynobacterium AT.4 Bulat Menyebar Negatif Non motil Biru Aerob Halus datar 1mm Tumbuh, Tumbuh, Tumbuh, Kuning / gas Asam & gas Kuning / gas Asam & gas Merah / tanpa gas Asam Lak/suk Merah (+) Merah (+) Kuning (-) Hijau (-) Kuning (-) Violet (-) + Escherichia coli

Sukrosa Triple Sugar Iron (TSI) agar Reaksi Fermentasi karbohidrat H2S IMViC Produksi indol Metil merah Voges Proskauer Kegunaan sitrat Hydrogen sulfat (H2S) Urease Reduksi nitrat Katalase Oksidase

Genus bakteri

a. Uji hidrolisis pati Uji aktifitas enzim ekstraseluler dimana diantaranya adalah uji hidrolisis pati merupakan suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui adanya aktivitas enzim amilase dari suatu bakteri. Hasil pengujian hidrolisis pati menunjukkan

41

bahwa isolat bakteri AT 1 dan AT 4 menunjukkan hasil yang negatif yang berarti bahwa bakteri tersebut tidak memiliki enzim amilase yang dapat mencerna pati sehingga pati tidak terpecah dan tidak terbentuk zona bening, sedangkan isolat bakteri AT 2 dan AT 3 menunjukkan hasil yang positif ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekeliling koloni bakteri hal ini mengindikasikan bahwa bakteri tersebut memiliki enzim amilase. Pada media starch agar, enzim amilase akan memecah pati (polimer glukosa) yang tidak berdifusi menjadi substansi yang dapat berdifusi (Cappucino dan Sherman 2001). Bila zat pati dihidrolisis oleh enzim amilase, maka senyawa tersebut akan diuraikan menjadi maltosa dan glukosa. Maltosa merupakan disakarida yang terdiri dari 2 unit glukosa. Sakarida diangkut ke dalam sitoplasma sebagai sumber energi dalam sintesis komponen dalam sel (Lay 1994). Jika bakteri dapat menghidrolisis pati maka akan terbentuk daerah bening berwarna kekuning-kuningan pada sekeliling koloninya, sedangkan jika bakteri tidak dapat mengidrolisis pati menjadi komponen yang lebih kecil, maka akan timbul warna biru sebagai akibat dari reaksi antara pati dan iodium (Cappucino dan Sherman 2001). Zat pati bereaksi secara kimia dengan iodium, reaksi ini ditandai dengan warna biru kehitaman. Warna biru kehitaman ini terjadi bila molekul iodium masuk ke dalam bagian yang kosong dari molekul zat pati (amilosa) yang tidak berbentuk spiral. Bila zat pati ini telah diuraikan menjadi maltose atau glukosa, warna biru ini tidak terbentuk karena tidak ada lagi bentuk spiral. Tidak terbentuknya warna biru sewaktu penambahan larutan iodium ke dalam media merupakan petunjuk adanya hidrolisis zat pati (Lay 1994). b. Uji hidrolisis lemak Berdasarkan hasil pengujian seperti yang terlihat pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa pada kesemua isolat bakteri tidak memiliki aktivitas enzim lipase yang ditandai dengan tidak terbentuknya zona bening di sekeliling koloni bakteri. Tidak terbentuknya zona bening ini mengindikasikan bahwa bakteri-bakteri tersebut tidak mampu menguraikan lemak menjadi asam lemak dan gliserol yang ada pada tubuh udang. Hal ini disebabkan bakteri tersebut tidak memiliki enzim yang dapat memecah lemak (lipase).

42

Hal tersebut dapat diketahui karena media yang digunakan adalah media trybutyrin agar yang memiliki komponen nutrien agar dan trigliserida trybutyrin yang merupakan substrat lemak, sehingga ketika bakteri dapat memecah komponen lemak tersebut maka akan terbentuk zona bening. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cappucino dan Sherman (2001) yang menyatakan bahwa trybutyrin membentuk emulsi ketika disebarkan pada agar yang menyebabkan media menjadi keruh. Apabila bakteri yang diinokulasikan pada media tersebut memiliki enzim lipase maka akan membentuk zona bening di sekelilingnya, yang menandakan adanya asam lemak dan gliserol hasil hidrolisis lemak. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa enzim lipase merupakan enzim yang dapat menguraikan lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak dan gliserol tersebut akan digunakan oleh bakteri sebagai sumber karbon dan energi untuk metabolismenya. Lemak lebih sukar dipecah dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan lemak oleh mikroorganisme dan menghasilkan zat-zat yang mempunyai bau dan rasa yang khas, yaitu asam lemak bebas dan keton. c. Uji fermentasi karbohidrat Uji fermentasi karbohidrat digunakan untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme dalam memfermentasi karbohidrat dengan memproduksi asam atau asam dan gas. Berdasarkan hasil uji fermentasi karbohidrat menunjukkan bahwa isolat AT 1, AT 2, dan AT 4 mampu memfermentasi karbohidrat dengan memproduksi asam dan gas. Jenis karbohidrat yang mampu didegradasi kesemuanya oleh bakteri adalah dekstrosa dan laktosa. Hal ini dapat diketahui dari hasil uji yang memperlihatkan adanya perubahan warna media dekstrosa dan laktosa dari merah menjadi kuning. Sedangkan pada media sukrosa, isolat bakteri AT 4 tidak mampu untuk mendegradasinya yang ditandai dengan tidak terjadinya perubahan warna sehingga warna media tetap merah. Hal ini menunjukkan bahwa karbohidrat dengan jenis dekstrosa dan laktosa merupakan jenis yang paling banyak digunakan oleh mikroorganisme untuk memperoleh energy melalui reaksi enzimatis yang dapat memacu biooksidasi substrat tersebut. Pada uji ini digunakan media yang berbeda-beda untuk setiap sumber energi, masing-masing media memiliki karbohidrat yang spesifik, yaitu dekstrosa,

43

laktosa,

dan

sukrosa

sebagai

substrat

untuk

menentukan

kemampuan

mikroorganisme dalam melakukan fermentasi. Cappuccino dan Sherman (2001) menjelaskan bahwa apabila mikroorganisme tersebut mampu memfermentasi karbohidrat maka akan terjadi perubahan warna, dengan adanya indikator pH yaitu phenol red yang terdapat pada media yang berwarna merah ketika pH 7,0 dan akan berubah warna menjadi kuning ketika pH turun hingga 6,8. Hal ini mengindikasikan jumlah asam yang terbentuk dapat menyebabkan perubahan warna. Hal lain yang mungkin terjadi selama proses adalah terbentuknya gas yang dapat dilihat dengan adanya gelembung di dalam tabung durham. d. Uji fermentasi gula (TSI) dan H2S Uji fermentasi gula digunakan untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam memfermentasi gula dengan menghasilkan asam atau gas. Berdasarkan hasil uji seperti yang terlihat pada Gambar 6 dan Tabel 7 menunjukkan bahwa semua isolat bakteri dapat memfermentasi laktosa atau sukrosa dengan menghasilkan asam dan menghasilkan gas. Hal ini diketahui dari hasil uji yang memperlihatkan terjadinya perubahan warna pada media (agar) dimana pada bagian permukaan dan bawah agar berwarna kuning. Selain itu tidak terjadi perubahan posisi media dimana media tersebut tidak terangkat dari dasar tabung. Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah Triple Sugar Iron Agar (TSIA). Media TSIA mengandung tiga macam gula, yaitu glukosa, laktosa dan sukrosa dan indikator phenol red serta FeSO4 (Lay 1994). Warna merah pada agar menunjukkan reaksi basa sedangkan warna kuning menunjukkan reaksi asam. Warna merah pada permukaan agar dan kuning di bagian bawah agar menunjukkan terjadinya fermentasi glukosa. Warna kuning pada bagian permukaan dan bawah tabung menunjukkan terjadinya fermentasi laktosa atau sukrosa. Hasil uji H2S dapat diketahui bahwa isolat AT 1 memiliki enzim desulfurase sedangkan pada isolat lainnya tidak teridentifikasi adanya enzim desulfurase yang berfungsi untuk memecah sistein dan menghasilkan H2S, sehingga selama proses fermentasi gula tidak terjadi pembentukan H2S. Hal ini dapat terlihat pada medium TSIA yang tidak menghasilkan warna hitam.

44

Perubahan warna TSIA menjadi hitam disebabkan oleh kandungan asam amino sistin pada protein yang memiliki sejumlah besar sulfur. Asam amino ini dihasilkan ketika protein dihidrolisis untuk memenuhi kebutuhan bakteri. Lay (1994) menyatakan bahwa pembentukan asam sulfida (H2S) oleh mikroorganisme menunjukkan adanya penguraian asam amino yang mengandung sulfur. Sementara pada saat bakteri ditumbuhkan dalam media yang kaya akan asam amino dengan kandungan sulfur seperti media TSIA, maka bakteri tersebut menghasilkan enzim desulfurase kemudian membentuk H2S.Fe2+. Setelah itu H2S.Fe2+ bereaksi dengan asam sulfida menghasilkan senyawa FeS yang berwarna hitam dan tidak larut dalam air. e. Uji IMViC Hasil uji IMViC yang terdiri atas uji indol, methyl merah, voges proskauer, dan citrate utilization diperoleh hasil bahwa pada uji indol isolat AT 1 dan AT 4 mampu menghidrolisis tryptofan, sedangkan isolat AT 2 dan AT 3 tidak mampu menghidrolisis tryptofan, hal ini berarti bahwa hanya koloni bakteri pada isolat1 dan 4 yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi tryptofan menjadi indol. Hal ini dapat mengarah pada pendugaan bahwa kedua bakteri tersebut termasuk ke dalam jenis bakteri koliform. Uji methyl red yang bertujuan untuk mengetahui konsentrasi asam yang diproduksi oleh mikroorganisme sebagai hasil akhir pada fermentasi glukosa. Berdasarkan uji methyl red diperoleh hasil bahwa semua isolat bakteri menghasilkan warna kuning pada akhir prosesnya, yang mengindikasikan bahwa bakteri menghasilkan asam dengan konsentrasi yang rendah. Glukosa merupakan substrat utama yang digunakan oleh semua mikroorganisme sebagai sumber energinya. Beberapa bakteri memfermentasi glukosa dan menghasilkan berbagai produk yang bersifat asam sehingga akan menurunkan pH media pertumbuhannya menjadi 5,0 atau lebih (Lay 1994). Uji lainnya dalam uji IMViC yaitu uji sitrat. Uji sitrat digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bakteri dalam menggunakan sitrat sebagai sumber karbon tunggal. Jika bakteri tidak dapat memfermentasi glukosa dan laktosa maka bakteri dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbon untuk energi. Berdasarkan uji sitrat dapat diketahui bahwa pada isolat AT 1 dan AT 2 dapat

45

menggunakan sitrat sebagai sumber karbon untuk energinya. Hal ini dapat terlihat pada media Simmons citrate terjadi perubahan warna dari hijau menjadi biru. Sedangkan isolat AT 3 dan AT 4 tidak mampu menggunakan sitrat sebagai sumber karbon untuk energinya. Hal ini dapat terlihat pada media Simmons citrate tidak terjadi perubahan warna sehingga warna media tetap hijau. Kemampuan bakteri dalam memanfaatkan sitrat tergantung dari adanya enzim sitrat permease yang membantu transportasi sitrat ke dalam sel. Sitrat merupakan hasil utama pada siklus Krebs. Sitrat ini dihasilkan pada proses kondensasi dari asetil aktif dengan asam oksalo asetat. Sitrat didegradasi oleh enzim sitrase, yang memproduksi asam oksalo asetat dan asam asetat. Produk ini kemudian diubah secara enzimatis menjadi asam piruvat dan karbon dioksida (Cappucino dan Sherman 2001). f. Uji urease Uji urease bertujuan untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi urea atau menghasilkan enzim urease. Hasil uji urease ini seperti yang terlihat pada Gambar 6 dan Tabel 7 menunjukkan tidak terjadinya perubahan warna pada media dimana media tersebut tetap berwarna ungu, hal ini mengindikasikan bahwa semua isolat bakteri tidak menghasilkan enzim urease sehingga bakteri-bakteri tersebut tidak dapat mendegradasi urea dan memanfaatkan urea dalam metabolisme selnya. g. Uji katalase Uji katalase digunakan untuk mengetahui kemampuan beberapa mikroorganisme untuk menguraikan hydrogen peroksida (H2O2) dengan memproduksi enzim katalase. Hasil uji katalase menunjukkan bahwa semua isolat bakteri bersifat katalase positif, yang ditandai dengan terbentuknya gelembung dari gas oksigen bebas. Katalase merupakan enzim yang dapat mengkatalisasi penguraian hydrogen peroksida (H2O2) menjadi air dan O2. Selama proses pernapasan, mikroorganisme menghasilkan hydrogen peroksida, pada beberapa kasus juga dihasilkan superoksida yang bersifat toksik.

46

Berdasarkan Bergeys manual (1974) didapatkan hasil dari kesemua pengujian biokimia terhadap aktifitas bakteri tersebut bahwa koloni berwarna biru pada media chromocult adalah bakteri Escherichia coli, hal ini sesuai dengan pernyataan Finney et al. (2003) yang menyatakan bahwa bakteri Escherichia coli memiliki substrat X-glucuronida yang digunakan untuk identifikasi dan enzim D-galactosidase yang memiliki kemampuan dalam memotong Salmon-GAL dan X-glucoronide menjadi h-glucoronidase, sehingga koloni yang positif dapat memiliki warna biru gelap hingga violet. Koloni berwarna merah setelah dilakukan pengujian menunjukkan bahwa bakteri tersebut merupakan genus bakteri Enterobacter, bakteri ini termasuk ke dalam golongan bakteri koliform. Kebenaran pengujian ini didukung oleh pernyataan Finney et al. (2003) yang menyatakan bahwa bakteri koliform non Escherichia coli hanya memotong substrat Salmon-GAL sehingga membentuk h-galactosidase dan menyebabkan terbentuknya warna merah pada koloni koliform. Keberadaan bakteri tersebut mengindikasikan bahwa perairan habitat awal udang telah terkontaminasi dengan bakteri. Salah satu bakteri yang cukup membahayakan dan cukup pathogen adalah Escherichia coli. Keberadaan bakteri ini pada air tambak memungkinkan udang galah juga terkontaminasi oleh bakteri Escherichia coli. 4.1.2. Identifikasi bakteri dalam udang galah segar Udang galah segar diuji secara mikrobiologis untuk mengetahui keberadaan mikroba awal. Keberadaan mikroba pada udang galah segar diuji dengan mengambil sampel udang galah segar, pencucian, penghancuran, dan proses pengenceran decimal untuk kemudian ditumbuhkan pada media chromocult. Selanjutnya hasil koloni yang berbeda warna pada media chromocult dimurnikan untuk diuji lebih lanjut secara biokimia untuk diidentifikasi genus bakteri. Jumlah mikroba pada udang galah segar dapat dilihat pada Tabel 8, dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan contoh perhitungan jumlah koloni bakteri disajikan pada Lampiran 9.

47

Tabel 8. Jumlah koloni mikroorganisme pada sampel udang dengan media chromocult Sampel Warna koloni Jumlah koloni (CFU/gr) 9,9 x 105 2,2 x 103 1,4 x 107 Jumlah koloni (Log10 CFU/gr) 6,00 3,34 7,15

Merah Udang galah segar Biru Tak berwarna

Hasil penghitungan jumlah koloni bakteri udang galah segar yang ditumbuhkan pada media chromocult menunjukkan hasil bahwa koloni yang berwarna merah yang diduga merupakan salah satu jenis bakteri koliform memiliki jumlah koloni 6,00 Log10 CFU/gr (9,9x105 CFU/gram), sedangkan koloni bakteri berwarna biru yang diduga merupakan bakteri Escherichia coli berjumlah 3,34 Log10 CFU/gr (2,2x103 CFU/gram) dan koloni yang tak berwarna berjumlah 7,15 Log10 CFU/gr (1,4x107 CFU/gram). Bakteri yang terdapat pada udang tersebut dapat berupa kontaminasi dari perairan habitat hidupnya yang kemudian berkembang biak dalam tubuh udang tersebut. Jika dibandingkan antara koloni bakteri pada udang galah segar dengan air tambak yang merupakan habitat hidupnya, terdapat peningkatan jumlah koloni bakteri yang berwarna merah dan biru. Hal ini diduga karena bakteri tersebut lebih dapat bertahan hidup dan berkembang banyak pada udang galah karena memiliki sejumlah komponen yang diperlukan untuk metabolisme bakteri tersebut. Koloni bakteri berbeda warna pada media chromocult yang representatif selanjutnya ditumbuhkan pada media baru, dan dilihat pada mikroskop untuk melihat penampakan koloninya. Selanjutnya diuji dengan pewarnaan Gram, reaksi Gram dengan metode KOH, uji katalase, dan uji Oksidase. Hasil pemurnian koloni bakteri tersebut kemudian dilihat penampakannya dengan menggunakan mikroskop seperti yang terlihat pada Gambar 8, dan hasil pengujian setelah pemurnian terdapat pada Tabel 9.

48

(a)

(b)

(c) Gambar 8. Amatan mikroskop pada bakteri udang galah segar (a) U1 (Koloni warna biru pada chromocult) (b) U2 (Koloni warna merah pada chromocult) (c) U3 (Koloni tak berwarna pada chromocult) Tabel 9. Penampakan koloni bakteri udang galah segar, Reaksi Gram, katalase dan oksidase dari koloni representatif.
No Isolat Penampakan morfologi sel (mikroskop) Batang pendek Batang pendek Batang pendek Penampakan koloni (media chromocult) Biru Merah (tak berwarna) Reaksi Gram (pewarnaan) Uji Katalase + + + Uji Oksidase +

1 2 3

U1 U2 U3

Berdasarkan hasil pengamatan seperti yang terlihat pada Gambar 8 dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000 kali didapatkan hasil bahwa kesemua bakteri memperlihatkan bentuk batang pendek. Hasil yang didapatkan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa dari sampel udang diperoleh 3 isolat representatif. Semua isolat representatif memiliki reaksi Gram -, dan

49

katalase +. Perbedaan yang mencolok terlihat pada hasil uji oksidase dimana pada udang 1 dan 2 menunjukkan hasil yang negatif, sedangkan pada udang 3 menunjukkan hasil yang positif. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat dilihat bahwa kesemua bakteri merupakan bakteri Gram negatif, hal ini sesuai dengan pernyataan Finney et al. (2003) bahwa dalam media chromocult bakteri yang dapat tumbuh merupakan bakteri Gram negatif, hal ini terjadi karena pertumbuhan bakteri gram positif dihambat oleh kandungan tergitol yang terdapat pada media chromocult sehingga bakteri Gram positif tidak dapat tumbuh sebaik bakteri Gram negatif. Bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel berlapis tiga dengan ketebalan yang tipis (10-15 nm). Komposisi dinding sel terdiri atas lipid dan peptidoglikan dengan jumlah sekitar 10% dari berat kering. Kandungan lipid pada bakteri gram negatif cukup tinggi, yaitu 11-22%. Bakteri gram negatif umumnya kurang rentan terhadap penisilin dan kurang resisten terhadap gangguan fisik. Persyaratan nutriennya relatif sederhana dibandingkan dengan bakteri gram positif (Venkitanarayanan et al. 1999). Setelah pemurnian maka isolat bakteri siap untuk diuji secara biokimia untuk mengidentifikasi genus bakteri. Pengujian ini meliputi pengujian aktifitas enzim ekstraseluler (uji amilase, uji lipase, dan uji protease), pengujian fermentasi karbohidrat, uji Triple Sugar Iron (TSI) agar, uji IMViC, uji hydrogen sulfat, uji urease, uji reduksi nitrat, uji katalase, dan uji oksidase. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada Gambar 9, dan keterangan selengkapnya serta identifikasi genus bakteri dapat dilihat pada Tabel 9 a. Uji hidrolisis pati Hasil pengujian hidrolisis pati seperti yang terlihat pada Tabel 10 menunjukkan bahwa isolat bakteri U1, U2, dan U3 menunjukkan hasil yang positif yang berarti bahwa ketiga bakteri tersebut memiliki enzim amilase yang dapat mencerna pati sehingga pati terpecah, dan terbentuk zona bening di sekitar daerah pertumbuhan bakteri. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga jenis bakteri tersebut memiliki enzim amilase, hal ini sesuai dengan pernyataan Cappucino dan Sherman (2001) yang menyatakan bahwa pada media starch agar, enzim amilase

50

akan memecah pati (polimer glukosa) yang tidak berdifusi menjadi substansi yang dapat berdifusi yang ditandai dengan terbentuknya zona bening pada media.

(a)

(b)

(c) Gambar 9. Uji biokimia terhadap koloni reprensentatif pada udang galah segar (a) U1 (Koloni warna biru pada chromocult) (b) U2 (Koloni warna merah pada chromocult) (c) U3 (Koloni tak berwarna pada chromocult) b. Uji hidrolisis lemak Berdasarkan hasil pengujian seperti yang terlihat pada Tabel 10 memperlihatkan bahwa pada kesemua isolat bakteri menunjukkan hasil yang negatif yang ditandai dengan tidak terbentuknya zona bening di sekeliling pertumbuhan koloni bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa pada kesemua koloni bakteri tidak memiliki enzim lipase yang dapat digunakan untuk menguraikan lemak menjadi asam lemak dan gliserol yang ada pada tubuh udang.

51

Tabel 10. Identifikasi genus dengan uji biokimia terhadap koloni representatif pada udang galah segar.
PENGUJIAN Morfologi sel Bentuk Penataan Reaksi Gram motilitas Ciri biakan Koloni pada chromocult Persyaratan akan oksigen Tepian Elevasi Ukuran Ciri Fisiologis Aktifitas enzim ekstraseluler Hidrolisis pati Hidrolisis trybutrin Hidrolisis kasein Fermentasi Karbohidrat Laktosa U1 Batang Menyebar Negatif Non motil Biru Aerob Halus Datar 1 mm Tumbuh, + Tumbuh, Tumbuh, Kuning / gas Asam & gas Dekstrosa Kuning / gas Asam Sukrosa Kuning / tanpa gas Asam & gas Kuning / Asam Lak/suk Merah (+) Kuning (-) Kuning (-) Hijau (-) Kuning (-) Violet (-) + Escherichia coli Isolat U2 Batang Menyebar Negatif Non motil merah Aerob Halus Datar 1 mm Tumbuh,+ Tumbuh, Tumbuh, Kuning / tanpa gas Asam & gas Kuning / tanpa gas Asam Kuning / gas Asam&gas Kuning / Asam Lak/suk Kuning (-) Kuning (-) Merah (+) Biru (+) Kuning (-) Violet (-) + Enterobacter U3 Batang Menyebar Negatif Motil Krem Aerob Halus Timbul 3 mm Tumbuh, + Tumbuh, Tumbuh, + Merah / tanpa gas Merah / tanpa gas Asam Kuning / tanpa gas Merah / Basa Kuning (-) Kuning (-) Kuning (-) Biru (+) Kuning (-) Violet (-) + Pseudomonas

Triple Sugar Iron (TSI) agar Reaksi Fermentasi karbohidrat H2S IMViC Produksi indol Metil merah Voges Proskauer Kegunaan sitrat Hydrogen sulfat (H2S) Urease Reduksi nitrat Katalase Oksidase

Genus bakteri

52

c. Uji fermentasi karbohidrat Berdasarkan hasil uji fermentasi karbohidrat seperti yang terlihat pada Gambar 9 dan Tabel 10 memperlihatkan bahwa pada pengujian laktosa dan dekstrosa, isolat bakteri U1 dan U2 mampu memfermentasi laktosa dan dekstrosa yang ditandai dengan adanya perubahan warna pada media dari merah menjadi kuning dan ditandai pula dengan terbentuknya gas pada media. Sedangkan pada isolat U3, tidak terjadi perubahan warna pada media yang mengindikasikan bahwa bakteri tidak mampu memfermentasi laktosa dan dekstrosa. Hasil pengujian sukrosa memperlihatkan bahwa hanya isolat U2 yang mampu memfermentasi sukosa yang ditandai dengan adanya perubahan warna merah menjadi kuning. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri U2 menggunakan sukrosa sebagai sumber karbon untuk kemudian diubah menjadi sumber ATP. d. Uji fermentasi gula (TSI) dan H2S Uji fermentasi gula digunakan untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam memfermentasi gula dengan menghasilkan asam atau gas. Berdasarkan hasil uji seperti yang terlihat pada Gambar 9 dan Tabel 10 menunjukkan bahwa hanya pada isolat bakteri U1 dan U2 yang dapat memfermentasi laktosa atau sukrosa dengan menghasilkan asam dan menghasilkan gas. Hal ini diketahui dari hasil uji yang memperlihatkan terjadinya perubahan warna pada media (agar) dimana pada bagian permukaan dan bawah agar berwarna kuning. Selain itu tidak terjadi perubahan posisi media dimana media tersebut tidak terangkat dari dasar tabung. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi yang terjadi merupakan reaksi asam. Reaksi tersebut merupakan hasil dari fermentasi substrat bakteri yang menghasilkan asam sehingga mengubah pH media dan merubah warna indikator pH menjadi kuning. Hasil uji H2S dapat diketahui bahwa pada kesemua isolat tidak memiliki enzim desulfurase enzim desulfurase yang berfungsi untuk memecah sistein dan menghasilkan H2S, sehingga selama proses fermentasi gula, tidak terjadi pembentukan H2S. Hal ini dapat terlihat pada medium TSIA yang tidak menghasilkan warna hitam.

53

e. Uji IMViC Hasil uji IMViC yang terdiri atas uji indol, methyl merah, voges proskauer, dan citrate utilization diperoleh hasil bahwa pada uji indol seperti yang terlihat pada Gambar 9 dan Tabel 10hanya isolat U1 yang mampu menghidrolisis tryptofan, sedangkan pada isolat U2 dan U3 tidak mampu menghidrolisis tryptofan, hal ini berarti bahwa hanya koloni bakteri pada isolat U1 yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi tryptofan menjadi indol. Hal ini dapat mengarah pada pendugaan bahwa kedua bakteri tersebut termasuk ke dalam jenis bakteri koliform. Berdasarkan uji methyl red diperoleh hasil bahwa semua isolat bakteri menghasilkan warna kuning pada akhir prosesnya yang mengindikasikan bahwa bakteri menghasilkan asam dengan konsentrasi yang rendah. Reaksi asam merupakan hasil fermentasi glukosa yang merupakan substrat utama yang digunakan oleh bakteri sebagai sumber energi. Suasana asam akan menurunkan pH media pertumbuhannya dan akan mengubah warna media. Uji lainnya dalam uji IMViC yaitu uji sitrat. Uji sitrat digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bakteri dalam menggunakan sitrat sebagai sumber karbon tunggal. Jika bakteri tidak dapat memfermentasi glukosa dan laktosa maka bakteri dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbon untuk energi. Berdasarkan uji sitrat dapat diketahui bahwa pada isolat U2 dan U3 dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbon untuk energinya. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 9 dimana pada media Simmons citrate terjadi perubahan warna dari hijau menjadi biru. Sedangkan isolat U1 tidak mampu menggunakan sitrat sebagai sumber karbon untuk energinya. Hal ini diduga karena bakteri tersebut mampu memfermentasi laktosa dan sukrosa yang dapat digunakan sebagai energi. f. Uji urease Uji urease bertujuan untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi urea atau menghasilkan enzim urease. Hasil uji urease ini seperti yang terlihat pada Gambar 9 dan Tabel 10 menunjukkan tidak terjadinya perubahan warna pada media dimana media tersebut tetap berwarna ungu, hal ini mengindikasikan bahwa semua isolat bakteri tidak menghasilkan enzim urease

54

sehingga

bakteri-bakteri

tersebut

tidak

dapat

mendegradasi

urea

dan

memanfaatkan urea dalam metabolisme selnya. g. Uji katalase Uji katalase digunakan untuk mengetahui kemampuan beberapa mikroorganisme untuk menguraikan hydrogen peroksida (H2O2) dengan memproduksi enzim katalase. Hasil uji katalase menunjukkan bahwa semua isolat bakteri bersifat katalase positif, yang ditandai dengan terbentuknya gelembung dari gas oksigen bebas. Hal ini berguna bagi bakteri dimana hydrogen peroksida yang terdapat di dalam tubuhnya yang merupakan reaksi yang dihasilkan dalam proses pernapasannya dapat diubah menjadi oksigen dan air sehingga dapat menghindari toksisitas dari hydrogen peroksida tersebut. Berdasarkan kesemua hasil identifikasi biokimia terhadap aktifitas bakteri tersebut didapatkan hasil bahwa pada koloni udang dengan media chromocult didapatkan tiga jenis koloni bakteri. Dimana koloni bakteri yang berwarna biru merupakan jenis bakteri Escherichia coli, koloni warna merah merupakan jenis bakteri Enterobacter sedangkan koloni yang tak berwarna termasuk ke dalam genus Pseudomonas. Hasil identifikasi bakteri pada udang galah segar memperlihatkan kesamaan pada isolat koloni merah dan biru pada media chromocult dengan hasil identifikasi pada air tambak. Hal ini memperlihatkan bahwa bakteri yang terdapat pada udang galah segar berasal dari habitat tempat hidupnya, dan bukan dari kontaminasi selama perlakuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ayres et al. (1980) yang menyatakan bahwa bakteri pada udang mencerminkan karakteristik mikrobiologis dari air dimana udang tersebut berasal. 4.2. Penelitian Utama 4.2.1. Konfirmasi biakan Escherichia coli NBRC 14237 Penelitian utama bertujuan untuk melihat efektifitas chitosan sebagai pereduksi bakteri Escherichia coli dan bakteri lainnya yang juga terindentifikasi pada media chromocult. Dalam mengidentifikasikan efektifitas chitosan sebagai pereduksi Escherichia coli dilakukan dengan terlebih dahulu proses kontaminasi

55

udang segar dengan biakan Escherichia coli. Hal ini bertujuan untuk menseragamkan jumlah bakteri awal pada udang galah segar, dan dengan penambahan bakteri ini diharapkan akan dihasilkan tren reduksi bakteri yang lebih jelas. Biakan Escherichia coli NBRC 14237 diperoleh dari Jepang National Biotechnology Research Centre. Biakan Escherichia coli terlebih dahulu disiapkan dengan cara menumbuhkan pada media Nutrient Broth, dan dihitung jumlahnya dengan cara plate count dengan metode pour plate. Hasil penghitungan jumlah koloni Escherichia coli dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah koloni inokulum E. coli pada media chromocult Sampel Ulangan Jumlah mikroba (CFU/ml) 8,0 x 108 7,1 x 108 3,0 x 108 3,0 x 10
8

Log10 CFU/ml

Rata-rata jumlah mikroba inokulum (Log10 CFU/ml)

1 2 Escherichia coli 3 4 5

8,90 8,85 8,48 8,48 8,45 8,650,22

2,8 x 108

4.2.2. Persiapan inokulasi bakteri Escherichia coli pada udang Udang diinokulasi dengan bakteri Escherichia coli dengan tujuan untuk menseragamkan jumlah bakteri awal sebagai upaya untuk memperkecil kesalahan dalam penghitungan total bakteri. Sebelum diinokulasikan pada udang, biakan bakteri Escherichia coli NBRC 14237 terlebih dahulu dilakukan pengenceran dan pemupukan pada media chromocult untuk dihitung jumlahnya. Setelah itu, dapat diketahui jumlah bakteri yang digunakan untuk mengkontaminasi udang yaitu 8,65 Log CFU/ml (4,8x108 CFU/ml). Proses kontaminasi dilakukan dengan cara mencelupkan udang pada bakteri Escherichia coli dengan menggunakan media nutrient broth selama 2 jam. Semua pekerjaan dilakukan secara aseptis di dalam ruang tertutup (cleaning bens) untuk menghindari adanya kontaminasi dari luar.

56

4.2.3. Evaluasi efektifitas chitosan dalam mereduksi Escherichia coli Proses evaluasi efektifitas chitosan dinilai berdasarkan kemampuan chitosan dalam mereduksi jumlah bakteri yang terdapat pada udang. Chitosan memiliki kemampuan sebagai desinfektan/antibakteri dikarenakan beberapa sifat yang dimiliki yaitu kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan kemampuannya dalam memberikan pelapisan terhadap produk sehingga meminimalkan interaksi antara produk dan lingkungannya. Udang diberikan perlakuan perendaman pada berbagai konsentrasi chitosan dan lama waktu perendaman. Selanjutnya jumlah bakteri pada udang dihitung dengan cara plate count dengan menggunakan media chromocult. Nilai reduksi bakteri Escherichia coli didapatkan dari selisih antara total plate count pada udang dengan perlakuan dan total plate count pada udang kontrol tanpa perlakuan desinfektan. Hasil yang didapatkan perhitungan reduksi terdapat pada Lampiran 10. seperti yang terlihat pada Gambar 10 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6, sedangkan cara

Gambar 10. Jumlah reduksi bakteri Escherichia coli setelah perlakuan dengan desinfektan Hasil yang didapatkan memperlihatkan bahwa perendaman udang dengan menggunakan asam lemah selama 3 menit hanya mengurangi jumlah bakteri Escherichia coli sebesar 1,36 log10 CFU/g, memperlama perendaman hingga 6 menit menghasilkan jumlah reduksi yang tidak jauh berbeda dengan

57

perendaman selama 3 menit dimana hanya dapat menurunkan Escherichia coli sebesar 1,47 log10 CFU/g. Penggunaan bahan aktif dari chitosan dengan konsentrasi 50 ppm pada waktu perendaman 3 menit dapat mereduksi jumlah Escherichia coli sebesar dibandingkan dengan 3,29 log10 CFU/g, nilai reduksi ini cukup tinggi hanya digunakannya asam sebagai desinfektan,

perendaman dengan konsentrasi desinfektan yang sama selama 6 menit justru mengurangi jumlah reduksi Escherichia coli yaitu sebesar 2,75 log10 CFU/g. Peningkatan konsentrasi chitosan hingga 100 ppm dengan lama perendaman 3 menit mereduksi Escherichia coli sebesar 3,49 log10 CFU/g, sedangkan perendaman dengan chitosan selama 6 menit dapat mereduksi Escherichia coli sebesar 3,06 log10 CFU/g. Penggunaan konsentrasi chitosan yang lebih besar yaitu 150 ppm selama 3 menit menurunkan bakteri hingga 3,92 log10 CFU/g dan selama 6 menit dapat mereduksi hingga 4,28 log10 CFU/g. Meningkatkan konsentrasi chitosan hingga 200 ppm menghasilkan nilai reduksi yang menurun yaitu 3,92 log10 CFU/g jika udang dilakukan perendaman selama 3 menit dan 3,94 log10 CFU/g untuk perendaman selama 6 menit. Berdasarkan hasil tersebut chitosan dengan konsentrasi 150 ppm memiliki kemampuan terbesar dalam mereduksi bakteri Escherichia coli, hal ini terlihat dari jumlah total bakteri Escherichia coli akhir yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan konsentrasi chitosan yang lainnya. Hal ini memperlihatkan bahwa chitosan memiliki daya dalam mengikat bakteri. Menurut Simpson (1997) diacu Suptijah (2006) chitosan dapat digunakan dalam mereduksi bakteri Escherichia coli melalui mekanisme sebagai berikut, chitosan dapat berikatan dengan membran sel, diantaranya dengan glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membran, terutama fosfatidil kolin (PC) sehingga menyebabkan permeabilitas inner membran (IM) meningkat dan dengan meningkatnya permeabilitas IM memberi jalan yang mudah untuk keluarnya cairan sel. Khususnya pada E. coli setelah 60 menit komponen enzim galaktosidase dapat terlepas, berarti dapat keluar dengan sitoplasma bahkan sambil membawa komponen metabolit yang lain, yang berarti terjadi lisis. Sehubungan dengan meningkatnya lisis maka tidak akan terjadi pembelahan sel (regenerasi), bahkan dapat sampai mati.

58

Penggunaan chitosan dengan konsentrasi 200 ppm menghasilkan nilai reduksi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan konsentrasi 150 ppm, hal ini diduga bahwa pada konsentrasi 150 ppm chitosan telah jenuh dan mengakibatkan efek fouling pada permukaan bakteri, sehingga chitosan tidak dapat mengikat protein membrane pada sel bakteri. Chaiyakosha et al. (2007) menyatakan bahwa aktifitas antimikroba dari chitosan dalam mereduksi bakteri tergantung dari berat molekul (MW) dan derajat deasetilasinya. Dalam penelitian ini, digunakan berat molekul yang tinggi (161.000 Dalton) dengan derajat deasetilasi 86,64%. Hal ini menunjukkan kekuatan aktifitas antimikroba secara in vitro pada konsentrasi 150 ppm dan dalam waktu kontak (perendaman) 6 menit dapat mereduksi bakteri Escherichia coli sebesar 4,28 log10 CFU/g seperti yang terlihat pada Gambar 10. Chitosan yang merupakan polikationik amina akan berinteraksi dengan kutub negatif pada lapisan sel dari bakteri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chaiyakosha et al. (2007) bahwa reduksi dari jumlah sel bakteri dipengaruhi oleh perubahan permukaan sel dan hilangnya fungsi barrier dari bakteri itu sendiri. Selain itu Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang rentan terhadap biodesinfektan termasuk chitosan, hal ini diperkuat juga oleh pernyataan Devlieghere et al. (2004) bahwa bakteri Gram negatif, dengan kandungan lipopolisakarida pada lapisan luarnya yang juga merupakan kutub negatif sangatlah rentan dan sensitif terhadap chitosan. 4.2.4. Evaluasi efektifitas chitosan dalam teridentifikasi pada media chromocult mereduksi bakteri yang

Bakteri selain Escherichia coli yang teridentifikasi pada udang dengan menggunakan media chromocult adalah bakteri Enterobacter yang merupakan koloni warna merah pada media chromocult dan bakteri Pseudomonas yang merupakan koloni tak berwarna pada media chromocult. Evaluasi efektifitas chitosan dalam mereduksi kedua bakteri ini dilakukan secara terpisah dengan evaluasi efektifitas chitosan pada bakteri Escherichia coli, hal ini dikarenakan dalam proses ini pengujian dilakukan tanpa adanya kontaminasi dengan inokulum bakteri Escherichia coli terlebih dahulu. Grafik hasil pengujian efektifitas chitosan terhadap bakteri Enterobacter dan

59

Pseudomonas dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12, sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8.

Gambar 11. Kurva reduksi bakteri Enterobacter dengan perlakuan desinfektan

Gambar 12. Kurva reduksi bakteri Pseudomonas dengan perlakuan desinfektan Hasil yang didapatkan memperlihatkan bahwa chitosan juga dapat mereduksi bakteri selain Escherichia coli. Pada bakteri Enterobacter reduksi tertinggi terdapat pada perlakuan dengan perendaman chitosan konsentrasi 200 ppm selama 6 menit yaitu mampu sebesar 3,90 log10 CFU/g. Kemampuan chitosan dalam mereduksi bakteri Pseudomonas juga meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi dan lama perendaman. Reduksi tertinggi terdapat pada perendaman udang dengan menggunakan chitosan dengan konsentrasi 200 ppm yaitu dapat mereduksi sebesar 4,14 log10 CFU/g. Berbeda halnya dengan pencucian yang menggunakan larutan desinfektan seperti chitosan, klorin, atau klorin dioksida pada pencucian dengan air biasa tidak terjadi proses inaktivasi mikroba. Terjadinya reduksi mikroba pada permukaan

60

udang disebabkan oleh perpindahan mikroba dari udang ke air sehingga jumlah mikroba pada air pencucian mengalami peningkatan. Dengan demikian, kandungan total mikroba pada sistem tersebut akan tetap (Ayres et al. 1980). Chaiyakosha et al. (2007) mengemukakan bahwa pada pencucian yang menggunakan larutan desinfektan terjadi inaktivasi mikroba. Karena itu, pencucian menggunakan larutan desinfektan umumnya lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan air biasa. Selain itu, pencucian dengan larutan chitosan 150 ppm dapat mereduksi mikroba 1-2 Log lebih besar dibandingkan dengan pencucian dengan hanya menggunakan air saja. 4.3. Uji Organoleptik Penggunaan desinfektan dari chitosan memiliki efektifitas dari segi pereduksi bakteri Escherichia coli, namun ketika memilih maka konsumen akan menilai dari organoleptik dari udang galah segar tersebut terlebih dahulu. Beberapa saat setelah ditangkap, udang akan segera mati dan mulai mengalami pembusukan. Proses dekomposisi udang merupakan hasil dari kombinasi antara pertumbuhan mikroba dan aktifitas enzim yang secara alami ada di dalam jaringan (Finne 1982). Proses tersebut menghasilkan senyawa-senyawa yang mengakibatkan perubahan warna, off odor, dan off flavor (Fieger dan Novak 1961). Sehingga dengan menghambat pertumbuhan pertumbuhan mikroba tersebut diharapkan dapat menghambat pula pembentukan senyawa-senyawa yang dapat mengurangi nilai sensori udang. Menurut SNI 01-2346-2006 tentang petunjuk pengujian organoleptik dan atau sensori udang segar, memperlihatkan bahwa dalam pengujian organoleptik udang segar terdapat tiga parameter yang harus dinilai. Parameter tersebut adalah penampakan, bau, dan tekstur. Dalam keputusan Badan Standarisasi Nasional (2007) mengharuskan nilai minimal untuk pengujian organoleptik adalah 7. Dari segi penampakan nilai 7 berarti utuh, kebeningan agak hilang, sedikit kusam, dan antar ruas kurang kokoh. Dilihat dari parameter bau nilai 7 mewakili karakteristik bau spesifik jenis netral, sedangkan nilai 7 pada parameter tekstur menandakan bahwa udang kurang elastis,kompak, dan padat.

61

4.3.1. Penampakan Mutu bahan pangan pada umumnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain cita rasa, tekstur, nilai gizi, mikrobiologis dan warna. Sebelum faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor penampakan akan tampil terlebih dahulu (Winarno 1997). Diagram batang rata-rata penilaian panelis terhadap penampakan udang galah segar setelah perlakuan desinfektan disajikan pada Gambar 13.

Angka-angka yang sama dan diikuti oleh huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata(p<0,05),sedangkan yang diikuti huruf superscript sama (ab) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 13. Diagram batang rata-rata penilaian panelis terhadap penampakan udang galah segar dengan berbagai perlakuan pencucian dengan konsentrasi chitosan yang berbeda Nilai rata-rata organoleptik penampakan udang galah segar berkisar antara angka 5 yang berarti penerimaan panelis terhadap udang galah segar adalah mulai dari utuh, kebeningan hilang, kusam, warna agak merah muda, sedikit noda hitam, antar ruas kurang kokoh, hingga angka 7 yang berarti utuh, kebeningan agak hilang, sedikit kusam, antar ruas kurang kokoh. Hasil analisis Kruskal Wallis terhadap parameter penampakan udang galah segar, memberikan informasi bahwa perlakuan chitosan memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5% terhadap penilaian organoleptik udang galah segar menurut panelis. Hasil uji organoleptik penampakan, perlakuan yang

62

mendapatkan nilai tertinggi adalah udang galah segar yang direndam dalam chitosan selama 3 menit dengan konsentrasi 150 ppm, namun hasil organoleptik ini tidak berbeda nyata dengan nilai organoleptik pada udang galah segar lainnya dengan waktu perendaman 3 menit kecuali pada chitosan dengan konsentrasi 200 ppm yang memiliki nilai terendah baik pada perendaman 3 menit maupun 6 menit. Penggunaan chitosan dengan konsentrasi 150 ppm memiliki nilai organoleptik 7 yang menurut SNI 01-2346-2006 nilai ini mengindikasikan bahwa udang tersebut memiliki ciri-ciri utuh, kebeningan agak hilang, sedikit kusam, dan antar ruas kurang kokoh. Nilai tersebut juga memperlihatkan bahwa udang galah segar dengan perlakuan desinfektasi dengan chitosan 150 ppm telah sesuai dengan standar nilai organoleptik yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional (2007) dimana nilai minimum untuk nilai organoleptik adalah 7. Nisperoscarriedo (1995) menyatakan bahwa chitosan seperti polimer film dari karbohidrat lainnya, memiliki sifat sedikit permeable terhadap gas (O2, CO2) tetapi kurang mampu menghambat perpindahan air. Secara umum pelapis yang tersusun dari polisakarida dan turunannya hanya sedikit menahan penguapan air tetapi efektif untuk mengontrol difusi gas. Hal ini diduga yang menyebabkan penampakan udang galah segar dengan perendaman dalam chitosan 150 ppm memiliki karakteristik yang baik, dan disukai. Selain itu lapisan chitosan yang menutupi daging pada udang galah segar juga memberikan dan mempertahakan kecerahan dari penampakan udang galah segar. 4.3.2. Bau Bau udang galah segar menandakan kesegarannya. Dalam hal ini udang galah segar memiliki bau yang sangat spesifik, ketika udang galah tersebut telah mengalami kemunduran maka yang akan tercium merupakan bau indol yang berasal dari akumulasi basa pada reaksi biokimia yang terjadi pada udang galah. Diagram batang nilai rata-rata tingkat penilaian (skoring) terhadap bau udang galah segar disajikan pada Gambar 14. Nilai rata-rata organoleptik bau udang galah segar berkisar antara 5 yang berarti mulai timbul bau indol, hingga 8 yang berarti bau segar spesifik jenis. Berdasarkan penilaian panelis, bau udang galah segar yang terbaik dari perlakuan

63

tersebut adalah udang dengan perendaman chitosan selama 3 menit dan konsentrasi chitosan sebesar 100 dan 150 ppm dengan nilai 7,43 dimana menurut SNI 01-2346-2006, nilai tersebut mengindikasikan bahwa udang memiliki bau segar yang spesifik jenisnya. Hal ini didukung pula oleh jumlah bakteri Escherichia coli yang tereduksi paling besar ketika direndam dalam chitosan dengan konsentrasi tersebut.

Angka-angka yang sama dan diikuti oleh huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata(p<0,05),sedangkan yang diikuti huruf superscript sama (ab) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 14. Diagram batang rata-rata penilaian panelis terhadap bau udang galah segar dengan berbagai perlakuan pencucian dengan konsentrasi chitosan yang berbeda Perubahan bau disebabkan oleh adanya proses fermentasi oleh bakteri heterotrof yang mampu mengubah glukosa dan heksosa lainya menjadi asam laktat, asam format, dan CO2 dalam jumlah yang hampir sama dan sangat penting untuk pembentuk aroma dan rasa karena terbentuknya senyawa asetaldehida dan diasetil (Chaiyakosha et al.2007). 4.3.3. Tekstur Sifat-sifat tekstur adalah sekelompok sifat-sifat fisik yang ditimbulkan oleh elemen struktural bahan pangan yang dirasa oleh perabaan, terkait dengan

64

deformasi, desintegrasi dan aliran dari bahan pangan dibawah tekanan yang diukur secara obyektif oleh fungsi masa, waktu, dan jarak (Wilkinson 1997). Nilai rata-rata organoleptik tekstur pada udang galah segar berkisar antara 5 yang berarti tidak elastik, tidak kompak, dan tidak padat hingga 8 yang berarti elastis, kompak, dan padat.

Angka-angka yang sama dan diikuti oleh huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata(p<0,05),sedangkan yang diikuti huruf superscript sama (ab) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 15. Diagram batang rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur udang galah segar dengan berbagai perlakuan pencucian dengan konsentrasi chitosan yang berbeda Hasil uji Kruskal Wallis dengan taraf nyata 5% memperlihatkan bahwa perlakuan perendaman udang galah segar dengan menggunakan chitosan pada berbagai konsentrasi dan lama waktu perendaman mempengaruhi tekstur udang tersebut. Berdasarkan hasil uji lanjut dapat dilihat bahwa lama waktu perendaman yaitu 3 menit dan 6 menit berbeda nyata terhadap parameter tekstur dimana udang galah segar dengan waktu perendaman selama 3 menit lebih memiliki tekstur yang disukai panelis. Nilai yang tertinggi terdapat pada perlakuan dengan perendaman chitosan 150 ppm selama 3 menit dengan nilai 7,77 dimana menurut SNI 01-2346-2006, nilai tersebut mengindikasikan bahwa udang memiliki tekstur elastis, kompak, dan padat.

65

Berdasarkan hasil penilaian panelis terhadap kesemua parameter organoleptik udang galah segar, perlakuan perendaman udang dengan menggunakan chitosan selama 3 menit memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perendaman dengan chitosan selama 6 menit. Hal ini diduga karena asam pada larutan chitosan memiliki efek yang dapat mengubah penampakan dari udang.

66

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil uji morfologi dan fisiologi terhadap koloni bakteri yang tumbuh pada media chromocult, maka dapat diketahui bahwa bakteri yang teridentifikasi pada air tambak dengan media chromocult adalah bakteri Citrobacter, Enterobacter, Corynebacterium, dan Escherichia coli. Hal ini tidak berbeda jauh dengan bakteri yang ditemukan pada udang galah segar dengan penggunaan media yang sama yaitu chromocult dimana ditemukan bakteri Escherichia coli, Enterobacter, dan Pseudomonas. Hasil pengujian efektifitas desinfektan alami dari chitosan terhadap bakteri Escherichia coli menunjukkan bahwa perendaman udang galah segar dengan menggunakan larutan chitosan 150 ppm selama 6 menit dapat mereduksi jumlah bakteri Escherichia coli yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi dan lama perendaman yang lainnya. Efektifitas chitosan dalam mereduksi bakteri lainnya yang teridentifikasi dengan media chromocult pada udang galah segar yaitu bakteri Enterobacter dan Pseudomonas menunjukkan hasil bahwa chitosan mampu mereduksi kedua bakteri tersebut meskipun dalam jumlah yang tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan kemampuan chitosan dalam mereduksi bakteri Escherichia coli. Hasil penilaian panelis terhadap nilai organoleptik udang galah segar memperlihatkan hasil bahwa udang dengan perlakuan perendaman chitosan 150 ppm selama 3 menit memiliki nilai yang lebih baik dalam parameter penampakan, bau dan tekstur bila dibandingkan dengan parameter lainnya, dengan nilai rata-rata yang lebih besar dari angka tujuh yang berarti bahwa udang segar dengan perlakuan ini memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional. 5.2. Saran Berdasarkan hasil yang telah didapatkan perlu dilakukan pengujian terhadap daya tahan udang galah yang telah didesinfektan dengan menggunakan chitosan jika akan diaplikasikan dalam skala industri.

67

DAFTAR PUSTAKA Abdou ES, Khaled SA, Nagy A, Maher Z, Elsabee B.2007. Extraction and characterization of chitin and chitosan from local sources. Bioresources Technology 30: 300. Ayres JC, Mundt JO, Sandine WE. 1980. Microbiology of Foods. San Francisco : WH Freeman Company. Bets K. 2005. When chlorine and antimicrobials be an unintended consequences. Evironmental Science and Technology 80: 234-241. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. SNI 01-2346-2006. Petunjuk Pengujian Organoleptik dan atau Sensori. Jakarta : Dewan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2007. RSNI 01-2705-2005. Udang beku. Jakarta : Dewan Standarisasi Nasional. [BPPT] Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi. 2003. Udang skala industri. www.bppt.go.id [diakses tanggal 4 Februari 2008] Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooto M. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo H dan Adiono, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: FoodScience [penerbit tidak diketahui] Cappuccino JG, Sherman N. 2001. Microbiology A Laboratory Manual 6th Ed. San Francisco : Pearson Education Inc. Chaiyakosha S, Charernjirtragul W, Umsakul K, Vuddhakul V. 2007. Comparing the efficiency of chitosan with chlorine for reducing Vibrio parahaemolyticus in shrimp. Food Control 18: 1031-1035. Dahuri. 2004. Potensi perikanan indonesia. www.dkp.go.id [diakses tanggal 3 Januari 2007]. Daulay T, Djajadireja R. 1979. Budidaya udang masa sekarang ini dan prospeknya. Bogor : Makalah Diskusi Peranan Ahli Udang dalam Pembinaan dan Pendayagunaan Udang di Indonesia. Devlieghere F, Vermeulen A, Debevere J. 2004. Chitosan : antimicrobial Activity, interaction with food components and applicability as a coating on fruit and vegetables. Food Microbiology 21: 703-714. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Ekspor udang merosot terendah dalam dasawarsa Ini. www.kompas.go.id [diakses tanggal 3 Januari 2007].

68

Fadlihu D. 2003. Proses pengemasan udang windu (Penaeus monodon) bentuk sushi ebi di PT. Suri Tani Pemuka cold storage, Banyuwangi, Jawa Timur. [Laporan Magang]. Bogor : Jurusan Agronomi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2002. Farming freshwater prawns: a manual fot the culture of the culture of the giant river prawn. www.fao.org/docrep/005.htm [diakses tanggal 3 Maret 2008). Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Perguruan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz S. 1992. Petunjuk Laboratorium, Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Perguruan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fieger EA, Novak AF 1961. Microbiology of Shellfish Deterioration. New York,London : Borgstrom G (Ed), Fish as Foods Vol I : Production Biochemistry and Microbiology Academic Press. PP 561 612 Finne G. 1982. Enzimatic Ammonia Production in Penaeid Shrimp Held on Ice. Conecticut : AVI Publishing Company Finney M, Smullena J, Fostera HA, Brokxb S, Storey DM. 2003. Evaluation of chromocult coliform agar for the detection and enumeration of Enterobacteriaceae from faecal samples from healthy subjects. Journal of Microbiological Methods 54: 353 358. Fu Zhou Corona Science & Technology. 2007. Chitosan characterization. Fu Zhou Corona Science & Technology Development Co., Ltd., Hadioetomo RS. 1985.Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek, Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Utama Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Yogyakarta : Liberty. Hardjito L. 2006. Aplikasi kitosan sebagai bahan tambahan makanan dan pengawet. [Prosiding Seminar Nasional]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hariyadi RD. 2003. Bakteri indikator keamanan air minum. www.kompas.com [diakses tanggal 3 Januari 2008].

69

Hartono N. 1995. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek,Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Jakarta : Penerbit Gramedia. Houlthuis LB.1950. The Palemonidae, the Decapoda Collected by the Sibolga and Snelius Expedition with The Remark on Species I, Part X. E. J. Brill, Leiden p. 114. Hennberger PK, Olin AC, Andersson E, Hagberg S, Toren K. 2005. The incidence of respiratory symptoms and diseases among pulp mill workers with peak exposures to ozone and other irritant gases. Chest 128 : 3028-3037 Jayachandran KV. 2001. Palaemonid prawns : biodiversity , taxonomy, biology and management. USA : Science Publisher, Enfield (NH). 624 pp. Kanauchi O, Deuchi K, Imasato Y, Shizukuishi M, Kobayashi E. 1995. Mechanism for the inhibition of fat digestion by chitosan and for The Synergistic Effect of ascorbate. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 59:786-790. Kim C, Hung YC, Bracket RE. 2000. Efficacy of electrolyzed oxidizing (EO) and chemically modified water on different types of foodborne pathogens. International Journal of Food Microbiology 61:199207. Kofuji K, Qian CJ, Murata Y, Kawashima S. 2005. Preparation of chitosan microparticles by water-in-vegetable oil emulsion coalescence technique. Journal of Reactive and Functional Polymers 65 :77-83. Lay BW. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1977. Sumber Protein Hewani. www.iptek.net.id/ind/?=berita [diakses tanggal 3 Maret 2008]. Merck. 2002. Chromocult coliform agar. Darmstadt Germany : Cat. No. 1.10426.0100/500 Miret MLG, Gilete MLE, Heredia FJ. 2005. The establishment of critical control points at the washing and air chilling stages in poultry meat production using multivariate statistics. Food Control 17 : 935-941. Murtidjo. 1992. Budidaya Udang Galah pada Daerah Payau. Jakarta; Penebar Swadaya New KE. 2002. Palemonide morphology. Boca Raton Florida:CRC Press Nisperoscarriedo T. 1995. Chitosan as a biomaterial; biotechnology in the marine sciences. Boston: Massachusetts Institute of Technology

70

No HK, Park NY, Lee SH, Meyers SP. 2002. Antibacterial activity of chitosan and oligomers with different molecular weights. International Journal of Food Microbiology 74: 62-72. Prabaningtyas S. 2003. Karakteristik bakteri koleksi laboratorium mikrobiologi Universitas Negri Malang. Malang: Chimera Vol: VIII. No. 2 [abstrak]. Prashanth KVH, Taranathan RN. 2007. Chitin / Chitosan : modification and their unlimited application potential- an overview. Trends in Food Science and Technology 18 : 117 131. Qin C, Li H, Xiao Q, Liu Y, Zhu J, Du Y. 2005. Water-solubility of chitosan and its antimicrobial activity. Journal of Carbohiydrate Polymer 63:367-374. Rinaudo M. 2006. Chitin and chitosan: properties and applications. Program Polymer Science 31 : 603632. Sharma RR, Dhermici A. 2003. Treatment of Escherichia coli O157:H7 inoculated alfafa seeds and sprout with electrolized oxidizing water. International Journal of Food Microbiology 86: 231-237. Simmonds CK, Lamprecht EC. 1985. Microbiology of frozen fish and related products. Journal of Microbiology 169-204. Soekarto. 1985. Organoleptik Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan : Bambang Sumantri. Jakarta: PT. Gramedia Utama. Sudarshan NR, Hoover DG, Knorr D. 1992. Antibacterial action of chitosan. Food Biotechnology 6 : 257-272. Suhartono MT, Chandra KP, Soewanto A, Wu IM, Juaidi B. 1995. Laporan penelitian kloning gen protease Bacillus stearothemophillus DSM 297 ke dalam E. coli DHS alfa dan telaah ekspresinya. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Sulistia F. 2004. Pengawasan mutu pembekuan udang windu (Penaeus monodon) tanpa kepala (headless) cheefel di PT Adijaya Guna Satwa Tama, Cirebon, Jawa Barat. [Laporan Magang]. Bogor : Jurusan Agronomi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Purwaningsih S, Santoso J.1992. Pengaruh berbagai isolasi khitin kulit udang terhadap mutunya. [Laporan Penelitian]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

71

Suptijah P. 2006. Deskripsi karakteristik fungsional dan aplikasi kitin kitosan. [Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tamura H, Tsuruta Y, Tokura S. 2002. Preparation of chitosan-coated alginate filament. Materials Science and Engineering 20 : 143-147 Tang ZX, Shi LE, Qian JQ. 2007. Neutral lipase from aqueous solutions on chitosan nano-particles. Biochemical Engineering Journal 34 : 217-223. Tsai GJ, Su WH, Chen HC, Pan CL. 2002. Antimicrobial activity of shrimp chitin and chitosan on the experimentally induced murine candidiasis. Microbiology and Immunology 28 : 903-912. Venkitanarayanan KS, Gabriel L, Ezeike O, Yen CH, Doyle MP. 1999. Efficacy of electrolyzed oxidizing water for inactivating Escherichia coli O157:H7, Salmonella enteritidis, and Listeria monocytogenes. Applied And Environmental Microbiology 65 : 42764279. Walker SJ dan Stringer MF. 1990. Microbiology of chilled foods. New York : Gormley, TR (Ed). Chilled Foods : the state of the art. Elsevier Applied Science. Wang GH. 1992. Inhibition and inactivation of five species of foodborne pathogens by chitosan. Journal of Food Protection 55 : 916-919. Whang HS, Aminuddin N, Hudson SM, Cuculo JA. 2005. Conversion of cellulose, chitin and chitosan to filaments with simple salt solutions. England : Woodhead Publishing Limited. Wilkinson SL. 1997. Eating safely in a dirty world. Chemistry Enginering News 10: 24-33. Winarno FG, Fardiaz S. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG. 1997. Kimia pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yi H, Wu LQ, Bentley WE, Ghodssi R, Rubloff GW, Culver JN, Payne GF. 2005. Biofabrication with chitosan. Biomacromolecules 6: 2881-2894.

You might also like