You are on page 1of 6

Page 1 of 6

Konsep Kebersamaan dalam Perspektif Hindu


*

Oleh: Miswanto, S.Ag. M.Pd.H
**



Pendahuluan
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang pluralistis baik dari segi agama,
etnis, bahasa maupun budaya. Semangat pluralisme ini telah diusung oleh Bangsa Indonesia
sejak ribuan tahun silam hingga sebuah mahawakya yang ditulis oleh Mpu Tantular dalam Kitab
Sutasoma kini dijadikan motonya. Mahawakya tersebut juga terukir secara indah dalam
cengkeraman Burung Garuda yang merupakan lambang Negara Indonesia (Miswanto,2012:56).
Itulah Bhinneka Tunggal Ika yang semestinya menjadi semboyan bagi bangsa Indonesia dalam
menyikapi semua perbedaan yang ada.
Akan tetapi semangat itu nampaknya sudah mulai luntur sehingga akhir-akhir ini banyak
terjadi konflik-konflik yang mengatasnamakan suku, adat, ras, dan agama (SARA). Ironisnya
agama yang seharusnya menjadi sumber kedamaian, oleh oknum tertentu justru malah dijadikan
sebagai alat legitimasi konflik. Banyak perang atas nama agama, membunuh karena perintah
agama, konflik atas nama agama dan berbagai kekerasan lain yang mengatasnamakan agama
(Miswanto,2005:39). Agama seolah-olah menjadi penyebab konflik, perang dan aksi
kekerasan lainnya sampai-sampai Hans Kung, seorang Teolog Jerman menulis dalam bukunya
Global Responbility, No world peace without peace among religions (tak ada kedamaian di
dunia tanpa kedamaian antar agama).
Sebagai negara yang didirikan atas semangat Tantularisme (bhinneka tunggal ika) dan
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
maka wajib bagi setiap warga negaranya untuk menjunjung wawasan kebangsaan yang
berdasarkan asas kebersamaan. Nilai-nilai inilah yang perlu kita tanamkan, pelihara, dan
tingkatkan terutama kepada kalangan generasi muda.
Pandangan Hindu tentang Pluralisme
Hindu adalah agama tertua di dunia dengan kitab sucinya Weda yang dijadikan sebagai
pedoman hidup bagi seluruh umat Hindu di dunia. Weda mengajarkan kepada setiap umatnya
untuk bisa menghargai kemajemukan. Hal ini dibuktikan dengan adanya sekte-sekte keagamaan
atau sampradaya dalam Hindu yang tersebar di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Dengan
demikian secara internal saja Hindu sudah menghargai adanya pluralisme.
Secara theologis, meski Hindu berpandangan monotheistik namun Agama Hindu tidak
melarang umatnya untuk memuja Tuhan (Brahman) dengan segala manifestasi-Nya (monistik).
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam I.64.46 (mandala I, sukta 64, mantra 46) berikut:
dFN'H" ll
eka sadvipr bahudh vadanti agnim yaman matarisvnam ahuh (Tuhan adalah Esa, orang
bijaksana memberi banyak nama. Mereka menyebut-Nya Indra, Yama, Matarisvan).
Selain itu ada banyak jalan yang bisa ditempuh menurut Hindu sebagaimana disebutkan
dalam Bhagawad Gt IV.11 yang menyebutkan:
~UF~H l HH~FH ll
ye yath mm prapadyante
prtha sarwaah (Terjemahan: jalan apapun orang memuja-Ku, pada jalan yang sama Aku
memenuhi keinginannya, wahai Partha. Karena pada semua jalan yang ditempuh mereka, semua
adalah jalan-Ku).
Dari kutipan sloka dan mantra tersebut diketahui bahwa Hindu adalah agama yang
menghargai semua perbedaan jalan menuju Tuhan (peribadatan). Hal ini sebagaimana diungkap
Radhakrishnan dalam True Knowledge yang berbunyi sarva stra prayojanam tattwa

*
Disampaikan pada acara Dialog Interaktif Pelajar Lintas Agama yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama
Kota Batu di Aula Hotel Songgoriti, Kota Batu pada tanggal 1 Maret 2012.
**
Penulis adalah Duta Dharma Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Batu, Ketua Pasraman Giri Sastra
Kota Batu, Guru Agama Hindu di SMP Negeri 4 Batu dan SMA Negeri 2 Batu, Staf Pengajar di Sekolah Tinggi
Hindu Dharma Klaten dan Koresponden Media Hindu di Jawa Timur.
Page 2 of 6

daranam yang dapat diterjemahkan: semua sastra (dalam semua agama) bertujuan untuk
mendapatkan pandangan tentang realitas.
Sejarah mencatat bahwa kerajaan Hindu terbesar di Indonesia yang pernah menyatukan
seluruh Nusantara juga menghargai setiap perbedaan (termasuk keyakinan) yang ada pada
rakyatnya. Hal ini sebagaimana petikan yang dituturkan oleh Mpu Tantular (Tutur Tantular)
dalam Kkawin Sutasoma Wirama 139 Sloka 5 berikut ini (Agastia,1987:70):
rwannkadhatu winuwus wara buddha wiwa, bhinnka rakwa ring apan kna parwwanosn,
mangka ng jinatwa lawan watatwa tunggal, bhinnka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
(Disebutkan dua perwujudan Beliau itu Buddha dan Siwa. Berbeda konon tetapi kapan dapat
dibagi dua. Demikianlah kebenaran Buddha dan kebenaran Siwa itu satu. Berbeda itu satu, tidak
ada Dharma/kebenaran yang mendua).
Mahawakya (bhinnka tunggal ika) dalam Tutur Tantular ini juga yang kini menjadi
sesanti, semboyan dan sekaligus sikap hidup bangsa Indonesia dan kini dimaknai sebagai
berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Dan sesanti ini pula yang mampu membangun semangat
persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia sehingga bisa meraih kemerdekaan setelah selama 3
abad lebih dijajah oleh Bangsa Belanda dan Jepang.
Pandangan Hindu tentang Kebersamaan
Hindu mengajarkan tentang rwa bhinneda. Beda dan sama adalah sesuatu yang selalu ada
di dunia ini. Jika manusia tidak bisa memahami suatu perbedaan maka ia tidak akan pernah bisa
hidup dalam kebersamaan. Sebaliknya jika mereka ingin hidup dalam kebersamaan maka
perbedaan itu tidak perlu dipermasalahkan (dipertentangkan). Apa yang beda tidak perlu
disama-samakan dan apa yang sudah sama tidak perlu dibeda-bedakan. Jika semua
manusia mampu memahami rwa bhinneda yang ada di dunia ini, maka mereka akan hidup
dalam kebahagiaan, ketenteraman dan kedamaian.
Dalam mitologi Hindu, disebutkan bahwa Brahman telah memanifestasikan Diri-Nya
sebagai penguasa penjuru alam semesta, seperti: Indra (Dewa Hujan), Pthiw (Dewa Bumi),
Srya (Dewa Matahari), Agni (Dewa Api), Bayu (Dewa Angin), Candra (Dewa Bulan), Waruna
(Dewa Laut) dan masih banyak lagi lainnya. Kesemua Dewa itu melaksanakan swadharma
(kewajiban masing-masing yang berbeda) tetapi mereka mempunyai tujuan yang sama yakni
membuat alam semesta tetap terpelihara. Brahman bersabda dalam Atharwaweda III.30.4:
"HH=H9~ l dNQHF ll
yena dev na viyanti no ca vidviate mitha, tat kmo brahma vo ghe sajna puruebhya.
(Bersatulah dan rukunlah kamu seperti menyatunya para dewata. Aku telah anugrahkan hal yang
sama kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah persatuan di antara kamu) (Titib,1998:348).
Itulah mestinya yang perlu diteladani dari sifat-sifat Dewa-Dewa Penguasa Alam Semesta
tersebut. Hal ini selaras dengan sebuah tembang Dhandhanggula sebagaimana yang ditulis oleh
Adi Suripto (2008:8) dalam Dharma Kinidung berikut ini:
Sakhing kang dumadi makardi,
Lir Hyang Widhi kang tansah makarya,
Nguribi jagad tan lrn,
Surya, candra lan bayu,
bhumi tirta kalawan agni,
Paparing panguripan,
Mring pamrih wus mungkur,
Anan nuhoni dharma,
Iku dadya stra ctha tanpa tulis,
Page 3 of 6

Nulad lakuning alam.
(Semua yang ada ini bekerja. Bahkan Tuhan pun bekerja. Menghidupi dunia ini tanpa henti.
Matahari, bulan, angin, bumi, air dan api semua bekerja demi kelangsungan hidup, dan tanpa
pamrih. Dasarnya hanyalah merasa wajib. Alam adalah ilmu nyata. Kita wajib meniru
dharmanya)
Matahari tidak akan membeda-bedakan orang yang harus diberikan sinarnya. Bumi yang
dipijak oleh seorang Hindu tentu akan sama dengan yang dipijak oleh seorang Muslim. Bulan
bisa dilihat oleh seorang Buddha atau pun oleh seorang Kristen. Udara (bayu) yang kita hirup
adalah sama dengan udara yang dihirup oleh orang yang berbeda dengan kita. Oleh karenanya
sesungguhnya mereka adalah saudara (satu udara dengan) kita. Dalam hal ini Hindu
menyebutnya dengan istilah wasudaiva kutumbhakam (semua mahluk adalah bersaudara). Hyang
Widdhi pun bersabda dalam Yajurveda XL.6 yang berbunyi:
FFHH l FH9 =H=d ll
yastu sarvi bhtany tmanneva anupayati, sarvabhteu ctman tato na vi cikitsati.
(Seseorang yang melihat Dia berada pada setiap mahluk dan kemudian melihat semua mahluk
ada pada-Nya, ia tidak akan membenci yang lain)
Jika setiap manusia di muka bumi ini menyadari dasar-dasar persamaan tersebut, maka
walaupun mereka berbeda ras, suku, agama dan budaya, mereka tidak akan sampai hati untuk
melakukan aksi-aksi penghinaan/penistaan/kekerasan kepada orang lain yang berbeda dari
mereka. Sebagaimana diketahui bahwa agama yang diturunkan dari langit adalah bagi manusia,
maka dari itu setiap penganut agama pun tentu harus menjalankan perintah-perintah agamanya
secara manusiawi (nguwongk uwong). Dan agama apa pun tentu tidak akan mengijinkan
pemeluknya untuk mengabaikan sisi humanisme dalam menjalankan ajaran agamannya.
Menurut Hindu ajaran tat twam asi adalah ajaran tentang humanisme yang universal. Tat
twam asi adalah ajaran kemanusiaan tanpa batas dan tanpa pandang bulu. Ajaran ini dilandasi
oleh ajaran filsafat Wedanta dari Chandogya Upanisad yang menyatakan bahwa Sang Atman
adalah Brahman juga (Saraswati,2009:57). Karena sesungguhnya Atman adalah percikan terkecil
dari Sang Brahman. Jika ajaran tat twam asi ini diaplikasikan dalam setiap tindakan manusia
maka mereka akan menghindari himsa karma (perbuatan menyakiti) apalagi sampai membunuh
sesama makhluk ciptaan-Nya.
ri Ka dalam Bhagawad Gt XIII.29 juga bersabda:
F FH FHF~ l F ll
sama payan hi sarvatra samavasthitam varam na hinasty tmantmna tato yti par
gatim (Maswinara,2008:402).
(Karena, ketika ia melihat kehadiran Tuhan, merata di mana-mana, ia tak akan menyakiti Dirinya
yang sejati dengan dirinya dan kemudian ia mencapai tujuan tertinggi)
Menyimak ajaran-ajaran suci di atas, maka tidak seharusnya sesama makhluk Tuhan
(pemeluk agama) kita saling baku hantam dan saling menjelek-jelekkan ajaran-ajaran suci
tersebut. Lebih-lebih sebagai bangsa yang menganut paham Ketuhanan Yang Maha Esa atas
dasar kemanusiaan yang menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa dengan mengedepankan
permusyawaratan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pandangan Hindu tentang Kerukunan
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Itulah peribahasa yang dikenal oleh masyarakat
Indonesia untuk mengupayakan adanya persatuan dan kesatuan di negara kepulauan ini. Sebuah
negara yang membentang di daerah Katulistiwa bagaikan sebuah permadani biru disulam aneka
hiasan warna-warni keemasan. Kepulauan yang sejak jaman dahulu kala telah dikenal oleh
bangsa-bangsa asing, terutama India dan China dengan nama Dwpntara atau Dwapatan, pada
jaman Majapahit dikenal dengan nama Nusntara, telah menunjukkan kepada dunia, bahwa di
kepulauan yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan budaya daerah
serta agama ini telah terbina kehidupan yang rukun dan damai serta patut dibanggakan bersama.
Untuk itu merupakan kewajiban yang luhur bagi segenap bangsa Indonesia untuk selalu
berusaha mempertahankan keutuhan bangsanya, memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa,
Page 4 of 6

melalui tugas dan kewajiban masing-masing yang diabdikan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
masyarakat, bangsa dan negara. Dalam Hindu kewajiban suci ini dikenal sebagai dwi dharma
yang terdiri atas dharma agama dan dharma negara. Menjaga keutuhan NKRI melalui kerukunan
umat beragama merupakan dharma negara dan sekaligus dharma agama bagi umat Hindu.
Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan
Nomor 9 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud kerukunan umat beragama adalah:
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Implementasi kerukunan umat beragama ini dapat dijabarkan dalam pelaksanaan Tri
Kerukunan Umat Beragama yang terdiri atas: (1) kerukunan intern umat beragama (umat
seagama, misalnya Hindu dengan Hindu, Islam dengan Islam dan sebagainya); (2) kerukunan
antar umat beragama (antara agama yang satu dengan yang lain, misalnya Hindu dengan Islam,
Kristen dengan Buddha dan seterusnya); serta (3) kerukunan antar umat beragama dengan
pemerintah (Tim Penyusun,2007:67-75).
Bagi umat beragama Hindu, kerukunan antar umat beragama tersebut bukanlah sesuatu
yang baru karena Weda telah mengajarkan umatnya untuk selalu hidup rukun dengan sesamanya.
Bahkan hidup rukun semacam ini bukan hanya untuk orang-orang yang dikenal, akrab atau
seagama saja, tetapi kepada orang asing atau orang yang tidak seagama pun umat Hindu harus
bisa hidup rukun dengan mereka. Berikut petikan mantra dalam Atharwaweda VII.52.1 yang
menjelaskan hal tersebut.
FFHF l FHFF ' ll
sajna na svebhi sajna araebhi, sajnam avin yuwam ihsmsu
niacchatam (Titib,1998:347-348).
(Hiduplah rukun dengan orang-orang yang dikenal dan akrab ataupun dengan orang-orang asing
sekalipun. Dewa Awin akan memberkahi mereka yang hidup dalam keserasian atau
keharmonisan)
Sesuai Sabda Suci Tuhan yang diwahyukan dalam Weda, para Dewa tidak akan berkenan
untuk memberkati umatnya jika mereka tidak bisa hidup rukun dan berdampingan dengan
sesamanya. Kerukunan semacam ini harus ditumbuhkan melalui sikap saling pengertian
(pemahaman akan pluralisme sebagaimana disebutkan di atas) dan saling menghormati
sebagaimana disabdakan dalam gveda X.191.4 berikut ini:
FHdF"H l FFH~HFFF ll
samn va kuti samn hdayni va, samnam astu vo mao yath va susahsati
(Milikilah perhatian yang sama.Tumbuhkan saling pengertian di antara kamu. Dengan demikian
engkau dapat mewujudkan kerukunan dan kesatuan) (Titib,1998:349).
Dengan tumbuhnya saling pengertian dan saling menghormati tersebut maka umat manusia
akan bisa mewujudkan kerukunan di antara mereka. Namun jika tidak ada sikap seperti itu di
antara mereka maka mustahil kerukunan itu bisa diwujudkan. Swami Vivekananda dalam Sidang
Terakhir Parlemen Agama-agama se-Dunia 27 September 1893 (dalam Pendit,1993:53)
menyerukan: Telah banyak dibicarakan tentang dasar-dasar umum kerukunan agama. Kini saya
tidak sekedar mempertaruhkan teori saya. Namun, jika ada orang yang berharap bahwa
kerukunan ini akan tercapai melalui kemenangan dari suatu ajaran agama terhadap penghancuran
agama lainnya, maka kepadanya saya akan katakan, `saudara, harapan anda itu hanyalah impian
yang mustahil.
Mencari Solusi dengan jalan Diplomasi
Tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkan jika setiap orang yang terlibat masalah
tersebut duduk bersama-sama dengan kepala dingin dan hati yang bersih. Semua pasti bisa
diselesaikan tanpa adanya jalur kekerasan. Begitu juga dengan masalah yang terkait dengan
kerukunan antar umat beragama. Semua pasti ada solusinya jika semua tokoh agama duduk
bersama-sama memecahkan masalah yang ada.
Dalam mencari solusi tersebut dibutuhkan lurusing ati (niat yang tulus), larasing budi
(kehalusan budi), dan lrsing pakarti (perilaku dan tidakan yang benar/baik). Maksudnya ketika
Page 5 of 6

semua umat atau tokoh dari berbagai agama itu duduk bersama untuk membahas permasalahan
yang ada, maka niat mereka harus benar-benar tulus dari lubuk hati yang terdalam (lurusing ati).
Setelah itu dibutuhkan kehalusan budi atau tutur kata dan etika yang baik (larasing budi) ketika
mereka bermusyawarah untuk mufakat. Dan terakhir tindakan penyelesaiannya haruslah tepat
dan benar (lrsing pakarti) atau sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.
Dengan memperluas ruang diskusi, dialog atau kerja sama sosial dan kemanusiaan baik
secara intern umat, antar umat beragama dan antara umat beragama dengan pemerintah maka
masalah yang besar dan pelik pun akan dapat diselesaikan. Hal ini sebagaimana disebutkan
dalam gveda X.191.3 yang menyatakan:
FFF l FF=9 l
FH l FHH9 ll
samno mantra samiti samni, samnam mana saha cittam em,
samnam mantram abhi mantraye vah, samnena vo havi juhomi.
(Wahai umat manusia, Pikirkanlah bersama. Bermusyawarahlah bersama. Satukanlah hati dan
pikiranmu satu dengan yang lain. Aku anugrahkan pikiran atau ide yang selaras dan fasilitas
yang sama pula untuk kerukunan hidupmu)
Penutup
Kerukunan antar umat beragama akan tercipta apabila semua umat saling pengertian dan
menghormati satu sama lain, memelihara pluralisme, bisa duduk bersama dalam perbedaan serta
mencari solusi yang dilandasi niat dari hati yang tulus, kehalusan budi dan komitmen tindakan
akan sebuah kesepakatan bersama. Dengan ini agama harus diposisikan sebagai private domain
untuk membentuk kualitas iman secara personal dalam rangka memperkuat moralitas
kemanusiaan yang universal (Asyarie,2002:35).
Wasana kata untuk mengakhiri makalah singkat ini, saya kutipkan pendapat Svami
Vivananda, dari Sri Ramakrishna Ashram, Bombay (1938) yang menyatakan: Let us try to go
to the fundamentals and basic principles of our religion and march onward and Godward with
charity for all and malice toward none.
FH9FHFH FH9H lFH9 HFH9]H ll
sarvea svasti bhavantu sarvea ntir bhavantu
sarvea purna bhavantu sarvea magala bhavantu.
(Semoga semuanya memperoleh keselamatan, semoga semuanya memperoleh kedamaian,
semoga semuanya memperoleh kesempurnaan, semoga semunya memperoleh kemuliaan)

Daftar Pustaka
Agastia, Ida Bagus. 1987. Sagara Giri, Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna. Denpasar:Wysa
Sanggraha.
Maswinara, I Wayan. 2008. rmad Bhagawad Gt (dalam Bahasa Sanskta, Inggris dan
Indonesia). Surabaya:Paramita.
Miswanto. 2005. Menelusuri Jejak Konflik Antar Agama. Majalah Raditya Nomor 93 April
2005. Denpasar: Pustaka Raditya.
_______. 2012. Tutur Tantular. Media Hindu Nomor 94 Januari 2012. Jakarta: Media Hindu.
Musa Asyarie. 2002. Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta:LESFI.
Pendit, Nyoman S. 1993. Percik-percik Pemikiran Swami Vivekananda Cendekiawan Hindu
Abad Ke-19. Jakarta:Yayasan Dharma Nusantara-FCHI.
Saraswati, Sri Chandrasekharendra. 2009. Peta Jalan Veda. Jakarta:Media Hindu.
Suripto, Adi. 2008. Dharma Kinidung. Denpasar: Widya Dharma.
Tim Penyusun. 2007. Pedoman Tenaga Pembina (yang Disempurnakan). Jakarta:Mitra Abadi
Press.
Titib, I Made. 1998. Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan). Surabaya:Paramita.
Visvananda, Svami. 1938. Unity of Religions, dalam The Religions of the World. editor Sri
Ramakrishna. Calcuta:Centenary Parliament of Religions.

Page 6 of 6

BIO DATA NARA SUMBER

Nama : Miswanto, S.Ag. M.Pd.H.
NIP : 19811110 200903 1 008
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat / Tanggal lahir : Banyuwangi, 10 Nopember 1981
Pangkat / Golongan : Penata Muda III/a
Unit kerja : SMP Negeri 4 Batu
Alamat Kantor : Jalan Diponegoro Tulungrejo Kec. Bumiaji Kota Batu, Propinsi Jawa
Timur, telp. (0341) 598828
Alamat Rumah : Perum Permata Regency 2 Blok A.14 / No. 11, Ngijo, Karangploso,
Malang.
Nomor HP : 081336399693 / 085856590202
E-mail : romonadha@gmail.com / miswantos@yahoo.co.id
Web-blog : romonadha.wordpress.com

Riwayat Pendidikan
SDN Pesanggaran VIII Banyuwangi (1995)
SLTPK Yos sudarso Pesanggaran Banyuwangi (1998)
SMUN 1 Pesanggaran Banyuwangi (2001)
S1 Pendidikan Agama Hindu Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar (2005)
S2 Pendidikan Agama Hindu Universitar Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar (2011)

Riwayat Pekerjaan/Organisasi:
Guru di SMP Negeri 2 Purwoharjo dan SMP Kosgoro Pesanggaran Banyuwangi (2006-2009)
Staf Pengajar Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi (2006-2009)
Staf Pengajar Universitas PGRI Banyuwangi / UNIBA (2007-2009)
Wakil Sekretaris PHDI Kabupaten Banyuwangi (sejak 2008)
Guru Agama Hindu di SMP Negeri 4 Batu dan SMA Negeri 2 Batu (2009-sekarang)
Koresponden Media Hindu di Jawa Timur (2007-sekarang)
Ketua Pasraman Giri Sastra (2011-sekarang)
Duta Dharma PHDI Kota Batu (2009-sekarang)

Artikel yang pernah dipublikasikan:
Agama dan Sains, Sebuah Realita (Warta Hindu Dharma atau WHD No.441 Nopember 2003); Keris,
Warisan Budaya Penuh Makna (WHD No.442 Desember 2003); Pura Untoroyono, Religiositas Jawa dan
Universalitas WHD No.445 Maret 2004); Fenomenologi Anarkhisme dalam Perspektif Hindu (WHD
No.446 April 2004); Anak-anak Indigo dalam Konteks Yoga (WHD No.448 Juni 2004); Simbolisme
dalam Budaya Jawa-Hindu (WHD No.450 No.455); Wayang di Mata Seorang Penonton (WHD No.454
September 2004); Menelusuri Jejak Konflik Antar Agama (Raditya No.93 April 2005); Hindu dan
Teologi Pembebasan (WHD No. 462 Juli 2005); Epistemologi Jawa, Sebuah Rekonstruksi Makna (WHD
No.463 Agustus 2005); Guru dalam Dialektika Pendidikan (Raditya No.98 September 2005); Mengapa
Kau Jual Jawaku, Jiwaku, Juwitaku (Media Hindu / MH No.45 Nopember 2007); Belajar dari Kisah
Sastra Jendra (MH No.46 Desember 2007); Mengupas Kembali Makna Rangkaian Macapat Jawa (MH
No.74 April 2010); Mencari Guru Sejati (MH No.89 Juli 2011); Otak Etik Jawa dalam Cerita Ajisaka
(MH No. 90 Agustus 2011); Pendidikan Seks dalam Tembang Dolanan Sluku-sluku Bathok (MH
No.92 Oktober 2011); Membangun Karakter yang Berbudaya (Koran Pendidikan 384 26 Oktober-1
November 2011) dan lain-lain

Buku yang pernah ditulis / dipublikasikan
1. Esensi Falsafah Jawa bagi Peradaban Umat Hindu (diterbitkan oleh Penerbit Paramita pada tahun
2009)

Penelitian yang pernah dilakukan:
1. Esensi Falsafah Jawa dalam Pendidikan Etika Religius Umat Hindu di Pesanggaran Banyuwangi;
Penelitian tahun 2005 (Skripsi S1 IHDN Denpasar)
2. Epistemologi Hindu dalam Kisah Ajisaka (Penelitian Mandiri tahun 2009)
2. Nilai-nilai Filosofis Hindu dalam Kidung Darma Weda (Penelitian Mandiri tahun 2010)
3. Konstruksi Masyarakat Hindu Jawa di Banyuwangi terhadap Skar Macapat (Implikasinya dalam
Pendidikan Agama Hindu dan Kehidupan Umat Beragama); Penelitian tahun 2011 (Tesis S2 Unhi
Denpasar)
4 Pendidikan Spiritual Question dalam Perspektif Hindu; Penelitian Tahun 2011 (Jurnal Ilmiah STAH
Lampung)

You might also like